• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISERTASI EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT PARIAMAN MINANGKABAU SUMATERA BARAT MAIHASNI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DISERTASI EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT PARIAMAN MINANGKABAU SUMATERA BARAT MAIHASNI"

Copied!
217
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM PERKAWINAN

MASYARAKAT PARIAMAN MINANGKABAU

SUMATERA BARAT

MAIHASNI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

dan Sumber Informasi

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Eksistensi Tradisi

Bajapuik dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat

adalah karya saya sendiri belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, 28 Juni 2010

Maihasni

(3)

practiced in Pariaman , West Sumatra

Supervised by TITIK SUMARTI, EKAWATI SRI WAHYUNI, dan

SEDIONO MP. TJONDRONEGORO.

One model of marriage tradition that often gets the spotlight is bajapuik, an action of giving a sum of money or uang japuik to the prospective bridegroom by the prospective brides’ family. The tradition, which is only practiced by Minangkabau people from Pariaman, contradicts to the rules of marriage in Islam of which the bridegroom has to give something as a present or mahar to the bride. Today, the amount of uang japuik has continuously increase as the socioeconomic status of prospective bridegroom improves. This has resulted in financial burden to the prospective brides’ family. Therefore, this study is aimed to find out what values, basic forms of exchange in bajapuik tradition marriage and factors affecting the changes. It is also aimed to identify who are involved and what are their roles in the bajapuik tradition. Finally it is intended to analyse what are the reasons why bajapuik tradition is still exist in a changing society.

Post-positivism paradigm was used to answer these problems and both quantitative and qualitative methods were employed. Data was collected through a survey, in-depth, participant observation, documentation and literature study. Respondents and informants of the research were the people living in surrounding areas of Pariaman. They are chosen on the basis of purposive and snowballing sampling method, The respondent were young, middle and old generation, while the informants were people of KAN (Kerapatan Adat Nagari); and ex-KAN; LKAAM (Lembaga Kerapatan Alam Adat Minangkabau) and tiga tungku

sajarangan.

This study shows that bajapuik tradition with the uang japuik still exists in the society because it is continuously experiencing adjustments, until present time. This is manifested is the exchange of the basic changes from the title of nobility (ascribed status) to the socio-economic status (achievement status), although the bases of the exchange value is still the same, that is cultural values. Exchange in bajapuik tradition involves actors from the families, which consists of parents, mamak and ninik mamak. The amount tradition of bajapuik money depent on the socioeconomic status of prospective bridegroom. The existence of

bajapuik tradition in the social context until the present time is supported by

families both parties who share the same values and internal solidarity among the family members.

Keywords: Existence of bajapuik marriage tradition, exchange, extended family, nuclear family, economic value and cultural value orientations

(4)

Maihasni. Eksistensi Tradisi Bajapuik dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat.

Dibimbing oleh TITIK SUMARTI, EKAWATI SRI WAHYUNI, dan SEDIONO MP. TJONDRONEGORO.

Salah satu model perkawinan yang sering mendapat perhatian adalah tradisi bajapuik. Perhatian itu tertuju pada ” uang japuik” sebagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak keluarga perempuan untuk terlaksananya suatu perkawinan. Padahal dalam pelaksanaan perkawinan yang berlaku umum di Minangkabau tidak demikian, bahkan pengantin laki-laki yang menyerahkan sesuatu kepada pengantin perempuan sebagai sesuatu yang diwajibkan oleh agama Islam. Kondisi inilah yang membedakan dengan pelaksanaan perkawinan yang ada di Pariaman. Sebelum kewajiban itu dilaksanakan oleh calon mempelai laki-laki, pihak keluarga perempuan yang harus memenuhi kewajibannya dahulu terhadap pihak keluarga laki-laki yaitu dengan memberikan uang japuik. Uang

japuik yang menjadi kewajiban pihak keluarga perempuan itu, kian hari terus

menunjukkan peningkatan seiring semakin tingginya status sosial ekonomi

(achievement status) dari seorang laki-laki yang akan dijadikan menantu atau

suami bagi anak perempuan. Namun dalam kenyataannya kewajiban untuk memberi uang japuik dalam setiap pelaksanaan perkawinan terus dilakukan oleh pihak keluarga perempuan. Padahal di satu sisi, sepintas terlihat uang japuik cukup memberat pihak keluarga perempuan. Untuk itu, penelitian ini mengkaji apa nilai-nilai, dasar dan bentuk pertukaran perkawinan dalam tradisi bajapuik dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya? Siapa saja aktor yang terlibat dan bagaimana perilaku aktor dalam pertukaran perkawinan dalam tradisi

bajapuik? Mengapa tradisi bajapuik dapat bertahan dalam perubahan masyarakat?

Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menerapkan paradigma postpositivis, yang berimplikasi metodologis pada penggunaan metode kuantitatif dan kualitatif. Oleh karena itu, untuk pengumpulan data digunakan kuesioner, wawancara mendalam, observasi partisipasi, studi dokomentasi dan studi pustaka, yang mampu memberikan pemahaman yang mendalam tentang subjek kajian. Sebagai upaya untuk memperoleh validitas data yang kebenarannya dapat diyakini keabsahannya maka data diuji melalui teknik triangulasi sumber dan metode. Responden penelitian adalah para pelaku yang terlibat dalam tradisi

bajapuik, sedangkan informan penelitian adalah KAN dan mantan KAN

(Kerapatan Adat Nagari); LKAAM (Lembaga Kerapatan Alam Adat Minangkabau) dan tiga tungku sajarangan yang terdiri dari: Alim Ulama, ninik

mamak dan cerdik pandai.

Penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi bajapuik dengan uang japuik tetap eksis dalam masyarakat. Kondisi ini terjadi karena tradisi bajapuik terus mengalami penyesuaian-penyesuaian dari dahulu hingga saat ini. Penyesuaian-penyesuaian itu menyangkut dasar dan bentuk pertukaran, meskipun nilai tetap yakni pertimbangan nilai budaya. Hal ini termanifestasi dengan perubahan dasar pertukaran yakni dari gelar keturunan (kebangsawanan) seperti sidi, bagindo dan

sutan kepada status sosial ekonomi (achievement status) seperti pendidikan,

(5)

uang hilang, uang selo dan uang tungkatan. Kondisi ini terjadi karena

perkembangan ekonomi dalam masyarakat.

Pertukaran dalam tradisi bajapuik melibatkan dua pihak yakni pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan dan masing-masing sebagai pemberi dan yang lain sebagai penerima. Bagi kedua belah pertimbangan untuk memberi dan menerima didasarkan atas status sosial ekonomi (achievement

status), khususnya pekerjaan dari calon mempelai laki-laki. Sementara itu dalam

pelaksanaan tradisi bajapuik berasal dari keluarga inti (nuclear family) seperti; ibu, ayah, dan anak, keluarga besar (extended family) seperti; mamak, etek, apak,

mintuo, kakek dan nenek dan pemuka masyarakat, seperti ninik mamak dan kepalo mudo. Keterlibatan masing-masing aktor terdistribusi ke dalam proses dan

pelaksanaan pertukaran dalam tradisi bajapuik.

Terjadinya pertukaran dalam tradisi bajapuik didasarkan atas nilai-nilai yang sama tertanam di antara keluarga kedua belah—di pihak keluarga perempuan dan di pihak keluarga laki-laki. Pertukaran yang terjadi dapat diidentifikasi dalam dua kategori yakni nyata (materil) dan tidak nyata (non materil). Secara nyata/materil, pertukaran itu dilakukan oleh keluarga pihak perempuan dengan memberikan sejumlah uang japuik berupa uang atau benda kepada pihak keluarga laki-laki untuk mendapatkan seorang laki-laki yang mempunyai status sosial ekonomi (pekerjaan dan pendapatan) dan secara non materil adalah untuk mendapatkan suami dan keturunan dari perkawinan yang dilaksanakan. Di pihak keluarga laki-laki pertukaran secara nyata (materil), uang

japuik digunakan untuk kebutuhan mempelai laki-laki pada awalnya dan

kemudian berkembang menjadi membeli kebutuhan pelaksanaan pesta, meskipun bentuk yang pertama tidak hilang sama sekali. Secara non materi adalah sebagai prestise/penghormatan bahwa mereka mempunyai asal-usul yang jelas dan status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Dengan demikian pertukaran yang terjadi di antara keluarga kedua belah pihak di dasarkan pada nilai-nilai ekonomi dan nilai sosial budaya. Disamping dipihak keluarga perempuan tercipta pula solidaritas internal, sehingga dalam formasi sosial eksisnya tradisi bajapuik disebabkan oleh adanya kerjasama antara keluarga luas (extended family) dengan keluarga inti

(nuclear family). Persoalan yang menyangkut uang japuik sebagai persyaratan

yang menjadi kewajiban bagi pihak keluarga perempuan dapat dieleminir dengan didasarkan nilai budaya. Hal ini semakin mempertegas bahwa orientasi nilai-nilai budaya dan ekonomi yang secara faktual menjadi pertimbangan prilaku bagi keluarga kedua belah pihak dan sebagai konstributor bagi eksisnya tradisi

bajapuik. Dengan demikian, baik model pertukaran dan pertimbangan melakukan

pertukaran bagi keduanya akan saling melengkapi dan menyesuaikan sekaligus akan bermuara kepada keberlangsungan tradisi bajapuik. Kondisi inilah, akhirnya memberi kontribusi tetap eksisnya tradisi bajapuik.

Kata Kunci: Eksistensi tradisi bajapuik, pertukaran, keikutsertaan keluarga luas, prestise, nilai ekonomi dan nilai budaya

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(7)

Nama : Maihasni

NRP : A162050031

Program Studi : Sosiologi Pedesaan

Disetujui: Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Titik Sumarti, MS

Dr. Ekawati Sri Wahyuni, MS

Anggota Anggota

Prof. Dr. Sediono MP.Tjondronegoro

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc Prof . Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Nurmala K Pandjaitan, MS, DEA Dr. Ir Saharudin, MS

Penguji padaUjian Terbuka : Prof. Dr. Damsar, MA Dr. Rohadi Haryanto, M.Sc

(9)

SUMATERA BARAT

MAIHASNI

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Rahmat, Karunia dan kehendakNya, naskah disertasi ini dapat penulis selesaikan. Penelitian dengan judul “Existensi Tradisi Bajapuik dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat” dapat diselesaikan.

Sangat disadari disertasi ini tidak dapat diselesaikan tanpa doa, bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya, pertama penulis sampaikan kepada komisi pembimbing; Ibu Dr.Titik Sumarti, MS sebagai ketua dan masing-masing sebagai anggota, yaitu, Ibu Dr. Ekawati Sri Wahyuni, MS dan Bapak Prof. Dr. Sediono MP Tjondronegoro atas bimbingannya sejak penyusunan proposal hingga selesainya penyusunan naskah disertasi ini. Pada akhirnya penulis hanya dapat bersyukur dengan komisi pembimbing yang luar biasa dan lebih dari sekedar pembimbing, beliau-beliau adalah pribadi-pribadi yang sangat peduli nasib mahasiswa dan selalu terbuka untuk berdiskusi, sehingga memberikan semangat dan kenyamanan suasana akademis bagi penulis, semoga amal kebaikan beliau-beliau menjadi sedekah jariyah dan mendapat pahala yang berlimpah dari Allah SWT, Amin. Kepada Ibu Dr. Nurmala K.Panjaitan, MS. DEA, selaku penguji luar komisi, terimakasih dan penghargaan yang tinggi penulis haturkan. Tidak hanya pada kesempatan ini, beliau memberikan dorongan dan semangat pada saat beliau masih menjabat sebagai Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan. Kepada Bapak Dr. Saharudin, MS, selaku penguji luar komisi, terimakasih juga penulis haturkan atas masukan dan saran-saran kritisnya demi kesempurnaan disertasi ini.

Ucapan terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr, dan Dr Rilus Kinseng, selaku Ketua dan sektretaris Program studi Sosiologi Pedesaan yang selalu memberikan semangat pada penulis untuk menyelesaikan studi ini. Demikian juga kepada bapak-bapak staf pengajar di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB yang lain, Bapak Dr. Ir. Felix Sitorus, MS, Bapak Prof. Dr. Endriatmo Sutarto, Bapak Dr. Ir. Lala M Kolopaking, MS dan Bapak Dr Ir Juara Lubis, MS, terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan atas tambahan bekal ilmu dan pengembangan tradisi berfikir kritis

(11)

ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana dengan segenap staf dan karyawan yang telah memberikan layanan terbaik selama penulis menjalani proses pendidikan di sekolah Pascasarjana IPB.

Semangat untuk menyelesaikan disertasi ini juga tidak terlepas dari dukungan dari tempat asal instansi penulis. Penghargaan dan ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Rektor dan Bapak Dekan FISIP Universitas Andalas yang telah memberi izin tugas belajar kepada penulis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Gubernur Sumatera Barat, Bapak Bupati Padang Pariaman dan Walikota Pariaman, yang telah membantu dalam memberi izin untuk melakukan penelitian ini. Begitu juga, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Bapak pimpinan Proyek Hibah Program Doktor, Bapak Ketua Yayasan Damandiri, dan Bapak Rektor Universitas Andalas yang telah mensponsori dana penelitian disertasi ini. Tidak lupa pula ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada responden dan informan penelitian di Kecamatan Sungai Limau dan Kecamatan Pariaman Tengah yang telah memberi data dan informasi untuk penulisan disertasi ini.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada keluarga besar atas doa dan dukungan yang tidak terhingga, untuk itu ditujukan kepada ayahanda Mustamar, Ibunda Arnisyah serta Ibu mertua Hj Martini, kakak dan adik-adik yang penulis cintai. Teristimewa rasa syukur, terimakasih, penghargaan, kebanggaan penulis sampaikan kepada suami tercinta Dr. Aprizal Zainal, SP, M.Si yang telah menyelesaikan pendidikan S3 di program studi Agronomi IPB pada tanggal 3 Mei 2010 dan ananda tersayang: Muthia Septaprima, Maudia Azhara Raisya dan Achmad Faridzi, atas segala pengorbanan, kesabaran dan dukungannya yang setiap saat mengalir. Tanpa dukungan mereka, rasanya disertasi ini tidak akan terwujud.

Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih atas segala dukungan rekan-rekan dan teman-teman seperjuangan di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB dari beberapa angkatan, antara lain; Dr. Zusmelia, M.Si, Dr. Ir. August

(12)

S.Sos, M.Si, Dr. Abdul Malik, S.Ag, M. Si, Dr. Hartoyo, M.Si dan Bob Alfiandi S. Sos, M. Si dan teman-teman lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Mereka telah banyak memberikan suasana akademik yang kritis penuh persahabatan dan sangat menyenangkan selama masa-masa penyelesaian studi S3 ini. Semoga jalinan persahabatan yang begitu tulus itu akan langgeng, meskipun kembali ke instansi masing-masing. Sungguh budi baik dan jasa mereka tidak pernah akan terlupakan, hanya Allah SWT yang akan membalasnya sebagai pahala dari amal kebaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan kemampuan akademik yang dimiliki, sehingga penulis merasa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka dan mengharapkan saran, kritik dan masukan yang dapat menyempurnakan tulisan disertasi ini. Atas kebaikan dan perhatian semua pihak, penulis haturkan terima kasih dan penghargaan yang setingginya. Semoga Allah S.W.T membalas semua kebaikan bapak, ibu dan saudara semuanya.

Bogor, 28 Juni 2010

(13)

Penulis dilahirkan di Pariaman Sumatera Barat pada tanggal 20 Januari 1968 sebagai anak kedua dari ayah Mustamar dan ibu Arnisyah. Pendidikan Sarjana (S1) ditempuh di Jurusan Sosiologi Fakultas Sastra Universitas Andalas (UNAND) lulus pada tahun 1993. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Sosiologi-Antropologi Pascasarjana Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program doktor (S3) diperoleh pada tahun 2005 pada Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) selama tiga tahun.

Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNAND sejak tahun 1994. Mata kuliah yang diampu ialah Pengantar Statistik, Statistik Ilmu Sosial, Kemiskinan, dan Sosiologi Pendidikan.

Selama mengikuti pendidikan Program S3, karya ilmiah yang telah ditulis adalah; Kembali Ke Nagari: Apakah sebuah jalan menuju Reforma Agraria di Sumatera Barat dalam buku yang berjudul, “Menggugat Kebijakan Agraria, Kumpulan Tulisan Sejarah Agraria Pedesaan Mahasiswa S3 Sosiologi Pedesaan 2005. Editor Dr Endriatmo Sutarto, dengan ISBN: 979-3099-38-0. Kemudian, tulisan lainnya adalah, ”Paradigma Penelitian Positivisme, dalam buku yang berjudul “Metodologi Penelitian Sosiologi (Sep 710). Kumpulan tulisan oleh Angkatan 2005-2006, Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) Sekolah Pascasarjana, 2006.

Pada tahun 1997 penulis menikah dengan Aprizal Zainal, SP dan dikarunia tiga orang anak yaitu Muthia Septaprima (12 tahun), Maudia Azhara Raisya (9 tahun) dan Achmad Faridzi (6 tahun).

(14)

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBARi DAFTAR LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian... 1

1.2 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian... 4

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... ... 5

1.4 Kegunaan Penelitian... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Konsepsi Perkawinan... 7

2.2 Bentuk-bentuk Perkawinan dan Persyaratan Kawin... 9

2.3 Perkawinan dan Kekerabatan di Minangkabau ... 17

2.4 Perubahan Sosial Budaya... 23

2.5 Pertukaran Sosial Dalam Perkawinan... 28

2.6 Pilihan Yang Dipertimbangkan dan Lingkungan Sosial dalam Perkawinan ... 33

2.7 Beberapa kajian dan Studi Tentang Perkawinan... 35

2.8 Kerangka Pemikiran ... 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Jadwal Penelitian ... 42

3.2 Unit Analisis ... 43

3.3. Responden dan Informan Penelitian ... 43

3.4. Assumsi Dasar Penelitian... 45

3.5.Metode Penelitian... 48

3.5.1 Pengumpulan Data ... 50

3.5.2 Analisis Data... 52

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN SISTEM SOSIAL-BUDAYA DAERAH PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian... 54

4.1.1 Kecamatan Sungai Limau ... 54

4.1.2 Kecamatan Pariaman Tengah ... 59

4.2. Gambaran Umum Alam Minangkabau... 64

4.3. Keunikan Minangkabau Pesisir... 68

4.3.1 Pariaman Sebagai Awal Masuknya Agama Islam di Minangkabau ... 68

4.3.2 Pariaman Sebagai Tempat Lalu Lintas Perdagangan... 71

4.4. Struktur Masyarakat Pariaman dalam Tradisi Bajapuik. 73 4.5. Adat Perkawinan dalam Tradisi Bajapuik... 76

(15)

