• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan Mengenai Siklus Hidup A. lumbricoides dan Karakteristik Demografi Anak di Panti Asuhan Jakarta Timur Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengetahuan Mengenai Siklus Hidup A. lumbricoides dan Karakteristik Demografi Anak di Panti Asuhan Jakarta Timur Tahun 2012"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Pengetahuan Mengenai Siklus Hidup A. lumbricoides

dan Karakteristik Demografi Anak

di Panti Asuhan Jakarta Timur Tahun 2012

Fiorella Andani Sihombing*, Saleha Sungkar** *Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

**Staff Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Abstrak: Penyakit cacingan yang disebabkan oleh A. lumbricoides masih menjadi masalah

kesehatan masyarakat di Indonesia. Panti asuhan merupakan lingkungan tempat tinggal yang padat sehingga rentan terjadi infeksi dan penularan askariasis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan mengenai siklus hidup A. lumbricoides dan hubungannya dengan karakteristik demografi anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur pada tahun 2012. Penelitian dilakukan menggunakan desain cross-sectional. Data diambil pada tanggal 10 Juni 2012 dengan memberikan kuesioner berisi data demografi dan enam soal mengenai siklus hidup A. lumbricoides kepada responden (n=153) yang dipilih secara populasi total. Hasil menunjukkan tingkat pengetahuan anak tergolong rendah (pengetahuan baik 0,7%; cukup 3,9%; kurang 95,4%) dan uji Kolmogorov-Smirnov menghasilkan nilai p>0,05 pada setiap karakteristik demografi, sehingga disimpulkan tingkat pengetahuan anak tidak berhubungan dengan karakteristik demografi. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena anak di panti asuhan hidup dalam lingkungan dengan sumber informasi yang sama, sehingga pengetahuan yang dimiliki anak relatif sama. Dengan demikian, perlu dilakukan penyuluhan mengenai A. lumbricoides kepada seluruh anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur secara merata tanpa memandang karakteristik demografi.

Kata kunci: A. lumbricoides; demografi; panti asuhan; siklus hidup; tingkat pengetahuan Abstract: Helminthiasis caused by A. lumbricoides remains a public health problem in Indonesia. An orphanage is a dense residential neighborhood, hence susceptible to infection and transmission of ascariasis. This research was conducted to determine the knowledge level of A. lumbricoides life cycle related to demographic characteristics of children in Orphanage X, East Jakarta in 2012. The study design was cross-sectional. The data were taken on June 10, 2012 by handing out questionnaires containing demographic data and six questions about A. lumbricoides life cycle to the respondents (n=153) whom were selected by total population. The results revealed, the knowledge level of the orphans was classified as poor (good knowledge 0,7%; fair 3,9%; poor 95,4%) and Kolmogorov-Smirnov test produced p>0,05 on every demographic characteristic, therefore concluded that the knowledge level was not related to demographic characteristics. This is likely due to children in orphanages living in an environment with the same resources, thus the knowledge among children are relatively the same. Accordingly, health promotions about A. lumbricoides need to be held for all children in Orphanage X, East Jakarta evenly regardless of demographic characteristics. Keywords: A. lumbricoides; demographic; knowledge level; life cycle; orphanage

(2)

Pendahuluan

Infeksi parasit pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh cacing masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Salah satu cacing penyebab infeksi saluran pencernaan yang banyak ditemukan adalah Ascaris lumbricoides.1

Infeksi yang disebabkan oleh A. lumbricoides disebut dengan askariasis. Di Indonesia, prevalensi askariasis tergolong cukup tinggi, yaitu 30,4%.2

Pada penelitian yang dilakukan di suatu daerah kumuh di Jakarta Utara tahun 2008, prevalensi askariasis pada anak sekolah dasar (SD) adalah 80%. Di Jakarta Barat prevalensi askariasis pada anak SD adalah 74,70%,3

sedangkan di Kepulauan Seribu prevalensi askariasis pada anak SD adalah 68,8%.4

Askariasis dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun prevalensi tertinggi banyak dijumpai di kalangan anak, terutama usia sekolah dasar.5

