• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGKAJIAN KERAGAAN, PERMASALAHAN DAN ALTERNATIF SOLUSI PROGRAM IB SAPI POTONG DI JAWA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGKAJIAN KERAGAAN, PERMASALAHAN DAN ALTERNATIF SOLUSI PROGRAM IB SAPI POTONG DI JAWA TIMUR"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PENGKAJIAN KERAGAAN, PERMASALAHAN DAN ALTERNATIF

SOLUSI PROGRAM IB SAPI POTONG DI JAWA TIMUR

(Productive Performance of Artificial Insemination (AI) Beef Cows Program under Village Condition at East Java in the 2000 Year)

MOHAMAD ALI YUSRAN, LUKMAN AFFANDHY danSUYAMTO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Grati, Pasuruhan, Jawa Timur

ABSTRACT

The objectives of this study were to obtain information about the productivity performance of Artificial Insemination (AI) beef cows program under village condition at East Java in the 2000 year, to describe the problem of the program, and to find alternative solutions to get its optimization. This study was based on AI program in 2000 in East Java. Selected study sites were several AI beef cows program areas, that are Kecamatan Maron dan Besuk, Probolinggo, Kecamatan Yosowilangun dan Kirowokangkung, Lumajang, Kecamatan Singosari–Malang, Kecamatan Tikung, Lamongan, and Kecamatan Widang, Tuban. This study used a survey method. Data were collected using direct observation and interviews with prepared structural questionnaires, and analyzed with descriptive method. The result showed that the average of service per conception (S/C) was less than 2 (two) while conception rate was 60.5%. Simmental and Limousin bull semen were the most preferenced by farmers. The Post Thawing Motility (PTM) of frozen semen in village condition was around 31–40%. The price of AI calves result was higher than naturally mated calves. The internal problems of farmers were most likely an unfavorable condition of cows and low quality of feed provided to calves post weaning. Meanwhile the internal services problems were mainly due to lack of AI facilities such as a limitation of LN2 containers at inseminator level and number of sheet gun.

Key words: AI, beef cattle, performance, problem

ABSTRAK

Pengkajian ini dilaksanakan dengan tujuan memperoleh informasi keragaan produktivitas program IB sapi potong di tingkat lapangan per kondisi tahun 2000, dan mengetahui permasalahan di tingkat lapangan serta memperoleh alternatif solusinya dalam upaya optimalisasi program IB sapi potong di Jawa Timur. Pengkajian ini merupakan pengkajian deskriptif pada kondisi pelaksanaan program IB sapi potong di Jawa Timur pada tahun 2000. Lokasi pengkajian di beberapa wilayah program IB sapi potong yang telah terpilih secara acak, yaitu Kecamatan Maron dan Besuk, Probolinggo, Kecamatan Yosowilangun dan Kirowokangkung–Lumajang, Kecamatan Singosari, Malang, Kecamatan Tikung, Lamongan, dan Kecamatan Widang, Tuban. Metode pengkajian adalah survey. Teknik pengambilan data menggunakan cara observasi langsung dan teknik wawancara dengan menggunakan kuisioner berstruktur. Analisa data dilakukan secara deskriptif. Hasil pengkajian menunjukkan, bahwa dalam program IB sapi potong di Jawa Timur telah dicapai Serevice/conception (S/C) kurang dari dua, dan rata-rata Angka konsepsi (AK)=60,5%. Selain itu, secara umum, straw semen beku sapi Simmental dan Limousin merupakan pilihan utama peternak akseptor IB. Kualitas semen straw semen beku atas dasar Post Thawing Motility (PTM) adalah berkisar 30–40%. Sapi-sapi potong hasil IB mempunyai harga jual lebih tinggi daripada hasil kawin alam dengan pejantan lokal. Permasalahan internal peternak adalah kondisi sapi-sapi potong induk yang kurus, peternak berkemampuan ekonomi rendah dan rendahnya kualitas nutrisi ransum untuk sapi-sapi hasil IB setelah lepas sapih. Sedang permasalahan faktor internal layanan adalah jumlah kontainer semen beku di tingkat inseminator yang terbatas dan berkualitas rendah, serta kurang sempurnanya peralatan inseminasi terutama sheet-gun yang terbatas. Kata kunci: IB, sapi potong, keragaan, permasalahan, solusi

(2)

PENDAHULUAN

Pembangunan subsektor peternakan, khususnya sapi potong, di Jawa Timur berperan penting dalam struktur perekonomian daerah, terutama di pedesaan. Hal ini didasarkan atas masih terbuka luas peluang pasar untuk komoditas sapi potong di dalam negeri (OETORO, 1997), sedangkan lebih dari 35% populasi sapi potong di Indonesia berada di Jawa Timur (DIRJEN PETERNAKAN, 1998); dan diperkirakan lebih dari 90% bangsa sapi potong tersebut (sapi PO dan silangannya maupun sapi Madura) dibudidayakan oleh petani-petani kecil/rakyat yang jumlahnya juga lebih dari 90% dari totral petani di pedesaan di Jawa Timur ini.

Dengan demikian mengembangkan dan meningkatkan produktivitas sapi potong di Jawa Timur, berarti juga akan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan ekonomi di sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa Timur.

Ada dua aspek dalam usaha ternak sapi potong, yakni produksi bakalan untuk penggemukan (feeder cattle) dan produksi hasil penggemukan (fattening). Pada aspek produksi bakalan, produktivitas sapi potong induk mempunyai peran utama, yakni sebagai penghasil anak sapi/pedet dan menyusuinya hingga disapih. Peran ini berkaitan dengan masalah program reproduksi/perkawinan, baik dalam jumlah maupun kualitas pedet yang dihasilkan.

