• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kewirausahaan Pada Mahasiswa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kewirausahaan Pada Mahasiswa"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

2002, NO. 2, 89 - 111

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI

DENGAN KEWIRAUSAHAAN

PADA MAHASISWA

Ahmad Ifham Avin F. Helmi Universitas Gadjah Mada

ABSTRACTS

Bomer Pasaribu (CLDS, 2002), predicted that educated unemployee in Indonesia is 40 million by December 2002. One solution to decrease educated unemployee is being an entrepreneur. Chandra says that a person can be an entrepreneur if he have an optimum emotional intelligence.

The research examines there is a positive relationship between emotional intelligence and intrapreneurship at college students. Intrapreneurship at college students is when college students organization use the talents of their creative members to develop innovative products and services for the organizations. Very simple put, intrapreneurhip at college students is entrepreneurship practiced by people within established organizations. The research subject is college students.

Data is collected by using scale scale A is Emotional Intelligence Scale according to Patton, Cooper, and Sawaf Theory (2000), consists of (1) emotional literacy, (2) emotional fitness, (3) emotional depth, and (4) emotional alchemy. Scale B is Entrepreneurship Scale according to Peter Ferdinand Drucker (1985), consists of (1) able to see a business chance, (2) have a self confidence and able to behave good to their own and environment, (3) leadership behavior, (4) have inisiative, creativity, and innovation, (5) able to be a hard worker, (6) have a wide vision and good optimism, (7) dare to take a calculated risk, (8) have a sensitivity of critic and comment.

The results shows that correlation coefficient level (r) concluded from the two variables is 0,632 with significance level (p) = 0,000 (p < 0,01), so the research hypothesis can be accepted. Emotional Intelligence gives 39,9% effective contribution for Entrepreneurship at college students.

(2)

Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia telah banyak menyentuh semua sisi kehidupan masyarakat dari lapisan atas hingga ke lapisan bawah. Banyak sekali masyarakat yang sudah kesulitan untuk mendapatkan penghasilan untuk digunakan sebagai biaya hidup sehari-hari. Kesulitan tersebut dikarenakan mereka sudah tidak punya lahan lagi untuk berusaha baik itu karena di-PHK atau usaha yang biasanya diandalkan mengalami kebangkrutan seba-gai imbas dari krisis ekonomi yang melanda. Keadaan itu semakin diperparah karena kurangnya kemampuan untuk membuka lahan usaha baru yang lebih prospektif dan mampu digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari (Hidayat, 2000).

Sejak pertengahan 1998, terjadi pening-katan yang cukup signifikan pada jumlah pengangguran karena tutupnya perusahaan-perusahaan di Indonesia. Lembaga kajian ketenagakerjaan CLDS (Center of Labor and Development Studies) memperkirakan

bahwa angka pengangguran akan terus meningkat 1 juta sampai 2,5 juta per tahun selama 2002-2004. Untuk tahun 2002, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 3,3 persen, angka pengangguran diperkirakan akan mencapai jumlah 42 juta orang. Lebih memprihatinkan lagi, terjadinya pembeng-kakan pengangguran terdidik lulusan perguruan tinggi, yakni dari 1,8 juta orang di tahun 2001 menjadi 1,9 juta pada tahun 2002; 2,41 juta pada tahun 2003, dan mencapai 2,56 juta pada tahun 2004 (Pasaribu, 2002).

Sementara itu, pemerintah sudah tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan

bagi para sarjana tersebut. Pemikiran yang kreatif dan inovatif dari para sarjana harus lebih banyak dikembangkan guna menciptakan lapangan pekerjaan baru. Sampai pada saat ini dunia wirausaha belum merupakan sebuah lapangan yang diminati dan dinanti bagi para sarjana yang sedang putus asa mencari pekerjaan. Pada dasarnya dunia wirausaha merupakan pilihan yang cukup rasional dalam situasi dan kondisi yang tidak mampu diandalkan, tetapi kelihataannya terdapat sebuah persepsi yang memunculksn image yang

buruk pada dunia wirausaha. Image buruk

ini sebenarnya berupa keyakinan-keya-kinan subjektif yang tidak mengandung kebenaran objektif. Berdasar kerangka pemikiran Banfe (1991), prasangka buruk ini disebut sebagai mitos, dan mitos ini harus segera dihilangkan.

Menurut Baumassepe (2001), sangat masuk akal bagi mahasiswa (dengan atribut-atribut yang dimilikinya) untuk berpola pikir sebagai seorang wirausa-hawan. Saatnya mahasiswa kembali ditantang untuk menjadi agent of change di

bidang ekonomi maupun di berbagai bidang kehidupan yang lain, misalnya dengan ikut dalam kegiatan kemahasiswaan di dalam maupun di luar kampus yang bersifat non profit atau sosial. Tinggal bagaimana mahasiswa mempersiapkan bekal untuk maju ke medan perang tersebut.

Kewirausahaan merupakan alternatif pilihan yang paling tepat bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensinya. Kewirausahaan mahasiswa pada penelitian ini adalah kewirausahaan mahasiswa di dalam organisasi kemahasiswaan ( intrapre-neurship). Sebenarnya mahasiswa telah

(3)

wirausaha. Perilaku kewirausahaan ini bisa dilihat dari kegiatan wirausaha mahasiswa baik di luar maupun kewirausahaan di dalam organisasi (intrapreneurship).

Mahasiswa juga telah melakukan perilaku kewirausahaan sesuai dengan ciri-ciri dan sifat seorang wirausahawan. Di dalam organisasi maupun dalam melaksanakan kegiatan kemahasiswaan, mahasiswa telah membuktikan diri sebagai seorang wirausaha, misalnya saat dia harus memutuskan sesuatu untuk kegiatannya, mengadakan kegiatan seminar atau

workshop, memutuskan untuk mendirikan

unit kegiatan tertentu, tentunya dengan segala resiko yang harus ditanggungnya. Hal ini senada dengan pendapat Baumassepe (2001) bahwa mahasiswa mempunyai sifat rela berkorban dan berani mengambil resiko terhadap cita-cita yang diperjuangkannya. Dan terakhir adalah berpengetahuan dan berpandangan luas. Jelas mahasiswa adalah golongan intelektual, karena lahir dari tempat-tempat yang menjadi sumber pengetahuan (perguruan tinggi). Dengan bekal penge-tahuan dan ilmu yang dimiliki setidaknya menjadi embrio untuk lahir menjadi seorang wirausahaan sejati.

Di sisi lain, Chandra (2001) menyata-kan bahwa wirausahawan perlu mengem-bangkan kecerdasan emosi sehingga wirausahawan akan mampu melihat peluang usaha yang ada di sekitarnya. Wirausahawan yang cerdas emosinya tentunya juga memiliki intuisi yang tajam. Wirausahawan dapat menangkap sesuatu yang tidak dilihat orang lain. Walaupun data tidak lengkap, ia biasanya dapat mengambil konklusi yang tepat.

Sebagai wirausahawan, mahasiswa juga harus merupakan orang yang action

oriented, bukan no action, dream only

dalam kondisi apapun sehingga diperlukan kesanggupan berpikir secara detil terhadap hal-hal penting. Bila kemudian muncul resiko, dia siap menanggung resiko apapun atas aktivitasnya, namun secepat itu pula, dia akan berbenah diri dan melangkah maju untuk lebih baik (Chandra, 2001). Tentu, perilaku kewirausahaan yang telah dilakukan oleh mahasiswa dalam berbagai kegiatannya membutuhkan kecerdasan emosi yang optimal.

Dari berbagai pendapat dan studi pendahuluan yang penulis kutip tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosi sangatlah penting dan berpengaruh besar pada terwujudnya kewirausahaan mahasiswa pada organisasi kemahasiswaan (intrapreneurship),

sehingga penulis meneliti apakah ada hubungan positif antara kecerdasan emosi dan kewirausahaan pada mahasiswa. Hubungan yang positif berarti bahwa semakin tinggi tingkat kecerdasan emosi mahasiswa, maka semakin tinggi pula tingkat kewirausahaannya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat kecerdasan emosi mahasiswa, maka semakin rendah pula tingkat kewirausahaannya.

KEWIRAUSAHAAN

Drucker (1985) mengartikan kewirau-sahaan sebagai semangat, kemampuan, sikap, perilaku individu dalam menangani usaha/kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi, dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Untuk memperoleh keuntungan diperlukan kreativitas dan penemuan

(4)

hal-hal baru. Kewirausahaan adalah proses yang mempunyai resiko tinggi untuk menghasilkan nilai tambah produk yang bermanfaat bagi masyarakat dan menda-tangkan kemakmuran bagi wirausahawan.

