• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Perkawinan Dalam Adat .

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Hukum Perkawinan Dalam Adat ."

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Hukum Perkawinan Dalam Adat .

-Perkawinan Campuran -Poligami dan Poliandri -Perceraian Dalam Adat

-Harta Perkawinan dalam Adat

-Pembayaran Hutang dalam Hukum Adat

(2)

Perkawinan Beda Agama

• Kawin Beda Agama Menurut Hukum Indonesia

• Saya adalah karyawan sebuah bank (23 thn./pria/Islam), yang saat ini saya sudah memiliki pacar (22 thn./wanita/Katolik).

Namun, kami memiliki persoalan beda agama untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang perkawinan, sementara kami ingin tetap teguh pada agama kami masing-masing.

Dapatkah kami melangsungkan perkawinan, sementara kami beda agama? Kalau bisa bagaimana prosedur yang harus kami lakukan? saya pernah baca bahwa sudah ada yurisprudensi dari Mahkamah Agung (MA) bahwa perkawinan beda agama dapat dicatatkan di catatan sipil dan sah.

• Sumber:

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl290/gimana- caranya

(3)

1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (“PP No. 9/1975”). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954. Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (lihat Pasal 2 PP No. 9/1975).

(4)

• Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum. Mengenai sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing.

(5)

• Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah [2]: 221). Selain itu, juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (II Korintus 6:

14-18).

• Dalam hal ini karena Anda sebagai pihak laki-laki yang beragama Islam, dan dalam ajaran Islam masih diperbolehkan untuk menikah beda agama apabila pihak laki-laki yang beragama Islam dan pihak perempuan beragama lain. Namun, dalam ajaran Katolik yang dianut oleh pasangan Anda pada prinsipnya dilarang adanya perkawinan beda agama.

(6)

• Akan tetapi, pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda agama di Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah:

• 1. Meminta penetapan pengadilan,

• 2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama,

• 3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan

• 4. Menikah di luar negeri.

(7)

Poligami Dan Poliandri

• 1) Poligami merupakan sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan.

• 2) Poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan

seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan

(8)

• Praktek poligami banyak dilakukan oleh kalangan masyarakat Hindu pada jaman dulu. Tetapi kemudian, poligami hanya dilakukan oleh para raja dan kasta tertentu saja. Poligami dilakukan atas dasar banyak alasan, bisa karena masalah keturunan atau karena adat. Di desa Dehradun, India utara, poliandri adalah masalah adat. Adat di sana justru

mengharuskan seorang wanita menikah dengan seorang orang pria sekaligus dengan semua saudara kandungnya. Salah satu alasan poliandri di desa Dehradun ini adalah untuk

mempertahankan tanah keluarga.

(9)

• Kristen Protestan dan Ortodoks , melarang praktek poligami.

Namun, beberapa aliran Kristen memperbolehkan poligami dengan merujuk pada kitab-kitab kuno Yahudi. Gereja Katolik, sejak masa Paus Leo XIII tahun 1866 melarang poligami yang berlaku hingga sekarang.

(10)

Sejarah poligami dalam ajaran Islam, sebenarnya poligini merupakan tingkahlaku atau kebiasaaan masyarakat Arab masa lampau yang kemudian diatur dalam Al Quran. Pada dasarnya Islam mempunyai konsep monogami, akan tetapi kemudian diatur bahwa seorang pria boleh beristri lebih dari satu hingga empat orang, dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya. Dalam

prakteknya, poligami diterapkan berbeda-beda di tiap-tiap negara yang mempunyai penduduk mayoritas beragama Islam. Di Indonesia terdapat hukum Negara yang mengatur secara ketat poligami, baik untuk pegawai negeri maupun masyarakat secara umum. Tunisia dan Turki adalah contoh negara Islam yang tidak memperbolehkan

poligami. Aturan poligami oleh Negara tersebut diperlukan agar tidak terjadi penyimpangan dalam prakteknya. Tetapi dalam hukum Islam maupun hukum Negara. Indonesia mengharamkan poliandri.

(11)

Perceraian Dalam Hukum Adat

• Menurut Prof. Djojodiguno, perceraian di kalangan orang Jawa adalah suatu hal yang tidak disukai. Cita- cita orang Jawa ialah berjodohan sekali, untuk seumur hidup, sampai menjadi kaken- kaken ninen-ninen (kakek- kakek nenek-nenek).

• Masyarakat adat pada umumnya memandang perceraian sebagai suatu yang wajib dihindari. Perceraian menurut adat merupakan problema sosial dan yuridis.

Perceraian menurut agama Islam

• Menurut ajaran agama Islam, perceraian itu merupakan perbuatan yang diperbolehkan tetapi dibenci oleh Allah.

• Perceraian menurut agama Kristen

• Menurut ajaran agama Kristen, Perceraian hanya dapat dipisah oleh kematian (cerai mati).

(12)

Perceraian menurut UU No.1 Th 1974

Pasal 39 mengatakan :

Bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan tidak mendamaikan kedua pihak, dan untuk melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa suami istritidak dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Alasan atau sebab- sebab perceraian di dalam penjelasan

Pasal 39 Undang- undang No. 1 Tahun 1974 :

Setelah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

Salah satu pihak menunggalkan yang lain selama dua tahun berturut- turuttanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar kemampuan.

(13)

• Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hubungan yang lebih erat setelah perkawinan berlangsung.

Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaanberat yang membahayakan pihak lain. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami- istri.

• terjadi perselisihan terus menerus antara suami istri dan tidak ada harapan akan hidup lagi dan tidak ada harapan akan hidup bersama lagi dalam rumah tangga.

(14)

Perceraian menurut hukum adat :

• Sebab- sebab adalah :

• Perzinahan

• Tidak memberi nafkah

• Penganiayaan

• Cacat tubuh/ kesehatan

• Perselisihan

(15)

Tata Cara perceraian

Menurut Hukum Adat

• Perceraian dapat timbul karena kepentingan kerabat dan masyarakat maupun yang bersifat perorangan.

• Setiap perselisihan suami istri harus dicarikan jalan penyelesaian oleh kerabat agar mereka dapat hidup rukun dan damai.

• Kecuali apabila kerabat sudah tidak dapat lagi menyelesaikan perselisihan secara damai, barulah diteruskan ke pengadilan resmi.

• Menurut hukum adat diadakan pemutusn perkawinan atas permufakatan dan kemauan kedua pihak.

(16)

• Menurut pasal 40 UU Perkawinan No. 1 Th 1974 perceraian merupakan gugatan kepada pengadilan.

• Perceraian menurut hukum Islam antara lain :

• Talak

• Khul/ Chul/ Kuluk

• Taklik/ Ta’lieq

• Faskah/ Fasch/ Pasah

(17)

Harta Perkawinan dalam Hukum Adat.

• Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan ialah semua harta yang dikuasai suami dan istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah. Dalam kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami istri, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa macam, yaitu:

(18)

• Harta yang diperoleh suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan.

• Harta yang diperoleh suami atau istri secara perorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan.

• Harta yang diperoleh suami dan istri bersama-sama selama perkawinan yaitu harta pencaharian.

• Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sabagai hadiah yang kita sebut hadiah perkawinan.

(19)

• Pemisahan Harta Perkawinan a. Harta Bawaan

Harta bawaan ini dapat dibedakan menjadi harta bawaan suami dan harta bawaan istri, dimana masing-masing dapat dibedakan lagi yaitu harta peninggalan, harta warisan, harta hibah/wasiat dan harta pemberian.

b. Harta Penghasilan

Harta penghasilan pribadi terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat. Pemiliknya dapat saja melakukan transaksi atas harta kekayaan tersebut tanpa musyawarah dengan anggota

keluarga/kerabat yang lain.

(20)

• c. Harta Pencaharian

Harta pencaharian merupakan harta yang diperoleh dari hasil usaha suami dan istri setelah melangsungkan pernikahan.

Tidak merupakan persoalan apakah dalam mencari harta kekayaan itu suami aktif bekerja, sedangkan istri mengurus anak dirumah, kesemua hasil pencaharian mereka yang berbentuk “harta bersama suami istri”.

Dilingkungan masyarakat kekerabatannya yang kuat

pengaruhnya, hutang suami atau istri merupakan hutang

bersama. Sedangkan dilingkungan masyarakat adat yang kita bersendikan kekerabatan hal tersebut perlu pemisihan.

(21)

d. Hadiah Perkawinan

Sebagaimana yang telah kita ketahui, harta perkawinan

merupakan harta pemberian pada waktu upacara perkawinan.

Tetapi jika dilihat dari tempat, waktu dan tujuan pemberian hadiah itu, maka harta hadiah perkawinan dapat dibedakan antara yang diterima oleh mempelai wanita (harta bawaan istri). Dan harta yang diterima kedua mempelai bersama-sama ketika upacara

resmi pernikahan. Harta perkawinan yang diterima mempelai laki- laki sebelum pernikahan disebut dengan harta bawaan suami.

Tetapi semua hadiah yang diterima ketika upacara pernikahan berlangsung adalah harta bersama suami istri yang terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat.

Referensi

Dokumen terkait

Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri untuk maksud mendapatkan keturunan

Waktu perolehannya harta tersebut yaitu, harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

Hilman Hadikusuma dalam bukunya Hukum Perkawinan adat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami istri selama

Waktu perolehannya harta tersebut yaitu, harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan

Harta gono gini adalah harta benda dalam perkawinan yang dihasilkan oleh pasangan suami istri secara bersama-sama selama masa perkawinan masih berlangsung.Konsep harta

Ikatan perkawinan menjadikan adanya harta bersama antara suami istri, sebagaimana tertuang dalam undang-undang perkawinan pasal 35 ayat (1). Namun, bukan berarti dalam perkawinan

Sedangkan harta bawaan adalah harta yang diperoleh masing- masing suami atau istri sebagai hadiah atau warisan selama dalan ikatan perkawinan, dan itu menjadi hak dan dikuasai