Oleh karena itu prioritas pembangunan peternakan Jawa Timur 2001 dan tahun–tahun berikutnya diantaranya adalah mengembangkan budidaya dan meningkatkan produktivitas sapi potong melalui peningkatan laju reproduksi sapi potong induk dan optimalisasi program inseminasi buatan/IB (DISNAK PROP. JAWA TIMUR, 2000).

Guna menunjang kebijakan mencapai kinerja yang optimal, perlu diketahui terlebih dahulu keragaan kinerja yang telah dicapai, permasalahan yang ada maupun potensi masalah dan alternatif– alternatif solusinya. Oleh karena itu, pengkajian ini dilakukan dengan tujuan (1). Memperoleh informasi keragaan produktivitas program IB sapi potong di tingkat lapangan per kondisi tahun 2000, dan (2). Mengetahui permasalahan di tingkat lapangan dan memperoleh alternatif solusinya untuk peningkatan produktivitas dan kemanfaatan program IB sapi potong .

METODOLOGI Lokasi pengkajian

Pengkajian ini telah dilaksanakan di beberapa sentra usahaternak sapi potong induk di Jawa Timur yang bertopografi datar dengan ekosistem persawahan yakni di beberapa desa yang telah terpilih secara acak untuk pengumpulan data primer; Desa Gerongan Kecamatan (Kec.) Maron, Desa Besuk Agung Kec. Besuk Kabupaten (Kab.) Probolinggo; Desa Bulaktal Kec. Yosowilangun, Desa Kalipepe Kec. Kirowokangkung Kab. Lumajang; Desa Baturetno, Desa Dongkol Kec. Singosari Kab. Malang; Desa Pule, Desa Bakalpule Kec. Tikung Kab. Lamongan; Desa Pancur Kec. Widang Kab. Tuban.

Prosedur pengkajian

Pengkajian ini merupakan pengkajian deskriptif yang meliputi: (1). Keragaan produktivitas IB sapi potong di tingkat lapangan/peternak, (2). Merumuskan permasalahan dalam program IB di lapangan (tidak termasuk di Balai Inseminasi Buatan/BIB dan Disnak Tingkat I maupun II), dan (3)

(3)

menentukan faktor–faktor potensial untuk meningkatkan efisiensi program IB pada sapi potong di Jawa Timur.

Pengkajian ini dilaksanakan dengan metoda survey. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara observasi langsung dan wawancara dengan menggunakan kuisioner berstruktur, baik terhadap peternak responden maupun sumber-sumber informasi yang terkait (inseminator dan Dinas Peternakan,). Selain itu juga digunakan metoda Rapid Rural Appraisal. Data sekunder dikumpulkan mulai dari semua pihak terkait.

Data primer yang dikumpulkan meliputi: Service per conception (S/C), Angka konsepsi/kebuntingan (AK), .kualitas semen dari straw semen beku setelah thawing (Post thawing

motility=PTM), kuantitas dan kualitas peralatan IB, sistem pelaporan dan pelayanan IB, Preferensi

dan respon peternak terhadap program IB, permasalahan ekstrinsik dan intrinsik pada program IB sapi potong, harga straw, dan nilai ekonomi sapi turunan hasil IB. Sementara itu, data sekunder meliputi: distribusi straw/semen beku, N2 cair dan peralatan IB, Imbangan inseminator dan jumlah sapi, atau inseminator dan luas wilayah kerja, populasi sapi induk akseptor IB, sarana pendukung pelaksana program IB di lapangan, dan potensi wilayah untuk pelaksanaan program IB.

Data yang diperoleh dianalisa dan diinterpretasikan secara deskriptif dan penghitungan nilai rata-rata untuk data yang bersifat parametrik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan program IB

Keragaan hasil program IB sapi potong pada aspek reproduktivitas sapi akseptor IB disajikan pada Tabel 1. Tampak bahwa kinerja program IB pada aspek reproduktivitas sama dengan laporan Disnak Propinsi Jawa Timur tahun 1998, yaitu S/C kurang dari 2 (dua) dan AK sekitar 60%. Terbatasnya sarana dan prasarana untuk program IB serta kombinasi faktor fertilitas induk dan teknik inseminasi, pencapaian angka konsepsi 64% dianggap sudah cukup bagus (TOELIHERE, 1995; DJANUAR 1988).

Kinerja tersebut berimplikasi pada efesiensi peningkatan laju reproduktivitas maupun efisiensi ekonomi program IB. Dengan S/C kurang dari 2 (dua) dan periode anestrus post-partum (APP) kurang dari 90 hari, maka akan diperoleh jarak beranak yang optimal (12–13 bulan). Hal ini berarti juga meningkatkan life productivity sapi-sapi induk di wilayah program IB. Akan tetapi AK yang telah dicapai (Tabel 1) masih perlu diupayakan untuk ditingkatkan hingga mendekati 80%, seperti dianjurkan oleh VANDEPLASSCHE (1980). Sebab meningkatnya AK ini berarti akan meningkat pula

calf–crop sapi-sapi potong induk di wilayah program IB sapi potong yang bersangkutan.

Upaya-upaya yang mempunyai peluang untuk dapat meningkatkan AK, antara lain adalah: 1. Mempertahankan kualitas semen straw semen beku dengan memperbaiki kualitas kontainer–

kontainer straw (tingkat kebocoran nitrogen cair mendekati NOL), terjaminnya suplai nitrogen cair di tingkat inseminator dan pembudayaan tata cara thawing yang benar di kalangan inseminator.

