• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Ciri dan Keunggulan Rusa Timor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Ciri dan Keunggulan Rusa Timor"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Ciri dan Keunggulan Rusa Timor

Rusa di Indonesia terdiri atas dua genus Cervus, yaitu rusa timor (Cervus timorensis) dan rusa sambar (Cervus unicolor) dan satu dari genus Axis, yaitu rusa bawean (Axis kuhlii) sebagai satwa endemik (asli) dan rusa totol (Axis axis) sebagai jenis eksotik yang didatangkan dari Srilangka dan India (Sudirman 1986). Selain itu ada satu jenis satwa lain yang seringkali dimasukkan ke dalam kelompok rusa, yaitu kijang (Muntiacus muntjak) yang juga termasuk dalam famili Cervidae (Drajat 1994).

Ciri-ciri rusa timor adalah kulit berwarna coklat kemerah-merahan, rusa jantan berwarna lebih gelap dan bulunya lebih kasar. Pada umumnya rusa betina berwarna coklat keabu-abuan sampai coklat gelap. Bobot badan rusa jantan dewasa antara 60 kg dan 100 kg, panjang badan berkisar 1,95–2,10 m, tinggi badan 1,00–1,10 m dan tinggi tumit 0,29–0,35 m. Panjang tengkorak jantan 0,320–0,350 m dan betina 0,290–0,320 m. Panjang ranggah jantan dapat mencapai 0,87 m dan ranggah bercabang sesuai dengan pertambahan umur. Drew et al. (1982) melaporkan ukuran tubuh betina lebih kecil, ramping, padat dengan ukuran kaki lebih kecil, sedangkan Syarif (1974) menyatakan rusa timor betina mempunyai ciri berbadan ramping dengan warna coklat keabu-abuan sampai coklat gelap, dengan bobot badan rata-rata 45-60 kg.

Rusa secara umum tergolong hewan poliestrus bermusim, yaitu dalam satu musim kawin dapat menunjukkan beberapa kali gejala estrus. Hanya dalam musim kawin, rusa betina bersedia untuk kawin. Pola kawin bermusim ini terutama dikenal pada rusa-rusa yang hidup pada lingkungan temperat atau sub tropis, karena aktivitas reproduksinya berkaitan erat dengan fotoperioditas. Untuk rusa-rusa asal daerah tropis, hasil penelitian awal menunjukkan aktivitas reproduksinya cenderung tidak berhubungan dengan keadaan fotoperioditas (Semiadi 1993; Wilson 1984), sehingga dapat dinyatakan tidak bermusim. Meskipun demikian, beberapa peneliti melaporkan rusa sebagai hewan yang mempunyai musim kawin. Untuk rusa timor di habitat alaminya di Indonesia gejala estrusnya terlihat antara bulan Juli sampai September. Rusa timor mempunyai daya adaptasi yang tinggi dan dapat hidup di

(2)

hutan-hutan yang lebat dan termasuk satwa liar yang aktif sepanjang hari. Umumnya hidup menyendiri (soliter), tetapi seringkali dijumpai dalam kelompok-kelompok yang terdiri atas jantan dewasa, betina dewasa, betina dan anak-anaknya. Rusa umumnya lebih menyukai hutan terbuka atau padang rumput dan hidup sampai ketinggian 2600 m di atas permukaan laut (der Zon 1979). Sebagai hewan herbivora, rusa timor dapat mengkonsumsi berbagai jenis hijauan; buah-buahan, singkong, kulit pisang, jagung dan berbagai jenis rumput.

Keunggulan hewan rusa sebagai satwa liar lebih mudah diternakkan dibandingkan dengan satwa liar lainnya. Menurut Badarina (1995), selain dapat diternakkan dalam kelompoknya, rusa dapat juga dipelihara bersama ternak kambing. Teknik beternak kambing ataupun domba, dapat juga digunakan untuk pemeliharaan ternak rusa. Rusa mudah beradaptasi, menyukai rumput dan hampir semua jenis daun-daunan. Dibandingkan dengan ternak ruminansia kecil lainnya, rusa lebih tahan terhadap kekurangan air dan daya tahan rusa terhadap penyakit sangat tinggi sehingga tingkat kematian sangat rendah.

Rusa sebagai ternak yang diharapkan mampu memproduksi daging dinilai dari perbandingan berat karkas dan berat hidup. Karkas pada rusa lebih tinggi yaitu sekitar 56–62 % dibanding dengan karkas sapi, yaitu sekitar 51–55 % dan domba sekitar 44–50 % (Anderson 1984; Haigh dan Hudson 1993 dalam Subekti 1995; Semiadi 1998b; Drew 1985; Sarwiyono 2000; dalam Nalley 2006). Selanjutnya dikatakan Semiadi dan Nugraha (2004) bahwa dari segi kandungan gizi, daging rusa timor tidak kalah kualitasnya dibandingkan dengan daging sapi, ayam dan itik (Tabel 1).

Tabel 1 Nilai nutrisi daging segar dan perbandingannya Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Kolesterol (mg/kg) Kalori/ 100 g Rusa timor Sapi Ayam Itik 24,5 18,3 18 18,3 0,33 18,9 9 19 0,2 0,9 1,1 1,3 74 95 90 70 545 217 129 - Sumber: Anonimous 2002 dalam Semiadi dan Nugraha 2004.

Selain keunggulan-keunggulan tersebut di atas, kelebihan yang tidak dimiliki pada ternak lain adalah kemampuan rusa menghasilkan ranggah velvet

(3)

(kulit halus pembungkus ranggah) pada awal pertumbuhannya. Ranggah velvet adalah ranggah muda yang masih diselimuti oleh kulit halus berbulu dan vaskuler yang fase pertumbuhannya belum memasuki fase klasifikasi (penulangan). Velvet ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi karena kegunaannya dalam bidang pengobatan tradisional. Fase ranggah velvet merupakan setengah dari fase pertumbuhan ranggah sebelum menjadi keras. Di Cina, velvet telah dimanfaatkan lebih dari 2000 tahun yang lalu untuk pengobatan. Satu batang (stick) velvet mempunyai fungsi yang berbeda antar bagiannya. Bagian atas velvet berguna untuk bahan pemacu pertumbuhan (promote growth), bagian tengah digunakan untuk pengobatan arthritis dan osteonyelitis, sedangkan bagian paling bawah digunakan untuk pengobatan defisiensi kalsium terutama pada orang dewasa (Anonimous 2001 dalam Nalley 2006).

Anatomi Organ Reproduksi Organ Reproduksi Rusa Jantan

Sebagaimana hewan mamalia pada umumnya, organ reproduksi jantan mempunyai fungsi utama dalam menghasilkan sel-sel kelamin jantan (spermatozoa) dan hormon kelamin jantan (testoteron). Steward (1983); Pramono (1988) dalam Nalley (2006) memberikan gambaran tentang anatomi rusa jantan, khususnya pada rusa merah. Anatomi organ reproduksi rusa jantan terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu: (1) organ reproduksi primer berupa gonad jantan yang disebut testis, orchid atau didimos, (2) organ kelamin pelengkap meliputi saluran-saluran kelamin yang terdiri dari epididymis, duktus vas deferens, ampula vas deferens dan urethra; kelenjar kelamin pelengkap (asesoris) meliputi; kelenjar prostat, kelenjar vesikularis dan kelenjar bulbouretralis (cowper) dan (3) organ kelamin luar sebagai alat kopulasi, yaitu penis dan skrotum sebagai pelindung testes.