4.5.5 Manjalang... 85

4.5.6 Baretong... 86

BAB V NILAI-NILAI, DASAR DAN BENTUK-BENTUK PERTUKARAN DALAM TRADISI BAJAPUIK 5.1 Nilai Pertukaran Dalam Tradisi Bajapuik... 88

5.2 Status Sosial sebagai Dasar Pertukaran Perkawinan dalam Tradisi Bajapuik... 90

5.2.1 Gelar Kebangsawan sebagai Dasar Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik...91

5.2.2 Prestasi (Achievement) Sebagai Dasar Pertukaran Perkawinan Saat Ini dalam Tradisi Bajapuik... 93

5.3 Bentuk-bentuk Pertukaran Perkawinan dalam Tradisi Bajapuik... 95

5.3.1 Uang Jemputan... 95

5.3.2 Uang Hilang... 101

5.3.3 Uang Tungkatan... 108

5.3.4 Uang Selo... 110

5.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dasar dan Bentuk- bentuk Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik... 114

5.5 Ringkasan Bab... 116

BAB VI PERTUKARAN DAN LINGKUNGAN SOSIAL DALAM TRADISI BAJAPUIK 6.1. Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik... 118

6.2. Prilaku dan Proses Pertukaran Sosial Dalam Tradisi Bajapuik ... 119

6.3. Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi Bajapuik... 129

6.3.1. Perkawinan Dengan Sesama Kerabat... 131

6.3.2. Perkawinan Dengan Perkenalan Kedua Calon Sebelum Pernikahan... 135

6.3.3 Perkawinan Dengan kedudukan Setara...139

6.4. Ringkasan Bab... 144

BAB VII EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM PERUBAHAN MASYARAKAT 7.1. Nilai Pertukaran Yang tetap Terjaga dalam Tradisi Bajapuik... 145

7.2. Distribusi Keadilan (Distributive Justice) dalam Tradisi Bajapuik... 149

7.3. Keterlibatan Keluarga Besar (Extended Family) Memberi Ruang Bagi Eksistensinya Tradisi Bajapuik.... 153

(16)

7.6. Ringkasan Bab... 171

BAB VIII PENUTUP 8.1 Kesimpulan di Tataran Empirik... 175

8.2 Kesimpulan di Tataran Teoritik... 177

8.3. Saran dan Kebijakan... 178

8.4. Peluang untuk Penelitian ke Depan ... 179

DAFTAR PUSTAKA... 180

(17)

1. Tingkat Analisis Perubahan Sosial... 24

2. Perubahan Masyarakat dalam Perspektif Evolusi... 27

3. Jumlah Responden dan Informan Penelitian... 45

4. Paradigma Postpositivisme Sebagai Pilihan Paradigma Penelitian... 46

5. Metode Yang Digunakan Dalam Penelitian... 48

6. Wilayah Administratif, Jumlah Kenagarian, Korong dan Luas Wilayah Kecamatan Sungai Limau tahun 2008... 55

7. Komposisi Penduduk Kecamatan Sungai Limau menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin tahun 2008... 56

8. Jumlah Penduduk di Kecamatan Sungai Limau Menurut Kelompok Umur Tahun 2008... 57

9. Penggunaan Lahan di Kecamatan Sungai Limau Tahun 2008... 57

10. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi di Kecamatan Sungai Limau tahun 2008... 58

11. Wilayah Administratif, Jumlah, Luas Desa/Kelurahan dan Penggunaannya di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007... 60

12. Penggunaan Lahan di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007... 61

13. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007... 62

14. Jumlah Sarana Pendidikan Negeri dan Swasta di Kecamatan Pariaman Tengah tahun 2007... 63

15. Laki-laki Yang dijemput Menurut Responden dalam Tradisi Bajapuik di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008... 89

16. Wujud Uang Jemputan Menurut Responden dalam Tradisi Bajapuik di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008... 96

17. Penentuan Uang Jemputan Menurut Responden dalam Tradisi Bajapuik di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008... 100

18. Waktu Uang Jemputan Diberikan Menurut Responden dalam Tradisi Bajapuik di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah

(18)

Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008... 101 20. Penentuan Uang Hilang Menurut Responden di Kecamatan

Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 ... 104 21. Waktu Pemberian Uang Hilang Menurut Responden di Kecamatan

Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008... 104 22. Perkiraan Muncul Uang Selo di Kecamatan Sungai Limau

dan Pariaman Tengah Tahun 2008... 113 23. Ringkasan Bentuk-bentuk Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik

di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008... 117 24. Jumlah Uang Japuik Berdasarkan Status Sosial Ekonomi

di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008 ... 119 25. Karakteristik Keluarga dalam Tradisi Bajapuik... 123 26. Keikutsertaan Anggota Keluarga Dalam Tradisi Bajapuik Menurut

Responden di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah

Tahun 2008... 157 27. Tipologi Keberadaan Tradisi Bajapuik dalam Keluarga Kedua

(19)

1. Anggota Saparuik dalam Satu Rumah Gadang... 18

2. Pengaruh lingkungan sosial terhadap pilihan individu (personal)... 35

3. Kerangka Pemikiran... ... 41

4. Proses Kombinasi Metode Kualitatif dan Kuantitatif... 49

5. Interactive Model of Analysis... 53

6. Batas Wilayah Kecamatan Sungai Limau... ... 54

7. Batas Wilayah Kecamatan Pariaman Tengah ... 59

8. Uang Japuik Dan Orientasi Nilai Pertukaran Dalam Tradisi Bajapuik...129

9. Anggota Keluarga Dari Pihak Ibu...154

(20)

Lampiran 1. Kajian Tentang Perkawinan Di Dunia...187

Lampiran 2. Kajian Tentang Perkawinan di Indonesia...188

Lampiran 3. Pedoman Wawancara...189

Lampiran 4. Peta Sumatera Barat...193

(21)

1.1. Latar Belakang Penelitian

Perkawinan pada dasarnya merupakan manifestasi keinginan manusia untuk hidup berkelompok. Keinginan itu tercermin dari ketidakmampuan untuk hidup sendiri. Tidak seperti binatang, umat manusia memang tidak dibekali oleh alat yang membuatnya hidup dalam kemandirian, karena itu manusia perlu hidup bersekutu. Perkawinan adalah suatu pola yang disetujui dengan cara mana dua orang atau lebih membentuk keluarga (Horton, 1987). Dengan demikian perkawinan tidak hanya mencakup hak untuk melahirkan dan membesarkan anak, tetapi juga persekutuan yang secara budaya mempunyai sanksi, memperjelas hak– hak dasar seks laki-laki dan perempuan dalam memenuhi fungsi sosial. Perkawinan juga merupakan masa seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok keluarga dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri yang secara rohaniah tidak terlepas dari pengaruh kelompok hidupnya semula.

Di Indonesia perkawinan selain diatur oleh negara1

Khusus di daerah Minangkabau, identitas yang melekat pada bentuk perkawinannya adalah mendatangkan sumando, artinya laki-laki yang diterima sebagai menantu datangnya karena dipinang oleh pihak keluarga perempuan, dengan sejumlah pesyaratan adat yang harus di bawa. Menurut Koentjaraningrat, (1990), dalam tata aturan umum adat disebutkan perkawinan di Minangkabau

dan agama, juga diatur menurut ketentuan daerah setempat atau yang disebut dengan adat. Dalam prakteknya tidak jarang pula ditemukan aturan adat ini mempunyai peran yang sangat menentukan bagi keberlangsungan suatu perkawinan. Tepatnya, kehidupan sosial akan mengalami hambatan dan tidak berlangsung seperti yang dikehendaki apabila tidak mentaati aturan setempat (Moore dalam Warsani, 1989). Adanya aturan adat itu maka dikenal berbagai macam bentuk perkawinan yang di antaranya; perkawinan Minangkabau, Jawa, Batak dan sekaligus menjadi identitas daerah setempat.

1

(22)

tidak mengenal adanya mas kawin2

Pada dekade terakhir ini, permintaan uang japuik

(bridewelth) yang menjadi kewajiban bagi pengantin laki-laki menyerahkan pemberian kepada pengantin perempuan sebagai suatu hal yang diwajibkan oleh agama Islam. Tetapi yang penting dalam perkawinan itu adalah pertukaran benda yang berupa cincin atau keris sebagai lambang antara kedua keluarga yang bersangkutan telah terikat dan mempunyai kewajiban satu sama lainnya.

Kondisi ini berbeda dengan daerah Pariaman, selain aturan di atas terdapat pula syarat lain yang harus dipenuhi oleh keluarga pihak perempuan kepada keluarga pihak laki-laki sebelum terjadi pernikahan. Persyaratan itu adalah keluarga pihak perempuan memberikan sejumlah uang atau barang kepada keluarga pihak laki-laki sebagai alat untuk menjemput supaya dapat mengawini seorang perempuan. Inilah yang disebut dengan uang japuik dalam tradisi

bajapuik.

3

Implikasi dari uang japuik yang cenderung mengalami peningkatan menimbulkan kegelisahan pada sebagian masyarakat. Seperti yang dilaporkan oleh (Azwar, 2001), terdapat pihak keluarga perempuan menggadaikan dan menjual sawah ladang mereka. Kemudian ada kecenderungan perempuan di daerah ini untuk mencari pasangan dari luar

dari pihak keluarga laki-laki dalam tradisi bajapuik menunjukan peningkatan seiring dengan status sosial yang dimiliki oleh calon mempelai laki-laki. Dengan demikian status sosial yang tinggi mengindikasikan uang japuik yang semakin tinggi pula. Azwar (2001), laki-laki yang mempunyai pendidikan tinggi dan pekerjaan yang mapan

uang hilangnya puluhan juta rupiah. Selain itu uang japuik (uang hilang)

menjadi penentu dalam keberlanjutan suatu perkawinan (Utama, 2002).