2. Lebih mengefektifkan sistem pelaporan permintaan IB oleh peternak ke inseminator dengan memanfaatkan secara maksimal sarana komukasi modern (telepon).

(4)

3. Mengaktifkan kembali aktifitas kelompok-kelompok peternak akseptor IB yang dapat ditempuh melalui acara lomba hasil IB dan pemberian penghargaan/insentif kepada kelompok peternak akseptor IB yang berprestasi atau aktif.

4. Meningkatkan jumlah inseminator dengan sasaran mengoptimalkan rasio jumlah inseminator dengan populasi sapi induk di tiap wilayah program IB sapi potong. Rasio yang optimal adalah 1000 ekor/1 desa/4 inseminator atau 75–100 ekor/1 desa/inseminator (Djanuar, 1988). Guna memperbanyak jumlah inseminator dapat dilakukan dengan mencetak inseminator-inseminator swasta secara swadaya.

5. Memperbaiki skor kondisi tubuh sapi–sapi induk pasca beranak dengan cara antara lain mengeterapkan program surge feeding with tree legumes seperti yang telah di rekomendasikan oleh ACIAR Project No. 9312 (1999).

Tabel 1. Keragaan rata-rata S/C dan AK sapi-sapi akseptor IB di lokasi pengkajian, Oktober-Nopember 2000

Lokasi pengamatan N

(ekor) S/C

Angka Konsepsi (%) - Kabupaten Lumajang:

- Desa Bulaktal–Kecamatan Yosowilangun - Desa Kalipepe–Kecamatan Kirowokangkung - Kabupaten Probolinggo:

- Desa Besukagung–Kecamatan Besuk - Desa Gerongan–Kecamatan Maron - Kabupaten Malang:

- Desa Baturetno-Kecamatan Singosari - Desa Dongkol-Kecamatan Singosari - Kabupaten Lamongan:

- Desa Bakalanpule–Kecamatan Tikung - Desa Pule-Kecamatan Tikung - Kabupaten Tuban:

- Desa Pancur–Kecamatan Widang

16 20 21 25 24 20 32 19 28 1,5±0,7 1,9±0,2 1,4±0,6 2,0±1,0 1,4±0,6 1,5±0,7 1,5±0,8 1,6±0,8 1,6±0,7 62,5 60,0 66,7 56,3 64,3 61,1 63,8 57,1 55,6 Keseluruhan 205 1,6±0,7 60,5

Keragaan hasil program IB yang berkaitan dengan aspek kualitas hasil ditunjukan dengan harga sapi, seperti tertera di Tabel 2 dan 3, serta pendapat peternak tentang turunan hasil IB.

Data pada Tabel 2 dan 3 menunjukkan, bahwa aplikasi program IB pada sapi potong di lokasi-lokasi pengkajian memberi dampak positif terhadap nilai ekonomi/harga ternak. Hal tersebut dikarenakan harga–harga tersebut lebih tinggi sekitar Rp. 500. 000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- dibandingkan harga sapi hasil perkawinan alam/non IB pada semua tingkatan umur. Adanya dampak positif tersebut didukung pula oleh hasil wawancara terhadap peternak responden akseptor IB, bahwa seluruh (100%) responden menyatakan hasil IB sapi potong selalu lebih besar dan harga jualnya lebih tinggi dibandingkan sapi hasil perkawinan alam dengan pejantan lokal. Hal serupa juga dijumpai di wilayah Kabupaten Gunung Kidul dan Bantul di D.I. Yogyakarta, seperti dilaporkan oleh PRIYANTO et al. (1998 b).

(5)

Upaya konservasi hasil-hasil IB yang bermutu tinggi (sapi betina) untuk dijadikan sebagai bibit sapi induk nampaknya tidak dilaksanakan oleh pemerintah. Upaya konservasi justru dilakukan sendiri oleh sebagian kecil peternak akseptor IB dengan mempertahankan turunan hasil IB berkelamin betina untuk dijadikan calon sapi induk pemeliharaannya, tetapi usaha ini tidak mantap sebab setiap saat sapi-sapi tersebut dijual oleh peternaknya guna memenuhi kebutuhan keluarga. Tabel 2. Kisaran harga jual sapi hasil IB jantan menurut umur dan lokasi, Oktober–Nopember 2000

Kisaran harga jual sapi (x Rp. 1.000,-) Bangsa sapi Umur

(bulan) Y.wilangun dan K.kangung, Lumajang Maron dan Besuk, Probolinggo Singosari, Malang Tikung, Lamongan Pancur- Tuban 4 s/d 5 2.000–2.500 1.750–3.000 tad 2.000–3.500 2.000–2.800

6 s/d 7 tad tad tad 2.600 tad

Simmental

8 s/d 9 tad tad tad 3.000 tad

2 s/d < 4 1.500–2.000 tad tad Tad 2.000–2.200 4 s/d 5 tad 2.100–2.500 1.500–2.400 Tad tad

6 s/d 7 tad tad tad 2.700–3.000 tad

8 s/d 9 tad tad tad 2.500–3.100 tad

Limousin

10 s/d 12 tad 3.000 3.000 Tad tad

2 s/d < 4 tad tad tad Tad 1.400

4 s/d 5 1.500 – 3.000 2.000–2.200 tad Tad Tad

6 s/d 7 1.800 – 2.750 tad tad Tad Tad

Brangus

10 s/d 12 2.800–3.500 tad tad 3.000 Tad

4 s/d 5 1.000–1.900 1.000–1.400 tad Tad 1.000–1.750

6 s/d 7 tad 2.300–2.400 2.300–2.450 Tad 2.100–2.400

Brahman

10 s/d 12 1.800–2.350 3.000–3.500 2.200–2.500 Tad tad

Keterangan: *t.a.d = tidak diperoleh data di lapangan

Hal lain yang menarik diperoleh dari pengamatan harga sapi hasil IB ini, adalah bahwa kenaikan harga sapi antara umur 4–5 bulan ke 10–12 bulan adalah relatif rendah atau bahkan pada beberapa contoh ternak harganya sama.

Keragaan kualitas semen straw semen beku di tingkat inseminator atau peternak (hasil penyimpanan dan handling di tingkat inseminator) yang ditunjukkan dengan indikator angka persentase PTM, yakni rata-rata 35% dengan kisaran 30–40% (Tabel 4) adalah merupakan angka persentase PTM yang lebih rendah daripada standard angka persentase PTM untuk straw-straw yang layak didistribusikan oleh BIB Singosari (standard BIB Lembang tidak diketahui), yaitu minimal 40% (HEDAH, 1993 dikutip oleh KOMARUDIN-MA’SUM et al., 1993). Penurunan angka persentase PTM ini tentunya berpotensi menekan AK atau meningkatkan S/C pada program IB sapi potong di Jawa Timur.

(6)

Tabel 3. Kisaran harga jual sapi hasil IB betina menurut umur dan lokasi, Oktober–Nopember 2000

Kisaran harga jual sapi ( x Rp. 1.000,-) Bangsa

sapi

Umur

(bulan) Y.wilangun, K.kangung, Lumajang Maron dan Besuk,Probo-linggo Singosari, Malang Tikung, Lamongan Pancur, Tuban 4 s/d 5 1.500 1.500–3.000 tad tad 1.300–1.850

6 s/d 7 tad tad tad 2.500 Tad

Simmenta l

10 s/d 12 tad 2.000–2.500 tad tad Tad

2 s/d < 4 tad tad tad 2.000 Tad

4 s/d 5 tad tad tad 1.900–2.100 Tad

6 s/d 7 1.500–1.800 tad 1.500 tad Tad

Limousin

10 s/d 12 tad tad 2.500 3.000–3.400 3.000

4 s/d 5 tad 2.000–2.200 tad tad Tad

Brangus

6 s/d 7 2.400–2.550 tad tad tad Tad

4 s/d 5 tad 750 tad tad 1800

6 s/d 7 tad tad tad tad 1.880–2.200

Brahman

10 s/d 12 tad 1.800–2.000 2.000 tad 2.500

Keterangan: *t.a.d = tidak diperoleh data di lapangan

Adapun faktor-faktor penyebabnya diduga karena: (1). Terjadinya cold shock yang berakibat menurunnya motilitas spermatozoa selama pemindahan straw semen beku dari kontainer satu ke kontainer lainnya dalam perjalanan distribusinya yang dikutip KOMARUDIN-MA’SUM et al., 1993), dan (2). Suhu dalam kontainer tidak ideal bagi penyimpanan straw semen beku dalam periode yang cukup lama (suhu di atas minus 176oC), karena kurangnya nitrogen cair dalam kontainer yang disebabkan terjadinya penguapan yang tidak normal/kebocoran (insulator kontainer yang sudah rusak, sering terbuka atau tutup kurang rapat) merupakan sisi lain masalah faktor internal layanan yang menghambat optimalisasi program IB (Tabel 7).

Berdasarkan preferensi peternak terhadap bangsa sapi pejantan penghasil straw semen beku di beberapa wilayah program IB, bangsa sapi Simmental merupakan pilihan utama (Tabel 5); walaupun harga strawnya lebih mahal.

Pilihan tersebut selaras dengan keinginan Gubenur Jawa Timur untuk mengutamakan penyebaran straw semen beku sapi Simmental (Simmentalisasi) dalam program IB sapi potong di Jawa Timur (Informasi pribadi dari Kepala Disnak Kabupaten Lumajang dan petugas Koordinator Inseminator program IB Kabupaten Probolinggo).

(7)

Tabel 4. Rata-rata persentase motilitas spermatozoa setelah thawing (Post Thawing motility = PTM) semen

yang berasal dari straw semen beku di lokasi pengkajian, Oktober-Nopember 2000 Persentase PTM (%) Lokasi pengkajian/bangsa pejantan

semen beku

Jumlah straw

sample Rata-rata Kisaran

Kecamatan Kirowokangkung, Lumajang: Brangus

Brahman

Kecamatan Maron dan Besuk, Probolinggo: Simmental Limousin Kecamatan Widang–Tuban: Simmental Brahman 3 3 3 2 3 3 35 37 35 38 32 35 30–40 35-40 30–40 35–40 30–35 35 Keseluruhan 17 35 30-40

Bangsa sapi Simmental merupakan bangsa sapi yang sangat populer di daratan Eropa dan berfungsi dwiguna, yaitu sebagai sapi pedaging dan sapi perah. Bangsa sapi ini mempunyai karakter berat sapih dan pertambahan berat badan pasca sapih yang tinggi (PANE, 1986). Sebenarnya bangsa ini lebih baik untuk digunakan memperbaiki mutu sapi–sapi lokal di Jawa Timur dibandingkan sapi Brahman, sebab populasi dasar sapi potong di Jawa Timur adalah kelompok sapi Zebu (Peranakan Ongole/PO), seperti halnya sapi Brahman, yang meskipun mempunyai daya adaptasi sempurna terhadap lingkungan di Jawa Timur tetapi produktivitasnya (berat badan) rendah dan mutu dagingnya kurang dibandingkan sapi Simmental yang termasuk kelompok Taurus. Apabila dikawin silangkan antara sapi Simmental dengan sapi PO (lokal), maka turunannya diharapkan akan mewarisi keunggulan sapi Simmental berupa pertambahan berat badan yang tinggi dan mutu daging yang lebih baik dan juga akan mewarisi keunggulan sapi PO berupa daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan di Jawa Timur.