Askariasis dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, salah satunya yang terpenting adalah malnutrisi. Pada anak usia sekolah, hal tersebut dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, gangguan perkembangan psikologis dan sosial serta penurunan prestasi belajar.1

Askariasis banyak ditemukan di kelompok penduduk yang miskin dan hidup di lingkungan padat penghuni dengan sanitasi yang buruk.5 Salah satu lingkungan tempat tinggal

yang rentan terjadi infeksi dan penularan askariasis adalah panti asuhan, antara lain dikarenakan oleh fasilitas sanitasi yang terbatas dan kondisi hidup bersama yang memudahkan terjadinya penularan. Hal lain yang mungkin berpengaruh terhadap kejadian askariasis adalah pengetahuan tentang patogen askariasis sendiri, salah satunya adalah siklus hidup A. lumbricoides, yang mungkin berkaitan dengan perilaku pencegahan terhadap askariasis. Namun demikian, pada umumnya tingkat pengetahuan setiap orang berbeda-beda dan dipengaruhi oleh karakteristik demografi yang berbeda-beda pula pada setiap individu.

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat pengetahuan mengenai siklus hidup A. lumbricoides dan hubungannya dengan karakteristik demografi pada anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur.

Tinjauan Teoritis

A. lumbricoides merupakan cacing golongan soil-transmitted helminths, yaitu cacing yang siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk dapat hidup dan berkembang. Cacing ini dapat menyebabkan penyakit pada manusia, yang disebut dengan askariasis.1

Askariasis tersebar secara luas di seluruh dunia dan terdapat baik di daerah tropis maupun subtropis. Daerah yang terbanyak mengalami askariasis adalah Asia Timur dan

(3)

Kepulauan Pasifik, yaitu sebesar 204 juta kasus, kemudian daerah Sub Sahara Afrika sebesar 173 juta kasus, dan yang paling sedikit mengalami infeksi adalah daerah Timur Tengah dan Afrika Utara.6

Indonesia merupakan daerah yang memiliki kelembaban udara tinggi, mengandung tanah liat dan memiliki temperatur rata-rata antara 250

-300

C, yang merupakan kondisi optimal untuk pertumbuhan A.lumbricoides.1

Prevalensi askariasis di Indonesia mencapai 30,4%.2

Askariasis pada umumnya banyak ditemukan pada anak dengan usia 10 tahun ke bawah. Prevalensi askariasis sangat tinggi pada rentang usia 7-12 tahun.7

Di Indonesia, prevalensi askariasis pada anak SD pada tahun 2002-2006 adalah 17,8%.8

Berdasarkan hasil berbagai penelitian yang telah dilakukan di Indonesia, prevalensi askariasis tergolong tinggi dan bervariasi, yaitu di provinsi DKI Jakarta 4-91%, Jawa Barat 20-90%, Yogyakarta 12-85%, Jawa Timur 16-74%, Bali 40-95%, NTT 10-75%, Sumatera Utara 46-75%, Sumatera Barat 2-71%, Sumatera Selatan 51-78% dan Sulawesi Utara 30-72%.9

A. lumbricoides merupakan nematoda usus terbesar. Ukuran cacing tersebut bervariasi

dan cacing betina berukuran lebih besar dibandingkan cacing jantan. Cacing betina berukuran 20-35 cm, sedangkan cacing jantan berukuran 15-30 cm.1

A. lumbricoides bereproduksi secara seksual dengan cara bertelur. Seekor cacing betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 20 hingga 200.000 butir per hari, terdiri atas telur yang dibuahi maupun tidak dibuahi. Telur A. lumbricoides berbentuk oval dan berukuran sekitar 60 x 45 µm. Telur tersebut memiliki 3 lapisan, yaitu lapisan albuminoid, hialin dan litelin.1,10

Manusia terinfeksi askariasis melalui tertelannya telur A. lumbricoides yang infektif, baik melalui makanan dan air yang terkontaminasi telur infektif maupun kontak dengan tanah yang mengandung telur infektif. Telur yang infektif adalah telur yang telah dibuahi dan telah mengalami kontak dengan tanah selama sekitar 1 bulan, sehingga telur telah mengalami maturasi dan berisi larva. Telur tersebut dapat bersifat infektif selama beberapa bulan.11

(4)

(a) (b)

Gambar 1. (a) Telur dan (b) cacing dewasa A. lumbricoides

Sumber:

(a) Centers for Disease Control & Prevention Center for Global Health. Parasites and Health: Ascariasis; 2009. 23 Maret 2013.

