• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jasmine Aviriani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jasmine Aviriani"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

i

Teknik Rekonsiliasi Fiskal untuk Menyusun Laporan Laba Rugi Fiskal tahun 2014 pada PT DAMACO

Technique Of Fiscal Reconciliation To Arrange Fiscal Income Statement Year 2014 on PT DAMACO

TUGAS AKHIR

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Diploma III Program Studi Akuntansi

Oleh: Jasmine Aviriani

125111079

PROGRAM STUDI DIPLOMA III AKUNTANSI JURUSAN AKUNTANSI

POLITEKNIK NEGERI BANDUNG 2015

(2)
(3)
(4)

iv

ABSTRAKSI

Dalam menghitung pajak penghasilan terutang badan, diperlukan laporan laba rugi perusahaan untuk mengetahui berapa laba sebelum pajak yang didapatkan perusahaan dalam tahun berjalan untuk kemudian dihitung berapa pajak penghasilan terutang perusahaan tersebut. Dikarenakan adanya perbedaan standar antara laporan laba rugi komersial dengan laporan laba rugi fiskal, maka diperlukan rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal dilakukan agar laporan laba rugi komersial sesuai dengan ketentuan perpajakan, sehingga dapat diterima sebagai laporan laba rugi yang sesuai aturan perpajakan dan dapat digunakan untuk menghitung PPh Badan Terutang. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengidentifikasi akun akun yang direkonsiliasi fiskal serta mengetahui laporan laba rugi fiskal dan PPh terutang badan PT DAMACO Tahun 2014. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka dan studi lapangan. Setelah dilakukan analisis pada laporan laba rugi komersial perusahaan ditemukan akun-akun yang perlu dilakukan rekonsiliasi fiskal. Sehingga penulis mendapatkan pajak terutang badan PT DAMACO tahun 2014 sebesar Rp. 296.563.000,00 sedangkan hasil laba fiskal sesudah pajak sebesar Rp. 889.689.711,00.

Kata kunci : Laporan Laba Rugi Komersial, Rekonsiliasi Fiskal, Laporan Laba Rugi

(5)

v

ABSTRACT

Calculating company income tax required income statement, to know how profit before tax acquired in the current year then to calculated company income tax. Due to differences in standard between commercial income statement and fiscal income statement, then fiscal reconciliation are required. Fiscal reconciliation needed to make the commercial income statement in accordance with the provisions of taxation, so it can be accepted as an income statement in accordance with regulations of taxation and can be used to calculate company income tax. The purpose of this study is to find and to identify account-account that in fiscal reconciliation and to know fiscal income statement and PT DAMACO income tax year 2014. Collection data technique that is used is the literature study and field study. After analysis was conducted in commercial income statement the author found there is account-account that necessary in fiscal reconciliation. In result the author calculate PT DAMACO income tax year 2014 as much as Rp. 296.563.000,00 and the fiscal profit after tax as much as Rp. 889.689.711,00.

Key Words: Commercial Income Statement, Fiscal Reconciliation, Fiscal Income Statement, and Company Income Tax.

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan ridha-Nya, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir ini dengan lancar dan tepat waktu. Adapun judul dari laporan tugas akhir ini adalah “Teknik Rekonsiliasi Fiskal untuk

Menyusun Laporan Laba Rugi Fiskal tahun 2014 pada PT DAMACO”. Laporan tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan program perkuliahan Diploma III Program Studi Akuntansi. Dalam penyusunan laporan tugas akhir ini, penulis tentu menemukan adanya kesulitan, namun dengan adanya bantuan, bimbingan, dukungan serta do’a dari berbagai pihak. Sehingga pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Arry Irawan SE, Ak, M.Si selaku pembimbing

2. Bapak Dr. Ruhadi SE., ME. Selaku Ketua Jurusan Akuntansi

3. Bapak Drs. Sudjana M,Si,Ak selaku Ketua Program Studi Akuntansi 4. Seluruh dosen dan staff di Jurusan Akuntansi

5. Kepada Papa tercinta, Alm. R. Bei Widianugraha

6. Kepada keluarga tercinta Mama, Jessica Bellanisa dan Johansyah Triandi yang selalu memberikan dukungan kepada penulis sehingga penulis tidak pernah merasa putus asa atau lelah.

7. Wenda Darga, Taufik Hidayat, Dwi Riyan, Rangga Risang, dan Dwi Harinto yang telah merasakan suka dan dukanya mengerjakan tugas akhir ini dan memberikan semangat satu sama lain.

8. Rekan-rekan 3AKC yang selama ini menjadi teman sekelas selama perkuliahan di Polban selalu memberikan dukungan supaya tugas akhir ini dikerjakan sampai tuntas.

(7)

vii 9. Akuntansi angkatan 2012 yang selalu memberikan semangat, motivasi dan

do’a bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

10. Semua pihak lain yang telah membantu proses penulisan tugas akhir ini baik secara langsung maupun tidak langsung dan selalu memberikan dorongan serta motivasinya sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan.

Penulis sadar bahwa laporan tugas akhir ini masih banyak terdapat kekurangan yang dimiliki penulis. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis sangat berharap atas kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.

Akhir kata penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat untuk semua pihak, baik untuk PT DAMACO, kampus Politeknik Negeri Bandung, bagi penulis dan untuk yang membacanya.

