• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, implementasi adalah pelaksanaan dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, implementasi adalah pelaksanaan dan"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Implementasi Kebijakan

2.1.1. Pengertian Implementasi Kebijakan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, implementasi adalah pelaksanaan dan penerapan, dimana kedua hal ini bermaksud untuk mencari bentuk tentang hal yang disepakati terlebih dahulu. Implementasi adalah proses untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga dimaksudkan menyediakan sarana untuk membuat sesuatu dan memberikan hasil yang bersifat praktis terhadap sesama. Jadi Implementasi dimaksudkan sebagai tindakan individu public yang diarahkan pada tujuan serta ditetapkan dalam keputusan dan memastikan terlaksananya dan tercapainya suatu kebijakan serta memberikan hasil yang bersifat praktis terhadap sesama sehingga dapat tercapainya sebuah kebijakan yang memberikan hasil terhadap tindakan-tindakan individu publik dan swasta (http://www.scribd.com. Diakses pada tangal 25 November 2012 pukul 15.00).

Implementasi menurut kamus Webster merumuskan secara pendek bahwa to

implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out;

(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Van Meter dan Van Horn (1975) merumuskan implementasi ini adalah sebagai tindakan – tindakan yang dilakukan baik oleh individu – individu, pejabat – pejabat, atau kelompok – kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan – tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan(Wahab,2005: 64).

(2)

Pengertian implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksanaan, kesediaan dilaksanakannya keputusan- keputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata; baik yang dikehendaki atau yang tidak dari output tersebut, dampak keputusan sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan) terhadap undang-undang/ peraturan yang bersangkutan (Wahab,2005: 68).

Berdasarkan banyak pengertian implementasi yang dikemukakan diatas,dapat dikatakan bahwa implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan pihak-pihak yang berwenang atau kepentingan baik pemerintahmaupun swasta yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan yang telah ditetapkan, implementasi dengan berbagai tindakan yang dilakukan untuk melaksanakan atau merealisasikan program yang telah disusun demi tercapainya tujuan dari program yang telah direncanakan karena pada dasarnya setiap rencana yang ditetapkan memiliki tujuan atau target yang hendak dicapai.

Sedangkan kebijakan (policy) juga memiliki arti yang bermacam – macam. Harold D.Lasswell dan Abraham Kaplan memberi arti kebijakan sebagai a projected program of

goals, values and practises, yang bermakna suatu program pencapaian tujuan, nilai – nilai

(3)

serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan – hambatan dan kesempatan – kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ahli lainnya seperti James E.Anderson mengatakan bahwa kebijakan itu adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Kemudian menurut Amara Raksasataya mengemukakan bahwa kebijakan adalah sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Menurut beliau kebijakan memuat tiga elemen yaitu :

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai

2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diiginkan

3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi(islamy,2004: 17).

Menurut Perserikatan Bangsa – Bangsa, kebijakan diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci bersifat kualitataif atau kuantitatif, publik maupun privat. Kebijakan dalam makna seperti ini mungin berupa suatu deklarasi mengenai dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas – aktivitas ataupun suatu rencana(Wahab,2005:2).

Ada juga pengertian kebijakan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan tindakan-tindakan yang terarah dan kebijakan juga merupakan serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukan kesulitan-kesulitan dan kemungkinan usulan kebijaksanaan tersebut

(4)

dalam rangka mencapai tujuan tertentu((http://www.scribd.com. Diakses pada tanggal 25 November 2012 pukul 15.00).

Oleh karena itu bisa kita pahami secara sederhana bahwa implementasi kebijakan adalah suatu tahapan kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi – konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu dapat mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu telah diimplementasikan dengan sangat baik, sementara itu suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik, dapat mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan. 

Dengan demikian bisa kita ketahui bahwa implementasi dan kebijakan adalah dua kata yang tidak bisa dipisahkan dalam satu kosa kata. Implementasi sebagai kata kerja dan kebijakan sebagai objek untuk yang diimplementasikan. Sebagai pangkal tolak berpikir kita, hendaknya selalu diingat bahwa implementasi adalah sebagian besar kebijakan dari pemerintah dan pasti akan melibatkan sejumlah pembuat kebijakan baik publik maupun swasta berusaha keras untuk memberikan pelayanan atau jasa kepada masyarakat guna untuk mencapai tujuan tertentu. Sehingga untuk melaksanakan implementasi kebijakan ini perlu mendapatkan perhatian yang seksama dari berbagai kalangan.

2.2. Model – Model Perumusan Kebijakan

Membuat atau merumuskan kebijakan bukanlah suatu proses yang sederhana dan mudah. Hal ini disebabkan banyak faktor atau kekuatan – kekuatan yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijakan tersebut. Suatu kebijakan dibuat bukan semata – mata untuk kepentingan politis tetapi justru untuk meningkatkan kesejahteraan hidup

(5)

anggota masyarakat secara keseluruhan. Perumusan kebijakan akan lebih mudah dimengerti apabila menggunakan suatu model atau pendekatan tertentu.

Oleh karena itu, beberapa ahli mengembangkan model-model perumusan kebijakan untuk mengkaji proses perumusan kebijakan agar lebih mudah dipahami. Dengan demikian, pembuatan model-model perumusan kebijakan digunakan untuk lebih menyederhanakan proses perumusan kebijakan yang berlangsung secara rumit tersebut. Ada cukup banyak model perumusan kebijakan yang dipaparkan oleh beberapa ahli, hanya saja yang akan dibahas hanyalah beberapa dari model tersebut. Sebelum dibahas lebih lanjut identifikasi beberapa model perumusan kebijakan, perlu diperhatikan bahwa tidak ada satupun dari beberapa model yang dibahas dianggap “paling baik”, karena masing – masing model memberikan fokus perhatiannya pada aspek yang berbeda, sehingga akan membuat kita mampu mempelajari kebijakan dari berbagai sudut pandangan.

2.2.1 Model Sistem – politik

Model ini diangkat dari uraian sarjana politik David Easton. Model ini didasarkan pada konsep – konsep teori informasi (inputs, withinputs, outputs dan feedback) dan memandang kebijakan sebagai respon suatu sistem politik terhadap kekuatan – kekuatan lingkungan (dalam hal ini yaitu sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, geografis dan sebagainya) yang ada di sekitarnya. Konsep “sistem” itu sendiri menunjuk pada seperangkat lembaga dan aktivitas – aktivitas politik dalam masyarakat Sehingga model ini memandang kebijakan sebagai hasil (output) dari sistem politik yang berfungsi mengubah tuntutan – tuntutan(demands), dukungan – dukungan (supports), dan sumber – sumber (resources), menjadikan ini semua adalah masukan – masukan (inputs), dimana masukan atau inputs ini menjadi keputusan – keputusan atau kebijakan – kebijakan yang otoritatif bagi seluruh anggota masyarakat (outputs). Konsep “sistem” ini juga

(6)

menunjukkan adanya saling hubungan antara elemen – elemen yang membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan menanggapi kekuatan dalam lingkungannya. Inputs yang sudah diterima oleh sistem politik dijadikan dalam bentuk tuntutan dan dukungan (Islamy,2004: 45).

Paine dan Naumes berpendapat bahwa model ini merupakan model deskripitif karena lebih berusaha menggambarkan senyatanya yang terjadi dalam pembuatan kebijakan. Menurut Paine dan Naumes, model ini disusun hanya dari sudut pandang para pembuat kebijakan. Dalam hal ini para pembuat kebijakan dilihat perannya dalam perencanaan dan pengkoordinasian untuk menemukan pemecahan masalah yang akan (1) menghitung kesempatan dan meraih atau menggunakan dukungan internal dan eksternal, (2) memuaskan permintaan lingkungan, dan (3) secara khusus memuaskan keinginan atau kepentingan para pembuat kebijakan itu sendiri. Dengan merujuk pada pendekatan sistem yang ditawarkan oleh Easton, Paine dan Naumes menggambarkan model pembuatan kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat kebijakan dalam suatu proses yang dinamis. Model ini mengasumsikan bahwa dalam pembuatan kebijakan terdiri dari interaksi yang terbuka dan dinamis antar para pembuat kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan (inputs dan outputs). Keluaran yang dihasilkan oleh organisasi pada akhirnya akan menjadi bagian

lingkungan dan seterusnya akan berinteraksi dengan organisasi(http://adiprojo.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 27 November 2012 pukul

19.00).

Tuntutan – tuntutan (demands) timbul bila individu – individu atau kelompok setelah memperoleh respons dari peristiwa dan keadaan – keadaan yang ada dilingkungannya serta berupaya mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Konsep “sistem” ini akan menyerap berbagai tuntutan yang ada. Sedangkan dukungan (supports)

(7)

diperlukan untuk menunjang tuntutan – tuntutan yang telah dibuat tadi. Jika sistem politik telah berhasil membuat keputusan ataupun kebijakan yang sesuai dengan tuntutan tadi maka implementasi keputusannya akan semakin mudah dilakukan. Menerima dan mematuhi hasil keputusan kebijakan, mematuhi undang-undang, membayar pajak dan sebagainya adalah merupakan perwujudan dari pemberian dukungan dan sumber – sumber.

Suatu sistem menyerap bermacam-macam tuntutan yang kadangkala bertentangan antara satu dengan yang lain. Untuk mengubah tuntutan-tuntutan menjadi hasil-hasil kebijakan (kebijakan-kebijakan publik), suatu sistem harus mampu mengatur penyelesaian-penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan penyelesaian-penyelesaian-penyelesaian-penyelesaian ini pada pihak yang bersangkutan. Oleh karena suatu sistem dibangun berdasarkan elemen-elemen yang mendukung sistem tersebut dan hal ini bergantung pada interaksi antara berbagai subsistem, maka suatu sistem akan melindungi dirinya melalui tiga hal, yakni: 1) menghasilkan outputs yang secara layak memuaskan, 2) menyandarkan diri pada ikatan-ikatan yang berakar dalam sistem itu sendiri, dan 3) menggunakan atau mengancam untuk menggunakan kekuatan (penggunaan otoritas). Dengan penjelasan yang demikian, maka model ini memberikan manfaat dalam membantu mengorganisasikan penyelidikan terhadap pembentukan kebijakan.

Secara singkat bisa dipahami, perumusan kebijakan dengan menggunakan model sistem ini mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil dari output dari sistem. Seperti yang dipelajari dalam ilmu politik yang dikemukakan David Easton, yang terdiri atas input,

throughput¸dan output dan model ini merupakan model yang paling sederhana namun

(8)

2.2.2. Model Rasional Komprehensif

Model ini merupakan model yang paling dikenal dan juga paling luas diterima para kalangan pengkaji kebijakan . Model teori ini mengedepankan gagasan bahwa kebijakan sebagai maximum social gain yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat. Model ini mengatakan bahwa proses penyusunan kebijakan harus didasarkan pada kebutuhan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai. Dengan kata lain, model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi dan aspek ekonomis. Cara – cara memformulasikan atau merumuskan kebijakannya sesuai urutan adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya 2. Menemukan pilihan – pilihan

3. Menilai konsekuensi masing – masing pilihan 4. Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan 5. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien

Apabila dirunut, model ini merupakan model ideal dalam merumuskan kebijakan, dalam arti mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan. Studi – studi kebijakan biasanya memfokuskan pada tingkat efisiensi dan keefektifan kebijakan(Nugroho,2006: 82).

Unsur – unsur utama dari teori ini dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah – masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai masalah – masalah

(9)

2. Tujuan – tujuan, nilai – nilai, atau saran yang memedomani pembuat keputusan amat jelas dan dapat ditetapkan rangkingnya sesuai dengan urutan kepentingannya.

3. Berbagai alternatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara saksama 4. Teliti juga akibat – akibat (biaya dan manfaat) yang ditimbulkan oleh setiap

alternatif yang dipilih

5. Setiap alternatif dan masing – masing akibat yang menyertainya dapat diperbandingkan dengan alternatif lain yang ada

6. Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan akibat – akibatnya, yang dapat memaksimasi tercapainya tujuan, nilai atau sasaran yang telah digariskan(Wahab,2005: 19).

Namun, model ini juga memiliki kelemahan dan kelebihannya. Beberapa ahli yang memuji model ini diantaranya :

1. Lutrin dan Settle, yang berpendapat bahwa “Model rasional komprehensif dipandang sebagai suatu prosedur yang optimal yang akan banyak diinginkan dalam berbagai keadaan”

2. Nicholas Henry, yang berpendapat bahwa “Model rasional komprehensif menjelaskan tentang bagaimana kebijakan negara itu seharusnya dibuat di lembaga pemerintahan secara optimal. Hal inilah yang menjadikan model rasional komprehensif begitu berharga bagi administrasi negara karena model ini berhubungan dengan bagaimana kebijakan itu dibuat secara lebih baik”

3. Ira Sharkansky, yang berpendapat bahwa “Model ini adalah menggunakan rasionalitas, dimana rasionalitas adalah suatu nilai yang telah diterima secara luas pada kebudayaan kita”

(10)

4. James E.Anderson, yang berpendapat bahwa “model pembuatan keputusan yang banyak dikenal dan juga mungkin yang banyak/secara luas diterima adalah model rasional komprehensif(Islamy,2004: 52-53).

Selain pendapat – pendapat di atas, masih banyak lagi pendapat lain yang memuji kehebatan model rasional komprehenssif, tetapi secara kontroversial mereka juga mengakui akan banyaknya kelemahan – kelemahan model ini. Seorang ahli Ekonomi dan Matematika Charles Lindblom menyatakan bahwa para perumus kebijakan itu sebetulnya tidaklah berhadapan dengan masalah – masalah yang konkrit dan terumuskan dengan jelas. Sebaliknya, mereka pertama – tama harus mengidentifikasikan dan merumuskan masalah – masalah itu dan dari sinilah mereka kemudian memutuskan untuk merumuskan kebijakan. Merumuskan masalah lah yang seringkali justru merupakan kesulitan terbesar bagi banyak pembuat kebijakan(Wahab,2005: 19).

Kelemahan model ini yang kedua adalah pada praktiknya perumus kebijakan acap kali tidak mempunyai cukup kecakapan untuk melakukan syarat – syarat dari model ini, mulai dari analisis, penyajian alternatif, memperbandingkan alternatif, hingga penggunaan teknik – teknik analisis komputer yang paling maju untuk menghitung rasio untung dan ruginya. Selain itu hal ini menunjukan bahwa rasionalitas itu sendiri mempunyai keterbatasan dan bisa jadi berubah menjadi irasionalitas. Hal ini lah menunjukkan bahwa teori “rasional” tidak cukup untuk memahami pembuatan keputusan kebijakan negara(Nugroho,2006: 88).

2.2.3. Model Inkrementalis

Model ini merupakan model penambahan (inkrementalis). Model ini lahir berdasarkan kritik dan perbaikan terhadap model rasional – komprehensif dengan mengubah (memodifikasi) sedikit – sedikit kebijakan yang sudah dibuat oleh model

(11)

rasional komprehensif(Islamy,2004: 59). Dijelaskan bahwa para pembuat kebijakan dalam model rasional komprehensif tidak pernah melakukan proses seperti yang disyaratkan oleh pendekatan rasional dikarenakan para pembuat kebijakan tidak memiliki cukup waktu, intelektual dan biaya. Ada muncul kekhawatiran dari dampak yag tidak diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya, ada hasil – hasil dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan dan menghindari konflik(Nugroho,2006: 89).

Model ini melihat bahwa kebijakan merupakan variasi atau kelanjutan dari kebijakan di masa lalu. Model ini dapat dikatakan sebagai model pragmatis/praktis. Pendekatan model ini diambil ketika pembuat kebijakan berhadapan dengan keterbatasan waktu, ketersediaan informasi, dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif. Sementara itu pembuat kebijakan dihadapkan pada ketidakpastian yang muncul di sekelilingnya. Pilihannya adalah melanjutkan kebijakan di masa lalu dengan beberapa modifikasi seperlunya. Pilihan ini biasanya dilakukan oleh pemerintahan yang berada di lingkungan masyarakat yang pluralistik, yang membuatnya tidak mungkin membuat kebijakan baru yang dapat memuaskan seluruh warga. Dengan kata lain, model ini memberikan kebijakan tambahan yang baru dengan sedikit memodifikasi kebijakan di masa lalu hanya saja kebijakan penambahan (inkremental) ini tidak mendapatkan dukungan yang memadai. Model inkrementalis berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu untuk mempertahankan kinerja yang telah dicapai. Model kebijakan inkrementalis tidak saja terjadi karena keterbatasan sumber daya, melainkan juga karena keberhasilan di masa lalu yang menciptakan rasa puas diri yang berkepanjangan(Nugroho,2006: 89-91).

Menurut pandangan kaum inkrementalis, para pembuat keputusan dalam menunaikan tugasnya berada dibawah keadaan yang tidak pasti yang berhubungan dengan konsekuensi konsekuensi dari tindakan mereka di masa depan, maka keputusan-keputusan

(12)

inkremental dapat mengurangi resiko atau biaya ketidakpastian itu. Inkrementalisme juga mempunyai sifat realistis karena didasari kenyataan bahwa para pembuat keputusan kurang waktu, kecakapan dan sumber-sumber lain yang dibutuhkan untuk melakukan analisis yang menyeluruh terhadap semua penyelesaian alternatif masalah-masalah yang ada. Di samping itu, pada hakikatnya orang ingin bertindak secara pragmatis, tidak selalu mencari cara hingga yang paling baik dalam menanggulangi suatu masalah. Singkatnya, inkrementalisme menghasilkan keputusan-keputusan yang terbatas, dapat dilakukan dan diterima(http://adiprojo.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 27 November 2012 pukul 19.00).

Model inkremental ini juga memiliki kekurangan dan kelebihannya. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa pendapat dari beberapa ahli. (islamy,2004: 65)Seperti komentar James Anderson yang mengatakan bahwa :

“inkrementalis adalah suatu model yang tepat dalam merumuskan kebijakan karena ia

akan lebih mudah mencapai kesepakatan bila masalah – masalah yang dipertentangkan diantara beberapa kelompok hanyalah sekedar memodifikasi atas kebijakan – kebijakan yang sudah ada. Karena para pembuat kebijakan selalu bekerja dalam kondisi yang tidak menentu, sehingga dalam memepertimbangkan konsekuensi tindakannya di masa mendatang dapat mengurangi resiko biaya – biaya atas ketidakpastian tersebut. Inkrementalisme juga realistik karena mengakui bahwa para pembuat kebijakan memiliki kekurangan waktu, keahlian dan sumber – sumber lain yang diperlukan untuk melakukan analisisnya. Lagipula, manusia pada hakikatnya adalah pragmatis, tidak selalu mencari satu cara yang terbaik untuk mengatasi masalahnya tetapi secara lebih sederhana mencari sesuatu yang cukup baik untuk mengatasi masalahnya. Jadi secara singkat inkrementalisme menghasilkan keputusan – keputusan yang terbatas, dapat dilaksanakan dan dapat diterima”.

(13)

Dibalik kelebihannya, tetap saja ada yang mengkritisi model inkremental ini. Seperti yang diungkapkan oleh Terry W. Hartle. Hartle mengungkapkan bahwa inkrementalisme cenderung mengabaikan pembaruan karena hanya memusatkan perhatiannya pada tujuan jangka pendek dan hanya mencapai beberapa variasi dari kebijakan yang sudah digunakan/lampau(Islamy,2004: 69).

Model yang diperkenalkan oleh Charles E.Lindblom ini juga dikenal dengan sebutan “muddling through” dimana secara sederhana bisa kita pahami bagaimana kebijakan itu dibuat berdasarkan kebijakan yang lama dipakai sebagai dasar atau pedoman untuk membuat kebijakan yang baru.

2.2.4. Model Penyelidikan Campuran

Model ini merupakan upaya menggabungkan antara model rasional dan model inkremental. Inisiatornya adalah pakar sosiologi organisasi yang bernama Amitai Etzioni pada tahun 1967. Ia memperkenalkan model ini sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi keputusan – keputusan pokok dan inkremental, menetapkan proses – proses formulasi kebijakan pokok dan urusan tinggi yang menentukan petunjuk – petunjuk dasar, proses – proses yang mempersiapkan keputusan – keputusan pokok, dan menjalankannya setelah keputusan itu tercapai. Model ini ibaratnya pendekatan dengan dua kamera : kamera dengan wide angle untuk melihat keseluruhan, dan kamera dengan zoom untuk melihat detailnya(Nugroho,2006: 98). Artinya, jika memakai dua model sebelumnya yaitu model rasional dan inkremental, maka bisa digambarkan bahwa pendekatan rasionalitas sebagai wide angle (sudut lebih luas) yaitu memiliki sudut yang lebar tetapi tidak detail atau rinci. Pendekatan rasionalitas menghasilkan sebuah pengamatan yang membutuhkan biaya yang besar dan cenderung melampaui kemampuan. Hal ini akan memberikan banyak hasil pengamatan secara terperinci, biaya yang mahal untuk menganalisisnya dan

(14)

kemungkinan membebani kemampuan-kemampuan untuk mengambil tindakan. Sedangkan inkrementalisme dengan zoom nya akan memusatkan perhatian hanya pada daerah-daerah serta pola-pola yang telah diamati yang memerlukan pengamatan yang lebih mendalam(

http://adiprojo.blogspot.com/2010/04/model-model-formulasi-kebijakan-publik.html, diakses pukul 19.00 WIB. 27 November 2012).

Model ini menyodorkan konsepsi mixed scanning (pengamatan terpadu) sebagai suatu pendekatan untuk mengambil keputusan yang bersifat fundamental maupun yang inkremental. Model ini belajar dari kelebihan dan kekurangan model – model sebelumnya. Model mixed scanning ini memanfaatkan dua macam model sebelumnya secara fleksibel dan sangat tergantung dengan masalah dan situasinya. Model mixed scanning memperhitungkan tingkat kemampuan para pembuat keputusan untuk memobilisasikan kekuasaannya serta semakin efektif guna mengimplementasikan keputusan – keputusan mereka. Lebih mudah dipahami bahwa model ini adalah model yang amat menyederhanakan masalah. Model ini disukai karena pada hakikatnya model ini merupakan pendekatan kompromi yang menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehensif dan model inkrementalisme dalam proses pengambilan keputusan(Wahab,2005: 26).

Dari beberapa model atau pendekatan dalam peembuatan kebijakan yang sudah dipaparkan sebelumnya, masing – masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam hal ini, tidak ada pernyataan yang mana yang paling baik dan sesuai diantara beberapa model tersebut. Yang pastinya, untuk menentukan model mana yang akan dipakai untuk merumuskan kebijakan, haruslah yang paling baik dan berlandaskan pada kriteria – kriteria tertentu yang sesuai dengan kebutuhan.

(15)

2.3. Proses – Proses Perumusan Kebijakan 

Membuat atau merumuskan suatu kebijakan, apalagi kebijakan pemerintah yang menyangkut untuk kemaslahatan masyarakat, bukanlah suatu proses yang mudah dan sederhana. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor atau kekuatan – kekuatan yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijakan tersebut. Suatu kebijakan dibuat bukan untuk kepentingan politik semata, tetapi justru utuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat secara keseluruhan.

Setiap pembuat kebijakan akan memandang berbeda dalam permasalahan yang ada di sekitar masyarakat. Belum tentu sebuah masalah yang dianggap masyarakat perlu dipecahkan oleh para pembuat kebijakan bisa masuk ke dalam agenda pemerintah yang kemudian diproses untuk bisa menjadi kebijakan suatu negara. Proses perumusan kebijakan yang begitu sulit dan rumit direalisasikan, pun masih dihadapkan dengan permasalahan : apakah kebijakan yang sudah dihasilkan akan berjalan mudah atau lancara ketika diimplementasikan? Apakah sudah dipersiapkan antisipasinya? Dan hasil implementasi kebijakan yang sudah dibuat tersebut baik yang berdampak atau yang mempunyai konsekuensi positif maupun negatif juga berpengaruh terhadap proses perumusan kebijakan yang selanjutnya. 

Untuk itu, berikut ini akan dibahas tentang proses – proses perumusan sebuah kebijakan yang dimulai dari proses perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda pemerintah, pengajuan kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan penilaian kebijakan.

2.3.1. Perumusan Masalah 

Masalah merupakan hal yang tidak bisa lepas dari proses perumusan kebijakan. Perumusan masalah adalah langkah awal dari proses perumusan kebijakan. Banyak orang

(16)

yang menduga bahwa masalah – masalah kebijakan selalu muncul dan ada begitu saja di hadapan para pembuat kebijakan, oleh karena itulah seolah – olah proses analisis daan perumusan kebijakan sudah dapat dimulai. Tapi sesungguhnya, kebanyakan para pembuat kebijakan harus mencari dan menentukan identitas masalah kebijakan itu dengan susah payah barulah kemudian mereka dapat merumuskan masalah kebijakan dengan benar. 

Pengertian masalah dalam konteks kebijakan adalah sebagai kondisi atau situasi yang mnghasilkan kebutuhan – kebutuhan atau ketidakpuasan yang dirasakan oleh rakyat dimana perlu dicari cara – cara penanggulangannya. Hal ini dilakukan oleh mereka yang secara langsung terkena akibat oleh masalah itu atau oleh orang lain yang punya tanggung jawab untuk hadirnya ketidakpuasan tersebut(Islamy,2004: 79). Banyak sekali kebutuhan – kebutuhan atau ketidakpuasaan yang dimiliki masyarakat . Masalah yang muncul di dalam masayarakat tadi telah menjadi masalah bersama atau sering dikenal sebagai public

problem hingga menjadi public issue yaitu masalah bersama yang telah menuntut untuk

penyelesaiannya melalui intervensi kebijakan. Seperti yang diutarakan sebelumnya para pembuat kebijakan sebenarnya mengalami kesulitan dalam merumuskan masalah yang ada di masyarakat, salah satu alasannya karena kealpaan atau tidak mampu dan mungkin tidak sadarnya masyarakat dalam mengidentifikasikan masalahnya sendiri. 

Rintangan yang dihadapi para aktor pembuat kebijakan yang paling utama adalah memang benar mengidentifikasi masalah dan merumuskan masalah yang ada di masyarakat. Masalah yang timbul dalam masyarakat sangat banyak, kompleks dan rumit. Yang menjadi titik kesulitannya adalah mampukah pembuat kebijakan ini melihat masalah dengan benar dan merumuskan msalah itu dengan benar pula. Faktanya, banyak sekali program – program yang telah dibuat dan dilaksanakan tidak sesuai dengan kebutuhan, dan di samping itu pula banyak masalah yang sudah muncul tiba – tiba “menghilang” di tengah jalan sehingga tidak dapat di proses menjadi sebuah kebijakan. Para pembuat kebijakan

(17)

sering kali tidak mampu menemukan masalah – masalah yang ada dengan baik karena mereka sering terjebak ke dalam masalah yang sebenarnya masalah tersebut masih dalam bentuk “gejala masalah”. Kesalahan di dalam melihat dan mengidentifikasikan masalah akan berakibat salahnya perumusan masalah dan ini akan berakibat panjang pada fase – fase berikutnya(Islamy,2004: 81). 

Oleh karena itu, langkah yang benar- benar harus dilakukan oleh setiap pembuat kebijakan adalah dengan benar – benar mengidentifikasi masalah yang akan diselesaikan kemudian membuat perumusan yang jelas terhadap masalah tersebut. Jika benar – benar sudah teliti, maka masalah tersebut akan dimasukkan ke dalam agenda pemerintah untuk diproses lebih lanjut.

2.3.2. Proses Penyusunan Agenda

Penyusunan agenda adalah langkah kedua dalam merumuskan kebijakan. Setelah para pembuat kebijakan dengan cermat mengidentifikasi masalah dan telah melahirkan perumusan masalah yang benar, maka masalah – masalah tersebut akan diolah dan dimasukkan ke agenda. Secara umum agenda kebijakan merupakan sebuah daftar permasalahan atau isu yang mendapat perhatian serius karena berbagai alasan sehingga diproses menjadi kebijakan. Menurut Cobb dan Elder, agenda dapat diklasifikasikan ke dalam dua tipe. Pertama, agenda yang bersifat sistematis. Jenis agenda ini mencakup seluruh isu yang umumnya diakui dan mendapat perhatian publik serta termasuk persoalan yang masuk di dalam yurisdiksi legitimasi pemerintah. Kedua,agenda yang bersifat institusional. Agenda ini mencakup seluruh isu – isu dimana para pembuat kebijakan yang memiliki kewenangan secara eksplisit, aktif dan serius mempertimbangkan sebuah isu untuk diagendakan, misalnya menjadi agenda legislatif dan eksekutif(Madany,2011: 24).  

(18)

Perlu untuk diketahui bahwa tidak semua masalah yang ada bisa diagendakan untuk dirumuskan kebijakannya. Ada beberapa faktor yang dapat menjadi faktor masalah – masalah itu bisa masuk ke dalam agenda pemerintah. Faktor – faktornya adalah : 

1. Apabila masalah tersebut dipandang dapat menimbulkan konflikantar kelompok masyarakat, sehingga masyarakat menuntut pemerintah untuk ambil tindakan guna menyelesaikan masalah tersebut 

2. Timbulnya krisis atau peristiwa luar biasa yang menyangkut masalah tersebut. Setiap kejadian atau peristiwa luar biasa selalu memperoleh perhatian yang luas dari masyarakat, termasuk pembuat kebijakan, sehingga memaksa para pembuat kebijakan memperhatikan peristiwa atau kejadian tersebut dan mempertimbangkannya 

3. Adanya gerakan – gerakan protes dari satu kelompok lemah oleh kelompok – kelompok atas dikarenakan kepentingan kelompok atas 

4. Adanya peran media masa yang meliput akan adanya masalah-masalah yang timbul dimasyarakat, membuat ketertarikan para pembuat kebijakan untuk melihat dan kemungkinan besar akan diperhatikan pemerintah dan bisa masuk ke dalam agenda pemerintah(Islamy,2004: 87). 

Proses memasukkan masalah-masalah ke dalam agenda pemerintah seperti yang sudah diutarakan sebelumnya bukanlah pekerjaan yang ringan, tetapi justru merupakan pekerjaan yang rumit dan kompleks. Karena itu, harus dilihat tidak hanya dinamika prosesnya saja tetapi juga pada tataran interaksi dan peran dari golongan-golongan yang berpartisipasi, baik dari pemerintah maupun non pemerintah(masyarakat). Masalah yang ada di sekitar masyarakat cukup banyak, oleh karena itu para pembuat kebijakan harus memiliki kapasitas dan keterampilan yang memadai untuk memilih masalah mana duluan yang harus ditangani secara aktif dan serius.

(19)

2.3.3. Perumusan Usulan Kebijakan 

Ini adalah proses ketiga dalam proses perumusan kebijakan. Setelah mengidentifikasi masalah yang ada lalu dimasukkan ke agenda pemerintah, maka langkah selanjutnya adalah merumuskan usulan kebijakan. Perumusan usulan kebijakan adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan-tindakan untuk pemecahan masalah. Yang termasuk ke dalam kegiatan ini adalah : mengidentifikasi alternatif, mendefenisikan dan merumuskan alternatif, menilai alternatif yang tersedia, dan memilih alternatif yang bagus atau yang paling mungkin untuk dilaksanakan. 

Kegiatan pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi alternatif. Sebelum

pembuat kebijakan merumuskan usulan kebijakannya, maka terlebih dahulu harus mengidentifikasi alternatif – alternatif untuk kepentingan pemecahan masalah tersebut. Masalah-masalah umum yang sudah diidentifikasi sebelumnya dan sudah masuk ke dalam agenda pemerintah, harus diidentifikasi alternatif-alternatifnya untuk pemecahan masalah tersebut. Maksudnya adalah setiap masalah memiliki karakteristik masalahnya masing- masing. Oleh karena itu, sebelum mengusulkan kebijakan maka para pembuat kebijakan dituntut kreatif untuk mencari alternatif atau solusi untuk setiap masalah yang memiliki karakteristik yang berbeda. Identifikasi alternatif atau solusi yang benar dan jelas pada setiap alternatif kebijakan akan mempermudah proses perumusan alternatif tersebut. Kedua adalah mendefinisikan dan merumuskan alternatif atau solusi. Kegiatan mendefinisikan dan merumuskan alternatif ini bertujuan agar masing-masing alternatif yang telah dikumpulkan oleh para pembuat kebijakan semakin nampak dan jelas pengertiannya(defenisinya). Semakin jelas untuk mengerti tentang alternatif atau solusinya maka akan semakin mudah bagi pembuat kebijakan menilai dan mempertimbangkan aspek positif dan negatif dari masing – masng alternatif atau solusi yang sudah dibuat tersebut.