Hasil penelitian Nalley (2006) memperlihatkan, bahwa ukuran organ reproduksi rusa timor jantan relatif hampir sama dengan ukuran organ reproduksi ternak domestik lainnya seperti domba dan kambing (Gambar 1). Perbedaan ukuran organ reproduksi terutama pada testesnya, biasanya berhubungan erat dengan produksi spermatozoa. Semakin besar ukuran testes diharapkan produksi

(4)

spermatozoa lebih tinggi. Kemiripan ukuran kelenjar kelamin pelengkap pada domba dan rusa timor juga berhubungan erat dengan volume semen yang dihasilkan pada umumnya sangat sedikit, karena fungsi dari kelenjar pelengkap adalah menghasilkan plasma semen (Toelihere 1985) dalam Nalley (2006). Perbedaan anatomis juga terlihat jelas pada organ reproduksi rusa jantan dengan tidak terdapatnya lengkungan huruf S (flexura sigmoidea) pada bagian corpus penis yang merupakan ciri khas ternak ruminansia pada umumnya. Haigh dan Hudson (1993) dalam Nalley (2006) juga melaporkan tidak ditemukannya lengkungan huruf S pada saluran reproduksi jantan khas dengan adanya siklus ranggah dan musim kawin.

Sumber: Nalley 2006.

Gambar 1 Organ reproduksi rusa timor jantan

Penis terdiri atas radix, corpus dan glans penis. Pada corpus penis ruminansia umumnya ditemukan lengkungan berbentuk huruf S sebagai ciri khas dari tipe penis fibroelastis (Hafez 1993). Pada rusa meskipun termasuk ruminansia, laporan yang ada menyimpulkan hal yang berbeda. Haigh (1993) melaporkan corpus penis rusa wapiti tidak memiliki flexura sigmoidea, sementara Geisert (2005) menyatakan pada rusa merah ditemukan adanya lengkungan huruf S tersebut.

(5)

Organ Reproduksi Rusa Betina

Secara umum anatomi organ reproduksi rusa betina mempunyai ukuran yang hampir sama dengan domba dan kambing, terdiri atas satu pasang gonad (ovarium), satu pasang tuba fallopii, satu pasang cornua uteri dan satu buah corpus uteri, serviks, vagina dan vulva (Gambar 2A). Panjang total organ reproduksi rusa timor mulai dari tuba fallopii sampai vulva antara 427,0 mm sampai 459,7 mm.

Dari hasil penelitian Nalley (2006), diperoleh berat rata-rata ovarium kanan 0,68±0,24 g, sedangkan ovarium bagian kiri mempunyai ukuran yang lebih berat yaitu 0,94±0,34 g. Data ini menunjukkan bahwa ovarium bagian kiri lebih aktif dibandingkan ovarium bagian kanan. Ovarium mempunyai fungsi utama sebagai penghasil sel-sel kelamin betina, yaitu ovum dan sebagai penghasil hormon-hormon kelamin betina adalah estrogen yang berfungsi menampakkan gejala estrus dan progesteron dengan fungsi utama memelihara kebuntingan. Saluran reproduksi betina dimulai dari vulva, vagina (alat kopulasi), serviks (tempat seleksi spermatozoa dan pelindung uterus dari pengaruh luar), uterus (tempat berkembangnya fetus) dan tuba fallopii (tempat terjadinya fertilisasi).

Tuba fallopii bagian kiri lebih panjang dibandingkan tuba fallopii bagian kanan. Panjang tuba fallopii rusa timor bagian kanan adalah 15,57±1,00 cm, sedangkan bagian kiri mempunyai panjang 16,67±2,48 cm. Saluran ini mempunyai peranan penting dalam reproduksi, yaitu sebagai tempat terjadinya kapasitasi spermatozoa, fertilisasi dan pembelahan embrio (Gambar 2A).

Uterus merupakan saluran reproduksi utama terbagi atas cornua, corpus dan serviks (Gambar 2A). Rataan panjang cornua bagian kanan adalah 11,10±0,53 cm, sedangkan bagian kiri 12,07±1,46 cm. Rataan panjang bagian corpus uteri pada rusa timor 1,40±0,20. Melihat gambaran dan ukuran corpus uteri dari rusa timor ini jika dibandingkan dengan ternak sapi, domba, babi dan kuda maka panjangnya mirip dengan uterus kuda dan termasuk dalam tipe uterus bipartitus (Gambar 5B). Serviks merupakan bagian leher uterus yang mengandung otot kunci dan terdiri atas beberapa cincin anuler (Gambar 2B). Serviks rusa timor mempunyai panjang 5,67±1,20 cm dengan diameter luar 1,08±0,10 cm dengan jumlah cincin anuler pada serviks terdapat 4–5 buah dan panjang vagina pada rusa timor adalah 18,2±0,85 cm (Gambar 2B).

(6)

Sumber; Nalley (2006). A B Gambar 2 Organ kelamin betina utuh: (A) ogan kelamin betina yang

dibuka pada daerah uterus dan serviks. (B) Ovarium (a), tuba Fallopii (b), uterus (c), cincin anuler pada serviks (d) dan vagina (e) rusa timor, bar = 1cm.

Pada rusa wapiti panjang cornua uteri 5-8 cm dengan corpus uteri kurang dari 3 cm. Panjang serviks 10-15 cm dengan diameter 1,5-5 cm. Pada rusa merah panjang cornua uteri dan corpus uteri sama dengan pada rusa wapiti, tetapi serviks rusa merah lebih pendek, yaitu 5-7 cm dengan diameter yang lebih besar (2,3 cm) dan jumlah cincin serviks yang ditemukan sama pada rusa wapiti maupun rusa merah yaitu 4-6 buah (Haigh et al. 1993) dalam Nalley (2006).

Pubertas

Pubertas pada betina ditetapkan sebagai keadaan saat pertama kali menunjukkan estrus disertai ovulasi. Umur betina pubertas mempunyai variasi yang lebih luas dari pada berat badan pada saat pubertas, ini berarti bahwa berat badan lebih berperan terhadap pemunculan pubertas dari pada umur. Hal ini ditunjang adanya teori yang dikenal sebagai target weight theory, yaitu seekor ternak akan mencapai pubertas atau aktivitas reproduksi dapat berlangsung secara normal jika telah mencapai berat badan tertentu. Pubertas pada rusa seperti pada ruminansia lainnya, lebih berhubungan dengan berat badan dari pada umur. Sebagai contoh, rusa betina dapat kawin dan bunting pada berat badan 55 sampai 59 kg. Pada rusa betina, pubertas dicapai pada umur 1,5 tahun(Semiadi 1998b), 15 sampai 18 bulan (Takandjandji 1997) dengan masa reproduksi aktif adalah sampai 12 tahun.

(7)

Pandangan praktis, bahwa baik betina maupun jantan telah mencapai pubertas apabila ternak telah mampu melepaskan sel kelamin atau gamet dan menampakkan tingkah laku seksual secara sempurna yang berlangsung berturut-turut. Gejala-gejala ingin kawin (libido) pada rusa timor jantan adalah jika rusa jantan dewasa selalu mengeluarkan suara dalam interval waktu tertentu terutama pada waktu pagi dan sore hari sambil berendam di lumpur dan terkadang terjadi juga pada malam hari. Berjalan dengan mulut mendatar, menegakkan kepala, berdiri tegak sambil mengarahkan mulutnya ke rusa betina yang estrus, mengikuti jejak rusa betina sambil membaui bekas urin yang dikeluarkan rusa betina tersebut. Guinness et al. (1971) dalam Nelley (2006) melaporkan hasil pengamatannya terhadap lebih dari 120 kejadian selama tiga tahun pada rusa merah, menunjukkan besarnya variasi kelakuan estrus secara individual yang memungkinkan untuk menggambarkan ciri-ciri utama kelakuan estrus rusa. Dikemukakan bahwa indikasi seekor rusa betina estrus ada!ah ketika terlihat ada rusa jantan yang mencoba mendekatinya pada jarak 10 sampai 15 meter dan mulai terlihat keduanya beristirahat bersama di tempat tertutup. Pejantan tampak melindungi betina tersebut dengan kelakuan makin agresif dan menunjukkan makin tinggi perhatiannya terhadap betina, menggosokan gigi dan ranggahnya. Kelakuan ini biasa berlangsung selama 12 jam sebelum betina mencapai puncak estrus. Sering terjadi perkelahian antar pejantan memperebutkan betina estrus.

