• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS AKHIR. Dibuat oleh :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TUGAS AKHIR. Dibuat oleh :"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS AKHIR

Dibuat oleh :

Nama : BALTRA AGUSTI PRAMAJURI Nim : 11.12.5706

Program Studi Jurusan : S1 Sistem Informasi

Nama Dosen : Drs. Muhammad Idris Purwanto, M.M

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

(2)

REKAYASA KASUS ANTASARI AZHAR

1. Latar Belakang Masalah

Mencermati kasus Antasari dengan kembali mencuat setelah Komisi Yudisial pada 13 April menemukan indikasi pelanggaran profesionalitas hakim yang menangani persidangan Antasari Azhar. Seperti diketahui, Komisi Yudisial mengungkapkan adanya indikasi pelanggaran profesionalisme dari majlis hakim perkara Antasari, mulai dari tingkat pertama sampai kasasi dengan mengabaikan beberapa bukti kunci dalam perkara tersebut.

Bukti yang dimaksud yakni adanya pengabaian keterangan ahli balistik dan forensik, serta pengabaian bukti berupa baju korban Nasruddin Zulkarnain yang tidak pernah dihadirkan dalam persidangan. Selain itu Setelah mempelajari pengaduan pengacara Antasari. KY mensinyalir ada sejumlah bukti-bukti penting yang justru tidak dihadirkan hakim. Bukti penting yang diabaikan itu seperti bukti dan keterangan ahli terkait senjata dan peluru yang digunakan dan pengiriman SMS dari HP Antasari.

Menurut versi Maqdir Ismail, penasihat hukum Antasari, mengatakan kejanggalan itu ditemukan selama proses persidangan di tingkat pertama,, baik di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan maupun PN Tanggerang.

2. Rumusan Masalah

Awal dalam pengangkatan kasus ini setelah Komisi Yudisial mengungkapkan adanya indikasi pelanggaran profesionalisme dari majlis hakim perkara Antasari, mulai dari tingkat pertama sampai kasasi dengan mengabaikan beberapa bukti kunci dalam perkara tersebut.

Penasihat hukum Antasari, mengatakan kejanggalan itu ditemukan selama proses persidangan di tingkat pertama, baik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan maupun PN Tanggerang. dan perbuatan majelis hakim yang telah mengabaikan fakta-fakta dalam persidangan membuat pihak pengacara antasari yakin dalam kasus yang dialami Antasari Azhar ini telah direkayasa sehingga kasus antasari ini perlu diusut ulang karena kalau tidak dapat menimbulkan kerugian bagi Antasari Azhar sebagai tersangka dalam kasus ini.

(3)

3. Pendekatan a. Historis

Pernyataan Komnas HAM akan melakukan uji dokumen dan memeriksa

faktapersidangan membuka peluang membongkar dugaan adanya rekayasa yang ditujukan untuk mantan Ketua KPK Antasari Azhar.

Uji dokumen dan memeriksa fakta persidangan yang dilakukan Komnas HAM terkait kesaksian pakar hukum pidana, praktisi hukum dan praktisi HAM. Sikap Jaksa Agung Basrief Arief yang mempersilakan upaya itu memberi pengungkapan kebenaran kasusn pembunuhan tersebut terbuka lebar.

Tentu saja rekomendasi Komnas HAM sebagai hasil uji dokumen dan fakta persidangan tersebut akan dijadikan pertimbangan sesuai dengan kebutuhan dalam proses hukum termasuk dalam upaya peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. peninjauan kembali akan melahirkan keadilan dan terungkapnya kebenaran bagi Antasari Azhar, dan semua pihak yang dianggap tersangkut dengan kasus pembunuhanberencana terhadap almarhum Nasrudin.

Ketidakbenaran adanya skenario yang dibuat kejaksaan dan polisi untukmengkriminalisasi Antasari Azhar, kuasa hukum Antasari menyerahkan sepenuhnya pada sejarah yang akan membuktikannya. Meskipun dalam persidangan hal tersebut telah diungkapkan oleh Kombes Wiliardi Wizar.

b. Sosiologis

Sebagian masyarakat beranggapan bahwa Antasari Azhar hanyalah korban dari kospirasi politik yang berusaha menghambat kinerja KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia. Sebagian lagi beranggapan bahwa kasus yang menimpa Antasari Azhar adalah akibat yang bersangkutan tidak bersikap kooperatif terhadap para anggota DPR dimana banyak anggota DPR yang dijerat oleh KPK sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Nuansa politik dan rekayasa dianggap lebih kental pada kasus yang menimpa Antasari Azhar. Guna membuktikan opini masyarakat terhadap kasus yang menimpa Antasari Azhar tersebut.

