ICASERD WORKING PAPER No.42
ANALISIS NILAI TUKAR KOMODITAS CABAI MERAH
(KASUS DI KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH)
Kurnia Suci Indraningsih
Maret 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianICASERD WORKING PAPER No.42
ANALISIS NILAI TUKAR KOMODITAS CABAI MERAH
(KASUS DI KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH)
Kurnia Suci Indraningsih
Maret 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianANALISIS NILAI TUKAR KOMODITAS CABAI MERAH (KASUS DI KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH)
Kurnia Suci Indraningsih
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menggambarkan keragaan agribisnis cabai merah, (2) menganalisis nilai tukar penerimaan, (3) faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar penerimaan, (4) nilai tukar barter komoditas cabai merah, dan (5) dampak kebijaksanaan pembangunan pertanian terhadap nilai tukar komoditas cabai merah. Penelitian dilakukan di Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes Jawa Tengah, pada bulan Juli-Agustus 2000. Pengambilan contoh dilakukan secara acak berlapis (berdasarkan strata pemilikan/ penggarapan lahan) dengan jumlah responden sebanyak 60 petani, dan menggunakan metode survai. Analisis data menggunakan konsep nilai tukar penerimaan dan nilai tukar barter untuk mengukur nilai tukar komoditas pertanian, serta metode regresi sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) dari hasil analisis biaya dan pendapatan, usahatani cabai merah layak secara ekonomi untuk dikembangkan dalam skala yang lebih luas; (2) nilai tukar penerimaan terhadap sarana produksi lebih kecil dibanding dengan nilai tukar penerimaan terhadap tenaga kerja, berarti tingkat pengeluaran untuk pembelian sarana produksi lebih tinggi dibanding untuk membayar upah tenaga kerja; (3) faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar penerimaan berupa (a) faktor internal, yaitu tingkat penerapan teknologi budidaya cabai merah, penggunaan sarana produksi, tingkat produktivitas dan posisi tawar petani yang lemah; serta (b) faktor eksternal, yaitu sistem pasar yang sangat menentukan harga jual cabai merah; (4) pada periode 1992-2000, nilai tukar barter terhadap pupuk Urea dan beras relatif lebih tinggi dibanding dengan nilai tukar barter terhadap upah, makanan dan non-makanan; (5) perkembangan harga cabai merah mengikuti perkembangan tingkat inflasi, sehingga harga riil yang diterima petani cenderung meningkat.
Kata kunci : cabai merah, nilai tukar, penerimaan, barter ABSTRACT
The objectives of the research were to: (1) describe chili agribusiness performance, (2) analyze return terms of trade, (3) influencing factors on return terms of trade, (4) chili terms of trade and (5) identify impact of agricultural development on farmer’s terms of trade and chili terms of trade. The study was conducted in Wanasari Sub-district, Brebes District, Central Java District in July-August 2000. Survey method with stratified random sampling based on land holding and ownership stratification was applied in this research. The collected data were analyzed by applying return terms of trade and barter terms of trade methods to measure commodity terms of trade while simple regression was also applied to measure impact of agricultural development on prices. The study revealed the following items: (1) the R/C ratio showed that the chili farming would be more beneficial if it was developed in a larger scale; (2) return terms of trade on production inputs was smaller compared to that of return terms of trade on labor, this meant that the expenditure for purchasing production inputs was higher compared to that of labor wage; (3) influencing factors on return terms of trade were as follows: (a) internal factors such as level of adopted chili farming technology, production input used, productivity level and farmer’s weak bargaining position; (b) external factor such as market system; (4) during 1992-2000, the barter terms of trades of urea and rice were relatively higher than that of food and non-food; (5) chili price growth was in line to inflation growth rate.
PENDAHULUAN
Tujuan pembangunan pertanian pada hakekatnya diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Hal ini terlihat dari orientasi pembangunan pertanian sejak Pelita VI yang beralih dari fokus peningkatan produksi semata ke arah kesejahteraan petani. Pembangunan pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam keberhasilan pembangunan nasional, baik sumbangan langsung seperti dalam pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, perolehan devisa melalui ekspor dan penekanan inflasi, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain (Simatupang, 1992).
