• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Perkawinan Hukum Adat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Perkawinan Hukum Adat"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH HUKUM ADAT

tentang

PERKAWINAN

DISUSUN OLEH:

RONALD PARINDUAN LBN TOBING (2016020116)

ROMENTAL

SOPYAN SOPHIAN

R.412

FAKULTAS HUKUM B

(2)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan rahmat, dan hidayah-Nya sehingga kami bisa merampungkan tugas mata kuliah Hukum Adat yang berupa makalah dengan judul "Perkawinan Hukum Adat" dengan lancar.

Saya berharap makalah ini bisa memberi sedikit tambahan ilmu bagi para pembaca tentang perkawinan adat.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran sangat saya harapkan dari para pembaca. terima kasih.

Pamulang, 15 November 2017

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sudah menjadi kodrat bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua sampai ia meninggal. Pada saat dewasa itulah manusia akan mulai berpikir tentang perkawinan.

Perkawinan merupakan suatu saat yang sangat penting dimana hubungan persaudaraan berubah dan diperluas. Perkawinan juga merupakan rencana untuk meneruskan keturunan. Secara umum, perkawinan adalah penggabungan antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk sebuah rumah tangga.

Dalam pelaksanaan sebuah perkawinan, diperlukan tata cara tertentu yang mengatur individu-individu yang bersangkutan dalam sebuah upacara perkawinan. Upacara perkawinan adalah tahapan acara yang dilakukan mulai dari awal menentukan pasangan sampai kepada pesta pernikahan dan sesudahnya, yang mana didalamnya mengandung unsur-unsur ritual dan nilai-nilai kemasyarakatan.

Pada dasarnya pelaksanaan perkawinan warga masyarakat Indonesia telah dominan dipengaruhi oleh hukum adat. Dikarenakan masyarakat Indonesia beraneka ragam suku bangsanya, sudah pasti beraneka ragam pula hukum adat yang hidup dan tumbuh di tanah air Indonesia.

B. Tujuan

Seperti kita ketahui bahwa sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia memiliki kondisi kekeluargaan yang berbeda-beda atau sistem kekerabatan yang berbeda-beda, selain perbedaan suku bangsa juga adanya perbedaan dari segi agama, dari inilah keadaan perkawinan masyarakat itu tergantung dari masyarakat tertentu yang ada kaitannya dengan kondisi kekeluargaan serta membawa dampak pada bentuk perkawinan pada suatu masyarakat tersebut.

(4)

Oleh karena itu diperlukan pembahasan lebih lanjut mengenai perkawinan adat untuj mengetahui segala sesuatu tentang perkawinan menurut hukum adat yang ada dan berlaku di Indonesia.

C. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian perkawinan ?

2. Bagaimana Asas – Asas dalam Perkawinan Menurut Hukum Adat, Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974, dan KUH Perdata ?

3. Apa tujuan perkawinan ?

4. Bagaimana sistem–sistem dalam perkawinan hukum adat ? 5. Bagaimana bentuk perkawinan dalam masyarakat adat ?

6. Bagaimana perkawinan menurut masyarakat adat Minang jika dipandang dari teori Reception in Complexu dan Teori Resepsi ?

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Perkawinan

Saat ini hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di lain pihak hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah, yaitu hukum adat yang telah ada sejak jaman dahulu hingga sekarang ini yang merupakan hukum yang tidak tertulis. Namun di sisi lain, masih terdapat juga Hukum Perdata yang pula memberi warna tentang perkawinan.

Menurut pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan itu. Tetapi menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu ‘perikatan’ (verbindtenis). Dalam pasal 26 KUH Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan.

Pengertian perkawinan menurut hukum adat sendiri tidak memponyai definisi pastinya, namun secara sederhana dapat diartikan dengan suatu perkawinan yang memakai aturan atau sistem hukum adat yang berlaku di suatu tempat atau daerah. Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan rumah tangga, tetapi juga suatu

(6)

hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan para anggota kerabat dari pihak suami. Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.

Menurut seorang ahli dari Prancis yaitu A.Van Genep mengatakan (Perancis) semua upacara-upacara perkawinan “rites de passage” yaitu upacara-upacara peralihan perubahan status dari kedua mempelai. Setelah melalui upacara-upacara itu kedua belah pihak menjadi hidup bersatu dalam suatu kehidupan bersama suami isteri.

Rites de passage terdiri dari tiga stadia , yaitu :

1. Rites de separation, yaitu upacara perpisahan dari status semula. 2. Rites de marge, yaitu upacara perjalanan ke status yang baru.

3. Rites de aggregation, yaitu upacara penerimaan dalam status yang baru.

Teer Haar sendiri menyatakan bahwa :Perkawinan adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabak dan urusan pribadi”

Sedangkan menurut hukum islam, perkawinan adalah melaksanakan persetujuan antara seorang pria dan wanita atas dasar kesukaan kedua belah pihak yang dilakukan oleh wali pihak wanita menurut ketentuan yang diatur oleh agama.

2. Asas – Asas dalam Perkawinan Menurut Hukum Adat, Undang –undang Nomor 1 Tahun 1974, dan KUH Perdata

Asas – asas perkawinan menurut hukum adat adalah :

a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal

b. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat c. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai

isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.

(7)

d. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat adat.

e. Perkawinan boleh dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/keluarga dan kerabat.

f. Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan. Perceraian antara suami dan isteri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara dua pihak.

g. Keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada isteri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada isteri yang bukan ibu rumah tangga

Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan rumah tangga, tetapi juga suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan para anggota kerabat dari pihak suami. Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.

Asas – asas perkawinan menurut Undang–undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah :

a. Asas monogami, dengan kemungkinan adanya poligami sebagai pengecualian “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami” (pasal 3 ayat 1)

Pengecualian dengan dasar : (Pasal 4 ayat 2)

- istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;

- istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; - istri tidak dapat melahirkan keturunan.

(8)

b. Persamaan kedudukan antara suami dan istri, kedua-duanya mempunyai hak dan kedudukan yang sseimbang

“Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat” (pasal 31 ayat 1)

c. Istri sepanjang perkawinan tetap cakap untuk bertindak

“Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hokum” (pasal 31 ayat 2)

d. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan masuk dalam Harta Bersama, kecuali yang diperoleh dari hibah atau warisan, yang jatuh diluar Harta Barsama

“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama” (pasal 35 ayat 1)

“Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain” (pasal 35 ayat 2)

Sedangkan asas – asas perkawinan menurut KUH Perdata adalah : a. Monogami yang mutlak/konsekuen

b. Istri sepanjang perkawinan tidak cakap untuk bertindak dalam lapangan hukum kekayaan yang menyangkut hartanya

c. Adanya Harta Perkawinan Harta Persatuan (persatuan bulat), kecuali mereka menentukan lain dalam perjanjian kawin

d. Bentuk harta perkawinan sepanjang perkawinan tidak dapat diubah, bahkan sekalipun melalui perjanjian kawin.

3. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan meurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Kutahanan Yang Maha Esa. Dari kalimat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:

(9)

a. Perkawinan itu adalah untuk membentuk keluarga yaitu mendapatkan keturunan, karena suatu keluarga tentunya terdiri dari suami istri dan anak-anaknya

b. Perkawinan itu untuk selama-lamanya, hal ini dapat kita tarik dari kata “kekal” c. Perkwinan itu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan

Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak hanya melihat dari segi lahiriah saja tetapi sekaligus terdapat adanya suatu hubungan batin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan kahendak Tuhan Yang Maha Esa bahwa dengan melangsungkan perkawinan akan diperoleh kebahagiaan, baik materiil maupun spiritual. Kebahagiaan yang ingin dicapai bukan lah kebahagiaan yang sifatnya sementara saja, namun kebahagiaan yang kekal, karenanya perkawinan yang diharapkan adalah perkawinan yang kekal, yang dapat berakhir dengan kematian.

Sedangkan tujuan perkawinan menurut Hukum Adat adalah untuk melahirkan generasi muda, melanjutkan gris hidup orang tua, mempertahankan derajat memasuki inti sosial dalam masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara individu.

4. Sistem–Sistem Dalam Perkawinan Hukum Adat

Di dalam Hukum Adat Indonesia mengenal 3 (tiga) sistem perkawinan yaitu : a. Sistem Endogami

Dalam sistem perkawinan ini, seseorang hanya diperbolehkan kawin dengan orang dari suku keluarganya (klennya) sendiri. Sistem perkawinan seperti ini sekarang sudah jarang sekali ditemui pada masyarakat adat. Pengaruh-pengaruh yang datang dari luar daerah (kota) yang mempunyai cara pemikiran lebih modern mampu merubah konsep adat seperti ini. Sistem endogami banyak terdapat di dalam masyarakat Toraja

(10)

Sistem perkawinan ini melarang seseorang melakukan perkawinan dengan orang yang satu kerabat (klen) nya sendiri. Dengan kata lain, mengharuskan seseorang agar kawin dengan orang diluar sukunya.

