• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. Kesimpulan. A. Pendahuluan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V. Kesimpulan. A. Pendahuluan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V.

Kesimpulan

A.

Pendahuluan

Kebijakan nation building yang diterapkan di Malaysia saat ini (dengan basis identitas etnis Melayu sebagai kelompok etnis yang dominan) tidak berjalan seperti yang diharapkan karena munculnya berbagai hambatan dalam perjalanannya. Kegagalan nation building yang memberikan penekanan pada pembentukan sebuah bangsa yang penduduknya terdiri dari lebih dari satu kelompok etnis dan mendefinisikan identitas nasionalnya berdasarkan hanya pada identitas salah satu kelompok etnis yang ada juga sudah dialami di negara-negara lain seperti Russia, Eriteria, dan seterusnya.

Fenomena di atas sejalan dengan apa yang dikritisi oleh Walker Connor bahwa

nation building dengan pendekatan penciptaan satu identitas nasional melalui

proses rekayasa sosial yang cenderung asimilatif malah akan memberikan hasil yang sebaliknya – nation destroying.86 Kalau pun identitas nasional terbentuk dan persatuan nasional tercapai, tidak ada jaminan kondisi ini akan bertahan seterusnya. Salah satu contoh yang baru-baru ini terjadi adalah seperti yang terjadi di Spanyol (kelompok etnis Catalan ingin memisahkan diri), lalu juga ada di Inggris, dimana ada wacana referendum bagi Scotland untuk berpisah dari Inggris, menunjukan bahwa negara-negara yang saat ini sudah dianggap cukup dewasa dalam hal identitas kebangsaannya masih belum terbebas dari adanya tendensi dari (satu atau lebih) kelompok etnis yang ingin memisahkan diri (ethnic

nationalism). Kritik Connor tersebut menekankan pentingnya untuk memperhatikan faktor-faktor yang berkaitan dengan etnisitas dalam

86 Connor, Walker. 1972. “Nation-Building or Nation-Destroying?” World Politics, Vol. 24(3).

(2)

membicarakan nation building karena besarnya pengaruh etnisitas dalam proses yang berjalan.

B.

Rangkuman

Pada skripsi ini telah dibahas beberapa kebijakan nation building di Malaysia, diantaranya kebijakan pendidikan nasional yang difokuskan pada usaha pembentukan sistem pendidikan yang terintegrasi dengan memberikan perhatian khusus pada proses penerapan bahasa nasional sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah Malaysia. Kebijakan lainnya yang ditujukan untuk menunjang proses nation building di Malaysia adalah kebijakan New Economic Policy sebagai kebijakan afirmatif yang lahir pasca pecahnya kerusuhan etnis pada tahun 1969.

Kebijakan pendidikan dan bahasa nasional berfungsi untuk menumbuhkan rasa persatuan dan loyalitas pada negara dikalangan para siswa dengan menanamkan

common values dan identity, yang dicapai salah satunya dengan penerapan bahasa

nasional sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah Malaysia. Namun dalam perjalanannya, penerapan kebijakan bahasa nasional ini tidak selalu berjalan dengan mulus, dikarenakan adanya beberapa keberatan dari kelompok non-Melayu untuk melepaskan sistem sekolah vernakular di level pendidikan dasar yang menggunakan bahasa “ibu” masing-masing sebagai bahasa pengantar.

Kebijakan New Economic Policy (NEP) merupakan kebijakan afirmatif yang bertujuan untuk mengoreksi kondisi ketimpangan sosial-ekonomi antara kelompok etnis Melayu dengan kelompok etnis non-Melayu. Adanya ketimpangan sosial-ekonomi diantara berbagai kelompok etnis dianggap bukan merupakan fondasi yang baik untuk menciptakan persatuan nasional, sehingga bagi pemerintah, kebijakan ini dianggap dibutuhkan untuk menunjang proses

nation building. Sebagai konsekuensi dari penerapan kebijakan NEP, mencuatnya

pembedaan masyarakat Malaysia berdasarkan garis etnis menjadi hal yang tidak terelakkan. Pada prinsipnya, kelompok non-Melayu dapat menerima kebijakan

(3)

NEP karena kebijakan tersebut dirasa perlu untuk memperbaiki kondisi ketimpangan yang ada. Namun kebijakan NEP menjadi bermasalah ketika kebijakan tersebut masih terus berlangsung bahkan ketika sebagian besar target dari kebijakan tersebut sudah tercapai dan batas waktunya sudah terlampaui.

Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan nation building Malaysia di atas dapat dijelaskan dengan mempelajari pengaruh nasionalisme Melayu pada kebijakan-kebijakan tersebut. Sejak awal pertumbuhannya, nasionalisme Melayu dilatarbelakangi oleh rasa

insecurity etnis Melayu terhadap posisinya yang terbelakang dibandingkan

dengan kelompok etnis lain khususnya kelompok etnis Cina. Hal ini menyebabkan nasionalisme Melayu cenderung untuk melindungi eksistensi dan identitas kelompok etnis Melayu. Nasionalisme Melayu yang dilatarbelakangi oleh rasa insecurity etnis Melayu pula lah yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan nation building di Malaysia dan mengundang resistensi atau penolakan dari kelompok etnis non-Melayu.