Dengan orientasi pembangunan pertanian ke arah perbaikan kesejahteraan petani, maka sangat relevan untuk mengkaji dampak pembangunan yang dilaksanakan terhadap perbaikan kesejahteraan petani, sebagai masukan bagi pelaksanaan pembangunan pertanian selanjutnya. Salah satu alat ukur untuk melihat dinamika tingkat kesejahteraan tersebut adalah nilai tukar petani, yang mencakup nilai tukar komoditas pertanian dan nilai tukar pendapatan petani. Nilai tukar komoditas pertanian dapat didekati dengan nilai tukar penerimaan (berkaitan dengan profitabilitas usaha pertanian dan kegairahan petani dalam berusaha) dan nilai tukar barter komoditas pertanian (berkaitan dengan kekuatan daya tukar/daya beli dari komoditas pertanian terhadap komoditas/produk lain yang dipertukarkan). Adapun nilai tukar pendapatan petani berkaitan dengan kemampuan daya beli petani dalam membiayai kebutuhan hidup rumah tangganya.
Cabai merah merupakan salah satu komoditas unggulan yang mempunyai nilai ekonomi, sehingga dibudidayakan secara luas di seluruh dunia termasuk Indonesia. Pemanfaatan cabai merah sebagai bahan baku industri pengolahan (makanan, obat-obatan dan kosmetik) memberikan prospek yang cerah sebagai sumber pertumbuhan di sektor pertanian (Hutabarat et al., 1999). Namun demikian, dalam kegiatan usahatani-nya petani cabai merah mengalami berbagai masalah, antara lain; (1) tingkat penguasaan/pemilikan lahan yang relatif sempit, (2) kebutuhan modal yang besar karena usahatani cabai merah bersifat padat modal dan padat tenaga kerja (3) petani menghadapi struktur pasar input (bibit, pupuk, obat-obatan) yang cenderung oligopolistik, (4) pada sisi pasar output petani menghadapi pasar output yang cenderung
oligosomistik, serta (5) fluktuasi harga yang relatif tajam. Berdasarkan permasalahan
dan nilai tukar komoditas adalah: (1) bagaimana kekuatan nilai tukar penerimaan dari setiap kelompok masyarakat di pedesaan, antara petani berlahan sempit dan berlahan luas, serta (2) apa dan bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar dari setiap kelompok masyarakat tertentu.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menggambarkan keragaan agribisnis cabai merah, (2) menganalisis nilai tukar penerimaan komoditas cabai merah, (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar penerimaan komoditas cabai merah, (4) menganalisis nilai tukar barter komoditas cabai merah, dan (5) menganalisis dampak kebijaksanaan pembangunan pertanian terhadap nilai tukar petani dan nilai tukar komoditas cabai merah.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN METODE ANALISIS Kerangka Pemikiran
Penelaahan terhadap nilai tukar pertanian dan nilai tukar komoditas pertanian di tingkat petani tidak terlepas dari pengkajian terhadap kegiatan petani/rumah tangga petani yang berkaitan dengan upaya petani/rumah tangga petani dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang mencakup perolehan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Jika proporsi pendapatan rumah tangga petani dari sektor pertanian dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya, maka nilai tukar pertanian relatif besar. Sebaliknya jika proporsi pendapatan dari pertanian relatif kecil, maka nilai tukar pertanian relatif kecil. Dengan demikian kekuatan nilai tukar pertanian tersebut sangat berkaitan dengan peran pertanian dalam pendapatan rumah tangga petani. Perbedaan peran pertanian tersebut berbeda menurut kelompok petani, yaitu antara petani berlahan luas, petani berlahan sempit dan buruh tani.
Selain skala pemilikan penguasaan lahan, proporsi pendapatan dari sektor pertanian juga dipengaruhi oleh tingkat profitabilitas usaha pertanian, kekuatan-kekuatan yang bekerja di pasar dan kebijaksanaan pemerintah. Berarti nilai tukar pertanian terben-tuk oleh mekanisme yang kompleks berkaitan dengan sistem permintaan, penawaran dan kebijaksanaan. Pembentukan harga tersebut tidak hanya ditentukan oleh sektor per-tanian, namun juga perilaku sektor diluar pertanian baik sektor riil, fiskal dan moneter (Killick, 1983; Timmer et al., 1983). Hal ini diperkuat oleh Anwar et al., (1980) bahwa kebijaksanaan harga pemerintah juga berpengaruh terhadap nilai tukar, misalnya kebijaksanaan harga beras. Dengan menentukan harga dasar dan harga tertinggi beras akan berpengaruh negatif terhadap nilai tukar hasil pertanian terutama kebijaksanaan
yang berorientasi pada kepentingan konsumen komoditas pertanian atau masyarakat kota.
Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu mencakup:
(1) Nilai Tukar Penerimaan/Pendapatan (NTI) Komoditas Pertanian merupakan daya ukur dari nilai hasil komoditas pertanian yang dihasilkan petani per unit (hektar) terhadap nilai korbanan untuk memproduksi hasil tersebut.