<http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/a-f/ascariasis/body_Ascariasis_il3.htm>

(b) Centers for Disease Control & Prevention Center for Global Health. Parasites and Health: Ascariasis; 2009. 23 Maret 2013.

<http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/a-f/ascariasis/body_Ascariasis_il5.htm>

Setelah telur yang infektif tertelan oleh manusia, telur akan menetas dan mengeluarkan larva di usus halus, yaitu di duodenum. Selanjutnya, larva akan menembus mukosa usus dan masuk ke vena di dinding usus, lalu bermigrasi melalui sistem pembuluh darah.10,11

Awalnya larva akan bermigrasi ke hati melalui sistem porta hepatika, kemudian larva akan memasuki sirkulasi sistemik dan setelah 4-7 hari larva akan bermigrasi hingga ke paru.10

Larva berdiam di kapiler paru, kemudian menembus alveoli dan bermigrasi dari bronkiolus hingga ke trakea dan faring.

Di faring, larva akan tertelan dan kembali ke usus halus, lalu kemudian mengalami maturasi menjadi cacing dewasa di usus halus.11

Di usus halus, cacing dewasa akan bereproduksi dan menghasilkan telur, yang kemudian akan dikeluarkan dari tubuh hospes bersama feses. Telur yang tersebut dapat bertahan selama bertahun-tahun di tanah dengan kondisi lembab, namun sensitif terhadap kekeringan.10

Siklus hidup A. lumbricoides terpenuhi dalam waktu 7-9 minggu. Waktu hidup cacing dewasa berkisar antara 12 hingga 18 bulan.10

(5)

Gambar 2. Siklus Hidup A. Lumbricoides

Sumber: Centers for Disease Control & Prevention Center for Global Health. Parasites and Health: Ascariasis; 2009. 23 Maret 2013. <http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Ascariasis.htm>

Askariasis dapat menyebabkan gangguan absorbsi nutrisi. Hal ini dikarenakan di dalam tubuh manusia, A. lumbricoides hidup di usus halus yang merupakan organ utama untuk pencernaan dan absorbsi nutrisi. Gangguan absorbsi yang ditimbulkan terutama terhadap karbohidrat, protein, lemak dan vitamin A, sehingga dapat menyebabkan malnutrisi, anemia defisiensi besi dan defisiensi vitamin A.Oleh karena itu, infeksi jangka panjang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak.1,10

Larva yang bermigrasi melalui paru dapat menyebabkan batuk, dyspneu, wheezing, terkadang hemoptisis, dan gejala respiratorik lainnya. Selain itu, larva dapat menimbulkan respons inflamasi di paru sehingga terjadi pneumonitis. Hal tersebut dapat memicu terjadinya spasme bronkial, produksi mukus dan Loffler syndrome yang ditandai dengan batuk, eosinofilia dan infiltrat paru.11

Cacing dewasa dalam jumlah besar dapat menyebabkan obstruksi mekanis di saluran pencernaan, duktus biliaris dan duktus pankreatikus. Hal tersebut dapat menimbulkan nyeri abdominal, mual dan muntah, serta jaundice, walaupun jarang ditemukan. Konsumsi obat-obatan seperti agen anestetik dan steroid dapat meningkatkan migrasi cacing, sehingga dapat

(6)

terjadi perforasi usus dan peritonitis, keluarnya cacing dari anus, muntah dan nyeri abdominal.11