Intrapreneurship adalah ketika suatu

organisasi/perusahaan menggunakan kemampuan/bakat anggota (karyawannya) yang kreatif untuk mengembangkan produk inovatif dan servisnya untuk organisasi/ perusahaan. Intrapreneurship adalah entrepreneurship dalam organisasi.

Ciri-ciri Tingkah Laku, Karakteristik, dan Sifat Seorang Wirausaha

Suhadi (1985) mengemukakan karak-teristik wirausaha ialah percaya pada kemampuan diri sendiri, mampu mengha-dapi persoalan dengan baik, berpandangan luas jauh ke depan, mempunyai keuletan mental, lincah dalam berusaha, berupaya mengembangkan sayap, berani mengambil resiko, berguru kepada pengalaman.

Ada beberapa sifat-sifat penting seorang wirausaha sebagaimana dikemuka-kan oleh Bygrave (1994), yaitu:

a. Dream (mimpi), yakni memiliki visi

masa depan dan kemampuan mencapai visi tersebut.

b. Decisiveness (ketegasan), yakni tidak

menangguhkan waktu dan membuat keputusan dengan cepat.

c. Doers (pelaku), yakni melaksanakan

secepat mungkin.

d. Determination (ketetapan hati), yakni

komitmen total, pantang menyerah. e. Dedication (dedikasi), yakni

berdedi-kasi total, tidak kenal lelah.

f. Devotion (kesetiaan), yakni mencintai

apa yang dikerjakan.

g. Details (terperinci), yakni menguasai

rincian yang bersifat kritis.

h. Destiny (nasib), yakni bertanggung

jawab atas nasib sendiri yang hendak dicapainya.

i. Dollars (uang), yakni kaya bukan

motivator utama, uang lebih berarti sebagai ukuran sukses.

j.

Distributif (distribusi), yakni

mendistri-busikan kepemilikan usahanya kepada karyawan kunci yang merupakan faktor penting bagi kesuksesan usahanya. Pada penelitian ini, peneliti menggu-nakan ciri perilaku yang merupakan aspek kewirausahaan yang dikemukakan oleh Drucker (1985), yaitu:

a. Mampu mengindera peluang usaha, yakni kemampuan melihat dan meman-faatkan peluang untuk mengadakan langkah-langkah perubahan menuju masa depan yang lebih baik.

b. Memiliki rasa percaya diri dan mampu bersikap positif terhadap diri dan lingkungannya, yakni berkeyakinan bahwa usaha yang dikelolanya akan berhasil.

c. Berperilaku memimpin, yaitu mampu mengarahkan, menggerakkan orang lain, dan bertanggungjawab untuk meningkatkan usaha.

d. Memiliki inisiatif, kreatif, dan inovatif, yaitu mempunyai prakarsa untuk menciptakan produk/metode baru yang lebih baik mutu atau jumlahnya, agar mampu bersaing.

e. Mampu bekerja keras, yaitu bekerja penuh energik, tekun, tabah melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan tanpa mengenal putus asa.

(5)

f. Berpandangan luas dengan visi ke depan yang baik, yaitu berorientasi ke masa depan dan dapat memperkirakan hal-hal yang dapat terjadi sehingga langkah yang diambil sudah dapat diperhitungkan.

g. Berani mengambil resiko yang diperhi-tungkan, yaitu suka pada tantangan dan berani mengambil resiko walau dalam situasi dan kondisi yang tidak menentu. Resiko yang dipilih tentunya dengan perhitungan yang matang.

h.

Tanggap terhadap saran dan kritik, yaitu peduli dan peka terhadap kritik sebagai dorongan untuk berbuat lebih baik.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Kewirausahaan

Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas kewirausahaan, yaitu faktor dari dalam individu dan faktor dari luar individu. Faktor dari dalam individu dapat dipilahkan pula menjadi dua, yaitu faktor fisik dan faktor psikis. Faktor fisik mempunyai peranan penting, terutama taraf kesehatan fisik. Taraf kesehatan fisik ini menentukan prestasi kerja, karena dalam bekerja terdapat aktivitas yang harus ditunjang oleh fisik yang sehat dan prima (As’ad, 1982).

Faktor psikis mempunyai peran andil yang besar dalam menentukan prestasi kerja individu. Salah satu faktor yang sering diteliti adalah kepribadian. Mills dan Bohannon (dalam Pranantyo, 1985) mem-buktikan bahwa karakteristik kepribadian individu akan mempengaruhi prestasi kerjanya. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa selain itu, faktor inisiatif minat, sikap positif, serta aspirasi terhadap pekerjaan

juga mempengaruhi prestasi kerja individu. Masih banyak lagi faktor psikis yang mempengaruhi prestasi kerja, namun tidak penulis jelaskan semuanya. Selain faktor dari dalam individu tidak kurang penting-nya pula adalah faktor dari luar individu (eksternal). Faktor dari luar ini meliputi lingkungan fisik, lingkungan sosial, fasilitas kerja, latihan dan pengembangan, pendidikan, dan pengalaman kerja.

Proses Entrepreneurship

Proses kewirausahaan tidaklah seseder-hana dan semudah yang digambarkan dalam definisi. Tantangan terbesar adalah pada tahap memulai yaitu mendirikan usaha dan menjaga keberlangsungan hidupnya pada tiga tahun pertama (Banfe, 1991). Pada masa ini, semua yang indah-indah yang melekat dalam gambaran wirausaha yang sukses belum lagi diraih. Proses pendirian menuntut kepercayaan diri yang tinggi dan determinasi diri yang kuat. Tekanan sosial psikologis pada tahap ini juga sangat besar. Semua itu memerlukan kematangan pribadi pada wirausaha, agar mampu melewati saat-saat kritis ini dengan baik (Hidayat, 2000).

Proses kewirausahaan selanjutnya juga tidak kalah beratnya. Tantangan persaingan dan perubahan pada masyarakat senantiasa menghantui kelancaran usaha. Menurut Hidayat (2000), hal itu menciptakan berbagai tekanan psikologis yang berat, terus menuntut wirausaha untuk mampu menghadapinya dengan baik. Kemampuan dalam membangun jaringan, berkomu-nikasi dan meyakinkan orang lain, kecermatan dalam membaca peluang usaha adalah di antara kapasitas-kapasitas pribadi yang dibutuhkan dari si wirausaha. Motif berprestasi yang tinggi dan determinasi diri

(6)

yang disertai kemampuan komunikasi dan kemampuan interpersonal lainnya, serta kemampuan manajerial sangat memegang peranan pada tahap ini. Tahap ini terasa lebih mudah daripada tahap sebelumnya, karena wirausaha mulai mendapatkan

feedback dalam bentuk income dan

peneri-maan masyarakat yang memadai. Semakin besar feedback yang didapatkan,semakin

kuat kecenderungan individu untuk terus mengelola, mengembangkan dan melem-bagakan usahanya.

Proses Intrapreneurship

Proses intrapreneurship ini meliputi

proses inovator mengajukan ide untuk dipertimbangkan atau diperhatikan, dilanjutkan dengan mengembangkan ide untuk membuat produk-produk baru (Bradfuller.com, 2002). Proses ini meliputi: 1) Kreativitas dan inovasi

Kreativitas dan inovasi kadang diper-tentangkan di antara keduanya. Beberapa orang menyatakan bahwa keduanya adalah sinonim, tapi kenyataannya memang beda. Kreativitas proses individu dan mengacu pada penurunan ide-ide baru. Ide dapat muncul kapan saja. Kadang muncul pada saat yang tidak terduga, misalnya sebelum tidur atau pada saat mandi. Hal ini terjadi karena (a) fenomena ini merupakan permasalahan atau pengetahuan yang tidak diketahui pada waktu sebelumnya, (b) biasanya muncul saat kondisi tubuh rileks, (c) kondisi ini merupakan status yang berbeda dari kesadaran (bradfuller.com, 2002).

2) Penguasaan inovasi

Dalam sebuah organisasi terdapat 2 proses strategi simultan yang berbeda, strategi awal disusun oleh manajemen senior yang dinamakan induced strategy,

dan konsep yang lebih mengacu pada kewirausahaan disebut sebagai autonomous strategy (Burgelman, 2002). Keduanya

digabungkan menghasilkan arah strategi dari perusahaan (organisasi). Penguasaan inovasi ini dipromosikan dan diimplemen-tasikan oleh seorang fasilitator dalam berbagai wilayah dalam perusahaan (organisasi).

Kewirausahaan pada Mahasiswa

Kewirausahaan pada mahasiswa merupakan sebuah fenomena menarik yang muncul pada diri mahasiswa yang tidak bisa lepas dari peran serta dan keberadaan perguruan tinggi dan sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Pada saat ini, pendidikan tinggi di Indonesia dinilai belum mampu memberikan kemampuan untuk membentuk kepribadian yang mandiri, kreatif, demokratis, dan inovatif. Kecenderungan yang ada saat ini justru pendidikan tinggi malah mempersempit ruang gerak dan kreasi mahasiswa. Kritik tersebut diungkapkan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Depdiknas Satryo Soemantri Brodjonegoro, Kamis (25/4), dalam kuliah umum bertema "Kesiapan Dunia Pendidikan Tinggi Menyongsong Kompetisi Global" di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya (Kompas, 2002). Selama ini, demikian Satryo, cara mengajar dosen di perguruan tinggi kurang mampu mendidik mahasiswa untuk kreatif, khususnya dalam keseharian dan kewira-usahaan, padahal kewirausahaan sangat besar peranannya dalam era persaingan

(7)

bebas untuk menunjang pemasaran hasil produksi (Kompas, 2002). Ia mencontohkan, kewirausahaan yang selama ini digalakkan di Indonesia adalah sejenis

multi level marketing (MLM) meskipun

menghasilkan pendapatan yang besar, tipe ini cenderung tidak produktif dan membuat ketergantungan, bahkan hanya meng-untungkan negara produsen karena Indonesia hanya sebagai negara pemasar.

Sampai saat ini, dunia wirausaha tidak cukup menarik untuk para sarjana baru. Padahal dunia wirausaha adalah pilihan yang paling rasional dalam segala kondisi perekonomian, apalagi dalam situasi krisis. Di dalam struktur kognitif mereka seolah-olah terdapat prasangka yang buruk terhadap dunia wirausaha, yang membuat mereka menjauh dari kemungkinan untuk memilih wirausaha sebagai alternatif karir masa depan mereka. Prasangka buruk ini sebenarnya berupa keyakinan-keyakinan subjektif yang tidak mengandung kebe-naran objektif. Berdasarkan pada kerangka pemikiran yang digunakan Banfe (1991), prasangka buruk ini disebut sebagai mitos yang harus dihapuskan dari kesadaran kolektif angkatan kerja sarjana, karena dampak dari mitos-mitos negatif ini sungguh besar.

Kewirausahaan pada penelitian ini mengungkap tentang kewirausahaan dalam organisasi kemahasiswaan ( intrapreneur-ship). Sebenarnya pengertian

kewira-usahaan (intrepreneurship), komponen,

ciri, sifat, dan tingkah laku intrepreneur-ship sama persis dengan entrepreneurship.

Hanya saja bedanya, intrapreneurship

merupakan kewirausahaan di dalam menjalankan suatu organisasi (chrisfoxinc.com, 2002). Intrapreneurship

pada mahasiswa berarti entrepreneurship

yang diterapkan pada orang dalam penyelenggaraan organisasi atau kegiatan kemahasiswaan.

Intrapreneurship pada Mahasiswa Sebelum membahas tentang kewira-usahaan (intrapreneurship) pada

maha-siswa, terlebih dahulu peneliti mengungkap tentang karakteristik dari organisasi mahasiswa.

Ada beberapa karakteristik organisasi mahasiswa, yaitu:

a. Nonprofit.

b. Lebih menonjolkan kebersamaan dari-pada profesionalisme.

c. Panitia (pelaksana organisasi) cende-rung ada permakluman jika berbuat salah.

d. Minim dana.

Ada tiga pondasi dari intrapreneurship

(chrisfoxinc.com, 2002) yang juga pada umumnya harus dimiliki oleh mahasiswa jika organisasi mahasiswa ingin maju dan berkembang, yaitu:

a.

Inovasi, mampu melihat sesuatu dalam cara pandang yang baru, bisa memunculkan ide-ide baru.

b.

Mampu memperhitungkan resiko yaitu kemampuan untuk memperhitungkan kesempatan dan kemungkinan gagal dengan belajar dari pengalaman.

c.

Kreativitas, kemampuan untuk menyu-sun banyak kemungkinan di masa yang akan datang dengan proaktif berkreasi. Organisasi akan lebih maju dan optimal jika mahasiswa profesional (dalam arti mengedepankan kesungguhan), kreatif, inovatif, dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasinya.

(8)

Implikasi-nya, mahasiswa menjalankan organisasi tersebut tanpa mengedepankan pamrih secara finansial.

KECERDASAN EMOSI

Goleman (1999), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungan-nya. Lebih lanjut Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

Patton (1998) memberi definisi menge-nai kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan produktif, dan meraih keber-hasilan. Goleman juga menyatakan bahwa kecerdasan emosi bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat (Goleman, 1999).

Salovey (Goleman, 1999) menempat-kan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosi yang dicetuskannya, seraya memperluas kemampuan ini menjadi lima wilayah utama, antara lain :

a. Mengenali emosi diri. b. Mengelola emosi. c. Memotivasi diri sendiri. d. Mengenali emosi orang lain. e. Membina hubungan.

Penelitian ini menggunakan Teori Kecerdasan Emosi dari dari Patton, Cooper dan Sawaf (2000) yang digunakan sebagai pedoman pembuatan alat ukur. Patton, Cooper, dan Sawaf menyebutkan ada empat aspek kecerdasan emosi, antara lain : a. Kesadaran emosi (emotional literacy),

yang bertujuan membangun rasa percaya diri pribadi melalui pengenalan emosi yang dialami dan kejujuran terhadap emosi yang dirasakan. Kesadaran emosi yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain, sekaligus kemampuan untuk mengelola emosi yang sudah dikenalnya, membuat seseorang dapat menyalurkan energi emosinya ke reaksi yang tepat dan konstruktif.

b. Kebugaran emosi (emotional fitness)

yang bertujuan mempertegas antusias-me dan ketangguhan untuk antusias-menghadapi tantangan dan perubahan. Hal ini mencakup kemampuan untuk memper-cayai orang lain serta mengelola konflik dan mengatasi kekecewaan dengan cara yang paling konstruktif. c. Kedalaman emosi (emotional depth),

yaitu mencakup komitmen untuk menyelaraskan hidup dan kerja dengan

(9)

potensi serta bakat unik yang dimiliki. Komitmen yang berupa rasa tanggung jawab ini, pada gilirannya memiliki potensi untuk memperbesar pengaruh tanpa perlu menggunakan kewenangan untuk memaksakan otoritas.

d. Alkimia emosi (emotional alchemy),

yaitu kemampuan kreatif untuk mengalir bersama masalah-masalah dan tekanan-tekanan tanpa larut di dalamnya. Hal ini mencakup ketrampilan bersaing dengan lebih peka terhadap kemungkinan solusi yang masih bersembunyi dan peluang yang masih terbuka untuk mengevaluasi masa lalu, menghadapi masa kini, dan mempertahankan masa depan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi

Menurut Goleman (1999), ada 2 faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi, faktor tersebut terbagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Berikut ini penjelasan masing-masing faktor:

1. Faktor internal. Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang, otak emosional dipengaruhi oleh keadaan amigdala, neokorteks, sistem limbik, lobus prefrontal dan hal-hal lain yang berada pada otak emosional.

2. Faktor eksternal dimaksudkan sebagai faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi individu untuk atau mengubah sikap. Pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara kelompok, antara individu mempengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak

langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit.

Ciri-ciri Kecerdasan Emosi Tinggi

Ciri-ciri kecerdasan emosi tinggi (Dapsari, 2001) yaitu:

a. Optimal dan selalu positif pada saat menangani situasi-situasi dalam hidup-nya, seperti saat menangani peristiwa dalam hidupnya dan menangani tekanan masalah-masalah pribadi yang dihadapi.

b. Terampil dalam membina emosinya, di mana orang tersebut terampil di dalam mengenali kesadaran emosi diri dan ekspresi emosi, juga kesadaran emosi terhadap orang lain.

c. Optimal pada kecakapan kecerdasan emosi, di mana hal ini meliputi kecakapan intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan antarpribadi dan ketidakpuasan konstruktif.

d. Optimal pada nilai-nilai belas kasihan atau empati, intuisi, radius keperca-yaan, daya pribadi, dan integritas. e. Optimal pada kesehatan secara umum,

kualitas hidup, relationship quotient

dan kinerja optimal.

Hubungan antara Kecerdasan Emosi dan Kewirausahaan pada Mahasiswa

Kewirausahaan pada mahasiswa tentu-nya mencakup sikap dan perilaku yang bercirikan tingkah laku kewirausahaan yang dimunculkan oleh mahasiswa, baik dalam menghadapi tugas-tugas akademis, tugas-tugas organisasi mahasiswa, maupun berbagai bidang kehidupan, termasuk

(10)

bidang usaha atau bisnis. Sebagai sese-orang yang memiliki jiwa entrepreneur,

tentunya mahasiswa mampu menggunakan potensi emosinya secara optimal. Sejalan dengan hal tersebut, Chandra (2001) mengemukakan pentingnya peranan emosi bisnis bagi entrepreneur. Apalagi, dalam mengatasi tantangan persaingan bisnis di Milenium ketiga ini. Karena, emosi ini mampu memicu munculnya kreativitas dan inovasi seseorang. Emosi juga bisa mengaktifkan nilai-nilai etika, mendorong atau mempercepat penalaran seseorang dalam berbisnis. Emosi juga berperan di dalam membangun kepercayaan dan keakraban. Bahkan tak hanya itu, emosi juga akan memotivasi seseorang, dan membuat seseorang nyata dan hidup.

Ananda (2000) menyebutkan bahwa kecerdasan emosi memiliki komponen yang sangat kompleks dan terkait dengan kemampuan seseorang dalam mengguna-kan kemampuan dan potensi emosionalnya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kualitas kerja. Hal ini selaras dengan pendapat Albin (Ananda, 2000) yang menyatakan bahwa semua manusia tanpa terkecuali, dianugerahi kemampuan emo-sional yang unik, sehingga semua dapat belajar untuk menerimanya.

Cooper dan Sawaf (2000) menyebutkan bahwa faktor yang paling menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja adalah faktor kecerdasan emosi. Ditam-bahkan oleh mereka bahwa intelektual cerdas seringkali bukanlah orang yang paling berhasil dalam bisnis maupun kehidupan. IQ kemungkinan berhubungan hanya dengan 4% dari keberhasilan di dunia nyata. Lebih dari 90% keberhasilan berhubungan dengan bentuk-bentuk kecerdasan lain. Lebih lanjut mereka

menjelaskan bahwa orang dewasa rata-rata hanya menggunakan 10% kecerdasannya selama hidup. Hal ini sejalan dengan pendapat Sternberg (Cooper dan Sawaf, 2000) yang menyinggung bahwa orang sering menghitung IQ, namun IQ bukanlah yang terpenting. Disebutkan olehnya bahwa tidak boleh menyingkirkan fakta bahwa hal-hal yang paling penting adalah kecerdasan emosi.

Pendapat ini sejalan dengan pendapat Goleman (2000) yang menyatakan bahwa meskipun telah begitu ditekankan baik di sekolah-sekolah maupun dalam ujian-ujian penerimaan, IQ saja ternyata tidak cukup untuk menerangkan kinerja orang sesungguhnya dalam pekerjaan dan hidup. Ketika skor IQ dikorelasikan dengan tingkat kinerja orang dalam karir mereka, taksiran tertinggi untuk besarnya selisih IQ terhadap kinerja adalah 25%. Dalam analisis yang seksama, angka yang tepat mungkin tidak lebih dari 10%, bahkan bisa hanya 4%.

Goleman (2000) juga berpendapat bahwa IQ saja tidak mampu menerangkan 75% keberhasilan-keberhasilan dalam pekerjaan, atau bahkan sampai 96%. Ternyata IQ tidak menentukan apakah seseorang berhasil atau gagal. Sebagai contoh, sebuah pengkajian terhadap para lulusan Universitas Harvard dalam bidang hukum, kedokteran, dan bisnis menemukan bahwa skor-skor pada ujian masuk sebagai pengganti uji IQ mempunyai korelasi nol (0) atau negatif dengan sukses karir mereka pada akhirnya.

Sementara itu, Chandra (2001) juga berpendapat bahwa banyak orang yang sukses menjadi entrepreneur meski nilai

akademisnya sedang-sedang saja. Hal ini disebabkan, mereka yang lulus dengan nilai

(11)

yang sedang itu sebagian besar memiliki kecerdasan emosi yang optimal. Lantaran kecerdasan emosi yang optimal inilah yang justru mendorongnya untuk menjadi entrepreneur yang kreatif.

Sementara itu, Chandra (2001) berpendapat bahwa entrepreneur

(wirausa-hawan) yang memiliki kecerdasan emosi yang optimal, akan lebih berpeluang mencapai puncak keberhasilannya. Sosok semacam ini sangat diperlukan dalam membangun masyarakat entrepreneur

Indonesia. Entrepreneur yang memiliki

kecerdasan emosi optimal, akan tetap menganggap, bahwa krisis itu adalah sebuah peluang.

Itulah sebabnya mengapa entrepreneur

itu harus tetap jeli dalam memanfaatkan emosinya. Sebaliknya, jika seseorang secara intelektual cerdas, kerap kali justru bukanlah seorang entrepreneur yang

berhasil dalam dunia bisnis dan kehidupan pribadinya. Seorang entrepreneur harus

yakin, bahwa di dalam dunia bisnis saat ini maupun di masa mendatang, kecerdasan emosi akan tetap lebih berperan (Chandra, 2001).

Maka dengan memiliki kecerdasan emosi yang optimal, seseorang akan lebih bisa mentransformasikan situasi sulit dan bahkan menjadi semakin peka akan adanya peluang entrepreneur dalam situasi apapun.

Kalau seseorang memiliki kecerdasan emosi yang optimal, Chandra (2001) yakin bahwa seseorang tersebut akan mampu mengatasi berbagai konflik.

Emosi akan memicu kreativitas dan inovasi. Emosi juga berperan di dalam membangun kepercayaan dan keakraban bahkan tidak hanya itu, emosi juga akan memotivasi kita. Hammond dalam Chandra

(2001) juga berpendapat bahwa emosi adalah sesuatu yang punya makna penting bagi suatu perusahaan atau organisasi. Menurutnya, emosi adalah pengorganisasi yang hebat dalam bidang pikiran dan perbuatan. Meskipun demikian, emosi tidak dapat dipisahkan dari penalaran dan rasionalitas.

Demikianlah hubungan antara kecer-dasan emosi dan kewirausahaan. Sama halnya dengan entrepreneurship,

kecer-dasan emosi ini memiliki hubungan yang sama dengan intrapreneurship pada

mahasiswa dalam memicu kretivitas dan inovasi mahasiswa selama berwirausaha dalam organisasi kemahasiswaan.

METODE Subjek Penelitian

Penelitian ini melibatkan mahasiswa sebagai responden dari berbagai perguruan tinggi di Yogjakarta.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala sebagai alat ukur untuk memperoleh data yang diperlukan. Skala yang digunakan menggunakan model skala Likert dengan lima alternatif respon.

Validitas pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah content validity

atau validitas isi. Sebelum alat ukur digunakan untuk tujuan penelitian, peneliti melakukan uji coba terlebih dahulu untuk menentukan butir yang sahih sekaligus menggugurkan butir yang tidak sahih. Penentuan butir yang sahih dan tidak sahih dengan menggunakan analisis daya beda atau daya diskriminasi butir.

(12)

Teknik konsistensi internal yang digu-nakan adalah korelasi product moment dari

Pearson. Menurut Coakes dan Steed (1996) koefisien korelasi yang dihasilkan oleh korelasi product moment dari Pearson

merupakan hasil korelasi antara skor sebuah butir dengan penjumlahan skor total dari butir-butir lain yang menyusun skala tersebut. Dengan demikian, koefisien kore-lasi yang dihasilkan oleh korekore-lasi product moment dari Pearson sudah terbebas dari spurious overlap. Artinya tidak terjadi

overestimasi koefisien korelasi antara skor butir dengan skor total skala yang disebab-kan oleh pengaruh sumbangan skor setiap butir dalam ikut menentukan besarnya skor total skala tersebut (Azwar, 1997).

Penelitian ini menggunakan batasan daya diskriminasi butir terendah 0,30. Perhitungan daya diskriminasi butir-butir dalam Skala Kecerdasan Emosi dan Skala Kewirausahaan pada Mahasiswa dilakukan dengan menggunakan teknik konsistensi internal korelasi product moment dari

Pearson. Perhitungan konsistensi internal tersebut dilakukan dengan komputer meng-gunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) 10.0.1 for Windows.

Perhitungan reliabilitas alat ukur pene-litian berupa Skala Kecerdasan Emosi dan Skala Kewirausahaan dilakukan dengan menggunakan teknik reliabilitas Alpha dari Cronbach. Perhitungan reliabilitas Alpha dari Cronbach tersebut dilakukan dengan komputer menggunakan program

Statistical Product and Service Solution

(SPSS) 10.0.1 for Windows.

ANALISIS HASIL

Hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini akan diuji dengan menggunakan metode statistik. Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian tersebut adalah teknik analisis korelasi product moment

dari Pearson, karena data yang diperoleh merupakan data interval. Sebelum dilaku-kan analisis korelasi product moment dari

Pearson terlebih dahulu akan dilakukan uji normalitas dan uji linearitas dengan menggunakan uji statistik nonparametrik. Perhitungan-perhitungan statistik tersebut di atas akan dilakukan dengan komputer menggunakan program atau software Statistical Product and Service Solution

(SPSS) 10.0.1 for Windows.

DISKUSI

Deskripsi Data Penelitian

Berdasarkan analisis data penelitian, didapatkan deskripsi data setiap variabel penelitian (Tabel 1).

Penelitian ini juga menentukan kategori skor masing-masing variabel penelitian. Lima kategori skor tersebut adalah sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Kategorisasi ini menggunakan angka satuan standar deviasi dan rerata hipotetik (mH) masing-masing variabel penelitian. Norma untuk kategorisasi lima skor dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 1. Deskripsi Data Penelitian

Skor Hipotetik Skor Empirik Variabel

(13)

KE 38 190 114 99 186 141,9

KW 46 230 138 122 220 178,75

Keterangan: KE : Kecerdasan Emosi; KW : Kewirausahaan.

Tabel 2. Norma Untuk Kategorisasi Lima Skor Norma Kategorisasi Kategori

x ≤ -1,5 SD + mH Sangat Rendah

- 1,5 SD + mH < x ≤ - 0,5 SD + mH Rendah - 0,5 SD + mH < x ≤ + 0,5 SD + mH Sedang + 0,5 SD + mH < x ≤ +1,5 SD + mH Tinggi

x > +1,5 SD + mH Sangat Tinggi

Dalam penelitian ini norma kategorisasi skor di atas digunakan. Norma kategorisasi skor setiap variabel penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3. Norma Kategorisasi Skor Setiap Variabel Penelitian Skala Kecerdasan

Emosi

Norma Kategorisasi Kategori x ≤ 90,2853 Sangat Rendah 90,2853< x ≤ 106,0951 Rendah 106,0951< x ≤ 121,9049 Sedang 121,9049< x ≤ 137,7147 Tinggi x > 137,7147 Sangat Tinggi

Tabel 4. Norma Kategorisasi Skor Setiap Variabel Penelitian Skala Kewirausahaan

Norma Kategorisasi Kategori x ≤ 112,0146 Sangat Rendah 112,0146< x ≤ 129,3382 Rendah 129,3382< x ≤ 146,6618 Sedang 146,6618< x ≤ 163,9854 Tinggi x > 163,9854 Sangat Tinggi

Berpedoman pada norma tersebut, peneliti melakukan kategorisasi skor tiap-tiap subjek penelitian pada masing-masing variabel penelitian, yaitu:

Tabel 5. Kategorisasi Skor Subjek Penelitian Kategori

Variabel Sangat

Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

Σ

KE - 3 9 22 66 100

KW - 1 3 9 87 100

Tabel 6. Kategorisasi Skor Subjek Penelitian Dalam Persentase Kategori

Variabel Sangat

Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

Σ

KE - 3 9 22 66 100

(14)

Keterangan:

KE : Kecerdasan Emosi. KW : Kewirausahaan. Hasil Uji Normalitas

Uji normalitas berguna untuk menge-tahui apakah bentuk sebaran data empirik mengikuti bentuk sebaran data normal teoritik. Uji normalitas menggunakan teknik statistik one sample Kolmogorov-Smirnov. Kaidah yang digunakan yaitu jika

p > 0,05 maka sebaran data tersebut normal, sedangkan jika p < 0,05 maka sebaran data tersebut tidak normal.

Analisis data menunjukkan bahwa nilai z variabel kecerdasan emosi adalah sebesar 1,124 dengan p = 0,159. Sementara itu, nilai z variabel kewirausahaan 0,953 dengan p = 0,324. Berdasarkan hasil analisis ini, maka dapat dikatakan bahwa sebaran kedua data variabel penelitian tersebut adalah normal.

Tabel 7. Hasil Uji Normalitas

Variabel Nilai z Nilai p Hitung p Keterangan

KE 1,124 0,159 >0,05 Normal

KW 0,953 0,324 >0,05 Normal

Hasil Uji Linearitas

Uji linearitas merupakan pengujian garis regresi antara variabel bebas dan variabel tergantung. Uji linearitas berguna untuk melihat apakah sebuah garis lurus dapat ditarik dari sebaran data variabel-variabel penelitian. Garis lurus tersebut menunjukkan hubungan linear antara variabel-variabel penelitian. Hubungan antara kedua variabel penelitian dikatakan

linear jika p < 0,05. Hubungan antara kedua variabel penelitian dikatakan tidak linear jika p > 0,05.

Analisis data untuk variabel kecerdasan emosi dan variabel kewirausahaan menghasilkan nilai F sebesar 2,546 dengan p = 0,001. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa hubungan variabel-variabel di atas adalah linear.

Tabel 8. Hasil Uji Linearitas

Variabel Nilai F Nilai p Hitung P Keterangan Var KE*Var KW 2,546 0,001 <0,05 Linear Hasil Uji Hipotesis Penelitian

Hasil analisis korelasi product moment

dari Pearson antara kecerdasan emosi dan kewirausahaan menghasilkan koefisien

korelasi (r) sebesar 0,632 dengan taraf signifikansi p = 0,000 (p < 0,01). Hasil analisis ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara antara kecerdasan emosi dengan

(15)

kewirausahaan. Semakin tinggi kecerdasan emosi mahasiswa, maka akan semakin tinggi pula kewirausahaan mahasiswa. Semakin rendah kecerdasan emosi mahasiswa, maka akan semakin rendah pula kewirausahaan mahasiswa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis penelitian ini diterima.

Perhitungan koefisien determinasi hubungan antara kecerdasan emosi dan kewirausahaan menghasilkan nilai koefisien determinasi sebesar 0,399. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosi memberikan sumbangan efektif pengaruh sebesar 39,9% terhadap kewirausahaan pada mahasiswa.

Sumbangan Relatif (SR) masing-masing aspek kecerdasan emosi terhadap kewirausahaan pada mahasiswa dapat

diketahui melalui hitungan dengan rumus sebagai berikut: 100% Reg JK Σxy βx SR% × × × =

Sumbangan Efektif masing-masing Aspek Kecerdasan Emosi terhadap Variabel Kewirausahaan pada Mahasiswa dapat diketahui dengan hitungan sebagai berikut: % Total SR% R X SR% SE% 2 =

Hasil selengkapnya dari Sumbangan Relatif masing-masing aspek kecerdasan emosi terhadap kewirausahaan pada mahasiswa dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 9. Deskripsi SR (%) dan SE (%) Aspek Kecerdasan Emosi terhadap Kewirausahaan

pada Mahasiswa

Sumbangan Efektif (%) masing-masing aspek

terhadap: Aspek Beta Cross

Product Jk Regresi Sumbangan Relatif (%) R 2 Kewira-usahaan Kecerdasan Emosi Kesadaran Emosi 0,605948 3394 29710,75 6,92203 39,9 5,985750546 15,00188107 Kebugaran Emosi 2,322013 3217 29710,75 25,14213 39,9 21,74138543 54,48968781 Kedalaman Emosi 0,80138 5276,75 29710,75 14,23284 39,9 12,30769786 30,84636055 Alkimia Emosi -0,00885 5236,75 29710,75 -0,15592 39,9 -0,134833839 -0,337929422 Total 46,14108 39,9 100

Hasil uji hipotesis penelitian menunjuk-kan diterimanya hipotesis yang diajumenunjuk-kan oleh peneliti, yakni adanya hubungan

positif antara antara kecerdasan emosi dan kewirausahaan pada mahasiswa. Taraf koefisien korelasi (r) yang dihasilkan dari

(16)

hubungan 2 variabel tersebut sebesar 0,632 dengan taraf signifikansi p = 0,000 (p < 0,01). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kecerdasan emosi mahasiswa, semakin tinggi pula kewirausahaan mahasiswa. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosi mahasiswa, semakin rendah pula kewirausahaan pada mahasiswa.

Hasil penelitian ini menunjukkan bah-wa kecerdasan emosi memiliki hubungan positif dengan kewirausahaan. Kecerdasan emosi berpengaruh terhadap kewirausahaan mahasiswa dengan sumbangan efektif sebesar 39,9%. Masing-masing aspek kecerdasan emosi memiliki sumbangan efektif terhadap kewirausahaan pada mahasiswa dengan urutan sebagai berikut. Pertama, aspek kebugaran emosi membe-rikan sumbangan efektif sebesar 21,741%. Kedua, aspek kedalaman emosi memberi-kan sumbangan efektif sebesar 12,308%. Ketiga, aspek kesadaran emosi memberi-kan sumbangan efektif sebesar 5,986%, dan keempat, aspek alkimia emosi memberikan sumbangan efektif sebesar – 0,135%.

Sementara itu, Ananda (2000) menye-butkan bahwa kecerdasan emosi memiliki komponen yang sangat kompleks dan terkait dengan kemampuan seseorang dalam menggunakan kemampuan dan potensi emosionalnya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini selaras dengan pendapat Albin (Ananda, 2000) yang menyatakan bahwa semua manusia tanpa terkecuali, dianugerahi kemampuan emosional yang unik, sehingga semua dapat belajar untuk menalari dan menerimanya. Begitu juga dengan mahasiswa.

Menurut Goleman (1999), seseorang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi tentunya akan memiliki berbagai

kemampuan. Kemampuan ini akan berpe-ngaruh terhadap pembentukan kewirausa-haan seseorang, yaitu: (a) Kesadaran diri emosional, (b) Mengelola emosi, (c) Memanfaatkan emosi secara produktif, (d) Empati: membaca emosi, (e) Membina hubungan. Kemampuan ini sejalan dengan keterampilan yang dimiliki oleh wirausa-hawan, yaitu: (a) Keterampilan berpikir kreatif. Pemikiran kreatif ini didukung oleh 2 hal, yaitu pengerahan daya imajinasi dan proses berpikir ilmiah. (b) Keterampilan dalam pembuatan keputusan. (c) Keteram-pilan dalam kepemimpinan. Beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam usaha melatih keterampilan untuk memimpin diri sendiri yaitu dengan jalan sebagai berikut: mengenal diri sendiri, melatih kemauan, melatih disiplin diri sendiri, (d) Keterampilan manajerial, (e) Keterampilan dalam bergaul antarmanusia (human relations).

Selain itu, Cooper dan Sawaf (2000) juga menyebutkan bahwa faktor yang paling menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja adalah faktor kecerdasan emosi. Ditambahkan oleh mereka bahwa intelektual cerdas seringkali bukanlah orang yang paling berhasil dalam bisnis maupun kehidupan. IQ kemungkinan berhubungan hanya dengan 4% dari keberhasilan di dunia nyata. Lebih dari 90% keberhasilan kemungkinan berhu-bungan dengan bentuk-bentuk kecerdasan lain. Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa orang dewasa rata-rata hanya menggunakan 10% kecerdasannya selama hidup. Hal ini sejalan dengan pendapat Sternberg (Cooper dan Sawaf, 2000) yang menyinggung bahwa orang sering menghitung IQ, namun IQ bukanlah yang terpenting. Disebutkan olehnya bahwa

(17)

tidak boleh menyingkirkan fakta bahwa hal-hal yang paling penting adalah kecerdasan emosi.

Mahasiswa, dengan berbagai kegiatan yang dilakukannya, membutuhkan berbagai kemampuan yang tidak hanya melulu membutuhkan IQ saja, tetapi lebih pada kemampuan emosional yang tinggi karena tentunya kegiatan kemahasiswaan ini tidak lepas dari kinerja hubungan dengan orang lain. Goleman (2000) menyatakan bahwa meskipun telah begitu ditekankan baik di sekolah-sekolah maupun dalam ujian-ujian penerimaan, IQ saja ternyata tidak cukup untuk menerangkan kinerja orang sesung-guhnya dalam pekerjaan dan hidup. Ketika skor IQ dikorelasikan dengan tingkat kinerja orang dalam karir mereka, taksiran tertinggi untuk besarnya selisih IQ terhadap kinerja adalah 25%. Dalam analisis yang seksama, angka yang tepat mungkin tidak lebih dari 10%, bahkan bisa hanya 4%.

Goleman (2000) juga berpendapat bahwa IQ saja tidak mampu menerangkan 75% keberhasilan-keberhasilan dalam pekerjaan, atau bahkan sampai 96%. Ternyata IQ tidak menentukan apakah seseorang berhasil atau gagal. Sebagai contoh, sebuah pengkajian terhadap para lulusan Universitas Harvard dalam bidang hukum, kedokteran, dan bisnis menemukan bahwa skor-skor pada ujian masuk sebagai pengganti uji IQ mempunyai korelasi nol (0) atau negatif dengan sukses karir mereka pada akhirnya.

Mahasiswa yang memiliki kemampuan kecerdasan emosi yang optimal belum tentu memiliki nilai akademis yang tinggi, meski tidak selamanya mahasiswa yang memiliki nilai akademik rendah akan memiliki tingkat kewirausahaan yang tinggi. Kesuksesan mahasiswa tergantung

dari optimalisasi potensi mahasiswa, opti-malisasi kreasi dan inovasinya. Chandra (2001) juga berpendapat bahwa banyak orang yang sukses menjadi entrepreneur

meski nilai akademisnya sedang-sedang saja. Hal ini disebabkan, mereka yang lulus dengan nilai yang sedang itu sebagian besar memiliki kecerdasan emosi yang optimal. Lantaran kecerdasan emosi yang optimal inilah yang justru mendorongnya untuk menjadi entrepreneur yang kreatif. Contohnya adalah Bill Gates, seorang super milyader di Amerika Serikat. Dia adalah pemilik perusahaan perangkat lunak

Microsoft. Saat Bill Gates kuliah di Harvard Business School, ia merasa tidak

mendapat pengetahuan apa-apa. Akhirnya ia putuskan berhenti kuliah. Namun, meski

droop out dari Harvard, Bill dikenal

sebagai penyumbang dana terbesar bagi universitasnya. Hal yang sama juga terjadi pada Steven K. Scout. Saat ini dia dikenal sebagai milyader di Amerika Serikat. Ketika masih di sekolah, Steven tidak pintar. Namun, sekarang Steven berhasil menjadi pengusaha yang bergerak di bidang bisnis pemasaran nomor satu di Amerika Serikat.

Goleman (2000) berpendapat bahwa aturan bekerja kini tengah berubah. Orang dinilai berdasarkan tolok ukur baru, tidak hanya didasarkan pada tingkat kepandaian, atau berdasarkan pelatihan dan penga-laman, tetapi juga berdasarkan seberapa baik orang mengelola diri sendiri dan berhubungan dengan orang lain. Tolok ukur ini semakin banyak diterapkan dalam memilih siapa yang akan dipekerjakan dan siapa yang tidak, siapa terpaksa diberhen-tikan dan siapa yang dapat dipertahankan, siapa yang harus dimutasikan dan siapa yang harus dipromosikan. Aturan-aturan

(18)

baru tersebut memperkirakan siapa yang paling mungkin menjadi bintang di tempat kerja dan siapa yang paling cenderung terpuruk. Tidak peduli bidang apa yang sedang ditekuni. Aturan tersebut mengukur bakat-bakat yang sangat penting dalam kaitannya dengan nilai jual untuk pekerjaan di masa mendatang

Goleman memperkuat pendapatnya dengan menunjukkan hasil analisis yang dibuat oleh para pakar dalam bidang yang berbeda-beda pada hampir 500 organisasi, jawatan pemerintah, dan organisasi nirlaba di seluruh dunia secara sendiri-sendiri membuktikan betapa tingginya pengaruh kecerdasan emosi dalam keberhasilan pekerjaan. Keagan (dalam Goleman, 2000),

Vice President untuk pengembangan

eksekutif di Citibank, mengatakan bahwa

kecerdasan emosi harus menjadi alasan mendasar dalam setiap pelatihan manajemen

Maka dengan memiliki kecerdasan emosi yang optimal, seseorang akan lebih bisa mentransformasikan situasi sulit dan bahkan menjadi semakin peka akan adanya peluang wirausahawan dalam situasi apapun. Kalau seseorang memiliki kecer-dasan emosi yang optimal, Chandra (2001) yakin bahwa seseorang tersebut akan mampu mengatasi berbagai konflik

Chandra (2001) juga berpendapat bahwa seseorang yang benar-benar mengoptimalkan EI, akan lebih jeli dalam melihat sebuah peluang. Ia akan lebih cekatan dalam bertindak dan lebih punya inisiatif. Maka ia pun akan lebih siap dalam melakukan negosiasi bisnis. Lebih mampu melakukan strategi bisnisnya, memiliki kepekaan, daya cipta, dan komitmen yang tinggi. Bahkan, ada pakar yang meng-ungkapkan bahwa keberhasilan seseorang

dalam bidang bisnis, 80 % ditentukan oleh kecerdasan emosinya.

Penelitian ini menggunakan responden penelitian mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jogjakarta dengan beberapa kriteria, pertama, mereka telah menginjak minimal semester tiga, alasannya waktu dua semester sebelumnya dianggap sudah cukup bagi mahasiswa untuk melakukan adaptasi, orientasi, dan interaksi terhadap dunia kampus dan lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Kedua, belum menikah. Ketiga, belum terikat kerja (ikatan dinas), asumsinya mereka secara dinamis masih mengikuti berbagai kegiatan yang diadakan di kampus atau di luar kampus. Dan keempat, mahasiswa yang berusia maksimal berusia 25 tahun (masa remaja akhir). Dari kriteria yang disebutkan di atas akan terlihat bahwa masa mahasiswa adalah masa optimal individu untuk mengoptimalkan semua potensinya. Usia mahasiswa adalah usia remaja yang penuh semangat dan gejolak, banyak minat yang diingini, kegiatan yang dilakukan masih multi alternatif, dan banyak yang mewadahinya.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosi dan kewirausahaan pada mahasiswa tergolong tinggi. Berbagai mitos-mitos negatif kewirausahaan harus dihapuskan dari kesadaran kolektif angkatan kerja sarjana, karena dampak dari mitos-mitos negatif ini sungguh besar (Hidayat, 2000). Mitos-mitos tersebut harus segera dihilangkan. Kemandirian dan penerimaan diri harus segera ditanamkan pada diri mahasiswa. Dari penerimaan diri inilah dorongan kewirausahaan tumbuh. Dengan peneri-maan yang menyeluruh, seseorang tidak akan peduli pada anggapan masyarakat

(19)

bahwa wirausaha itu profesi yang rendah, tidak layak dilakukan oleh sarjana tamatan perguruan tinggi ternama. Dia tidak akan terdorong untuk segera menunjukkan keberhasilan usahanya, semata-mata agar tidak kalah gengsi dengan temannya yang bekerja di sebuah bank ternama. Dengan penerimaan diri, seseorang akan terdorong untuk mengaktualisasikan segala yang dimiliki, dalam intensitas komitmen yang sangat penuh. Setelah lulus sebagai sarjana, dia memiliki dorongan untuk menggali nilai tambah dari ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dikuasai sebagai sebuah perwujudan potensi diri.

KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini menun-jukkan bahwa kecerdasan emosi berko-relasi positif dengan kewirausahaan pada mahasiswa. Variabel Kecerdasan Emosi memberikan sumbangan efektif pengaruh terhadap Variabel Kewirausahaan pada Mahasiswa sebesar 39,9%. Sumbangan efektif masing-masing aspek kecerdasan emosi terhadap kewirausahaan pada mahasiswa berdasarkan urutan terbesar adalah pertama, aspek kebugaran emosi memberikan sumbangan efektif sebesar 21,741%. Kedua, aspek kedalaman emosi memberikan sumbangan efektif sebesar 12,308%. Ketiga, aspek kesadaran emosi memberikan sumbangan efektif sebesar 5,986%, dan keempat, aspek alkimia emosi memberikan sumbangan efektif sebesar – 0,135% terhadap aspek kewirausahaan pada mahasiswa.

SARAN

Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan

emosi sebagian besar subjek termasuk dalam kategori tinggi sebanyak 22 subjek (22%), kategori sangat tinggi sebanyak 66 orang (66%) dan mereka juga memiliki tingkat kewirausahaan yang termasuk dalam kategori sangat tinggi sebanyak 87 orang (87%), untuk itu segeralah mulai dari sekarang, mulai dari sedikit atau banyak, mulai dari diri sendiri untuk segera berwirausaha, bukan saatnya lagi untuk terus-terusan bergantung kepada kedua orang tua, baik secara mental maupun finansial. Sudah saatnya untuk mandiri.

Mahasiswa memiliki potensi tinggi untuk berwirausaha. Mahasiswa bisa meng-optimalkan potensi kreasi dan inovasinya dengan mengikuti berbagai kegiatan kemahasiswaan agar kegiatan kemahasis-waan di kampus bisa berkembang dengan baik, mahasiswa bisa mengembangkan diri, dan mengelola diri. Mahasiswa juga bisa beraktualisasi diri sebagai fungsi dari individu yang memasuki fase remaja akhir atau dewasa awal. Mahasiswa haruslah mulai berani berwirausaha dengan berjualan barang maupun jasa, berkreasi membuat kerajinan tangan, membuka usaha baru, mengembangkan kreasi dan inovasi dalam organisasi kemahasiswaan. DAFTAR PUSTAKA

Ananda, R.R. Woro Oyi. 2000. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Etos Kerja. Skripsi. Tidak diterbitkan.

Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Andayani, Budi. 1993. Persepsi Terhadap

Kegiatan dengan Indeks Prestasi pada Mahasiswa. Laporan Penelitian. Tidak

diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

(20)

As’ad, Moh. 1982. Psikologi Industri.

Yogyakarta : Liberty.

Atmaja, Makfudin Wirya. 2002. Dari Manajemen ke Wirausaha ( entrepre-neur) dan ke Intrausaha (intrapreneur).

Majalah Manajemen, No. 169.

September 2002. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo.

Aziz, Amin M. 1978. Kewiraswastaan dan Perkembangan Ekonomi Indonesia.

Prisma. No. 9, Oktober, Th. VII. Azwar, Saifuddin. 1995. Sikap Manusia:

Teori dan Penmgukurannya.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

___. 1997. Reliabilitas dan Validitas.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

___. 1999. Metode Penelitian. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

___. 2000. Penyusunan Skala Psikologi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Banfe, C. 1991. Entrepreneur-from Zero to Hero. New York: Van Nostrand

Reinhold.

Baumassepe, Andi Nur. 2001. Berwira-usaha Sejak Mahasiswa. Makalah.

Tidak diterbitkan. Yogyakarta: STIE YKPN.

___. 2001. Wirausahawan: Agen Peru-bahan Ekonomi (Bagian 2). Makalah.

Tidak diterbitkan. Yogyakarta: STIE YKPN.

Bygrave, William D,.1994. Portable MBA Entrepreneurship. US: John Wiley &

Sons, Inc.

Cahyono, Tri B. 1983. Teori dan Praktek Kewiraswastaan: Tinjauan Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty.

Carman, J & Lussier, R.N. 1996. Small Busssiness Management: A Rearning Approach.US : Irwin, Inc.

Chandra, Purdi E., 2001. Menjadi Entre-preneur Sukses. Jakarta: PT Gramedia

Widiasarana Indonesia.

Coakes, S.J. & Steed, L.G. 1996. SPSS for Windows (Analysis Without anguish).

Singapore: John Wiley & Sons. Cole, L. 1948. Psychology of Adolescence.

3th Edition. New York: Rinehart &

Company, Inc.

Cooper, R.K. dan Sawaf, A. 2000.

Excecutive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan Organisasi.

Terjemahan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Corens, R. 1994. Body Signs, Body Language, Speaking without Words, Communicating with Gestures and Movement. Makalah dalam Two Days

Workshop on Body Language.

Yogyakarta: LIP.

Dapsari, Indri. 2001. Perbedaan Kecer-dasan Emosi pada Mahasiswa Eksakta dan Non Eksakta di UGM. Skripsi.

Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

De Jong, S. 1976. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta : Yayasan

Kanisius.

Drucker, Peter F. 1985. Innovation and Entrepreneurship. New York: Harper

& Row.

Ekman, P., Friensen, W.V., dan Ancoli. 1980. Facial Sign of Emotional Experience. Journal of Personality and Social Psychology, 64, 615-622

Goleman, Daniel. 1999. Emotional Intelli-gence (terjemahan). Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.

____. 2000. Working with Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosi untuk

(21)

Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hadi, S. 1984. Metodologi Riset (Jilid III). Yogyakarta: Andi Offset.

____. 1987. Metodologi Riset (Jilid II). Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.

____. 1992. Metodologi Riset Jilid III. Yogyakarta: Andi Offset.

____. 2000. Metodologi Riset. Yogyakarta: Andi Offset.

Hartono, K.P. 1995. Kepekaan Mengar-tikan dan Merespon Balik Emosi Dasar Manusia dalam Industri Jasa Perhotelan. Skripsi. Tidak diterbitkan.

Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Hendrasari, Ratna, T. 1988. Motif untuk

Berprestasi dan Kualitas Kewira-swastaan para Pedagang Kaki Lima di Kotamadya Yogyakarta. Intisari Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas

Psikologi UGM. Yogyakarta.

Hidayat, Rahmat. 2000. Skema Kognitif Kewirausahaan Pada Mahasiswa.

Laporan Penelitian (tidak diterbitkan).

Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Hurlock, E.B. 1973. Adolescent Develop-ment. 4th Edition. Tokyo: Mc

Graw-Hill Kogakusha, Ltd.

___. 1994. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi ke-5. (Terjemahan).

Jakarta: Erlangga.

Joesoef, D. 1976. Pendidikan dan Pengem-bangan Kewiraswastaan. Jakarta:

CSIS.

Kao, John J. 1989. Entrepreneurship, Creativity & Organization: Text, Cases

and Readiness. New Jersey: Prentice Hall.

Karafir, P.Y. 1977. Pemupukan Modal Pedagang Kaki Lima. Seri Penerbitan

Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia Bekerja Sama dengan Pusat Latihan Ilmu Sosial Jakarta.

Kerlinger, F.N. 1973. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Kimmel, D.C. 1974. Adulthood and Aging: An Interdisciplinary, Developmental View. New York: John Wiley & Sons,

Inc.

Lambing, P & Kuehl, C,R. 2000.

Entrepreneurship 2nd Edition. New

Jersey: PrenticeHall

Lindgren, H.C. 1972. Educational Psycho-logy in The Classroom.5th edition. New

York: John Willey & Sons. Inc. Mardiyanto, R. 1999. Penggunaan

Mana-jemen Konflik Mahasiswa Ditinjau dari Status Keikutsertaan dalam Mengikuti Pecinta Alam di UGM.

Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta:

Fakultas Psikologi UGM.

Markham, S.S. 1994. Pengalaman Emosi dan Kesehatan Mental. Anima. Vol. IX.

No.36 3-20.

McClelland, D. C. 1961. The Achieving Society. Bombay: Vahil & Sons Private

Ltd.

Monks, F.J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. 1984. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Oktasela, Daniel. 2001. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Stress di Tempat Kerja. Skripsi. Tidak

(22)

diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Patton, P. 1998. EQ (Kecerdasan Emo-sional) di Tempat Kerja. Terjemahan.

Jakarta: Pustaka Delapratasa.

Pranantyo, T. 1985. Hubungan antara Kebutuhan Berprestasi dengan Prestasi Kerja Wiraniaga di PT Widyadara Cabang Yogyakarta dan Denpasar. Intisari Skripsi. Tidak diterbitkan.

Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta. Prawitasari, J.E. Kecerdasan Emosi.

Buletin Psikologi, Th. VI, No.1 Juni

1998, Yogya : Fakultas Psikologi. Ranupandojo, H. 1982. Wiraswasta

Indo-nesia : Sebuah Renungan. Yogyakarta:

BPFE.

Roepke, J. 1978. Kewiraswastaan dan Pengembangan Ekonomi Indonesia.

Prisma. 9 Oktober, th. VII.

Rosenfeld, R. and Servo, J. 1990.

Innovation and Creativity at Work.

New York: John Willey & Sons Ltd. Saphiro, L.E. 1997. Mengajarkan

Emo-tional Intelligence pada Anak. Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama

Sharma, K.L. 1975. Entrepreneurial Perfomance in Role Perspective. New

Delhi: Abhinar Publications.

Sholihin, A.I. 2002. Karakteristik Maha-siswa. Makalah. Tidak diterbitkan.

Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Sigit, S. 1982. Marketing Praktis.

Yogya-karta : Amurrita.

Soemanto, Wasty. 1999. Sekuncup Ide Operasional Pendidikan Wiraswasta.

Jakarta: Bumi Aksara.

Steinhoff, D. and Burgess, J.F. 1986. Small Business Management Fundamentals

(4th ed.). New York : Mc Graw Hill

Book Co.

Suhadi. 1985. Wiraswasta Sampah Satu Alternatif Ekonomi Yang Perlu Dijajagi. Yogyakarta: PT. Bina Ilmu.

Sumahamijaya, S. 1978. Mencari Makna Wiraswasta. Prisma. 9, Oktober, Th.

VII.

____. 1980. Kewiraswastaan, dalam Sri Edi Swasono. Entrepreneurship Indo-nesia (Bunga Rampai). Jakarta:

Lembaga Penerbit UI.

Suparno, Edi. 2002. "Employees Boom'' dan Lonceng Kematian Pendidikan Tinggi. Data pada pendahuluan. Suara Pembaruan. Berita tanggal 17 Mei

2002.

Suryo, D. 1986. Sektor Swasta dalam Perspektif Sejarah. Prisma. 9, April.

Susiawan, Susilo. 1983. Hubungan Antara Konsep Diri dengan Kualitas Kewiraswastaan pada Pedagang Kaki Lima di Kotamadya Yogyakarta.

Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta:

Fakultas Psikologi UGM.

Swasono, S.E. 1976. Entrepreneurship Indonesia. Jakarta : LPFE Universitas

Indonesia.

Tilaar, M. 1987. Menumbuhkan dan Membina Sikap Wiraswasta yang Tangguh dan Profesional. Makalah.

Tidak diterbitkan. Lembaga Pendi-dikan Primagama bekerja sama dengan Kadin Daerah Istimewa Yogyakarta. Utomo, W. Dunia Kehidupan Mahasiswa

Indonesia dalam Kumpulan Naskah Penataran Bimbingan dan Konseling untuk Tenaga Pengajar Perguruan Tinggi se-Indonesia. Buku 20:

(23)

Psikologi Belajar. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan RI. Walgito, B. 1994. Psikologi Sosial Suatu

Pengantar. Yogyakarta: Andi Offset.

Widada, S.T. 1991. Kemandirian Ditinjau dari Status Keikutsertaan dan Motivasi Mengikuti Kegiatan Ekstrakurikuler Pecinta Alam pada Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta:

Fakultas Psikologi UGM.

Wijandi, S. 1981. Pengantar Kewira-usahaan. Bandung: Sinar Baru.

Wimbarti, S. 1998. Mengajarkan Kecer-dasan Emosional pada Anak Suatu Pandangan Psikologis. Makalah (tidak

diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Zajonc, R.B., Murphy, S.T. & Inglehart, M. 1989. Feeling ang Facial Efference : Implicatins of The VascularTheory of Emotion. Psychology Review. 96,3, 395-410.

____. (2001). Dunia Usaha Tidak Digubris.Dalam Kompas. Minggu 21

Oktober 2001

____. (2002). Http://www.bogor.net/bcc/ new_page_5.htm ciri kepribadian kewirausahaan. ____. (2002). Http://www.bradfuller.com/ Publucations/innovate.html ____. (2002). Http://www.chrisfoxinc.com/ Intrapreneurship.htm ____. (2002) Http://www.kompas.com/ kompas-cetak/0204/27/DIKBUD/ pend09.htm. ____. (2002) Http://www.nakertrans.go.id/ berita_mass_media/B_Tenagakerja/20 02/mei/MM-TK020517c.htm ____. (2002). Intrapreneurship. Makalah. http://www.ima-india.com (Kamath, P). ____. (1986). Kewiraswastaan. Makalah.

Untuk Peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) UGM Yogyakarta. Yogyakarta: Kanwil Deperdag DIY.

___. (2002). Kondisi Tenaga Kerja di Indonesia. Artikel. http:

//www.nakertrans.go.id (Pasaribu, Bomer).

___. (2002). Mengenal Kecerdasan Emosional Remaja. Makalah. Jakarta:

http://www.e-psikologi.com/remaja/ 250402.htm (Mu’tadin, Zainun). ___. (2001). Modal Ventura kawan Bagi

UKM dan Koperasi. Dalam Koran Tempo. Minggu 5 Agustus 2001.

Gambar

Tabel 2. Norma Untuk Kategorisasi Lima Skor  Norma Kategorisasi  Kategori
Tabel 7. Hasil Uji Normalitas
Tabel 9. Deskripsi SR (%) dan SE (%) Aspek Kecerdasan Emosi terhadap Kewirausahaan  pada Mahasiswa

Referensi

Dokumen terkait

Bahkan ketentuan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual/HAKI (yang tersebar pada UU Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri, atau Rahasia Dagang) sudah lebih dari cukup

Berdasarkan pada uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut hal- hal yang berkaitan strategi inovasi atribut produk yang terdiri dari kualitas produk, fitur produk

Semua pihak yang belum saya sebutkan, yang telah membantu saya baik selama perkuliahan maupun dalam pengerjaan proyek akhir ini.. Segala ucapan terima kasih tentunya belum

(2017) mendokumentasikan 10 jenis ikan eksotik, sedangkan Ohee (2018) mendokumentasi kan tujuh ikan eksotik dari danau ini. Semua penelitian ini melaporkan bahwa sekitar 50%

Keterampilan remaja dalam mengatur emosi sangat penting untuk keberhasilan menjalin hubungan dengan orang lain, dengan menjalin hubungan dengan orang lain maka

Affiliate Marketing dilakukan oleh para pelaku bisnis online sebagai alat bantu untuk memasarkan produk atau jasa yang mereka jual dengan cara merekrut anggota sebagai reseller

Sedangkan dari survai mengenai kepuasan kerja dengan 16 orang perawat pelaksana di RSJ Cimahi itu sendiri didapatkan data sebanyak 75% merasakan kurang adanya

Tugas Akhir sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Derajat Ahli Madya pada Program Studi Diploma III Manajemen Usaha Peternakan Fakultas Peternakan dan Pertanian