Betina estrus juga menunjukkan tanda punggung tegak, telinga berdiri, kepala diangkat, mulut terbuka, vulva membengkak dan mengeluarkan cairan jernih dari vagina yang berbau khas, pantat dan kaki digerak-gerakkan ke depan dan ke belakang, selalu diikuti oleh pejantan sambil menjilat ekor dan mencium urin betina tersebut. Betina estrus juga sering memperlihatkan kelakuan berdiri di belakang betina lainnya sambil mencium ekornya. Jika ada dua ekor betina yang estrus bersamaan, kadang-kadang mereka saling menaiki. Selama masa estrus seekor rusa betina biasa dinaiki tiga sampai empat kali selamakurang lebih dua jam oleh seekor pejantan sebelum terjadi ejakulasi, bahkan kadang-kadang seekor rusa betina estrus bersedia menerima lebih dari satu pejantan. Seluruh kelakuan estrus itu berlangsung lebih dari 24 jam, bahkan pada kasus yang ekstrim mencapai empat hari.

(8)

Rusa timor mencapai pubertas pada umur tujuh sampai sembilan bulan dengan waktu awal bereproduksi secara optimal pada umur 16,5 bulan (17 sampai 18 bulan). Sedangkan rusa sambar mencapai umur pubertas sekitar delapan sampai sembilan bulan dan menjadi fertil pada umur 12 sampai 14 bulan. Rusa bawean mencapai pubertas pada umur 12 bulan bahkan ada yang mencapai 24 bulan. Sementara itu untuk jenis rusa luar negeri yaitu rusa merah, umur pubertas rusa jantan adalah 9 sampai 15 bulan dan menjadi fertil pada umur 16 bulan, sedangkan umur dewasa kelamin rusa betina lebih dari 16 bulan (Lincoln 1971; dalam Nalley 2006). Data umur pubertas jenis-jenis rusa di Indonesia masih sangat terbatas, sehingga masih memerlukan pengamatan yang lebih intensif.

Tingkah Laku Seksual

Tingkah laku seksual menurut Hafez (1993) adalah beberapa variasi pola tingkah laku dari percumbuan, daya tarik dan aktivitas motorik yang bertujuan untuk mendekatkan jantan dan betina sehingga terjadi perkawinan dan akhirnya menghasilkan keturunan. Sedangkan Keveme (1985) dalam Austin dan Short (1985) menyatakan bahwa pengertian tingkah laku reproduksi sudah semakin meluas tidak hanya fisiologik dan mekanisme endokrin, tetapi juga strategi dari ternak untuk melakukan perkawinan pada kondisi alamnya. Tingkah laku seksual tidak hanya menyangkut pada saat kopulasi dimana gamet jantan dideposisikan ke saluran reproduksi betina tetapi juga bagaimana membawa hewan jantan dan betina tersebut untuk bertemu, melakukan percumbuan serta menentukan perkawinan pada waktu yang optimal (Austin dan Short 1985).

Fenomena tingkah laku (behaviour) yang muncul akibat adanya rangsangan (stimulus) yang dapat berasal dari dalam atau dari luar tubuh (Austine 1985). Rangsangan dari dalam tubuh, berupa hormon yang dapat mempengaruhi tingkah laku seksual, sedangkan rangsangan dari luar dapat berupa rangsangan penciuman (olfactory), pendengaran (auditory), dan penglihatan (visual). Rangsangan olfactory pada jantan sebagai contoh adanya pheromon yang dilepaskan oleh betina yang estrus, akan menyebabkan hewan jantan untuk mendekati hewan betina (Becker et al. 1992).

(9)

Tingkah laku seksual pada jantan (libido) dapat dilihat dari keinginan kawin, sedangkan pada betina dikenal dengan gejala estrus baik dari perubahan alat kelamin dan tingkah laku estrus. Gejala estrus pada rusa timor betina telah diteliti oleh Nalley (2006), terdapat tujuh gejala estrus setelah pencabutan implan CIDR-G, yaitu: (1) tidak menolak saat didekati oleh keeper, (2) sering mengeluarkan suara, (3) gelisah, (4) vulva terlihat merah, agak bengkak dan basah, (5) tidak menolak jika punggung dipegang, (6) nafsu makan berkurang dan (7) tidak menolak pada saat vulva dipegang.

Siklus Estrus pada Betina

Siklus estrus adalah jarak waktu yang terletak diantara dua saat estrus yang berurutan pada ternak betina. Terdapat perbedaan panjang siklus antara rusa daerah tropis dan daerah temperat, di mana pada rusa daerah tropis cenderung lebih pendek dibandingkan dengan di daerah temperat (Semiadi 1995). Sampai saat ini informasi panjang siklus estrus untuk rusa-rusa di Indonesia masih terbatas, namun untuk beberapa jenis rusa di daerah remperat telah diketahui sangat bervariasi. Siklus estrus terpanjang dilaporkan pada rusa Alces alces dapat mencapai 25 sampai 30 hari (Semiadi 1995) (Tabel 2). Siklus estrus paling pendek 9 sampai 12 hari pada rusa Rein (Dott dan Utsi 1973; Pramono 1988 dalam Nalley 2006). Dari beberapa penelitian diketahui lama siklus estrus rusa merah adalah 18-19 hari (Jopson et al. 1990; dalam Nalley 2006), Dama dama 24,2±1,3 hari (Asher 1985). Ropstad et al. (1995) melaporkan rata-rata siklus estrus untuk rusa Rein semidomestik (Rangier tarandus tarandus) di Norwegia adalah 19,4 hari (13-33 hari). Rusa timor di Kaledonia Baru 68 % mempunyai panjang siklus estrus 16-18 hari dan 27 % selama 17 hari (Bianchi et al. 1994).

Dari data di bawah ini (Tabel 2), dapat dikemukakan bahwa lama siklus estrus rusa berkisar antara sembilan hari (siklus pendek) dan 26 hari (siklus panjang), bervariasi menurut jenis rusa, lingkungan maupun metode pengamatan yang dilakukan. Sedangkan Guiness et al. (1971) dalam Nalley (2006) mengemukakan, bahwa lama estrus rusa sering lebih dari 24 jam dan Fennesy et al. (1985) melaporkan lama estrus rusa 12 sampai 14 jam. Namun Rukman (1990) dalam pengamatan pada rusa bawean yang disuntik dengan

(10)

PGF2-alpha menunjukkan lama estrus mencapai lebih dari 24 jam. Perbedaan lama estrus antara rusa tropis dan rusa temperat cukup lebar (Semiadi 1995).

Pada rusa tropis panjang siklus estrus antara 10 hari dan 23 hari yang paling pendek pada rusa timor (10-18 hari) dan paling panjang pada rusa totol (12-23 hari) (Tabel 2) (Semiadi 1995).

Tabel 2 Lama estrus (jam) dan panjang siklus estrus (hari) pada beberapa rusa temperat dan tropis

Spesies Lama estrus

(jam) (hari) Panjang siklus estrus Temperat Alces alces - 25-30 Cervus elaphus 16-24 17,5-18,3 Odocoileus hemionus - 22-29 Odocoileus virginianus 37,5-42,3 28 Rangiferus taradus 50 24 Dama dama - 24-26 Tropis

Cervus eldi thamin 12-24 19

Axis axis - 12-23

Cervus timorensis 6-25; 48 10-18; 20-22

Cervus unicolor - 17

Sumber: Semiadi (1995). Periode Siklus Estrus

Periode siklus estrus, yaitu estrus, metestrus, diestrus dan proestrus yang berlangsug secara siklik dan berurutan. Kontrol reproduksi secara umum dan aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam satu siklus estrus khususnya pada ternak betina melibatkan sistem hormonal. Periode estrus ditetapkan sebagai periode waktu ternak betina mau menerima pejantan dan akan berdiri diam dinaiki. Toelihere (1995) menyatakan periode ini pada ternak betina menghasilkan sel telur yang hidup. Proses terjadinya estrus sangat erat kaitannya dengan sistem hormonal. Estrus dan siklus estrus merupakan suatu kejadian fisiologik pada hewan betina yang dimanifestasikan dengan memperlihatkan keinginan kawin. Hormon pada hewan betina selalu dihubungkan dengan ovulasi, pendekatan jantan, courtship dan terjadinya kopulasi. Partodihardjo (1992) menyatakan, bahwa estrus ternak ditandai sebagai periode dimana akan menerima dan diam untuk dikawini. Kejadian estrus dapat dijadikan dasar yang lebih baik dalam

(11)

menerangkan fisiologi kelamin dan dapat digunakan sebagai titik permulaan dari satu siklus estrus. Estrus pada betina merupakan fase yang sangat penting yang ditandai dengan terjadinya kopulasi. Ovulasi terjadi pada fase ini, CL (corpus Luteum) mulai terbentuk pada saat LH (Luteinizing Hormone) dari hipofisis anterior meningkat dan FSH (Follicle Stimulating Hormone) menurun. Apabila hewan betina menolak untuk kopulasi walaupun gejala-gejala estrus terlihat dengan jelas, maka penolakkan tersebut memberi pertanda bahwa hewan betina masih dalam fase proestrus atau fase estrus telah lewat.

Proses ovulasi merupakan suatu proses pelepasan sel telur dari folikel yang matang (de Graaf). Menurut Frandson (1992) akibat pecahnya dinding folikel maka cairan folikel dan ovum akan terlepas dan masuk ke dalam rongga peritonial di daerah infundibulum tuba fallopii. Ovum bersama sel-sel kumulusnya akan terlontar keluar bersama dengan cairan folikel. Ovulasi yang terjadi pada ternak betina merupakan kejadian siklik dengan waktu interval kejadian yang teratur kecuali ternak tersebut mengalami kebuntingan, anestrus (periode tidak bersiklus), induk pasca melahirkan dan ketidakseimbangan hormonal.

Metestrus adalah periode awal sejak berakhirnya estrus atau fase setelah ovulasi. Utamanya pada periode ini pembentukan CL (corpora lutea pada ternak multiovulator) (McDonald 1989). Corpus luteum dipertahankan oleh LTH (Luteotropic Hormone) atau prolaktin dari hipofisis anterior. Metestrus ditandai dengan terhentinya estrus dan rongga folikel segera berangsur mengecil dan pengeluaran lendir terhenti. Selama metestrus, epitel vagina melepaskan sebagian sel-sel barunya yang terbentuk (Salisbury dan Bagnara 1985; dalam Fathan 2006). Lamanya periode ini bergantung pada lamanya waktu hipofisis anterior mengsekresikan LTH (Elmer et al. 1981; dalam fathan 2006).

Diestrus merupakan periode dari siklus estrus yang ditandai terbentuknya CL yang berfungsi secara penuh atau periode terakhir dari siklus estrus. CL berkembang secara sempuna dan pengaruh progesteron tampak pada dinding uterus (Salisbury dan Bagnara 1985; dalam Fathan 2006). Perkembangan otot uterus dan ukuran kelenjar terus meningkat. Kelenjar uterus mensekresikan cairan

(12)

yang kental untuk ketersediaan makanan bagi zigot (McDonald 1989). Jika terjadi kebuntingan, fenomena ini akan diperpanjang selama kebuntingan dipertahankan oleh LTH yang disekresikan oleh plasenta.

Periode proestrus berawal ketika terjadi regresi corpus luteum dan kadar hormon progesteron turun dan berakhir sampai muncul estrus. Hal pokok yang terjadi dalam proestrus adalah berlangsungnya pertumbuhan folikel yang cepat. Akhir periode ini, dapat dilihat pengaruh hormon estrogen pada sistim saluran reproduksi dan tingkah laku gejala-gejala akan terjadinya estrus.

Sinkronisasi Estrus

Tujuan sinkronisasi estrus adalah untuk mendapatkan seluruh hewan yang diberikan perlakuan mencapai estrus dalam waktu yang diketahui dengan pasti, sehingga masing-masing hewan dapat diinseminasi dalam waktu yang bersamaan dan untuk menghasilkan angka kebuntingan yang lebih baik dibanding dengan kelompok yang tidak mendapat perlakuan yang dikawinkan secara alamiah maupun dengan IB. Keserentakan estrus dan ovulasi sedikitnya akan mempertinggi kemungkinan pertemuan sel telur dan spermatozoa dalam proses pembuahan untuk memulai pertumbuhan dan perkembangan individu baru. Prinsip sinkronisasi estrus secara fisiologik adalah hambatan pelepasan LH dari hipofisis anterior yang menghambat pematangan folikel de Graaf atau penyingkiran corpus luteum (CL) secara mekanik, manual atau secara fisiologik dengan pemberian preparat-preparat luteolitik. Toelihere (1985) mendefinisikan sinkronisasi estrus adalah suatu pengendalian siklus estrus yang dilakukan pada sekelompok ternak betina sehat dengan memanipulasi mekanisme hormonal, sehingga keserentakan estrus dan ovulasi dapat terjadi pada hari yang sama atau dalam kurun waktu dua atau tiga hari setelah perlakuan dilepas. Sedangkan Hafez (1993) menyatakan, bahwa sinkronisasi mengarah pada hambatan ovulasi dan penundaan aktivitas corpus luteum. Dengan demikian, maka IB dapat dilakukan secara serentak.

Penelitian tentang penggunaan hormon progesteron dalam kegiatan sinkronisasi estrus telah dilakukan dan lebih diarahkan pada penentuan program sinkronisasi yang berhasil pada ternak. Hormon progesteron seperti

(13)

Melangosterol Asetate (MGA), Controlled Internal Drug Release Bovine (CIDR-B), Progesteron Releasing Intravaginal Divice (PRID) dan Norgestomet Implant (Syncro-Mate B) tetah digunakan untuk kegiatan sinkronisasi estrus pada ternak. Implan progesteron (CIDR-G) yang digunakan pada ternak domba dan kambing, pemberiannya dapat dilakukan secara tunggal atau dikombinasikan dengan PMSG (Gordon 1999). Disamping penggunaan CIDR-G, PMSG juga sering digunakan setelah pemberian progesteron untuk menstimulir estrus dan ovulasi. Secara fisiologis PMSG sangat aktif menyebabkan pertumbuhan folikel dan sedikit luteinisasi (Toelihere 1985). Moore (1984) dan Alfuraiji et al. (1993) menyatakan bahwa keuntungan menggunaan PMSG untuk merangsang peningkatan pertumbuhan folikel preovulatoris adalah tersedia dalam jumlah yang besar dengan harga murah dan penggunaannya cukup hanya diberikan satu kali saja karena memiliki masa paruh yang panjang.

Improvisasi yang dapat dilakukan pada spesies cervidae adalah sinkronisasi estrus dengan menggunakan berbagai preparat hormon sintetik. Beberapa metode sinkronisasi estrus pada rusa betina yaitu dengan induksi progesteron. Dengan perlakuan ini masa hidup corpus luteum diperpanjang, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama antara 12–14 hari baru menunjukkan gejala estrus. Pada domba pemberian progesteron dapat dilakukan dengan metode spons dan implan intravaginal. Spons intravaginal mengandung 30-40 mg flurogestone acetate (FGA: clorolone) atau 60 mg medroxy progesterone acetate (MPA). Akan tetapi pemberian FGA atau MGA dengan metode intravaginal terhadap persentase kawin dan kelahiran serta jumlah anak yang dilahirkan pada ternak domba tidak memberikan pengaruh yang nyata (Gordon 1999).

Intensitas Estrus

Intensitas estrus adalah sebagai penentuan taraf aktivitas tingkah laku kawin yang muncul dan nampak dari luar selama proses estrus berlangsung akibat adanya perlakuan sinkronisasi terhadap rusa-rusa percobaan. Dalam manajemen ternak domestik yang telah dikembangkan, sinkronisasi estrus merupakan pendekatan yang paling logis untuk mengendalikan siklus estrus ternak dengan pemberian preparat hormon yang memacu pemunculan fisiologi semu, sehingga

(14)

pemunculan estrus dapat diperkirakan secara serentak dan sangat membantu dalam penerapan program inseminasi buatan (Hunter 1995).

Inseminasi buatan pada rusa, seperti juga pada ternak kambing dan domba sulit dilakukan dengan melihat siklus estrus alamiah. Untuk meningkatkan keberhasilan IB, harus disertai dengan pelaksanaan sinkronisasi estrus. Seperti pada ruminansia yang telah didomestikasikan, sinkronisasi dapat dilakukan dengan menstimulasi aktivitas corpus luteum (CL) dengan pemberian progesteron atau dengan memperpendek fase luteal pada siklus estrus dengan pemberian agen luteolisis (PGF2α atau analognya) (Asher dan Thompson 1989). Untuk beberapa spesies cervidae seperti fallow deer memungkinkan sinkronisasi estrus hanya satu kali selanjutnya dilakukan pengamatan estrus berikutnya tanpa pengulangan sinkronisasi.

Penggunaan CIDR-G sudah banyak diterapkan pada spesies rusa tanpa penambahan gonadotropin eksogen. Metode yang sederhana ini sangat mudah diterapkan pada spesies rusa dan ternak lain (Toelihere 1997). Implan CIDR-G pada fallow dan red deer umumnya dilakukan selama periode 12-14 hari, secara umum sangat efektif untuk merangsang terjadinya estrus yang sinkron dalam waktu 48 jam setelah pencabutan CIDR-G. Cara ini juga telah berhasil dilakukan dengan sukses pada chital deer, elk deer dan rusa sambar (Asher et al. 2000). Penggunaan CIDR-G pada beberapa penelitian dikombinasi dengan hormon lain untuk meningkatkan efeknya dalam menimbulkan estrus dan ovulasi. Kombinasi dengan hormon equnine chorionic gonadotropin (eCG) diberikan pada waktu atau mendekati waktu pencabutan CIDR-G (Asher et al. 2000; Argo et al. 1994),

dikombinasi dengan 300 IU PMSG pada hari pencabutan CIDR-G (Mylrea et al. 1992; Anonimous 1995; Jabbour et al. 1993), kombinasi dengan o-FSH atau cloprostenol (Asher et al. 1992).

Untuk ketepatan waktu inseminasi pada sekelompok rusa betina diperlukan adanya keserentakan estrus sehingga dapat diinseminasi pada waktu yang sama. Keserentakan estrus dapat dicapai dengan mudah dengan perlakuan standar intravaginal, yaitu dengan memasukan CIDR-G ke dalam vagina sekelompok rusa selama 12-14 hari. Setelah itu, CIDR-G yang ditanam pada

(15)

sekelompok rusa betina dicabut secara bersama-sama, kemudian dilanjutkan dengan pemberian PMSG yang disuntikkan secara intramuskuler untuk menjamin keberhasilan ovulasi dan penyuntikkan ini penting diberikan pada awal musim kawin. Selanjutnya betina diamati sampai terlihat estrus yaitu 36-40 jam setelah pencabutan implan CIDR-G dan akan berovulasi 52-56 jam setelah pencabutan implan CIDR (Anonimus 1995).

Intensitas estrus dengan katagori tinggi, sedang dan rendah dapat dibedakan dari respon gejala-gejala estrus yang ditampakkan dari rusa betina 48-60 jam setelah pencabutan implan CIDR-G. Makin tinggi intensitas estrus, makin besar peluang penentuan waktu optimum IB. Pemberian implan CIDR-G bertujuan untuk menekan aktivitas ovarium secara temporer. Metode ini didasarkan pada penemuan, bahwa menekan aktivitas folikuler melalui pencegahan pelepasan LH dari hipofisis anterior dengan memperpanjang atau mempertahankan fase corpus luteum sehingga ternak berada pada periode luteal (Tomaszewska 1991). Ada dua cara yang umum dipakai dalam penggunaan CIDR-G, yaitu metode pemberian jangka pendek dan jangka panjang. Kehadiran hormon progesteron dapat menimbulkan umpan balik negatif terhadap sekresi hormon lain terutama GnRH yang menghambat lonjakan sekresi LH. Konsekuensi dari mekanisme ini adalah tidak terjadi pematangan folikel serta ovulasi. Atas dasar mekanisme kerjanya, hormon ini kemudian digunakan sebagai salah satu preparat untuk memanipulasi aktivitas reproduksi pada ternak. Selama konsentrasi hormon masih tinggi di dalam sirkulasi darah, folikel dominan dari gelombang pertama dan kedua sulit mencapai folikel ovulatori. Hal ini disamping karena lonjakan sekresi LH yag sulit terjadi, juga disebabkan karena folikel-folikel menurun fertilitasnya.

Inseminasi Buatan

Inseminasi buatan (IB) telah berhasil dilaksanakan oleh Nalley (2006), namun secara umum standar patokkan IB belum ada. Metode IB dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu mendeposisikan semen pada vagina (intravaginal), cervix (intraservikal) dan uterus (intrauterin).

(16)

Hal yang masih berkaitan dengan IB pada rusa adalah penggunaan semen. Kriopreservasi semen dimaksudkan untuk mempertahankan daya hidup spermatozoa dalam waktu lama dan tidak terbatas. Semen didinginkan secara gradual sampai membeku dan disimpan dalam N2 cair dengan suhu -196 °C. Untuk mencegah kematian spermatozoa dalam keadaan beku, maka digunakan bahan pengawet krioprotektan (gliserol). Dilaporkan Hafez et al. (1993) bahwa kadar dan penambahan gliserol ke dalam bahan pengencer bervariasi bergantung pada jenis pengencer, metode pembekuan dan spesies ternak.

Penerapan teknologi IB pada rusa telah banyak dilaporkan dengan berbagai metode. Pada red deer dan elk deer dengan teknik IB laparoskopi intrauterin dengan dosis spermatozoa sebanyak 20 juta sel menunjukkan hasil cukup baik (Asher et al. 2000); pada rusa Axis-axis inseminasi intraservikal menghasikan angka konsepsi 40 % untuk semen cair dan 10 % semen beku (Mylrea 1992a); fallow deer IB menggunakan laparoskopi intrauterin menghasilkan 60–70 % kebuntingan baik dengan semen cair maupun semen beku (Asher et al. 1993). Hasil serupa juga dilaporkan oleh Drajat (1997) dengan IB secara intraservikal atau intrauterin menggunakan semen cair atau semen beku diperoleh angka konsepsi kurang dari 30 %.

Teknik laparoskopi intrauterin merupakan metode inseminasi yang paling dipercaya keakuratanya untuk rusa merah. Rusa betina yang sudah tenang dapat dilihat uterusnya melalui fiber optik laparoscope yang dimasukkan melalui dinding abdominal, semen disuntikkan langsung ke dalam uterus melalui pipet dan dimasukkan juga melalui dinding abdominal. Prosedur inseminasi cara ini memakan waktu selama 30 detik untuk setiap ekor rusa, total waktu yang dibutuhkan adalah 52–56 jam setelah pencabutan alat CIDR (Anonimus 1995).

Inseminasi intraservikal, dilakukan dengan menggunakan bantuan alat seperti spekulum atau vaginoskop untuk memudahkan melihat dan mengarahkan gun IB ke arah serviks. Cara ini juga biasa dilakukan pada ternak kambing dan domba, juga rusa (Drajat 2000). Pada rusa, inseminasi intraservikal ini dapat dilakukan dengan pembiusan tetapi kondisi rusa yang jinak tidak memerlukan pembiusan. Teknik transvaginal atau teknik intraservikal merupakan metode

(17)

inseminasi yang lebih sederhana untuk dilakukan tetapi tingkat keakuratannya lebih rendah (Anonimus 1995).

Diagnosa Kebuntingan

Beberapa metode diagnosa kebuntingan yang dapat digunakan seperti pengamatan gejala estrus pada siklus berikutnya, teknik USG dan pengukuran konsentrasi hormon reproduksi, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemeriksaan kebuntingan pada rusa dapat mengikuti metode pemeriksaan kebuntingan pada kambing dan domba dengan beberapa modifikasinya yaitu: (1) Teknik USG, merupakan pilihan utama pada kambing dan domba dan dapat mendeteksi 90 % keakuratan kebuntingan pada pertengahan masa kebuntingan, (2) Palpasi abdominal, (3) Teknik radiografi, dapat memeriksa kebuntingan setelah 90 hari IB, (4) Biopsi Vagina, 97 % akurat pada umur kebuntingan 40 hari pada kambing dan domba dan 5) Uji hormonal, konsentrasi progesteron pada rusa tidak bunting adalah rendah (kurang dari 1 ng/ml dengan satu corpus luteum).

Indikasi awal kebuntingan perlu dilakukan, walaupun bukan merupakan ukuran keberhasilan program inseminasi buatan. Diagnosa kebuntingan pada rusa dapat mengikuti metode pemeriksaan kebuntingan pada kambing dan domba dapat mendeteksi kebuntingan hingga 90 %. Teknik rektal USG untuk mendiagnosa kebuntingan dini pada rusa telah dilakukan pada rusa fallow (Mulley et al. 1987), pada rusa merah (Anonimous 1995) dan pada rusa totol (Mylrea et al. 1985) dengan tingkat keberhasilan yang cukup baik.

Keberhasilan inseminasi ditandai dengan terbentuknya embrio dalam saluran reproduksi hewan betina. Selama memasuki tahap perkembangan berikutnya yaitu fetus, bila hewan betina mampu mempertahankan kandungan selama masa kebuntingan yang normal disebut masa kebuntingan penuh. Masa kebuntingan atau lama kebuntingan sangat bervariasi antar spesies. Pada spesies rusa selama masa kebuntingan rusa betina cenderung lebih soliter dan menarik diri dari kelompoknya.

(18)

Tabel 3 Lama kebuntingan dan calving interval pada rusa tropis dan rusa temperat

Spesies Lama bunting (hari)

Calving interval

(hari) Penulis

Rusa tropik

Axis axis 238–242 281–285 Mylrea 1991

Cervus timorensis 215–225 - Bentley 1978

Cervus timorensis 217–277 359–372 Van Mourik 1986

Cervus timorensis 248–258 280–400 Woodfoord & Dunning 1992

Cervus timorensis 253 271–281 Woodford 1991

Cervus timorensis 236–262 - Mylrea 1991

Cervus unicolor 240 - Bentley 1978

Rusa temperate

Cervus elaphus 231 - Clutton – Brock et al. 1982

Sumber : Semiadi (1995).

Lama kebuntingan rusa timor sekitar 250 sampai 285 hari, delapan bulan (rusa bawean) dan tujuh bulan (rusa sambar). Hasil pengamatan pada rusa timor di kandang penangkaran, lama kebuntingan diketahui sekitar delapan bulan, dengan perhitungan perkawinan terjadi pada pertengahan Agustus dan kelahiran terjadi pada awal April tahun berikutnya. Sedangkan lama kebuntingan antara rusa tropis dan temperat menunjukkan adanya kesamaan tetapi calving intervalnya bervariasi antara rusa tropis dan rusa temperat sebagaimana terlihat pada tabel 3. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan musim pada daerah temperat akibat adanya musim kawin yang dipengaruhi oleh fotoperioditas (Semiadi 1995).

Gelombang Ultrasonik

Gelombang ultrasonik memiliki sifat sebagai berikut; (1) merambat sama seperti sifat cahaya, (2) permeabilitas (tembus air) bergantung pada materi yang terkena gelombang ultrasonik, (3) melemah dan memantulkan, (4) susah merambat pada gas atau uap air, (5) mudah merambat pada benda padat atau cair dan (6) tulang walaupun benda padat dan keras sangat susah untuk merambatkan gelombang.

Pemeriksaan dengan menggunakan gelombang ultrasonik terhadap organ dalam hewan bergantung pada kuat lemahnya gelombang ultrasonik yang dipantulkan dan perbedaan waktu memantulkan (refleksi) dapat dilihat pada layar. Istilah lain gelombang ultrasonik disebut juga pemeriksaan echo (echo

(19)

eksperimen). Curies dari Paris (1880) dalam Manual USG (Aloka SSB 500 1998), orang yang pertama kali menggunakan pemeriksaan dengan gelombang ultrasonik. Dengan pemeriksaan echo dapat dilihat kondisi fetus yang ada di dalam uterus yang sedang bunting. Pemeriksan echo bergantung pada tempat yang diperiksa, misalnya pada pemeriksaan echo pada bagian perut, jantung, kelenjar gondok, kelenjar susu (kwartir), bagian kebidanan dapat diperiksa. Bentuk gelombang ultrasonik dan probe yang digunakan pada masing-masing pemeriksaan tersebut sedikit berbeda bergantung pada obyek yang diperiksanya. Probe merupakan alat mesin seukuran tangan untuk mengeluarkan echo pada bagian yang dikenakan langsung pada bagian tubuh, ovari dan uterus.

Kelebihan penggunaan gelombang ultrasonik tidak terasa sakit dan tidak berbahaya. Gelombang ultrasonik yang digunakan pada pemeriksaan echo sinar X (rontgent) tidak berbahaya pada bagian tubuh yang lain. Informasi hasil pemeriksaan yang ingin diketahui lebih banyak. Pemeriksaan dapat dilakukan kapan saja dan selain teknisi dapat juga diperlihatkan pada pihak ketiga atau orang lain. Untuk pemeriksaan secara rektal perlu pengalaman dan kecermatan dan umumnya diameter corpus luteum dan folikel yang diperiksa dengan palpasi rektal apabila dibandingkan pemeriksaan dengan gelombang ultrasonik hasil pemeriksaan dengan palpasi tidak akurat. Pada pemeriksaan kebuntingan pemeriksaan rektal dengan gelombang ultrasonik menjadi lebih cepat dan pemeriksaan jenis kelamin dan kembar dapat dilakukan.

Kelemahan penggunaan alat gelombang ultrasonik, yaitu perlu tenaga listrik (untuk pemeriksaan di lapangan), harganya mahal dan perlu perhatian khusus, apabila digunakan di luar ruangan (lapangan) serta perlu kecermatan dan kebiasaan dalam pemeriksaan. Selain itu, frekuensi dapat terjadi perubahan bergantung pada kondisi tubuh. Pada tubuh individu hewan yang diperiksa apabila kondisi tubuh gemuk, jalannya gelombang ultrasonik kurang baik dan sering tidak terlihat. Teknik USG yang dipergunakan pada manusia telah diterapkan pada ternak babi dengan hasil cukup memuaskan, tetapi alat ini cukup mahal dan pelaksanaannya kurang praktis (Manan 1987).

(20)

Pemeriksaan dengan Probe

Cara pemeriksaan alat gelombang ultrasonik dipusatkan pada pengamatan ovari dan pemeriksaan kebuntingan yang menjadi garapan pada bidang reproduksi dan pemeriksaan ini, frekuensi yang digunakan masing-masing probe berbeda (3,5 MHz - 7,5 MHz) (Gambar 3).

Linier type Convex type

A B Gambar 3 Model sistem refleksi pulsa (probe)

Alat tersebut di atas digunakan dengan berbagai model, tetapi yang diperlukan dalam bidang reproduksi adalah model sistem B refleksi pulsa. Alat ini dari refleksi atau pantulan obyek yang diperiksa dengan simbol listrik dari echo dapat dibedakan sebagai brightness tube brown. Model penayangan yang berhubungan dengan gambar layar menggunakan sistem scanning linear elektronik. Dalam hal ini pengamatan dinamis pada obyek pemeriksaan dapat dilakukan. Scanning permeriksaan atau analisa gambar yang ditayangkan satu per satu dan gambar yang sudah dianalisa satu per satu dapat disusun kernbali. Biasanya dilakukan secara linear dan hasilnya dapat diinformasikan atau disebar luaskan, bahkan diperlihatkan melalui layar televisi, faksimil dan sebagainya. Pada waktu pemeriksaan di layar, obyek pemeriksaan artifact gambaran yang keliru dapat dilihat.