Diagnosis askariasis dilakukan dengan pemeriksaan feses dan ditegakkan dengan

ditemukannya telur A. lumbricoides di dalam feses. Selain itu, ditemukannya cacing dewasa yang keluar melalui mulut, hidung atau anus dapat menegakkan diagnosis askariasis.1,10

Larva yang bermigrasi dapat dideteksi secara tidak langsung dengan pemeriksaan antibodi serologi, terutama pemeriksaan IgE spesifik, namun jarang dilakukan.10

Pada fase migrasi larva, dapat ditemukan eosinofilia pada pemeriksaan hitung jenis leukosit, dan pada fase migrasi paru dapat ditemukan gambaran opak yang berpindah-pindah (fleeting opacities) pada pemeriksaan radiografi. 10

Untuk penatalaksanaan askariasis, dapat digunakan beberapa pilihan obat antara lain mebendazol, albendazol dan pirantel pamoat. Mebendazol dapat diberikan dengan dosis yang sama untuk anak maupun dewasa, yaitu 2 x 100 mg per hari selama 3 hari berturut-turut. Albendazol dapat diberikan dengan dosis tunggal 400 mg untuk dewasa dan anak berusia di atas 2 tahun, dan pada infeksi berat dapat dilanjutkan selama 2-3 hari. Pirantel pamoat diberikan dengan dosis tunggal 10 mg/kgBB untuk dewasa dan anak berusia di atas 2 tahun, dengan dosis maksimal 1 g. Pengobatan dapat diulangi apabila telur masih ditemukan di feses 2 minggu setelah pengobatan pertama.12,13

Panti Asuhan X terletak di Kelurahan Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur. Lokasi Panti Asuhan X berada di tengah pemukiman penduduk yang cukup padat. Perumahan di sekitar panti asuhan tampak berdempetan antara satu dan lainnya. Di dekat panti asuhan terdapat pasar tradisional yang ramai dikunjungi penduduk terutama pada pagi hari, sehingga seringkali jalan ke arah panti asuhan sulit untuk dilewati. Sanitasi di sekitar pasar dan lingkungan panti asuhan terkesan kurang baik. Hal tersebut terlihat dari banyaknya penjual makanan yang berjualan di pinggir selokan dan makanan jualannya diletakkan di jalan hanya dengan alas kain dan ember. Selain itu, tampak banyak sampah makanan dan plastik berserakan di jalan dan di selokan.

Di panti asuhan tersebut terdapat SD tempat sebagian anak panti asuhan bersekolah. Di SD tersebut terdapat beberapa ruang kelas, aula, perpustakaan, musholla, dan beberapa kamar kecil. Lapangan di panti asuhan terbuat dari semen dan di lingkungan panti asuhan banyak terdapat tempat sampah. Lingkungan panti asuhan tampak cukup bersih dan tidak terdapat sampah yang berserakan di sekitar gedung.

(7)

Pemiliki panti asuhan ini adalah seorang dokter spesialis anak. Panti asuhan dikelola oleh pemilik bersama yayasan pengelola. Sumber dana untuk panti asuhan diperoleh dari pemilik, yayasan pengelola dan beberapa donatur.

Panti Asuhan X menampung anak yatim piatu dan anak jalanan. Anak-anak tersebut tinggal di panti asuhan dan bersekolah di Yayasan X maupun di beberapa sekolah yang terletak di sekitar panti asuhan. Di panti asuhan tersebut terdapat 165 anak yang berusia 7 hingga 22 tahun. Anak-anak di panti asuhan tersebut merupakan siswa-siswi SD, SMP hingga SMA dan sederajatnya.

Di panti asuhan, anak-anak tidur bersama dalam 1 kamar yang berisikan 30 anak. Tempat tidur mereka berupa kasur tipis, sehingga apabila tidak digunakan kasur dapat ditumpuk. Anak-anak mencuci dan menyetrika pakaian mereka masing-masing sekali dalam 1 minggu pada akhir pekan.