NTI = PxQx/ PyQy
dimana : Px = harga pertanian; Py = harga non pertanian
Qx = volume produk pertanian; Qy = volume produk non pertanian
NTI menggambarkan tingkat profitabilitas dari usahatani komoditas tertentu. Namun demikian NTI hanya menggambarkan nilai tukar dari komoditas tertentu, belum mencakup keseluruhan komponen pendapatan petani dan pengeluaran petani.
(2) Nilai Tukar Barter Komoditas Pertanian
Dalam penelitian ini nilai tukar barter di dekomposisi terhadap harga makanan, non-makanan, beras, pupuk urea dan tingkat upah.
a. Nilai tukar komoditas i terhadap makanan (NTP-KiMAK) merupakan nisbah antara harga yang diterima petani komoditas i, yaitu harga komoditas i (HKi) terhadap harga makanan (HMAK),
NTP - Ki MAK = HKi/HMAK;
b. Nilai tukar komoditas i terhadap non-makanan (NTP-KiNMAK), merupakan nisbah antara harga yang diterima petani komoditas i yaitu harga komoditas i (HKi) terhadap harga non-makanan (HNMAK),
NTP-Ki NMAK = HKi / HNMAK
c. Nilai tukar komoditas i terhadap input produksi (NTP-KiINPUT, merupakan nisbah antara harga yang diterima petani komoditas i yaitu harga komoditas i (HKi) terhadap harga input (HINPUT),
NTP-Ki INPUT = HKi / HINPUT
Sebagai input produksi adalah pupuk urea dan tenaga kerja. (3) Pembentukan Harga
Dalam penelitian ini, dampak kebijaksanaan pertanian diukur melalui harga komoditas tingkat produsen. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga yang diterima petani dapat dirumuskan sebagai berikut:
HKOMjt = f (PRKOMjt, INFt)
Dimana: HKOMjt = harga komoditas j pada waktu t
PRKOMjt = produksi komoditas j waktu t
INFt = inflasi waktu t (diproksi dengan IHK pedesaan).
Metode Penentuan Responden
Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data primer hasil penelitian Studi Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas Pertanian dan data sekunder dari instansi terkait. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposif berdasarkan pertimbangan data luas areal tanam, produksi dan produktivitas cabai merah dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Dati I Jawa Tengah. Kabupaten Brebes merupakan salah satu daerah penghasil cabai merah dengan proporsi 22,3 persen (301.131 ku) terhadap total produksi cabai merah yang dihasilkan pada tingkat Propinsi Jawa Tengah atau sekitar 1.353.525 ku (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Dati I Jawa Tengah, 1999). Melihat keragaan tersebut, maka Brebes diambil sebagai lokasi contoh dalam penelitian ini. Selanjutnya, diantara kecamatan lain di Kabupaten Brebes, Kecamatan Wanasari merupakan daerah yang memiliki luas panen dan produksi tertinggi. Pada tahun 1999 persentase luas panen dan produksi cabai merah Kecamatan Wanasari dibanding Kabupaten Brebes masing-masing mencapai 19,4 persen dan 15,5 persen. Pengambilan contoh dilakukan dengan metode acak berlapis, berdasarkan strata pemilikan/ penggarapan lahan untuk tanaman cabai merah, yaitu ≥ 0,5 ha; (0,25-<0,5) ha dan <0,25ha. Jumlah responden sebanyak 60 petani, masing-masing 20 petani setiap strata.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Agribisnis Cabai merah
Kecamatan Wanasari (terutama Desa Klampok) cukup representatif untuk dijadikan lokasi pengamatan karena dapat memberikan gambaran yang lengkap mengenai kinerja agribisnis cabai merah di Kabupaten Brebes, yaitu mulai dari aspek produksi sampai pemasaran.
Subsistem Produksi
Secara umum petani di lokasi contoh telah mengetahui teknik budidaya cabai merah. Usahatani cabai merah dilakukan di sawah irigasi dengan sistem tumpangsari dengan bawang merah. Terjadi kecenderungan semakin sempit luas lahan garapan maka biaya yang diperlukan untuk pembelian bibit semakin besar. Hal ini disebabkan
kekhawatiran petani terhadap resiko kegagalan, sehingga petani beranggapan bahwa semakin banyak bibit yang digunakan, semakin tinggi produksi yang dicapai. Penggunaan tenaga sangat terkait dengan cara penanaman yang dibedakan dalam dua cara. Cara pertama, melalui persemaian (biji ditanam di lahan lain) yang memerlukan waktu antara 25-30 hari. Cara tersebut memerlukan curahan tenaga untuk menyemai, mencabut tanaman dan memindahkan tanaman untuk selanjutnya ditanam pada lahan sawah (sekitar 23 HOK/ha) dengan sistem tumpangsari dengan bawang merah yang telah berumur 30 hari. Cara kedua, biji cabai yang digunakan sebagai benih langsung ditanam dengan sistem tumpangsari dengan bawang merah yang baru berumur 30 hari (TK yang diperlukan hanya 5 HOK/ha). Pada Tabel 1 ditampilkan rincian rata-rata penggunaan sarana produksi dan produktivitas usahatani cabai merah per hektar di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah pada MK-I 2000.
Tabel 1. Rata-rata penggunaan sarana produksi dan produktivitas cabai merah per hektar di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, MK-I 2000.
Luas garapan (ha) Uraian ≥ 0,5 (0,25 - < ,5) < 0,25 I. Sarana produksi 1. Bibit (Rp 000) 160-200 143-257 114-588 2. Pupuk - Urea (kg) - KCl (kg) - SP 36 (kg) - ZA (kg) - NPK (kg) 60-100 125-150 313-413 160-320 75-100 86-286 114-125 141-214 129-320 100-285 69-365 100-286 86-283 91-457 121-141 3. Obat-obatan (Rp000) 750-930 434-714 229-821 4. Tenaga kerja (HOK)
- Pengolahan tanah1)
- Tanam dan penyulaman DK
LK
- Pemeliharaan DK
LK
- Panen dan angkut DK LK borongan - 15-32 10-15 35-62 - 20-55 borongan 10-15 12-30 17-49 37-49 17-31 35-46 borongan 17-23 14-39 20-53 55-67 29-63 24-43 5. Sewa tanah (Rp000) 750-1000 1000-2150 887-1200
II. Produktivitas (ku/ha) 19-23 15-30 12-22
Sumber : Data primer, 2000
Keterangan : 1) Pengolahan tanah dilakukan pada waktu penanaman bawang merah, karena cabai merah ditanam secara tumpangsari dengan bawang merah
Dari hasil analisis biaya dan pendapatan usahatani cabai merah per hektar (Tabel 2), tampak bahwa nilai R/C untuk strata luas lahan garapan ≥ 0,5 ha, (0,25 - <0,5) ha dan < 0,25 ha bernilai >1,00 berarti usahatani cabai merah di lokasi contoh layak secara ekonomi untuk dikembangkan dalam skala yang lebih luas.
Tabel 2. Analisis biaya dan pendapatan usahatani cabai merah per hektar di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, MK-I 2000
Luas garapan (ha) Uraian ≥ 0,5 (0,25 - < 0,5) < 0,25 I. Biaya (Rp 000) 4.784 6.222 3.955 1. Sarana produksi: a. Bibit 180 193 260 b. Pupuk 908 1.752 948 c. Obat-obatan 930 844 356 2. Tenaga kerja 1.216 1.845 1.389 3. Sewa lahan 1.550 1.588 915 4. Pengairan - - 87 II. Penerimaan (Rp 000) 8.250 8.855 6.829 Keuntungan 3.466 2.633 2.874 R/C 1,72 1,42 1,73
III. Harga pokok (Rp/kg) 2.320 2.810 2.317 Sumber: Data primer, 2000
Sistem Pemasaran
Komoditas cabai merah dipasarkan dalam bentuk segar tanpa ada proses pengolahan. Petani menjual produknya kepada pedagang tingkat desa yang biasa menjadi pelanggannya, meskipun tidak tertutup kemungkinan petani menjual produknya secara bebas. Dalam hal ini harga beli di tingkat pedagang ditentukan oleh pedagang sehingga posisi petani terlihat lemah. Terutama pada petani yang telah terikat hutang permodalan kepada pedagang, sehingga produk cabai merah yang dihasilkan harus dijual kepada pedagang yang bersangkutan. Cara pembayaran dilakukan 1-2 hari kemudian setelah barang laku dijual oleh pedagang. Petani pada waktu menyerahkan barang hanya diberi nota oleh pedagang yang berisi catatan mengenai jumlah barang, harga dan nilai. Cara ini biasanya dilakukan oleh pedagang yang telah memberikan hutang permodalan kepada petani. Bagi petani yang tidak terikat hutang kepada pedagang, dapat bebas menjual kepada siapapun dan mencari pedagang yang berani membeli dengan harga yang lebih tinggi dan umumnya dibayar secara tunai pada saat transaksi. Namun terdapat kecenderungan harga beli di semua pedagang pengumpul di tingkat desa (lokasi contoh) sama.
Pada saat petani menjual produknya dalam jumlah relatif sedikit (<25 kg), maka petani akan membawa hasil panen ke tempat pedagang (“lampak”). Bila hasil panen terlihat banyak (>25 kg), maka petani akan mendatangi pedagang dan menyampaikan bahwa cabai yang ditanam akan dipanen. Pedagang akan memberikan karung dan hasil panen akan diambil oleh tenaga yang diupah pedagang, sehingga biaya panen dan pengangkutan tidak dibebankan petani.
Dari Gambar 1 terlihat bahwa rantai pemasaran dari mulai produsen (petani) sampai pada konsumen relatif pendek. Mengingat cabai merah dipasarkan dalam bentuk segar, mudah busuk sehingga harus cepat didistribusikan karena tidak dapat disimpan lama. Pemasaran cabai merah yang berasal dari Brebes hanya terbatas memasok wilayah Jawa (seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang dan Tegal).
Pedagang besar yang ada di Kabupaten Brebes juga memperoleh pasokan cabai merah dari Jawa Timur. Pada waktu panen raya ketersediaan cabai merah melimpah, sehingga pedagang pengumpul tingkat kecamatan dan pedagang besar memasok cabai merah ke perusahaan pengolahan untuk dikeringkan.
Gambar 1. Rantai pemasaran cabai merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Petani Pedagang Pengumpul Tingkat Desa Pedagang Pengumpul Tingkat Kecamatan Pedagang Besar Tingkat Kabupaten
Harga cabai merah di pasaran terlihat fluktuatif seperti halnya komoditas hortikultura lainnya. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh faktor musim dan tingkat serangan hama/penyakit. Ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan juga merupakan faktor penentu harga. Sebagai gambaran, pada bulan Agustus 2000 harga cabai merah di tingkat petani Rp 3000,00/kg dan cabai hijau Rp 1.000,00/kg. Sementara harga cabai merah di tingkat pedagang pengecer Rp 3.500,00/kg sedangkan cabai hijau Rp 1.750,00/kg. Analisis terhadap pemasaran cabai merah (di tingkat pedagang pengecer) ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Analisis pemasaran cabai merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Agustus 2000
Uraian Jumlah (Rp) 1. Pembelian a. Cabai merah : 360 kg x Rp 3000 1.080.000,00 b. Cabai hijau : 120 kg x Rp 1000 120.000,00 1.200.000,00 2. Biaya a. Pengarungan (TK + karung) 15.000,00 b. Bongkar muat 24.000,00 c. Transportasi 30.000,00 d. Timbang (Rp 1000/ku) 4.800,00 e. Retribusi (Rp 1000/ku) 4.800,00 Total biaya 78.600,00 Biaya per kg 163,75 3. Penjualan (penyusutan) a. Cabai merah : 338,4 kg x Rp 3500 1.184.400,00 b. Cabai hijau : 112,8 kg x Rp 1750 197.400,00 c. Total keuntungan 1.381.800,00 4. Keuntungan: 3 – (1+2) 103.200,00 a. Cabai merah 45.450,00 b. Cabai hijau 57.750,00 Keuntungan per kg: a. Cabai merah 134,31 b. Cabai hijau 511,97 Sumber : Data primer 2000 (tingkat pedagang pengecer)
Nilai Tukar Penerimaan Komoditas Cabai merah
Nilai tukar penerimaan (NTP) merupakan ratio antara penerimaan dari suatu komoditas terhadap biaya produksi yang dikeluarkan. NTP dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kinerja usahatani cabai merah.
NTP terhadap sarana produksi lebih kecil dibanding tenaga kerja (Tabel 4). Indikasi ini menggambarkan bahwa usahatani cabai merah merupakan usahatani padat modal dengan tingkat pengeluaran untuk pembelian saprodi lebih tinggi dibanding untuk membayar upah tenaga kerja yang dihitung berdasarkan HOK. Selisih upah antara tenaga kerja pria dan wanita sebesar Rp 2.500,00/ HOK dengan jumlah jam kerja yang sama. Alokasi biaya untuk tenaga kerja yang relatif lebih rendah dibanding pembelian sarana produksi disebabkan tanaman cabai merah merupakan tanaman tumpangsari dengan bawang merah, sehingga biaya pemeliharaan lebih banyak diperuntukkan tanaman bawang merah.
Tabel 4. Analisis biaya usahatani cabai merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, MK-2000 Luas garapan Uraian ≥ 0,5 ha (0,25-< 0,5) ha < 0,25 ha I. Biaya (Rp 000) 4.764 6.222 3.955 1. Sarana produksi 2.018 2.789 1.564 - Bibit 180 193 260 - Pupuk 908 1.752 948 - Obat-obatan 930 844 356 2. Tenaga kerja 1.216 1.845 1.389 3. Sewa tanah 1.550 1.588 915 4. Pengairan - - 87 II. Penerimaan (Rp 000) 8.250 8.855 6.829 R/C 1,72 1,42 1,73 III. Nilai tukar penerimaan
1. Terhadap sarana prod. 4,09 3,18 4,37 2. Terhadap bibit 45,83 45,88 26,27 3. Terhadap pupuk 9,09 5,05 7,20 4. Terhadap obat-obatan 8,87 10,49 19,18 5. Terhadap tenaga kerja 6,78 4,80 4,92
Dari hasil dekomposisi NTP terhadap sarana produksi, tampak bahwa NTP terhadap bibit, pupuk dan obat-obatan bervariasi berdasarkan luas lahan garapan. Namun demikian terdapat kecenderungan yang sama bahwa NTP terhadap bibit relatif lebih tinggi dibanding terhadap pupuk dan obat-obatan. Hal ini mengindikasikan bahwa pada semua strata lahan garapan, petani relatif memperhatikan faktor-faktor yang dapat meningkatkan produksi termasuk upaya mempertahankan tanaman dari serangan hama/penyakit. Semakin luas lahan garapan, NTP terhadap obat-obatan cenderung semakin kecil, artinya intensitas serangan hama/penyakit pada lahan garapan ≥ 0,5 ha
lebih tinggi dibanding lahan garapan (0,25 - < 0,5) ha dan < 0,25 ha, sehingga biaya yang dikeluarkan juga semakin besar.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi NTP Komoditas Cabai merah
Faktor-faktor yang mempengaruhi NTP komoditas cabai merah dibedakan atas faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal yang dimaksud berupa faktor-faktor yang ada atau dapat dikendalikan oleh petani, seperti halnya keputusan petani dalam menentukan luasan lahan garapan, penggunaan sarana produksi dan adopsi terhadap suatu inovasi teknologi. Secara keseluruhan, faktor internal akan saling terkait satu sama lain.
Sementara faktor eksternal merupakan faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh petani, seperti halnya musim, serangan hama/penyakit, mekanisme pasar yang sulit diprediksi petani, modal yang dimiliki petani dan resiko kegagalan panen yang sepenuhnya ditanggung petani. Selama ini posisi tawar petani yang lemah menyebabkan petani menerima harga jual, yang semata-mata keputusannya ditentukan oleh pedagang. Kesamaan harga cabai merah yang ditawarkan pedagang-pedagang tingkat desa mengakibatkan petani tidak mempunyai pilihan dalam mencari alternatif harga jual yang lebih tinggi, sehingga terjadi kecenderungan untuk menjual produknya pada pedagang yang sama. Terlebih lagi pada petani dengan luas lahan garapan < 0,25 ha bersikap lebih pasif dibandingkan petani dengan luas lahan garapan ≥ 0,5 ha, karena cabai merah yang dihasilkan lebih sedikit. Disamping itu sifat kondisi cabai yang mudah busuk dan selama ini petani belum berinisiatif untuk melakukan pengolahan cabai merah, merupakan faktor penekan harga jual yang diperoleh petani. Hal ini perlu mendapat perhatian karena NTP sangat ditentukan oleh harga jual yang diterima petani.
Nilai Tukar Barter Komoditas Cabai merah
Nilai tukar barter merupakan ratio antara harga komoditas pertanian terhadap harga sarana produksi dan barang konsumsi. Dalam kajian ini, nilai tukar barter komoditas cabai merah dihitung berdasarkan ratio antara harga cabai merah terhadap harga pupuk Urea, tingkat upah, harga makanan, harga non-makanan dan beras. Berarti nilai tukar barter cabai merah menggambarkan tingkat daya tukar harga cabai merah terhadap sarana produksi dan barang konsumsi.
Pada periode 1992-2000 nilai tukar barter cabai merah terhadap pupuk Urea di Propinsi Jawa Tengah, terlihat berfluktuasi (Tabel 5). Dari tahun 1996-1997, di Propinsi
Jawa Tengah cenderung terjadi penurunan nilai tukar barter yang relatif tajam. Hal ini kemungkinan terjadi karena meningkatnya harga pupuk Urea sebagai dampak dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, sehingga beberapa harga saprodi mengalami kenaikan harga untuk mengimbangi terjadinya kenaikan biaya produksi. Sementara itu, nilai tukar barter cabai merah terhadap upah di Jawa Tengah relatif lebih rendah dibanding pupuk Urea. Daya tukar harga cabai merah terhadap makanan di Propinsi Jawa Tengah juga menunjukkan adanya fluktuasi, pada tahun 1992-1994 cenderung meningkat, berarti harga cabai merah meningkat lebih tinggi dibanding harga makanan.