Pemeriksaan pada Organ Reproduksi Betina

Pada pemeriksaan reproduksi pada sapi dengan tangan masuk ke dalam rektum adalah hal yang biasa, tetapi apabila pengamatan utamanya posisi uterus dan ovari diperlukan kemahiran. Pada pemeriksaan dengan probe dapat juga dilakukan melalui vagina dan pemeriksaan gelombang ultrasonik digunakan untuk mengetahui perubahan morfologi ovari secara periodik, yaitu untuk mengetahui

(21)

pertumbuhan folikel, ovulasi dan corpus luteum. Kemudian perubahan morfologis bentuk uterus, lapisan urat darah dan kondisi perkembangan cairan sekresi yang ada di dalam rongga uterus dapat dilihat dengan jelas pada layar. Menurut Jainudeen (1994) dalam Adil (1996), bahwa obyek pemeriksaan uterus bunting (umur 45 hari) pada kambing yang perlu diperhatikan dengan menggunaaan USG adalah adanya plasentum, cairan amnion dan alantois, bagian fetus seperti kepala, tulang rusuk, tulang belakang, anggota badan dan jantung.

Pemeriksaan Ovarium

Masa estrus, yaitu penayangan posisi kumparan ovarium dengan probe biasa, dapat dilihat berbentuk elips dengan diameter minimal 3 cm. Jaringan lingkarannya dapat dilihat dengan jelas dari kualitas dasar dan tingkatan echo. Pada masa estrus gambar ovarium yang berdiameter kurang lebih 1,5-2,5 cm dengan echo free dapat diperiksa. Urat darah disekitar ovarium pada gambar lapisan atau tingkatan yang sama, bengkak pada selaput diantara saluran fallopii dapat ditayangkan atau dilihat. Masa estrus akhir, yaitu ovarium yang tumbuh dengan diameter 2,5 cm dapat dilihat pada masa estrus, apabila pemeriksaan ovulasi pada hari-hari berikutnya tidak dapat diamati. Oleh karena perubahan bentuk ovarium secara jelas, pengumpulan darah dan cairan folikel pada rongga folikel dapat ditayangkan oleh echo free atau brightness echo pada kondisi cystic follicle bentuk datar yang dapat dibedakan dengan kualitas dasar ovarium.

Masa fase luteal, yaitu corpus luteum yang baru dibentuk dari peredaran darah yang sehat, dapat ditayangkan dengan tingkatan echo yang rendah dan

mudah membedakannya, terutama untuk corpus luteum dari masa estrus 7 sampai 15 hari, orang yang baru belajar pun dapat mengetahuinya dengan jelas

dan pemeriksaan cystic corpus luteum yang mengumpulkan cairan pada rongga corpus luteum pun mudah diperiksa dan besarnya selaput berbeda-beda. Masa awal estrus, yaitu pengecilan (regresi) corpus luteum pada penurunan jumlah aliran darah tingkatan cahaya echo menurun dan menjadi sulit dibedakan dengan kualitas dasar ovarium, tetapi pertumbuhan folikel yang berdampingan dapat

dengan jelas diperiksa walaupun tampak menayangkan corpus luteum yang regresi.

(22)

Pemeriksaan Uterus

Masa estrus dengan penayangan melintang probe, bagian uterine horn mulai dari bagian luar perimetrium, otot uterus, lapisan urat darah, uterine mucous membran yang berbentuk bulat dapat dilihat. Pengaruh pemberian hormon pada masa estrus, myometrium, perimetrium, dan endometrium dapat dilihat. Pada masa akhir estrus sama dengan masa estrus, cairan sekresi yang ada di bagian dalam selaput uterus mudah terlihat. Fase luteal adalah masa superioritas, dimana cairan sekresi uterine lumen tidak dapat dipastikan seperti biasa karena pelebaran dan permeabilitas urat darah yang ada pada endometrium menurun, endometrium dan lapisan otot/urat susah dibedakan serta lapisan urat darah juga sulit diperiksa.

Diagnosa kebuntingan untuk melihat gambaran kantung fetus 17 hari setelah IB, lumen uterus sekitar 1 cm di bagian tanduk uterus sebelah corpus luteum dapat diperiksa dengan teknik USG. Pada pemeriksaan hari ke-20 kantung fetus dapat diperiksa, tetapi pemeriksaan janin dapat diperiksa pada hari ke-27 setelah IB dan 30 hari setelah IB, rongga amnion, karunkula dapat diperiksa. Apabila dalam pemeriksaan untuk mendiagnosa kebuntingan kurang yakin, sebaiknya pemeriksaan dapat dilakukan sekali lagi (diulang) atau lebih baik menggunakan daftar pemeriksaaan. Pemeriksaan kembar dan membedakan jenis kelamin dapat juga dilakukan tetapi diperlukan ketelitian. Manan (1987) melaporkan bahwa teknik USG yang dipakai untuk pemeriksaan kebuntingan mempunyai prinsip adanya gelombang darah jantung dan darah pembuluh umbilikalis fetus dan teknik ini mencapai derajat ketelitian 97 % pada kebuntingan 35–55 hari.

Metabolit Hormon Progesteron

Progesteron merupakan hormon steroid yang menentukan peranan penting dalam persiapan dan pemeliharaan kebuntingan. Hormon ini disintesa dari kolesterol melalui pregnenolone, kemudian dengan cepat dimetabolisme menjadi pregnanediol yang sebagian besar di hati. Ovari dan plasenta merupakan produksi utama hormon tersebut, tetapi sebagian kecil juga disintesis dari cortex adrenal. Menurut Hansen dan Liu (1996), menyatakan bahwa progesteron merupakan hormon yang dihasilkan oleh CL, plasenta dan kelenjar adrenal.

(23)

Setelah disekresikan dari organ endokrin, sebagian besar hormon akan berada di dalam pembuluh darah dalam keadaan terikat dengan protein dan sisanya merupakan hormon yang bebas. Didalam proses metabolismenya, hormon akan dikonjugasikan dengan glukuronida atau sulfat di hati dan diekskresikan di urin. Sejumlah tertentu hormon tersebut disekresikan ke dalam empedu dan diserap kembali ke dalam sirkulasi melalui sirkulasi enterohepatik dan selanjutnya diekskresikan melalui feses. Selain melalui urin dan feses, jalur ekskresi lain dari hormon adalah air susu dan saliva O’Malley and Strott (1999) dalam Maheswari (2006).

Hormon progesteron rendah selama fase folikuler meningkat dengan cepat sejak fase luteal dalam siklus ovulasi dan mencapai puncak LH 5 sampai10 hari setelah pertengahan siklus. Jika terjadi kebuntingan penolakkan yang tajam terjadi pada level folikuler sekitar empat hari sebelum periode ovulasi. Pola ini adalah suatu pengukuran penggunaan progesteron yang terbentuk secara baik sebagai sampel dan metode yang dapat dipercaya untuk proses pendeteksian ovulasi. Menurut laporan yang berkembang, bahwa dalam fase luteal level progesteron harian dapat diukur secara akurat untuk mendokumentasikan fase luteal detektif. Akan tetapi beberapa pengamat telah menemukan, bahwa tiga sampel atau bahkan satu sampel dari fase luteal, jika diukur waktunya dengan baik dapat memberikan informasi yang dapat dipercaya. Pengukuran progesteron juga telah digunakan untuk mengecek keefektifan induksi ovulasi untuk memonitoring, tetapi pergantian hormon progesteron untuk mendeteksi dan mengevaluasi pada beberapa minggu awal kebutingan resiko terjadinya abortus. Sebaliknya walaupun level progesteron meningkat selama masa kebuntingan, tetapi bukan suatu cara yang cocok untuk memonitoring fetus yang terbentuk selama umur kebuntingan pada trimester ketiga.