(4)

c. Yuridis

Dalam melaksanakan pembangunan hukum, satu hal penting yang harus diperhatikan adalah, bahwa hukum harus dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang di dalamnya terdapat elemen kelembagaan, elemen materi hukum, dan elemen budaya hukum. Hukum Nasional adalah kesatuan hukum yang dibangun untuk mencapai tujuan Negara yang bersumber dari falsafah dan konstitusi negara, di dalam kedua hal itulah terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum negara Indonesia. Semua diskursus tentang hukum nasional yang hendak dibangun, haruslah merujuk kepada keduanya, dengan demikian upaya reformasi hukum, akan sangat tergantung kepada reformasi konstitusi. Bila konstitusi yang dibangun masih memberi peluang bagi lahirnya sebuah otoritarianisme, maka tidaklah akan lahir sebuah hukum nasional yang demokratis. Reformasi konstitusi yang telah berlangsung, melalui beberapa kali amandemen UUD 1945, membawa perubahan yang sangat besar, terhadap hukum nasional. Perubahan tersebut, telah mengarahkan kepada cita-cita negara hukum, sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi konstitusional. Amandemen tersebut, juga telah menegaskan secara eksplisit bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut bermakna pula. pertama, pengakuan prinsip supremasi hukum dan konstitusi. kedua, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. ketiga, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia, keempat, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak, yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, dan kelima jaminan keadilan bagi setiap orang, termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum. Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah. Dalam negara hukum, hukum ditempatkan sebagai aturan main dalam penyelenggaraan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan, sementara tujuan hukum itu sendiri antara lain diletakkan untuk menata masyarakat yang damai adil dan bermakna. Artinya sasaran dari negara hukum adalah terciptanya kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan yang bertumpu pada keadilan, kedamaian, dan kemanfaatan atau kebermaknaan. Dalam negara hukum, eksistensi hukum dijadikan sebagai instrumen dalam menata kehidupan kenegaraan,

(5)

Pemerintahan, dan kemasyarakatan atau yang disebut sebagai politik. Politik adalah Segala kegiatan pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya. Antara politik dengan hukum memiliki keterkaitan yang sangat erat, hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Memperhatikan perkembangan sistem hukum Indonesia, akan terlihat adanya keterpurukan dimana unsur politik sangat kuat mencampuri urusan hukum, banyak kasus-kasus hukum yang menimpa pejabat diselesaikan dengan jalur hukum, dan banyak pula pejabat yang dijerat hukum akibat konspirasi politik.

(6)

4. Pembahasan

1. Kekuasaan Kehakiman

Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok- Pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa pada hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas badan-badan penegak hukum dan keadilan tersebut baik buruknya tergantung pada manusia-manusia pelaksananya incasu para Hakim. Lebih lanjut di dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa, “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.

Penjelasan mengenai ayat ini merupakan penegasan agar Pengadilan dapat menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya, yakni memberikan keputusan yang semata-mata berdasarkan kebenaran, keadilan, dan kejujuran, maka tidak dapat dibenarkan adanya tekanan-tekanan atau pengaruh-pengaruh dari luar yang akan menyebabkan para Hakim tidak bebas lagi dalam mengambil keputusan yang adil.

Menurut judicial process (Henry J Abraham), dalam mengadili perkara, hakim memegang otoritas untuk menilai, menerima, atau menolak suatu bukti dan fakta persidangan. Namun, penilaian, penerimaan, atau penolakan itu harus obyektif dan berdasarkan asas hukum, ketentuan hukum, dan nurani keadilan agar dapat dicerna secara jelas dan terang terkait dengan pendirian hakim yang mengadili suatu fakta dan bukti persidangan.

Laporan Tim Pengacara Antasari berkaitan dengan dugaan adanya rekayasa dalam proses Peradilan Perkara mantan ketua KPK Antasari Azhar sempat mengundang polemik, dan berkembang issue bahwa Mafia Hukum secara sistematis sedang berusaha untuk melakukan pembusukan terhadap KPK.