Metode

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 10 Juni 2012 di sebuah panti asuhan di Jakarta Timur. Sumber data adalah data primer yang bersumber dari kuesioner yang telah divalidasi yang mengandung data demografi dan enam pertanyaan mengenai siklus hidup A. lumbricoides. Sampel penelitian dipilih secara populasi total dan merupakan anak-anak yang tinggal di Panti Asuhan X, Jakarta Timur yang hadir saat pengambilan data dan sedang menjalani pendidikan SD, SMP, SMA atau sederajat (n=153).

Pada penelitian ini, variabel terikat adalah tingkat pengetahuan mengenai siklus hidup A. lumbricoides, sedangkan variabel bebas adalah karakteristik demografi. Karakteristik demografi yang diteliti adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, riwayat cacingan pada responden dan riwayat cacingan di keluarga. Variabel perancu yang tidak diteliti adalah pemahaman anak terhadap pertanyaan kuesioner dan keseriusan anak dalam pengisian kuesioner.

Pada saat pengambilan data, responden diberikan petunjuk mengenai tata cara pengisian kuesioner, kemudian responden diberikan waktu untuk mengisi kuesioner dengan lengkap. Setelah pengisian kuesioner selesai, kuesioner dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya oleh peneliti. Selanjutnya, jawaban kuesioner diperiksa satu per satu dan setiap responden diberikan skor sesuai dengan jumlah jawaban yang benar. Hasil pengolahan

(8)

skor kuesioner menunjukkan tingkat pengetahuan responden yang dikategorikan ke dalam baik (nilai 80-100%), sedang (nilai 60-79%) dan kurang (nilai 0-59%).

Data kemudian diolah menggunakan program SPSS versi 20. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui distribusi karakteristik demografi dan tingkat pengetahuan anak. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov untuk menganalisis hubungan antar-variabel yang diteliti, yaitu tingkat pengetahuan dan karakteristik demografi. Uji Kolmogorov-Smirnov digunakan sebagai alternatif karena hasil uji chi squre tidak memenuhi syarat kurang dari 20% perhitungan yang diharapkan (expected count) memiliki nilai kurang dari 5.

Hasil Penelitian

Responden pada penelitian ini terdiri atas 64 laki-laki (41,8%) dan 89 perempuan (58,2%) dengan rentang usia antara 7 hingga 22 tahun. Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa usia responden terbanyak berada pada rentang usia 7-12 tahun (54,2%), jenis kelamin terbanyak adalah perempuan (58,2%), dan pendidikan terbanyak adalah SD (52,3%). Selain itu, sebanyak 85,6% responden tidak memiliki riwayat cacingan dan sebanyak 78,4% responden tidak memiliki riwayat cacingan di keluarga.

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi

Variabel Kategori n % Usia 7-12 tahun 83 54,2 13-15 tahun 57 37,3 16-22 tahun 13 8,5

Jenis kelamin Laki-laki 64 41,8

Perempuan 89 58,2

Pendidikan SD 80 52,3

SMP 58 37,9

SMA 15 9,8

Riwayat cacingan pada responden Tidak 131 85,6 Ya 22 14,4 Riwayat cacingan di keluarga Tidak 120 78,4 Ya 33 21,6

(9)

Tabel 2 menampilkan tingkat pengetahuan responden mengenai siklus hidup A. lumbricoides berdasarkan karakteristik demografi responden. Berdasarkan analisis data, diketahui bahwa 1 responden (0,7%) memiliki pengetahuan baik, 6 responden (3,9%) memiliki pengetahuan cukup dan 146 responden (95,4%) memiliki pengetahuan kurang. Tingkat pengetahuan terbanyak pada setiap karakteristik demografi juga berada di dalam kategori kurang.

