• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bakso

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bakso"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

22

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bakso

Bisnis makanan adalah bisnis yang tidak akan pernah mati, karena bersifat cepat habis dan dibutuhkan orang banyak. Semua orang pasti membutuhkan makan dan juga hampir rata-rata bisa membuat makanan, apalagi dengan perkembangan saat ini dapat dengan mudah mendapatkan resep-resep dan cara-cara dari media komunikasi. Hal tersebut merupakan pendukung untuk memulai bisnis makanan walaupun tidak sedikit yang gagal, tetapi banyak juga yang kemudian sukses. Apalagi jika konsep usahanya disesuaikan dengan kemampuan permodalan dengan menjual beberapa produk saja, dan ditangani sendiri. Salah satunya adalah usaha bakso. Bakso adalah makanan berupa bola daging dan berbahan utama daging, baik sapi, ikan, udang, maupun cumi-cumi. Bentuknya yang menyerupai bola kecil, sehingga orang barat menyebutnya dengan meat ball. Cita rasa yang khas dan tekstur yang kenyal menyebabkan bakso banyak disukai, dari anak-anak hingga orang dewasa. Bakso dalam perkembangannya menjadi popular di seluruh belahan bumi, termasuk Indonesia, dan dipercaya bakso awalnya berasal dari Republik Rakyat Cina. Sehingga kondisi ini membuka peluang bisnis bakso yang menjanjikan bagi yang bergerak dalam bisnis tersebut. Bisnis bakso adalah usaha yang membutuhkan modal yang relatif kecil dan tidak memerlukan modal terlalu besar. Peralatan yang diperlukan sederhana, proses pembuatan mudah, dan resiko kegagalan rendah. Hal tersebut memungkinkan siapa saja bisa melakukannya, baik skala besar maupun industri rumahan. Bisnis bakso bukanlah bisnis makanan baru, tetapi kebanyakan seperti usaha kuliner lainnya, prospek usaha bakso sangat popular.

Bakso merupakan produk pangan yang dibuat dari daging yang dihaluskan, dicampur tepung berkarbohidrat tinggi, dibentuk bulat-bulat sebesar kelereng atau lebih besar dan dimasak dalam air panas untuk mengkonsumsinya. Berdasarkan SNI 01-3818-1995, bakso daging didefinisikan sebagai produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang diizinkan. Bakso dapat dikelompokkan

(2)

menurut jenis daging yang digunakan. Bakso yang paling popular di Indonesia adalah bakso yang terbuat dari daging sapi (Sutomo, 2009).

Bahan-bahan dasar bakso adalah daging, bahan pengisi, garam dapur, bumbu penyedap dan es atau air es. Daging sapi digunakan karena dagingnya lebih mudah dibentuk menjadi butiran-butiran kenyal karena kandungan dan struktur proteinnya lebih kenyal dan kuat. Bakso pada mulanya hanya dikenal dan dijual didaerah pemukiman orang cina dan dijual di restoran-restoran cina. Namun akhir-akhir ini setelah tahun 1980, bakso mulai berkembang dan mulai popular dimasyarakat selain dikota besar juga kota kecil, terutama di pelosok dan daerah wisata. Bakso dapat dijumpai di restoran mewah, hotel berbintang, warung makan sederhana, pedagang kaki lima, dan pedagang keliling. Konsumen berasal dari golongan elit sampai golongan berpenghasilan rendah (Yuliadini, 2000).

2.1.1. Bahan-bahan Pembuatan Bakso

Ada beberapa metode yang dikenal dalam pembuatan bakso, namun secara garis besar prinsipnya sama, yaitu meliputi tahap penghancuran daging, pembentukan adonan dan pemasakan. Penghancuran daging dapat dilakukan dengan mencacah dan mencincang (chopping) ataupun menggiling (grinding). Bahan-bahan baku bakso terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utamanya adalah daging. Daging yang digunakan tergantung dari selera, yaitu daging sapi, daging ayam, daging ikan atau udang. Sedangkan bahan tambahan terdiri dari bahan pengisi berupa tepung, es, garam dan bumbu (Sutomo, 2009).

Daging

Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Untuk membuat bakso sapi dapat digunakan semua bagian dari karkas sapi, namun karena kandungan lemak dari jaringan ikat daging berbeda-beda untuk setiap karkas maka penggunaannya disesuaikan dengan mutu yang diinginkan. Daging yang digunakan untuk membuat bakso adalah daging yang sesegar mungkin yaitu segera setelah pemotongan tanpa mengalami proses penyimpanan sehingga dapat menghasilkan mutu yang baik.

(3)

Bahan Pengisi

Bahan pengisi (fillers) merupakan bahan bukan daging yang ditambahkan dalam pembuatan bakso.Bahan pengisi yang biasa digunakan pada pembuatan bakso adalah tepung yang mengandung karbohidrat tinggi misalnya tepung tapioka, dan pati aren. Tepung-tepung tersebut mempunyai kandungan protein yang rendah. Penambahan tepung dilakukan sebesar 50 sampai 100 persen dari berat daging. Tujuan ditambahkan bahan pengisi seperti dalam pembuatan bakso adalah memperbaiki sifat dan mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat fisik dan cita rasa dan menurunkan biaya produksi. Jumlah penambahan tepung pati tergantung pada harga bakso yang dijual, semakin banyak tepung pati yang digunakan maka harga bakso semakin murah.

Garam Dapur dan Bumbu

Garam merupakan bahan baku yang umumnya ditambahkan pada pembuatan bakso, yang fungsinya untuk memberi rasa, mengawetkan dan melarutkan protein dalam daging. Selain garam dapur, bumbu yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah MSG (Monosodium Glutamat), bawang putih dan bawang merah kadang-kadang juga ditambahkan merica yang dapat meningkatkan rasa pada produk bakso. Pemakaian garam dapur pada pembuatan bakso tidak terlalu bervariasi, umumnya berkisar antara 5 sampai 10 persen dari berat daging. Dalam fungsinya sebagai pemberi rasa bakso, maka penambahan tepung yang tinggi memerlukan pemakaian garam yang lebih banyak sedangkan pemakaian MSG dalam adonan bakso berkisar antara 1,0 sampai 2,5 persen dari berat daging. Bawang putih mengandung antioksidan yang kuat dan dapat memperpanjang daya tahan bakso. Bawang putih dapat dipakai sebagai pengawet karena bersifat bakteriastatik yang disebabkan oleh adanya zat aktif allicin yang sangat efektif terhadap bakteri.

Es atau Air Es

Fungsi air adalah untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari minyak) daging, melarutkan protein yang mudah larut dalam air, membentuk larutan garam yang diperlukan untuk melarutkan protein larut garam, berperan sebagai fase kontinu dari emulsi daging dan menjaga temperature produk. Penambahan air

(4)

dalam bentuk es bertujuan untuk melarutkan garam dan mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian masa daging, memudahkan ekstraksi protein serabut otot, membantu pembentukan emulsi dan mempertahankan suhu adonan. Air dalam bakso terutama dipengaruhi oleh jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan. Jika jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan besar maka jumlah air yang terdapat dalam bakso pun akan besar pula. Air juga akan mempengaruhi tekstur dari bakso. Bakso yang terlalu banyak mengandung air akan terlihat basah dan lembek, sedangkan bakso yang mengandung sedikit air akan terlihat kering dan keras.

Rasa

Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup cecapan yang terletak pada papilla. Faktor yang mempengaruhi rasa yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi pangan dengan komponen rasa yang lain. Atribut rasa banyak ditentukan oleh formulasi yang digunakan dan kebanyakan tidak dipengaruhi oleh pengolahan suatu produk pangan. Warna pada bakso berasal dari bahan utamanya yaitu daging, bahan pengisi dan bahan pengikat serta bahan-bahan yang ditambahkan. Aroma pada bakso sebagian besar dipengaruhi oleh bahan-bahan yang ditambahkan selama proses pembuatan dan pemasakan produk terutama penambahan bumbunya.

Pembuatan Bakso

Daging segar dipotong-potong, daging kemudian digiling dalam food processor bersama garam, STPP, dan ½ bagian es batu. Bumbu-bumbu seperti merica dan bawang putih, tepung tapioca, dan sisa ½ bagian es ditambahkan ke dalam adonan. Adonan kembali digiling sampai tercampur rata dan menjadi legit. Adonan tersebut lalu dibentuk bulat-bulat dan dimasukkan ke dalam air panas, setelah mulai mengambang bakso direbus sampai matang.

2.2. Usaha Sektor Informal

Berdasarkan kriteria Departemen Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi dan Biro Pusat Statistik yang termasuk kedalam kelompok sektor informal adalah mereka yang bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain, bekerja dengan bantuan buruh tidak tetap, bekerja dengan bantuan pekerja keluarga, dan mereka yang

(5)

bekerja sebagai pekerja keluarga, sedangkan yang termasuk kedalam sektor formal adalah diluar kriteria yang telah disebutkan.

Berdasarkan surat keputusan Menteri Perindustrian dan perdagangan Republik Indonesia no.23/MPP/Kep/1/1998 pasal 4 tentang lembaga-lembaga usaha perdagangan, dijelaskan hal-hal sebagai berikut :

1. Termasuk perdagangan informal adalah ; pedagang keliling, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pedagang kelontong, bakul gendong, kedai, warung, los pasar, jasa reparasi, jasa pertukangan dan jasa-jasa informal lainnya.

2. Pedagang informal harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a) Memiliki modal usaha diluar tanah dan bangunan tempat usaha tidak lebih

dari lima juta rupiah.

b) Dikerjakan sendiri oleh beberapa orang

c) Jenis kegiatan usaha yang dijalankan umumnya tidak tetap.

Dalam perdagangan eceran yang langsung berhadapan dengan konsumen, terutama bagi pedagang menetap adalah pemilihan tempat dan waktu berjualan. Karena menurut wahyudin (1993) masalah lokasi usaha pedagang eceran dihadapkan pada keterbatasan lahan (space) yang selain dipakai untuk kegiatan perdagangan eceran, juga diperuntukkan bagi pemukiman, gedung-gedung dan prasarana lainnya. sementara itu untuk masalah waktu merupakan penyesuaian antara waktu berdagang dan waktu pengadaan barang. Dari segi waktu jualan (berdagang), pekerja sektor informal menjajakan barangnya dalam rentang waktu yang bervariasi. Waktu berdagang dipilih didasarkan pada pertimbangan waktu calon pembeli ke luar rumah. Pokoknya dimana banyak calon pembeli membutuhkan mereka, pedagang akan menyesuaikannya. Secara umum rentangan waktu pedagang menetap berkisar antara jam 06.00 sampai jam 12.00. kemudian jam 15.30 sampai jam 21.00. Jika perdagangan informal yang berjualan secara keliling adalah pada awalnya berjualan dilokasi tertentu di jalan umum, ketika mereka telah menentukan pilihan pada tempat tertentu, mulailah diadakan pendudukan tempat umum tersebut sebagai tempat berjualan.

2.2.1. Prospek Usaha Sektor Informal

Sektor informal dapat dipandang sebagai suatu lapangan kerja yang dibangun atas dasar konsep pemasaran yang kehadirannya didasarkan pada

(6)

adanya kebutuhan akan barang dan jasa yang berkembang di masyarakat, dan kebutuhan itu menuntut untuk segera dilayani (Wahyudin, 1993). Sektor informal merupakan sektor yang sesungguhnya cukup mampu untuk menghadapi persoalan dan tantangan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat. Ini dapat dipahami karena sektor informal memiliki tingkat penyesuaian yang baik untuk menghadapi berbagai perubahan yang terjadi. Sektor informal adalah lapangan kerja yang menuntut kreativitas dan kemampuan untuk bertahan. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan mereka untuk mencari pasar, menawarkan, mengelola modal usaha dan menanggung resiko serta melakukan hubungan yang saling menguntungkan.

Menurut Didik dalam Wahyudin (1993) mengemukakan bahwa penanganan masalah sektor informal diperkotaan masih tidak beranjak dari pola lama, yakni usir dan gusur demi kebersihan, keamanan dan kenyamanan kota. Namun perlu diakui adanya beberapa kebijakan yang cukup terpuji seperti program perbaikan kampung kumuh di Jakarta dan alih profesi pedagang jalanan di Jakarta dan penarik becak . pembangunan itu pada hakekatnya merupakan suatu proses perubahan struktural dalam bidang sosial dan ekonomi (Wahyudin, 1993). Oleh karena itu dalam rangka pengembangan sektor informal di Indonesia ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan, yaitu permodalan, teknologi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagaan. Sektor informal dengan segala keberadaannya akan senantiasa terus bertahan dan berkembang. Disamping itu, dalam melakukan aktivitasnya sektor informal disadari atau tidak akan selalu berhubungan dengan pemerintah setempat. Hubungan ini terutama pada pemakaian lokasi usaha dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan pelaksanaan usaha sektor informal.

2.2.2. Karakteristik Sektor Informal

Kajian mengenai kehidupan usaha pedagang bakso, merupakan suatu tinjauan tentang kondisi dan situasi usaha sektor informal, yang mencerminkan adanya keterikatan dan keterikatan potensi dan aktivitas usaha sektor informal yang berlangsung secara dinamis. Menurut wahyudin (1993) Tampak beberapa hal penting dalam memahami tumbuh dan berkembangnya sektor informal, yaitu :

1. Pertambahan angkatan kerja yang tidak seimbang dengan lapangan kerja yang tersedia. Keadaan ini tidak hanya menimbulkan pengangguran, tetapi

(7)

investasi dan pertumbuhan ekonomi cenderung lambat. Bahkan kondisi ini dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan dan mengguncang stabilitas politik nasional.

2. Pemanfaatan modal (capital) dan keterampilan. Industrialisasi yang berkembang di Indonesia, menurut pemanfaatan modal yang besar dengan penggunaan teknologi modern, misalnya bahwa sistem padat modal dijadikan sebagai alternatif pemecahan persoalan industrialisasi. Hal ini memungkinkan manusia-manusia Indonesia yang tidak punya modal dan pengetahuan serta keterampilan canggih belum dapat diserap oleh lapangan kerja tersebut. 3. Keterbatasan sektor pertanian. Sektor pertanian dapat dikatakan sebagai

lapangan kerja yang mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Akan tetapi dengan adanya pertambahan penduduk dan penyebarluasan teknologi pertanian, mengakibatkan lapangan kerja pertanian tidak lagi mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak lagi. Sifat tradisional yang masih melekat pada sebagian masyarakat pertanian dan alih usaha kepada non pertanian belum dapat dijembatani dengan baik. Tampaknya disatu pihak dituntut adanya pemanfaatan lahan pertanian yang terbatas secara tepat guna. Namun disis lain keterbatasan keterampilan masih menguasai sebagian besar petani (masyarakat) Indonesia.

4. Dampak keterbatasan sektor formal dan variabel tingkat upah. Sektor formal, yang meliputi bidang pemerintahan (pegawai), swasta (perbankan, perusahaan-perusahaan dan pabrik) dengan persyaratan dan kemampuan daya serapnya, ternyata tidak mampu mengantisipasi pertambahan angkatan kerja. Oleh karena itu, sektor informal dengan segala kesederhanaan dan elastisitasnya merupakan terobosan dan alternatif yang tepat.

5. Tuntutan bekerja bagi setiap angkatan kerja. Berbagai kondisi angkatan kerja Indonesia yang relatif rendah pendidikan, minim pengetahuan teknologi dan berbagai kelemahan lainnya, maka bagi mereka yang termasuk dalam angkatan kerja harus bekerja keras, dan apabila tidak mampu bekerja maka penduduk yang belum pantas bekerjapun harus bekerja. Sementara pemerintah sampai saat ini belum mampu untuk memberikan kompensasi bagi penganggur.

(8)

Jelaslah, bahwa tumbuh dan berkembangnya sektor informal merupakan akibat dari arah pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa keseluruhan. Dengan sektor informal memungkinkan masyarakat (pelaku usaha sektor informal) dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sektor informal dipandang sebagai usaha berskala kecil yang beroperasi dalam kegiatan produksi atau distribusi yang sedang berada dalam tahap pertumbuhan. Jenis usaha berskala kecil yang dimaksud dikelola oleh mereka yang miskin modal dan berpendidikan rendah atau sama sekali tidak berpendidikan yang tujuan utamanya untuk mencari pekerjaan dan memperoleh pendapatan. Sedangkan yang dimaksud dengan sektor formal adalah pekerja bergaji dengan jangka waktu tertentu (harian, mingguan, atau bulanan) dalam pekerjaan permanen, seperti dalam perusahaan industri, kantor pemerintah dan perusahaan-perusahaan lainnya. Sektor informal mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1. Kegiatan usaha yang dilakukan tidak terorganisir secara baik. Hal ini dapat dilihat dari faktor munculnya usaha tersebut tanpa menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang ada pada perekonomian modern.

2. Karena kebijaksanaan pemerintah umumnya tidak sampai pada sektor ini, maka sektor informal tidak mempunyai hubungan langsung dengan pemerintah.

3. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha dari pemerintah. 4. Pola kegiatan tidak teratur, baik dalam arti tempat maupun mengenai jam

kerja.

5. Unit usaha bisa dengan mudah beralih dari suatu sub sektor ke sub sektor lainnya.

6. Teknologi yang digunakan termasuk ke dalam teknologi yang sederhana. 7. Perputaran modal usaha relatif kecil dan skala usahanya terbatas.

8. Karena usahanya kecil dan tingkat teknologi sangat sederhana, maka untuk mengelola usaha ini tidak menuntut pendidikan tertentu, bahkan keahliannya didapat dari sistem pendidikan non formal dan pengalaman sambil keluarga. 9. Kebanyakan dari unit usahanya dimiliki oleh seseorang pengusaha dan tenaga

(9)

10. Sumber dana untuk modal tetap atau modal kerja kebanyakan berasal dari tabungan sendiri dan dari sumber-sumber keuangan tidak resmi lainnya.

2.2.3. Usaha Kecil Menengah (UKM)

Usaha Kecil Menengah meliputi usaha industri dan usaha perdagangan. Defenisi usaha mencakup paling tidak dua aspek, yaitu aspek penyerapan tenaga kerja dan aspek pengelompokan. Usaha ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang diserap dalam gugusan atau kelompok usaha tersebut. Menurut undang-undang tentang usaha mikro, kecil dan menengah tahun 2008, yang dimaksud dengan Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan. Undang-undang Republik Indonesia No.20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah pasal 3 menyatakan bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan.

Adapun kriteria usaha mikro, kecil dan menengah dalam undang-undang tersebut tercantum pada pasal 6. Kriteria usaha mikro adalah memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00. Kriteria usaha kecil adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00. Kriteria usaha menengah adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari

(10)

Rp500.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 sampai paling banyak Rp50.000.000.000,00.

Badan Pusat Statistik dan Departemen Perindustrian melakukan pemisahan yang berlaku terhadap skala usaha didasarkan pada jumlah tenaga kerja. Apabila tenaga kerja yang dimiliki terdiri atas 1-5 orang digolongkan kedalam usaha rumah tangga atau usaha skala kecil, usaha skala menengah mempunyai tenaga kerja antara 6-19 orang, dan usaha skala besar mempunyai tenaga kerja lebih dari 19 orang. Usaha Kecil Menengah memiliki kendala-kendala dalam mempertahankan dan pengembangan usaha (bisnis) baik yang bersifat internal maupun eksternal, permasalahan-permasalahannya diantaranya adalah kurangnya pengetahuan pengelolaan usaha (manajemen), kurang modal, teknologi, lemah di bidang pemasaran dan adanya pungutan. Usaha kecil menengah memegang peranan penting dan strategis baik di lingkungan domestik, regional maupun internasional. Usaha kecil menengah mempunyai potensi yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat sehingga perlu diberdayakan dan dikembangkan agar mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan.

2.3. Penelitian Terdahulu

Wahyudin (1993) melakukan penelitian tentang pedagang bakso di Salatiga, studi kasus tentang sebuah usaha di sektor Informal. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui latar belakang sebelum menjadi pedagang bakso, mengetahui proses menjadi pedagang bakso, dan menganalisis bentuk dan mekanisme kegiatan usaha pedagang bakso. Jumlah sampel dalam penelitian 30 pedagang bakso yang beroperasi di Salatiga, terdiri atas 18 orang pedagang keliling dan 12 orang pedagang kaki lima. Analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitiannya adalah sebagian besar pedagang bakso berasal dari daerah pedesaan di luar kota Salatiga, kegiatan sebelum menjadi pedagang bakso ialah sebagai penjual es potong, petani penggarap, menganggur dan bersekolah sambil rewang. Dalam proses menjadi pedagang bakso seseorang dapat dengan mudah, murah dan cepat memperoleh keterampilan usaha tanpa biaya pendidikan atau persyaratan lainnya yang menyusahkan calon pedagang.

(11)

Yuliadini (2000) melakukan penelitian tentang analisis pendapatan dan faktor kewirausahaan pedagang bakso sapi keliling di Kota Bogor Jawa Barat dengan tujuan menganalisis pendapatan/keuntungan usaha, menganalisis besarnya kontribusi pendapatan dari usaha bakso sapi keliling terhadap pendapatan total keluarga dan mengidentifikasi pengaruh faktor-faktor pendidikan, pengalaman usaha, motivasi, lokasi usaha dan nilai masyarakat sekitar lokasi usaha terhadap prilaku kewirausahaan pedagang bakso sapi keliling. Rata-rata pendapatan pedagang bakso sapi keliling yang menggunakan gerobak sebesar Rp 5.890.010,34 dan pikulan sebesar Rp 5.240.007,69. Rata-rata pendapatan pedagang bakso keliling di Kota Bogor secara keseluruhan sebesar Rp 5.648.580,79/tahun/pedagang. Rata-rata kontribusi pendapatan pedagang bakso sapi keliling terhadap pendapatan total keluarga sebesar 91,82 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan pedagang bakso sapi keliling di kota Bogor adalah pendidikan, pengalaman usaha, motivasi dan lokasi usaha berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku kewirausahaan dengan nilai F=36,24 pada taraf signifikasi 0,01.

Elmi (2005) penelitian tentang Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah Industri Kecil Keripik dan Sale Hasil Produk Olahan Pisang, kasus industri kecil keripik dan sale pisang di desa sawarna kecamatan bayah, kabupaten lebak, provinsi banten. Alat analisis yang digunakan adalah analisis pendapatan, analisis R/C dan analisis nilai tambah. Berdasarkan alat analisis yang digunakan tersebut maka hasilnya rata-rata penerimaan pengrajin keripik pisang di desa sawarna perbulan sebesar Rp 20.670.000,- dengan kapasitas produksi sebesar 1.950 kg keripik. Rata-rata total pengeluaran pengrajin Rp 17.237.630,- sehingga pendapatan pengrajin keripik selama sebulan sebesar Rp 3.432.370,-. Rata-rata penerimaan pengrajin sale pisang selama sebulan sebesar Rp 4.561.440,- dengan kapasitas produksi sebesar 1.786,9 kg sale. Rata-rata pengeluaran total sebesar Rp 3.922.249,5 perbulan, sehingga pendapatan yang diterima pengrajin atas total pengeluaran perbulan sebesar Rp 771.970,5. Pada kegiatan pengolahan keripik pisang, rasio R/C atas biaya tunai sebesar 1,22 dan rasio R/C atas biaya total sebesar 1,3 dan rasio R/C atas biaya total sebesar 1,2. Nilai R/C rasio dari kedua

(12)

kegiatan pengolahan bernilai lebih besar dari satu, dapat dikatakan bahwa kedua kegiatan pengolahan sudah efisien, menguntungkan dan layak dilaksanakan.

Anggraini (2006) melakukan penelitian tentang analisis pendapatan dan strategi pemasaran usaha warung tenda pecel lele di sepanjang jalan pajajaran Bogor dengan tujuan mengidentifikasi profil dan karakteristik pedagang warung tenda pecel lele, menganalisis pendapatan usaha warung tenda pecel lele dan memformulasi strategi pemasaran yang dapat diterapkan pada usaha warung tenda pecel lele. Alat analisis yang digunakan adalah IFE, EFE dan SWOT. Maka hasil yang didapatkan adalah berdasarkan matrik IFE dan EFE, posisi usaha berada pada sel V dan strategi yang sesuai adalah hold and maintain. Strategi yang dapat diterapkan adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk. Berdasarkan matrik SWOT diperoleh strategi yaitu meningkatkan kualitas produk, fasilitas pesan antar, promosi yang lebih baik lagi, hubungan yang baik dengan pemasok.

Syukron (2009), melakukan penelitian tentang analisis keuntungan pedagang martabak manis kaki lima di Kota Bogor, dalam penelitian ini menggunakan alat analisis keuntungan yang merupakan hasil pengurangan antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan, analisis keuntungan untuk usaha martabak ini dianalisis peneliti pada saat terjadinya kenaikan dan sebelum terjadinya kenaikan tepung terigu sebagai bahan bahan baku martabak. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan didapat nilai R/C ratio sebesar 1,56 sebelum terjadinya kenaikan harga tepung terigu dan terjadinya penurunan R/C ratio yang didapat nilai sebesar 1,34 yaitu pada saat terjadi kenaikan harga tepung terigu, berdasarkan analisis menunjukan bahwa secara keseluruhan usaha martabak tersebut menguntungkan secara ekonomi karena memiliki nilai R/C ratio lebih besar dari satu.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dari topik dan tujuan penelitian. Penelitian ini membahas analisis pendapatan yang diperoleh pedagang bakso di Kota Bogor dengan melihat seberapa besar penerimaan dan pengeluaran dari usaha yang dilakukan oleh pedagang bakso mangkal serta pedagang bakso keliling yang ada di Kota Bogor. Selain itu, membahas karakteristik pedagang bakso di Kota Bogor. Adapun ringkasan penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 3 sebagai berikut:

(13)

34 Tabel 3. Ringkasan Penelitian Terdahulu

Nama Judul Alat Analisis Hasil

Syukron (2009)

Analisis Keuntungan Pedagang Martabak Manis Kaki Lima di Kota Bogor

 Analisis deskriptif  R/C Rasio  / Rasio

 Usaha martabak manis kaki lima dilokasi penelitian mampu memberikan manfaat financial bagi pedagang

 R/C ratio atas biaya tunai dan biaya total lebihbesar daripada 1

Dian Anggraini (2006) Analisis Pendapatan dan Strategi Pengembangan Pemasaran Usaha Warung Tenda Pecel Lele di Sepanjang Jalan Pajajaran Bogor

 IFE  EFE  SWOT

 Berdasarkan matriks IFE dan EFE, pososi usaha berada pada sel V dan strategi yang sesuai adalah hold and maintain. Strategi yang dapat diterapkan adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk

 Berdasarkan matriks SWOT diperoleh strategi yaitu meningkatkan kualitas produk, fasilitas pesan antar, promosi yang lebih baik lagi, hubungan yang baik dengan pemasok.

Elmi Sipta Jati (2005)

Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah Industri Kecil Keripik dan Sale Hasil Produk Olahan Pisang  Analisis Pendapatan  R/C Rasio  Analisis nilai tambah

 Pada pengolahan keripik R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1.22 dan R/C rasio atas biaya total sebesar 1.17 persen.

 Pada pengolahan sale R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1,3 dan R/C rasio atas biaya total sebesar 1,2 persen Yuliadini

(2000)

Analisis Pendapatan

dan Faktor

Kewirausahaan Pedagang Bakso Sapi Keliling di Kota Bogor Jawa Barat

 Analisis Pendapatan  Analisis

Regresi Linier Berganda

 Rata-rata pendapatan pedagang bakso sapi keliling di Kota Bogor sebesar Rp 5.648.580,79/tahun/pedagang  Faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku kewirausahaan pedagang bakso sapi keliling di Kota Bogor adalah pendidikan, pengalaman usaha, motivasi dan lokasi usaha berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku kewirausahaan dengan nilai F = 35,24 pada taraf signifikan 0,01.

Wahyudin (1993)

Pedagang Bakso di Salatiga: Studi Kasus Tentang Sebuah Usaha di Sektor Informal.

 Analisis Deskriptif

 sebagian besar pedagang bakso berasal dari daerah pedesaan di luar kota Salatiga.

 kegiatan sebelum menjadi pedagang bakso ialah sebagai penjual es potong, petani penggarap, menganggur dan bersekolah sambil rewang.

 Dalam proses menjadi pedagang bakso seseorang dapat dengan mudah, murah dan cepat memperoleh keterampilan usaha tanpa biaya pendidikan atau persyaratan lainnya yang menyusahkan calon pedagang.

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan matematika realistis (RME) (dalam Syahfitri A., dkk, 2017) merupakan sebuah pendekatan yang berasal dari masalah kontekstual, dalam hal ini mahasiswa

andersoni yang ditemukan adalah 311 ekor, sebagian besar ditemukan pada usus (82,96%), sisanya pada lambung dan cecum dengan jumlah cacing per individu inang adalah 1-66.. Jenis

Selanjutnya pada tahap inti aktivitas guru adalah (1) penguasaan terhadap materi pelajaran, (2) penyampaian materi secara sistematis sesuai dengan indikator, (3) melibatkan siswa

Sementara untuk tujuan makalah ini adalah merancang Sinkronisasi dan CS pada audio watermarking, menganalisis kualitas audio yang sudah disisipkan watermark dibandingkan

Penegakan s Penegakan sanksi anksi pidana pidana pada pasal 157 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan pada pasal 157 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

Saat pasien di pasang plate and scrw pasien jarng latihan atau kurangya aktivitas lengan kanannya dan terjadi penurunan LGS siku kanannya, kemudian saat

KESATU : Mengangkat mereka yang nama-namanya tercantum dalam lampiran keputusan ini sebagai Tim Dosen Wali Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Pada Fakultas

Pemeriksa melakukan kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b dengan berpedoman pada program kegiatan pemeriksaan tercantum dalam Lampiran