Adapun alasan utama peternak lebih memilih sapi Simmental atau Limousin adalah harga sapi hasil IB dengan bangsa sapi ini mempunyai harga yang lebih tinggi (lihat Tabel 2 dan 3).

Khusus di Kecamatan Maron dan Besuk Kabupaten Probolinggo, peternak akseptor IB kurang menyukai straw bangsa sapi Brangus dikarenakan sapi-sapi yang dihasilkan mempunyai

performance tidak seragam atau variasinya terlalu luas. Sedang di Kecamatan Singosari, rendahnya

minat Simmental dibandingkan Brahman dikarenakan masih belum populernya bangsa sapi tersebut di kalangan peternak Kecamatan Singosari.

Permasalahan pelaksanaan program IB sapi potong

Beberapa faktor yang teramati dan terklarifikasi sebagai masalah/hambatan, baik yang sudah nyata maupun masih berpotensi, dalam upaya optimalisasi program IB sapi potong disajikan pada Tabel 6. Dalam pengamatan tidak mencakup permasalahan penyakit.

(8)

Tabel 5. Distribusi dan nomor urut pilihan straw oleh peternak, Oktober-Nopember 2000

Nomor urut pilihan (%)

Kecamatan-Kabupaten/ Bangsa pejantan semen beku

Utama 2 3 4 Kecamatan Y.wilangun dan K.kangkung–Kabupaten Lumajang (n = 48

peternak) - Brahman - Brangus - Limousin - Simmental 0 5 25 70 0 5 70 25 40 60 0 0 60 40 0 0 Kecamatan Maron dan Besuk–Kabupaten Probolinggo (n = 32 peternak):

- Brahman - Brangus - Limousin - Simmental 0 0 20 80 0 0 80 20 100 0 0 0 0 100 0 0 Kecamatan Singosari–Kabupaten Malang (n = 42 peternak):

- Brahman - Brangus - Limousin - Simmental 90 0 10 0 10 0 90 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Kecamatan Tikung–Kabupaten Lamongan (n = 53 peternak):

- Brahman - Brangus - Limousin - Simmental 0 0 92 8 0 0 8 92 100 0 0 0 0 0 0 0 Kecamatan Widang–Kabupaten Tuban (n = 23 peternak):

- Brahman - Brangus - Limousin - Simmental 0 0 5 95 0 0 95 5 0 100 0 0 100 0 0 0

Permasalahan nyata dari faktor internal peternal yang paling berat menekan produktivitas program IB sapi potong di Jawa Timur adalah rendahnya kualitas pakan lepas sapih bagi sapi-sapi hasil IB (Tabel 6).

Hasil pengamatan tentang performance sapi hasil IB yang dipersepsikan pada harga jualnya. Pada pengkajian ini menunjukkan, bahwa harga jual pada umur 8–12 bulan dibandingkan dengan harga umur 4–5 bulan (umur sapih) secara ekonomis tidak ada kenaikan yang berarti. Hasil ini selaras dengan laporan THALIB (1991), bahwa pertambahan berat badan pasca sapih anak–anak sapi hasil IB sangat menurun tajam bahkan sama dengan turunan sapi hasil perkawinan alam. Hal ini menunjukkan terjadi perlambatan laju kecepatan pertambahan berat badan pasca sapih.

(9)

Tabel 6. Beberapa faktor eksternal dan internal peternak yang berkaitan dengan permasalahan optimalisasi

program IB sapi potong, Oktober-Nopember 2000

Bermasalah * Faktor–faktor eksternal

Ya Tidak

Fasilitas jalan di wilayah IB - √

Sarana komunikasi di wilayah IB - √

Adanya sapi jantan dewasa sebagai pemacek di wilayah IB + -

Kondisi sapi induk (skor kondisi tubuh) ++ -

Kualitas pakan lepas sapih bagi sapi hasil IB +++ -

Adanya kelompok peternak akseptor IB - √

Tingkat pendidikan peternak - √

Kemampuan ekonomi/ daya beli peternak untuk straw ++ -

Permintaan sapi hasil IB/ peluang pasar - √

Sapi hasil IB yang tidak seragam performance-nya ++ -

Ketrampilan peternak mendeteksi sapi berahi - √

Respon peternak terhadap kualitas sapi hasil IB - √

Ketersediaan kartu IB dan pelaksanaan recording IB (termasuk

PKB) serta operasional petugas ATR ++ -

Keterangan: (+++) masalah berat, (++) masalah sedang, dan (+) masalah ringan

Adapun penyebab utamanya antara lain kekurangan nutrisi setelah tidak memperoleh air susu dari induknya yang berkaitan dengan: (1). Pemberian pakan yang rendah secara kualitas dan kurang secara kuantitas, dan (2). Rendahnya daya adaptasi sapi hasil silangan terhadap kondisi pakan di Jawa Timur.

Alternatif solusi untuk penyebab kemungkinan yang pertama, kiranya dapat diterapkan “kiat“ petugas Koordinator Inseminator Kabupaten Probolinggo, yaitu tidak akan dilayani IB apabila peternak tidak memperhatikan atau mengutamakan pakan sapi hasil IB setalah lepas sapih (merubah sikap dan perilaku peternak). Disamping itu diperlukan peningkatan kemampuan wilayah program IB untuk penyediaan pakan sapi, terutama hijauan pakan yang berkualitas, misalnya pembanguan

bank leguminosa (tree legumes establishment).

Laporan YUSRAN et al. (1993) di populasi sapi Madura di pulau Madura, menyatakan bahwa kondisi tubuh mempengaruhi penampilan AK; Semakin rendah skor kondisi tubuh atau semakin kurus, maka semakin rendah peluangnya untuk mencapai S/C = 1.

Skor kondisi tubuh sebagian besar sapi-sapi potong induk di wilayah program IB terkategorikan sedang sampai kurus. Kondisi ini merupakan masalah internal peternak. Guna mengatasi masalah ini perlu diterapkan program surge feeding with tree legumes pada sapi–sapi induk pasca beranak (sampai dengan 90 hari pasca beranak).

Sebagian besar peternak di wilayah program IB sapi potong di Jawa Timur adalah tergolong sebagai petani kecil. Kondisi ini berkaitan dengan kemampuan daya beli straw untuk bangsa-bangsa sapi unggulan (Simmental atau Limousin) yang mencapai harga Rp. 20.000,00-Rp. 25.000,00. Rendahnya kemampuan daya beli tersebut terdeteksi sebagai salah satu masalah bagi keberhasilan optimalisasi program IB sapi potong di Jawa Timur (Tabel 6). Sebab peternak akan cenderung memilih straw yang terjangkau atau kawin alam.

(10)

Oleh karena itu perlu kredit pembelian straw/membayar IB. Pembayaran dapat dilakukan setiap waktu bila peternak memiliki uang (tidak harus pada waktu IB) atau dibayar setelah menghasilkan sapi dan dijual. Akan tetapi bantuan kredit ini hendaknya bukan dari inseminator melainkan oleh Kelompok atau Koperasi atau Disnak, sebab inseminator tetap membutuhkan modal langsung untuk operasionalnya (biaya BBM, pembelian straw ke BIB, dan pembelian peralatan IB lainnya).

Tabel 6 menunjukkan bahwa adanya sapi jantan pemacek di wilayah program IB sapi potong, merupakan potensi masalah sebab memberikan pilihan selain IB.

Guna mengatasi hal tersebut, alternatifnya adalah meningkatkan penyuluhan tentang program IB dan ekpose hasil-hasil kawin IB lebih diintensifkan serta diiringi dengan peningkatan kualitas pelayanan IB dan pengaktifan pembentukan kelompok-kelompok peternak akseptor IB.

Performance sapi hasil IB yang tidak seragam atau variasinya terlalu luas (kasus di wilayah

program IB di Kabupaten Probolinggo untuk straw semen beku sapi Brangus) merupakan masalah potensial optimalisasi program IB. Walaupun ketidak seragaman tersebut belum terbukti secara statistik di lapangan, tetapi telah terbangun citra bahwa straw sapi Brangus kurang baik.

Guna mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan evaluasi ulang kualitas pejantan–pejantan donor semen beku yang ada di BIB Singosari maupun Lembang, dan tentunya perlu dibuktikan melalui kegiatan super impose mengenai sejauh mana tingkat keragaman performance sapi hasil IB dalam bangsa yang sama, termasuk juga dicari faktor-faktor yang mempengaruhi keragaman tersebut.

Faktor tidak adanya pencatatan individu sapi (sistem recording) untuk sapi-sapi hasil IB dan belum berfungsi secara penuh petugas Asisten Teknik Reproduksi (ATR) dan kurangnya komunikasi dengan petugas Pemeriksa Kebuntingan (PKB)/inseminator serta kurangnya jumlah inseminator merupakan masalah layanan.

Tabel 7. Beberapa faktor masalah internal layanan optimalisasi program IB sapi potong , Oktober–Nopember

2000

Bermasalah * Faktor–faktor internal

Ya

Tidak

Kualitas semen straw semen beku di lapangan - √

Ketersediaan kontainer di tingkat inseminator + -

Ketersediaan nitrogen cair - √

Kelengkapan peralatan untuk inseminasi + -

Ketersediaan straw semen beku - √

Alat transport inseminator - √

Keterampilan inseminator - √

Keterangan: (+++) masalah berat, (++) masalah sedang, dan (+) masalah ringan

Permasalahan internal layanan yang menekan efisiensi program IB sapi potong di Jawa Timur disajikan pada Tabel 7.

Faktor ketersediaan kontainer straw semen beku di tingkat inseminator yang kurang dan berkualitas rendah (banyak yang bocor) merupakan faktor internal yang terklasifikasikan secara nyata telah memghambat upaya optimalisasi dan menekan produktivitas hasil program IB sapi potong di Jawa Timur (Tabel 7).

(11)

Kualitas kontainer yang rendah terutama rendahnya kemampuan mencegah penguapan/kebocoran nitrogen cair di dalamnya akan berakibat nitrogen cair cepat habis dan suhu dalam kontainer tidak ideal bagi penyimpanan semen beku. Semuanya ini akan berakibat meningkatnya biaya operasional program IB, yaitu biaya untuk pembelian nitrogen cair meningkat, dan menurunnya kualitas semen beku.

Guna mengatasi hal tersebut, apabila insulator kontainer yang rusak tidak dapat diperbaiki maka tidak ada cara lain selain pengadaan kontainer baru untuk inseminator di lapangan; untuk ini cukup diperbanyak kontainer bervolume 7 liter.

Ketersediaan dana dari pemerintah merupakan masalah utama untuk mewujudkan solusi tersebut di atas. Akan tetapi apabila kelompok–kelompok peternak akseptor IB dapat dibentuk secara aktif oleh inseminator atau petugas Dinas Peternakan Kecamatan, maka kebutuhan dana tersebut dapat diatasi dengan cara swadaya dari kelompok peternak akseptor IB secara gotong royong/patungan. Dengan demikian, kontainer tersebut milik kelompok peternak (bukan milik pemerintah), sehingga apabila ada penggantian inseminator maka kontainer tetap ada di kelompok tersebut.

Permasalahan internal layanan kedua adalah faktor kurangnya ketersediaan perlengkapan IB, terutama sheet–gun. Berdasarkan alasan mahalnya perlengkapan tersebut, maka sudah umum terjadi 1 (satu) buah sheet-gun digunakan sampai 3 kali inseminasi (walaupun dicuci dengan alkohol 70% setiap kali pemakaian). Seharusnya hanya satu kali pakai dibuang untuk mencegah penularan penyakit–penyakit organ reproduksi dari satu ekor sapi ke sapi lainnya.

Guna mengatasi masalah ini terdapat dua alternatif solusinya, yakni subsidi sheet–gun dari pemerintah atau dibebankan ke biaya IB yang ditanggung peternak. Sedang kajian khusus yang perlu dilakukan adalah efektivitas desinfektan alkohol 70% yang biasa digunakan beberapa inseminator untuk mencuci sheet-gun setelah dipakai (hingga 3 kali pemakaian) guna pencegahan penularan penyakit-penyakit reproduksi pada sapi. Luaran dari kajian ini tentunya bermanfaat untuk mengurangi biaya pembelian sheet-gun, berarti mengurangi beban biaya yang ditanggung peternak untuk mengikuti program IB.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dalam kondisi faktor pendukung program IB yang terbatas, nampak bahwa kinerja program IB sapi potong berada pada tingkatan yang cukup untuk menunjang peningkatan produktivitas usahaterna sapi potong di Jawa Timur, yaitu S/C kurang dari 2 (dua) dan rata-rata Angka Konsepsi 60,5%.

Permasalahan internal peternak pada program IB sapi potong yang secara nyatatelah menekan kinerja hasil program IB sapi potong di Jawa Timur adalah:

a. Kondisi sapi-sapi potong induk yang kurus (skor kondisi tubuhnya rendah);

b. Kemampuan ekonomi atau daya beli peternak untuk straw-straw berkualitas tinggi (elite straw) yang rendah;

c. Rendahnya kualitas nutrisi ransum untuk sapi-sapi hasil IB setelah lepas sapih atau setelah umur 4 bulan;

(12)

d. Masih adanya sapi-sapi jantan dewasa yang berfungsi sebagai pejantan untuk kawin alam (pemacek) di wilayah IB;

e. Sapi-sapi hasil IB yang tidak seragam performance-nya;

f. Kurangnya pengadaan serta disiplinnya pengisian kartu IB untuk setiap sapi akseptor IB dan tidak adanya pencatatan individu sapi (sistem recording) untuk sapi-sapi hasil IB;

g. Belum berfungsi secara penuh petugas ATR yang dikarenakan tidak memperoleh laporan dan kurangnya komunikasi dengan petugas Pemeriksa Kebuntingan (PKB)/inseminator; dan

h. Jumlah inseminator yang kurang dapat menjadi masalah apabila didasarkan target semua sapi induk di Jawa Timur harus kawin IB.

Permasalahan internal layanan pada program IB sapi potong yang secara nyata telah menekan kinerja hasil program IB sapi potong di Jawa Timur adalah:

a. Ketersediaan kontainer straw semen beku di tingkat inseminator yang kurang dan berkualitas rendah (banyak yang bocor);

b. Kelengkapan peralatan untuk inseminasi yang kurang sempurna dalam jumlah maupun kualitas.

SARAN-SARAN

Mengutamakan penggunaan straw semen beku sapi Simmental atau Limaousin dalam program IB sapi potong di Jawa Timur.

Merubah sikap dan perilaku peternak akseptor IB dalam pemberian pakan pada sapi-sapi hasil IB setelah lepas sapih, dan juga diperlukan program peningkatan kemampuan di setiap wilayah program IB untuk penyediaan pakan sapi, terutama hijauan pakan yang berkualitas, misalnya pembangunan bank leguminosa (tree legumes establishment).

Penambahan kontainer untuk inseminator yang dapat ditempuh dengan cara swadaya dari kelompok peternak akseptor IB secara gotong royong/patungan.

Diperlukan perbaikan skor kondisi tubuh sapi–sapi potong induk terutama dalam periode pasca beranak melalui penerapan program surge feeding with tree legumes seperti yang telah di rekomendasikan oleh ACIAR Project No. 9312 (1999).

Diperlukan bantuan modal/program pemberian kredit untuk pembelian straw/membayar IB dan juga peralatan IB lainnya (sheet-gun), baik kepada peternak maupun inseminator.

Adapun kegiatan pengkajian yang diperlukan:

a. Kajian tentang daya adaptasi sapi–sapi potong hasil IB terhadap beberapa kondisi pakan di Jawa Timur, termasuk juga optimalisasi pemberian pakannya.

b. Kajian tentang sejauh mana tingkat keragaman performance sapi hasil IB dalam bangsa yang sama, termasuk juga dicari faktor-faktor yang mempengaruhi keragaman tersebut.

c. Kajian tentang efektivitas desinfektan alkohol 70% yang biasa digunakan beberapa inseminator untuk mencuci sheet-gun setelah dipakai (hingga 3 kali pemakaian) guna pencegahan penularan penyakit-penyakit reproduksi pada sapi.

(13)

d. Kajian tentang strategi konservasi sapi–sapi betina hasil IB turunan bangsa sapi Simmental dan Limousin untuk membentuk populasi dasar sapi potong induk pada masa mendatang di Jawa Timur.

DAFTAR PUSTAKA

ACIAR. 1999. Termination Report On ACIAR Project No. 9312. James Cook Univ. and RIAP. Townsville– Bogor.

DINAS PETERNAKAN PROP. JAWA TIMUR. 1998. Buku Laporan Tahunan 1998. Disnak. Tk. I Prop. Jawa Timur. Surabaya.

DJANUAR, R. 1988. Sumbangan pemikiran tentang tenaga-tenaga menengah trampil dalam pelayanan IB dan pemberantasan kemajiran. Proc. Seminar Pembanguan Peternakan Pedesaan. Purwokerto, 3 Maret 1988. Univ. Jenderal Soedirman, Purwokerto.

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 1998. Buku Statistik Peternakan 1998. Direktorat Jenderal Peternakan,

Jakarta.

KOMARUDIN-MA’SUM, M. ALI YUSRAN, AHMAD MUSOFIE dan LUKMAN AFFANDHY. 1993. Kualitas semen beku sapi madura dalam distribusinya di pulau Madura. Dalam: Yusran dan A. Musofie (Penyunting). Prosiding Pertemuan Pembahasan Hasil Penelitian Seleksi Bibit Sapi Madura Guna Meningkatkan Mutu Sapi Madura. Malang, 8 September 1993. Sub Balitnak Grati.

OETORO. 1997. Peluang dan tantangan pengembangan sapi potong. Dalam: Sutame et al. (Penyunting). Pros.

Seminar Nasional Peternakan Dan Veteriner. Bogor, 11–12 Nopember 1997. Puslitbangnak, Bogor. PARTODIHARDJO, S. 1975. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit Mutiata, Jakarta.

PANE ISMED. 1986. Pemuliabiakan Ternak Sapi. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.

PRIYANTO DWI dan B. SETIADI. 1998. Persepsi inseminator terhadap program IB sapi potong dan analisis

usahaternak di daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam: Haryanto B et al. (Penyunting). Pros. Seminar Nasional Peternakan Dan Veteriner. Bogor, 1–2 Desember 1998. Puslitbangnak, Bogor.

PRIYANTO DWI, B. SETIADI dan SOEPENO. 1998. Analisis kelembagaan dan kelayakan swastanisasi penyediaan

semen beku penunjang program IB di daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam: Haryanto B et al. (Penyunting). Pros. Seminar Nasional Peternakan Dan Veteriner. Bogor, 1–2 Desember 1998. Puslitbangnak, Bogor.

THALIB, C. 1991. Produktivitas pedet Peranakan Ongole dan silangannya dengan Brahman dan Limousin

pertumbuhan pada umur 205 hari sampai 365 hari. J. Ilmu dan Peternakan. 4 (4): 384–388. TOELIHERE, M.R. 1995. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.

YUSRAN, M.A., A. MUSOFIE dan NINIEK KUSUMA W. 1993. Tampilan angka konsepsi calon pejantan sapi madura terpilih di pulau Madura. Dalam: Yusran dan A. Musofie (Penyunting). Prosiding Pertemuan Pembahasan Hasil Penelitian Seleksi Bibit Sapi Madura Guna Meningkatkan Mutu Sapi Madura. Malang, 8 September 1993. Sub Balitnak Grati.

VANDEPLASSCHE, M. 1982. Reproductive Efficiency in Cattle: a guideline for Projects in Developing

Gambar

Tabel 1. Keragaan rata-rata S/C dan AK sapi-sapi akseptor IB di lokasi pengkajian, Oktober-Nopember 2000
Tabel 2. Kisaran harga jual sapi hasil IB jantan menurut umur dan lokasi, Oktober–Nopember 2000  Kisaran harga jual sapi (x  Rp
Tabel 3. Kisaran harga jual sapi hasil IB betina menurut umur dan lokasi, Oktober–Nopember 2000  Kisaran harga jual sapi  ( x  Rp
Tabel 4. Rata-rata persentase motilitas spermatozoa setelah thawing  (Post Thawing motility = PTM) semen  yang berasal dari straw semen beku di lokasi pengkajian, Oktober-Nopember 2000
+4

Referensi

Dokumen terkait

mengenai variabel kinerja menunjukkan bahwa pegawai memiliki kinerja yang tinggi (baik), namun masih ada beberapa penilaian responden terhadap kinerja yang masih rendah

'Just gone away.' 'Dead of shame,' said Satthralope.. The Doctor, slipping in beside her: 'If they were dead, the House would have replaced them.' 'You are dead,' she said,

Rancangan penelitian yang dilakukan dalam Studi Identifikasi Pencemaran Logam Timbal (Pb) dan Merkuri (Hg) di Udara Ambien pada Lokasi Industri Pengguna Bahan

Nilai difusivitas panas bahan merupa- kan salah satu sifat panas yang dibutuhkan untuk menduga laju perubahan suhu bahan sehingga dapat ditentukan waktu optimum yang

korelasi antara T-value dan Standardized Loading Factor(Intervening) yang dihasilkan menujukkan bahwa Kualitas Produk yang baik, serta Promosi yang baik yang

Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketatranan Pangan, maka perlu dibentuk Dewan Ketatranan Pangan Kabupaten Maluku Tenggara Barat; bahwa berdasarkan

Ayat al – Quran di atas merupakan ide awal mengapa perlunya perancangan sebuah alat transportasi, khususnya transportasi darat yaitu subway. Di tinjau pada masa sekarang banyak

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang