• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUMAH-RUMAH TRADISIONAL SUKU DAYAK - PAPER.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RUMAH-RUMAH TRADISIONAL SUKU DAYAK - PAPER.pdf"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat ... 3

1.4 Metode Penulisan ... 4

BAB II PEMBAHASAN ... 5

2.1 Profil dan Sejarah Dayak ... 5

2.2 Kepercayaan Dayak ... 6

2.3 Ragam Jenis Rumah Tradisional Suku Dayak ... 7

2.3.1 Rumah Panjang ……… 7

2.3.2 Rumah Betang ………. 8

2.3.3 Rumah Lamin ... 11

2.3.4 Rumah Lanting ……… 13

2.3.5 Rumah Banjar/Rumah Baanjung ……… 14

2.4 Konstruksi Rumah Tradisional Suku Dayak ... 16

2.4.1 Teknik Pemasangan Pondasi ……….. 16

2.4.2 Tekni Pemasangan Sambungan ……….. 18

2.4.3 Denah dan Tampak Bangunan ……….... 19

2.4.4 Bagian-Bagian Konstruksi Rumah Tradisional Dayak ………….. 20

(2)

3.2 Saran ...23 DAFTAR PUSTAKA ………... 24 DISKUSI ... 26

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau Kalimantan terbagi berdasarkan wilayah administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing. Terdiri dari: Kalimantan Timur dengan ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah dengan ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat dengan ibu kotanya Pontianak.

Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.

Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.

Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit berasal dari

(4)

Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri.

Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya. Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata “Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.

Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak, Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya, Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.

Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang

(5)

lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.

Masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya dan budaya aslinyanya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman. Karena itulah, paper ini dibuat, agar pembaca bisa tahu bagaimana sebenarnya perkembangan arsitektur Rumah Tradisional suku-suku Dayak, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan hal tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang dikemukakan di atas, muncul masalah yang akan dibahas dalam paper ini, yaitu:

a. Bagaimanakah profil sejarah suku Dayak di Kalimantan? b. Apa sajakah kepercayaan suku Dayak?

c. Apa sajakah jenis-jenis rumah tradisional suku Dayak?

d. Bagaimanakah contoh konstruksi dari rumah tradisional suku Dayak tersebut?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan utama dari penulisan paper ini adalah untuk dapat mengetahui jenis-jenis rumah tradisional suku Dayak yang terdapat di Kalimantan, baik yang ada pada masa lalu, maupun pada masa ini. Pembaca juga diharapkan dapat mengetahui contoh model konstruksi rumah tradisional suku Dayak tersebut. Sedangkan, tujuan lainny adalah untuk mengetahui hal-hal lain yang berhubungan, seperti profil sejarah maupun kepercayaan yang berkembang di suku Dayak.

(6)

Sedangkan, manfaat yang dapat diperoleh berupa pelajaran mengenai ragam bangunan tradisional nusantara, khususnya rumah tradisional suku Dayak di Kalimantan. Pembaca juga dapat mempelajari tentang teknik pembangunan masa lalu pada suku Dayak, yang nantinya dapat digunakan sebagai suatu contoh pada masa sekarang dalam hal membangun rumah yang benar.

1.4 Metode Penulisan

Dalam pembuatan paper ini penulis menggunakan metode telaah pustaka baik dari buku maupun dari internet. Dengan adanya literatur-literatur yang sesuai dengan pokok bahasan pada paper ini, diharapkan penulisan paper ini dapat terarah dan mencapai tujuan yang diinginkan. Metode ini mengcu pada penggunaan buku dan jika ada kekurangan pada buku tersebut akan di lengkapi dengan literatur dari web–web di internet.

(7)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Profil dan Sejarah Dayak

Suku Dayak atau Dyak adalah adalah suku asli yang mendiami pulau Borneo (Kalimantan). Istilah Dayak ini ditujukan kepada orang-orang atau kelompok suku yang hidup dan tinggal ditepi aliran sungai atau dataran tinggi yang berada dipedalaman Kalimantan (Borneo). Setiap suku dan sub suku Dayak ini memiliki dialek, budaya, peraturan dan daerah-daerah masing.

Menurut tafsiran dari Antropologi Moderen mengatakan bahwa semua kelompok suku asli di Asia Tenggara termasuk suku Dayak, adalah keturunan dari migrasi besar-besaran dari orang Austronesia dari benua Asia, yang tiba dan tinggal di pulau–pulau Asia Tenggara selama lebih dari 3000 tahun yang lalu. Penduduk pertama yang berbahasa dan dialek yang beragam disimpulkan bahwah mereka memiliki bahasa dan budaya yang kolektif yaitu bahasa Austronesia, dari sinilah jejak orang Dayak ditelusuri. Kira-kira tahun 2.450 tahun yang lalu, jaman perunggu dan logam telah dikenal dan telah menyebar di daerah kawasan Asia tenggara ini dimana suku-suku Tradisionil ini hidup.

Suku Dayak utama yang hidup di daerah Kalimantan Selatan adalah Dayak Bukit Meratus, Maanyan Bakumpai dan banyak sub sukunya lagi. Di Kalimantan Tengah tinggal suku Dayak Barito, Ngaju, Dohoi dan Katingan, Kapuas dll. Kalimantan Timur hidup Suku Dayak Kenya, Kayan, Benoakh, Punan, Tidung, Kutai , dll.

Dayak Kalimantan memiliki catatan sejarah tradisionil mereka. Sebagian ada dituliskan dalam budaya umumnya dan sebagian lagi ada dalam praktek-praktek budaya mereka. Dalam tambahan catatan dan laporan dari pergerakan dan kegiatan suku-suku Dayak di pulau Borneo dengan hati-hati dikumpulkan dan di yang

(8)

dipergunakan untuk pengembangan secara ekonomi dan politikal dan berhubungan dengan komunitas yang lain sebaik dengan contoh yang digunakan untuk riset, penelitian dan pembelajaran mengenai sejarah migrasi atau perpindahan kelompok-kelompok suku Dayak. Contoh khusus Suku Iban dan Dayak Laut yang menyebar di pesisir pantai Laut Cina Selatan telah didokumentasikan, Membanggakan budaya pedang/Besi dan budaya aggresif atau perang mereka menentang kelomok yang tinggal di tepi laut yang dilindungi oleh perdagangan Barat yang menarik perhatian budaya Barat pada abad 19 sampai 20.Penduduk tepi pantai di pulau Borneo sebagian besar telah menjadi Muslim dalam kepercaaan mereka, sehingga kelompok-kelompok suku Dayak seperti Ilanun, Melanau, Kedayan, Bakumpai dan Bisayah pada umumnya disebut dengan Dayak yang telah di Islamkan. Sebagai suku asli penduduk Pulau Borneo (Kalimantan). Telah dipengaruhi dan oleh Kerajaan Majapahit dari Jawa dan Kesultanan Melayu, secara periode atau bertahap telah mempengaruhi sejarah budaya bangsa-bangsa di Asia Tenggara.

2.2 Kepercayaan Dayak

Agama kepercayaan asli orang Dayak adalah Kaharingan, yaitu suatu ajaran kepercayaan Animisme yang telah disatukan oleh pemerintah Indonesia, menjadi bentuk Hinduisme Indonesia untuk tujuan administrasi dan official. Praktek Kaharingan berbeda bentuknya dari kelompok suku Dayak yang satu dengan yang lainnya. Sebagai contohnya di beberapa praktek kepercayaan Kaharingan, mempercayai ketika seorang yang tehormat/ tokoh adat (kamang) meninggal, rohnya akan naik ke sebuah gunung dimana di sana roh-roh nenek moyang (leluhur) yang yang telah dulu tinggal diam. Untuk acara agama Kaharingan, roh-roh nenek moyang dipercayai turun ikut dalam acara keagamaan Kaharingan, sebagai tanda hormat dan tunduk kepada roh-roh nenek moyang (leluhur) dan berkah untuk kemakmuran di masa mendatang.

Lebih 2 abad yang lalu, beberapa suku Dayak telah memeluk Islam, dan meninggalkan praktek budaya dan ritus-ritus tertentu. Kekristenan telah masuk ke Kalimantan oleh misionaris Eropa dan Amerika.

(9)

Dayak Muslim tetap memegang indentitas asli mereka dan juga memegang berbagai praktek peraturan agama yang kosisten dengan agama mereka.

Sebagai contoh indentitas yang umum, di atas segala kepercayaan agama, adalah kelompok Dayak Melanau. Yang membedakan kelompok penduduk kecil ini, kepada pemeriksa adalah orang–orang yang tinggal di Sarawak, umumya tidak mengidentifkasi suku Melanau ini dengan satu agama, karena sebagian dari mereka telah memeluk Islam dan sebagian lagi telah memeluk Kristen selama beberapa periode waktu. Beberapa praktek kepercayaan bentuk Kaharingan model Melanau ini disebut dengan Liko. Liko ini adalah kepercayaan asli yang masih bertahan bagi orang Melanau, sebelum datangnya kepercayaan Islam dan Kristen ke Sarawak. Dan ini menjadi indentitas yang umum yang di pegang oleh orang Melanau secara politik.

2.3 Ragam Jenis Rumah Tradisional Suku Dayak 2.3.1 Rumah Panjang

Tradisi yang paling dekat dalam organisasi yang masih dipraktekkan hingga saat ini adalah rumah Panjang yang didiami oleh banyak keluarga. Struktur bangunan yang didukung oleh bahan dari kayu yang bisa mencapai panjang samapai ratusan meter, biasanya di tempatkan dekat dengan aliran sungai besar. Pada satu sisi sebuah rumah Panjang dapat dengan mudah menjangkau dan mencapai keluarga–keluarga individu. Suku Iban di Kapuas dan Sarawak telah mengorganisasikan rumah Panjang tempat tinggal mereka untuk merespon pola perpindahan atau migrasi mereka. Ukuran rumah Panjang dari suku Iban beraneka ragam, dari ukuran yang kecil yaitu kurang lebih seratus meter dan sampai pada ukuran yang besar/panjang, yaitu lebih dari 500 meter. Rumah Panjang memiliki satu pintu dan apartemen bagi setiap individu yang tinggal dalam rumah panjang. Contohnya, sebuah rumah panjang dengan jumlah 200 pintu sama dengan rumah tinggal untuk 200 keluarga.

(10)

Gambar 1.1 Rumah Panjang

2.3.2 Rumah Betang

Contoh rumah tradisional suku Dayak adalah rumah Betang. Rumah Betang merupakan rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya berdagang dengan menggunakan system barter yaitu dengan saling menukarkan hasil ladang, kebun maupun ternak).

Bentuk dan besar rumah Betang ini bervariasi di berbagai tempat. Ada rumah Betang yang mencapai panjang 150 meter dan lebar hingga 30 meter. Umumnya rumah Betang di bangun dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah. Tingginya bangunan rumah Betang ini diperkirakan untuk menghindari datangnya banjir pada musim penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di Kalimantan. Beberapa unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu buah tergantung dari besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Setiap rumah tangga (keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk

(11)

melakukan aktivitas perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan tempat pemukiman penduduk.

Lebih dari bangunan untuk tempat tinggal suku dayak, sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari struktur sosial kehidupan orang Dayak. Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka-duka maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial.

Gambar 1.2 Rumah Betang

Tetapi pada masa sekarang pun banyak orang luar (bahkan orang Indonesia sendiri) beranggapan bahwa suku Dayak adalah suku yang tertutup, individual, kasar dan biadab. Sebenarnya hal ini merupakan suatu kebohongan besar yang diciptakan oleh para Kolonial Belanda waktu masa perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk

(12)

memecah belah persatuan dan kesatuan terutama di antara suku Dayak sendiri yang pada saat itu menjunjung tinggi budaya rumah Betang. Dan kebohongan tersebut masih dianggap benar sampai sekarang oleh mereka yang tidak mengenal benar orang Dayak. Bahkan, pernah terjadi konflik berkepanjangan di Kalimantan, sebagai akibat tidak dihargainya budaya rumah Betang oleh beberapa etnis tertentu di daerah tersebut.

Ironisnya, pada masa ini, kebudayaan rumah betang semakin terkikis oleh modernisasi yang menerpa deras seluruh dunia, termasuk juga terhadap suku-suku Dayak yang tinggal di pedalaman. Kalaupun masih bisa ditemukan rumah betang yang ada pemiliknya, penghuninya cenderung tidak lagi menjadikannya sebagai rumah utama, tempat keluarga bernaung, tumbuh dan berbagi cerita bersama komunitas. Rumah Betang tinggal menjadi kenangan bagi sebagian besar orang Dayak. Di beberapa tempat yang terpencar, rumah Betang dipertahankan sebagai tempat untuk para wisatawan. Sebut saja, misalnya di Palangkaraya terdapat sebuah rumah Betang yang dibangun pada tahun 1990-an tetapi lebih terlihat sebagai monumen yang tidak dihuni. Generasi muda dari orang Dayak sekarang tidak lagi hidup dan dibesarkan di rumah Betang.

Salah satu ciri khas dari rumah Betang adalah selalu menghadap sungai. Walaupun antar komunitas suku Dayak yang tinggal di wilayah Selatan, Tengah, Barat dan Timur pulau, awalnya tidak pernah terjadi persinggungan budaya, namun arsitektur dan posisi rumah mereka selalu menghadap ke sungai atau sumber mata air. Kalau di Tana Toraja, rumah panggung dikenal dengan nama Tongkonan dan di Minangkabau bernama Rumah Gadang, suku Dayak memberi nama berbeda-beda sesuai letak geografis masing-masing.

(13)

Gambar 1.3 Rumah suku Dayak yang dekat air

2.3.3 Rumah Lamin

Di antar suku Dayak, terdapat beberapa rumah yang disebut dengan nama berbeda, walaupun pada prinsipnya sama. Contohnya adalah pada suku Dayak yang tinggal di Selatan sering menyebut "Balai", di bagian Barat dan Tengah menyebutnya dengan "Betang" dan di bagian timur "Lamin". Apapun sebutannya namun secara fisik memiliki persamaan yaitu berupa bangunan besar ukuran panjang antara 30 sampai 150 meter dan lebar 10 hingga 30 meter dan bertiang tinggi antara 3 sampai 4 meter.

(14)

Gambar 1.4 Rumah Lamin

Sama dengan rumah tradisional lainnya, hingga kini belum terpecahkan, mengapa tipologi rumah Suku Dayak harus dibuat besar mirip barak militer tanpa mempertimbangkan faktor privasi antar keluarga. Tetapi, dari alasan teknis dibuat tinggi dari permukaan tanah tidak lain adalah untuk pertimbangan menjaga serangan binatang buas atau serangan musuh, selain pemanfaatan lahan yang biasanya untuk tempat bermain anak, gudang, menumbuk padi, menyimpan perahu atau sesekali untuk upacara adat.

Bangunan rumah selalu mempergunakan material kayu yang tahan panas dan tahan hujan. Biasanya dipergunakan kayu Ulin ("eusideroxylon zwagery") yang satu sama lain dirangkai tanpa mengunakan paku atau baut tetapi lazimnya menggunakan pasak dari jenis kayu yang sama. Sedangkan atapnya menggunakan sirap. Rancang bangun Balai, Betang atau Lamin, biasanya terdiri dari bagian-bagian penting seperti tangga, pelataran, anjungan, ruang utama, ruang keluarga, ruang tidur, dapur dan gudang logistik.

Sedangkan untuk buang hajat atau mencuci dan mandi biasanya terpisah dari bangunan rumah. Khusus untuk ruang tidur, biasanya memiliki fungsi ganda sebagai tempat privasi sekaligus untuk menyimpan perhiasan atau peralatan perang seperti mandau, tombak, sumpit atau racun yang sering digunakan untuk berburu binatang atau peperangan. Rata-rata tinggi dinding dibuat paling sedikit 4 meter guna menjaga

(15)

sirkulasi udara, sedangkan daun pintu biasanya mengikuti tinggi dinding yang kadang-kadang sampai 3 meter sementara daun jendela 2 meter. Walaupun pintu rumah Suku Dayak biasa selalu terbuka, namun untuk menjaga keamanan dibuat kunci pengaman dari kayu ulin yang lazim disebut dengan "sesunduk lawang", batangan kayu mirip alu yang diletakan diatas dudukan sebagai penyangga daun pintu.

Antara satu suku dengan suku Dayak lainnya memiliki ciri khas dalam membuat ornamen rumah, termasuk ukiran-ukiran pada teras depan, tiang pagar teras, tangga maupun bentuk bubungan atap.

Gambar 1.5 Ornamen Pada Ventilasi Pintu dan Pagar Teras

Namun, khusus untuk peletakan gagang pintu maupun jendela memiliki kesamaan, yakni selalu berada pada bagian kiri agar memudahkan tangan kiri untuk memegangnya. Rancangan ini merupakan bentuk "kesiagaan" suku Dayak yang selalu mempersilahkan tamunya dengan tangan kanan, walaupun sedang memegang senjata mandau atau tombak. Jika ujung mata mandau atau tombak mengarah ke bawah, maka ini berarti bentuk penghormatan untuk mempersilahkan tamunya masuk. Tetapi jika sebaliknya, berarti bentuk penolakan yang tidak bisa ditawar-tawar.

2.3.4 Rumah Lanting

Contoh lain rumah tradisional suku Dayak adalah rumah Lanting. Lanting merupakan rumah terapung yang terdapat di tepian sungai. Bagi penduduk Kalimantan

(16)

tempo dulu yang pola hidupnya sangat bergantung pada sungai, rumah ini sangat berguna, terutama apabila lahan yang tersedia terbatas. Bila dibandingkan dengan rumah Bentang maupun rumah lainnya, rumah Lanting ini tergolong kurang populer penggunaannya. Hal ini mungkin diakibatkan karena rumah yang dibuat terapung di atas sungai. Sehingga dari segi keamanannya dinilai kurang memadai, terutama bila arus sungai cukup deras atau banjir. Rumah yang sejajar dengan tanah juga lebih rentan terhadap gangguan binatang liar di sekitarnya. Ciri khas rumah ini adalah pada bagian dasarnya dibuat dari kayu atau batang yang dapat terapung di atas air.

Gambar 1.6 Rumah Lanting

Gambar 1.7 Rumah-Rumah Lanting Masa Kini

2.3.5 Rumah Banjar/Rumah Baanjung

Rumah Banjar adalah contoh lain rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris.

(17)

Rumah tradisonal Banjar adalah type-type rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Umumnya rumah tradisional Banjar dibangun dengan ber-anjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut Rumah Baanjung. Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula beberapa type Rumah Banjar yang tidak ber-anjung. Tipe rumah yang paling bernilai tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang biasanya dipakai untuk bangunan keraton (Dalam Sultan). Jadi nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai keraton. Keagungan seorang penguasa pada masa pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran dan kualitas seni serta kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya istana raja (Rumah Bubungan Tinggi). Dalam suatu perkampungan suku Banjar terdiri dari bermacam-macam jenis rumah Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah. Dalam kampung tersebut rumah dibangun dengan pola linier mengikuti arah aliran sungai maupun jalan raya terdiri dari rumah yang dibangun mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai maupun rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah (alluvial) maupun lahan kering.

Rumah adat Banjar, biasa disebut juga dengan Rumah Bubungan Tinggi karena bentuk pada bagian atapnya yang begitu lancip dengan sudut 45º. Bangunan Rumah Adat Banjar diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, yaitu ketika daerah Banjar di bawah kekuasaan Pangeran Samudera yang kemudian memeluk agama Islam, dan mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang.

Pada mulanya bangunan rumah adat Banjar ini mempunyai konstruksi berbentuk segi empat yang memanjang ke depan. Namun, perkembangannya kemudian bentuk segi empat panjang tersebut mendapat tambahan di samping kiri dan kanan bangunan dan agak ke belakang ditambah dengan sebuah ruangan yang berukuran sama panjang. Penambahan ini dalam bahasa Banjar disebut disumbi.

Bangunan tambahan di samping kiri dan kanan ini tampak menempel (dalam bahasa Banjar: Pisang Sasikat) dan menganjung keluar. Bangunan tambahan di kiri

(18)

dan kanan tersebut disebut juga anjung, sehingga kemudian bangunan rumah adat Banjar lebih populer dengan nama Rumah Ba-anjung.

Gambar 1.8 Rumah Banjar / Ba-anjung

2.4 Konstruksi Rumah Tradisional Suku Dayak 2.4.1 Teknik Pemasangan Pondasi

Pada masa lalu, sungai adalah sarana yang sangat penting bagi jalur komunikasi dan transportasi, terutama di Kalimantan. Hal ini menyebabkan begitu banyaknya bangunan-bangunan yang dibuat di sepanjang aliran sungai pada waktu itu. Mengingat daerah pinggiran sungai mempunyai jenis tanah yang rendah dan berair

(19)

maka bangunan tersebut harus mempunyai bentuk pondasi yang mantap untuk menyokong bangunan di atasnya.

Untuk pondasi pada rumah tradisional suku Dayak, biasanya dipakai kayu galam yang banyak terdapat di sepanjang rawa Kalimantan. Kayu galam ini mempunyai sifat yang khusus sehingga sangat pas untuk dijadikan bagian pondasi bangunan rumah di sepanjang pinggir sungai. Sifat kayu galam adalah semakin terendam maka kekuatannya menjadi awet. Kayu galam yang terendam di lumpur terus menerus mempunyai kekuatan sampai puluhan tahun.

Teknik pemasangan pondasi ini ada dua cara, yaitu:

1. Pondasi Batang Besar, apabila pondasi yang dipilih adalah pondasi batang besar maka digunakan teknik kalang pandal. Kayu yang digunakan biasanya berdiameter 40 cm lebih. Caranya, kayu besar ditoreh bagian atasnya sampai rata kemudian bagian yang ditoreh itu dilobangi untuk tempat menancapkan tiang dan tongkat. Setelah itu bagian ini akan direndamkan ke dalam tanah dengan kedalaman 50 - 100 cm tergantung kondisi tanah. Batang disusun berjejer sesuai dengan deretan tongkat dan tiang rumah yang akan dibangun. Untuk menahan tiang atau tongkat agar tidak terus menurun maka dipakai sunduk.

Gambar 2.1 Pondasi Batang Besar

(20)

2. Pondasi Dengan Batang Kecil, kayu galam yang digunakan dalam pondasi ini biasanya berdiameter minimal 15 cm untuk tampuk ujung dan sekitar 20 cm untuk tampuk tengahnya. Cara pemasangannya agak berbeda dengan cara batang besar yang hanya satu lapis. Untuk pondasi batang kecil ada dua lapis, bagian bawah disebut Kacapuri dan lapisan atas disebut kalang sunduk, yaitu untuk penahan sunduk tiang atau sunduk tongkat. Ujung tiang atau tongkat tertancap hingga kedalaman dua meter dari permukaan tanah.

Gambar 2.2 Pondasi batang Kecil

2.4.2 Tekni Pemasangan Sambungan

Sedangkan, teknik pemasangan sambungan pada struktur rumah tradisional suku Dayak umumnya menggunakan bahan yang alami dan teknik konstruksi yang sederhana dengan cara menyusun tiang dan balok. Penyatuan semua bagian bangunan dilakukan dengan cara membentuk dan menyambung bagian kayu dengan beberapa alat khusus sederhana seperti kampak, gergaji, pahat, golok (parang). Untuk kemudahan pemasangan, seringkali tiang dan balok disambung di tanah sebelum diletakkan di atas batu pondasi.

(21)

Gambar 2.3 Teknik Pemasangan Sambungan Struktur Rumah Tradisional Suku Dayak

Penyusunan tiang dan balok pada prinsipnya tidak menggunakan paku, tapi menggunakan sambungan lubang dengan pasak, sambungan pangku dan sambungan takik. Susunan tiang-tiang tersebut bersandar di atas batu pondasi dengan stabilitas didapat dari rel-rel melintang yang masuk ke lubang yang dibuat di dalam tiang.

Demikian garis besar pembuatan pondasi pada rumah tradisional Banjar, pondasi sederhana sesuai dengan perkembangan zaman pada masa itu.

2.4.3 Denah dan Tampak Bangunan

Berikut ini adalah contoh denah dari sebuah rumah tradisonal suku Dayak, yaitu rumah Banjar.

(22)

Gambar 2.4 Denah Rumah Banjar

Sedangkan, gambar berikut memperlihatkan sebuah contoh Tampak Samping dari rumah Banjar.

(23)

Gambar 2.5 Tampak Samping Rumah Banjar

2.4.4 Bagian-Bagian Konstruksi Rumah Tradisional Dayak

Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai Rumah Tradisional Dayak :

a. Kerangka

Kerangka rumahnya biasa menggunakan ukuran tradisional depa atau tapak kaki dengan ukuran ganjil yang dipercayai punya nilai magis / sakral. Bagian-bagian rangka tersebut adalah :

1. susuk dibuat dari kayu Ulin.

2. Gelagar dibuat dari kayu Ulin, Belangiran, Damar Putih. 3. Lantai dari papan Ulin setebal 3 cm.

4. Watun Barasuk dari balokan Ulin. 5. Turus Tawing dari kayu Damar.

6. Rangka pintu dan jendela dari papan dan balokan Ulin.

(24)

7. Balabad dari balokan kayu Damar Putih. Mbr> 8. Titian Tikus dari balokan kayu Damar Putih.

9. Bujuran Sampiran dan Gorden dari balokan Ulin atau Damar Putih. 10. Tiang Orong Orong dan Sangga Ributnya serta Tulang Bubungan dari

balokan kayu Ulin, kayu Lanan, dan Damar Putih. 11. Kasau dari balokan Ulin atau Damar Putih.

12. Riing dari bilah-bilah kayu Damar putih. b. Lantai

Di samping lantai biasa, terdapat pula lantai yang disebut dengan Lantai Jarang atau Lantai Ranggang. Lantai Ranggang ini biasanya terdapat di Surambi Muka, Anjung Jurai dan Ruang Padu, yang merupakan tempat pembasuhan atau pambanyuan. Sedangkan yang di Anjung Jurai untuk tempat melahirkan bayi dan memandikan jenazah. Biasanya bahan yang digunakan untuk lantai adalah papan ulin selebar 20 cm, dan untuk Lantai Ranggang dari papan Ulin selebar 10 cm.

c. Dinding

Dindingnya terdiri dari papan yang dipasang dengan posisi berdiri, sehingga di samping tiang juga diperlukan Turus Tawing dan Balabad untuk menempelkannya. Bahannya dari papan Ulin sebagai dinding muka. Pada bagian samping dan belakang serta dinding Tawing Halat menggunakan kayu Ulin atau Lanan. Pada bagian Anjung Kiwa, Anjung Kanan, Anjung Jurai dan Ruang Padu, terkadang dindingnya menggunakan Palupuh.

d. Atap

Atap bangunan biasanya menjadi ciri yang paling menonjol dari suatu bangunan. Karena itu bangunan ini disebut Rumah Bubungan Tinggi. Bahan atapnya terbuat dari sirap dengan bahan kayu Ulin atau atap rumbia.

(25)

e. Ornamentasi (Ukiran)

Penampilan rumah tradisional Bubungan Tinggi juga ditunjang oleh bentuk-bentuk ornamen berupa ukiran. Penempatan ukiran tersebut biasanya terdapat pada bagian yang konstruktif seperti tiang, tataban, pilis, dan tangga. Sebagaimana pada kesenian yang berkembang dibawah pengaruh Islam, motif yang digambarkan adalah motif floral (daun dan bunga). Motif-motif binatang seperti pada ujung pilis yang menggambarkan burung enggang dan naga juga distilir dengan motif floral. Di samping itu juga terdapat ukiran bentuk kaligrafi. Kaligrafi Arab merupakan ragam hias yang muncul belakangan yang memperkaya ragam hias suku Banjar.

(26)

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat kami peroleh adalah :

 Suku Dayak atau Dyak adalah adalah suku asli yang mendiami pulau Borneo (Kalimantan). Istilah Dayak ini ditujukan kepada orang-orang atau kelompok suku yang hidup dan tinggal ditepi aliran sungai atau dataran tinggi yang berada dipedalaman Kalimantan (Borneo). Setiap suku dan sub suku Dayak ini memiliki dialek, budaya, peraturan dan daerah-daerah masing.

 Agama kepercayaan asli orang Dayak adalah Kaharingan, yaitu suatu ajaran kepercayaan Animisme yang telah disatukan oleh pemerintah Indonesia, menjadi bentuk Hinduisme Indonesia untuk tujuan administrasi dan official. Pada ajaran Kaharingan, para penganutnya mempercayai bahwa seorang yang tehormat/ tokoh adat (kamang) meninggal, rohnya akan naik ke sebuah gunung

dimana di sana roh-roh nenek moyang (leluhur) yang yang telah dulu tinggal

diam.

 Rumah-rumah tradisional suku Dayak umumnya dibangun di tepi sungai, karena tepi sungai merupakan tempat yang strategis sebagai sumber mata pencaharian, dan sarana transportasi.

 Pondasi rumah tradisional suku Dayak umumnya dibuat dari kayu Galam yang mempunyai sifat yang unik, yaitu menjadi semakin kuat apabila terendam dalam air maupun lumpur. Kayu ini umumnya mampu bertahan selama puluhan tahun.

(27)

3.2 Saran

Hal yang dapat kami sarankan adalah :

 Mari kita lestarikan kekayaan budaya kita, yang salah satunya berupa rumah-rumah tradisional daerah masing-masing, agar nantinya tidak tertelan arus modernisasi, dan masih dapat dinikmati oleh anak cucu kita.

 Sebaiknya, kita sebagai seorang arsitek, tidak melupakan ajaran-ajaran masa lalu, seperti konstruksi-konstruksi bangunan tradisional yang dapat berguna untuk kita dalam merancang di masa mendatang

(28)

DAFTAR PUSTAKA

www.google.co.id www.astudio.co.id www.arsitektur.net www.fazz.wordpress.com www.kerajaanbanjar.wordpress.com www.wikipedia.com www.kutaikartanegara.com

Soeroto, Myrtha. 2003. Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta.

(29)

Puji syukur kami panjatkan kepada Yuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat beliau paper yang berjudul “Rumah Tradisional Suku-suku Dayak” dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengasuh mata kuliah Arsitektur Nusantara yang telah memberikan dorongan dan membantu penyelesaian tugas paper ini. Paper ini dibuat untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Arsitektur Nusantara pada semester ganjil di Program Studi Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana.

Kami menyadari dalam penulisan paper ini masih ada kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat diperlukan untuk penyempurnaan tugas ini. Semoga paper ini dapat berguna bagi kita semua khususnya yang berkecimpung di dunia arsitektur.

Denpasar, 22 Oktober 2008

Penulis

Gambar

Gambar 1.1 Rumah Panjang
Gambar 1.2 Rumah Betang
Gambar 1.3 Rumah suku Dayak yang dekat air
Gambar 1.4 Rumah Lamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bagian pertama pada komposisi ini ialah menceritakan tentang sebuah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat etnis Dayak Kanayatn Kalimantan Barat dalam membuka

Kain Tradisional Indonesia Untuk Anak Muda Seri Dayak Kalimantan Barat ” dengan baik dan tepat pada waktunya. Proses dalam perancangan ini dilalui dengan berbagai observasi

Pertama, dekonstruksi yang terjadi atas tradisi ngayau pada suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah merupakan kejadian yang disebabkan oleh kematian metafisika ngayau

Kalau dicermati secara mendalam, dari proses menanam padi pada masyarakat Suku Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat mulai dari proses pembukaan lahan, penanaman

Penelitian dengan judul “Pengaruh Covid 19 Terhadap Ritual Adat Pernikahan Suku Dayak Keninjal di Kabupaten Melawi Kalimantan Barat” merupakan sebuah kajian baru yang akan

Tumbuhan Obat Ramuan Tradisional Untuk Reproduksi Suku Dayak Bakumpai Di Kecamatan Teweh Selatan Kabupaten Barito Utara Provinsi Kalimantan Tengah adalah benar

Rumah Apung yang ada di Pulau Kalimantan tentunya harus dijaga oleh semua pihak termasuk oleh Suku Dayak itu sendiri, ditengah arus perkembangan teknologi dan juga keberadaan bahkan

Nilai Pendidikan Dalam Budaya Menanam Padi Suku Dayak Kanayatn Di Kalimantan Barat.. Pengaruh Nilai Kebersamaan Budaya Lokal, Lingkungan Kerja, Dan Motivasi Terhadap Kreativitas Kerja