Berbagai hambatan dalam pelaksanaan nation building di Malaysia sebagaimana telah disimpulkan di atas dapat dilihat sebagai perwujudan dari perbedaan cara pandang dalam visi bangsa ideal (nation-of-intent) antara kelompok etnis Melayu dan kelompok etnis non-Melayu. Kebijakan nation building yang selama ini dijalankan di Malaysia saat ini sangat terpusat pada nation-of-intent yang diusung oleh kelompok nasionalis Melayu. Beberapa kebijakan yang dilancarkan oleh pemerintah, baik itu kebijakan pendidikan maupun kebijakan ekonomi seperti NEP, sering kali dilandaskan pada elemen-elemen identitas etnis Melayu (seperti pada penerapan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah) atau mengutamakan pada kepentingan kelompok etnis Melayu (seperti pada berbagai program NEP).

Penekanan pada identitas atau kepentingan etnis Melayu tersebut dilakukan untuk mempreservasi dan memperkuat identitas Melayu dalam kerangka kebangsaan

(4)

nasional. Sejak ditolaknya proposal Malayan Union dan berdirinya Federasi Malaya pada tahun 1957, dapat dikatakan bahwa konsep bangsa di Malaysia dibentuk dengan membasiskan identitasnya pada identitas Melayu. Selain itu, hal-hal seperti pengakuan atas keistimewaan kelompok Melayu dalam konstitusi, dan juga posisi dominan kelompok Melayu dalam sistem politik—yang digambarkan melalui istilah primus inter pares—first among equals, dengan jelas memberikan gambaran betapa dominannya hegemoni kelompok Melayu dalam kerangka kebangsaan Malaysia.

Bagi kelompok etnis non-Melayu, visi bangsa ideal (nation-of-intent) bagi Malaysia adalah sebuah bangsa yang dibasiskan pada karakteristik-karakteristik multietnis dan multikultur, dimana berbagai keragaman yang ada dari berbagai kelompok etnis diberikan pengakuan yang setara serta diberikan perlindungan untuk terus tumbuh. Sebagian besar dari kelompok etnis non-Melayu tidak dapat menerima konsep kebangsaan dimana identitasnya dibasiskan pada identitas tunggal dari sebuah kelompok etnis tertentu. Oleh karena itu, banyak dari kelompok etnis non-Melayu yang tidak setuju dengan bagaimana proses nation

building Malaysia yang dijalankan saat ini karena mereka khawatir kebijakan

tersebut akan menggerus integritas identitas etnis mereka, baik itu berupa bahasa, budaya maupun agama. Singkatnya, pendekatan yang dianggap ‘asimilatif’ dalam proses nation building di Malaysia besar kemungkinannya akan menemui penolakan dari kelompok etnis non-Melayu.

Dalam bidang politik, dominasi kelompok etnis Melayu juga merupakan suatu hal yang sulit untuk diterima oleh kelompok etnis non-Melayu. Meskipun secara historis ada “social contract”—perjanjian tidak tertulis dimana kelompok etnis Melayu diakui dominasinya dengan imbalan pemberian kewarganegaraan terbuka bagi kelompok etnis non-Melayu, cukup banyak generasi muda non-Melayu yang menganggap bahwa kesepakatan ini bersifat tidak adil. Pengistimewaan kelompok etnis Melayu, baik secara langsung atau tidak, membantu menciptakan dikotomi antara bumiputera melawan non-bumiputera, yang pada akhirnya

(5)

membuat kelompok etnis non-Melayu terus merasa diri mereka sebagai kelompok pendatang, warga negara kelas dua, dan tidak pernah membuat mereka benar-benar merasa telah menjadi warga negara yang setara di Malaysia.

C.

Penutup

Melihat kondisi di Malaysia dimana masih terdapat perbedaan-perbedaan yang dapat berpotensi merusak persatuan nasional, tampaknya pendekatan atas nation

building di Malaysia perlu mencari arah lain. Mungkin sudah saatnya bagi

Malaysia untuk lebih memfokuskan usaha nation buildingnya pada hal-hal yang lebih mendasar, seperti pemberian kesetaraan bagi seluruh warga negaranya, dan mulai meninggalkan kebijakan-kebijakan yang malah memisah-misahkan penduduknya.

Terdapat beberapa alternatif lain bagi negara-negara seperti Malaysia untuk menjalankan proyek nation buildingnya. Brubaker menawarkan tiga model sebagai berikut:87

1. Model civic state: model ini tidak menempatkan hal-hal seperti etnisitas, identitas bangsa/identitas nasional, atau bahkan konsep mengenai bangsa itu sendiri sebagai sesuatu yang penting. Dalam model ini, persatuan nasional ditekankan dengan membangun loyalitas masyarakat kepada negara.

2. Model bi-/multinational state: secara sederhana, model ini merupakan sebuah model dimana didalam sebuah negara terdapat dua (atau lebih) “ethnocultural core nations.” Negara tidak menampilkan identitas nasionalnya dengan memilih/memberikan preferensi pada identitas kelompok yang satu dibandingkan dengan kelompok yang lain.88 Model

87

Brubaker, Rogers. 1996. “Nationalism Reframed: Nationhood and the National Question in the New Europe,” Cambridge University Press. Hlm. 104-105.

(6)

ini lebih cocok dalam situasi dimana terjadi penggabungan antar dua (atau lebih) negara, dengan entitas baru hasil penggabungan didefinisikan sebagai “binational” atau “multinational,” namun masing-masing komponen “bangsa/negara” tetap dapat menampilkan identitas “nasional” mereka masing-masing secara internal.

3. Model “hybrid of minority rights:” model ini dapat dipahami sebagai negara dimana bangsa beserta identitas kebangsaan/nasionalnya didefinisikan dengan jelas (salah satunya dengan mengadopsi identitas kelompok etnis mayoritas), namun negara ini tidak mencoba untuk mengasimilasikan identitas kelompok etnis mayoritas terhadap kelompok-kelompok etnis minoritas. Anggota dari kelompok-kelompok-kelompok-kelompok etnis minoritas mendapat jaminan hak-hak yang setara sebagai warga negara dan oleh sebab itu, mereka juga mendapat jaminan proteksi dari praktek-praktek yang “membeda-bedakan” mereka dari kelompok etnis mayoritas. Beberapa aspek sosial-budaya kelompok minoritas, seperti pendidikan dan bahasa merupakan aspek-aspek yang dilindungi oleh negara, dan dengan demikian aspek-aspek tersebut secara prinsipil akan aman dari upaya-upaya asimilasi kedalam kelompok etnis mayoritas.

Berdasarkan ketiga model diatas, tampaknya model ketiga merupakan model yang cukup realistis untuk diterapkan di Malaysia. Berdasarkan model ketiga ini, identitas nasional dari Malaysia masih dibangun berdasarkan identitas etnis Melayu tetapi dengan memberikan perlindungan atas hak-hak kelompok etnis minoritas. Hal ini tentu akan berbeda, khususnya bagi kelompok etnis Melayu, apabila model yang pertama dan kedua yang dijadikan sebagai basis bagi nation

building di Malaysia, yang tidak lagi menerapkan konsep identitas nasional

tunggal. Bagi kelompok etnis non-Melayu, meskipun dengan model yang ketiga ini identitas Malaysia masih dibasiskan pada identitas etnis Melayu, adanya jaminan atas kesetaraan bagi seluruh penduduk tanpa adanya lagi pembeda-bedaan dapat dilihat sebagai perubahan yang mendasar dibandingkan dengan kondisi saat ini. Kelompok etnis non-Melayu juga bisa merasa aman akan

(7)

keberlangsungan identitas kultural mereka karena hal-hal tersebut dilindungi oleh negara. Namun ada konsekuensi yang sulit bagi kelompok etnis Melayu dimana besar kemungkinannya mereka harus melepaskan status istimewa mereka di Malaysia. Suatu hal yang mungkin masih sulit untuk dilaksanakan.

Referensi

Dokumen terkait

Penanggung dengan ini setuju dengan Tertanggung bahwa jika setiap saat selama jangka waktu asuransi butir-butir atau bagian dari padanya yang tercantum dalam Ikhtisar dan

Pengamatan terhadap sistem berjalan dalam observasi lapangan dilakukan di bagian pengendalian kualitas, pada bagian ini pengendalian kulaitasnya masih bersifat konvensional

refrigerate at least 3 hours or until very cold. Whisk the mixture and then pour into the canister of an ice cream maker. Freeze according to manufacturer's directions. Transfer

Ada beberapa kontrak yang masih berlaku yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan ada juga

Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu dilakukan analisis terhadap biaya opera- si kendaraan (BOK) dan nilai waktu (VOT) di wilayah jalan perkotaan Jabodetabek dengan

Rahardi (2006: 100-101) menjelaskan, di dalam linguistik, konteks wacana atau teks dapat dibedakan menjadi sedikitnya menjadi tiga. 1) Konteks tuturan (context of utterance),

Periodontitis kronis adalah suatu peradangan kronik yang terjadi pada jaringan periodontium yang disebabkan oleh penumpukan plak pada gigi yang nantinya akan menyebabkan

Sebuah pusat pelatihan atlet bulutangkis tidak hanya dibutuhkan lapangan bulutangkis saja, namun dibutuhkan juga fasilitas penunjang yang memenuhi kebutuhan para