4

2

Mas kawin diartikan sebagai pemberian dan tidak sama halnya dengan mas kawin yang disyaratkan dalam agama Islam atau yang disebut dengan mahar.

3

Sebutan uang japuik dalam sebagian masyarakat disebut juga uang jemputan atau uang hilang.

4

Berasal dari daerah lain yang tidak mempunyai adat tradisi bajapuik

Kabupaten Padang Pariaman. Dengan pendidikan yang semakin meningkat maka, kemungkinan berinteraksi dengan orang luar juga semakin luas dan sekaligus menimbulkan peluang untuk memperoleh pasangan dari luar tanpa adanya keterikatan dengan sistem perkawinan yang ada (Utama, 2002). Selain itu semakin meningkat jumlah

(23)

perempuan di daerah ini yang tidak mendapat pasangan (Chatra, 2005)5

Mencermati fenomena yang terjadi di atas, jauh hari telah dirasakan oleh masyarakat. Implikasi dari kegelisahan itu, pada tahun 1981

. Walaupun banyak faktor yang menentukan, namun dalam hal ini dapat diasumsikan uang japuik (uang hilang) sebagai salah satu penyebabnya.

6

Selanjutnya Homans juga menjelaskan pertukaran sosial yang terjadi juga terkait dengan status dan peranan, dan sekaligus menyediakan mata rantai antara diadakan Raperda (Rencana Peraturan Daerah) mengenai uang hilang yang dipelopori oleh IMAPAR (Ikatan Mahasiswa Pariaman) dengan mengikut sertakan Tigo Tungku

Sajarangan ( cerdik pandai, ninik-mamak, dan alim ulama), Bundo Kandung, dan

Generasi Muda. Pada akhirnya Raperda itu membuahkan hasil pro dan kontra dikalangan masyarakat. Meskipun demikian dalam kenyataan, tradisi bajapuik dengan uang japuik tetap ada (eksis) dan menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan perkawinan di Pariaman hingga saat ini. Ini merupakan suatu persoalan yang dilematis. Di satu sisi ada segolongan masyarakat yang tidak/kurang menginginkan tradisi bajapuik, namun disisi lain masyarakat masih melaksanakan tradisi bajapuik. Mengapa ini terjadi dan nilai apa yang terkandung dalam tradisi bajapuik, nampaknya inilah yang perlu ditelusuri lebih lanjut dalam penelitian ini.

Dalam perspektif pertukaran sosial, diyakini interaksi sosial mirip dengan transaksi ekonomi. Akan tetapi diakui pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial pertukaran juga mencakup nyata (materi) dan tidak nyata (non materi) (Turner, 1998; Poloma, 2000; Ritzer & Goodman, 2004).

Dalam teori pertukaran modern Homans lebih tegas mengatakan, dimana semua perilaku sosial tidak hanya perilaku ekonomis hasil dari suatu pertukaran. Artinya perilaku sosial tidak hanya menyediakan ganjaran ekstrinsik, tetapi juga menyediakan ganjaran intrinsik, seperti persahabatan, kepuasan dan mempertinggi harga diri. Dengan cara yang demikian adalah untuk memperkecil biaya (hukuman) dan memperbesar keuntungan (Turner, 1998; Poloma, 2000).

5

Lihat Chatra, 2005 hal:187

6

(24)

individu dengan struktur sosial, karena disadari struktur atau lembaga-lembaga demikian itu terdiri dari individu-individu yang terlihat dalam proses pertukaran barang berwujud materi maupun non materi (Anderson, 1995; Malinowski dalam Turner, 1998; Homans dalam Poloma, 2000). Konkritnya, pertukaran yang terjadi dalam perkawinan berkaitan dengan ekonomi, kedudukan sosial atau kekuasaan (Goode, 2007), kecantikan, kepribadian, keahlian, dukungan dan kooporatif ekonomi, intelektual, keperawanan dan sebagainya (Lamanna dan Riedmann, 1991). Jadi pertukaran yang terjadi dalam perkawinan tidak hanya terdiri dari satu unsur yakni pertukaran “uang dengan seorang laki-laki”, tetapi terdiri dari dua unsur yaitu “pertukaran” uang yang berkombinasi dengan nilai/norma

1.2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Tradisi bajapuik sebagai salah satu bentuk jaringan kerja (networking) yang dapat dipertemukan dalam sebuah pasar perkawinan (marriage market). Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi aktor dalam melakukan pertukaran di pasar perkawinan. Di sini posisi penelitian dimaksudkan. Analisis juga difokuskan pada tindakan (action) yang dicirikan oleh hasil aktivitas dan pertimbangan aktor (pertimbangan nilai) atau tindakan yang mempengaruhinya (Homans dalam Poloma, 2000). Jadi tradisi bajapuik tidak hanya sebagai sebuah mekanisme pasar perkawinan (marriage market mechanism), tetapi juga sebagai fenomena sosial yang dipengaruhi oleh faktor sosial budaya (Lamanna dan Riedmann, 1991). Selain itu, perlu pula kiranya untuk melihat saling hubungan antara ekonomi dan masyarakat secara lebih luas, yakni meliputi interaksi saling hubungan antara ekonomi dan budaya (nilai-nilai dan norma) yang lebih luas.

Bagaimana ekonomi dan masyarakat berinteraksi lebih luas, seberapa jauh kekuatan ekonomi menentukan pilihan masyarakat dan seberapa jauh kekuatan di luar ekonomi mempengaruhi persoalan tradisi bajapuik. Secara keseluruhan ini dapat ditelusuri melalui analisis dalam institusi perkawinan, yang mencakup kekayaaan yang dimiliki, kedudukan tinggi atau berkuasa (Goode, 2007; Lamanna dan Riedmann, 1991).

Selain itu keluarga luas (extended family) merupakan salah satu unsur yang ikut mempengaruhi tradisi bajapuik dan juga sebagai salah satu penerapan

(25)

bentuk solidaritas yang dilakukan aktor-aktor dalam perkawinan. Artinya keterlibatan anggota keluarga sangat dibutuhkan untuk terlaksananya tradisi

bajapuik. Bila itu terjadi jelas akan menguntungkan terutama bagi pihak keluarga

perempuan dan sekaligus akan berpengaruh terhadap keberlangsungan tradisi

bajapuik.

Kemudian dipihak lain sepintas tradisi bajapuik menunjukkan laki-laki seperti benda yang dapat dipertukarkan dalam pelaksanaan perkawinan. Sebagai bentuk perwujudan itu di Pariaman memakai uang japuik. Uang japuik pada awalnya dalam tradisi bajapuik--merupakan suatu bentuk penghargaan kepada status gelar kebangsawanan yang diwariskan dari ayah kepada anak laki-laki dan inilah yang disebut dengan uang jemputan. Akibat pengaruh ekonomi muncul

uang hilang dalam tradisi bajapuik, sekaligus merubah penghargaan status gelar

kebangsawanan menjadi status sosial ekonomi (prestasi) yang dimiliki oleh calon pengantin laki-laki.

Terjadinya perubahan penghargaan dari status sosial gelar kebangsawanan ke status sosial ekonomi (prestasi) jelas merupakan konsekuensi dari berbagai faktor yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu bagaimana aturan, norma mengenai tradisi bajapuik? Mengapa individu tetap mendukung eksisnya tradisi bajapuik? Untuk lebih terarahnya penelitian ini maka akan diajukan sejumlah pertanyaan pendukung lainnya sebagai berikut:

1. Apa nilai-nilai, dasar dan bentuk pertukaran perkawinan dalam tradisi

bajapuik dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya?

2. Siapa saja aktor yang terlibat dan bagaimana prilaku aktor dalam pertukaran perkawinan dalam tradisi bajapuik?

3. Mengapa tradisi bajapuik dapat eksis dalam perubahan masyarakat?

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bermaksud untuk melihat mengapa dan bagaimana tradisi bajapuik sebagai salah satu institusi dalam masyarakat Pariaman bisa bertahan dalam proses perubahan yang terjadi? Untuk lebih jelasnya tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

(26)

1. Mengkaji nilai-nilai, dasar dan bentuk pertukaran perkawinan dalam tradisi bajapuik dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya. 2. Mengkaji aktor yang terlibat dan prilaku aktor dalam pertukaran

perkawinan dalam tradisi bajapuik.

3. Menganalisis tradisi bajapuik dapat eksis dalam perubahan masyarakat.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan, secara umum dapat menambah dan memperluas wawasan ilmu pengetahuan dan informasi tentang berbagai dinamika kehidupan masyarakat Minangkabau khususnya masyarakat Pariaman. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan disiplin ilmu sosiologi Pedesaan, khususnya pada kajian sosial dan adat-istiadat suatu masyarakat.

Secara khusus, keseluruhan hasil studi ini nantinya dapat memberikan kontribusi bagi pemerintah Nagari, KAN (Kerapatan Adat Nagari), LKAAM (Lembaga Kerapatan Alam Adat Minangkabau) atau pemangku adat dan pihak terkait lainnya dalam rangka keberlanjutan (continuity) tradisi bajapuik sebagai identitas masyarakat Pariaman khususnya dan Minangkabau pada umumnya. Selain itu, pada gilirannya dapat menciptakan pertukaran yang seimbang antara kedua belah pihak dalam tradisi bajapuik.

(27)

2.1. Konsepsi Perkawinan

Mengikuti asal mula konsepsi perkawinan dapat dilihat melalui karya Bachofen dalam bukunya yang berjudul Mutterrecht (hukum ibu) (1861). Dalam buku tersebut Bachofen menggambarkan bahwa secara harfiahnya perempuan adalah heater (pelacur kuil) dan tunduk pada nafsu laki-laki. Penyebutan yang tidak mengenakan ini, menimbulkan ketidak senangan pada wanita. Akhirnya wanita menyadarinya, dan menentang situasi ini. Padahal pada hakikatnya wanita mempunyai tabiat mulia dari pada laki-laki, lebih mentaati agama dan wataknya lebih suci. Setelah wanita menemukan pertanian, mereka berontak terhadap laki-laki. Untuk itu sebagai pengganti pelacur kuil (hubungan kelamin yang tidak teratur) datanglah perkawinan (Ball, 1987). Jadi dari sinilah awal munculnya istilah perkawinan.

Perkawinan sebagai sebuah konsepsi yang ada dalam kehidupan manusia, menurut Fairchild (1966) dalam dictionary of sociology and related sciences adalah lembaga sosial yang memberikan suatu pengakuan kepada ikatan perkawinan atau sebuah unit keluarga. Dalam konsepsi perkawinan ini ada dua bentuk prinsip perkawinan yakni; 1) perkawinan monogami dan 2) poligami. Perkawinan yang monogami adalah seorang perempuan adalah untuk seorang laki-laki, sedangkan perkawinan poligami adalah ada banyak suami (polyandry) atau isteri (polyginy). Selanjutnya di katakan perkawinan mengindikasikan sebuah kebiasaan (adat) yang legal yang mempunyai sanksi agama untuk terbentuknya sebuah keluarga baru.

Pada perkembangan berikutnya, konsepsi perkawinan mengikuti konstruksi sosial; konstruksi masyarakat setempat, para ahli dan pemerintah (Afrizal, 1997). Ini berarti para ahli tersebut mempunyai konsepsi atau definisi masing-masing terhadap istilah perkawinan. Bahkan ada para ahli yang tidak membedakan antara konsep perkawinan dan konsep pertemanan atau pacaran yang di dalamnya terdapat hubungan seksual. Otterbein (1972) misalnya, perkawinan adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang tinggal

(28)

bersama. Sementara itu ada pendapat lain yang mengatakan bahwa hubungan seksual tidak mesti ada dalam suatu perkawinan. Penyelidikan Kethlen Gough (dalam Afrizal, 1997), pada masyarakat Nayar ditemukan perkawinan antara perempuan dengan perempuan. Ini berarti tidak terdapat hubungan seksual di dalam perkawinan mereka. Terjadi perkawinan dalam masyarakat itu dikarenakan pembayar mahar dari pihak perempuan. Dengan pembayaran mahar otomatis perempuan itu menjadi “suaminya”. Tetapi isteri dari perempuan itu diperbolehkan melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, dan laki-laki itu tidak mesti menjadi bapak dari anak itu secara sosial.

Seiring dengan kemajuan peradaban manusia, konsepsi perkawinan juga mengalami perkembangan. Pada awalnya, Konsepsi perkawinan mengacu kepada penglegitimasian dari hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Gough dalam Keesing (1992), misalnya melihat perkawinan disepanjang masa dan disemua tempat sebagai suatu kontrak menurut adat kebiasaan, untuk menetapkan legitimasi anak yang baru dilahirkan sebagai anggota yang bisa diterima masyarakat.

Sementara itu, para ahli lain menfokuskan pada tanggung jawab yang diemban dalam perkawinan. Menurut Ball (1987), perkawinan adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang berkelanjutan tinggal bersama dan adanya kerjasama ekonomi serta pemeliharaan anak yang dilahirkan oleh isteri karena hubungan yang berlangsung itu. Begitu juga dengan Leach (1986), perkawinan dipahami sebagai hubungan dan adanya pengasuhan anak sebagai akibat hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan.

Pendapat para ahli di atas, kiranya sama dengan ajaran Islam yang di anut oleh sebagian besar warga Indonesia, perkawinan tidak hanya pengesahan anak yang lahir akibat hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, tetapi juga penglegitimasian hubungan seksual itu sendiri. Melakukan hubungan seksual di luar perkawinan dianggap sebagai perilaku haram. Berdasarkan konsepsi-konsepsi perkawinan di atas, maka jelaslah bahwa perkawinan merupakan suatu institusi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan individu dalam masyarakat dalam rangka mengatur hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan dan juga akibat dari hubungan itu.

(29)

Kemudian dalam usaha untuk menemukan definisi perkawinan yang universal, konsepsi perkawinan mengacu kepada hubungan yang bersifat kontrak. Goodenough (1970) dalam Keesing, (1992) mendefiniskan perkawinan sebagai transaksi yang menghasilkan suatu kontrak di mana seorang pria atau wanita, korporatif secara pribadi atau melalui orang-orang lain memiliki hak secara terus-menerus untuk menggauli seorang wanita secara seksual sampai kontrak hasil transaksi itu berakhir dengan syarat wanita itu dapat melahirkan anak. Dengan pendefinisian perkawinan yang terakhir ini, dapatlah dipahami bahwa institusi perkawinan tidak lagi mendapat tempat yang sakral dalam lingkaran kehidupan (life cyle) manusia.

2.2. Bentuk-bentuk Perkawinan dan Persyaratan Kawin

Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia dalam lintasan hidupnya. Melalui perkawinan seseorang akan mengalami perubahan status sosial, yaitu dari status lajang menjadi status berkeluarga dan diberlakukan sebagai orang yang telah memenuhi syarat tertentu di dalam masyarakat.

Di dalam berapa masyarakat, pilihan dengan siapa individu kawin masih ditentukan. Hal ini tentunya menyangkut nilai-nilai budaya yang di anut oleh suatu masyarakat. Sebagai konsekuensinya terlihat pada bentuk-bentuk perkawinan yang berkembang dan persyaratan kawin yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan perkawinan.

Bentuk perkawinan yang pertama dalam sejarah kehidupan manusia adalah kawin penculikan (kawin rampok)1

1

Lihat Bachofen (1861) dalam Van Ball. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga dekade 1970). Penerbit Gramedia dan lihat Tylor dalam Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit Universitas Indonesia.

. Perkawinan ini dilakukan dengan merampas anak dara. Perkawinan ini dapat menimbulkan permusuhan, yang disebabkan oleh penculikan itu. Sebenarnya penculikan terjadi dalam rangka untuk menentukan tempat perkawinan patrilokal (sebenarnya virilokal). Bentuk perkawinan ini merupakan suatu permulaan dan tertua dari tata tertib perkawinan. Bentuk perkawinan ini ada dalam tahap peralihan, akan tetapi hanya sebagai bentuk setara yang lebih sering terdapat pada bentuk-bentuk penculikan konvensional yang dapat diterima (Ball, 1987; Koentjaraningrat, 1980).

(30)

Bentuk perkawinan lainnya adalah eksogami, adalah keharusan untuk mencari isteri dari suku-suku lain (group ethnic). Dalam bentuk perkawinan ini di dalamnya hanya terdapat dua suku atau satu sistem yang bersifat dualistis Koetjaraningrat, 1980). Pada bentuk perkawinan ini, orang-orang dilarang kawin dengan anggota keluarganya sendiri—saudara kandung, orang tua dan anak-anaknya, termasuk juga saudara sepupu, kakek dan nenek kedua belah pihak serta saudara tiri (Newman dan Grauerholz, 2003). Jadi dalam bentuk perkawinan ini, perempuan dari kelompoknya sendiri diberikan kepada kelompok lain dan kelompok lain itu sendiri menerima perempuan dari kelompok yang lain lagi. Melalui bentuk perkawinan ini bertujuan untuk membentuk kelompok yang lebih besar dan tidak hanya sebatas keluarga inti saja.

Bentuk perkawinan terakhir adalah endogami--keharusan mencari isteri dalam suku sendiri. Pada awal bentuk perkawinan endogami hanya terjadi bila keadaan isolasi yang ekstrem. Jika disekitarnya datang lebih banyak orang, maka kelompok endogami menjadi lemah dan tidak dapat bertahan Koentjaraningrat, 1980). Bentuk perkawinan ini menurut (Newman dan Grauerholz, 2003), terjadi dalam rangka untuk menjaga kekuasaan dan kekayaan tetap utuh dan oleh sebab itu dianjurkan untuk kawin dengan orang yang ada berhubungan tali darah. Selain itu, bentuk perkawinan ini dapat mempertebal solidaritas kelompok, dapat mencegah tercerai-berainya harta milik dan dapat merupakan pertukaran anak perempuan secara langsung antara kerabat laki-laki yang dekat (Keesing, 1992). Namun pada inti bentuk perkawinan ini terdapat pada masyarakat tradisional, yang tidak menyukai berhubungan di luar batas kelompoknya.

Perkawinan di Minangkabau adalah eksogami suku yakni kawin keluar suku. Perkawinan yang dilakukan tidak menyebabkan seseorang keluar atau meninggalkan kelompok kerabat asalnya dan masuk ke dalam kelompok kerabat pasangannya. Laki-laki yang melakukan perkawinan tetap menjadi bagian dari warga kaum dan sukunya. Sebagai suku bangsa yang menganut sistem matrilokal, laki-laki yang telah menikah hanya menjadi sumando di rumah istrinya. Begitu juga dengan pasangan wanitanya, tetap menjadi bagian dari warga kaum dan sukunya. Sementara itu anak yang dilahirkan akibat perkawinan itu, akan menjadi anggota kaum dan suku ibunya dan bukanlah kaum dan suku

(31)

ayahnya (Pintu, 2000). Karena dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang (sumando) sangat lemah. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, ia tidak memiliki tempat tinggal (Amir, 2006).

Sebagai orang datang, seorang suami (sumando) diharuskan untuk bersikap hati-hati karena selalu mendapatkan sorotan dari keluarga istri. Berbagai istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah laku sumando (Amir, 2006; Navis, 1984). Pertama, sumando ninik mamak adalah

sumando sumando yang mempunyai tingkah-laku dan adat-istiadatnya yang

menyenangkan pihak keluarga isteri. Kedua, sumando langau hijau atau sumando

lalat hijau adalah sumando yang kerjanya hanya kawin cerai disetiap kampung

dan meninggalkan anak di mana-mana. Ketiga, sumando kacang miang adalah

sumando yang kerjanya selalu menganggu ketentraman tetangga karena

menghasut, dan memfitnah, atau memelihara binatang ternak yang dapat menganggu lingkungan seperti itik, ayam, kambing, dan lainnya. Keempat,

sumando lapiak buruak adalah sumando yang tingkah lakunya menguras harta

istrinya. Sumando ini diibaratkan sama dengan dengan tikar pandan yang lusuh dan menjadi orang pandie di rumah isterinya. Kelima, sumando apak paja adalah

sumando yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri

dan hanya berfungsi sebagai pejantan (Amir, 2006; 1987).

Meski berbagai macam penilaian terhadap sumando, adat Minangkabau menetapkan sumando banyak gunanya (Navis, 1984) antara lain :

1. Urang sumando itu merupakan bibit yang baik dan kampung halaman menjadi ramai dan berseri.

2. Urang sumando akan menjadi tempat kepercayaan dalam rumah tangga. 3. Urang sumando menjadi pagaran yang teguh untuk menjaga kampung

halaman, dan penolong ninik mamak

4. Jika orangnya cerdas pandai akan menjadi tempat bertanya bagi orang kampung.

5. Jika ia orang kaya akan dapat melapangkan kita dan anak kemenakan dalam kesempitan.

Sekalipun dalam perkawinan seorang laki-laki terikat dengan kehidupan rumah tangganya dan di manapun ia berada, tidaklah terlepas dari suatu

(32)

tanggungjawab pada sanak-famili dan kaumnya (Hakimy, 1984). Hal ini berarti, seorang laki-laki yang telah menikah otomatis akan mempunyai anak, disamping kemenakan dari saudara perempuannya. Jadi seorang laki-laki yang telah menikah berkewajiban memelihara anak-anak dan juga harus membimbing kemenakan serta membina kampung halaman agar sejahtera dan adatpun berjalan dengan baik.

Sementara itu untuk mendapatkan seorang sumando, memiliki persyaratan tertentu tergantung kepada nilai-nilai budaya yang dimiliki. Oleh sebab itu ada bermacam-macam sebutan untuk persyaratan kawin antara lain; mas kawin

(bridewealth) (Koentjaraningrat, 1980), harta bawaan (dowry) (Croll dan Ursula,

1980) dan pemberian (Mauss, 1992). Mas kawin (bridewealth) yang merupakan salah satu syarat terdapat dalam proses perkawinan adalah sejumlah harta yang diberikan oleh pemuda kepada gadis-gadis dan kaum kerabat gadis (Goody, 1973; Koentjaraningrat, 1992). Mas kawin (bridewealth), yang berupa barang antaran banyak terdapat pada masyarakat penghasil pangan, baik petani hortikultura maupun pengembala. Penyerahan barang antaran bagi setiap suku ataupun daerah mempunyai perbedaan. Misalnya, barang antaran bagi suku Karimonjong atau suku Nuer di Sudan menyerahkan sapi dalam perkawinannya. Sementara itu dalam masyarakat Tribal barang antarannya berupa benda-benda fisik yang dianggap langka dan dianggap mempunyai prestise dan mempunyai makna simbolis (Keesing, 1992). Mas kawin (bridewealth) biasanya terdapat dalam masyarakat patrilineal dan kurang umum dalam masyarakat matrilineal, ganda atau bilateral. Van den Berge (dalam Sanderson 2000), melaporkan bahwa 71 persen dari masyarakat patrilineal menggunakan mas kawin dibandingkan dengan hanya 37 persen dari masyarakat matrilineal, dan 32 persen dari masyarakat keturunan ganda atau bilateral. Jadi untuk mengetahui kenapa mas kawin tidak banyak dijumpai dalam masyarakat matrilineal, antara lain disebabkan oleh pelayanan ekonomi dan aspek produktif wanita tidak hilang bagi kelompok kerabat mereka sendiri.

Untuk penentuan mas kawin kadang-kadang dilakukan melalui perundingan antara kedua belah pihak. Ini berarti mas kawin mengikut sertakan keluarga masing-masing mempelai. Menurut Keesing (1992), orang tidak memiliki sarana

(33)

untuk membiayai perkawinannya sendiri. Oleh karena itu dalam memilih pasangan yang secara politis maupun ekonomis disesuaikan dengan kesukaannya sendiri dan juga keiinginan orangtua dan anggota keluarga lainnya. Selain itu mengenai siapa yang harus membayar mas kawin dan kepada siapakah mas kawin harus diberikan ada 3 (tiga) kemungkinan:

1. Mas kawin diberikan kepada kaum kerabat gadis, tetapi tidak ditentukan siapa yang akan menerima mas kawin tersebut.

2. Mas kawin diberikan kepada si gadis sendiri.

3. Mas kawin untuk sebagian diberikan kepada gadis dan sebagian kepada kaum kerabat si gadis (Koentjaraningrat,1992:104).

Bentuk persyaratan lain yang terdapat dalam tata aturan perkawinan adalah

dowry. Dowry, merupakan harta yang di bawa oleh wanita ke dalam perkawinan.

Harta bawan ini menurut Van den Berghe (1979), mengandung makna bahwa seorang wanita menerima warisan lebih dini dari orang tua dan ia dapat menggunakan warisan itu untuk melakukan perkawinan (Sanderson, 2000). Di pihak lain Lamanna dan Friedman (1991), melihat dowry sebagai harta jaminan yang dibawa wanita dalam perkawinan. Semakin banyak jumlah harta yang dibawa dalam perkawinan, akan menjamin kelangsungan perkawinannya. Sistem

dowry ini terdapat di Cina dan India. Wanita dalam melakukan perkawinan

membawa sejumlah harta dalam perkawinan. Namun sistem perkawinan menggunakan dowry ini memberatkan pihak keluarga perempuan (Pesek, 2007).

Pada awalnya dowry bertujuan untuk mengalihkan wanita dalam perkawinan dan lebih spesifiknya pemberian dowry sebagai kompensasi dari kerugian yang dialami dalam pelayanan ekonomi produktif. Artinya tenaga wanita begitu penting dalam usaha produktif ekonomi keluarganya. Namun dalam pengertian untuk saat ini tidak jauh berbeda, walaupun lapangan pekerjaan sudah terbuka lebar untuk wanita dan banyak wanita mempunyai profesi yang bergengsi di tengah masyarakat. Begitu juga untuk mempelai pria diberikan sebagai pertukaran dari barang-barang bermakna simbolis (Keesing, 1992).

Besar kecilnya dowry, yang di bawa ke dalam perkawinan tergantung pada status individu dan keluarganya di dalam masyarakat. Dowry, bisa menjadi penentu kebahagian wanita dalam perkawinan. Karena selain banyaknya barang

(34)

yang dibawa dalam perkawinan sebagai jaminan, juga menujukkan kualitas2

2

Menunjukan pada status sosial wanita dalam masyarakat

wanita dalam perkawinan tersebut. Kemudian setelah itu, dalam

perkembangannya mas kawin berdasarkan kedudukan, kepandaian, kecantikan, umur dan sebagainya (Lamanna, dan Riedmann, 1981).

Terakhir pemberian—sederhananya diartikan sebagai penghargaan pada prestasi menyeluruh (Mauss, 1992). Secara umum pemberian merupakan sebagai bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi tukar-menukar yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat itu secara menyeluruh (Suparlan (1992).

Menurut Mauss (1992), dalam pemberian mengandung kehormatan dari sipemberi dan penerima di dalamnya yang terlihat tukar menukar yang saling mengimbangi di antara keduanya. Oleh sebab itu menurut Mauss, pemberian merupakan sistem yang menyeluruh (total system) di mana setiap unsur dari kedudukan atau harta milik terlibat di dalamnya dan berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang lainnya. Jadi menurut Mauss dalam sistem tukar menukar, pemberian itu harus dikembalikan dalam suatu cara khusus yang menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak habis-habisnya, karena yang dipertukarkan itu sebagai prestasi (prestation) yaitu nilai barang menurut sistem makna yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dan bukan nilai harfiahnya dari barang pemberian itu. Prestasi yang dipertukarkan adalah prestasi yang menyeluruh karena tukar-menukar itu melibatkan keseluruhan aspek kehidupan dan berlaku di antara kelompok-kelompok dan bukan di antara individu-individu secara pribadi. Selanjutnya menurut Mauss, kondisi ini akan berbeda dengan masyarakat yang telah mengenal perdagangan pemberian di antara kelompok tidak lagi mencakup aspek-aspek estetika, keagamaan, moral dan hukum legal. Yang tertinggal dalam tukar menukar itu tersebut hanyalah aspek ekonominya saja, terwujud dalam bentuk tukar-menukar antara uang, benda dan jasa dan berlaku hanya di antara individu-individu dan bukan di antara kelompok-kelompok.

Adapun tukar-menukar pemberian prestasi itu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

(35)

1. Pengembalian benda yang diterima tidak dilakukan pada saat pemberian hadiah itu diterima, tetapi pada waktu yang berbeda sesuai dengan kebiasaan adat yang berlaku; kalau pemberian imbalan diberikan pada waktu yang sama disebut dengan barter.

2. Pengembalian pemberian hadiah yang diterima tidak berupa barang yang sama dengan yang diterima tetapi dengan benda yang berbeda yang mempunyai nilai yang sedikit lebih tinggi daripada hadiah yang telah diterima atau setidak-tidaknya sama dengan itu.

3. Benda-benda pemberian yang diterima tidak dilihat sebagai benda dalam nilai harfiahnya, tetapi sebagaimana prestasi karena benda-benda itu dipercayai berisikan mana atau kekuatan gaib yang digolongkan oleh Mauss ke dalam suatu kategori yang dinamakan prestasi (prestaion). Selanjutnya Mauss menjelaskan bahwa suatu pemberian hadiah adalah sama dengan suatu pemberian hadiah mana atau sari kehidupan dari sipemberi kepada sipenerima. Dengan diterimanya suatu benda yang diberikan maka diartikan bahwa si penerima pemberian tersebut telah menerima sari kehidupan si pemberi atau sama dengan diri si pemberi itu sendiri. Oleh karena itu si penerima pemberian itu tidak dapat menolaknya karena karena penolakan itu sama dengan penghinaan terhadap sipemberi tersebut. Itu juga sebabnya mengapa sesuatu pemberian harus diimbali dengan pemberian kembali kepada sipemberi oleh sipenerima hadiah. Bila seseorang menolak sesuatu pemberian, disamping dapat diartikan sebagai penghinaan terhadap sipemberi, dapat juga diartikan ketidak mampuan si penerima untuk menerima mana atau kehormatan dari si pemberi. Dalam hal terakhir ini si penerima digolongkan dalam kategori yang lebih rendah kedudukan daripada si pemberi.

Dengan demikian ada bermacam-macam persyaratan kawin yang berlaku dalam masyarakat. Terkait dengan perkawinan yang berlaku di Pariaman disebut dengan uang jemputan. Menurut Junus (1990); Navis (1984), uang jemputan adalah sejumlah uang atau barang sebagai alat untuk menjemput supaya suka mengawini perempuan dan nantinya akan dikembalikan pada pihak perempuan.

Uang jemputan ini menjadi kewajiban bagi pihak keluarga perempuan. Artinya

(36)

penerima. Dalam perkembangan uang jemputan sebagai persyaratan dalam tradisi

bajapuik telah dua kali mengalami perubahan yakni menjadi uang hilang dan uang dapua (uang dapur), tetapi maknanya tidak berubah yakni sebagai

penghargaan kepada seorang laki-laki yang akan diterima sebagai menantu. Meskipun dalam praktek jumlah uang jemputan akan disesuai dengan status sosial ekonomi laki-laki. Artinya semakin tinggi status sosial ekonominya, maka semakin tinggi uang jemputannya.

Pada awalnya uang jemputan dalam adat perkawinan di Pariaman adalah adat perkawinan raja-raja, dan keturunannya yang dicirikan mempunyai gelar kebangsawanan (Arifin, 1984). Selanjutnya laki-laki yang mempunyai gelar kebangsawanan (keturunan) dalam melangsungkan pernikahan selalu memakai

uang jemputan. Seperti yang terjadi pada perkawinan seorang Syech dari Aceh

dengan seorang wanita dari Tiku Pariaman, di mana pihak keluarga laki-laki (tempat syech tinggal) meminta sejumlah persyaratan kepada pihak keluarga perempuan seperti pakaian, sebuah ringgit emas, salapah dan tungkatan

(tingkatan). Barang-barang ini harus dibawa pada saat Syech melangsungkan

pernikahannya (Amran, 1991). Permintaan persyaratan itu bagi pihak keluarga laki-laki merupakan sebagai penghormatan, sekaligus menunjukan laki-laki yang akan dijadikan menantu mempunyai asal-usul yang jelas dan mempunyai status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Dengan demikian gelar keturunan menentukan posisi laki-laki dalam struktur masyarakat Pariaman pada saat itu. Orang yang mempunyai gelar ditempatkan pada lapisan atas dan menjadi perioritas utama untuk diterima sebagai menantu dalam tradisi bajapuik.

Dasar inilah yang dijadikan orang Pariaman dalam mencari seorang menantu. Sebagai implikasinya untuk mendapatkan seorang sumando yang terhormat, maka dilihatlah dari gelar yang dimilikinya. Hamka (1982:5), “pada saat itu orang-orang Pariaman mencari menantu hanya bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang bermartabat tinggi”. Kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari dibebankan kepada mamak.

Untuk selanjutnya gelar kebangsawanan disebut juga dengan gelar keturunan, karena dalam praktek berikutnya gelar-gelar itu diturunkan lagi dari ayah kepada anak laki-laki. Menurut terminologi Linton (dalam Garna, 1996:179),

(37)

disebut dengan status warisan--status yang dipertahan dari satu generasi kegenerasi berikutnya melalui keturunan. Sementara itu dalam istilah adat Minangkabau disebut dengan ketek banamo, gadang bagala. Artinya kecil diberi nama, setelah besar umumnya setelah menikah mereka memperoleh gelar. Pemberian gelar kepada keturunan ini menjadi kebiasaan/tradisi yang dianut secara turun temurun oleh masyarakat Pariaman hingga sekarang, meskipun penghargaan kepada seorang laki-laki telah beralih kepada status sosial ekonomi.

2.3. Perkawinan dan Kekerabatan di Minangkabau

Secara kultural, suku bangsa Minangkabau menganut sistem matrilineal--garis keturunan yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu. Atas dasar itu, sistem kekerabatan di Minangkabau dikatakan bersifat unilineal atau unilateral yaitu menghitung garis keturunan hanya mengakui satu pihak orang tua saja sebagai penghubung keturunan yakni “ibu”. Oleh karena itu sistem “materilineal” disebut dengan garis keturunan “ibu” atau sako-indu (Amir, 2006).

Dengan sistem matrilineal, berarti anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan mengikuti garis keturunan ibu. Pada masyarakat dengan prinisip matrilineal, baik laki-laki maupun perempuan menarik garis keturunan ke atas, hanya melalui penghubung wanita saja seperti; ibunya, neneknya dan seterusnya. Hubungan persaudaran terjadi, apabila seseorang laki-laki atau perempuan mempunyai orang tua yang sama atau se ibu. Seseorang ayah bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anak dan isterinya, tetapi anggota keluarga ibunya. Di dalam keluarganya ia dipandang dan diperlakukan sebagai tamu dan keberadaannya terutama bertujuan untuk memberi keturunan (Naim, 1979)

Menurut Radjab (1969); Kato (1989), sistem matrilineal mempunyai ciri-cirinya sebagai berikut;

1. Keturunan dan kelompok keturunan (corporate descent group), ditentukan dari garis ibu (maternal line).

2. Tingkat pengelompokan keturunan yang tertinggi adalah suku.

3. Tanah, rumah dan harta yang tidak bergerak lainnya adalah milik komunal dari kelompok keturunan itu, dan diwarisi secara turun-temurun menurut garis ibu.

4. Seorang laki-laki dewasa yang telah kawin memiliki dua macam fungsi, berjalan secara paralel dan simultan.

(38)

5. Laki-laki dewasa yang telah beristeri memiliki dwifungsi, pola domisili dan residensinya cendrung dualokal.

6. Perkawinan bersifat matrilokal, dimana suami mengunjungi rumah istrinya.

7. Tiap-tiap orang diharuskan kawin dengan orang di luar sukunya.

8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.

9. Kekuasaan mengatur dan melindungi di rumah ibu terletak ditangan

mamak.

Ciri-ciri sistem matrilineal itu, seorang ibu mendapat tempat yang istimewa dan sangat penting dalam masyarakat Minangkabau. Harta pusaka dan waris diturunkan menurut garis ibu. Dalam ungkapan adat, seorang ibu disebut juga dengan limpapeh rumah nan gadang, artinya tonggak tua dari sebuah rumah (rumah adat) yang dihuni oleh keluarga besar (extended family) menurut sistem matrilineal. Istilah lain untuk seorang ibu adalah amban puruak, artinya penyimpan harta pusaka atau pemegang kunci biliak (kamar tidur serta tempat menyimpan barang-barang berharga).

Sebuah rumah gadang dihuni oleh beberapa keluarga batih (nuclear

family) dan ditambah dengan nenek dan wanita-wanita yang belum kawin atau

yang disebut dengan saparuik. Saparuik terdiri dari individu-individu yang mempunyai hubungan geneologis tiga atau empat generasi (Radjab, 1969; Kato 1982) mendiami sebuah rumah gadang, seperti yang terlihat dalam gambar 1 berikut ini Generasi Nenek Generasi Ibu Generasi Anak

(39)

Saparuik seperti yang tergambar dalam skema di atas, selain menempati

satu rumah gadang juga terkait dengan kepemilikan lahan pertanian bersama lahan/harta atau yang disebut dengan harta pusaka. Harta pusaka ini menjadi milik bersama saparuik. Oleh sebab lahan (harta pusaka) itu menjadi milik bersama, sehingga dapat diolah dan dikonsumsi bersama. Harta pusaka yang dimaksud adalah pusaka tinggi berupa lahan (sawah dan ladang), yang diwarisi secara turun-temurun berdasarkan garis keturunan ibu. Harta pusaka tinggi itu akan terdistribusi kepada kaum perempuan dan tidak kepada kaum laki-laki. Bahkan dalam adat telah digariskan bahwa kaum perempuan, mempunyai hak akses dan pemanfaatan dan pengambilan. Atas dasar itu pulalah, kelompok saparuik dan

samande menurut menurut Joselin de Jong (1951); Radjab, (1969: 24-25),

kelompok-kelompok kekerabatan yang fungsional dalam mengorganisasikan aktivitas ekonomi dan sosial, sedangkan kaum laki-laki sebagai orang yang mengawasi dan mengatur (management) harta tersebut.

Dengan demikian semua harta yang dimiliki oleh satu paruik (harta komunal) menurut adat Minangkabau, adalah bertujuan untuk kesejahteraan dan keselamatan kaum seperti yang dikatakan oleh Amir, 1987; 155 sebagai berikut:

1. Sebagai menghargai jerih payah nenek moyang yang telah mencancang, menambang. Manaruko, mulai dari zaman dahulu sampai

ka mande kita sendiri”.

2. Sebagai lambang ikatan yang bertali darah dan supaya tali jangan putus, kait-kait jangan sekah (pecah), sehingga barang siapa yang melanggar akan merana dan sengsara seumur hidupnya dan keturunannya.

3. Sebagai jaminan hidup kaum yang sejak dahulu hingga sekarang, masih terikat pada tanah (agraris).

4. Sebagai lambang kedudukan sosial.

Oleh sebab itu harta pusaka dapat digunakan untuk empat perkara: Pertama, maik tabujua di tangah rumah, bila ada kematian dan keluarga tak berkecukupan untuk membiayai penguburan. Kedua, gadih gadang tak balaki, bila kemenakan belum bersuami, hal ini sangat merisaukan keluarga, apalagi kalau tunggal, takut bisa punah. Ketiga, mambangkik batang tarandam, bila gelar penghulu telah lama “balipek” (disimpan saja) karena tidak ada biaya untuk upacara “puntiang penghulu” (pengangkatan penghulu) baru. Empat, rumah

(40)

gadang katirisan, bila rumah gadang yang menjadi milik bersama mengalami

kerusakan/perlu diperbaiki dan butuh dana untuk memperbaikinya, maka diperbolehkan menggadaikan harta pusaka (Manggis dan Panghoelu, 1971; Amir, 1987; Backmann, 2000).

Gambaran mengenai keutuhan keluarga nan saparuik yang menempati satu rumah gadang dengan harta bersama, menurut beberapa analis seperti Josselin de Jong (1951), Schreike (1955), Oki (1977), Benda-Beckmann (2000) telah mengalami perubahan. Perubahan itu adalah akibat penetrasi perekonomian kapitalis yang masuk ke dalam masyarakat, sehingga mengakibatkan lemahnya sistem kekerabatan Minangkabau. Lebih jauh dikatakan oleh para analis ini, keluarga batih dalam kondisi seperti ini cenderung mempunyai hubungan yang lemah dengan anggota kerabatnya yang lain. Sebagai implementasi dari adanya kecenderungan dari anggota saparuik untuk memiliki rumah sendiri, sehingga terpisah dalam melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi dan konsumsi dengan anggota-anggota saparuik yang lainnya (Afrizal 1997).

Meski secara eksplisit, ikatan kekerabatan mengalami perubahan, tetapi hubungan antara sesama anggota saparuik di luar keluarga batih masih kuat— ikatan kekerabatan menyediakan jaringan kepada induvidu-induvidu sebagai tempat untuk mencari bantuan ekonomi dan sosial ketika mereka membutuhkan (Litwak dan Szelenyi, 1969; Sussman dan Burchinal, 1979). Bantuan ekonomi dan sosial yang diperoleh antara lain penyediaan akomodasi bagi kerabat, bantuan finansial, konsultasi untuk memecahkan persoalan yang dihadapi (lihat Young dan Willmot, 1951; Sussman dan Burchinal, 1979). Mobilitas geografis tidak menjadi penghalang untuk berfungsinya ikatan kekerabatan sebagai sebuah jaringan (Litwak dan Szelenyi, 1969).

Adapun bantuan itu menurut Sussmann dan Burchinal, (1979), di rangkum sebagai berikut: Pertama, pola bantuan meliputi banyak bentuk, di antaranya pertukaran jasa, hadiah, advis dan bantuan finansial. Bantuan finansial langsung diberikan kepada pasangan muda yang melakukan pernikahan. Kedua, hanya sedikit sekali keluarga yang tidak memberikan atau menerima bantuan dari saudara mereka. Meskipun hingga saat ini bantuan itu tidak sepenuhnya diberikan kepada anggota yang membutuhkannya. Ketiga, Pertukaran bantuan di antara

(41)

anggota tersebut meliputi; antara orang tua dengan anak, di antara saudara, dan dalam frekuensi yang lebih rendah di antara saudara jauh. Akan tetapi untuk bantuan finansial umumnya terdapat antara orang tua dan anak. Keempat, walaupun terdapat perbedaan jumlah bantuan finansial yang diterima oleh kelas menengah dan kelas pekerja, akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam proporsi bantuan yang diberikan atau diterima dari kedua strata keluarga ini. Kelima, bantuan finansial umumnya diterima selama tahun awal perkawinan. Orang tua tampak lebih membantu secara finansial perkawinan yang “direstui” ketimbang perkawinan yang “tidak direstui” misalnya kawin lari, perkawinan antar agama atau antar ras. Bantuan dapat berupa uang dalam jumlah yang cukup besar atau memberikan hadiah dalam bentuk barang-barang berharga pada saat perkawinan, kelahiran anak, dan dilanjutkan pada saat lebaran (Islam) atau ulang tahun. Bantuan yang besar diberikan orang tua dilakukan pada saat anak melangkah ke jenjang perkawinan, terutama status anak masih bergantung terutama bagi anak yang masih dalam pendidikan. Keenam,

Begitu juga halnya dengan hubungan mamak dan kemenakan. Seperti yang dikatakan oleh Kato, (1982); Afrizal, (1997), hubungan mamak dan kemenakan masih kuat dalam masyarakat Minangkabau saat ini. Walaupun seorang mamak tidak lagi mewariskan harta pencarian kepada kemenakannya, mamak masih cenderung untuk memberi bantuan sosial ekonomi kepada kemenakan apabila

kemenakannya membutuhkan. Bahkan mamak masih terlibat dalam

pengorganisasian perkawinan kemenakannya. Kondisi yang demikian menurut Navis (1984), karena falsafah adat Minangkabau telah menjadikan semua orang hidup bersama-sama termasuk mengenai urusan perkawinan. Perkawinan ditempatkan menjadi persoalan kaum kerabat mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan dan perkawinan, bahkan sampai kepada segala

data hasil penelitian kurang memadai untuk memprediksi efek bantuan orang tua terhadap keberlangsungan keluarga dan hubungan perkawinan di antara pasangan yang menerima bantuan. Itulah yang terjadi dalam pelaksanaan tradisi bajapuik saat ini. Bantuan dari keluarga luas tetap mengalir dalam bentuk materil seperti uang dan benda-benda kebutuhan rumah tangga.

Gambar

Gambar 1 Anggota Saparuik dalam Satu Rumah Gadang (Sumber: (Kato, 1982)
Gambar 2. Pengaruh lingkungan sosial terhadap pilihan individu (personal). Sumber:
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
Tabel : 3. Jumlah Responden  dan Informan Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Faktor penghambat Guru Pendidikan Agama Islam dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual siswa Beberapa faktor penghambat yang dialami Guru Pendidikan Agama Islam

asumisen palveluissa annettava sosiaalipalvelu, jossa palvelunantaja järjestää sosiaalihuollon asiakkaalle hoitoa ja apua sovitulla tavalla 72 tukiasuminen asumisen

Oleh karena itu, refleksi dan perumusan penggantian tujuan harus dilaksanakan secara seksama, agar momentum tidak hilang dan organisasi mengalami penurunan atau ”penuaan”

Objek penelitian ini adalah website asosiasi-asosiasi TI yang ada di Indonesia, yaitu Asosiasi Cloud Computing Indonesia, Association for Information Systems

Hal ini disebabkan oleh karena hubungan orang tua dan anak menunjukkan relasi kehidupan yang saling mengasihi, menyayangi, dan melindungi, sebagaimana Paulus

Selain itu, sebelumnya perusahaan diketahui belum pernah melakukan pengukuran waktu kerja dan tidak memiliki waktu baku yang dapat digunakan sebagai acuan, metode ini

Dari hasil pengujian kuat tekan beton juga dapat dilihat bahwa penambahan agregat Bongkahan Cangkang Sawit (BCS) sebesar 15 % dapat menghasilkan nilai kuat