Munculnya KPK sebagai lembaga Ad Hock dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya memunculkan ketegangan antara penegak hukum yang lain (kepolisian dan kejaksaan) yang dianggap bobrok secara system sehingga rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia terutama supremasi hukum dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (ekstra ordinary crime).

(7)

Mengenai Kebebasan dan kewenangan Hakim dalam mengadili suatu perkara, dipertegas dengan pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD yang berkomentar sebagai berikut : “Apabila ada indikasi kuat seorang hakim melanggar kode etik dan profesionalitas, saya kira mau tidak mau hakim itu harus bersedia dan diizinkan untuk diperiksa oleh KY," katanya, Selasa (19/4). Namun ia menegaskan bahwa jika hakim tidak memasukan satu fakta dalam pertimbangan hal itu tidak menjadi masalah karena sudah menjadi kewenangan hakim. Pertimbangan suatu bukti oleh hakim pun tergantung signifikansinya.

“Nah, kalau alasan tidak mempertimbangkan karena tidak professional, kolusi itu yang harus dihukum," tukas Mahfud. Untuk itu, Mahfud meminta publik untuk tidak curiga kepada KY. Masalah terbukti atau tidak, tambahnya, hal itu merupakan tanggung jawab KY. “Jadi hakim juga tidak usah perlu takut dan Mahkamah Agung tidak perlu gengsi," tegasnya.

2. Asas Praduga Tidak Bersalah dan Pembuktian.

Berpangkal tolak pada Asas ‘PRADUGA TAK BERSALAH’ maka berdasarkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah dirubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 menjelaskan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”

Berkaitan dengan perkara ini, sesuai dengan tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan suatu kebenaran materiel, suatu kebenaran yang selengkap-l engkapnya dari suatu perkara pidana. Hal tersebut dipertegas dengan adanya Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman yaitu “Tujuan dari hukum adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiel, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tidak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”

(8)

Merupakan penyimpangan dari Pasal 14 Ayat (3) huruf g Kovensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights(Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), yang menyebutkan :“Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah.” (Non Self I ncrimination). Bertentangan dengan Pasal 66 KUHAP : “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Pasal 66 KUHAP jika ditafsirkan secara a contrario, bahwa penuntut umum lah yang dibebani untuk membuktikan perbuatan Terdakwa bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan.

Selama proses persidangan di Pengadilan Negeri inilah polemic tersebut terjadi. Menurut Penasihat Hukum Antasari, bahwa Majelis Hakim telah mengabaikan beberapa bukti yang sangat berpotensi menguntungkan bagi Antasari. Bahkan, beberapa bukti seakan dihilangkan atau ditutupi agar tidak terungkap di pengadilan. Beberapa proses hukum yang janggal menurut Penasehat hukum Antasari adalah sebagai berikut : a. Terkait penyitaan celana jins

Terkait barang bukti berupa celana jins milik Nasrudin dan anak peluru, penyidik tak menyita baju korban. Pemeriksaan forensik dilakukan hanya terhadap anak peluru, tetapi tidak terhadap mobil Nasrudin. Bahkan Pakaian yang digunakan oleh korban telah dimusnahkan padahal termasuk dalam barang bukti.

b. Terkait luka tembak

Berdasarkan hasil visum, peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri, sementara peluru kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri. Diameter kedua anak peluru tersebut sembilan milimeter dengan ulir ke kanan.

"Hal ini menjadi ganjil kalau dihubungkan dengan fakta, bahwa bekas peluru pada kaca mobil almarhum yang hampir sejajar dan tidak ada bekas peluru dari belakang. Dalam kesaksian Suparmin, almarhum roboh ke kanan," kata Maqdir melalui email kepada Kompas.com, Selasa ( 25/4/2011 ).

(9)

c. Terkait barang bukti senjata api.

Berdasarkan keterangan Dr Abdul Mun'im Idries, peluru di kepala korban berdiameter 9 mm dan berasal dari senjata yang baik. Namun, keterangan ahli senjata Roy Harianto, bukti yang ditunjukkan adalah jenis Revolver 038 spesial dan kondisi senjata rusak lantaran salah satu silindernya macet.

Keterangan penjual senjata, Teguh Minarto, senjata ditemukan terapung dekat asrama Polri di Aceh sesudah tsunami. Dan “Menurut ahli senjata, menembak dengan satu tangan dari kendaraan dan sasaran bergerak terlalu sulit untuk amatir. Penembakan seperti itu bisa dilakukan setelah latihan dengan 3000-4000 peluru,” lanjut dia. d. Terkait Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri

Ada ketidakjelasan kepentingan dan hubungan Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri saat bersaksi mengenai pesan singkat atau SMS bernada ancaman kepada Nasrudin. Keduanya menyebut dalam SMS tertulis nama Antasari.

Menurut Maqdir, keterangan kedua saksi itu rekaan dan hasil pemikiran. Selain itu, tambah Maqdir, ada 205 SMS ke nomor ponsel milik Nasrudin yang tidak jelas pengirimnya. Kemudian ada 35 SMS ke nomor ponsel milik Antasari yang juga tidak jelas sumbernya.

Ada satu SMS yang dikirim dan diterima oleh HP Antasari dan lima SMS yang diterima dan dikirim ke HP Sigid Haryo Wibisono yang menurut Dr. Agung Harsoyo Ahli Informasi Teknologi (IT) dari Fakultas Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) menduga, pengiriman SMS ini dilakukan melalui web server.

Dia juga menyatakan, tidak ada SMS dari HP Antasari kepada Nasrudin. Namun sebaliknya ada 4 kali sms dari Nasrudin ke Antasari yang tidak satu kalipun dibalas oleh Antasari. Ia memaparkan, chip telepon genggam Nasrudin yang berisi SMS ancaman itu rusak dan ternyata tidak bisa dibuka.

e. Pengakuan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo

Pengakuan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo diperiksa dengan cara dianiaya di luar lingkungan Polda Metro Jaya. Sementara itu, Rani mengaku diperiksa di hotel, restoran, dan apartemen.

(10)

f. Pemeriksaan penyidik

Hakim mengizinkan pemeriksaan penyidik di persidangan setelah Wiliardi mencabut pengakuan adanya keterlibatan Antasari dalam pembunuhan Nasrudin

Apabila dikaitkan dengan sistem hukum Indonesia yang menganut system Pembuktian menurut Undang-undang secara Negatif, maka menurut Dr. H. Syaiful Bakhri, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum Pembuktian Dalam Praktek Peradilan Pidana diterbitkan atas kerja sama Pusat Kajian dan Pengambangan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. 2009. halaman 42 menyebutkan “Sistem ini adalah mendasarkan pada system pembuktian menurut Undang-undang secara positif dan system pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction in time). System pembuktian ini adalah suatu keseimbangan antara kedua system yang bertolak belakang secara ekstrim. Pembuktian menurut undang-undang secara negative menggabungkan secara terpadu, dengan rumusan yang dikenal “Bersalah atau tidaknya terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara menilai alat-alat bukti yang syah menurut Undang-undang”. Bertitik tolak pandangan tersebut maka dapat diketahui, bahwa pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang syah menurut Undang-undang. Keyakinan hakim harus juga didasarkan atas cara dan dengan alat bukti yang syah. Sehingga terjadi keterpaduan unsure subjektif dan objektif dalam menentukan kesalahan terdakwa dan tidak terjadi dominasi antar keduanya.”

Mencermati penjelasan Dr. H Syaiful Bakhri, betapa pentingnya alat bukti sebagai pertimbangan Hakim dalam memperoleh keyakinan akan bersalah atau tidaknya Terdakwa. Maka menjadi sangat keliru apabila benar di dalam proses persidangan kasus Antasari Azhar Majelis Hakim mengesampingkan bukti, terutama bukti yang meringankan Terdakwa.

3. Komisi Yudisial Sebagai Kontrol Dalam Proses Peradilan

Kontrol social dapat dilakukan oleh masyarakat (social control by society) maupun oleh Negara (social control by government). Kontrol oleh masyarakat melalui kaidah social non formal sementara oleh Negara dilakukan melalui kaidah social bersifat formal. Kenyataannya sering terjadi kondisi-kondisi nonconformity, sehingga kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kekuasaan negara tidak sesuai harapan yang ada. Social Control maksudnya supaya semua orang punya perilaku sesuai harapan yang

(11)

menimbulkan komformitas social yaitu pola perilaku yang sesuai dengan norma sehingga tercapai tujuan diberlakukannya suatu kaidah sosial.

Sebagai lembaga negara, Kontrol terhadap lingkup peradilan dan Hakim pada khususnya berada di tangan lembaga Komisi Yudisial (KY). Maka sudah sewajarnya jika KY merasa terpanggil untuk mendorong terciptanya peradilan Indonesia yang merdeka dan bebas korupsi, sesuai kewenangan konstitusionalnya yang diatur dalam Pasal 24B Ayat (1) Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU KY No 22 Tahun 2004. Namun, pelaksanaan kewenangan konstitusional tersebut tidak mudah, sebab bertabrakan bahkan tumpang tindih dengan kewenangan MA sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang bersifat independen dari campur tangan pihak mana pun, sebagaimana diatur Pasal 24 Ayat (1) dan (2) UUD 1945. Masalahnya, konsepsi kewenangan tersebut secara legal-akademis bersifat multitafsir sehingga belum ada kesamaan persepsi antara KY dan MA. Ketidakpastian lingkup kewenangan kedua lembaga tersebut sejatinya harus diselesaikan secara normatif agar ada kepastian hukum. Tragisnya, UU KY No 22 Tahun 2004 pun tidak secara jelas, tegas, dan limitatif mendefinisikan apa yang dimaksud dengan konsepsi yuridis ”perilaku hakim” dalam rangka menegakkan ”kehormatan” dan ”keluhuran martabat” yang dimaksud Pasal 13 huruf b jo Pasal 20 UU No 22 Tahun 2004.

(12)

5. Kesimpulan

Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa sistem pengawasan dalam setiap kekuasaan adalah sangat penting. Berkaitan dengan proses upaya hukum yang dilakukan oleh Tim Pengacara Antasari Azhar, adalah suatu terobosan hukum yang patut di acungi jempol. Harapan untuk menemukan suatu bukti baru dengan melaporkan dugaan rekayasa dalam proses peradilan kepada Komisi Yudisial, sehingga dapat diajukan dalam proses upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali)

Quad Noun, kemudian terbukti bahwa dalam proses peradilan Antasari dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung (Kasasi) telah terjadi suatu tindak rekayasa, dan keputusan itu dapat dijadikan sebagai bukti baru (novum) maka, hal tersebut adalah suatu preseden yang baik. Tidak menutup kemungkinan akan banyak masyarakat yang pernah berurusan dengan meja persidangan dan kecewa dengan proses persidangan akan melakukan hal yang sama. Semoga, hal tersebut dapat membuka dan memperbaiki system peradilan di Indonesia dari keterpurukan rasa ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan Indonesia.

6. Referensi

• http://sosiologihuku.blogspot.com/2011/08/analisis-mengenai-kasus-hukum- antasari.html

• http://jelita249.blogspot.com/2011/09/proses-hukum-terhadap-antasari-azhar.html • http://id.wikipedia.org/

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu upaya untuk menangani permasalahan permukiman kumuh tersebut adalah melalui peremajaan kota yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan,

Maka dari itu kami berusaha untuk mencari ide agar roti tersebut tidak dibuang, lalu setelah kami mendapatkan ide untuk membuat roti tersebut dapat membuahkan hasil

Tujuan Penelitian Mengetahui apakah pemberian Ekstrak Etanol Biji Pepaya (EEBP) dapat menurunkan kadar trigliserida pada tikus Wistar jantan yang diinduksi

Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang mempunyai sikuen yang identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada ujung 5’-fosfat,

Dalam hal ini mengadakan audiensi kepada manajemen atau pegawai akuntansi di Bank Muamalat Indonesia yang bisa memberikan informasi mengenai perlakuan dan pelaporan

Gambar 3 menunjukkan bahwa pada berbagai klasifikasi umur, lebih dari 50% responden menyatakan suka pada produk nugget ayam yang dikonsumsi tetapi pada rentang usia 56 – 61 tahun,

thermophilus. Starter bakteri dadih berasal dari banyak jenis namun terbanyak dari Lactobacillus plantarum. Dengan diupayakan penggabungan starter bakteri ini, diharapkan diperoleh

Menurut penelitian dari (Ahmad, Lapian, Soegoto, Sam, & Manado, 2016) menyatakan bahwa green marketing berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap