• Tidak ada hasil yang ditemukan

GYO TAI, PRAJURIT MANGKUNEGARAN PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GYO TAI, PRAJURIT MANGKUNEGARAN PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

16

GYO TAI, PRAJURIT MANGKUNEGARAN PADA MASA

PENDUDUKAN JEPANG 1942-1945

Dewi Kusumaningtyas C0507015

ABSTRACT

Alternation of the Dutch Government to the Japanese occupation government at the Praja Mangkunegaran has changed several existing circumstances. One of the policies applied by the Japanese to Praja Mangkunegaran lead military Mangkunegaran dissolved. The purposed of this due to the dissolution of Japan's desired to remove all Western influence (the Netherlands) in Indonesia, not least in the Praja Mangkunegaran.

Praja Mangkunegaran allowed to form as an employee-based soldiers to guard the palace Ko and on condition that the structure, equipment and coaching staff the guard set by the Japanese. Soldiers Gyo Tai, that most members of these soldiers came from the youth in the region Mangkunegaran palace. In the reign of the Dutch East Indies army Mangkunegaran outside the bureaucratic structure of government Praja Mangkunegaran but in the Japanese military Mangkunegaran under the supervision of one of the offices in Mangkunegaran. Gyo Taisoldiers on duty as a security guard Praja Mangkunegaran. This research used historical methode.

Keywords: Gyo Tai, Prajurit Mangkunegaran, Jepang

PENDAHULUAN

Keberadaan militer dalam struktur birokrasi, koalisi, sipil militer dalam politik, dapat dirunut jauh ke belakang sampai pada kerajaan-kerajaan tradisional, baik yang dipengaruhi unsur Hindu-Buddha maupun Islam. Adanya ketidakstabilan dan suksesi kekuasaan melalui pemberontakan akibat konflik internal yang sering terjadi, menyebabkan kerajaan-kerajaan itu menempatkan militer sebagai bagian yang integral di struktur birokrasi dan pemerintahan.1

Praja Mangkunegaran berdiri pada tahun 1757 akibat adanya perjanjian Salatiga. Kehadiran militer bagi Praja Mangkunegaran merupakan sarana yang

1

Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris (Yogyakarta: Ombak, 2006), hlm. 193.

(2)

17

penting untuk menjaga stabilitas praja dan sebagai unsur kemegahan untuk menambah kewibawaan bagi praja tersebut. Untuk itu Praja Mangkunegaran membentuk dan memelihara militer tangguh yang dapat diandalkan dalam medan perang.2

Pangeran Adipati Mangkunegara sendiri yang menaruh perhatian besar terhadap tentaranya dengan memberikan latihan dan keterampilan kepada mereka. Pasukan tersebut kemudian disebut Legiun Mangkunegaran, yang terdiri dari pasukan infantri, kavaleri, dan artileri.

Legiun Mangkunegaran adalah korps angkatan bersenjata Kadipaten Mangkunegaran yang dibentuk dan dibangun pada zaman pemerintahan Mangkunegara II dengan surat Keputusan Gubernur Jenderal Daendels tanggal 29 Juli 1808.3 Legiun Mangkunegaran ini berkembang hingga masa pemerintahan Mangkunegara VII yang berkuasa hingga tahun 1944. Pada masa pemerintahannya tersebut terjadi peralihan kekuasaan dari pemerintahan Hindia-Belanda kepada pemerintahan Jepang. Di bidang militer, Jepang melarang berlangsungnya Legiun Mangkunegaran.

METODE PENELITIAN

Bahasan penelitian ini ialah mengenai Gyo Tai, Prajurit Mangkunegaran Pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode sejarah yaitu suatu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman-rekaman peninggalan masa lampau serta usaha melakukan sintesa terhadap data masa lampau tersebut menjadi kisah sejarah. Penulisan sejarah ini diharapkan dapat memberikan keterangan mengenai kejadian yang ada dengan mengkaji sebab-sebabnya, kondisi lingkungannya, konteks sosial-politiknya, atau dengan menganalisis secara mendalam tentang faktor-faktor kausal, kondisional, kontekstual serta unsur-unsur yang merupakan komponen dan eksponen dari sejarah yang dikaji.4

2

Fachry Ali, Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia Modern (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 170.

3

H. F. Aukes, Het Legiun Van Mangkoenegoro (Surakarta: Reksapustaka, 1935), hlm. 1-2.

4

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 138.

(3)

18

Adapun metode sejarah yang digunakan dalam penelitian ini meliputi empat tahap penelitian, yakni heuristik, kritik sumber, intrepretasi, dan yang terakhir historiografi. Tahap pertama yang dilakukan adalah heuristik, yakni usaha mencari dan mengumpulkan data sebagai sumber bagi penelitian sejarah. Penelitian dilakukan dengan penelusuran sumber-sumber data di berbagai tempat yang diketahui menyimpan sumber-sumber yang diperlukan. Studi pustaka dalam penelitian ini juga cukup penting guna melengkapi data yang diperoleh. Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan literatur dan referensi sebagai bahan informasi untuk mendapatkan teori dan data baru dalam menganalisa masalah.5

Tahap kedua adalah kritik sumber yang bertujuan untuk mencari keaslian sumber-sumber yang diperoleh melalui kritik ekstern dan intern. Pada tahap ini, kritik sumber dilakukan dengan membandingkan data yang diperoleh untuk mendapatkan data yang bisa dipercaya untuk penulisan ini. Tahap berikutnya adalah interpretasi, yaitu usaha-usaha untuk menafsirkan fakta-fakta yang diperoleh dari data-data yang telah diseleksi pada tahapan sebelumnya untuk selanjutnya dilakukan analisa data untuk menemukan makna sejarah. Ide-ide yang diperoleh dalam bentuk fakta itu dituangkan pada suatu karya penulisan sejarah ilmiah. Tahap terakhir adalah historiografi, yaitu penyajian dari suatu kisah sejarah yang berupa tulisan ilmiah dalam bentuk narasi yang sifatnya deskriptif maupun analitis.

PEMBAHASAN

Militer adalah landasan penting bagi raja untuk melawan ketidakaturan yang terjadi dalam wilayah kekuasaannya.6 Di Praja Mangkunegaran militer telah terbentuk sejak masa Mangkunegara I pada tahun 1741.7 Ketika Mangkunegara I wafat pada tahun 1795 membuat VOC menghentikan pembayaran uang sebesar

5

Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 37.

6

Umi Yuliati, Militer Dalam Kehidupan Politik di Jawa: Prajurit Keraton

Yogyakarta, 1792-1812 (Yogyakarta: Banjar Aji Production, 2011), hlm. 12-14.

7

Kerabat Mangkunegaran, Mulat Sarina, Suatu Uraian Singkat (Surakarta: Reksapustaka Mangkunegaran, 1978), hlm. 4.

(4)

19

4.000 Sps Matten per tahun yang membuat kekuatan militer Prajurit Mangkunegara dibubarkan karena Praja Mangkunegaran tidak memiliki biaya lagi.

Pada tahun 1803 Pemerintah Belanda (Bataafsche Republik) meminta Mangkunegara II untuk menghidupkan kembali korps prajurit Mangkunegaran yang telah dibubarkan dengan diberikan uang sebesar 2.000 Sps Matten kepada Pangeran Prangwadana. Korps prajurit ini kemudian dinamakan Legiun Mangkunegaran. Pemerintah Hindia Belanda menginginkan Legiun Mangkunegaran ikut serta membantu Pemerintah Hindia Belanda dalam mempertahankan Jawa dari kemungkinan serangan militer Inggris.

Legiun Mangkunegaran merupakan cadangan dari Tentara Hindia-Belanda yang bertugas apabila dimobilisasi dan diperintahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk ikut serta dalam suatu peperangan.8 Pasukan Legiun Mangkunegaran akan diberikan senjata yang diperlukan. Untuk melatih dan mendisiplinkan pasukan, diangkat seorang ajudan mayor sebagai instruktur dengan biaya pemerintah. Biaya untuk keperluan Legiun ditambahkan, dari 2.000

Sps Matten menjadi 4.000 Sps Matten.

Diangkatnya Pangeran Prangwadana sebagai komandan Legiun Mangkunegaran menunjukkan bahwa beliau duduk dalam struktur hierarki kemiliteran Belanda. Beliau berhak menerima penghargaan dan penghormatan dari orang-orang yang terkait dengannya, termasuk dari Sunan Paku Buwana. Hal ini juga menunjukkan bahwa status dan kedudukan Mangkunegaran sama dengan Kasunanan Surakarta.9 Legiun Mangkunegaran berkembang hingga masa pemerintahan Mangkunegara VII. Selama kurun waktu 1808 hingga 1942, Legiun Mangkunegaran membantu pemerintah Hindia Belanda dalam beberapa peperangan.

Pada tanggal 10 Mei 1940 Perang Dunia II telah dimulai di Eropa oleh Jerman. Salah satu dampak adanya Perang Dunia II di benua Asia adalah Perang Pasifik. Pada tanggal 8 Desember 1941, pangkalan armada Amerika Serikat

8

Bintara, “Kraton dan Militer: Dinamika Tentara Legiun Mangkunegaran 1803-1898” (Skripsi, Fakultas Ilmu Budaya, Yogyakarta: UGM, 2003), hlm. 56.

9

(5)

20

digempur oleh kapal perang Jepang dibantu oleh pesawat udara yang terdiri dari pelempar bom dan dikawal oleh pesawat pemburu melaksanakan penggempuran. Pada tanggal 14 Februari 1942 Sumatera Selatan telah diserang oleh Jepang dan seluruh Sumatera segera dapat dikuasai.10 Di Surakarta, sebagai ibukota Kasunanan dan Mangkunegaran dijaga sangat kuat oleh pasukan KNIL, Legiun Mangkunegaran, Batalyon Reserve Corps dan pasukan-pasukan milisi.11 Pada tanggal 5 Maret 1942 Jepang berhasil menduduki wilayah Surakarta.

Di daerah vorstenlanden, Jepang tidak melakukan perubahan tentang pemerintahan lokal yang sedang berlangsung di kerajaan-kerajaan Jawa. Kerajaan-kerajaan itu tetap dikukuhkan sebagai daerah istimewa oleh Pemerintah militer Jepang dengan nama Surakarta Kochi dan Yogyakarta Kochi. Hal tersebut adalah salah satu upaya yang dilakukan Jepang untuk mendapatkan dukungan dari penguasa lokal seperti Surakarta dan Yogyakarta.

Penguasa daerah Kochi tersebut mendapat sebutan Koo termasuk Praja Mangkunegaran. Hal ini merupakan salah satu propaganda Jepang untuk menarik simpati penguasa lokal agar bekerja sama dengan Jepang. Di Praja Mangkunegaran, K.G.P.A.A. Mangkunegara VII tetap menjadi Kepala Pura Mangkunegaran, walaupun kedaulatan atas Pulau Jawa telah beralih dari Belanda ke Jepang.12

Setelah dilakukan penyerahan di daerah-daerah, dan akhirnya ada penyerahan secara resmi dari Tentara Hindia-Belanda, Jepang melarang berlangsungnya Legiun Mangkunegaran. Status dan bentuk pemerintahan Mangkunegaran yang baru tersebut mengharuskan Praja untuk membubarkan balatentaranya, untuk menjaga istana dan mengawal Mangkunegara-Ko.

Mangkunegaran diperkenankan membentuk prajurit Penjaga Istana disebut

Gyo Tai atau pemuda penjaga istana Mangkunegaran. Sesuai dengan usaha-usaha

10

Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional

Indonesia VI (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 2.

11

Iwan Santosa, Legiun Mangkunegaran (1808-1942) Tentara

Jawa-Perancis Warisan Napoleon Bonaparte (Jakarta: Kompas, 2011), hlm. 79. 12

Noto Suroto, Kejadian-kejadian di Puro Mangkunegaran dalam Maret

(6)

21

pemerintah Bala Tentara Jepang di bidang keamanan dan pertahanan, Mangkunegaran mengadakan kantor baru, yaitu Kantor Gerakan Taruna Mangkunegaran. Kantor ini mengurus gerakan seinendan, keibodan termasuk mengurus Gyo Tai atau pemuda penjaga istana Mangkunegaran. Pembentukan barisan Gyo Tai menjadi pengaruh secara tidak langsung dari pemerintah Jepang kepada Praja Mangkunegaran.

Gyo Tai adalah pasukan militer milik Mangkunegaran yang telah

mengalami beberapa perubahan. Perubahan ini terjadi akibat dari pergantian pemerintahan asing yang berkuasa di Indonesia. Setiap periode pemerintahan yang berkuasa mempunyai kebijakan berbeda-beda terhadap Praja Mangkunegaran. Karena kondisi tersebut pasukan militer Mangkunegaran berusaha beradaptasi terhadap segala hal agar tetap bertahan hidup. Usaha itu dilakukan dengan cara mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pemerintahan sedang berkuasa meskipun terkadang banyak merugikan pasukan itu sendiri.

Prajurit Gyo Tai yang berstatus sebagai abdi dalem ini kemudian menjadi tanggung jawab Pengageng Pencaosan. Pengageng Pencaosan adalah salah satu kantor yang bertugas sebagai penjaga keamanan istana. Kantor ini berada dalam kepemimpinan Kabupaten Mandrapura.

Pada tahun 1944 keadaan perang menjadi semakin gawat, karenanya kantor Pencaosan (Gyo Tai) bekerja sama dengan Kabupaten Mandrapura untuk menjaga Pura Mangkunegaran. Bupati Anom Mandrapura diberikan wewenang yang sama untuk memberikan perintah kepada prajurit Gyo Tai yang bertugas jika terjadi keadaan yang penting dan harus segera dilaksanakan.13

Keadaan Jepang yang sudah terancam, mengharuskan Jepang mengadakan suatu latihan yang bertujuan melindungi daerah pendudukan Jepang dari serangan musuh. Prajurit Gyo Tai beserta para pemuda di daerah-daerah diwajibkan mengikuti latihan militer dan semi militer yang merupakan pusat indoktrinasi dari

13

Arsip Mangkunegara VIII no. 3682, Berkas Surat dari Bupati Anom

Mandrapura tentang hubungan kerjasama Mandrapura dengan Gyo-Tai,

(7)

22

Jepang dengan memberikan pelajaran Seisin.14 Salah satu cara yang ditempuh dengan mengadakan latihan Hoosi yang diikuti oleh para pemuda Indonesia. Latihan Hoosi II juga diwajibkan bagi sebagian besar abdi dalem yang bertugas menjaga Pura Mangkunegaran.

Penjagaan yang dilakukan oleh Gyo Tai ini dikarenakan keadaan di dalam Pura Mangkunegaran yang benar-benar tidak terdapat abdi dalem. Hampir semua pegawai dan abdi dalem Mangkunegaran mengikuti latihan Hoosi yang diwajibkan oleh Jepang. Pura Mangkunegaran harus dijaga dengan ketat oleh prajurit Gyo Tai agar aman dari serangan musuh. Selama bertugas, Gyo Tai juga dibantu oleh beberapa abdi dalem yang sedang tidak mengikuti latihan Hoosi II. Setiap orang yang akan memasuki harus mendapatkan ijin dari pemerintah dan harus menunjukkan surat palilah.

Penjagaan Praja Mangkunegaran ketika akhir masa pemeritahan Jepang sangat ketat, sehingga tidak sembarang orang dapat memasuki Praja Mangkunegaran. Orang yang dapat memasuki Praja Mangkunegaran hanya orang-orang tertentu dan orang-orang yang memang memiliki kepentingan di Pura Mangkunegaran. Tidak semua pejabat dapat bebas keluar dan memasuki Praja Mangkunegaran. Ketika masa genting penjagaan semakin diperketat, bahkan seorang pembesar Mangkunegaran pun harus membawa surat izin masuk Pura yang telah ditandatangani oleh pihak Praja Mangkunegaran. Surat izin tersebut hanya dapat digunakan apabila ada perintah mendadak dan terutama pada waktu malam hari.

Kebijakan-kebijakan yang diterapkan Jepang di Pulau Jawa telah membangkitkan rasa kesadaran nasional yang jauh lebih mantab daripada di wilayah lainnya. Dengan demikian perbedaan tingkat kemajuan politik antara Jawa dan daerah-daerah lainnya semakin besar pula. Hal ini dikarenakan pentingnya arti semua perkembangan itu bagi masa yang akan datang, maka Jawa juga mendapatkan perhatian ilmiah yang lebih besar daripada pulau-pulau lainnya.

14

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Kebangkitan Nasional

Daerah Jawa Tengah (Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan

(8)

23

Sumatera mempunyai arti penting untuk pihak Jepang karena sumber-sumber strategisnya, namun rasa nasionalis masyarakatnya belum semaju Pulau Jawa. Ketika Jepang berada di ambang kekalahan, ide-ide nasionalis diperbolehkannya berkembang di sana. Bagi Jepang, wilayah yang berada di bawah kekuasaan angkatan laut dianggap terbelakang secara politik dan penting secara ekonomi, pemerintahan yang dilaksanakan atas wilayah tersebut bersifat sangat menindas rakyat.15

Kekejaman yang dikeluarkan oleh Jepang secara tidak langsung menyadarkan semua golongan di Indonesia untuk berjuang menggapai kemerdekaan. Semua latihan-latihan kemiliteran yang diajarkan justru pada akhirnya digunakan untuk melawan pendudukan Jepang.

Semua golongan baik pemimpin di pusat atau pangreh praja maupun rakyat bersama-sama berjuang agar terbebas dari kekejaman Jepang. Latihan militer yang diperoleh oleh pemuda-pemuda Indonesia dijadikan sebagai inspirasi daripada instruksi. Gemblengan-gemblengan militer Jepang telah menumbuhkan rasa percaya kepada diri sendiri bahwa mereka mampu melawan kekuatan yang lebih kuat dan lebih terlatih. Jepang memperlihatkan kepada bangsa Indonesia, bahwa sebagai orang Asia mereka tidak hanya sanggup menjadi bangsa yang merdeka, tetapi juga mampu menjadi bangsa yang sederajat dengan bangsa Barat.

Latihan-latihan kemiliteran yang diberikan oleh Jepang justru membuat tumbuhnya rasa cinta tanah air pada diri pemuda tersebut. Pada akhirnya baik para pemimpin baik pusat maupun daerah, rakyat dan prajurit pribumi sadar dan bersatu untuk mengusir Jepang. Melalui bentuk-bentuk pelatihan militer, kita dapat memahami sisi positif dan negatif yang dirasakan para pemuda Indonesia.

Para pemuda kita tidak hanya dilatih kemampuan dan ketrampilan militer dalam menggunakan senjata tetapi sikap dan mental mereka pun tanpa sadar dibentuk dengan suatu semangat Bushido (sikap para ksatria militer Jepang) baik disiplin, keuletan, daya juang yang tinggi, kerja keras, jujur, dan berani menghadapi tantangan serta memiliki tanggung jawab.

15Ricklefs, M. C., Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: UGM PRESS,

(9)

24

Sikap mental yang seperti ini akan menjadi kekuatan tersendiri dari para pemuda Indonesia dalam menghadapi kekejaman tentara Jepang seperti dalam pemberontakan PETA. Di sisi lain akan menjadi bekal dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia menghadapi tentara Sekutu, baik yang tergabung dalam laskar-laskar rakyat maupun yang akan menjadi tentara Inti Republik Indonesia.

Dampak negatif adanya pelatihan militer yang diwajibkan oleh Jepang adalah pelatihan militer tersebut merupakan bentuk eksploitasi fisik, baik pada saat pelatihan maupun sesudah menjadi tentara sukarela yang dikirim untuk berperang. Mereka yang berada pada usia produktif (aktif 20-40 tahun) harus berjuang dengan taruhan nyawa demi membela kepentingan bangsa lain. Sementara bagi mereka yang tidak terjun langsung ke medan juang, tenaga mereka dipersiapkan untuk menyediakan fasilitas perang mulai dari perlengkapan fisik sampai pada penyediaan logistik atau bahan makanan untuk tentara. 16

KESIMPULAN

Militer adalah landasan penting bagi raja untuk melawan ketidakaturan yang terjadi dalam wilayah kekuasaannya. Akan tetapi militer bukan menjadi penentu kebijakan, melainkan sebagai institusi kerajaan yang bertugas mengamankan wilayah kekuasaan kerajaan.

Sejarah Praja Mangkunegaran tidak akan terlepas dari adanya Legiun Mangkunegaran. Legiun Mangkunegaran adalah korps prajurit yang bertugas sebagai tentara cadangan dari tentara Hindia Belanda dalam suatu peperangan. Legiun Mangkunegaran sangat dihormati bagi kawula Mangkunegaran. Hal ini berlangsung hingga berakhirnya masa pemerintahan Hindia Belanda dan digantikan oleh Jepang.

Ketika Jepang memasuki wilayah Indonesia, kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah pendudukan Jepang mengharuskan pembubaran militer yang telah ada. Berdasarkan Maklumat dari Panglima Perang Balatentara Dai Nippon pasal 7 disebutkan bahwa bangsa Indonesia yang masuk Balatentara akan dibebaskan,

16

Henri F. Isnaeni dan Apid, Romusa Sejarah Yang Terlupakan (1942-1945) (Yogyakarta: Ombak, 2008), hlm. 45-46.

(10)

25

jika bersumpah setia kepada Pemerintah Dai Nippon. Banyak diantara orang-orang yang dimerdekakan itu menjadi militer lagi, akan tetapi bernaung di bawah bendera Hinomaru. Kebijakan yang diterapkan Jepang berusaha menghapus semua pengaruh Belanda yang ada di Indonesia. Salah satu dampaknya adalah dibubarkannya Legiun Mangkunegaran.

Pembubaran Legiun Mangkunegaran disebabkan karena pemerintah pendudukan Jepang ingin menghapuskan semua keadaan yang telah diciptakan Belanda di Indonesia. Militer Mangkunegaran digantikan oleh prajurit Gyo Tai yang berstatus sebagai abdi dalem.

Tidak seperti Legiun Mangkunegaran yang bertugas sebagai tentara cadangan perang bagi Hindia Belanda, Prajurit Gyo Tai hanya bertugas sebagai prajurit pertahanan yang menjaga Praja Mangkunegaran. Namun begitu prajurit

Gyo Tai tetap menduduki peranan yang penting karena Jepang tidak memandang

Mangkunegaran sebagai bagian dari Kasunanan. Perekrutan anggota prajurit ini berasal dari wilayah Mangkunegaran.

Selama pendudukan Jepang khususnya di wilayah Mangkunegaran, semua kejadian dan keadaan yang terjadi di Praja Mangkunegaran akan dilaporkan prajurit setiap hari kepada kepala Praja Mangkunegara melalui buku yang berisi tentang laporan penjagaan sehari-hari. Ketika keadaan perang semakin gawat, kantor pencaosan yang memimpin Gyo Tai bekerja sama dengan Kabupaten Mandrapura untuk menjaga Pura Mangkunegaran.

Tugas dan kewajiban dalam menjaga keamanan lingkungan Praja Mangkunegaran pada masa pendudukan Jepang menjadi tanggung jawab dari seluruh abdi dalem karena masalah keamanan di setiap kantor menjadi tanggung jawab para pembesar dari kantor masing-masing. Hanya orang-orang yang berada di dalam lingkungan Praja Mangkunegaran saja yang bertanggung jawab penuh dalam menjaga keamanan Praja Mangkunegaran. Oleh karena itu, para anggota keamanan ini memiliki status sebagai abdi dalem Praja Mangkunegaran.

Keadaan Jepang yang semakin terdesak membuat Jepang mengadakan latihan-latihan militer bagi pemuda di sekitar daerah Mangkunegaran dan juga bagi abdi dalem, hal ini termasuk dengan prajurit Gyo Tai. Pada saat itu prajurit

(11)

26

oleh musuh. Latihan-latihan kemiliteran yang diberikan oleh Jepang justru membuat tumbuhnya rasa cinta tanah air pada diri pemuda-pemuda tersebut. Pada akhirnya baik para pemimpin baik pusat maupun daerah, rakyat dan prajurit pribumi sadar dan bersatu untuk mengusir Jepang.

DAFTAR PUSTAKA A. Arsip

Arsip Mangkunegara VIII no. 3682, Berkas Surat dari Bupati Anom Mandrapura

tentang hubungan kerjasama Mandrapura dengan Gyo-Tai, Surakarta:

Reksapustaka, Mangkunegaran.

B. Buku

Aukes, H. F. 1935. Het Legioen van Mangkoe Nagoro. Bandung: A.C. Nix&Co. Bambang Purwanto. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris. Yogyakarta:

Ombak.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional

Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan

Kebudayaan Daerah.

Fachry Ali. 1986. Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia.

Henri F. Isnaeni dan Apid. 2008. Romusa Sejarah Yang Terlupakan (1942-1945). Yogyakarta: Ombak.

Iwan Santosa. 2011. Legiun Mangkunegaran (1808-1942) Tentara Jawa-Perancis

Warisan Napoleon Bonaparte. Jakarta: Kompas.

Kerabat Mangkunegaran. 1978. Mulat Sarina, Suatu Uraian Singkat. Surakarta: Reksapustaka Mangkunegaran.

Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, 1993. Sejarah Nasional

Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Noto Suroto. 1989. Kejadian-kejadian di Puro Mangkunegaran dalam Maret dan

(12)

27

Ricklefs, M. C. 1981. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press. Saifuddin Azwar. 2001. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sartono Kartodirdjo. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Umi Yuliati (Yusana Sasanti Dadtun, edt.). 2011. Militer Dalam Kehidupan

Politik di Jawa: Prajurit Keraton Yogyakarta, 1792-1812. Yogyakarta:

Banjar Aji Production.

C. Skripsi

Bintara. 2003. “Kraton dan Militer: Dinamika Tentara Legiun Mangkunegaran 1803-1898”. Skripsi, Fakultas Ilmu Budaya, Yogyakarta: UGM.

Referensi

Dokumen terkait

1.Isi spesifik dari berkas rekam medis pasien ditentukan oleh RS 2.RM berisi informasi yg memadai utk mengidentifikasi pasien, 3.RM berisi informasi yg memadai untuk

Aspek-aspek yang dinilai dalam presentasi adalah sebagai berikut: kekompakan, sistematika penyajian, partisipasi anggota,pemerataan tugas anggota,spontanitas menjawab

1) Observasi untuk mengamati perkembangan kemajuan aspek aktivitas belajar peserta didik dalam kegiatan pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi peserta

Peningkatan Jalan Lingkungan Panunggulan Tamansari Modal Jasa kontruksi 94.000.000 1 Paket Kec. Tamansari APBD

Penilaian sistem pembelajaran meliputi penilaian perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian proses pembelajaran serta capaian pembelajaran mahasiswa sesuai dengan

Fakultas Psikologi dibuka pada tahun 1999 dan mulai tahun 2000 dibuka Program Pasca Sarjana Magister Teknik Sipil, Magister Ilmu Hukum (tahun 2001), Magister Manajemen ( tahun

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang berjudul “Analisis Pengaruh Modal Sendiri Dan Modal Pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) Terhadap Pendapatan Pengusaha UMKM

Data-data berupa jenis kerusakan, gejala kerusakan, dan solusi pencegahan tersebut nantinya akan digunakan untuk menjawab pertanyaan yang menyangkut diagnosis hingga