• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gill, S. S., E. A. Cowles and P. V. Pietrantonio The Mode of Action of Bacillus thuringiensis. Endotoxin. Annu, Rev. Entomol. 37:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gill, S. S., E. A. Cowles and P. V. Pietrantonio The Mode of Action of Bacillus thuringiensis. Endotoxin. Annu, Rev. Entomol. 37:"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen

bagi serangga. Bakteri ini bersifat gram positif, berbentuk batang, memilki flagella,

membentuk spora secara aerob dan selama sporulasi membentuk kristal protein paraspora

yang dapat berfungsi sebagai insektisida. Kristal protein ini dikenal dengan nama

N-endotoksin. Menurut Gill et al. (1992) spora yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis

berbentuk oval dan berwarna terang, rata-rata memiliki dimensi 1,0 - 1,3 µm. Jika

ditumbuhkan pada medium padat, koloni Bacillus thuringiensis berbentuk bulat dengan

tepian berkerut, memiliki diameter 5-10 mm, berwarna putih, elevasi timbul pada permukaan

koloni kasar.

Gill, S. S., E. A. Cowles and P. V. Pietrantonio. 1992. The Mode of Action of Bacillus

thuringiensis. Endotoxin. Annu, Rev. Entomol. 37:615-636.

Bacillus thuringiensis pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1901 dari

penyakit pada jentik ulat sutera. Ishiwata adalah orang yang pertama kali mengisolasikan

Bacillus thuringiensis dari larva ulat sutera yang mati (Dulmage et al., 1990). Pada saat itu,

belum dikenal sebagai Bacillus thuringiensis. Tahun 1911, Berliner menemukan sejenis

bakteri yang sama dengan yang ditemukan oleh Ishiwata dari kumbang tepung Mediteranian

(Mediterranean flour moth), Anagasta kuehniella yang mati (Dulmage et al., 1990). Bakteri

ini kemudian dinamakan dengan Bacillus thuringiensis.

Dulmage, H. T. and R. A. Rhodes. 1971. Production of Pathogens in Artificial Media.

507-540. In Burges, H. D. and N. W. Hussey (eds). Microbial Control of Insect and Mite.

London, New York: Academis Press.

1. Ciri-ciri Morfologi Bacillus thuringiesis

Bacillus thuringiensis merupakan salah satu anggota B. cereus grup bersama

dengan B. anthraxis. B. thuringiensis mempunyai ciri khusus yaitu kemampuannya

untuk menghasilkan protein kristal protoksin intraseluler dari kelompok δ-endotoksin

sehingga dapat dibedakan dengan B. Cereus. Endospora berbentuk oval hingga

silindris, terletak parasentral atau terminal. Bakteri tersebut dapat nonmotil atau motil

dengan adanya flagela tipe peritrik. Pewarnaan Gram dan spora dapat dilakukan

dalam uji sifat sitologi suatu bakteri. Prinsip pewarnaan Gram adalah kemampuan

dinding sel terhadap zat warna dasar (Kristal violet) setelah pencucian alkohol 96%.

Bakteri Gram positif terlihat berwarna ungu karena dinding selnya mengikat Kristal

violet lebih kuat, sedangkan sel Gram negatif mengandung lebih banyak lipid

(2)

sehingga pori-pori mudah membesar dan Kristal violet mudah larut saat pencucian

alkohol.

Bacillus thuringiensis merupakan bakteri Gram positif. Bakteri Gram positif

memiliki dinding sel yang mengandung peptidoglikan dan juga asam teikoat dan asam

teikuronat. Oleh sebab itu dinding sel bakteri Gram positif sebagian adalah

polisakarida. Pada beberapa bakteri, asam teikoat merupakan antigen permukaan

(antigen dinding sel) dan ada yang merupakan selaput pada selnya. Asam teikoat ini

pada umumnya terdiri dari gula netral seperti galaktosa, manosa, ramnosa, arabinosa

dan glukosamin. Lapisan yang demikian itu akan menyelimuti seluruh sel bakteri

sehingga menyerupai selubung yang kuat dan dinamakan murein.