Pada karakteristik usia, responden yang memiliki pengetahuan kurang adalah sebanyak 81 orang (52,9%) pada kelompok usia 7-12 tahun, 52 orang (34%) pada kelompok usia 13-15 tahun dan 13 orang (8,5%) pada kelompok usia 16-22 tahun. Responden laki-laki yang memiliki pengetahuan kurang adalah sejumlah 59 orang (38,6%), sedangkan perempuan sejumlah 87 orang (56,9%). Pada kategori pendidikan, tingkat pengetahuan kurang dimiliki oleh 78 orang (51%) siswa SD, 54 orang (35,3%) siswa SMP dan 14 orang (9,2%) siswa SMA. Pengetahuan kurang yang terdapat pada rresponden yang tidak memiliki riwayat cacingan adalah sebanyak 124 orang (81%) dan yang memiliki riwayat cacingan sebanyak 22 orang (14,4%), sedangkan responden yang tidak memiliki riwayat cacingan di keluarga sebanyak 116 orang (75,8%) dan yang memiliki riwayat cacingan di keluarga sebanyak 30 orang (19,6%).

Dari hasil pengujian hipotesis menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, diperoleh bahwa pada setiap karakteristik demografi nilai p > 0,05, yaitu 0,292 pada kategori usia; 0,340 pada kategori jenis kelamin; 0,269 pada kategori pendidikan; 0,232 pada riwayat cacingan pada responden; 0,293 pada riwayat cacingan di keluarga. Nilai p > 0,05 menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan dan masing-masing karakteristik demografi, sehingga dapat disimpulkan dalam penelitian ini tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan responden dan karakteristik demografi responden.

(10)

Tabel 2. Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Siklus Hidup

A. lumbricoides Berdasarkan Karakteristik Demografi

Karakteristik Kategori

Tingkat Pengetahuan

p

Kurang Cukup Baik

n % n % n %

Usia 7-12 tahun 81 52,9 2 1,3 0 0 0,292

13-15 tahun* 52 34 4 2,6 1 0,7

16-22 tahun* 13 8,5 0 0 0 0

Jenis Kelamin Laki-laki 59 38,6 5 3,3 0 0 0,340

Perempuan 87 56,9 1 0,7 1 0,7 Pendidikan SD 78 51 2 1,3 0 0 0,269 SMP* 54 35,3 4 2,6 0 0 SMA* 14 9,2 0 0 1 0,7 Riwayat Cacingan pada Responden Tidak 124 81 6 3,9 1 0,7 0,232 Ya 22 14,4 0 0 0 0 Riwayat Cacingan di Keluarga Tidak 116 75,8 3 2 1 0,7 0,293 Ya 30 19,6 3 2 0 0

*digabung untuk kepentingan Uji Kolmogorov-Smirnov

Berdasarkan Tabel 3, diperoleh bahwa soal kuesioner dijawab oleh responden dengan skor tertinggi (5) terbanyak pada soal nomor 1 (44,4%), sedangkan paling sedikit pada soal nomor 6 (2,6%). Soal nomor 1 berisi pertanyaan mengenai cacing apa yang menghinggapi manusia dan berukuran paling besar, sedangkan soal nomor 6 berisi pertanyaan mengenai bagaimana cara manusia dapat terinfeksi cacing gelang (A. lumbricoides).

Soal kuesioner dijawab oleh responden dengan skor terendah (0) terbanyak pada soal nomor 3 (77,8%), sedangkan paling sedikit pada soal nomor 4 (32%). Soal nomor 3 berisi pertanyaan mengenai kelompok usia di mana cacing gelang paling banyak ditemukan, sedangkan soal nomor 4 berisi instruksi untuk mencocokkan gambar cacing dewasa dengan nama cacingnya.

(11)

Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Skor Soal Kuesioner Soal Skor n % 1 0 85 55,6 5 68 44,4 2 0 112 73,2 5 41 26,8 3 0 119 77,8 5 34 22,2 4 0 49 32 2 50 32,7 4 1 0,7 5 53 34,6 5 0 72 47,1 2 42 27,5 4 1 0,7 5 38 24,8 6 0 72 47,1 2,5 77 50,3 5 4 2,6 Diskusi

Dari hasil analisis data, diketahui bahwa tingkat pengetahuan responden terbanyak adalah pada kategori kurang (95,4%), diikuti oleh kategori cukup (3,9%) dan baik (0,7%). Oleh karena itu, pengetahuan anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur mengenai siklus hidup A. lumbricoides tergolong rendah. Tingkat pengetahuan yang rendah perlu ditingkatkan melalui pengadaan penyuluhan secara berkala oleh guru beserta petugas kesehatan yang memiliki kompetensi di bidang parasitologi. Namun demikian, agar dapat menentukan metode pemberian penyuluhan yang sesuai, perlu diketahui adanya hubungan antara tingkat pengetahuan dan karakteristik demografi anak.

Salthouse14

(2002) menyatakan, dengan semakin tingginya usia, maka pengetahuan yang dimiliki seseorang akan semakin banyak. Dari distribusi data diketahui bahwa tingkat

(12)

kelompok usia yang lebih tinggi. Hasil analisis data menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan usia pada anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur. Hasil tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Salthouse.

Beier dan Ackerman15

(2003) menyatakan bahwa pada umumnya perempuan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi mengenai kesehatan dibandingkan dengan laki-laki. Pada penelitian ini, pernyataan Beier dan Ackerman tidak terbukti karena tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan jenis kelamin pada anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wade16

(1970), Beier15

(2003), Cutler17

(2006) menyatakan bahwa tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengetahuan mengenai kesehatan. Dalam penelitian ini, responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang lebih banyak jumlahnya pada tingkat pendidikan SD dibandingkan pada tingkat pendidikan SMP hingga SMA. Namun demikian, berdasarkan hasil analisis data, tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan tingkat pendidikan pada anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur. Hasil tersebut juga bertentangan dengan hasil penelitian oleh Wade, Beier dan Cutler.

Pada umumnya, seseorang yang pernah mengalami suatu penyakit akan memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai penyakit tersebut. Begitu juga halnya apabila seseorang memiliki anggota keluarga yang pernah terkena suatu penyakit. Dalam penelitian ini, tingkat pengetahuan yang kurang lebih banyak ditemukan pada responden yang tidak memiliki riwayat cacingan dibandingkan pada responden yang memiliki riwayat cacingan. Hal tersebut juga ditemukan pada riwayat cacingan di keluarga. Setelah dilakukan pengujian dengan uji hipotesis Kolmogorov-Smirnov, hasilnya tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan riwayat cacingan pada anak maupun di keluarga pada anak-anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur.

Berbagai hasil tersebut kemungkinan disebabkan karena responden tinggal bersama dalam lingkungan yang sama dengan sumber informasi kesehatan yang relatif sama. Dengan demikian, pegetahuan yang dimiliki oleh anak-anak yang saling berbeda karakteristik demografinya tidak berbeda bermakna antara satu dan lainnya. Hal lain yang mungkin juga menjadi penyebabnya adalah karena anak yang memiliki tingkat pendidikan SMA dan sederajat di panti asuhan tersebut sebagian besar memiliki program studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), sehingga mereka tidak mendapatkan mata pelajaran Biologi di sekolah. Hal lain yang mungkin ikut mendasari hasil tersebut adalah kurangnya sumber informasi yang

(13)

beragam pada lingkungan hidup responden dan kurangnya minat responden untuk mengetahui lebih jauh mengenai penyakit cacingan, khususnya askariasis.

Oleh karena itu, apabila akan dilakukan pemberian penyuluhan untuk meningkatkan tingkat pengetahuan anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur, penyuluhan harus dilakukan secara merata pada seluruh anak tanpa memandang karakteristik demografi berupa usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, riwayat cacingan pada anak maupun riwayat cacingan di keluarga anak.

Kesimpulan

Karakteristik demografi anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur beragam dengan usia responden terbanyak antara 7-12 tahun (54,2%), jenis kelamin terbanyak adalah perempuan (58,2%), pendidikan terbanyak adalah SD (52,3%), sebanyak 85,6% responden tidak memiliki riwayat cacingan dan sebanyak 78,4% responden tidak memiliki riwayat cacingan di keluarga. Tingkat pengetahuan anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur mengenai siklus hidup A. lumbridoides tergolong rendah, dengan jumlah anak yang memiliki pengetahuan baik berjumlah 1 orang (0,7%), pengetahuan cukup berjumlah 6 orang (3,9%) dan pengetahuan kurang sebesar 146 orang (95,4%). Berdasarkan hasil uji hipotesis, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai siklus hidup A. lumbridoides dan karakteristik demografi pada anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur.

Saran

Tingkat pengetahuan anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur perlu ditingkatkan dengan memberikan penyuluhan secara teratur dan berkala tanpa memandang karakteristik demografi hingga pengetahuan anak tergolong baik. Selain itu, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perilaku pencegahan cacingan pada anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur.

Daftar Pustaka

1 Supali T, Margono SS, Abidin SAN. Nematoda Usus. Dalam: Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S, editor. Parasitologi Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.

2 Muniroh L, Martini S, Soedirham O, Andreas DR. Analisis Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Guru Sekolah Dasar Negeri di Surabaya tentang Masalah Kecacingan.

(14)

Surabaya: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Airlangga; 2005.

3 Mardiana, Djarismawati. Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008; Agustus; 7(2): 769-74.

4 Margono SS, Sasongko A, Mahaswiati M. School-based Control of Soil-Transmitted Helminthiases in Kepulauan Seribu, Jakarta. Denpasar: Simposium Parasitologi dan Penyakit Tropis; 2007.

5 Rasmaliah. Askariasis dan Upaya Penanggulangannya. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara; 2001.

6 UNICEF. “Mapping human helminth infections in Southeast Asia”. Diunduh pada 23 Maret 2013 dari:

http://www.unicef.org/eapro/Mapping_human_helminth_p_31-53.pdf

7 Angraini R, Dimyati Y, Lubis B, Pasaribu S, Lubis CP. Association between Soil-Transmitted Helminthiasis and Hemoglobin Concentration in Primary School Children. Paediatrica Indonesiana. 2005; 45(1-2):24-5.

8 Profil Kesehatan Indonesia, 2006, Depkes RI. Diunduh pada 23 Maret 2013 dari: http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Profil%20Kesehatan%20Indonesia%20 2006.pdf

9 Tjitra, Emiliana. Penelitian-penelitian Soil-Transmitted Helminths di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 72; 1991.

10 Kayser FH, Bienz KA, Eckert J, Zinkernagel RM. Medical Microbiology. New York: Thieme Medical Publisher; 2005. p 576-579.

11 Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA, Mietzner TA. Jawetz, Melnick, & Adelberg's Medical Microbiology. 25th

Edition. McGraw-Hill Co, Inc; 2010. p 684.

12 Syarif A, Elysabeth. Kemoterapi Parasit. Dalam: Gunawan SG, editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012. p 541-545.

13 Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Clinical Pharmacology of the Anthelmintic Drugs. In: Basic and Clinical Pharmacology. 11th

edition. New York: McGraw hill; 2009. p 923-932.

14 Salthouse TA. Interrelations of Aging, Knowledge, and Cognitive Performance. Virginia: University of Virginia; 2002. p 265-72.

(15)

15 Beier ME, Ackerman PL. Determinants of Health Knowledge: An Investigation of Age, Gender, Abilities, Personality, and Interest. Journal of Personality and Social Psychology. 84(2):439-448; 2003.

16 Wade S E. Trends in Public Knowledge about Health and Illness. Public Health Education in American Public Health Association. 60 (3): 485-91; 1970.

17 Cutler DM, Lleras-Muney A. Education and Health: Evaluating Theories and Evidence. NBER Working Paper No. 12352. JEL No. I1, I2; 2006.

Gambar

Gambar 1. (a) Telur dan (b) cacing dewasa A. lumbricoides
Gambar 2. Siklus Hidup A. Lumbricoides
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi
Tabel 2. Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Siklus Hidup  A. lumbricoides Berdasarkan Karakteristik Demografi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian tersebut, disimpulkan tidak terdapat hubungan tingkat pengetahuan santri mengenai gejala klinis skabies dengan usia, jenis kelamin, tingkat

Pada kenyataannya, hasil penelitian ini menunjukkan tingkat pengetahuan mengenai pengobatam skabies tidak berhubungan dengan jenis kelamin disebabkan baik