Adanya hormon yang diekskresikan dapat dimanfaatkan, terutama bagi satwa liar termasuk rusa, yaitu dengan mengoleksi feses untuk pengujian merupakan metode yang praktis. Pengujian metabolit hormon reproduksi berlaku pada setiap spesies hewan. Dengan metode validasi pada rusa White tailed, Kapke et al. (1999) mencoba mengumpulkan sampel feses dari rusa betina yang telah diinjeksi estradiol, progesteron atau kontrol substansi dengan menggunakan

(24)

Blowgun. Dari hasil analisa radioimmunoassay (RIA) dengan estradiol dan pregnanediol menunjukkan feses metabolit dari estrogen dan progestin lebih banyak dibandingkan dengan estron atau progesteron. Rata-rata puncak ekskresi estradiol dan pregnanediol terjadi antara 12 jam dan 24 jam injeksi. Waktu ovulasi diperkirakan dengan mengukur frekuensi terjadinya delapan pola tingkah laku, termasuk kopulasi. Profil estradiol, estron, progesteron dan pregnanediol dari tiga ekor rusa disatukan menggunakan RIA selama estrus dan awal kebuntingan. Pregnanediol diekskresi pada konsentrasi kurang lebih 1000 kali lebih tinggi dibandingkan dengan metabolit tiga feses steroid lainnya, sedangkan untuk prenanediol menunjukkan perbedaan konsentrasi selama estrus, fase luteal dan awal kebuntingan. Enzyme immunoassay sederhana digunakan untuk mengukur tingkat pregnanediol selama estrus dan awal kebuntingan pada tujuh ekor rusa. Pengukuran feses pregnanediol sangat berguna untuk monitoring reproduksi pada rusa betina White tailed, (Kapke et al. 1999).

Berdasarkan data hasil pengamatan tingkah laku rusa, Pereira et al. (2006) telah melakukan monitoring kebuntingan dan siklus estrus terhadap rusa tangkapan brown brocket (Mazama qouazoubira) melalui pengukuran progestagen feses dengan menggunakan enzyme immunoassay (EIA). Tingkah laku estrus berhubungan dengan rendahnya konsentrasi progestagen dari feses. Hasil uji EIA menghasilkan rata-rata siklus estrus 24,7±1,2 hari dari tiga ekor rusa bunting (masa kebuntingan 208-215 hari), (Pereira et al. 2006). Sementara Takahashi et al. (2002) melaporkan hasil penelitian pada feses sika doe (Cervus nippon centralis)) yang diukur dengan Time Resolved Fluoroimmunoassay (TR-FIA). Feses progesteron yang diekstraksi dengan dietileter sebanyak dua kali adalah 60 %. Kurva TR-FIA dari variasi dosis feses ekstrak (0,156-5 mg feses) hampir paralel dengan baku pembandingnya. Kandungan feses progesteron berkaitan dengan kandungan progesteron yang terdapat dalam plasma (r=0,829, n=16), tetapi jumlah progesteron dalam feses 100 kali lebih tinggi dari pada dalam plasma. Jumlah progesteron dari feses secara periodik berubah selama musim kawin yang menggambarkan siklus estrus pada rusa. Jumlah feses progesteron paling tinggi terjadi pada saat estrus dan menurun setelah estrus. Waktu antara onset estrus dengan jumlah terendah feses progesteron adalah satu sampai dua hari yang menunjukkan waktu yang dibutuhkan

(25)

untuk metabolisme di hati dan usus. Jumlah feses progesteron juga menurun pada saat pembukaan vagina. Pembukaan vagina terjadi selama beberapa hari yang menggambarkan singkatnya fase luteal, tetapi tidak semua penurunan jumlah progesteron feses disebabkan oleh estrus atau pembukaan vagina. Jumlah progesteron feses terus meningkat pada masa kebuntingan dibandingkan pada siklus estrus. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengukuran progesteron feses adalah metode yang berguna untuk analisa non invasif fungsi luteal pada rusa. TR-FIA dirancang untuk pasien rumah sakit manusia, tetapi ternyata dengan sedikit dimodifikasi dapat juga digunakan untuk rusa, (Takahashi et al. 2002).

Berikutnya analisa feses steroid untuk diagnosa kebuntingan diuji pada rusa sika (Cervus nippon) yang dilakukan oleh Hamasaki et al. (2001), bahwa pada pertengahan dan akhir periode kebuntingan, konsentrasi progesteron feses meningkat secara signifikan pada rusa betina bunting dibandingkan pada rusa betina yang tidak bunting. Sedangkan penelitian terbaru yang dilakukan oleh Garrott et al. (1998), menunjukkan bahwa dengan immunoassay feses steroid dapat digunakan untuk diagnosa kebuntingan pada kijang. Untuk mendapatkan hasil yang akurat dicoba membuat koleksi sampel untuk mendiagnosa kebuntingan, yaitu

dengan mengumpulkan 153 feses secara acak dari kijang betina dewasa di Yellowstore National Park (Wyoming, USA) dan dari kijang tangkapan di

Starkey Research Facility (La Grande, Oregon, USA) dari bulan Februari sampai April tahun 1992 dan 1997. Status kebuntingan setiap kijang didiagnosa menggunakan serum pregnancy-specific protein B (PSPB) yang terdiri dari 38 sampel kijang yang tidak bunting dan 115 sampel kijang bunting. Hasil uji radio immunoassay (RIA), menunjukkan bahwa rata-rata kurang lebih 50 progestagen (P4) meningkat secara signifikan pada kijang yang bunting (2,96±1,49 µ/g) dibandingkan dengan kijang yang tidak bunting (0,43±0,26 µ/g). Interval kepercayaan (1,96±SE) untuk kedua grup sangat berbeda (tidak buntig 0,34-0,51 µ/g dan bunting 2,69-3,24 µ/g) dengan rentang konsentrasi yang terukur

dari setiap grup adalah 0,09-0,98 (tidak bunting) dan 0,90-8,29 (bunting). Hasil tersebut menunjukkan bahwa feses progesteron RIA merupakan metode yang handal untuk diagnosa kebuntingan non invasif, tetapi validasi independen harus dilakukan sebelum diaplikasikan untuk kegiatan rutin (Garrott et al. 1998).

(26)

Selain analisa metabolit hormon progesteron untuk membantu pendiagnosaan kebuntingan, juga pengujian konsentrasi estradiol dapat dilakukan. Konsentrasi estradiol pada rusa betina bunting dengan satu dan tiga buah corpora lutea dan pada rusa betina yang tidak bunting tidak berbeda. Pada rusa betina bunting pada bulan Juni di awal penelitian, konsentrasi estradiol terus menurun dan mencapai nilai terendah pada umur kebuntingan 160 sampai 190 hari, pada

bulan November dengan konsentrasi estradiol hanya 5-10 pg/ml (Kelly et al. 1982). Selanjutnya konsentrasi estradiol meningkat secara bertahap

dan signifikan dan mencapai konsentrasi tertinggi 35,0 pg/ml menjelang partus. Sementara itu betina yang tidak bunting menunjukkan perubahan yang sama, konsentrasi estradiol tetap menurun sampai bulan Januari dan kemudian meningkat secara gradual hingga mencapai 12 pg/ml hingga awal bulan Februari.

Gambar

Tabel 1  Nilai nutrisi daging segar dan perbandingannya   Protein  (%)  Lemak (%)  Abu (%)  Kolesterol (mg/kg)  Kalori/ 100 g  Rusa timor  Sapi  Ayam  Itik  24,5 18,3 18 18,3  0,33 18,9 9 19  0,2 0,9 1,1 1,3  74 95 90 70  545 217 129 -
Gambar 1  Organ reproduksi rusa timor jantan
Gambar 2 Organ kelamin betina utuh: (A) ogan kelamin betina yang  dibuka pada daerah uterus dan serviks
Tabel 2  Lama estrus (jam) dan panjang siklus estrus (hari) pada   beberapa rusa temperat dan tropis
+2

Referensi

Dokumen terkait