Tabel 5. Perkembangan nilai tukar barter cabai merah di Jawa Tengah, 1992-2000 Nilai tukar barter terhadap
Tahun Pupuk Urea Upah Makanan Non-makanan Beras 1992 4,72 0,79 1,07 0,18 1,83 1993 8,10 1,28 1,82 0,29 3,61 1994 9,44 1,38 2,01 0,35 3,40 1995 4,50 1,00 1,52 0,28 2,46 1996 8,10 1,60 2,58 0,47 4,42 1997 4,63 1,24 1,93 0,35 3,81 1998 4,92 0,99 1,17 0,28 2,45 1999 6,52 - - - 3,97 2000 - - - - 4,59
Sumber : Badan Pusat Statistik (data diolah)
Adapun daya tukar harga cabai merah terhadap harga non-makanan di Jawa Tengah menunjukkan pola yang sama. Artinya terjadi kecenderungan pada petani cabai merah dalam mengkonsumsi non-makanan lebih tinggi harganya dibanding dengan harga jual cabai merah, sehingga perolehan nilai tukar barter cabai merah relatif kecil. Fenomena ini merupakan suatu indikator bahwa petani cabai merah di Jawa Tengah telah banyak dipengaruhi oleh promosi produk non-makanan yang pada dekade tersebut telah gencar merambah ke daerah pedesaan melalui media elektronik, baik radio maupun televisi.
Nilai tukar barter cabai merah terhadap beras tampak berfluktuasi, namun secara keseluruhan harga cabai merah selalu lebih tinggi daripada harga beras. Adanya intervensi pemerintah terhadap kebijakan perberasan ikut mempengaruhi nilai tukar barter komoditas pertanian lain terhadap beras.
Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Harga Cabai merah
Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijaksanaan sebagai upaya untuk mengembangkan komoditas hortikultura. Sutrisno (2000) dan Winarno (2000) dalam Hadi (2000) mengungkapkan bahwa program pengembangan hortikultura yang ditempuh meliputi: (1) Program Ketahanan Pangan yang bertujuan agar masyarakat mampu memperoleh dan mengkonsumsi produk hortikultura sepanjang tahun dengan harga yang terjangkau melalui peningkatan produksi, produktivitas, pendapatan/kesejahteraan petani serta kesempatan kerja on-farm dan off-farm; (2) Program Pengembangan Agribisnis yang bertujuan meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan daya saing dengan cara peningkatan efisiensi manajemen usaha, penggunaan skala efisien dan pemilihan komoditas bernilai ekonomi tinggi yang berorientasi pada pasar, baik domestik maupun ekspor; dan (3) Program Rintisan Korporasi melalui pembinaan kerjasama ekonomi dalam kelompok tani melalui konsolidasi manajemen usahatani dalam skala efisien usaha dan manajemen profesional untuk menciptakan nilai tambah sehingga efisiensi usaha dan daya saing komoditas dalam jangka panjang dapat meningkat.
Semula pemerintah menetapkan tarif impor cukup tinggi pada perdagangan internasional, yang bertujuan: (1) melindungi produsen dalam negeri dari persaingan komoditas impor sejenis sekaligus mendorong petani meningkatkan produksinya, dan (2) menciptakan pendapatan pemerintah. Tarif yang berlaku umum untuk komoditas hortikultura pada tahun 1995 berkisar antara 10-30 persen untuk produk segar dan dingin, namun pada tahun 1999 menurun menjadi 5 persen. Secara teoritis hal ini akan mengakibatkan peningkatan impor dan menurunkan harga komoditas hortikultura di pasar dalam negeri (Hadi, 2000).
Kebijaksanaan pembangunan pertanian didekati dengan tingkat produksi, sedangkan dampak yang diamati adalah tingkat harga yang diterima petani. Mengingat harga mempunyai peranan penting dalam pembentukan penerimaan/ pendapatan dari usahatani. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga cabai merah (Tabel 6)
menunjukkan bahwa di Jawa Tengah, peningkatan produksi mengakibatkan penurunan harga secara nyata. Jawa Tengah termasuk sebagai salah satu sentra produksi dan cabai merah merupakan komoditas yang mudah rusak, sehingga peningkatan produksi secara langsung akan menurunkan harga.
Indeks Harga Konsumen (IHK) pedesaan berpengaruh positif nyata terhadap harga cabai merah. Fenomena ini menggambarkan bahwa perkembangan harga cabai merah mengikuti perkembangan tingkat inflasi, sehingga harga riil yang diterima petani cenderung meningkat.
Tabel 6. Nilai dugaan regresi dan faktor-faktor yang mempengaruhi harga cabai merah tingkat produsen
Variabel Jawa Tengah
Intercept 12,9502*** Produksi -0,5868***
IHK pedesaan 1,0596***
Adj. R2 0,6467
Keterangan: *** = Nyata pada tingkat kepercayaan 99%
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan
1. Dari hasil analisis biaya dan pendapatan, usahatani cabai merah di Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes layak secara ekonomi untuk dikembangkan dalam skala yang lebih luas.
2. Nilai tukar penerimaan terhadap sarana produksi lebih kecil dibanding dengan nilai tukar penerimaan terhadap tenaga kerja, berarti tingkat pengeluaran untuk pembelian sarana produksi lebih tinggi dibanding untuk membayar upah tenaga kerja.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar penerimaan berupa (1) faktor internal, yaitu tingkat penerapan teknologi budidaya cabai merah, penggunaan sarana produksi, tingkat produktivitas dan posisi tawar petani yang lemah; serta (2) faktor eksternal, yaitu sistem pasar yang sangat menentukan harga jual cabai merah.
4. Pada periode 1992-2000, nilai tukar barter terhadap pupuk Urea dan beras relatif lebih tinggi dibanding dengan nilai tukar barter terhadap upah, makanan dan non-makanan.
5. Perkembangan harga cabai merah mengikuti perkembangan tingkat inflasi, sehingga harga riil yang diterima petani cenderung meningkat.
Implikasi Kebijaksanaan
Peningkatan nilai tukar petani dapat dilakukan dengan mengintroduksikan inovasi teknologi cabai merah, pengendalian harga sarana produksi serta penanganan harga jual sehingga harga yang diterima petani masih memberikan keuntungan usahatani. Pencatatan dan penyebarluasan informasi harga yang saat ini sudah berjalan perlu ditingkatkan sehingga dapat terliput keadaan pada saat puncak dan lesunya transaksi cabai merah setiap hari.
Perlu diupayakan pola pengembangan usahatani cabai merah yang diarahkan pada terbentuknya sentra-sentra produksi berskala ekonomi dengan penggunaan teknologi tepat guna serta dikaitkan dengan pola kemitraan sebagai langkah meningkatkan kesejahteraan petani, sekaligus sebagai alternatif penanganan harga yang menguntungkan bagi petani.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, E., F. Kasryno, S. Ibrahim dan B. Bachtiar. 1980. Laporan Hasil Penelitian Studi Kebijaksanaan Nilai Tukar Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi bekerjasama dengan Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Biro Pusat Statistik. 1989. Nilai Tukar Petani Jawa Madura (1983=100) dan sepuluh propinsi di Luar Jawa (1987=100).
________________. Struktur Ongkos Usahatani Padi dan Palawija, (1990-1998).
Hadi, PU., H. Mayrowani, Supriyati dan Sumedi. 2000. Reviev dan Outlook Pengembangan Komoditas Hortikultura. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan. Bogor, 9-10 Nopember 2000.
Hutabarat, B., H. Mayrowani, B. Winarso, C. Muslim, V. Darwis, B. Rahmanto, Waluyo, B. Santoso dan M.H.T. Kalo. 1999. Laporan Hasil Penelitian Sistem Komoditas Bawang Merah dan Cabai Merah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor
Killick, T. 1981. Policy Economics. A Textbook of Applied Economics on Developing Countries. The English Language Book Society.
Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Propinsi Dati I Jawa Tengah Semarang.
Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Kabupaten Dati II Brebes. Brebes.
Simatupang, P. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian. Jurnal Agro Ekonomi, 11 (1): 37-50.
Sudaryanto, T., Prayogo U. Hadi, SH. Susilowati dan E. Suryani. 1999. Perkembangan Kebijaksanaan Harga dan Perdagangan Komoditas Pertanian. Laporan Hasil Pengkajian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Petanian. Bogor.
Sukarja, R., Sendjaja, T. dan A. Sudradjat. 1981. Studi Kebijaksanaan Nilai Tukar Komoditi Pertanian. Kerjasama Pusat Penelitian Agro Ekonomi dengan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Bandung
Supriyati, M. Rachmat, K.S. Indraningsih, T. Nurasa, Roosgandha dan R. Sayuti. 2000. Laporan Hasil Penelitian Studi Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas Pertanian.
Timmer, C.P., W.P. Falcon, and S.R. Pearson. 1983. Food Policy Analysis. Johns Hopkins University Press. Baltimore.