• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pulau Bali. Sapi bali merupakan hasil domestikasi banteng. Para ahli meyakini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pulau Bali. Sapi bali merupakan hasil domestikasi banteng. Para ahli meyakini"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

Sapi bali (Bos Sondaicus) merupakan sapi asli Indonesia yang berasal dari Pulau Bali. Sapi bali merupakan hasil domestikasi banteng. Para ahli meyakini bahwa domestikasi tersebut telah dilakukan sejak akhir abad ke 19 di Bali sehingga sapi jenis ini dinamakan sapi bali. Sapi bali tersebar hampir terdapat di semua provinsi di Indonesia (Fikar dan Ruhyadi, 2010). Klasifikasi taksonomi bangsa sapi bali menurut Williamson dan Payne (1993)

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata, Dass : Mamalia, Ordo : Artiodactyla, Family : Bovidae, Genus : Bos,

Spesies : Bos sondaicus

Ciri khas sapi bali diantaranya rambut berwarna merah keemasan pada jantan akan menjadi hitam setelah dewasa, dari lutut ketungkai bawah berwarna putih seperti memakai kaus kaki, bagian pantat berwarna putih membentuk setengah lingkaran, ujung ekor berwarna hitam, serta terdapat garis belut warna hitam di punggung betina. Sapi bali memiliki kepala pendek dengan dahi datar, sapi bali jantan memiliki tanduk panjang dan besar yang tumbuh kesamping belakang. Sebaliknya, sapi bali betina memiliki tanduk yang lebih pendek dan kecil. Sapi bali

(2)

2

mampu beradaptasi terhadap kondisi pakan yang buruk dan lingkungan tropis, serta memiliki persentase karkas yang tinggi. Sapi bali merupakan sapi lokal dengan penampilan produksi yang cukup tinggi. Sampai saat ini kemurnian genetis sapi bali masih tetap terjaga karena ada undang-undang yang mengatur pembatasan masuknya sapi jenis lain ke Pulau Bali (Fikar dan Ruhyadi, 2010).

Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi sapi bali adalah dengan cara pemeliharaan dan pengembangbiakan ternak sapi. Pemeliharaan ternak yang baik sangat mempengaruhi perkembangbiakan serta terjaminnya kesehatan ternak. Peternak dalam memelihara ternaknya harus berdasarkan prinsip-prinsip pemeliharaan dan pembiakan hewan tropis yaitu pengawasan lingkungan, pengawasan status kesehatan, pengawasan pegawai, pengawasan makan dan air minum, pengawasan sistem pengelolaan dan pengawasan kualitas hewan ternak (Gunawan dan Nuhayati, 2001). Sedangkan yang diketahui, sapi-sapi yang dipelihara di TPA sangat jauh bertolak belakang dengan prinsip-prinsip pemeliharaan ternak yang telah diuraikan diatas. Sapi bali yang dipelihara di TPA hidup dilepas di timbunan sampah, sehingga sapi tersebut memakan sampah-sampah yang ada di TPA yang kemungkinan besar tercemar logam berat seperti timbal (Pb) yang dapat mengganggu kesehatan dari ternak tersebut. Berata (2015) melaporkan bahwa terdapat logam berat Pb dalam darah sapi bali yang dipelihara di TPA Suwung Denpasar. Walaupun secara klinis tidak tampak ada gangguan pertumbuhan, tetapi penelusuran secara lebih mendalam perlu dilakukan, dalam upaya menjaga kesehatan ternak sapi dan produksi daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).

(3)

3 1.2 Penentuan Umur Sapi Bali

Umur sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan badan sapi yang berpengaruh juga terhadap bobot sapi. Pertumbuhan dari tubuh hewan mempunyai arti penting dalam suatu proses produksi, karena produksi yang tinggi dapat dicapai dengan adanya pertumbuhan yang cepat dari hewan tersebut (Pradana dkk., 2014). Pendugaan umur pada sapi dapat diketahui dari jumlah gigi seri, mengamati jumlah lingkar pada tanduk sapi. kondisi atau keadaan bulu pada ternak, dan tingkah laku ternak.

2.2.1 Mengamati Gigi Ternak Sapi

Umumnya metode ini sudah sangat dikenal pada masyakat peternak di Indonesia. Istilah yang biasa dikenal adalah “poel”. ‘Poel” menunjukkan adanya pergantian gigi ternak, sehingga seberapa banyak tingkat pergantian gigi bisa menjadi dasar menduga umur ternak. Semakin banyak gigi yang “poel” maka umur ternak juga semakin tua.

Gigi ternak mengalami erupsi dan keterasahan secara kontinyu. Pola erupsi gigi pada ternak memiliki karakteristik tertentu sehingga dapat digunakan untuk menduga umur ternak. Gerakan mengunyah makanan yang dilakukan ternak mengakibatkan terasahnya gigi (Heath dan Olusanya, 1988)

Pertumbuhan gigi ternak dibagi menjadi 3 fase yaitu : fase tumbuh gigi (gigi susu), fase pergantian gigi dan fase keausan gigi.

a) Fase gigi susu : Terjadi pada ternak mulai lahir sampai dengan gigi seri bertukar dengan yang baru.

(4)

4

b) Pergantian gigi : masa awal dari pergantian gigi sampai dengan selesai

c) Keausan gigi : gigi sudah tidak berganti-ganti lagi, melainkan sedikit demi sedikit aus.

2.2.2 Mengamati Tanduk Ternak Sapi

Fikar dan Ruhyadi (2010), menyatakan bahwa keadaan cincin tanduk dapat digunakan untuk menafsirkan umur sapi. Rumus yang digunakan yaitu :

Dimana Y merupakan umur sapi, X merupakan jumlah cincin tanduk dan 2 merupakan koefisien rata-rata sapi bunting pada umur 2 tahun. Tiap cincin tanduk berhubungan erat dengan kelahiran, periode laktasi dan jalannya pemeliharaan. Sesudah selesai periode kebuntingan pertama, pangkal tanduknya timbul suatu alur melingkar dan selanjutnya setiap kali bunting hal demikian akan terjadi lagi. Pengaruh pencemaran, penyakit dan musim panas menyebabkan cincin tanduk kelihatan dangkal dan tidak terang.

Secara umum sejak umur 6 bulan, tanduk sapi normal akan tumbuh dan secara bertahap pada dasar tanduk akan terlihat lingkaran-lingkaran yang mengelilingi. Pada sapi betina yang secara teratur melahirkan, dapat dilihat jelas pertumbuhan tanduknya. Maka pedoman memberikan taksiran umur sapi betina dewasa adalah banyaknya lingkaran pada tanduk ditambah 4 tahun. Namun untuk sapi jantan dapat dihitung jumlah lingkaran pada tanduk ditambah 5 tahun. Yang perlu diingat adalah penaksiran dengan metode lingkar tanduk ini hanya dapat

(5)

5

digunakan pada sapi dewasa, maka perlu dilengkapi dengan taksiran dengan metode gigi sapi.

Penentuan umur ternak dengan melihat lingkar cincin tanduk adalah dengan cara menjumlahkan angka dua pada tiap lingkar cincin tanduk. Misalnya terdapat satu lingkar cincin tanduk berarti sapi tersebut berumur tiga tahun. Asumsi dari penambahan angka dua tersebut adalah sapi telah dewasa kelamin dan siap melahirkan pada umur dua tahun (Timan, 2003).

1.2.3 Mengamati Bulu Ternak Sapi

Pendugaan umur dapat dilakukan dengan cara pengamatan keadaan atau kondisi bulu ternak sapi. Ternak muda memiliki bulu yang panjang dan kasar, sedangkan pada ternak tua bulu lebih pendek dan halus. Bulu yang kasar juga dapat disebabkan oleh keadaan ternak yang sedang sakit ataupun faktor pakan. Sapi subtropis umumnya memiliki bulu yang panjang dan kasar sebagai termoregulator, sedangkan sapi tropis umumnya pendek dan halus (Hakim et al., 2010).

1.2.4 Mengamati Tingkah Laku Ternak

Habitus atau tingkah laku (behavior) ternak sapi sangat bervariasi, karena tergantung pada cara pemeliharaan, umur dan status kesehatannya. Sapi-sapi yang dikandangkan memiliki tingkah laku yang jinak dibandingkan dengan yang dilepas seperti halnya sapi di TPA. Secara umum ternak yang sehat atau masih muda mempunyai temperamen yang lebih lincah dari pada ternak yang kurang sehat atau sudah tua (Timan, 2003).

(6)

6

Logam berat merupakan komponen alami yang terdapat di kulit bumi yang tidak dapat didegradasi ataupun dihancurkan dan merupakan zat yang berbahaya karena dapat terjadi bioakumulasi. Bioakumulasi adalah peningkatan konsentrasi zat kimia dalam tubuh mahluk hidup dalam waktu yang cukup lama, dibandingkan dengan konsentrasi zat kimia yang terdapat di alam (Panggabean, 2008). Menurut Connel dan Miller (1995) berdasarkan toksisitasnya, logam berat digolongkan ke dalam tiga golongan, yaitu:

1. Golongan logam berat toksik tinggi yaitu : Hg, Cd, Pb, As, Cu dan Zn 2. Golongan logam berat toksik menengah yaitu Zat Cr, Ni dan Co 3. Golongan logam berat toksik rendah yaitu Mn dan Fe

Timbal merupakan salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi makhluk hidup karena bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan mutasi, terurai dalam jangka waktu lama dan toksisistasnya tidak berubah (Brass dan Strauss, 1981). Timbal (Pb) dapat mencemari udara, air, tanah, tumbuhan, hewan, bahkan manusia. Masuknya Pb ke tubuh manusia dapat melalui makanan dari tumbuhan yang biasa dikonsumsi manusia seperti padi, teh dan sayur-sayuran. Logam Pb terdapat di perairan baik secara alamiah maupun sebagai dampak dari aktivitas manusia. Logam ini masuk ke perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Selain itu, proses korofikasi dari batuan mineral juga merupakan salah satu jalur masuknya sumber Pb ke perairan (Palar, 1994).

Timbal (Pb) merupakan logam yang bersifat neurotoksin yang dapat masuk dan terakumulasi dalam tubuh manusia ataupun hewan, sehingga bahayanya terhadap tubuh semakin meningkat. Menurut Underwood dan Shuttle (1999), Pb

(7)

7

biasanya dianggap sebagai racun yang bersifat akumulatif dan akumulasinya tergantung jumlah Pb dalam tubuh hewan. Akumulasi logam berat Pb yang melebihi batas ambang dalam tubuh hewan, akan menyebabkan perubahan struktur dan fungsional dari jaringan tubuh, sehingga dapat menimbulkan patologis multiorgan. Batas ambang dari kadar logam berat Pb yaitu 1,0 mg/kg dalam daging atau jeroan sapi (SNI 7389:2009).

2.3.1 Risiko Cemaran Logam Berat Timbal (Pb) Pada Sapi

Logam yang telah diabsorbsi akan masuk ke dalam darah, berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi dalam organ detoksikasi (hati) dan ekskresi (ginjal), dalam kedua organ tersebut logam berikatan dengan berbagai jenis protein baik enzim maupun protein lain yang disebut metalotionin. Kerusakan jaringan oleh logam terdapat pada beberapa lokasi baik tempat masuknya logam maupun tempat penimbunannya. Akibat yang ditimbulkan dari toksisitas logam dapat berupa kerusakan fisik (erosi, degenerasi, nekrosis) dan dapat berupa gangguan fisiologik (gangguan fungsi enzim dan gangguan metabolisme). Timbal (Pb) dalam jaringan dan cairan tubuh identik dengan jumlah Pb yang dikeluarkan. Semua spesies hewan muda lebih rentan keracunan Pb dibandingkan hewan tua. Timbal dapat menembus plasenta sehingga terjadi transportasi dari induk ke fetus (Darmono, 2001).

Timbal adalah logam berat konvensional yang sering menyebabkan keracunan pada hewan ruminansia. Rumput pakan ternak yang terkontaminasi oleh timbal (Pb) dari udara sering menyebabkan keracunan kronis. Kasus keracunan Pb pada sapi terutama yang digembalakan di daerah tercemar seperti sapi-sapi yang

(8)

8

dipelihara di TPA. Menurut (Irasanti dkk., 2012) keracunan timbal (Pb) pada ruminansia menimbulkan gejala khas sebagai berikut :

1. Gastroenteritis, hal ini karena terjadi reaksi dari mukosa saluran pencernaan bila kontak dengan garam Pb dan terjadi pembengkakan. Gerak kontraksi rumen dan usus meningkat dan terjadi diare.

2. Anemia. Hal ini akibat timbal (Pb) dalam darah berikatan dengan sel darah merah sehingga sel darah mudah pecah, terjadi gangguan sintesi Hb. Pada kasus ini sering ditemukan basofilik stipling pada sel darah, dimana hal ini menandakan terjadi keracunan.

3. Encephalopati. Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan yang terjadi pada sel endotel dari kapiler dan sel neuron pada otak.

2.4 Histopatologi Hati

Histopatologi merupakan cabang biologi yang mempelajari kondisi dan fungsi jaringan dalam hubungannya dengan penyakit. Teknik pemeriksaaan histopatologi berguna untuk mendeteksi adanya komponen patogen yang bersifat infektif melalui pengamatan secara mikroanatomi. Histopatologi sangat penting dalam kaitan dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang diduga terganggu. Oleh karena itu, dengan proses diagnosis yang benar akan dapat ditentukan jenis penyakitnya sehingga dapat dipilih tindakan preventif dan kuratif. Hati merupakan organ yang berperan sebagai pusat metabolism zat makanan dan pusat detoksikasi zat racun yang masuk sirkulasi darah. Sel–sel yang

(9)

9

terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer. Lesi sel dalam hati dapat bersifat reversibel atau ireversibel. 1. Lesi reversible

a. Pembengkakan (radang) sel hati

Pembengkakan merupakan manifestasi pertama yang ada hampir pada semua bentuk lesi sel, sebagai akibat pergeseran air ekstraseluler ke dalam sel, akibat gangguan pengaturan ion dan volume karena kehilangan ATP (Chandrasoma dan Taylor, 2005). Bila air berlanjut tertimbun dalam sel, vakuol-vakuol kecil jernih tampak dalam sitoplasma yang diduga merupakan reticulum endoplasma yang melebar dan menonjol keluar atau segmen pecahannya. Gambaran lesi nonletal ini kadang-kadang disebut degenerasi hidropik atau degenerasi vakuol. Selanjutnya hepatosit yang membengkak juga akan tampak edematosa (degenerasi balon) dengan sitoplasma ireguler bergumpal dan rongga-rongga jernih yang lebar (Robbins, 2007).

b. Degenerasi

Degenerasi merupakan suatu perubahan keadaan secara fisika dan kimia dalam sel, jaringan, atau organ yang bersifat menurunkan efisiensinya. Degenerasi terjadi perubahan morfologi dan fungsi yang sifatnya irreversibel (bisa kembali menjadi normal). Degenerasi sel atau jaringan dapat diamati dari komponen komponen yang ada pada sel seperti membran sel, inti sel, dan sitoplasmanya. Degenerasi dapat dibagi menjadi

(10)

10

dua golongan yaitu pembengkakan sel dan perubahan perlemakan. Pembengkakan sel timbul jika sel tidak dapat mengatur keseimbangan ion dan cairan yang menyebabkan hidrasi sel. Sedangkan perubahan perlemakan bermanifestasi sebagai vakuola-vakuola lemak di dalam sitoplasma dan terjadi karena hipoksia atau bahan toksik. Perubahan perlemakan dijumpai pada sel yang tergantung pada metabolism lemak seperti sel hepatosit dan sel miokard (Sudiono, 2003)

Gambar 2.4 Pembengkakan sel hati disertai vakuolisasi; Ket.: 1. Sel yang Mengalami Vakuolisasi; 2. Inti Sel Menggeser ke Tepi (Robbins, 2007).

2. Lesi Ireversibel a. Nekrosis

Nekrosis sel dapat terjadi langsung atau dapat mengikuti degenerasi sel (jejas reversibel). Gambaran mikroskopik dari nekrosis dapat berupa gambaran piknosis, karioreksis, dan kariolisis. Berdasarkan lokasinya nekrosis terbagi menjadi tiga yaitu nekrosis fokal, nekrosis zona, nekrosis submasif. Nekrosis sel hati fokal adalah nekrosis yang terjadi secara acak pada satu sel atau sekelompok kecil sel pada seluruh daerah lobulus-lobulus hati. Nekrosis ini dikenali pada biopsi melalui badan asidofilik

1 2

(11)

11

(councilman) yang merupakan sel hati nekrotik dengan inti piknotik atau lisis dan sitoplasma terkoagulasi berwarna merah muda. Selain itu dapat dikenali juga pada daerah lisis sel hati yang dikelilingi oleh kumpulan sel kupffer dan sel radang. Nekrosis zona sel hati adalah nekrosis sel hati yang terjadi pada regio-regio yang identik disemua lobulus hati, sedangkan nekrosis submasif merupakan nekrosis sel hati yang meluas melewati batas lobulus, sering menjembatani daerah portal dengan vena sentralis (bridging necrosis). (Chandrasoma and Taylor, 2005).

b. Fibrosis

Fibrosis merupakan akumulasi matriks ekstraseluler yang merupakan respon dari cedera akut atau kronik pada hati. Pada tahap awal, fibrosis mungkin terbentuk di dalam atau di sekitar saluran porta atau vena sentralis atau mungkin mengendap langsung didalam sinusoid. Hal ini merupakan reaksi penyembuhan terhadap cedera.Cedera pada hepatosit akan mengakibatkan pelepasan sitokin dan faktor solubel lainnya oleh sel kupffer serta sel tipe lainnya pada hati. Faktor-faktor ini akan mengaktivasi sel yang akan mensintesis sejumlah besar komponen matriks ekstraseluler (Robbins, 2007).

c. Sirosis

Berlanjutnya fibrosis dan cedera parenkim menyebabkan hepar terbagi-bagi menjadi nodus hepatosit yang mengalami regenerasi dan dikelilingi oleh jaringan parut. Jaringan parut ini disebut sirosis (Robbins, 2007).

Gambar

Gambar 2.4 Pembengkakan sel hati disertai vakuolisasi; Ket.: 1. Sel yang  Mengalami Vakuolisasi; 2

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai salah satu upaya untuk terus meningkatkan akses dan mutu pendidikan di Provinsi Papua, khususnya untuk mendukung kelancaran dan keberhasilan proses

[3.4] Menimbang, bahwa permohonan a quo merupakan permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik yang menyangkut tidak ditanggapinya permintaan informasi

[r]

muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapus piutang diancam

Berdasarkan analisis deskriptif yang dilakukan, penelitian ini memberikan bukti perhitungan biaya : pemeriksaan setiap jasa pelayanan instalasi radiologi berdasarkan Time

Semua aktiva dan pasiva dialihkan dari anak perusahaan kepada perusahaan holding (kecuali aktiva yang harus dibayar kepada pemegang saham minoritas yang tidak setuju merger).

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, penulis tertarik untuk menerjemahkan beberapa peribahasa yang berhubungan dengan angka atau jumlah yang ada dalam Doraemon no

Menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No KEP-117/M- MBU/2002 Pasal 1, Corporate Governance adalah suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ BUMN