Karena adanya perkembangan zaman, lambat laun larangan mengadakan perkawinan dalam satu klen mengalami perlunakan, yaitu hanya pada batas lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. Adapun daerah-daerah yang masih melakukan perkawinan ini adalah di daerah : Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera selatan, dan Seram

c. Sistem Eleutherogami

Masyarakat adat Indonesia mengenal pula sistem perkawinan eleutherogami yaitu sistem perkawinan yang tidak mengenal larangan-larangan atau keharusankeharusan seperti halnya pada sistem endogami dan sistem exogami.

Sistem perkawinan eleutherogami yang paling banyak dilakukan adalah didaerah : Aceh, Sumatera Timur, Bangka, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian Barat, Lombok, Bali, seluruh Jawa dan Madura.

Larangan-larangan yang terdapat dalam sistem eleutherogami ini hanyalah yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan karena hubungan nasab ataupun hubungan periparan

5. Bentuk Perkawinan Dalam Masyarakat Adat

Bentuk perkawinan yang dikenal dalam masyarakat adat dapat dibedakan antara lain :

a. Patrilineal

Corak dari perkawinan dalam kekerabatan ini adalah perkawinan jujur. Yang dimaksud dengan jujur di sini adalah pemberian pihak laki-laki kepada pihak perempuan ini yaitu sebagai lambang putusnya hubungan kekeluargaan si isteri dengan kerabatnya dan persekutuannya. Maka isteri masuk dalam kekerabatan suami beserta anak-anaknya. Sifat kekeluargaan ini dapat kita lihat pada masyarakat lampung, tanah Gayo, Pasemah, Maluku dan Bali.

(11)

Bentuk perkawinannya adalah perkawinan semenda dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu. Dalam perkawinan semenda calon mempelai pria dilamar oleh kerabat calon mempelai wanita. Setelah perkawinan terjadi, maka suami berda di bawah kekuasaan kerabat istri, hal ini bukan dalam arti laki-laki dimasukkan klen isterinya, ia tetap merupakan orang luar dari keluarga isterinya. Tidak adanya perubahan status dalam perkawinan ini, karena suami tetap menjadi keluarga klennya dan isteri juga tetap menjadi anggota klennya, tidak ada pembayaran jujur pada perkawinan ini. Kekerabatan ini dapat kita temukan pada masyarakat Minangkabau.

c. Parental

Dalam susunan kekerabatan parental, setelah perkawinan suami menjadi anggota keluarga isteri begitupun sebaliknya. Artinya susunan kekerabatan ini sangat berbeda dengan susunan kekerabatan sebelumnya yaitu patrilineal dan matrinial, yang hanya masuk ke dalam satu klan saja. Tapi dalam susunan kekerabatan parental adanya hubungan timbal balik dalam susunan kekerabatan. Dimana suami dan isteri dapat masuk kedalam susunan kekerabatan atau klan masing-masing pasangannya. Susunan kekerabatan ini dapat kita lihat pada masyarakat Sulawesi selatan, suku Dayak, dan Minahasa.

6. Perkawinan Menurut Masyarakat Adat Minang Dipandang Dari Teori Reception in Complexu Dan Teori Resepsi

Suku Minang atau Minangkabau adalah suku yang berasal dari Sumatera Barat. Masyarakat Minangkabau pada umunya memeluk agama Islam. Hanya sebagian kecil dari masyarakat Minangkabau yang tidak memeluk agama Islam.

Pembicaraan mengenai Islam dan Minangkabau adalah mengenai kenapa masyarakat Minangkabau yang terkenal teguh memegang ajaran Islam terkadang untuk beberapa hal yang tidak prinsipal memiliki kecenderungan yang berbeda dengan kecenderungan yang dianjurkan oleh Islam dimana ciri matrilineal dalam masyarakat adat Minangkabau sangat berpengaruh dalam hal perkawinan.

(12)

Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat tiga unsur yang paling dominan, yaitu

a. Garis keturunan menurut garis ibu

b. Perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal.

c. Ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengaman kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.

