• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Melalui proses perkawinan, maka seorang individu membentuk sebuah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Melalui proses perkawinan, maka seorang individu membentuk sebuah"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Commuter Marriage

II.A.1. Definisi Commuter Marriage

Melalui proses perkawinan, maka seorang individu membentuk sebuah lembaga sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah, kemudian terdapat peran dan status sosial baru sebagai suami atau istri, dimana umumnya dalam keluarga yang baru terbentuk tersebut, suami dan istri tinggal dalam satu rumah bersama dengan anak-anak mereka. Namun, dengan berbagai alasan terdapat keadaan dimana suatu keluarga tidak dapat tinggal satu atap, karena salah satu pasangan harus ditugaskan diluar kota seperti, suami yang harus bekerja misalnya di lepas pantai, atau untuk mempertahankan profesi atau pekerjaan masing-masing pasangan di kota yang berbeda. Pasangan suami istri yang dalam kurun waktu tertentu tingggal terpisah inilah yang dapat dikatakan sebagai pasangan commuter marriage.

Commuter sendiri berasal dari kata “Commuting” yang berarti perjalanan yang selalu dilakukan seseorang antara satu tempat tinggal dengan tempat bekerja atau tempat belajar. Marriage dapat diterjemahkan sebagai perkawinan yaitu pengikatan janji nikah yang dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud mensahkan suatu ikatan (Wikipedia, 2009).

(2)

Dari beberapa definisi tentang commuter marriage, salah satu yang kerap dipakai sebagai acuan adalah definisi dari Gerstel and Gross; Orton and Crossman (dalam, Marriage and Family Encyclopedia 2009) . Definisi tersebut adalah sebagai berikut:

“Commuter marriage is a voluntary arrangement where dual-career couples maintain two residences in different geographic locations and are separated at least three nights per week for a minimum of three months”.

Terjemahan:

Commuter marriage merupakan keadaan perkawinan yang terbentuk secara sukarela dimana pasangan yang sama-sama bekerja mempertahankan dua tempat tinggal yang berbeda lokasi geografisnya dan (pasangan tersebut) terpisah paling tidak tiga malam per minggu selama minimal tiga bulan.

Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa commuter marriage merupakan kondisi perkawinan dimana pasangan suami istri harus tinggal terpisah secara geografis dalam jangka waktu tertentu, perpisahan tersebut bersifat sementara tidak untuk selamanya. Lebih lanjut lagi, kondisi keterpisahan itu telah diputuskan oleh pasangan suami istri secara sukarela tanpa paksaan pihak lain, bukan karena adanya masalah dalam perkawinan, seperti perceraian.

(3)

Sejalan dengan pernyataan tersebut, Rhodes (2002) menyatakan bahwa commuter marriage adalah:

“Men and women in dual-career marriages who desire to stay married, but also voluntarily choose to pursue careers to which they feel a strong commitment. They establish separate homes so they can do so”.

Terjemahan:

Pria dan wanita dalam perkawinan dual-career yang ingin tetap berada dalam ikatan perkawinan, tetapi juga secara sukarela memilih untuk tetap berkarir dengan komitmen yang kuat. Mereka memutuskan untuk berpisah rumah sehingga mereka tetap bisa berkarir.

Maksud dari pengertian diatas bahwa commuter marriage adalah pasangan suami istri yang sama-sama bekerja dan telah berkomitmen untuk tetapmenjalani karir sambil mempertahankan perkawinannya, dan memilih untuk berpisah tempat tinggal yang merupakan konsekuensi agar mereka dapat menjalani karirnya.

Torsina (dalam Ekasari.dkk, 2007), menyatakan bahwa commuter marriage merupakan pernikahan yang karena alasan khusus menyebabkan pasangan suami istri tidak dapat tinggal serumah. Rhodes (2002) juga menambahkan bahwa pasangan yang tinggal di rumah yang berbeda juga disebut commuter marriage. Lebih lanjut dijelaskan bahwa commuter marriage

(4)

merupakan kondisi yang mengharuskan suami dan istri tinggal terpisah karena berbagai alasan khusus, selain karena tuntutan pekerjaan juga dapat disebabkan oleh tuntutan pendidikan, atau keadaan ekonomi keluarga. Jadi meskipun Gerstel and Gross; Orton and Crossman (dalam, Marriage and Family Encyclopedia 2009) dan Rhodes (2002) menyatakan bahwa commuter marriage merupakan pasangan dual career, sebenarnya konsep commuter marriage mencakup lingkup yang lebih luas; bisa pasangan dual career, bisa pasangan single career.

Jadi, dari beberapa defenisi yang ada maka peneliti berpendapat bahwa commuter marriage adalah kondisi perkawinan dimana pasangan suami istri secara rela berpisah lokasi tempat tinggal dengan pasangannya karena ada suatu keadaan tertentu, seperti menjalani pekerjaan atau menyelesaikan pendidikan, dilokasi geografis yang berbeda dengan tempat tinggalnya sambil tetap mempertahankan perkawinan mereka. Kondisi commuter marriage tersebut telah disepakati masing-masing pasangan perkawinan.

II.A.2. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Commuter Marriage

Ada beberapa faktor utama yg mempengaruhi terjadinya commuter marriage menurut Anderson (1992), yaitu sebagai beikut:

a) Meningkatnya jumlah tenaga kerja wanita, dengan banyaknya wanita yang memilih untuk bekerja maka semakin banyak juga pasangan yang menikah yang menjalani commuter marriage.

b) Meningkatnya jumlah pasangan yang sama-sama bekerja. Pada saat ini sudah banyak pasangan suami istri yang sama-sama bekerja. Entah

(5)

disebabkan karena tuntuan ekonomi atau gaya hidup, yang meningkatkan kemungkinan keluarga menjalani keadaan commuter. c) Meningkatnya jumlah wanita yang mencari karir dengan training

khusus, yang mana mengharuskan mereka untuk tinggal dikota yang berbeda dengan pasangannya

d) Faktor lain yang juga mempengaruhi commuter marriage adalah pekerjaan yang menuntut orang untuk berpindah-pindah lokasi geografis mereka harus berpisah dengan pasangannya untuk sementara waktu. Misalnya, salah satu pasangan dituntut untuk bekerja diluar kota untuk sementara waktu dan sementara pasangannya tetap tinggal untuk menjaga anak-anak.

Selain faktor yang telah dikemukakan diatas, Mardien & Prihantina (dalam Ekasari.dkk, 2007), juga menjelaskan beberapa faktor penyebab terbentuknya commuter marriage, sebagai berikut :

1. Karir dan pekerjaan. Tuntutan studi dan karir tidak jarang membuat suami istri terpisah oleh jarak. Misalnya istri tidak bisa tinggal bersama dengan suami yang bertugas atau menjalani pendidikan dikota berbeda untuk kurun waktu tertentu, karena harus menjaga anak-anak yang masih sekolah.

2. Tuntutan ekonomi dan pola hidup. Misalnya, untuk individu yang hendak meningkatkan perekonomian keluarga dengan menjadi tenaga kerja di luar negeri.

(6)

3. Penolakan hidup bersama, yaitu istri menolak untuk pindah mengikuti suami dengan berbagai alasan, seperti; suami belum memiliki tempat tinggal sendiri, menunggu harta orangtua atau keluarga, atau menjaga orangtua yang kondisi kesehatanya kurang baik.

II.A.3. Jenis - Jenis Commuter Marriage

Berikut terdapat beberapa jenis commuter marriage. Menurut Harriett Gross (dalam marriage and family encyclopedia, 2009), ada dua tipe dari pasangan commuter marriage, yaitu:

1. Pasangan adjusting, yaitu pasangan suami istri yang usia perkawinnanya cenderung lebih muda, menjalani commuter marriage di awal pernikahan, dan memiliki sedikit atau tidak ada anak.

2. Pasangan established, yaitu pasangan suami istri yang usia perkawinannya lebih tua, telah lama bersama dalam perkawinan dan memiliki anak yang sudah dewasa yang telah keluar dari rumah.

Pasangan established cenderung lebih sedikit mengalami stress dalam commuter marriage daripada pasangan adjusting. Kondisi ini disebabkan oleh perbedaan dalam hal dominasi masalah perkawinan. Trust menjadi masalah yang lebih besar bagi pasangan adjusting, sementara mempertahankan kenikmatan dalam hubungan menjadi masalah utama pasangan established.

Dalam pernyataan diatas telah disebutkan bahwa pasangan adjusting lebih sering mengalami stress. Hal ini disebabkan karena mereka mengalami

(7)

kecemasan yang lebih besar ketika mereka akan tinggal terpisah di kota yang berbeda, dan memandang bahwa keadaan tersebut akan membahayakan keutuhan perkawinan mereka. Begitu juga halnya dengan trust, yang menjadi masalah besar bagi pasangan adjusting. Hal ini disebabkan karena pasangan ini menjalani commuter marriage di tahap awal perkawinan, dimana diantara mereka belum tercipta keyakinan sepenuhnya. Akibatnya, timbul rasa takut kehilangan keintiman antara suami istri dalam menjalani rutinitas sehari-hari yang baru mereka jalani.

II.B. TRUST

II.B.1 Definisi Trust

Dari beberapa definisi tentang trust, salah satunya adalah dari American Heritage Dictionary (dalam Geller, 1999). Dikatakan bahwa trust is "confidence in the integrity, ability, character, and truth of a person or thing".

Terjemahan bebas:

Trust merupakan keyakinan akan integritas, kemampuan, karakter dan kebenaran dari seseorang atau sesuatu.

Dalam pengertian diatas terlihat bahwa trust merupakan keyakinan atau kepercayaan satu pihak akan integritas, kemampuan, karakter dan kebenaran yang dimiliki oleh pihak lain. Jadi trust menyangkut dua pihak, pihak pertama memiliki trust yang ditujukan kepada pihak kedua. Pihak pertama memberikan kepercayaan terhadap kemampuan atau kebenaran dari pihak kedua.

Sealain itu, menurut Worchel (dalam, Lau & Lee 1999) trust merupakan kesediaan (willingness) individu untuk menggantungkan dirinya pada pihak lain

(8)

dengan resiko tertentu. Sedangkan, Moorman, Deshpande, dan Zaltman (dalam Darsono, 2008) mendefinisikan trust sebagai kesediaan (willingness) individu untuk menggantungkan dirinya pada pihak lain yang terlibat dalam pertukaran informasi karena individu mempunyai keyakinan (confidence) kepada pihak lain tersebut. Seperti yang tergambar pada definisi-definisi diatas, resiko terjadi karena adanya ketidak selarasan keyakinan dengan kenyataan. Misalnya, pihak lain yang dipercaya mengkhianati kepercayaan yang diberikan, bahwa integritas, kemampuan, karakter dan kebenaran pihak lain tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.

Hal ini juga selaras dengan pernyataan, Lewis dan Weigert (dalam Lau dan Lee, 1999) bahwa trust merupakan keyakinan yang penuh resiko. Sesuai dengan pandangan Boon dan Holmes (dalam Lau dan Lee, 1999), yang mendefinisikan trust sebagai tahapan yang melibatkan keyakinan akan adanya pengharapan positip tentang motif orang lain dan respek terhadap orang lain dalam situasi yang beresiko. Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa dalam mempercayai orang lain terdapat suatu resiko. Bila seseorang memberikan kepercayaan kepada orang lain, maka ia juga akan menghadapi resiko bahwa kepercayaannya tersebut tidak terpenuhi.

Jadi, dari beberapa definisi yang telah disampaikan diatas maka peneliti berpendapat bahwa trust adalah keyakinan dan kesediaan seseorang untuk mempercayai integritas, kemampuan, karakter dan kebenaran yang dimiliki oleh pihak lain. Dalam mempercayai pihak lain tersebut terdapat resiko harapan dan kepercayaanya tidak terpenuhi. Dalam mempercayai seseorang ada dua hal yang

(9)

terjadi yaitu kemampuan untuk mempercayai orang lain dan kesedian untuk mengambil resiko.

II.B.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Trust

Kepercayaan kita terhadap pihak lain dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut Rakhmat (1992), ada tiga faktor yang berhubungan dengan trust, yaitu :

a. Karakteristik dan maksud orang lain. Orang akan menaruh kepercayaan kepada seseorang yang dianggap memiliki kemampuan, keterampilan atau pengalaman. Trust dipengaruhi oleh persepsi kita terhadap maksud atau keinginan orang lain dalam hubungannya dengan maksud atau keinginan kita. Kita akan percaya pada orang yang mempunyai maksud atau keinginan yang sama dengan kita.

b. Hubungan kekuasaan. Trust tumbuh apabila orang-orang mempunyai kekuasaan terhadap orang lain. Bila saya tahu bahwa anda akan patuh dan tunduk kepada saya, saya akan mempercayai anda.

c. Sifat dan kualitas komunikasi. Bila komunikasi bersifat terbuka, maksud dan tujuan sudah jelas, bagi kedua pihak maka trust berkembang dengan baik.

Selain itu ada bebrapa faktor utama yang dapat menumbuhkan trust yakni mengembangkan komunikasi yang didasarkan pada sikap percaya: menerima, empati dan kejujuran.

Menerima adalah sikap yang melihat orang lain sebagai manusia, sebagai individu yang patut dihargai. Menerima bukan berarti menyetujui semua prilaku

(10)

orang lain atau rela menanggung akibat-akibat perilakunya, karena bisa saja individu tidak menyetujui perilaku pihak lain tersebut karena pihak lain itu sebagai manusia yang patut dihargai. Menerima berarti tidak menilai pribadi orang hanya berdasarkan perilakunya yang kita senangi saja (Rakhmat, 1992).

Empati adalah faktor kedua yang menumbuhkan trust pada diri orang lain. Menurut Hogg & Vaughan (2002), empati adalah kemampuan untuk merasakan pengalaman orang lain baik itu emosi, sikap dan perasaan orang lain.

Kejujuran adalah faktor ketiga yang menumbuhkan trust. Kita tidak menaruh kepercayaan kepada orang yang tidak jujur atau sering menyembunyikan pikiran dan pendapatnya. Kita menaruh kepercayaan kepada orang yang terbuka, atau tidak mempunyai pretense yang dibuat-buat. Kejujuran menyebabkan prilaku kita dapat diduga. Ini mendorong orang lain untuk percaya kepada kita (Rakhmat, 1992).

II.B.3 Jenis-jenis Trust

Menurut Johnson, George & Swap (dalam Feldman, 1995), trust dibagi dalam dua bentuk yaitu :

a. Reliability trust

Reliabilitas trust merupakan rasa percaya yang didasari harapan bahwa pasangan akan melakukan apa yang telah pasangannya katakan.

b. Emotional trust

Emotional trust terjadi ketika rasa percaya terbentuk karena ikatan emosional yang terbentuk. Seseorang merasa bahwa pasangannya terikat

(11)

secara emosional dengannya dan perasaan emosional tersebut dapat menghubungkan kedua pasangan.

II.B.4 Komponen Trust

Menurut Johnson & Johnson (1997) komponen trust meliputi untuk dapat percaya (trusting) dan dapat dipercaya (trustworthy). Trusting mencakup keterbukaan (openness) dan saling berbagi (sharing), dan trustworthy mencakup penerimaan (acceptance), dukungan (support) serta niat untuk bekerjasama (cooperative intentions)

Yang dimaksud dengan tingkah laku trusting adalah :

1. Kemauan untuk mengambil resiko terhadap akibat yang baik ataupun buruk.

2. Perilaku yang melibatkan keterbukaan diri dan kemauan untuk diterima dan didukung secara terbuka oleh orang lain.

Aspek-aspek trusting adalah :

1. Openness yaitu kesediaan membagi informasi, ide-ide, pemikiran, perasaan dan reaksi mengenai isu-isu yang terjadi.

2. Sharing yaitu menawarkan bantuan material dan sumber daya kepada orang lain dengan tujuan untuk membantu pihak lain menuju penyelesaian tugas.

Yang dimaksud dengan tingkah laku trustworthy adalah :

1. Kemampuan untuk merespon terhadap resiko yang telah diambil orang lain yang meyakinkan bahwa orang tersebut akan menerima akibat yang baik.

(12)

2. Perilaku yang melibatkan penerimaan terhadap kepercayaan orang lain. Aspek-aspek trustworthy adalah :

1. Acceptance yaitu melakukan komunikasi dengan orang lain dan menghargai pendapat mereka tentang suatu hal yang sedang dibicarakan. 2. Support yaitu komunikasi dengan orang lain diketahui kemampuannya dan

percaya bahwa dia mempunyai kapabilitas yang dibutuhkan.

3. Cooperative intentions yaitu harapan bahwa seseorang dapat bekerja sama dan bahwa orang lain juga dapat bekerja sama untuk mencapai pemenuhan tujuan.

Penerimaan (acceptance) mungkin merupakan komponen yang pertama dan paling dalam yang muncul dalam suatu hubungan. Acceptance terhadap orang lain biasanya disertai dengan acceptance terhadap diri sendiri. Seorang individu harus dapat menerima diri mereka sendiri sebelum mereka dapat sepenuhnya menerima orang lain. Jika seseorang merasa tidak diterima, maka frekuensi dan partisipasinya dalam berhubungan dengan orang lain akan berkurang. Untuk membangun trust dan memperdalam hubungan dengan orang lain, setiap individu harus bisa mengkomunikasikan acceptance, support dan cooperativeness (Johnson & Johnson, 1997).

Menurut Johnson & Johnson (1997), kunci membangun dan mempertahankan trust adalah menjadi trustworthy. Semakin tinggi acceptance dan supportive seseorang terhadap orang lain, maka orang lain akan semakin dapat mengemukakan pemikirannya, ide-ide, kesimpulan-kesimpulan, perasaan dan reaksinya. Semakin trustworthy seseorang dalam merespon keterbukaan

(13)

orang lain, maka semakin dalam dan personal pemikiran yang akan dibagikan orang lain. Jika seseorang ingin meningkatkan trust maka trustworthiness harus ditingkatkan.

Keterampilan utama yang penting dalam mengkomunikasikan acceptance, support dan cooperativeness melibatkan pengekspresian kehangatan, pengertian yang akurat dan keinginan bekerja sama. Ada bukti-bukti yang menyatakan bahwa ekspresi semacam itu dapat meningkatkan trust dalam suatu hubungan bahkan ketika ada konflik yang tidak terselesaikan antara individu yang terlibat (Johnson & Johnson, 1997).

II.B.5 Membangun Trust

The Dynamics of Interpersonal Trust

High acceptance, support, Low acceptance, support, and cooperativeness and cooperativeness High openness

and sharing

Low openness and sharing

figure 1.1 The dynamics of interpersonal trust (Johnson & Johnson, 1997) Trusting Person A Confirmed Trustworthy Person B Confirmed Trusting Person A Disconfirmed Untrustworthy Person B No risk Distrusting Person A No risk Trustworthy Person B Disconfirmed Distrusting Person A No risk Untrustworthy Person B No risk

(14)

Johnson & Johnson (1997) mengatakan bahwa untuk dapat membangun hubungan secara efektif dan mencapai hasil maksimal, setiap individu harus mengembangkan hubungan trust yang saling menguntungkan. Trust dibangun melalui tahap-tahap trusting dan trustworthy. Misalnya jika seseorang (A) mengambil resiko untuk membuka diri, dia mungkin akan mendapat konfirmasi ataupun tidak, tergantung pada apakah individu (B) merespon dengan penerimaan atau penolakan. Jika individu (B) mengambil resiko dengan penerimaan atau kooperatif, dia juga akan mendapat konfirmasi ataupun tidak, tergantung apakah individu tadi (A) terbuka atau tertutup.

Jika individu menyatakan pendapatnya dan tidak menerima penerimaan yang dibutuhkannya, maka individu tersebut mungkin akan menarik diri dari hubungan yang sudah terjalin tersebut. jika individu diterima, ia akan tetap mengambil resiko dengan berani terbuka mengenai apa yang dipikirkan dan dilihatnya sehingga dapat mengembangkan hubungannya dengan orang lain.

Interpersonal trust dibangun dengan resiko dan konfirmasi serta dihancurkan dengan resiko dan diskonfirmasi. Tanpa resiko tidak akan ada trust, dan hubungan tersebut tidak akan mengalami perkembangan. Langkah-langkah dalam membangun trust adalah sebagai berikut :

1. Individu A mengambil resiko dengan mengemukakan pemikirannya, informasi, kesimpulan, perasaan dan reaksi terhadap suatu situasi kepada individu B.

2. Individu B merespon dengan acceptance, support dan cooperativeness serta membahas keterbukaan individu A dengan mengemukakan

(15)

pemikirannya, informasi, kesimpulan dan perasaan serta reaksi terhadap suatu situasi kepada individu A.

Cara lain membangun trust adalah :

1. Individu B mengkomunikasikan acceptance, support, dan cooperativeness terhadap individu A.

2. Individu A merespon dan mengemukakan pemikirannya, informasi, kesimpulan, perasaan dan reaksi terhadap situasi kepada individu B.

II.B.6 Menurunkan Trust

Untuk meningkatkan trust, seseorang harus membuka diri dan mau dikritik untuk melihat apakah orang lain menyalahgunakan hal tersebut. Banyak percobaan yang diperlukan sebelum tingkat trust antara dua orang menjadi sangat tinggi. Hanya sekali pengkhianatan untuk membangun distrust, dan sekali distrust terbangun, maka distrust tersebut akan secara ekstrim melakukan perlawanan terhadap perubahan. Distrust sulit untuk berubah karena data menimbulkan suatu persepsi bahwa walaupun seseorang berusaha untuk memperbaiki diri, pengkhianatan akan berulang kembali di masa yang akan datang (Johnson & Johnson, 1997).

Terbentuknya distrust merupakan hal negatif karena beberapa alasan. Pertama ketika seseorang distrust kepada orang lain, maka hubungan yang dibangun akan sia-sia (Kerr, dalam Johnson & Johnson, 1997). Kedua, ketika individu tidak memiliki trust satu dengan yang lainnya mereka sering berlomba-lomba untuk mempertahankan keinginan mereka sendiri. Ketiga, distrust dapat

(16)

meningkatkan konflik yang destruktif antara seorang individu dengan individu lain (Johnson & Johnson, 1997).

Ada tiga jenis perilaku yang dapat menurunkan trust dalam suatu hubungan (Johnson & Johnson, 1997). Pertama, adanya penolakan, ejekan dan tidak menghargai sebagai respon terhadap keterbukaan orang lain. Membuat lelucon yang merugikan orang lain, menertawakan saat seseorang membuka diri, menghakimi perilakunya, atau menjadi diam merupakan cara untuk menyampaikan penolakan dan dapat merusak trust dalam hubungan. Kedua, tidak adanya openness yang timbal balik. Jika seseorang tertutup dan seseorang lagi terbuka, maka trust tidak akan terjadi. Terakhir, adalah menolak untuk mengemukakan pemikiran, informasi, saran, perasaan dan reaksi setelah orang lain telah menunjukan adanya acceptance, support dan cooperativeness.

II. C. Gambaran Trust Pada Istri yang Menjalani Commuter Marriage

Bagi kebanyakan orang, hubungan perkawinan dipandang sebagai hubungan yang sangat intim dan merupakan hubungan yang berlangsung lama bila dibandingkan dengan semua hubungan dekat yang ada (Lemme, 1995). Dari hasil penelitian tentang perkawinan, kualitas perkawinan yang baik ditandai oleh komunikasi yang baik, keintiman dan kedekatan, seksualitas, kejujuran dan kepercayaan yang kesemuanya itu menjadi sangat penting untuk menjalin relasi perkawinan yang memuaskan (dalam Sadarjoen, 2005).

Dalam perkawinan jarak jauh atau commuter marriage, trust dan komitmen cenderung dinilai tinggi bagi pasangan yang berhasil

(17)

menegosiasikannya (Maines, 1993). Dalam perkawinan commuter ini juga diperlukan trust, kejujuran dan kesetiaan. Apabila salah satu pasangan mulai tidak jujur dan tidak percaya maka pasangan yang lain akan sendirinya merasa tidak aman dan tidak nyaman (Sadarjoen, 2007). Keberhasilan yang sangat penting dalam commuter marriage adalah dasar kepercayaan atau trust, dukungan dari pasangan, komitmen yang kuat pada perkawinan dan pasangan, dan komunikasi yang terbuka antara pasangan (Farris, 1978).

Kepercayaan atau trust sendiri merupakan aspek penting dalam semua hubungan, terutama dalam hubungan perkawinan. Menurut Hendrick & Hendrick (1992) trust merupakan faktor yang diperlukan untuk tercapainya hubungan yang sukses. Menurut Johnson & Johnson (1997), trust merupakan aspek dalam suatu hubungan secara terus menerus berubah serta bervariasi. Henslin (dalam King, 2002) memandang trust sebagai harapan dan kepercayaan individu terhadap reliabilitas orang lain. Pondasi dari trust meliputi saling menghargai satu dengan yang lainnya dan menerima adanya perbedaan (Carter, 2001). Individu yang memiliki trust tinggi cenderung lebih disukai, lebih bahagia, dianggap lebih menarik oleh pasangannya, lebih mudah beradaptasi, dan dianggap sebagai orang yang paling dekat dibandingkan individu yang memiliki trust rendah (Marriages, 2001).

Menurut Johnson & Johnson (1997) tingkat trust dalam sebuah hubungan dapat berubah sesuai dengan kemampuan dan kemauan setiap orang untuk dapat percaya (trusting) dan dapat dipercaya (trustworthy). Dalam commuter marriage sendiri, trust menjadi masalah besar bagi pasangan adjusting karena pasangan ini

(18)

menjalani commuter marriage di awal perkawinan dimana diantara mereka belum tercipta keyakinan sepenuhnya.

Roehling & Bultman (2002) menjelaskan bahwa pasangan yang tidak tinggal bersama anak-anak dapat fokus pada karir, namun pasangan lain, biasanya istri yang tinggal dengan anak merasakan peran sebagai orang tua tunggal. Oleh sebab itu, kehidupan istri menjadi lebih kompleks dan merasakan peran sebagai orang tua tunggal. Dalam commuter marriage kurangnya kehadiran pasangan dan terhambatnya kontak nonverbal juga dapat mempengaruhi keintiman pasangan (Scoot, 2002). Menurut Thompson & Walker (dalam Papalia, 2003) pada wanita keintiman memerlukan adanya rasa saling berbagi perasaan dan kepercayaan.

Gambar

figure 1.1 The dynamics of interpersonal trust (Johnson & Johnson, 1997)                      Trusting Person A       Confirmed                     Trustworthy Person B                           Confirmed                       Trusting  Person A

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pendapat diatas, maka yang disebut pendidikan menurut saya adalah suatu proses interaksi yang ditandai oleh keseimbangan antara pendidik dengan peserta

Arminareka Perdana disarankan untuk melakukan pengawasan kepada setiap mitra yang berada di berbagai daerah, karena meskipun praktik yang dilakukan pada perusahaan ini telah

Hasil uji Chi Square hubungan pengetahuan dengan kualias hidup pasien DM diperoleh nilai χ 2hitung sebesar 5,707 ( p-value 0,017), sehingga disimpulkan terdapat hubungan

• Bagian pent ing OLED adalah lapisan elekt rode dan lapisan t ipis yang t erdiri dari molekul-molekul organik sebagai pemancar cahaya dimana keduanya disusun bert umpuk. •

Oleh karena itu diperlukan perencanaan dan perancangan sebuah fasilitas olahraga yang berupa Gedung Olahraga dan Wisma Atlet di kawasan sport center Kabupaten Merangin dengan

Peningkatan laju pertumbuhan jamur pada TKKS ukuran 2 cm hingga 1 cm dan 0,5 cm disebabkan oleh peningkatan luas permukaan TKKS yang cukup drastis seperti terlihat pada Gambar

Berbeda halnya dengan kondisi optimasi konsentrasi substrat, untuk kurva pertumbuhan sel bakteri kondisi pH (Gambar 4), suhu fermentasi (Gambar 6), ko-substrat (Gambar 8),

Pengaruh kreativitas guru terhadap prestasi belajar siswa pada mata. pelajaran PAI di SMAN se-Kabupaten