2. Klasifikasi Bacillus thuringiensis

Klasifikasi menurut Tarumingkeng (2001) :

Kingdom : Eubacteria

Division : Bakteria

Class : Schizomycetes

Ordo : Eubacteriales

Family : Bacillaceae

Genus : Bacillus

Spesies : Bacillus thuringiensis

Tarumingkeng R C 2001. Biologi dan Pengendalian Rayap Hama Bangunan di

Indonesia.

http://tumoutou.net/5 termite biology and control.htm

(diakses 4 Mei 2015)

Gambar 1. Bacillus thuringiensis (science photo library)

Sedikitnya terdapat 34 subspesies dari Bacillus thuringiensis yang disebut

serotype atau varietas dari Bacillus thuringiensis dan lebih dari 800 keturunan atau

benih Bacillus thuringiensis telah diisolasi. Pada beberapa subspesies dari bakteri

Bacillus thuringiensis yaitu kurstaki, aizawai, sotto entomocidus, berliner, san diego,

tenebroid, morrisoni dan israelensis, dijumpai beberapa jenis strain, seperti HD-1,

HD-5 dan sebagainya dalam satu subspesies (Bahagiawati, 2002).

Bahagiawati. 2002. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai Bioinsektisida. Buletin

AgroBio 5(1):21-28.

3. Fisiologi Bacillus thuringiensis

Ciri khas yang terdapat pada Bacillus thuringiesis adalah kemampuannya

membentuk kristal (tubuh paraspora) bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu

(3)

pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal protein Bacillus thuringiensis

mempunyai beberapa bentuk, diantaranya bentuk bulat pada subsp. israelensis yang

toksik terhadap Diptera, bentuk kubus yang toksik terhadap Diptera tertentu dan

Lepidoptera, bentuk pipih empat persegi panjang (flat rectangular) pada subsp.

tenebriosis yang toksik terhadap Coleoptera, bentuk piramida pada subsp. kurstaki

yang toksik terhadap Lepidoptera, sedangkan kristal protein memiliki beberapa

bentuk bedasarkan adanya hubungan nyata antara bentuk kristal dengan kisaran daya

bunuhnya.

Varietas yang memiliki daya bunuh terhadap serangga ordo Lepidoptera

memiliki kristal protein yang berbentuk bipiramida dan jumlahnya hanya satu tiap sel,

sedangkan yang berbentuk kubus, oval, dan amorf umumnya bersifat toksik terhadap

serangga ordo Diptera dan jumlahnya dapat lebih dari satu tiap sel. Kristal yang

memiliki daya bunuh terhadap serangga ordo Coleoptera berbentuk empat persegi

panjang dan datar batu pipih. Spora Bacillus thuringiensis merupakan suatu usaha

perlindungan diri dari pengaruh lingkungan luar yang buruk, hal ini terjadi karena

dinding bakteri yang bersifat impermeabel. Pembentukan spora juga bersamaan

dengan terbentuknya kristal protein yaitu ketika sel mengalami lisis sesuda sporulasi

sempurna. Kristal protein yang bersifat insektisida ini sebenarnya hanya protoksin

yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih

pendek (27-147 kDa).

Pada umumnya, kristal protein di alam bersifat protoksin karena adanya

aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga yang mengubah Bacillus

thuringiensis protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin.

Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel epitelium di usus tengah serangga

sehingga menyebabkan terbentuknya pori-pori di sel membran saluran pencernaan

serangga (Bahagiawati, 2002). Efektifitas dari toksin tertentu juga dipengaruhi oleh

kelarutan, afinitas tehadap reseptor yang ada serta pemecahan proteolitik ke dalam

toksin. Secara umum dapat disimpulkan bahwa cara kerja kristal protein sebagai

toksin dari Bacillus thuringiensis dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor

spesifikasi dari mikroorganisme dan kerentanan dari serangga sasaran (Milne et al.

1990).

Milne, R., A. Z. Ge, D. Rivers and D. H. Dean. 1990. Specificity of Insecticidal Crystal

Proteins: Implications for Industrial Standarization . In Hickle,L. A. dan w. l. Fitch.

1990. Analytical Chemistry of Bacillus thuringiensis.Washington D.C.: American

Chemical Society.