Dilain pihak perkawinan bagi seorang perjaka Minangkabau berarti pula langkah awal bagi dirinya meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru dilingkungan kerabat istrinya. Hal ini ditandai dengan prosesi turun janjang. Bila terjadi perceraian, suamilah yang harus pergi dari rumah isterinya. Sedangkan isteri tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat.

Sedangkan Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Tujuan perkawinan menurut undang-undang dan kompilasi hukum Islam adalah untuk mentaati perintah Allah serta memperoleh keturunan di dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.

Dalam hukum Islam anak adalah keturunan dari ayahnya, maka ayah mempunyai kuasa terhadap anaknya. Hal ini berbeda dengan hukum adat Minangkabau dimana ayah atau suami dalam suatu keluarga tidak mempunyai kuasa terhadap anaknya. Dikarenakan anak adalah keturunan dari ibunya atau klan ibunya. Sedangkan dalam hal garis keturunan ditarik melalui garis ayah menurut hukum Islam, maka ayah mempunyai kuasa terhadap anaknya. Maka anak adalah keturunan dari ayahnya. Hal ini berbeda dengan hukum adat Minangkabau di mana seorang ayah tidak memiliki kuasa terhadap anaknya.

Hukum adat menurut pendapat Mr. Van den Berg yang terkenal dengan teorinya “reception in complexu” adalah menganggap hukum kebiasaan atau hukum

(13)

adat adalah hukum agama. Tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum Adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mr. Van den Berg, maka hukum adat yang berlaku pada masyarakat Minangkabau adalah hukum Islam. Sehingga perkawinanpun harus berdasarkan hukum Islam, namun pada kenyataanya tidak demikian.. Hal ini terlihat pada sistem kekerabatan Minangkabau yang terkenal dengan sistem matrilineal

Sedangkan bila dipandang dari Teori Resepsi yang pertama kali oleh Christian Snouck Hurgronje ( 1857-1936 ), yang disampaikannya secara panjang lebar dalam bukunya De Atjehers. Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Cornelis van Vollenhoven ( 1874-1933), seorang sarjana dan ahli di bidang hukum adat, yang memperkenalkan hukum adat Indonesia ( Indisch Adatrecht ). Teori resepsi ini dikemukakan oleh Van Vollenhoven dalam bukunya Het Adatrecht van Nederlandsch Indie.

Secara etimologis, kata resepsi berasal dari bahasa latin reception yang berarti “ penerimaan”. Secara terminologis, teori resepsi berarti “penerimaan hukum asing sebagai salah satu unsur hukum asli”. Hukum asing di sini adalah hukum agama, sedangkan hukum asli adalah hukum adat. Oleh karena itu, teori resepsi adalah penerimaan hukum Islam oleh hukum adat, atau dengan kata lain pengaruh hukum Islam baru mempunyai kekuatan hukum kalau telah diterima oleh hukum adat dan diperlakukan sebagai hukum adat, bukan sebagai hukum Islam. Oleh karena itu dalam Adat Minang perkawinan dilakukan berdasarkan hukum adat dengan adanya sistem kekerabatan matrilineal, bukan menggunakan hukum islam walaupun sebagian besar masyarakatnya memeluk agama islam.

(14)

a) Maresek

Maresek merupakan penjajakan pertama sebagai permulaan dari rangkaian tata-cara pelaksanaan pernikahan. Sesuai dengan

sistem kekerabatan di Minangkabau yaitu matrilineal, pihak keluarga wanita mendatangi pihak keluarga pria. Lazimnya pihak keluarga yang datang membawa buah tangan berupa kue atau buah-buahan. Pada awalnya beberapa

wanita yang berpengalaman diutus untuk mencari tahu apakah pemuda yang dituju berminat untuk menikah dan cocok dengan si gadis. Prosesi bisa berlangsung beberapa kali perundingan sampai tercapai sebuah kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga.

b) Maminang/batimbang tando (bertukar tanda)

Keluarga calon mempelai wanita mendatangi keluarga calon mempelai pria untuk meminang. Bila pinangan diterima, maka akan berlanjut ke proses bertukar tanda sebagai simbol pengikat

perjanjian dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Acara ini melibatkan orangtua, ninik mamak dan para sesepuh dari kedua belah pihak. Rombongan keluarga calon mempelai wanita datang membawa sirih pinang

lengkap disusun dalam carano atau kampia (tas yang terbuat dari daun pandan) yang disuguhkan untuk dicicipi keluarga pihak pria. Selain itu juga membawa antaran kue-kue dan buah-buahan. Menyuguhkan sirih di awal pertemuan mengandung makna

(15)

dan harapan. Bila ada kekurangan atau kejanggalan tidak akan menjadi gunjingan, serta hal-hal yang manis dalam pertemuan akan melekat dan diingat selamanya. Kemudian dilanjutkan dengan acara batimbang tando/batuka tando (bertukar tanda). Benda-benda yang dipertukarkan biasanya benda-benda pusaka seperti keris, kain adat, atau benda lain yang bernilai sejarah bagi keluarga. Selanjutnya berembuk soal tata cara penjemputan calon mempelai pria.

c) Mahanta siriah/minta izin

Calon mempelai pria mengabarkan dan mohon doa restu tentang rencana pernikahan kepada mamak-mamak-nya, saudara-saudara

ayahnya, kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan para sesepuh yang dihormati. Hal yang sama dilakukan oleh calon mempelai wanita, diwakili oleh kerabat wanita yang sudah berkeluarga dengan cara mengantar sirih. Calon mempelai pria membawa selapah yang berisi daun nipah dan

tembakau (sekarang digantikan dengan rokok). Sementara bagi keluarga calon mempelai wanita, untuk ritual ini mereka akan menyertakan sirih lengkap. Ritual ini ditujukan untuk memberitahukan dan mohon doa untuk rencana pernikahannya. Biasanya keluarga yang didatangi akan memberikan bantuan untuk ikut memikul beban dan biaya pernikahan sesuai kemampuan.

d) Babako-babaki

Pihak keluarga dari ayah calon mempelai wanita (disebut bako) ingin memperlihatkan kasih sayangnya

dengan ikut memikul biaya sesuai kemampuan. Acara ini biasanya berlangsung beberapa hari sebelum

(16)

yang disertakan biasanya berupa sirih lengkap (sebagai kepala adat), nasi kuning singgang ayam (makanan adat), barang-barang yang diperlukan calon mempelai wanita (seperangkat busana, perhiasan emas, lauk-pauk baik yang sudah dimasak maupun yang masih mentah, kue-kue dan sebagainya). Sesuai tradisi, calon mempelai wanita dijemput untuk dibawa ke rumah keluarga ayahnya. Kemudian para tetua memberi nasihat. Keesokan harinya, calon mempelai wanita diarak kembali ke rumahnya diiringi keluarga pihak ayah dengan membawa berbagai macam barang bantuan tadi.

e) Malam bainai

Bainai berarti melekatkan tumbukan halus daun pacar merah atau daun inai ke kuku-kuku calon pengantin wanita.

Lazimnya berlangsung malam hari sebelum akad nikah. Tradisi ini sebagai ungkapan kasih sayang dan doa restu dari para sesepuh keluarga mempelai wanita. Perlengkapan lain yang digunakan antara lain air yang berisi

keharuman tujuh macam kembang, daun iani tumbuk, payung kuning, kain jajakan kuning, kain simpai, dan kursi untuk calon mempelai. Calon mempelai wanita dengan baju tokah dan bersunting rendah dibawa keluar dari kamar diapit kawan sebayanya. Acara mandi-mandi secara simbolik dengan memercikkan air harum tujuh jenis kembang oleh para sesepuh dan kedua orang tua. Selanjutnya, kuku-kuku calon mempelai wanita diberi inai.

(17)

Ini adalah acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat Minangkabau.

Calon pengantin pria dijemput dan dibawa ke rumah calon pengantin wanita untuk melangsungkan akad nikah. Prosesi ini juga dibarengi

pemberian gelar pusaka kepada calon mempelai pria sebagai tanda sudah dewasa. Lazimnya pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa sirih lengkap dalam cerana yang menandakan kehadiran mereka yang penuh tata krama (beradat), pakaian pengantin pria lengkap, nasi kuning singgang ayam, lauk-pauk, kue-kue serta buah-buahan. Untuk daerah pesisir Sumatra Barat biasanya juga menyertakan payung kuning, tombak, pedang serta uang jemputan atau uang hilang. Rombongan utusan dari keluarga calon mempelai wanita menjemput calon mempelai pria sambil membawa perlengkapan. Setelah prosesi sambah-mayambah dan mengutarakan maksud kedatangan, barang-barang diserahkan. Calon pengantin pria beserta rombongan diarak menuju kediaman calon mempelai wanita.