Bandung, Juni 2015

(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN PENULIS ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... I-1 1.2 Perumusan Masalah ... I-3 1.3 Tujuan Penelitian ... I-3 1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah ... I-3 1.5 Sistematika Pelaporan ... I-4

BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pajak ... II-1 2.1.1 Definisi Pajak ... II-2 2.1.2 Fungsi Pajak ... II-2 2.1.3 Jenis Pajak ... II-2 2.2 Pajak Penghasilan Badan ... II-3 2.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan Badan ... II-3

(9)

ix 2.2.2 Subjek Pajak Badan ... II-4 2.2.3 Objek Pajak Penghasilan ... II-6 2.2.4 Objek Pajak yang Dikenakan Pasal 4 Ayat 2 ... II-8 2.2.5 Pengecualian Objek Pajak Badan ... II-8 2.2.6 Biaya Yang Diperkenankan Sebagai Pengurang ... II-11 2.2.7 Biaya Yang Tidak Diperkenankan Sebagai Pengurang ... II-15 2.2.8 Penyusutan Fiskal ... II-17 2.2.9 Tarif Pajak Penghasilan Badan ... II-19 2.3 Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal ... II-21

2.3.1 Definisi Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan

Fiskal ... II-21 2.3.2 Hubungan Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan

Fiskal ... II-21 2.4 Rekonsiliasi Fiskal ... II-22 2.4.1 Definisi Rekonsiliasi Fiskal ... II-22 2.4.2 Penyebab Timbulnya Koreksi Fiskal ... II-23 2.4.3 Jenis Koreksi Fiskal ... II-24 2.4.4 Teknik Rekonsiliasi Fiskal ... II-25

BAB III METODA DAN PROSES PENYELESAIAN

3.1 Langkah-langkah dan Metodologi Penyelesaian Masalah ... III-1 3.2 Bahan atau Materi Tugas Akhir ... III-4 3.3 Alat Analisis Data ... III-4 3.4 Metoda Pengambilan Data ... III-5 3.4.1 Jenis Data ... III-5 3.4.2 Sumber Data ... III-5 3.4.3 Teknik Pengumpulan Data ... III-6 3.5 Proses Pengerjaan... III-6

(10)

x 3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ... III-7

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum PT DAMACO ... IV-1 4.1.1 Sejarah Singkat PT DAMACO ... IV-1 4.1.2 Aktivitas PT DAMACO ... IV-1 4.1.3 Kebijakan Akuntansi PT DAMACO ... IV-1 4.1.4 Laporan Laba Rugi PT DAMACO Tahun 2014 ... IV-4 4.2 Pembahasan ... IV-6

4.2.1 Akun-Akun Dalam Laporan Laba Rugi Tahun 2014 Yang Harus

Dilakukan Rekonsiliasi Fiskal ... IV-7 4.2.1.1 Analisis Deskriptif Perhitungan Rekonsiliasi Fiskal ... IV-7 4.2.1.2 Format Rekonsiliasi Fiskal PT DAMACO Tahun 2014 .... IV-12 4.2.2 Penyusunan Laporan Laba Rugi Fiskal dan Perhitungan PPh

Badan Terutang PT DAMACO Tahun 2014 ... IV-15

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... V-1 5.2 Saran ... V-2

DAFTAR PUSTAKA ... 4 LAMPIRAN

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel II.1 Tabel Perbedaan SPDN dan SPLN... II-5 Tabel II.2 Masa Manfaat dan Tarif Penyusutan Harta Berwujud ... II-19 Tabel III.3 Format Kertas Kerja Rekonsiliasi Fiskal ... III-4 Tabel IV.1 Penyusutan Aset Tetap PT DAMACO ... IV-2 Tabel IV.2 Kurs Menteri Keuangan pada tanggal 31 Desember 2014 ... IV-3 Tabel IV.3 Kertas Kerja Rekonsiliasi Fiskal atas Laporan Laba Rugi

PT. DAMACO Tahun 2014 ... IV-13 Tabel IV.4 Daftar Tabel Keterangan Akun-Akun yang Direkonsiliasi

(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar IV.1 Laporan Laba Rugi Komersial PT DAMACO Tahun 2014 ... IV-5 Gambar IV.2 Langkah-langkah Penyusunan Laporan Laba Rugi Fiskal ... IV-7 Gambar IV.3 Laporan Laba Rugi Fiskal PT DAMACO Tahun 2014 ... IV-13

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup ... L-1 Lampiran 2 Laporan Laba Rugi Komersial PT DAMACO ... L-2 Lampiran 3 Catatan Atas Laporan Keuangan ... L-3 Lampiran4 Surat Edaran Dirjen Pajak No.27/PJ.22/1986 ... L-4 Lampiran 5 PP No 131 Tahun 2000 ... L-5 Lampiran 6 Kartu Bimbingan ... L-6

(14)

4

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Sukrino dan Estralita Trisnawati. 2010. Akuntansi Perpajakan, Edisi 2 Revisi.Jakarta: Salemba Empat.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2010. Exposure Draft PSAK 46 Pajak Penghasilan.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2014. Modul Pelatihan Pajak Terapan Brevet A dan B Terpadu

Ikatan Akuntan Indonesia. 2014. Susunan Dalam Satu Naskah Undang-Undang Perpajakan

Muljono, Djoko. 2010. Panduan Brevet Pajak: Pajak Penghasilan. Yogyakarta: Andi Resmi, Siti. 2011.Perpajakan: Teori dan Kasus, Buku 1, Edisi 6. Jakarta: Salemba

Empat.

Waluyo. 2013. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

_________. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan _________. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan

_________. Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-466/KMK.04/2000 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai dan Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa Yang Diberikan dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu Serta Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja.

_________. Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia.

_________. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986 tentangBiaya Entertainment dansejenisnya (Seri PPhUmumNomor 18).

(15)

_________. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-09/PJ.42/2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan.

_________. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor S-29/PJ.43/2003 tentang Penegasan Pengenaan PPh Atas Potongan Harga Dan Insentif Penjualan.

_________. Keputusan Direkur Jenderal Pajak KEP-220/PJ./2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler Dan Kendaraan Perusahaan.

_________. Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto Bank Indonesia.

(16)

I-1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia sebagai salah satu negara berkembang memiliki penerimaan pendapatan dari berbagai sektor, salah satunya dari sektor perpajakan. Pendapatan Negara terbesar berasal dari Pajak Dalam Negeri. Oleh karena itu, sektor perpajakan merupakan sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Peran serta dibutuhkan Wajib Pajak dalam rangka meningkatkan pendapatan Negara di sektor perpajakan. Salah satunya dengan self assessment

system, yaitu wajib pajak diberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab

untuk menghitung, memperhitungkan, membayar serta melaporkan sendiri besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar untuk tahun pajak berjalan, dalam arti lain wajib pajak diberikan kepercayaan untuk berperan aktif dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang KUP disebutkan bahwa Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang tanpa mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pajak penghasilan merupakan jenis pajak yang memberikan pendapatan terbesar kepada negara. Pajak penghasilan merupakan pajak yang dibebankan pada Wajib Pajak atas tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya dan digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan.

Salah satu jenis pajak penghasilan adalah pajak penghasilan badan. Pajak penghasilan badan ini adalah pungutan atas penghasilan yang diperoleh / diterima

sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan

(17)

terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensium, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya.

Dalam menghitung pajak penghasilan terutang badan, diperlukan laporan laba rugi perusahaan untuk mengetahui berapa laba sebelum pajak yang didapatkan perusahaan dalam tahun berjalan untuk kemudian dihitung berapa pajak penghasilan terutang perusahaan tersebut.

Namun kenyataannya, terdapat perbedaan penghitungan antara laba menurut pencatatan akuntansi perusahaan dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Untuk kepentingan komersial atau bisnis, laporan keuangan disusun berdasarkan prinsip yang berlaku umum, yaitu Standar Akuntansi Keuangan; sedangkan untuk kepentingan fiskal, laporan keuangan disusun berdasarkan peraturan perpajakan (UU PPh).

Dikarenakan adanya perbedaan standar antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal, maka diperlukan penyesuaian antara kedua laporan tersebut. Penyesuaian dilakukan dengan melakukan rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal dilakukan agar laporan keuangan komersial sesuai dengan ketentuan perpajakan, sehingga dapat diterima sebagai laporan keuangan yang sesuai aturan perpajakan dan dapat digunakan untuk menghitung PPh Badan Terutang. Perusahaan yang dipilih penulis adalah PT DAMACO, karena data-data yang dimiliki PT DAMACO sangatlah lengkap sehingga memudahkan penulis untuk melakukan penelitian.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis ingin mengetahui berapa laba rugi fiskal dan berapa PPh Terutang Badan tahun berjalan yang sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan. Maka, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam penulisan Tugas Akhir dengan judul “Teknik Rekonsiliasi Fiskal untuk

(18)

I-3

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, dapat dirumuskan masalah pokok dalam penelitian ini, yaitu:

1. Apa sajakah akun-akun dalam laporan laba rugi komersial perusahaan yang termasuk ke dalam akun-akun yang harus dilakukan rekonsiliasi fiskal;

2. Bagaimana penyusunan laporan laba rugi fiskal dan perhitungan PPh Terutang Badan untuk tahun pajak 2014 pada perusahaan yang sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dan mengidentifikasi akun-akun dalam laporan laba rugi komersial perusahaan yang termasuk ke dalam akun-akun yang harus dilakukan rekonsiliasi fiskal;

2. Mengetahui penyusunan laporan laba rugi fiskal dan perhitungan PPh Terutang Badan untuk tahun pajak 2014 pada perusahaan yang sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

1.4 Ruang lingkup dan batasan masalah

Peneliti memberi batasan masalah pada penelitian ini, yaitu : 1. Penelitian ini difokuskan pada menganalisis laporan laba rugi

komersial dengan cara melakukan analisis pada rekonsiliasi fiskal terhadap laporan laba rugi perusahaan tahun 2014 dan perhitungan PPh Badan terutang yang sesuai dengan aturan perpajakan.

2. Data yang digunakan yaitu laporan laba rugi komersial tahun 2014, kebijakan akuntansi perusahaan dan informasi-informasi tambahan lainnya yang diperlukan.

(19)

1.5 Sistematika Pelaporan

Sistematika pelaporan pada penelitian ini secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup dan batasan masalah, serta sistematika pelaporan atas penelitian yang dilakukan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dibahas mengenai dasar-dasar teori mengenai perpajakan, pajak penghasilan badan, laporan laba rugi komersial dan fiskal serta rekonsiliasi fiskal baik yang berasal dari buku, jurnal, maupun literature lainnya.

BAB III METODA DAN PROSES PENYELESAIAN

Pada bab ini dijelaskan tentang metodologi penyelesaian masalah, bahan atau materi yang digunakan, metoda pengambilan data, jenis data, sumber data, tahap pembahasan untuk menjawab masalah yang dikemukakan dalam penelitian serta lokasi dan waktu penelitian dilakukan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai penelitian tentang gambaran umum perusahaan, deskripsi hasil-hasil penelitian dan pembahasan yang didalamnya mengungkapkan bagaimana penyusunan laporan laba rugi fiskal atas laporan laba rugi PT DAMACO.

BAB V KESIMPULAN

Pada bab terakhir ini akan disajikan penarikan kesimpulan yang didasarkan dari pembahasan dan uraian pada bab-bab sebelumnya, kemudian diberikan saran – saran yang bermanfaat.

(20)

II-1

BAB II

LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pajak

2.1.1 Definisi Pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan.

Menurut Rochmat Soemitro (dikutip oleh Sukrisno, 2012) menyebutkan bahwa “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang -undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

Menurut M.J.H. Smeets (dikutip oleh Sukrisno, 2012) “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma - norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan secara individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.”

Sedangkan menurut P.J.A. Andriani (dikutip oleh IAI, 2014) “Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran - pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”

Meskipun tidak terdapat keseragaman dalam memberikan definisi pajak, dari berbagai para pakar, dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada Negara yang bersifat dapat dipaksakan dan digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran Negara.

(21)

2.1.2 Fungsi Pajak

Sebagai salah satu penerimaan terbesar Negara ,pajak memiliki beberapa fungsi. Menurut Resmi (2011:3) pajak mempunyai dua fungsi utama, yaitu : a. Fungsi Budgeter merupakan fungsi pajak sebagai suatu sumber

penerimaan atau untuk mengisi kas negara. Karena pajak merupakan sumber pendapatan negara yang utama maka dalam hal ini hanya pemerintah yang berwenang melakukan pemungutan pajak berdasarkan undang-undang, selanjutnya hasil pemungutan pajak ini akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan sedangkan sisanya (surplus) dipergunakan untuk membiayai investasi pemerintah.

b. Fungsi Regular. Pajak yang dipungut digunakan sebagai pengatur keseimbangan tata ekonomi nasional dan tata sosial mesyarakat atau kesejahteraan rakyat, fungsi yang semata-mata mengatur ini dapat dibagai dalam :

1) Tugas ekonomi, misalnya mengecek naik dan turunnya yang terlalu besar dalam konjungtur atau membantu pembangunan setelah perang. 2) Tugas berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial, seperti

menciptakan jaminan sosial untuk golongan-golongan yang berpenghasilan kecil dan mengusahakan pembagian lebih merata dalam penghasilan dan kekayaan sosial.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan pajak memiliki dua fungsi utama yaitu sebagai sumber penerimaan Negara dan sebagai pengatur keseimbangan ekonomi dan sosial.

2.1.3 Jenis Pajak

Pemerintah memiliki tujuan yang jelas dalam memungut pajak terhadap warganya. Menurut Sukrino (2012;5) pajak dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan golongan, sifat, dan lembaga pemungutnya.

a. Menurut golongan

1. Pajak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung

(22)

II-3

Wajib Pajak yang bersangkutan, misalnya PPh.

2. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain, misalnya PPN.

b. Menurut sifatnya

1. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berdasarkan pada subjeknya, yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak, misalnya PPh.

2. Pajak Objektif, yaitu pajak yang didasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak, misalnya PPN dan PPn BM. c. Menurut Lembaga Pemungutnya

1. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Negara, misalnya adalah PPh, PPN & PPn BM dan Bea Materai.

2. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Daerah, misalnya adalah pajak reklame, pajak hotel dan pajak restoran.

2.2 Pajak Penghasilan Badan

2.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan Badan

Pajak Penghasilan (PPh) adalah jenis pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Didalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 disebutkan bahwa, “Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan bentuk apapun”.

Resmi (2011:74) mendefinisikan pajak penghasilan adalah “pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak.”

Sedangkan, menurut PSAK 46 (2010) mengenai akuntansi perpajakan menyatakan bahwa, “Pajak penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan

(23)

peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan.“

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) disebutkan bahwa,

“Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau daerah dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk Badan lainnya.”

Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, subyek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut sebagai Wajib Pajak. Demikian pula atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, terutang Pajak Penghasilan dan dalam hal ini yang bersifat final. Dapat disimpulkan bahwa Pajak Penghasilan melekat pada subyeknya. Wajib pajak akan dikenai pajak apabila dia menerima atau memperoleh penghasilan yang dapat menambah kekayaan dalam nama dan bentuk apapun.

2.2.2 Subjek Pajak Badan

Subjek pajak penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan. Dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 huruf b UU No. 36 Tahun 2008 pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

(24)

II-5 Subjek pajak badan dibedakan menjadi subjek pajak badan dalam negeri dan subjek pajak badan luar negeri. Perbedaan subjek pajak dalam negeri dan luar negeri terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel II.1 Tabel Perbedaan SPDN dan SPLN

Uraian SPDN SPLN

Definisi  Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia

 Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh atau menerima penghasilan di Indonesia baik melalui BUT atau tidak.

Saat dimulainya dan berakhirnya kewajiban subjektif

 Dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia

 Berakhir pada saat badan tersebut dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia

 Dimulai secara otomatis pada saat menjalankan usaha melalui BUT ataupun pada saat menerima dan memperoleh penghasilan di Indonesia.

 Berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha di Indonesia dengan melalui BUT atau tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia.

Objek Pajak

 Penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia

 Penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia

Dasar Pengenaan Pajak

 Penghasilan neto dengan tarif umum

 Penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan

Kewajiban Pelaporan

 Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan Pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak

 Tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

(25)

Sesuai dengan Pasal 3 UU No. 36 Tahun 2008, yang tidak termasuk Subjek Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 36 Tahun 2008 adalah:

1. Badan perwakilan Negara asing;

2. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat:

a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.

b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.

Contoh organisasi internasional yang bukan subjek pajak misalnya ADB (Asian

Development Bank), IMF (International Monetary Fund), UNICEF, UNESCO,

WHO dan lain sebagainya.

2.2.3 Objek Pajak Penghasilan Badan

Sesuai dengan Pasal 4 (1) UU PPh No. 36 tahun 2008, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;

b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. laba usaha;

d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

(26)

II-7

2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;

3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;

e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

l. keuntungan selisih kurs mata uang asing; m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

(27)

n. premi asuransi;

o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum

dikenakan pajak;

q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;

r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan;

s. surplus Bank Indonesia.

2.2.4 Objek Pajak yang Dikenakan Pasal 4 Ayat 2

Berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat 2 UU No. 36 Tahun 2008 penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:

a. Penghasilan berupa bunga deposito dan bunga lainnya, bunga obligasi dan surat utang Negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.

b. Penghasilan berupa upah undian

c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan pernyataan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura

d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan

e. Penghasilan tertentu lainnya,

yang di atur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

2.2.5 Pengecualian Objek Pajak Badan

Sesuai dengan pasal 4 (3) UU PPh UU No 36 Tahun 2008, beberapa pengecualian objek PPh yang terkait dengan Wajib Pajak Badan adalah:

a. 1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh

(28)

II-9 pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;

2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

b. Harta hibah yang diterima oleh: 1. Badan keagamaan

2. Badan pendidikan

3. Badan sosial, termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

Sepanjang tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pemberi dan penerima.

c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.

d. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: 1. Deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan

2. Bagi perseroan terbatas, BUMN/D yang menerima deviden, dengan kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.

(29)

e. Penghasilan Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan berupa:

1. Iuran yang diterima atau diperoleh pemberi kerja maupun pegawai 2. Penghasilan dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu

yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan f. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari :

1. Perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham 2. Persekutuan

3. Perkumpulan 4. Firma

5. Kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif

g. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

1. Merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan;

2. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

h. Surplus Bank Indonesia selama jangka waktu 5 tahun sejak berlakunya ketentuan ini

i. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan

j. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh yayasan atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan formal yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan

k. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh badan penyelenggara jaminan sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

(30)

II-11 l. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

m. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

2.2.6 Biaya yang Diperkenankan Sebagai Pengurang (Deductable Expense)

Deductable expense adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan. Berdasarkan Pasal 6 Undang-undang No. 36 Tahun 2008, besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk:

a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:

1) Biaya pembelian bahan

2) Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang

3) Bunga, sewa, dan royalti 4) Biaya perjalanan

5) Biaya pengolahan limbah 6) Premi asuransi

(31)

7) Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

8) Biaya administrasi

9) Pajak kecuali pajak penghasilan

b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta dan berwujud amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun.

c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan

d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan

e. Kerugian selisih kurs mata uang asing. Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia

f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia, selama dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan

g. Biaya beasiswa, magang dan pelatihan

h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:

1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial 2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat

ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak

3) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang Negara, atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan hutang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa hutangnya telah dihapuskan untuk jumlah hutang tertentu.

(32)

II-13 i. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang

ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah

j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah

k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah

l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah

m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah

Selain diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008, terdapat biaya-biaya lain yang dapat dijadikan pengurang didalam menghitung penghasilan kena pajak yang diatur dalam Surat Edaran maupun Keputusan Menteri Keuangan, yaitu:

a. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor S-29/PJ.43/2003, mengatur mengenai Penegasan Pengenaan PPh Atas Potongan Harga Dan Insentif Penjualan. Didalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa:

1) Sepanjang potongan harga dan insentif penjualan yang diberikan kepada para pelanggan merupakan pengurangan harga untuk menentukan nilai penjualan bersih bagi penjual atau nilai harga pokok penjualan bagi pembeli, potongan harga dan insentif penjualan tersebut bukan merupakan objek pajak pasal 21 atau pasal 23 atau pasal 26 UU PPh.

2) Namun jika potongan harga dan insentif penjualan yang diberikan kepada para pelangan merupakan imbalan yang mengurangi kewajiban pelanggan termasuk dalam pengertian hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan insentif penjualan dimaksud adalah merupakan objek PPh Pasal 21 jika diterima oleh WP dalam negeri orang pribadi, atau objek PPh Pasal 23 jika diterima oleh WP dalam negeri badan. b. Mengenai biaya entertainment, representasi, jamuan tamu dan sejenisnya

(33)

SE-27/PJ.22/1986 bahwa Biaya "entertainment", representasi, jamuan dan sejenisnya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan pada dasarnya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Wajib Pajak harus dapat membuktikan, bahwa biaya-biaya tersebut telah benar-benar dikeluarkan (formal) dan benar ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan perusahaan (materiil).

c. Biaya yang berkaitan dengan natura atau kenikmatan yang diberikan kepada pegawai dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja atau perusahaan. Hal tersebut diatur dalam KMK Nomor 466/KMK.04/2000. Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja atau perusahaan. Lalu, pemberian kepada pegawai dalam bentuk natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan, keamanan dan keselamatan kerja atau yang berkenaan dengan situasi lingkungan kerja, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja.

d. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak dalam Surat Edaran Nomor SE-09/PJ.42/2002, diatur mengenai perlakuan pajak penghasilan atas biaya pemakaian telepon seluler dan kendaraan perusahaan, sebagai berikut:

1) Atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) melalui penyusutan aktiva tetap kelompok I (Lampiran I butir 1 huruf c), dan atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon seluler tersebut dapat dibebankan sebagai biaya rutin perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen).

2) Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan

(34)

II-15 perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II, dan atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan tersebut dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya rutin perusahaan.

3) Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) melalui penyusutan aktiva tetap Kelompok II (Lampiran II butir 1 huruf b), dan atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya rutin perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen).

2.2.7 Biaya yang Tidak Diperkenankan sebagai Pengurang (Non

Deductable Expense)

Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya sebagai pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran. Pengeluaran yang tidak diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto ini diatur dalam Pasal 9 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2008, sebagai berikut:

a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha operasi.

b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.

c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

1) Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang. 2) Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial

(35)

3) Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan. 4) Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan. 5) Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan.

6) Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.

e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.

g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 3 huruf a dan huruf b UU PPh, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf I sampai dengan huruf m UU PPh serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintahan atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemilik agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

h. Pajak penghasilan.

i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.

(36)

II-17 j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan

komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.

k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

2.2.8 Penyusutan

Salah satu biaya usaha yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, saat menghitung penghasilan kena pajak, adalah biaya Penyusutan. Meski secara umum sama dengan prinsip akuntansi umum, sebenarnya peraturan pajak memiliki ketentuan tersendiri dalam soal penghitungan biaya Penyusutan. Melalui ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang No. 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa,

“Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta yang bersangkutan melalui penyusutan (depresiasi).”

Menurut Resmi (2011:100) beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan besarnya biaya penyusutan adalah sebagai berikut:

a. Saat Dimulainya Penyusutan

Penyusutan harta berwujud dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara prorata. Namun berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat dimulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan (saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterimanya atau diperolehnya penghasilan).

b. Metode Penyusutan

Metode penyusutan yang diperbolehkan untuk kelompok harta berwujud dikelompokkan menjadi dua, yaitu penyusutan harta berwujud bangunan dan harta berwujud selain (bukan) bangunan. Metode yang

(37)

diperbolehkan adalah metode garis lurus (straight-line method) atau saldo menurun (declining balanced method) di mana pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus. Untuk harta berwujud bangunan, Wajib Pajak hanya dapat menggunakan metode garis lurus.

c. Kelompok Masa Manfaat Harta dan Tarif Penyusutan

Masa manfaat harta berwujud dan tarif penyusutan, baik menurut metode garis lurus maupun metode saldo menurun diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Jenis harta yang termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan untuk keperluan penyusutan diatur dalam Kep.Menteri Keuangan No 96/PMK.03/2009. Berikut adalah masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud:

Tabel II.2 Masa Manfaat dan Tarif Penyusutan Harta Berwujud

Kelompok Harta Berwujud

Masa Manfaat

Tarif Penyusutan

Garis Lurus Saldo Menurun

I. Bukan Bangunan Kelompok 1 4 Tahun 25% 50% Kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25% Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5% Kelompok 4 20 Tahun 5% 5% II. Bangunan Permanen 20 Tahun 5% - Tidak Permanen 10 Tahun 10% -

Sumber : Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Pasal 11

Bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun.

Menurut Agoes dan Trisnawati (2012:105) ada harta berwujud yang menurut akuntansi dapat disusutkan tetapi menurut pajak tidak dapat dibebankan sebagai penyusutan secara keseluruhan yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto, yaitu:

a. Atas perolehan asset tersebut termasuk pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai Pasal 9 ayat 1 Undang-undang

(38)

II-19 No. 36 Tahun 2008, misalnya:

1) Biaya perolehan asset yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.

2) Biaya perolehan asset yang digunakan untuk memberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan KMK.

b. Barang modal yang disewa guna usahakan, baik SGU dengan hak opsi ataupun tanpa hak opsi bagi Lessee dan SGU dengan hak opsi bagi Lessor.

2.2.9 Tarif Pajak Penghasilan Badan

PPh Badan dihitung berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh dikalikan dengan penghasilan netto, setelah dikurangi dengan kompensasi kerugian. Terdapat 4 macam tarif wajib, yaitu:

a. Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b

Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b merupakan tarif umum untuk wajib pajak badan dalam negeri. Tarif umum PPh Badan yang berlaku untuk tahun pajak 2009 adalah 28%. Dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2008 pasal 17 ayat 2 (a) tarif tersebut menjadi 25% yang mulai berlaku pada tahun pajak 2010.

b. Tarif PPh Pasal 17 ayat (2b)

Berdasarkan pasal 17 ayat (2b) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. c. Tarif PPh Pasal 31 E ayat (1)

Berdasarkan Surat Edaran No. SE-66/PJ/2010 tentang penegasan atas pelaksanaan pasal 31E ayat (1) UU no. 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali dan diubah terakhir dengan UU no. 36 tahun 2008, bahwa:

(39)

1. Wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dijelaskan pada nomor 2 paragraf pertama (Pasal 17 ayat 1 huruf b dan ayat 2 (a)) yang dikenakan atas PKP dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah).

2. Fasilitas pengurangan tersebut dilaksanakan secara self assessment pada saat penyampaian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan, tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.

3. Peredaran bruto tersebut adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi:

1) Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final 2) Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final 3) Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak

4) Fasilitas pengurangan tersebut bukan merupakan pilihan d. Tarif Final PP No. 46 tahun 2013

Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai pajak penghasilan yang bersifat final. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang omset tahun sebelumnya kurang dari atau sama dengan Rp. 4.800.000.000,00 yang memenuhi syarat PP No 46 tahun 2013 akan dikenai PPh Final sebesar 1% dikalikan omset tiap bulan.

(40)

II-21

2.3 Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal

2.3.1 Definisi Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal

Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang disusun oleh perusahaan untuk kebutuhan internal dan eksternal perusahaan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan keberlangsungan perusahaan. PSAK Nomor 1 (revisi 2009) mendefinisikan laporan keuangan sebagai berikut:

“Laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.”

Dalam kaitannya dengan akuntansi perpajakan, laporan keuangan yang cukup penting dan harus disesuaikan untuk tujuan perpajakan adalah yaitu laba rugi. Output dari laporan laba rugi ini adalah dihasilkannya laba bersih komersial yang merupakan besarnya laba yang dihitung oleh Wajib Pajak sesuai dengan system serta prosedur pembukuan yang wajar yang diakui dalam SAK. Menurut Muljono (2010:64), “laba bersih secara komersial mencerminkan kondisi keuangan sesungguhnya yang didapat dari kegiatan perusahaan, yang dapat ditelusuri kebenarannya dari berbagai arus, seperti arus kas, arus bank, dan yang lainnya sesuai kondisi pembukuan yang dilaksanakan oleh wajib pajak.”

2.3.2 Hubungan Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal

Laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal memiliki peraturan masing-masing dalam menentukan penghasilan dan biaya. Jika laporan keuangan komersial disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan/SAK ETAP untuk memberikan informasi mengenai kinerja perusahaan dalam jangka waktu tertentu, maka laporan keuangan fiskal disusun bedasarkan peraturan perpajakan yang digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayar,

(41)

sehingga terjadi perbedaan antara laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal.

Untuk mencocokan perbedaan yang terdapat dalam laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal perlu dilakukan rekonsiliasi fiskal. Menurut Waluyo (2011:39), ada tiga pendekatan untuk menyusun laporan keuangan fiskal yaitu:

a. Pendekatan terpisah (separated approach) yaitu wajib pajak membukukan segala transaksi berdasarkan prinsip pajak untuk menghitung PPh terutang dan bedasarkan prinsip akuntansi untuk keperluan komersial.

b. Pendekatan kedua (extra-compatible approach) yaitu wajib pajak membukukan semua transaksi hanya bedasarkan prinsip akuntansi, kemudian pada akhir tahun wajib pajak melakukan rekonsiliasi terhadap laporan keuangan komersial tersebut agar sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang digunakan untuk menghitung PPh terhutang. c. Pendekatan ketiga menyatakan ketentuan perpajakan sebagai sisipan

Standar Akuntansi Keuangan atau pendekatan dengan prinsip common

basis. Dalam dasar ini laporan keuangan disusun mengikuti standar

akuntansi keuangan, tetapi apabila terdapat aturan lain dalam akuntansi komersial, maka preferensi diberikan pada ketentuan perpajakan.

Jadi laporan keuangan komersial terkait dengan laporan keuangan fiskal karena laporan keuangan komersial digunakan oleh wajib pajak sebagai dasar melakukan rekonsiliasi fiskal untuk menghasilkan laporan keuangan fiskal.

2.4 Rekonsiliasi Fiskal

2.4.1 Definisi Rekonsiliasi Fiskal

Dalam perhitungan pajak penghasilan, adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi komersial dan fiskal dapat menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak pula. Muljono (2010:64) mengatakan bahwa yang membedakan antara laba secara komersial dengan penghasilan kena pajak adalah dilakukannya rekonsiliasi fiskal terhadap laba secara komersial. Terjadinya beberapa perbedaan antara Standar Akuntansi Keuangan/SAK ETAP dengan Peraturan Perpajakan karena adanya berbagai

(42)

II-23 kepentingan dari negara dalam memanfaatkan pajak sebagai salah satu komponen kebijakan fiskal.

Rekonsiliasi (koreksi) fiskal adalah proses penyesuaian atas laba komersial yang berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan neto/laba yang sesuai dengan ketentuan pajak. Menurut Sukrino dan Trisnawati (2011:218),

“Rekonsiliasi (koreksi) fiskal adalah rekonsiliasi yang dilakukan akibat adanya perbedaan antara laba/rugi komersial (menurut Standar Akuntansi Keuangan/SAK ETAP) dengan laba/rugi fiskal (menurut ketentuan perpajakan).Tujuannya adalah untuk membuat laba/rugi komersial menjadi sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.”

Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) yang pembukuannya menggunakan pendekatan akuntansi komersial, yang bertujuan mempermudah mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh), dan menyusun laporan keuangan fiskal yang harus dilampirkan pada saat menyampaikan SPT Tahunan PPh.

Menurut penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa rekonsiliasi fiskal adalah penyesuaian laporan laba rugi komersial dengan dasar ketentuan perpajakan yang berlaku agar dapat menghitung pajak penghasilan terutang.

2.4.2 Penyebab Timbulnya Rekonsiliasi Fiskal

Perbedaan penghasilan dan biaya menurut akuntansi atau komersial dan menurut fiskal dapat dikelompokan menjadi perbedaan tetap dan perbedaan waktu. Menurut Muljono (2010:65) rekonsiliasi fiskal terjadi karena adanya perbedaan pengakuan secara komersial dan secara fiskal, yang dapat berupa: a. Beda Tetap terjadi apabila terdapat transaksi yang diakui oleh Wajib Pajak

sebagai penghasilan atau sebagai biaya dalam akuntansi secara komersial yang diatur dalam SAK. Namun demikian, berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan, transaksi tersebut bukan merupakan penghasilan atau bukan merupakan biaya, atau sebagian merupakan penghasilan atau sebagian merupakan biaya.

(43)

b. Beda Waktu terjadi karena adanya perbedaan pengakuan waktu secara komersial dibandingkan dengan secara fiskal, misalnya dalam ketentuan masa manfaat aktiva yang dilakukan penyusutan atau amortisasi.

Resmi (2011:373) mengatakan bahwa perbedaan tetap terjadi karena transaksi-transaksi pendapatan dan biaya diakui menurut akuntansi atau komersial dan tidak diakui menurut fiskal. Perbedaan tetap ini mengakibatkan laba rugi bersih menurut akuntansi berbeda dengan penghasilan kena pajak menurut fiskal atau perpajakan. Sedangkan perbedaan waktu terjadi karena perbedaan waktu pengakuan pendapatan dan biaya dalam menghitung laba atau rugi perusahaan. Suatu biaya atau penghasilan telah diakui menurut akuntansi komersial dan belum diakui menurut fiskal, atau sebaliknya.

2.4.3 Jenis Rekonsiliasi Fiskal

Rekonsiliasi fiskal dapat berupa rekonsiliasi positif dan negatif. Menurut Muljono (2010:65), “Rekonsiliasi positif adalah rekonsiliasi fiskal yang mengakibatkan adanya pengurangan biaya menjadi semakin kecil, atau berakibat adanya penambahan penghasilan.” Rekonsiliasi positif dilakukan berkaitan dengan transaksi berikut ini:

a. Penghasilan yang termasuk sebagai objek pajak yang di atur dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan, tetapi metode pengakuannya tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan dan diakui lebih kecil daripada ketentuan perpajakan.

b. Penyusutan yang jumlahnya melebihi jumlah berdasarkan metode penghitungan yang sudah ditetapkan dalam Pasal 10 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

c. Biaya yang ditangguhkan pengakuannya

d. Biaya tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha. e. Biaya bukan pengurang penghasilan kena pajak.

f. Biaya yang dapat dikurangkan berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Pajak Penghasilan, tetapi metode pengakuannya tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan dan diakui lebih besar daripada ketentuan perpajakan.

(44)

II-25 h. Biaya berkaitan penghasilan sudah dikenakan PPh Final.

Sedangkan rekonsiliasi negatif adalah rekonsiliasi fiskal yang berakibat adanya penambahan biaya yang telah diakui dalam laporan laba-rugi komersial, atau yang berakibat dengan adanya pengurangan penghasilan. Rekonsiliasi negatif bdilakukan akibat adanya:

a. Penghasilan yang termasuk sebagai objek pajak yang di atur dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan, tetapi metode pengakuannya tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan dan diakui lebih besar daripada ketentuan perpajakan.

b. Keuntungan karena pembebasan hutang sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

c. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, d. Penghasilan yang dikenakan PPh final.

e. Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya.

f. Biaya yang dapat dikurangkan berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Pajak Penghasilan, tetapi metode pengakuannya tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan dan diakui lebih kecil daripada ketentuan perpajakan.

2.4.4 Teknik Rekonsiliasi Fiskal

Teknik Rekonsiliasi Fiskal menurut Resmi (2007:344) dilakukan dengan cara berikut:

1. Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan sejumlah penghasilan tersebut dari penghasilan menurut fiskal, yang berarti mengurangi laba menurut fiskal.

2. Jika suatu penghasilan tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah penghasilan tersebut dari penghasilan menurut fiskal, yang berarti mengurangi laba menurut fiskal.

3. Jika suatu biaya/pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi

(45)

dilakukan dengan mengurangkan sejumlah biaya/pengeluaran tersebut dari biaya menurut fiskal, yang berarti menambah laba menurut fiskal.

4. Jika suatu biaya/penghasilan tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah biaya/pengeluaran tersebut pada biaya menurut fiskal, yang berarti mengurang laba menurut fiskal. Kertas kerja rekonsiliasi fiskal dapat dibuat dengan format sebagai berikut: Format 1

Wajib Pajak X Rekonsiliasi Fiskal

Tahun 20xx

Laba Bersih (menurut akuntansi) xx Rekonsiliasi Positif

- xx

Total Rekonsiliasi Positif xx (+) Rekonsiliasi Negatif

- xx

Total Rekonsiliasi Positif xx ( - ) Penghasilan (Laba) Kena Pajak (menurut fiskal) xx

Perbedaan dimasukkan sebagai rekonsiliasi positif apabila:

1. Pendapatan menurut fiskal lebih besar daripada menurut akuntansi atau suatu penghasilan diakui menurut fiskal tetapi tidak diakui menurut akuntansi.

2. Biaya/pengeluaran menurut fiskal lebih kecil daripada menurut akuntansi atas suatu biaya/pengeluaran tidak diakui menurut fiskal tetapi diakui menurut akuntansi.

Perbedaan dimasukkan sebagai rekonsiliasi negatif apabila:

1. Pendapatan menurut fiskal lebih kecil daripada menurut akuntansi atau suatu biaya/pengeluaran tidak diakui menurut fiskal tetapi diakui menurut akuntansi.

(46)

II-27 2. Biaya/pengeluaran menurut fiskal lebih besar daripada menurut akuntansi atau suatu penghasilan diakui menurut fiskal tetapi tidak menurut akuntansi. Format 2 Wajib Pajak X Rekonsiliasi Fiskal Tahun 20xx Keterangan Menurut Akuntansi

Rekonsiliasi Fiskal Menurut Fiskal Rekonsiliasi Positif Rekonsiliasi Negatif Pendapatan - - Biaya-biaya - Laba (penghasilan) Laba Bersih Sebelum Pajak Laba / Penghasilan Kena Pajak Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak orang pribadi yang wajib menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan pendekatan akuntansi (komersial). Rekonsiliasi fiskal dilakukan untuk mempermudah pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh dan menyusun laporan keuangan fiskal sebagai lampiran SPT Tahunan PPh.

Gambar

Tabel III.1 Format Kertas Kerja Rekonsiliasi Fiskal  Format 2  Wajib Pajak X  Rekonsiliasi Fiskal  Tahun 20xx  Keterangan  Menurut  Akuntansi
Gambar IV.1 Laporan Laba Rugi Komersial PT DAMACO Tahun 2014
Gambar IV.2 Langkah-langkah Penyusunan Laporan Laba Rugi Fiskal
Tabel IV.3 Kertas Kerja Rekonsiliasi Fiskal atas Laporan Laba Rugi PT. DAMACO 2014
+3

Referensi

Dokumen terkait

Paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;. At least 40% (forty percent) of the

Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh persen)

Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Yang Berbentuk Perseroan Terbuka (Lembaran Negara

1) Wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk PT (Perseroan Terbatas) dapat memperoleh potongan tarif PPh sebesar 5% (lima persen) lebih rendah dari tarif tertinggi PPh

Jenis Barang Kena Pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh

81 tahun 2007 (PP 81/2007), tanggal 28 Desember 2007, tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan

(2) Insentif pemungutan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 4,57 (empat koma lima puluh tujuh persen) dari rencana penerimaan Pajak Daerah

(2 ) Badan hukum di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf b adalah badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas yang sahamnya dimiliki oleh Wajib Pajak yang