(4)

Faktor lain seperti umur dari serangga juga merupakan salah satu faktor yang

menentukan toksisitas dari Bacillus thuringiensis jentik serangga yang lebih muda

lebih rentan jika dibandingkan dengan jentik yang lebih tua. Gen yang mengkode

kristal protein yang dihasilkan oleh bakteri Bacillus thuringiensis telah diisolasi dan

dikarakterisasi, dikenal dengan sebutan gen Cry yang berasal dari kata Crystal

(Bahagiawati, 2002). Gen Cry adalah paraspora yang mengandung kristal protein dari

Bacillus thuringiensis yang menghasilkan toksik terhadap organisme sasaran.

Mekanisme daya kerja dari endotoksin pada masing-masing gen Cry penting

untuk diketahui sebagai penentuan proses kunci yang bertanggung jawab terhadap

kespesifikan dari sebuah kristal protein. Faktor utama yang menentukan kerja kristal

protein adalah perbedaan pada larva yang mempengaruhi proses kelarutan, proses

kristal dari yang tidak aktif menjadi aktif, dan keberadaan dari spesifik protoksin di

dalam usus dari spesies- spesies serangga (Bahagiawati, 2002).

Bangsa Baccilus memiliki arti yang sangat penting dibeberapa bidang dalam ilmu pertanian. Sebagai contoh dlam bidang mikrobiologi pangan, bacteri ini merupakan ancaman dalam proses sterilisasi bahan pangan, karena baccillus ini dikenal memiliki sifat yang tahan panas dan mampu membentuk spora, seperti halnya bakteri dari golongan Clostridium. Didalam bidang perlindungan tanaman bacteri ini dapat untuk mengendalikan OPT dari bangsa Lepidoptera ( Ulat ). Sebagai contoh penggunaan Baccllus thuringiensis efektif digunakan untuk mengendalikan ulat daun (Plutella xylostella ) pada kubis.

(5)

Jenis-jenis Biopestisida

Jenis-jenis biopestisida, antara lain : 1. Insektisida biologi (Bioinsektisida)

Berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida. Mikroorganisme yang

menyebabkan penyakit pada serangga tidak dapat menimbulkan gangguan terhadap hewan-hewan lainnya maupun tumbuhan. Jenis mikroba yang akan digunakan sebagai insektisida harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak pada jenis-jenis lainnya.

Pada saat ini hanya beberapa insektisida biologi yang sudah digunakan dan diperdagangkan secara luas. Mikroba patogen yang telah sukses dan berpotensi sebagai insektisida biologi salah satunya adalah Bacillus thuringiensis (Khetan, 2001). Bacillus thuringiensis var.

kurstaki telah diproduksi sebagai insektisida biologi dan diperdagangkan dalam berbagai

nama seperti Dipel, Sok-Bt, Thuricide, Certan dan Bactospeine. Bacillus thuringiensis var.

Israelensis diperdagangkan dengan nama Bactimos, BMC, Teknar dan Vektobak. Jenis

insektisida ini efektif untuk membasmi larva nyamuk dan lalat (Sastroutomo, 1992). Jenis insektisida biologi yang lainnya adalah yang berasal dari protozoa, Nosema

locustae, yang telah dikembangkan untuk membasmi belalang dan jengkerik. Nama

dagangnya ialah NOLOC, Hopper Stopper. Cacing yang pertama kali didaftarkan sebagai insektisida ialah Neoplectana carpocapsae, yang diperdagangkan dengan nama Spear, Saf-T-Shield. Insektisida ini digunakan untuk membunuh semua bentuk rayap (Sastroutomo, 1992). 2. Herbisida biologi (Bioherbisida)

Termasuk dalam golongan herbisida ini ialah pengendalian gulma dengan menggunakan penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus. Bioherbisida yang pertama kali digunakan ialah DeVine yang berasal dari Phytophthora palmivora yang digunakan untuk mengendalikanMorrenia odorata, gulma pada tanaman jeruk. Bioherbisida yang kedua dengan menggunakanColletotrichum gloeosporioides yang diperdagangkan dengan nama Collego dan digunakan pada tanaman padi dan kedelai di Amerika (Sastroutomo, 1992). 3. Fungisida biologi (Biofungisida)

Biofungisida menyediakan alternatif yang dipakai untuk mengendalikan penyakit jamur. Beberapa biofungisida yang telah digunakan adalah spora Trichoderma sp. digunakan untuk mengendalikan penyakit akar putih pada tanaman karet dan layu fusarium pada cabai. Merek dagangnya ialah Saco P dan Biotri P (Novizan, 2002).

Biofungisida lainnya menurut Novizan (2002), yaitu Gliocladium spesies G. roseum dan G.

virens. Produk komersialnya sudah dapat dijumpai di Indonesia dengan merek dagang

Ganodium P yang direkomendasikan untuk mengendalikan busuk akar pada cabai akibat serangan jamur Sclerotium Rolfsii.

Bacillus subtilis yang merupakan bakteri saprofit mampu mengendalikan serangan jamurFusarium sp. pada tanaman tomat. Bakteri ini telah diproduksi secara masal dengan merek dagang Emva dan

Harmoni BS (Novizan, 2002). Keuntungan biopestisida:

 Menjaga kesehatan tanah dan mempertahankan hidupnya dengan meningkatkan bahan organik tanah.

 Spesies tertentu yang digunakan aman baik sebagai musuh alami dan organisme non target.

 Biopestisida tidak terlalu beracun seperti pestisida kimia sehingga aman untuk lingkungan.

 Pestisida mikroba mengandalkan senyawa biokimia potensial yang disintesis oleh mikroba, hanya dibutuhkan dalam jumlah terbatas.

(6)

 Mudah membusuk sehingga dapat mengurangi pencemaran

b. Deskripsi

B. thuringiensis dibagi menjadi 67 subspesies (hingga tahun 1998) berdasarkan serotipe dari flagela

(H). Ciri khas dari bakteri ini yang membedakannya dengan spesies Bacillus lainnya adalah kemampuan membentuk kristal paraspora yang berdekatan dengan endospora selama fase sporulasi III dan IV. Selama pertumbuhan vegetatif terjadi, berbagai galur B. thuringiensismenghasilkan bermacam-macam antibiotik, enzim, metabolit, dan toksin, yang dapat merugikan organisme lain. Selain endotoksin (ICP), sebagian subspesies B. thuringiensis dapat membentuk beta-eksotoksi yang toksik terhadap sebagian besar makhluk hidup, termasuk manusia dan insekta.

Bacillus thuringiensis adalah bakteri gram-positif, berbentuk batang, yang tersebar secara luas di

berbagai negara. Bakteri ini termasuk patogen fakultatif dan dapat hidup di daun tanaman konifer maupun pada tanah. Apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan maka bakteri ini akan membentuk fase sporulasi. Saat sporulasi terjadi, tubuhnya akan terdiri dari protein Cry yang termasuk ke dalam protein kristal kelas endotoksin delta. Apabila serangga memakan toksin tersebut maka serangga tersebut dapat mati. Oleh karena itu, protein atau toksin Cry dapat dimanfaatkan sebagai pestisida alami.

Berbagai macam spesies B. thuringiensis telah diisolasi dari serangga golongan koleoptera, diptera, dan lepidoptera, baik yang sudah mati ataupun dalam kondisi sekarat. Bangkai serangga sering mengandung spora dan ICP B. thuringiensis dalam jumlah besar. Sebagian subspesies juga didapatkan dari tanah, permukaan daun, dan habitat lainnya. Pada lingkungan dengan kondisi yang baik dan nutrisi yang cukup, spora bakteri ini dapat terus hidup dan melanjutkan pertumbuhan vegetatifnya. B. thuringiensis dapat ditemukan pada berbagai jenis tanaman, termasuk sayuran, kapas, tembakau, dan tanaman hutan.

c. Substansi aktif

Istilah substansi aktif yaitu bahan-bahan yang mempunyai aktivitas tertentu yang dihasilkan oleh makhluk hidup, dan bahan aktif ini biasanya dapat bersifat positif pada makhluknya sendiri akan tetapi dapat bersifat negatif atau positif pada makhluk hidup lain.

Substansi aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme umumnya digolongkan menjadi dua macam, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Substansi aktif primer biasanya bersifat intraseluler atau terdapat didalam sel. Biasanya metabolit primer dihasilakn dalam jumlah yang relatif kecil. Substansi sekunder adalah hasil dari metabolisme didalam sel yang disekresikan keluar dari sel atau dikumpulkan dalam kantong-kantong khusus diantara sel atau jaringan didalam tubuhnya.

Bacillus thuringiensis membentuk spora yang membentuk kristal protein-toksin. Kristal tersebut

bersifat toksik terhadap serangga. Penelitian Heimpel (1967) diketahui bahwa B.

thuringiensismenghasilkan beberapa jenis toksin, seperti α(alfa), β(beta), γ(gamma)-eksotoksin, dan

δ(delta)-endotoksin, serta faktor louse. Peneliti lain menginformasikan bahwa yang berperan penting sebagai insektisida adalah protein β-eksotoksin dan δ-endotoksin.

Berbagai macam B. thuringiensis :

1. Bacillus thuringiensis varietas tenebrionis menyerang kumbang kentang colorado dan larva

kumbang daun.

2. Bacillus thuringiensis varietas kurstaki menyerang berbagai jenis ulat tanaman pertanian. 3. Bacillus thuringiensis varietas israelensis menyerang nyamuk dan lalat hitam.

4. Bacillus thuringiensis varietas aizawai menyerang larva ngengat dan berbagai ulat, terutama

(7)

Bio-insektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis

Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan bakteri yang dapat mengendalikan hama ulat daun, kumbang daun, dan kutu daun pada tanaman holtikultura. Bakteri B. thuringiensis cukup efektif untuk mengendalikan berbagai jenis hama dari golongan lepidoptera, coleoptera, dan hemiptera.

Senyawa toksin penting dalam upaya pengembangan produk bioinsektisida secara komersial. Karaterisasi kimia β-eksotoksin pertama kali diaporkan oleh Mc. Connel dan Richard (1959). Peneliti tersebut mengatakan bahwa β-eksotoksin terdiri dari komposisi senyawa asam nukleat, seperti adenine, ribose, glucose, dan asam alarik dengan ikatan kelompok fosfat. Selain itu, β-eksotoksin diketahui bersifat termostabil, artinya bahwa senyawa tersebut tahan atau tidak rusak jika terkena suhu tinggi, maka digolongkan sebagai thermostabel eksotoksin, larut didalam air dan sangat beracun terhadap beberapa jenis ulat. Sementara α-eksotoksin bersifat sebaliknya, tidak stabil jika terkena panas. Senyawa tersebut diketahui beracun bagi mencit dan ulat (Plutella xylostella).

Reaksi toksisitas terhadap serangga dari δ-endotoksin dan strain B. thuringiensis terhadap serangga tampaknya juga sangat bervariasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Heimpel dan rekannya (1959 dan 1967) terhadap serangga Lepidoptera menunjukkan adanya respon yang berbeda terhadap δ-endotoksin.

Fenomena lain mekanisme kerja dari toksin bakteri B. thuringiensis yaitu, terjadinya mekanis intraseluler dari β-eksotoksin, sebagai substansi protein aktif yang bersifat racun, senyawa ini akan menghambat sintesa asam ribonukleat, dengan cara menghentikan proses katalisa polimerasi oleh DNA-dependen RNA-polymersae.

(8)

Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada usus serangga. Pada serangga target, protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna protein serangga. Protein yang teraktifkan akan menempel pada protein receptor yang berada pada permukaan sel epitel usus. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau lubang pada sel sehingga sel mengalami lysis. Pada akhirnya serangga akan mengalami gangguan pencernaan dan mati.

Cara Isolasi

Isolat Bacillus thuringiensis dapat diisolasi dari tanah, bagian tumbuhan, kotoran hewan, serangga dan bangkainya dan sumber lain. Salah satu cara isolasi yang cukup efektif adalah dengan seleksi asetat. Beberapa gram sumber isolat disuspensikan ke dalam media pertumbuhan bakteri (misal LB) yang mengandung natrium asetat kemudian dikocok. Media asetat tersebut menghambat pertumbuhan spora B. thuringiensis menjadi sel vegetatif. Setelah beberapa jam media tersebut dipanaskan pada suhu 80°C selama beberapa menit. Pemanasan ini akan membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme yang sedang tumbuh termasuk spora-spora bakteri lain yang tumbuh. Kemudian sebagian kecil dari suspensi yang telah dipanaskan diratakan pada media padat. Koloni-koloni yang tumbuh kemudian dipindahkan ke media sporulasi B. thuringiensis. Koloni yang tumbuh pada media ini dicek keberadaan spora atau protein kristalnya untuk menentukan apakah koloni tersebut termasuk isolat B. thuringiensis.

Penapisan Isolat yang Toksik

Tidak semua isolat Bt beracun terhadap serangga. Untuk itu perlu dilakukan penapisan daya racun dari isolat-isolat yang telah diisolasi. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk hal ini. Pertama dengan pendekatan molekular dan kedua dengan bioasai.

Pendekatan molekular dilakukan dengan PCR menggunakan primer-primer yang dapat menggandakan bagian-bagian tertentu dari gen-gen penyandi protein kristal (gen cry). Hasil PCRini dapat dipakai untuk memprediksi potensi racun dari suatu isolat tanpa terlebih dulu melakukan

(9)

bioasai terhadap serangga target. Dengan demikian penapisan banyak isolat untuk kandungan gen-gen cry tertentu dapat dilakukan dengan cepat.

Untuk menguji lebih lanjut daya beracun dari suatu isolat maka perlu dilakukan bioasai dengan mengumpankan isolat atau kristal protein dari isolat tersebut kepada serangga target. Dari bioasai ini dapat dibandingkan daya racun antar isolat. Dengan pendekatan seperti ini BB-Biogen telah mengidentifikasi beberapa isolat B. thuringiensis lokal yang mengandung gen cry1 dan beracun terhadap beberapa serangga.

Cara Perbanyakan

Perbanyakan bakteri B. thuringiensis dalam media cair dapat dilakukan dengan cara yang mudah dan sederhana. Karena yang kita perlukan sebagai bioinsektisida adalah protein kristalnya, maka diperlukan media yang dapat memicu terbentuknya kristal tersebut. Media yang mengandungtryptose telah diuji cukup efektif untuk memicu sporulasi B. thuringiensis. Dalam 2–5 hari B. thuringiensis akan bersporulasi dalam media ini dengan pengocokan pada suhu 30°C. Perbanyakan B. thuringiensis ini dapat pula dilakukan dalam skala yang lebih besar dengan fermentor.

Referensi

Dokumen terkait

• Masyarakat Cina telah menginterpretasi banyak nilai-nilai yang dianggap murni yang telah dikemukakan oleh Konfusius untuk membina diri, keluarga, masyarakat

Berdasarkan metode yang digunakan, didapatkan hasil analisa hidrologi dan hidrolika yang akan dibandingkan untuk mendapatkan besarnya kapasitas saluran drainase yang

Uji patogenisitas yang dilakukan melalui pakan menunjukkan bahwa bakteri merah ini juga bersifat patogenik terhadap lar- va Tenebrio molitor , bahkan protein yang diekstraksi

Sedangkan hasil penelitian Putran- tomo (2010), dengan metode yang sama penghitungan ekonomi terumbu karang Taman Nasional Karimunjawa diperoleh nilai surplus

Berdasarkan hasil wawancara dengan nara sumber fungsi sosial ulos dalam acara pernikahan adat istiadat batak toba yaitu adalah pada saat prosesi penyerahan ulos

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pola pertumbuhan ikan Layang ( D. russelli ) di perairan selat Malaka bersifat allometrik positif Ukuran rata-rata tertangkap

Berdasarkan hasil praktikum pada pengamatan prefrensi makanan pada serangga, yaitu belalang (Disosteira carolina) dapat diketahui pada prefrensi makanan yang diberikan,

negatif signifikan secara parsial terhadap penyaluran Kredit UMKM pada Bank.. Pemerintah