g) Penyambutan di rumah anak daro

Tradisi menyambut kedatangan calon mempelai pria di rumah calon mempelai wanita lazimnya merupakan

momen meriah dan besar. Diiringi bunyi musik tradisional khas Minang yakni talempong dan gandang tabuk, serta barisan Gelombang Adat timbal balik yang terdiri dari

pemuda-pemuda berpakaian silat, serta disambut para dara berpakaian adat yang menyuguhkan sirih. Sirih dalam carano adat lengkap, payung kuning keemasan,

(18)

beras kuning, kain jajakan putih merupakan perlengkapan yang biasanya digunakan. Keluarga mempelai wanita memayungi calon mempelai pria disambut dengan tari Gelombang Adat Timbal Balik. Berikutnya, barisan dara menyambut rombongan dengan persembahan sirih lengkap. Para sesepuh wanita menaburi calon pengantin pria dengan beras kuning. Sebelum memasuki pintu rumah, kaki calon mempelai pria diperciki air sebagai lambang mensucikan, lalu berjalan menapaki kain putih menuju ke tempat berlangsungnya akad.

TRADISI USAI AKAD NIKAH

Ada lima acara adat Minang yang lazim dilaksanakan setelah akad nikah. Yaitu memulang tanda, mengumumkan gelar pengantin pria, mengadu kening, mengeruk nasi kuning dan bermain coki.

a) Mamulangkan Tando

Setelah resmi sebagai suami istri, maka tanda yang diberikan sebagai ikatan janji sewaktu lamaran dikembalikan oleh kedua belah pihak.

b) Malewakan Gala Marapulai

Mengumumkan gelar untuk pengantin pria. Gelar ini sebagai tanda kehormatan dan kedewasaan yang disandang mempelai pria. Lazimnya diumumkan langsung oleh ninik mamak kaumnya.

c) Balantuang Kaniang atau Mengadu Kening Pasangan mempelai dipimpin oleh para sesepuh wanita menyentuhkan kening mereka satu sama lain. Kedua mempelai

(19)

didudukkan saling berhadapan dan wajah keduanya dipisahkan dengan sebuah kipas, lalu kipas diturunkan secara perlahan. Setelah itu kening pengantin akan saling bersentuhan.

d) Mangaruak Nasi Kuniang

Prosesi ini mengisyaratkan hubungan kerjasama antara suami isri harus selalu saling menahan diri dan melengkapi. Ritual diawali dengan kedua pengantin berebut mengambil daging ayam yang tersembunyi di dalam nasi kuning.

e) Bamain Coki

Coki adalah permaian tradisional Ranah Minang. Yakni semacam permainan catur yang dilakukan oleh dua orang, papan

permainan menyerupai halma. Permainan ini bermakna agar kedua mempelai bisa saling meluluhkan kekakuan dan egonya masing-masing agar tercipta kemesraan.

(20)

BAB III

PENUTUP

1.

Kesimpulan

Hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan saat ini adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan namun jiga ada hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan yang dimana dari dulu hingga sekarang tidak berubah yang merupakan hukum tidak tertulis. Namun di sisi lain, masih terdapat juga Hukum Perdata yang pula memberi warna tentang perkawinan. Ketiga aturan hukum tersebut memang berbeda, akan tetapi tetap mempunyai pokok bahasan yang sama yaitu tentang perkawinan. Perbedaan dalam ketiga atruran hukum tersebut dapat dilihat dari, pengertian, asas-asas, maupun tujuan dari suatu

(21)

Daftar Pustaka

a) Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang

b) Hadikusuma, Hilman Prof. DR., Hukum Adat Perkawinan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990

c) Tulisan Bewa Raganiwo, S.H., M.SI., Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran

d) Mr. B. Ter Haar Bzn. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1973

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari skripsi ini ialah kedudukan hukum suami isteri pada perkawinan pada gelahang menurut hukum adat Bali, dalam kaitannya dengan keabsahan perkawinan

yang dimaksud dengan perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia

UU Perkawinan mengatur perkawin-an dapat dilakukan oleh setiap warga negara sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan

Sedangkan pada UUP dijelaskan dalam Pasal 1 : perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

Selanjutnya, menurut hukum perkawinan agama Budha, bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami dan seorang wanita sebagai

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) (garis bawah

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia