• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN TERHADAP KINERJA KETAHANAN PANGAN NASIONAL 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN TERHADAP KINERJA KETAHANAN PANGAN NASIONAL 1)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN

TERHADAP KINERJA KETAHANAN PANGAN

NASIONAL

1)

Handewi P.S.Rachman, Sri Hastuti Suhartini, dan G. S. Hardono

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan Ahmad Yani No. 70, Bogor 16161

PENDAHULUAN

Isu ketahanan pangan mengemuka sejak tahun 1970-an seiring dengan terjadinya krisis pangan global (Soekirman 2000). Negara yang penduduknya mengalami kelaparan akibat krisis pangan dianggap tidak mempunyai ketahanan pangan. Oleh karena itu, konsep ketahanan pangan pada masa itu lebih banyak membahas ketersediaan pangan pada tingkat nasional dan global (Foster 1992; Maxwell dan Frankenberger 1992). Pada tahun 1980 sampai pertengahan 1990-an, Indonesia juga mengambil kebijakan pemantapan ketahanan pangan di tingkat nasional dan didukung kebijakan pangan murah dengan sasaran mendorong perkembangan sektor industri. Kebijakan ini didasarkan pada pendekatan ketersediaan pangan dengan strategi utama pencapaian swasembada beras pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau daya beli konsumen.

Konsep ketahanan pangan berkem-bang terus setiap tahun. Pada tahun 1980-an, ketika krisis pangan sudah mereda, kasus kelaparan ternyata masih cenderung meningkat (Foster 1992; Soekirman 2000).

Hal tersebut menunjukkan bahwa keter-sediaan pangan di tingkat nasional tidak dapat menjamin kecukupan pangan pada tingkat rumah tangga atau individu (Braun

et al. 1992). Foster (1992) menyatakan

terjadi pergeseran fokus analisis ketahanan pangan dari perhatian ketersediaan pa-ngan secara nasional atau global ke arah ketersediaan pangan pada kelompok (in-dividu) yang mengalami kelaparan. Dari fenomena tersebut diperoleh pengetahuan bahwa terdapat faktor internal yang meng-hambat akses perolehan pangan di tingkat rumah tangga atau individu (Supriyati dan Purwantini 2006).

Permasalahan utama dalam mewujud-kan ketahanan pangan di Indonesia saat ini adalah permintaan terhadap pangan lebih cepat daripada penyediaannya. Per-mintaan yang meningkat cepat merupakan resultan dari peningkatan jumlah pen-duduk, pertumbuhan ekonomi, peningkat-an daya beli masyarakat, dpeningkat-an perubahpeningkat-an selera. Sementara itu, kapasitas produksi pangan nasional tumbuh lambat bahkan stagnan karena adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya lahan dan air serta stagnasi pertumbuhan produktivitas lahan dan tenaga kerja pertanian. Keti-dakseimbangan pertumbuhan permintaan dan kapasitas produksi nasional tersebut mengakibatkan penyediaan pangan

nasio-1)Naskah disarikan dari bahan Rapat Pimpinan

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertani-an BulPertani-an JPertani-anuari 2004.

(2)

nal yang berasal dari impor cenderung meningkat. Ketergantungan terhadap pa-ngan impor ini diterjemahkan sebagai ke-tidakmandirian dalam penyediaan pangan nasional (Saliem et al. 2003a).

Di sisi lain, lingkungan strategis eks-ternal berupa liberalisasi perdagangan secara langsung maupun tidak langsung diduga berpengaruh terhadap kinerja ketahanan pangan nasional. Hal ini dida-sarkan pada fakta bahwa sebagian besar negara maju masih memberikan proteksi yang cukup tinggi pada sektor pertanian, sementara Indonesia sesuai kesepakatatan

World Trade Organization (WTO) telah

menerapkan kebijakan pada berbagai komoditas pertanian yang mengarah pada pasar bebas. Dalam hal demikian, isu libe-ralisasi perdagangan yang dirasakan oleh sebagaian besar negara berkembang ter-masuk Indonesia adalah masalah ketidak-adilan pasar (unfair trade).

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji kinerja ketahanan pangan na-sional dan menganalisis dampak libera-lisasi perdagangan terhadap kinerja ke-tahanan pangan nasional. Secara rinci pe-nulisan bertujuan untuk: (1) mengkaji ki-nerja ketersediaan dan kemandirian pa-ngan nasional; (2) mepa-nganalisis dampak liberalisasi perdagangan terhadap kinerja ketahanan pangan nasional; dan (3) merumuskan alternatif kebijakan dalam upaya pemantapan ketahanan pangan nasional. Lokasi atau cakupan penelitian ini adalah nasional dengan memaksimalkan pemanfaatan data sekunder dari berbagai sumber, dilengkapi dengan kasus di dua provinsi yang dipilih secara purposive, yaitu Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) khususnya Pulau Lombok. Pemilihan provinsi didasarkan pada pertimbangan bahwa kedua provinsi

tersebut merupakan sentra produksi ta-naman pangan.

KINERJA KETERSEDIAAN DAN KEMANDIRIAN PANGAN

NASIONAL

Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber, yaitu: (1) produksi dalam ne-geri; (2) impor; dan (3) pengelolaan ca-dangan pangan. Ketersediaan bahan pangan untuk konsumsi dalam Neraca Bahan Makanan (NBM) dihitung ber-dasarkan penjumlahan produksi do-mestik, impor neto, dan stok dikurangi ke-butuhan nonkonsumsi (benih, industri nonpangan, dan penggunaan lain). De-ngan ukuran tesebut, ketersediaan paDe-ngan nasional pada periode 1990-2003 cen-derung meningkat, kecuali untuk komodi-tas kedelai dan umbi-umbian. Laju pertum-buhan ketersediaan beras, gula, dan da-ging sapi relatif kecil. Ketersediaan ko-moditas kedelai cenderung menurun. Se-mentara untuk komoditas umbi-umbian, tingkat produksi cenderung meningkat, namun ketersediaannya menurun. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat penggunaan komoditas tersebut untuk nonpangan cen-derung meningkat. Kinerja ketersediaan pangan nasional pada periode sebelum desentralisasi menunjukkan pertumbuhan yang positif, kecuali untuk kedelai dan ubi jalar. Pada era desentralisasi, ketersediaan pangan nasional menunjukkan pertum-buhan yang positif, kecuali untuk kedelai, gula, dan daging sapi (Tabel 1).

Pada tataran nasional, kemandirian pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh pen-duduk memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, bermutu, aman, dan halal,

(3)

di-Tabel 1 Perkembangan ketersediaan pangan nasional, 1990-2003.

Tahun Ketersediaan pangan (000 ton)

Beras Jagung Kede- Ubi Ubi Gula Daging Daging1) Telur Susu

lai kayu jalar sapi

1990 26.735 5.287 1.910 7.674 1.735 2.386 161 714 422 621 1991 26.575 5.206 2.014 8.993 1.793 2.522 178 806 459 794 1992 27.411 6.297 2.322 10.862 1.906 2.411 186 857 493 790 1993 28.175 5.412 2.206 10.733 1.830 2.171 214 964 505 749 1994 28.590 6.321 2.131 9.883 1.620 1.099 209 1.034 603 835 1995 29.369 6.400 2.138 10.341 1.906 2.848 197 1.042 646 1.277 1996 31.457 6.901 2.182 12.159 1.773 3.126 226 1.133 707 1.042 1997 29.817 7.250 1.795 12.033 1.616 3.114 237 1.085 692 995 1998 29.781 8.401 1.283 11.454 1.697 2.165 217 861 465 824 1999 33.471 6.403 598 6.415 1.429 2.472 195 837 574 982 2000 30.129 7.03 2.049 2.832 1.574 2.276 229 1.046 720 1.206 2001 28.410 6.92 1.758 5.828 1.499 3.075 218 1.088 728 1.085 2002 29.665 7.130 1.833 7.466 1.514 2.435 199 1.182 871 1.381 2003 30.123 8.065 1.675 8.859 1.706 2.215 221 1.251 894 1.267 Pertumbuhan (%/tahun) 1990-2003 0,94 2,68 (2,59) (2,85) (1,39) 0,75 1,50 2,70 4,76 4,45 1990-1999 2,20 3,96 (6,40) 0,99 (1,67) 1,60 2,57 2,04 3,33 3,95 2000-2003 0,42 4,01 (5,73) 31,57 2,61 (3,29) (1,98) 6,21 8,28 3,88

1)Daging kambing, babi, sapi, kerbau, dan ayam

Sumber: Badan Pusat Statistik (1990-2004, diolah)

dasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya domestik (Departemen Pertanian 2005; 2006). Menurut Saliem et al. (2003a), beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kemandirian pangan adalah: (1) ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada produksi pangan domestik; (2) ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada pangan impor dan atau impor neto; dan (3) ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap transfer pangan dari pihak atau negara lain. Pembahasan kemandirian pangan pada tulisan ini menggunakan ukuran ketergan-tungan ketersediaan pangan nasional pada pangan impor. Pada periode tahun 1990-2003, beberapa komoditas pangan dapat

dipenuhi dari produksi dalam negeri, yang ditunjukkan dengan tidak adanya keter-gantungan impor untuk ubi kayu, ubi jalar, dan telur. Ketergantungan impor yang re-latif tinggi terdapat pada komoditas susu, kedelai, dan gula (Tabel 2). Rata-rata kegantungan impor beras pada periode ter-sebut sebesar 4,55%, dengan kecende-rungan meningkat dan berfluktuasi pada kisaran 0,08-16,35%/tahun.

Rata-rata ketergantungan impor ja-gung pada periode 1990-2003 sebesar 8,21%, dan cenderung meningkat diban-ding periode sebelumnya. Pada periode 1961-1979, produksi dalam negeri masih lebih besar dari kebutuhan domestik, na-mun sejak tahun 1980-an mulai dilakukan impor untuk memenuhi kebutuhan

(4)

do-Tabel 2. Perkembangan indikator kemandirian pangan nasional, 1990-2003.

Tahun

Ketergantungan impor pangan (%)1)

Beras Jagung Kede- Gula Daging Daging Susu

lai sapi 1990 0,18 0,13 36,38 13,25 2,41 0,54 96,53 1991 0,64 5,16 43,28 13,72 3,31 0,72 139,56 1992 2,11 0,70 41,56 12,75 1,55 1,25 146,86 1993 0,08 7,65 42,36 7,21 1,35 1,11 131,70 1994 2,25 16,28 51,12 0,00 2,33 1,41 127,63 1995 6,10 11,75 36,13 10,69 3,50 2,06 232,33 1996 7,06 6,63 49,18 49,47 7,21 2,52 180,73 1997 1,17 12,52 45,39 51,37 10,18 3,10 173,35 1998 10,19 3,08 26,26 65,39 4,11 1,47 156,80 1999 16,35 6,71 94,14 129,57 5,95 2,81 188,53 2000 4,57 13,07 125,54 82,78 13,24 7,22 298,39 2001 2,21 11,08 137,36 65,51 8,37 4,26 292,28 2002 6,07 11,95 202,82 45,45 6,06 3,86 280,53 2003 4,78 tad 177,53 41,73 4,95 3,72 257,22 Rata-rata 1990-2003 4,55 8,21 79,22 42,06 5,32 2,57 193,03 1990-1999 4,61 7,06 46,58 35,34 4,19 1,70 157,40 2000-2003 4,41 12,04 160,81 58,87 8,16 4,76 282,10

1)Kebutuhan ubi kayu, ubi jalar, dan telur sepenuhnya dapat dipasok dari produksi domestik.

Sumber: Badan Pusat Statistik (1990-2004, diolah)

mestik. Kondisi ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produksi jagung dalam negeri tidak dapat mengimbangi laju pe-ningkatan permintaan (Saliem et al. 2003b). Kinerja ketergantungan impor pangan di Indonesia pada era desentralisasi lebih buruk dibanding periode sebelumnya. Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya rasio ketergantungan impor pangan; hanya komoditas beras yang mengalami pe-nurunan. Peningkatan rasio ketergan-tungan impor pangan yang relatif tinggi terjadi pada komoditas susu, kedelai, dan gula. Pada komoditas beras, penurunan rasio ketergantungan impor setelah de-sentralisasi menunjukkan efektivitas in-strumen kebijakan perberasan nasional mulai tahun 2000. Kebijakan perberasan tersebut terutama menyangkut

perlin-dungan petani dalam negeri dari dampak negatif perdagangan bebas beras di pasar internasional, yaitu dengan pemberlakuan bea masuk Rp430/kg sejak 2000 sampai 2004 (Dewan Ketahanan Pangan 2006).

PROSPEK KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Tingkat kemandirian komoditas kedelai lebih rendah dibandingkan beras dan ja-gung. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat ke-tergantungan ketersediaan pangan hadap impor untuk ketiga komoditas ter-sebut, masing-masing sebesar 4,5%, 8,2% dan 79,2% per tahun selama kurun waktu 1990-2003. Secara agregat, keberlanjutan ketahanan pangan dapat dikatakan cukup

(5)

terjamin, yang ditunjukkan oleh nilai positif tren jangka panjang dari ketergantungan terhadap produksi domestik selama 1969-2001 dan nilai negatif dari tren ketergan-tungan terhadap impor neto. Selain itu, ke-tahanan pangan secara agregat juga cukup stabil, dilihat dari kisaran nilai standar deviasi ketergantungan terhadap produksi pangan domestik yang relatif sempit, yaitu 0,5-4,9 untuk ketergantungan produksi domestik dan 0,5-5,3 untuk ketergan-tungan impor neto (Saliem et al. 2003b).

Derajat ketahanan pangan nasional, yang merupakan nisbah antara tingkat ke-tersediaan pangan domestik dan standar norma gizi (tingkat kecukupan), dari waktu ke waktu cenderung meningkat. Keber-lanjutan ketahanan pangan nasional dinilai terjamin, yang diindikasikan tren jangka panjang dengan nilai positif dan kisaran standar deviasi 2,02-46,05 dan koefisien variasi derajat ketahanan pangan 1,50-23,26% (Saliem et al. 2003b).

Terkait dengan pemantapan ketahanan pangan, hasil kajian Saliem et al. (2006) menunjukkan perlunya pengembangan sistem distribusi pangan yang efisien me-lalui: (1) pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana distribusi; (2) peng-hapusan retribusi produk pertanian dan perikanan; (3) pemberian subsidi transpor-tasi bagi daerah sangat rawan dan daerah terpencil; dan (4) pengawasan sistem per-dagangan yang tidak sehat. Selain itu, pe-mantapan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilakukan melalui upaya berikut: (1) menjaga stabilitas harga pangan; (2) perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan; (3) pember-dayaan masyarakat miskin dan rawan pa-ngan; (4) peningkatan efektivitas program raskin; dan (5) penguatan lembaga pe-ngelola pangan di pedesaan.

Terkait dengan upaya untuk menang-gulangi rawan pangan transien, penge-lolaan cadangan pangan nasional perlu ditingkatkan, baik cadangan pangan pe-merintah maupun cadangan pangan masyarakat. Dalam era desentralisasi, pemerintah daerah diharapkan lebih ber-peran serta dalam pembentukan cadangan pangan (Rachman et al. 2005). Pada waktu yang sama, diperlukan adanya program akselerasi pemantapan ketahanan pangan berbasis pemberdayaan masyarakat pe-desaan agar dapat diwujudkan ketahanan pangan berkelanjutan untuk seluruh masyarakat. Diseminasi hasil program PIDRA dan SPFS perlu digalakkan serta dapat direplikasi di wilayah lain. Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah di-harapkan mampu mengalokasikan dana APBD untuk mewujudkan ketahanan pangan masyarakat di wilayahnya secara berkelanjutan. Secara simultan, diperlukan upaya pengendalian pertumbuhan pen-duduk melalui penggalakan kembali program keluarga berencana.

DAMPAK HARGA PANGAN DUNIA TERHADAP KETAHANAN PANGAN

Penurunan harga komoditas pangan di pasar dunia dalam era liberalisasi per-dagangan global, yang ditandai dengan penghapusan bea masuk impor dan ham-batan perdagangan lainnya, tidak secara otomatis menurunkan harga komoditas pangan sejenis di tingkat konsumen do-mestik, selama persentase penurunan har-ga komoditas panhar-gan di pasar dunia jauh lebih rendah dibandingkan dengan per-sentase kenaikan nilai tukar rupiah. Hal ini berarti kecenderungan penurunan harga beras, jagung, dan kedelai di pasar dunia

(6)

hanya akan memiliki arti positif bagi upaya mempertahankan dan meningkatkan de-rajat ketahanan pangan di tingkat rumah tangga/individu jika tercapai stabilitas nilai tukar.

Harga beras, jagung, dan kedelai di pa-sar domestik, khususnya pada dasawarsa 1991-2001, cenderung meningkat dan sa-ngat fluktuatif, sehingga tidak kondusif bagi upaya mempertahankan maupun meningkatkan derajat ketahanan pangan di tingkat rumah tangga (Saliem et al. 2003b). Hal ini karena: (1) harga pangan yang cenderung meningkat akan menu-runkan daya beli masyarakat, termasuk produsen yang berstatus sebagai net

buyer, dan sekaligus kuantitas bahan

pangan yang mereka konsumsi; dan (2) harga pangan yang berfluktuasi secara tajam akan menyulitkan perencanaan pro-duksi dan sekaligus pendapatan di tingkat produsen maupun perencanaan konsumsi. Pada pasar beras, jagung maupun kedelai di NTB dan Sulsel, secara statistik tidak ada keterkaitan dalam jangka pendek antara pedagang besar setempat dengan pedagang besar Surabaya, pedagang besar setempat dengan importir, serta pedagang besar Surabaya dengan importir. Keter-kaitan yang ada adalah keterKeter-kaitan dalam jangka panjang. Namun, indeks keterkait-an dalam jketerkait-angka pketerkait-anjketerkait-ang ini pun termasuk dalam kategori lemah atau sangat lemah, yang berarti perubahan harga di tingkat importir akan ditransmisikan secara lam-bat dan tidak sempurna pada harga di ting-kat pedagang besar setempat maupun pe-dagang besar Surabaya. Konsekuensinya, dampak negatif penurunan maupun ke-naikan harga beras, jagung, dan kedelai di pasar dunia terhadap derajat ketahanan pangan di tingkat rumah tangga relatif kecil.

Dampak negatif penurunan maupun kenaikan harga beras, jagung, dan kedelai di pasar dunia terhadap derajat ketahanan pangan khususnya di tingkat rumah tang-ga akan nyata jika dan hanya jika terpenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) persentase penurunan harga beras, jagung, dan ke-delai di pasar dunia jauh lebih tinggi di-bandingkan dengan persentase kenaikan nilai tukar; dan (2) indeks keterkaitan antara pasar beras, jagung, dan kedelai dunia dengan pasar domestik termasuk dalam kategori agak kuat atau kuat.

DAMPAK TARIF IMPOR TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KEMANDIRIAN PANGAN

Peningkatan tarif impor beras menjadi Rp510/kg yang disertai dengan nilai tukar yang terdepresiasi relatif tinggi, akan me-nyebabkan harga beras di tingkat peda-gang besar dan produsen meningkat, se-lanjutnya jumlah penawaran meningkat dan dampaknya terhadap kesejahteraan produsen bertambah. Liberalisasi per-dagangan (tarif impor dihapuskan) diser-tai dengan penurunan harga beras dunia akan menyebabkan harga beras di tingkat pedagang besar dan produsen menurun. Akibatnya jumlah penawaran menurun dan dampaknya terhadap kesejahteraan produsen berkurang. Besarnya perubahan penerimaan pemerintah tidak hanya di-tentukan oleh perubahan tarif, tetapi juga oleh faktor lain, seperti elastisitas transmisi harga dan elastisitas permintaan-pena-waran.

Peningkatan tarif impor beras menjadi Rp510/kg dengan nilai tukar relatif kuat dan harga dunia tetap akan mengurangi

(7)

sejahteraan konsumen, menambah ke-sejahteraan produsen, namun menghi-langkan penerimaan pemerintah dari tarif, dengan dampak akhir berupa penurunan kesejahteraan sosial neto. Penurunan ke-sejahteraan sosial neto akan lebih besar apabila terjadi depresiasi nilai tukar rupiah dan penurunan harga beras dunia.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Perkembangan ketersediaan pangan na-sional, tingkat kemandirian atau ketergan-tungan terhadap produksi domestik, dan keberlanjutan ketahanan pangan nasional cukup terjamin dan stabil. Antisipasi ke depan adalah tetap memantapkan dan menjaga keberpihakan secara proporsional pada pembangunan sektor pertanian dan mencegah terjadinya penurunan atau stag-nasi pertumbuhan kapasitas produksi pangan. Di samping itu, perlu diwaspadai kecenderungan peningkatan impor pangan sedini mungkin untuk mencegah ketergan-tungan impor pangan yang dapat meng-ganggu kemandirian pangan.

Untuk mengantisipasi penurunan ting-kat kemandirian pangan dan mengaman-kan keberlanjutan ketahanan pangan na-sional, saran kebijakan peningkatan pro-duksi tanaman pangan yang perlu di-pertimbangkan adalah: (1) peningkatan pa-sokan input dan kelancaran distribusinya sampai tingkat petani, penanganan sistem pascapanen, pengembangan sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, dan subsidi benih; dan (2) implementasi kebijakan pembelian harga gabah (khusus untuk beras) dan subsidi kredit program usaha tani.

Diperlukan upaya terobosan untuk menghambat laju ketergantungan impor

ketiga komoditas utama di subsektor ta-naman pangan (beras, jagung, dan ke-delai). Penciptaan teknologi spesifik lokasi melalui dukungan penelitian yang mantap diharapkan dapat meningkatkan produksi pangan dan pada gilirannya mampu me-nekan tingkat ketergantungan terhadap impor. Khusus untuk komoditas beras, peningkatan produksi perlu disertai upaya penyediaan bahan pangan pokok substi-tusi beras berbahan baku lokal dan pe-ngembangan industri pengolahan serta sosialisasi pengetahuan pangan dan gizi kepada masyarakat. Penurunan konsumsi dan permintaan beras nasional diharapkan dapat menekan tingkat ketergantungan terhadap impor.

Pemantapan kinerja ketahanan pangan nasional juga membutuhkan dukungan kebijakan konsumsi/permintaan dan ke-bijakan ekonomi makro yang sinergis. Ke-bijakan yang perlu ditempuh adalah: (1) advokasi dan penyuluhan pentingnya di-versifikasi konsumsi mengarah pada pola pangan yang beragam dan gizi seimbang; (2) identifikasi, pengembangan, dan pe-ningkatan konsumsi pangan lokal; (3) sta-bilisasi nilai tukar, pengendalian gejolak harga melalui pengendalian inflasi, dan peningkatan efisiensi pemasaran sehingga tercipta harga pangan yang murah dan stabil; (4) peningkatan akses ekonomi ru-mah tangga terhadap pangan melalui pe-ningkatan pendapatan dan daya beli dengan memberdayakan kelompok usaha ekonomi pedesaan dan memberikan bantuan modal; dan (5) peningkatan akses fisik rumah tangga terhadap pangan me-lalui pengembangan sarana dan prasarana distribusi pangan.

Media keterkaitan vertikal agribisnis yang dominan adalah transaksi produk. Derajat keterkaitan antara pasar dunia dan pasar domestik untuk komoditas beras,

(8)

jagung, dan kedelai sangat lemah, se-hingga dampak negatif liberalisasi per-dagangan terhadap harga jual dan insentif berproduksi bagi petani tidak perlu dikha-watirkan. Dua persyaratan yang perlu di-jaga adalah: (1) pemasukan beras, jagung, dan kedelai impor pada provinsi-provinsi yang berstatus surplus tidak dilakukan pada musim panen raya; dan (2) pema-sukan beras, jagung, dan kedelai impor hanya dilakukan pada provinsi-provinsi yang berstatus defisit, di mana perdagang-an perdagang-antarpulau tidak mungkin menutupi defisit kebutuhan secara fisik (volume) maupun ekonomi (harga).

Kebijakan menaikkan tarif impor beras menjadi Rp510/kg dengan nilai tukar tetap maupun terdepresiasi relatif tinggi, akan menguntungkan produsen karena sejahteraannya bertambah. Namun, ke-bijakan ini bersifat bias ke produsen ka-rena konsumen dirugikan, yang terlihat dari kesejahteraan yang berkurang. Liberalisasi perdagangan dan penurunan harga dunia akan menguntungkan konsumen, tetapi menurunkan kesejahteraan petani pro-dusen.

Peningkatan tarif impor beras mampu meningkatkan kemandirian pangan beras, sehingga menguntungkan dilihat dari aspek ketahanan pangan nasional. Se-mentara itu, liberalisasi perdagangan ber-dampak pada penurunan kemandirian pangan beras dan tidak menguntungkan dari sisi ketahanan pangan nasional.

Pangsa pemenuhan energi dari beras terhadap total kecukupan pangan saat ini relatif tinggi, yaitu mencapai 92%. Pangsa pemenuhan energi dari beras dapat diku-rangi dengan menerapkan kebijakan har-ga terkendali, seperti peningkatan tarif impor. Sebaliknya, liberalisasi perda-gangan kurang menguntungkan dilihat dari aspek pemenuhan energi, karena akan

meningkatkan pangsa pemenuhan energi dari beras. Memperhatikan besarnya kontribusi energi dari beras dalam kon-sumsi pangan penduduk secara nasional, maka diperlukan kebijakan promosi pe-ningkatan konsumsi energi dari bahan nonberas. Hal ini merupakan kompensasi penurunan permintaan beras untuk kon-sumsi apabila pemerintah akan menetap-kan kebijamenetap-kan harga terkendali (melalui kenaikan tarif), sehingga tingkat konsumsi energi dapat disubstitusi dengan energi pangan nonberas.

DAFTAR PUSTAKA

Braun, V.J., H. Bouis, S. Kumar, and L.P. Lorch. 1992. Improving Food Security of the Poor: Concepts, policy, and programme. International Food Policy Research Institute, Washington, DC. Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi

Pemantapan Ketahanan Pangan. De-partemen Pertanian, Jakarta.

Departemen Pertanian. 2006. Pedoman Umum Prima Tani. Departemen Per-tanian, Jakarta.

Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Ke-bijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta.

Foster, P. 1992. The World Food Problem: Tackling the causes of undernutrition in the Third World. Lynne Reiner Publisher, Boulder.

Maxwell, S. and Frankenberger. 1992. Household Food Security: Concepts, indicators, measurements. A Technical Review. UNICEF-IFAD, New York. Rachman, H.P.S., A. Purwoto, dan G.S.

Hardono. 2005. Kebijakan pengelolaan cadangan pangan pada era otonomi

(9)

daerah dan Perum Bulog. Forum Agro Ekonomi 23(2): 73-83.

Saliem, H.P., S. Mardiyanto, dan P. Sima-tupang. 2003a. Perkembangan dan prospek kemandirian pangan nasional. Analisis Kebijakan Pertanian 1(2): 123-142.

Saliem, H.P., S.H. Suhartini, G.S. Hardono, dan A.Purwoto. 2003b. Dampak Li-beralisasi Perdagangan terhadap Ki-nerja Ketahanan Pangan Nasional. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Pene-litian dan Pengembangan Sosial Eko-nomi Pertanian, Bogor.

Saliem, H.P., Supriyati, dan E.M. Lokollo. 2006. Ketahanan Pangan dan Pem-bangunan Masyarakat dalam

Kerang-ka Desentralisasi. Kerja sama peneliti-an peneliti-antara Biro Perencpeneliti-anapeneliti-an Departe-men Pertanian dengan UNESCAP-CAPSA, Bogor.

Soekirman. 2000. Beberapa Catatan Me-ngenai Konsep Ketahanan Pangan. Makalah disajikan pada Round Table Ketahanan Pangan 26 Juni 2000. Badan Ketahanan Pangan, Jakarta.

Supriyati dan T.B. Purwantini. 2006. Ketahanan Pangan dan Pembangunan Masyarakat dalam Kerangka Desen-tralisasi: Analisis kebijakan ketahanan pangan. Kerja sama penelitian antara Biro Perencanaan Departemen Perta-nian dengan UNESCAP-CAPSA, Bo-gor.

Gambar

Tabel 1 Perkembangan ketersediaan pangan nasional, 1990-2003.
Tabel 2. Perkembangan indikator kemandirian pangan nasional, 1990-2003.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi reaksi yang optimum pada reaksi konversi senyawa dalam tanaman selasih hijau dengan metode MAOS dengan pelarut etilen

3) Menyerahkan uang pinjaman kredit kepada nasabah atau debitur.. 4) Menyerahkan kembali hak milik debitur apabila telah melunasi hutangnya. 5) Mematuhi segala ketentuan yang

Penelitian yang dilakukan oleh penulis bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penambahan bahan tambahan berupa matos pada tanah lunak yang

Keterangan : Chromodoris lochi memiliki warna putih kebuan dengan garis hitam melingkar pada bagian tubuhnya dengan bagian tubuh terdiri dari rhinophore (a), mantel

dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang Penetapan Status Penggunaan Barang Milik Negara pada

Menurut Supriyono (2011:121) produk cacat yaitu produk dihasilkan yang kondisinya rusak atau tidak memenuhi ukuran mutu yang sudah ditentukan, akan tetapi produk tersebut

Kos sewaan lori termasuk pemandu tidak termasuk bayaran tol pergi dan balik serta tiada perkhidmatan mengangkat barang... Sewaan lori bergantung kepada

merupakan suatu keharusan bagaimana cara untuk meformulasi hukum berorientai pada tipolog hukum responsif, dan otonom sehingga keberpihakan hukum determenan pada