(20)

pemberian bobot pada setiap alternatif, sehingga akan kelihatan untuk setiap alternatif yang mana yang memiliki bobot positif dan negatif dari alternatif agar para pembuat kebijakan bisa mengambil sikap untuk menentukan alternatif mana yang lebih memungkinkan untuk dipakai dengan indikatornya adalah alternatif ini benar-benar berfungsi dengan baik dan menguntungan semua pihak. Dan kegiatan keempat adalah memilih alternatif atau solusi yang terbaik(bagus) atau yang paling mungkin untuk dilaksanakan. Proses pemilihan alternatif atau solusi yang terbaik ini barulah dapat terlaksana setelah para pembuat kebijakan berhasil dalam melakukan penilaian terhadap alternatif-alternatif tersebut. Kegiatan memilih alternatif atau solusi terbaik ini bukanlah semata-mata bersifat rasional tetapi juga emosional. Maksudnya, bahwa para pembuat kebijakan akan menilai alternatif kebijakan yang ada sebatas pada kemampuan rasionalitasnya ditambah lagi ia membuat pilihan alternatif ini bukan hanya untuk kepentingannya sendiri tetapi juga untuk kepentingan pihak – pihak lain yang berpengaruh(Islamy,2004: 92 -95). 

Jadi, suatu alternatif yang telah dipilih secara memuaskan akan menjadi suatu usulan kebijakan (policy proposal)yang sudah diantisipasi dan bisa dapat dilaksanakan.

 

2.3.4. Pengesahan Kebijakan 

Proses pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahkan dengan proses pengesahan kebijakan. Kedua-duanya mempunyai hubungan yang sangat erat sekali, sehingga tidak mungkin dipisahkan. Sebagai suatu proses kolektif, pembuat keputusan/kebijakan akan berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan mayoritas dalam forum pengesahan usulan kebijakan, sehingga pejabat atau badan pemberi pengesahan setuju untuk mengadopsi usulan kebijakan tersebut menjadi kebijakan yang telah disahkan dan berarti telah siap untuk dilaksanakan.

(21)

Proses pengesahan kebijakan adalah proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip – prinsip yang diakui dan diterima. Landasan utama untuk melakukan pengesahan itu adalah variabel – variabel sosial seperti sistem nilai masyarakat, ideologi negara, sistem politik dan sebagainya. Proses pengesahan kebijakan biasanya diawali dengan kegiatan persuasion dan bargaining. Persuasion diartikan sebagai usaha – usaha untuk meyakinkan orang lain tentang suatu kebenaran atau nilai kedudukan seseorang dan sehingga mereka mau menerimanya sebagai miliknya sendiri. Dalam usaha – usaha untuk meyakinkan dan mencari dukungan orang lain, maka harus benar- benar berusaha meyakinkan orang lain tersebut bahwa pendapat kita itu benar,bermanfaat bagi masyarakat, sesuai dengan kebutuhan yang mendesak dan sebagainya, sehingga orang lain membenarkan pendapat itu dan mendukungnya. Sehingga dengan cara ini, pembuat kebijakan bisa menciptakan timbulnya suasana emosional yang sedemikian rupa sehingga si pengesah kebijakan atau badan pengesah kebijakan merasa yakin tentang perlunya segera mengesahkan kebijakan tersebut(Islamy,2004: 100). 

Kegiatan dalam proses pengesahan kebijakan selanjutnya yaitu bargaining.

Bargaining adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan

atau otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya sebagai tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama tetapi tidak perlu terlalu ideal bagi mereka. Yang termasuk kategori bargaining ini adalah : perjanjian (negotiation), saling memberi dan menerima (take and give), dan kompromi (compromise). Setelah dua kegiatan tersebut dilaksanakan, maka disahkanlah kebijakantersebut(http://legislasi.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 05 Desember 2012 pukul 14.03). 

Dengan disahkannya kebijakan bukan berarti bahwa masalah yang dihadapi sudah selesai. Akan tetapi akan muncul masalah besar, yaitu apakah kebijakan yang sudah

(22)

disahkan dengan melalui beberapa tahapan proses yang cukup sulit dapat langsung diterima oleh masyarakat dan diimplementasikan.

2.3.5. Pelaksanaan Kebijakan 

Perlu diketahui bersama bahwa sekali usulan kebijakan yang telah diterima dan disahkan oleh badan atau pihak yang berwenang mensahkannya maka kebijakan itu telah siap untuk diimplementasikan. Ada beberapa kebijakan yang bersifat “self-executing” yang artinya dengan dirumuskannya kebijakan tersebut maka kebijakan tersebut sekaligus langsung terimplementasikan. Contoh misalnya kebijakan negara yang mengakui secara formal penggantian lambang negara yang baru, lagu negara dan lain – lain. Tetapi jumlah kebijakan negara yang seperti ini tidaklah banyak. Kebanyakan kebijakan negara itu berbentuk seperti peraturan perundangan, ketentuan, ketetapan atau yang sejenis dengan itu(Islamy, 2004: 102). 

Untuk mengetahui lebih jauh tentang bentuk atau jenis – jenis kebijakan yang dibuat oleh pemerintah,maka berikut ini adalah kategorisasi kebijakan-kebijakan publik untuk masyarakat : 

1. Substantive policies 

Substantive policies adalah kebijakan-kebijakan tentang apa yang akan/ingin dilakukan oleh pemerintah. Contoh : kebijakan luar negeri, perdagangan, perburuhan, pendidikan, energi, kesehatan, perumahan rakyat dan sebagainya 

2. Distributive,Re-Distributive, Regulatory, dan Self Regulatory Policies 

Distributive Policies adalah kebijakan-kebijakan yang berisikan tentang pemberian

pelayanan – pelayanan atau keuntungan – keuntungan bagi sejumlah penduduk : individu – individu; kelompok; masyarakat - masyarakat tertentu. Re-Distributive

Policies adalah kebijakan – kebijakan yang sengaja dilakukan oleh pemerintah

(23)

kelompok penduduk dengan kelas – kelas tertentu, misalnya antara golongan mampu (the haves) dan tidak mampu(the havenots). Contoh dari kebijakan ini adalah tentang pembagian tanah untuk buruh tani; pembebasan tanah untuk kepentingan umum; pemberian dana kesejahteraan sosialdan sebagainya.

Regulatory Policies adalah kebijakan – kebijakan tentang pengenaan pembatasan

atau larangan – larangan atas tindakan seseorang atau sekelompok. Ini bersifat mengurangi kebebasan seseorang untuk berbuat sesuatu. Contoh dari kebijakan ini adalah kebijakan tentang larangan menyimpan senjata api, obat – obat terlarang dan lain – lain. Self Regulatory Policies adalah kebijakan – kebijakan tentang pembatasan atau pengawasan pada masalah – masalah tertentu bagi sekelompok orang. Self regulatory policies biasanya didukung oleh orang kelompok orang yang berkepentingan dengan kebijakan itu dan menjadikannya sebagai alat untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Contoh dari kebijakan ini adalah tentang pemberian izin kerja, surat izin mengemudi dan lain – lain 

3. Material Policies 

Material Policies adalah kebijakan-kebijakan tentang pengalokasian atau penyediaan sumber materi yang nyata atau kekuasaan yang hakiki bagi para penerimanya. Contoh dari kebijakan ini adalah tentang kewajiban para majikan untuk membayar upah buruh, kewajiban pemerintah untuk menyediakan rumah murah bagi warganya dan lain – lain.  

4. Collective Goods dan Private Goods Policies 

Collective Goods Policies adalah kebijakan – kebijakan tentang penyediaan barang-barang dan pelayanan – pelayanan keperluan orang banyak. Contoh kebijakan ini adalah tentang keamanan nasional dan lain-lain. Private Goods Police adalah kebijakan-kebijakan tentang penyediaan barang atau pelayanan hanya bagi

(24)

kepentingan perseorangan(privat) yang tersedia di pasar bebas dan orang yang memerlukannya harus membayar biaya tertentu. Contoh dari kebijakan ini adalah tempat – tempat hiburan, universitas, jalan tol, rumah sakit dan lain -lain. 

5. Liberal dan Conservative Policies 

Liberal Policies adalah kebijakan yang menganjurkan pemerintah untuk mengadaka perubahan-perubahan sosial terutama yang diarahkan untuk memperbesar hak-hak persamaan. Kebijakan ini menghendaki agar pemerintah mengadakan koreksi terhadap ketidakadilan dan kelemahan yang ada pada aturan-aturan sosial, meningkatkan ekonomi dan program kesejahteraan. Conservative Policies adalah     Kebalikan dari liberal policies. Kebijakan conservative cenderung mementingkan

Kepentingan penguasa dan produsen

Tugas dan kewajiban pemerintah bukan hanya sekedar merumuskan dan mengesahkan sebuah kebijakan saja, tetapi pemerintah juga memiliki peran dalam hal pelaksanaan kebijakan yang sudah dibuat tersebut. Pemerintah harus benar-benar mendesiminasikan kebijakan yang sudah dibuat kepada seluruh masyarakat. Oleh karena itu pemerintah harus memanfaatkan sumber daya yang ada seperti media massa baik milik pemerintah maupun milik swasta untuk membangun komunikasi kepada masyarakat – masyarakat tentang kebijakan – kebijakan yang sudah dibuat pemerintah. Jadi kalau proses desiminasi kebijakan digarap dengan baik maka pelaksanaan kebijakan tersebut akan menjadi lebih efektif dan akan dapat menambah kelancaran proses implementasi kebijakan tersebut nantinya.

2.4. Model – Model Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang paling sulit dalam siklus keseluruhan kebijakan. Karena disini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam

(25)

konsep, akan muncul pada saat pengimplementasiannya. Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah sekadar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi,melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Di sini Grindle (1980) telah meramalkan, bahwa dalam setiap implementasi kebijakan pemerintah pasti dihadapkan pada banyak kendala, utamanya yang berasal dari lingkungan (konteks) di mana kebijakan itu akan diimplementasikan.

Untuk mengkaji lebih baik suatu implementasi kebijakan, maka perlu diketahui variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu, diperlukan suatu model implementasi kebijakan guna menyederhanakan pemahaman konsep suatu implementasi kebijakan. Ada begitu banyak model – model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh pakar sosial dan beberapa model dibawah ini dikembangkan oleh beberapa pakar sosial sebagai alat untuk mengkaji apa – apa saja bentuk (jenis) implementasi kebijakan, apa – apa saja variabelnya serta syarat – syarat agar implementasinya bisa menjadi berhasil secara sempurna.

2.4.1. Model Van Meter dan Van Horn

Model implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut denganA Model of the Policy Implementation. Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejawantahan kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja

(26)

kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu :

1. Ukuran dan tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan.

2. Sumber daya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan

3. Karakteristik organisasi pelaksana

Hal ini meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat

dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja implementasai kebijakan akan sngat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para pelaksananya

. 4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

Agar kebijakan bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Meter dan Van Horn diperlukan komunikasi yang baik antar individu(implementor) organisasi agar tidak terjadi distorsi dalam pengimplementasian kebijakan agar bisa tercapai sasaran dan tujuan kebijakan tersebut

5. Disposisi atau sikap para pelaksana

(27)

mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kenerja implementasi kebijakan publik.

6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif(Nugroho,2006: 127-128).

2.4.2. Model George Edward III

Model implementasi kebijakan selanjutnya di kembangkan oleh George Edward III. . Edward III menamakan model implementasi kebijakan publiknya dengan nama Direct

and Indirect Impact on Implementation. Edward melihat implementasi kebijakan sebagai

suatu proses yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap implementasi. Oleh karena itu, Edward menegaskan bahwa dalam studi implementasi terlebih dahulu harus diajukan dua pertanyaan pokok yaitu: apa yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan serta apa yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi kebijakan(http://mulyono.staff.uns.ac.id/. Diakses pada tanggal 05 Desember 2012 pukul 14.41).

Untuk menjawab dua pertanyaan pokok tersebut, maka Edward(dalam Tangkilisan,2003:12-13) mengusulkan empat variabel yang menjadi faktor utama keberhasilan implementasi kebijakan. Empat variabel tersebut yaitu:

(28)

1. Komunikasi

Komunikasi merupakan sarana untuk menyebarluaskan informasi, baik dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas. Untuk mengindari terjadinya distorsi informasi yang disampaikan atasan ke bawahan, perlu adanya ketetapan waktu dalam penyampaian informasi, harus jelas informasi yang disampaikan, serta memerlukan ketelitian dan konsistensi dalam menyampaikan informasi.

2. Sumber daya

Sumber – sumber dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana sumber – sumber pendukungnya tidak tersedia. Yang termasuk sumber – sumbernya adalah : staf yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian dan keterampilan untuk melaksanakan kebijakan, informasi yang memadai untuk keperluan implementasi, dukungan dari lingkungan untuk mensukseskan implementasi kebijakan serta wewenang yang dimiliki implementor untuk mensukseskan kebijakan.

3. Disposisi

Variabel ini berkaitan dengan bagaimana sikap para implementor dalam mendukung suatu implementasi kebijakan. kecakapan saja tidak mencukupi tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan

4. Struktur Birokrasi

Suatu kebijakan seringkali melibatkan beberapa lembaga atau organisasi dalam proses implementasinya, sehingga diperlukan koordinasi yang efektif antar lembaga – lembaga terkait dalam mendukung keberhasilan implementasi.

(29)

2.5. Lanjut Usia

2.5.1. Pengertian Lanjut Usia

Proses menjadi tua atau lanjut usia adalah suatu peristiwa yang wajar dan berkembang secara alamiah. Lanjut usia merupakan bagian dari proses tumbuh kembangnya manusia. Manusia tidak secara tiba – tiba menjadi tua, tetapi manusia berkembang dari bayi,anak – anak, dewasa dan akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah lakuyang dapat diramalkanyang terjadi pada semua manusia pada saat manusia mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir. Biasanya dimasa tua ini seseorang akan mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap.

Pengertian lanjut usia dewasa ini sudah cukup banyak para ahli maupun institusi – institusi formal lainnya mencetuskan pengertian lanjut usia. Menurut Undang – Undang No.13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada bab 1 pasal 1 ayat 2, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia lanjut usia adalah tahap masa tua dalam perkembangan individu dengan batas usia 60 tahun ke atas.

Menurut Reimer et al dan Stanley Beare memberikan pengertian lanjut usia berdasarkan karakteristik sosial masyarakatnya. Yang dimaksud lanjut usia menurut Reimer dan Stanley adalah orang – orang yang menunjukkan ciri – ciri fisiknya sudah mengalami kemunduran seperti rambun beruban, kerutan kulit dan hilangnya gigi. Sedangkan menurut Glascock dan Feinman mendefinisikan lanjut usia sebagai gabungan antara usia kronologis dengan perubahan dalam peran sosial, dan diikuti oleh perubahan

(30)

status fungsional seseorang. Yang dimaksud dengan usia kronologis disini adalah usia seseorang ditinjau dari hitungan umur dalam angka(dalam Azizah,2011: 1).

WHO(World Health Organization) memberikan pengertian lanjut usia tergantung dari konteks yang tidak dipisahkan. Oleh karena itu, WHO mendefenisikan lanjut usia berdasarkan dari tiga aspek penting ini, yaitu :

1. Aspek Biologi

Pengertian lanjut usia ditinjau dari aspek biologi adalah seseorang yang telah menjalani proses penuaan, dalam arti menurunnya daya tahan fisik yang ditandai dengan semakin rentannya tubuh terhadap serangan berbagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan seiring meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan fungsi jaringan dalam organ tubuh.

2. Aspek Ekonomi

Pengertian lanjut usia ditinjau dari aspek ekonomi adalah seseorang yang dipandang lebih sebagai beban daripada sebagai potensi sumber daya bagi pembangunan. Seseorang yang sudah tua dianggap sebagai warga yang tidak produktif dan hidupnya perlu ditopang oleh generasi yang lebih muda.

3. Aspek Sosial

Pengertian lanjut usia ditinjau dari aspek sosial adalah sekelompok orang yang sudah memasuki usia lanjut dan merupakan kelompok sosial yang tersendiri. Lanjut usia dipandang menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh masyarakat yang usianya lebih muda(dalam Notoatmodjo,2007: 280 – 281).

(31)

2.5.2. Batasan Lanjut Usia

Berbagai defenisi yang bervariasi sudah cukup banyak dipaparkan tentang lanjut usia. Oleh karena itu diperlukan batasan lanjut usia untuk mengetahui penggolongan usia para lanjut usia. Batasan lanjut usia jika didasarkan atas Undang-Undang No.13 Tahun 1998 adalah 60 tahun. Sedangkan menurut Undang – Undang No.4 tahun 1965 pasal 1 menyatakan bahwa seseorang dikatakan berusia lanjut jika sudah mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri sehingga untuk keperluan menafkahi hidupnya ia terima dari orang lain. Namun, sekarang ini banyak orang-orang maupun instansi – instansi formal memberikan batasan lanjut usia yang berbeda-beda.

Menurut Prof.Dr,Koesmanto Setyonegoro(dalam azizah,2011:2) lanjut usia dikelompokkan menjadi usia dewasa muda(elderly adulhood) yaitu usia 18 atau 29-25 tahun, usia dewasa penuh(middle years) atau maturitas yaitu usia 25-60 tahun atau 65 tahun, lanjut usia(geriatric age) yaitu usia lebih dari 65 tahun atau 70 tahun yang dibagi lagi menjadi 70-75 tahun(young old), 75 – 80 tahun(old), dan lebih dari 80 tahun(very old).

Berbeda pendapat lagi dengan beberapa ahli dalam program kesehatan usia lanjut, Departemen Kesehatan membuat pengelompokkan batasan lanjut usia yaitu :

1. Kelompok pertengahan umur(Kelompok usia dalam masa virilitas), yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik. Kelompok usia ini berumur 45-54 tahun

2. Kelompok usia lanjut dini (Kelompok dalam masa prasenium), yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut. Kelompok usia ini adalah 55-64 tahun.

3. Kelompok usia lanjut (kelompok dalam masa senium). Kelompok usia ini adalah 65 tahun ke atas.

(32)

4. Kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi. Kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, menderita penyakit berat atau cacat(Notoatmodjo,2007: 281).

Sedangkan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), batasan usia lanjut meliputi:

1. Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun.

2. Usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia antara 60 – 70 tahun.

3. Usia lanjut tua (old) adalah kelompok usia antara 75 – 90 tahun.

4. Usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia di atas 90 tahun(Kosasih, 2002: x).

2.6. Proses Menua(Ageing Process)

Menua atau menjadi tua bukanlah suatu penyakit yang ditakuti tetapi merupakan hal alamiah yang pasti akan dialami oleh semua manusia. Menua merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh. Proses menua sebenarnya sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa karena proses menua ini menghinggapi seseorang dimulai dari rusaknya syaraf tubuh, jaringan kulit dan lainnya sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit.

Proses menua menurut Constantindes adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita(Azizah, 2011: 7).

(33)

2.6.1 Teori – Teori Proses Menua

Teori penuaan secara umum dapat dibedakan menjadi dua teori yaitu teori penuaan secara biologi dan teori penuaan secara psikososial. Dalam teori biologi, proses penuaan bisa terjadi karena beberapa hal seperti teori seluler, teori genetic clock, sintesis protein, keracunan oksigen, berkurangnya sistem imun, mutasi somatik, proses metabolisme tubuh yang berkurang serta teori tentang radikal bebas dimana teori – teori ini lebih mendalam dibahas oleh ilmu-ilmu kesehatan(Kosasih, 2002: 100).

Selain teori biologi, proses penuaan juga bisa dilihat dari teori psikososialnya. Nugroho dan Kuntjoro(dalam Azizah, 2011: 10-11) memaparkan teori penuaan secara psikososial. Pembahasan tentang teori psikososial adalah sebagai berikut :

1. Aktivitas atau Kegiatan(Activity Theory). Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara keaktifannya setelah menua, sense integrity yang dibangun dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua. Teori ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. Ukuran optimum(pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari usia lanjut. Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.

2. Kepribadian berlanjut(Continuity Theory)

Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Identitas pada lansia yang mantap memudahkan dalam memelihara hubungan dengan masyarakat, keluarga dan hubungan interpersonal. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimilikinya.

(34)

3. Teori Pembebasan(Disengagement Theory)

Putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan kemunduran individu dengan individu lainnya. Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara pelan tapi pasti mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan di sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan ganda(triple

loss), yakni: kehilangan peran(loss of role), hambatan kontak sosial(restriction of contacts and relationships) dan berkurangnya komitmen(reduced commitment to social mores an values).

2.6.2. Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lanjut Usia

Perkembangan hidup manusia dimulai sejak janin dalam kandungan, memasuki masa bayi, menjadi remaja, memasuki proses dewasa dan kemudian menjadi tua atau lanjut usia. menjadi lanjut usia adalah proses alami yang tidak dapat dihindari oleh siapapun. Proses menjadi lanjut usia selalu ditandai dengan kemunduran-kemunduran yang berupa perubahan fungsi dari anggota tubuh maupun didalam tubuh. Akibatnya, dapat menimbulkan masalah yang akan banyak mempengaruhi kegiatan sehari-hari para lanjut usia.

Perubahan perubahan yang terjadi pada lanjut usia dibagi menjadi dua bagian, yaitu perubahan yang terjadi pada kondisi fisik lansia dan kondisi psikis atau psikososial lansia.

1. Perubahan fisik.

a. Penurunan sistem syaraf dan panca indera. Pada sistem syaraf dan panca indera perubahan yang terjadi pada lanjut usia berupa :

(35)

 Kemunduran fungsi mata, telinga dan hidung sehingga menimbulkan ganggaun penglihatan, pendengaran dan penciuman

 Kemunduran daya ingat sehingga menjadi sering lupa atau pikun

 Kemunduran urat syaraf sehingga reaksi dan gerakan menjadi lamban dan kadang-kadang tidak terkontrol

 Gangguan tubuh sehingga cara berjalan menjadi tidak seimbang b. Sistem peredaran darah dan jantung. Perubahan yang terjadi berupa :

 Tekanan darah yang kadang meningkat atau menurun sehingga menyebabkan tekanan darah tinggi atau tekanan darah rendah.

 Penyumbatan pembuluh darah pada otak yang akan menyebabkan nyeri dada dan berdebar-debar

 Penyumbatan pembuluh darah pada otak yang akan menyebabkan kelumpuhan

c. Sistem pernafasan. Perubahan elastisitas otot-otot pernafasan dan paru-paru yang dapat menyebabkan sesak nafas dan batuk-batuk.

 Gigi yang mulai ompong sehingga menyebabkan sulit mengunyah makanan dan menyebabkan nafsu makan berkurang

 Kemunduran fungsi pengecap lidah  Kemunduran fungsi saluran pencernaan

(36)

d. Sistem otot dan sendi

 Tulang mudah keropos dan mudah patah sehingga menyebabkan nyeri sendi dan rasa sakit pada otot tertentu

 Otot menjadi lemah dan mengecil sehingga menyebabkan fisik menjadi lemah

e. Sistem saluran kemih atau kelamin. Kemunduran fungsi ginjal sehingga menyebabkan sering kencing atau pendarahan dalam air kencing.

2. Perubahan psikis

Kondisi psikis adalah keadaan mutlak seseorang atau kejiwaan seseorang. Kondisi psikis mencakup : kemampuan berpikir, emosi atau perasaan, sikap dan perilaku. Pada umumnya lansia mengalami perubahan fungsi psikisnya, baik dari segi kemampuan berpikir, emosi atau perasaan,sikap dan perilakunya. Emosi atau perasaan yang dimiliki lanjut usia kadang tidak stabil. Terkadang lanjut usia sering timbul perasaan tidak berguna dan tidak dibutuhkan oleh orang lain, oleh karena itu sering muncul keinginan lanjut usia untuk menunjukkan eksistensinya dihadapan orang lain. Selain itu sikap dan perilaku lanjut usia juga mengalami perubahan – perubahan. Dikarenakan kemunduran psikomotorik sehingga kondisi badan tidak terkoordinasi dengan baik, membuat para lanjut usia menarik diri dalam mejalin hubungan sosial serta mengurangi partisipasinya dalam hubungan sosialnya(modul bina keluarga lansia,2006: 46).

3. Perubahan Spiritual

Agama atau kepercayaan lanjut usia makin berintegrasi dalam kehidupannya. Lansia makin teratur dalam kehidupan keagamaannya. Hal ini dapat dilihat dalam berpikir

(37)

dan bertindak sehari-hari. Spiritualitas pada lanjut usia bersifat universal, intrinsik dan merupakan proses individual yang berkembang sepanjang rentang kehidupan. Karena aliran siklus kehilangan terdapat pada kehidupan lansia, keseimbangan hidup tersebut dipertahankan sebagian oleh efek positif dari kehilangan tersebut. Lansia yang telah mempelajari cara menghadapi perubahan hidup melalui mekanisme keimanan akhirnya dihadapkan pada tantangan akhir yaitu kematian. Harapan memungkinkan individu dengan keimanan spiritual atau religius untuk bersiap menghadapi krisis kehilangan dalam hidup sampai kematian. Satu hal pada lansia yang diketahui sedikit berbeda dari orang yang lebih muda yaitu sikap mereka terhadap kematian. Hal ini menunjukkan bahwa lanjut usia cenderung tidak terlalu takut terhadap konsep dan realitas kematian(Azizah, 2011: 16).

2.7. Hukum dan Perundang-undangan terkait dengan lansia

Yang menjadi dasar hukum ataupun perundang-undangan yang terkait dengan lanjut usia antara lain:

1. Undang-undang dasar 1945 pasal 28 point H yang menyatakan dimana setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan seseorang secara utuh sebagai manusia yang bermartabat

2. Undang-undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

3. Undang-undang RI Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

4. Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lanjut usia

(38)

6. Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 2005 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Miskin

7. Undang-undang RI Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia

2.8. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998

Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudi luhur mempunyai ikatan kekeluargaan yang mencerminkan nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa, yaitu menghormati serta menghargai peran dan kedudukan lanjut usia yang memiliki kebijakan dan kearifan serta pengalaman berharga yang dapat diteladani oleh generasi penerusnya. Perwujudan nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa tersebut harus tetap dipelihara. dipertahankan. dan dikembangkan. Upaya memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan nilai-nilai budaya tersebut dilaksanakan antara lain melalui upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia yang bertujuan mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan para lanjut usia. Agar upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia sekaligus memberikan pengormatan kepada lanjut usia dapat dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna serta menyeluruh dan berkesinambungan, diperlukan undang-undang sebagai landasan hukum yang kuat dan merupakan arahan baik aparatur Pemerintah maupun masyarakat. Undang-undang tersebut juga dimaksudkan sebagai pengganti Undang-undang Nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2747), yaitu berupa Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.Secara umum materi yang diatur dalam Undang-undang ini, antara lain meliputi:

(39)

1. Tugas dan tanggungjawab Pemerintah dan masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan sosial lanjut usia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

2. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia dilaksanakan oleh Pemerintah dan masyarakat

3. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia yang dilaksanakan sebagai penghargaan dan penghormatan kepada lanjut usia melalui pelayanan:

 Keagamaan dan mental spiritual  Kesehatan

 Kesempatan kerja

 Pendidikan dan pelatihan

 Kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana umum  Kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum

 Perlindungan sosial  Bantuan sosial

2.9. Kesejahteraan Sosial

2.9.1. Pengertian Kesejahteraan Sosial

Tidak dipungkiri bahwa masyarakat dari golongan apapun menginginkan hidup sejahtera. Secara umum bisa kita pahami makna sejahtera bisa berbeda tergantung dari golongan masyarakat di sekitar kita. Bagi golongan elit (The have), sejahtera berarti

(40)

memiliki segala hal yang bersifat materi dan memiliki segalanya seperti uang, mobil, rumah dan lain-lain. Sedangkan bagi golongan proletar (The have not) memiliki pandangan bahwa hidup sejahtera adalah hidup dengan tidak penuh dengan harta tetapi memiliki kebahagiaan dengan hidup tidak berlebihan.

Cukup banyak defenisi yang memaparkan defenisi sejahtera. Kesejahteraan atau sejahtera memiliki beberapa arti. Dalam istiah umum, sejahtera berarti menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi dimana orang-orangnya dalam keadaan makmur, sehat dan damai. Dalam bidang ekonomi, sejahtera dihubungkan dengan keuntungan memiliki benda/kebendaan. Dalam kebijakan sosial, kesejahteraan menunjuk kepada jangkauan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat(http://id.m.wikipedia.org/. Diakses pada tanggal 15 Mei 2013 pukul 11.45).

Kesejahteraan menyangkut aspek seluruh masyarakat. Oleh karena itu kesejahteraan adalah milik seluruh masyarakat(sosial). Karenanya muncullah banyak defenisi tentang kesejahteraan sosial. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Kesejahteraan sosial dalam arti sangat luas mecakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik. Menurut Walter Friedlander, kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisir dari institusi dan pelayanan sosial, yang dirancang untuk membantu individu ataupun kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan. Dalam pertemuan Panitia Kerja Pra Konferensi Kesejahteraan Sosial Internasional yang ke 15 dirumuskan pengertian kesejahteraan sosial yaitu :

(41)

“Kesejahteraan Sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya tercakup pula kebijakan dan pelayanan yang terkait dengan berbagai kehidupan dalam masyarakat seperti pendapatan; jaminan sosial; kesehatan; perumahan;pendidikan;rekreasi;tradisi dan lain” (http://kesejahteraansosial.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 15 Mei 2012 pukul 12.15).

Namun perkembangan kesejahteraan sosial dewasa ini menunjukkan bahwa masih ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayan sosial secara maksimal dari lembaga atau instansi negara. Karena belum maksimalnya pelayanan yang diusahakan oleh pemerintah membuat bermunculannya berbagai PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) yang ada termasuk salah satu diantaranya adalah warga lanjut Usia.

2.9.2. Teori Pelayanan Sosial

Pelayanan pada lansia adalah suatu proses dalam bentuk penyuluhan sosial, bimbingan, konseling, bantuan, santunan dan perawatan yang dilakukan secara terarah, terencana dan berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial lanjut usia. pelayanan sosial lanjut usia bisa dilakukan baik di dalam panti maupun diluar panti. Diluar panti bentuk pelayanannya ada yang berbentuk kegiatan day care service dan lain – lain sedangkan didalam panti bentuk kegiatannya ada seperti bimbingan, penyuluhan sosial dan lain-lain dimana pelayanan sosial yang dilakukan diatur berlandaskan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan sosial lanjut usia.

Setiap jenis pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia baik yang dilaksanakan pemerintah maupun masyarakat mengandung sifat-sifat seperti sifat preventif, kuratif dan rehabilitatif.

(42)

1. Prefentiv atau pencegahan

Pelayanan sosial yang bersifat preventif merupakan pelayanan yang diarahkan untuk mencegah timbulnya masalah baru dan meluasnya permasalahan yang dihadapi lanjut usia, oleh karena itu dilakukan melalui upaya pemberdayaan keluarga, kesaatuan kelompok dan eksternal lain yang peduli terhadap penngkatan kesejahteraan lanjut usia

2. Kuratif atau penyembuhan

Pelayanan sosial lanjut usia bersifat kuratif merupakan pelayan sosial yang diarahkan untuk menyembuhkan gangguan-gangguan yang di alami lanjut usia, baik secara fisik, psikis maupun sosial

3. Rehabilitatif atau pemulihan kembali

Pelayanan sosial bersifat rehabilitatif merupakan proses pemulihan kembali fungsi-fungsi sosial setelah individu mengalami gangguan dalam melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya.

2.10. Kerangka Pemikiran

Masalah tentang kependudukan memang tidak lepas dari proses pembangunan suatu negara. Seperti di Indonesia yang mengalami keberhasilan dalam proses pembangunan seperti meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Dengan meningkatnya jumlah penduduk membuat jumlah penduduk lanjut usia semakin bertambah. Karena jumlah penduduk lanjut usia semakin menunjukkan peningkatan yang signifikan membuat pemerintah tidak boleh mengabaikan hak-hak para lanjut usia. Gagasan pemerintah membuat sebuah kebijakan untuk memberikan pelayanan sosial lanjut usia dalam

Referensi

Dokumen terkait

perlu diadakan sebuah penelitian yang mengkaji tentang permasalahan tersebut, sehingga hal ini yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan sebuah penelitian yang

No. Dengan bertambahnya nilai maksimum epoh yang diberikan maka nilai MSE yang dihasilkan lebih kecil namun waktu pembelajarannya akan menjadi lebih lama. Semakin kecil

52 menyatakan bahwa laba atau rugi transaksi selisih kurs merupakan hasil dari pengaruh perubahan nilai tukar mata uang asing yang berbeda dengan mata uang

53 NO Urusan Pemerintahan Organisasi Perangkat Daerah Pelaksana Kebijakan Uraian Program / Kegiatan Indikator Program/kegia tan Rumus Target Indikator

Keberlanjutan perikanan Tuna dengan rawai Tuna dapat terjaga dengan baik apabila dalam pengelolaannya digunakan pengukuran model bioekonomi multispesies karena pengelolaan

Bide batez, atal praktikoan gelan lantzeko proposamen anitzak adierazi ditudanez, eta lan honetan zehar aniztasuna kontuan izan behar dugula behin baino gehiagotan esan dudanez,

Kelelahan paling banyak dirasakan oleh operator dump truck (bagian haul- ing) yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pekerjaan (postur saat bekerja, fak- tor variasi pekerjaan,