• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Pengetahuan Santri Pesantren X, Jakarta Timur Mengenai Gejala dan Pengobatan Trikuriasis dan Faktor-faktor yang Berhubungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tingkat Pengetahuan Santri Pesantren X, Jakarta Timur Mengenai Gejala dan Pengobatan Trikuriasis dan Faktor-faktor yang Berhubungan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Tingkat Pengetahuan Santri Pesantren X, Jakarta Timur Mengenai Gejala

dan Pengobatan Trikuriasis dan Faktor-faktor yang Berhubungan

Rhea Putri Ulima, Saleha Sungkar

1. Program Studi Sarjana Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2. Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

E-mail: rhea.putri@ui.ac.id

Abstrak

Trikuriasis merupakan penyakit dengan prevalensi tinggi di Jakarta Timur sehingga diperlukan pengetahuan yang diberikan kepada orang yang memiliki risiko tinggi trikuriasis. Anak-anak di Jakarta Timur rentan terhadap trikuriasis karena hidup di lingkungan padat dengan sanitasi terbatas seperti pesantren sehingga perlu diberikan penyuluhan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat pengetahuan mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis dan karakteristik santri. Desain penelitian ini adalah cross sectional. Pengambilan data dengan cara pengisian kuesioner dilaksanakan di Pesantren X, Jakarta Timur pada tanggal 22 Januari 2011. Sampel penelitian diambil dengan metode total sampling. Kuesioner berisi karakteristik santri dan pertanyaan mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis. Hasilnya menunjukkan dari 154 santri sebanyak 104 santri (67,5%) memiliki < 3 sumber informasi dan 50 santri (32,5%) memiliki > 3 sumber. Sumber informasi paling berkesan adalah dokter (51,9%). Sebanyak 1 santri (0,6%) berpengetahuan baik, 18 santri (11,7%) cukup dan 135 santri (87,7%) baik. Hasil uji Kolmogorov-smirnov menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) antara tingkat pengetahuan santri dengan jenis kelamin, tingkat pengetahuan, jumlah sumber informasi, dan sumber informasi paling berkesan.

Kata kunci: gejala trikuriasis; karakteristik; pengobatan trikuriasis; tingkat pengetahuan; trikuriasis; santri

Knowledge Level among Boarding School Students X, East Jakarta about Symptoms and Treatment of Trichuriasis and Associated Factors

Abstract

Trichuriasis is a disease with a high prevalence in East Jakarta, so it requires the knowledge that given to people who have a high risk of trichuriasis. Childern in East Jakarta are vulnerable because they lived in crowded environments with limited sanitation facilities such as boarding school (pesantren) that needed to be educated. The porpose of this study was to determine the level of knowledge about symptoms and treatment of trichurasis and demographic characteristic of students. This study design is cross-sectional. Retrieval of data bye filling in the questionnaire conducted in Pesantren X, East Jakarta on Januari 22, 2011. Samples were taken with a total sampling method. The questionnaire contains demographic characteristics of students, and questions about symptoms and treatment of trichuriasis. The result showed 104 students of 154 students (67,5%) had < 3 sources of information and 50 students (32,5%) had > 3 sources. The most impressive source of information was doctor (51,9%). There is one student (0,6%) with good knowledge, 18 fair students (11,7%), and 135 students (87,7%) with poor knowledge. The results of data analysis by Kolmogorov-Smirnov test showed no significant difference (p>0.05) between the knowledge level of students by sex, education level, number of information sources, and the most impressive source of information.

Key words: characteristic; knowledge level; pesantren students; symptoms of trichuriasis; treatment of trichuriasis; trichuriasis.

(2)

Pendahuluan

Infeksi parasit usus terdapat di seluruh dunia dengan prevalensi yang tinggi di berbagai negara.1 Trikuriasis merupakan salah satu dari sepuluh infeksi parasit usus yang paling sering di dunia dan biasanya terdapat di negara berkembang.2,3 Berdasarkan data WHO, terdapat 700-900 juta kasus trikuriasis di dunia.1

Trikuriasis merupakan infeksi usus yang disebabkan oleh cacing Trichuris trichiura. Cacing tersebut termasuk kelompok soil

transmitted helminth (STH) yaitu cacing

yang penularannya melalui tanah.4 T.

trichiura hidup dalam rongga usus besar

dengan memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus sehingga terjadi pendarahan di dalam usus dan penderita mengalami anemia. Infeksi berat trikuriasis berupa diare berdarah dengan jangka waktu yang cukup lama sehingga menyebabkan malnutrisi, berat badan berkurang, dan gangguan perkembangan kognitif. Bahkan diare yang terjadi secara terus-menerus dapat menyebabkan prolapsus rekti.4-10

Trikuriasis dapat menginfeksi semua umur namun lebih banyak menginfeksi anak-anak. Prevalensi trikuriasis di sekolah dasar (SD) di Kabupaten Karangasem, Bali mencapai 40%. Di desa Bugbug 2, Bali

prevalensi trikuriasis sebesar 44,8% dan Desa Pertima, Bali prevalensi 34,4%.11

Di DKI Jakarta prevalensi trikuriasis pada murid 48,1%.7 Di Jakarta Selatan prevalensi trikuriasis adalah 31,58%, Jakarta Utara 20%, Jakarta Barat 25,30%, dan di Jakarta Timur sebesar 41,7%.8 Berdasarkan data tersebut, prevalensi trikuriasis paling tinggi terdapat di Jakarta Timur.

Di Jakarta Timur terdapat pesantren dengan jumlah santri yang cukup banyak. Pesantren merupakan salah satu institusi pendidikan Islam yang muridnya (santri) tinggal di asrama. Di pesantren tersebut, santri tinggal dalam fasilitas yang minim, hidup dalam lingkungan padat. Jenis tanah di pesantren adalah tanah liat yang merupakan tanah yang sesuai untuk perkembangan telur T. trichiura. Kondisi tersebut akan memudahkan santri untuk terinfeksi trikuriasis.

Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan upaya pencegahan trikuriasis dengan memberikan pengetahuan mengenai cacing

T. trichiura, gejala klinis, pengobatan dan

pemberantasannya dengan cara

penyuluhan.

Agar dapat dimengerti, maka penyuluhan harus diberikan sesuai dengan tingkat pengetahuan yang telah dimiliki dan

(3)

karakteristik santri. Oleh karena itu, sebelum memberikan penyuluhan perlu dilakukan survei untuk mengetahui tingkat pengetahuan santri mengenai cacing T.

trichiura, gejala klinis, pengobatan dan

pemberantasannya serta hubungannya dengan karakteristik mereka. Karena keterbatasan penelitian, survei hanya ditujukan terhadap tingkat pengetahuan santri mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis.

Tinjauan Teoritis

T. trichiura atau yang lebih dikenal dengan

nama cacing cambuk ini merupakan salah satu penyebab penyakit cacingan di Indonesia. Jika dibandingkan dengan cacing Ascaris lumbricoides (cacing gelang), cacing cambuk ini berukuran lebih kecil dibandingkan dengan cacing gelang.4,12 Trikuriasis banyak terdapat di daerah tropis dan subtropis yang beriklim

hangat dan lembab. Iklim ini

memungkinkan telur dan parasit mengeram di dalam tanah. Oleh karena itu, parasit tersebut termasuk ke dalam kelompok STH.4,12

Sanitasi kebersihan yang buruk menjadi penyebab utama terjadinya trikuriasis. Anak-anak memiliki risiko terbesar terinfeksi trikuriasis. Hal ini sangat terlihat pada negara berkembang, karena sanitasi

kebersihan yang belum terjaga begitu baik sehingga membuat trikurisasis menyebar.4 Trikuriasis banyak terjadi di pedesaan dan daerah kumuh perkotaan. Daerah pedesaan dan daerah kumuh perkotaan biasanya masih belum memiliki standar kebersihan yang cukup baik.

Cacing cambuk memiliki bentuk seperti cambuk. Cacing jantan berukuran lebih kecil dibandingkan dengan cacing betina. Cacing jantan memiliki panjang 30-45 mm, sedangkan cacing betina memiliki panjang 30-50 mm. Cacing cambuk ini tinggal pada bagian usus besar. Banyaknya terdapat pada bagian descending colon dan rectum.5

T. trichiura memakan sekresi jaringan dan

juga sari makanan manusia. Cacing ini memiliki kait pada bagian mulutnya, sehingga ia hidup menggantung pada dinding usus.4,12

Telur cacing yang baru diproduksi oleh cacing betina belum berbentuk infektif. Telur cacing menyebar dengan cara keluar dari host bersamaan dengan feses manusia. Jika telur mencemari tanah maka setelah 10-14 hari, telur menjadi bentuk infektif.4 Seseorang dapat dikatakan positif trikuriasis apabila ditemukan telur T.

trichiura pada saluran pencernaannya yang

didapat dari lingkungan. Telur membutuhkan waktu 14 hari atau lebih untuk menetas dan menjadi larva di usus halus sebelum maturasi di usus besar.

(4)

Cacing dewasa akan menetap di usus besar dan cecum. Perkembangan dari telur menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu selama tiga bulan. Cacing dapat hidup selama satu hingga lima tahun. Cacing betina dapat hidup hingga lima tahun dan menghasilkan lebih dari 20.000 telur perharinya.4,12

T. trichiura memiliki kait pada mulutnya

yang digunakan untuk menggantung di dinding usus sehingga dapat menyebabkan pendarahan pada usus. Hal tersebut yang menyebabkan anemia pada pasien trikuriasis. Pasien trikuriasis juga akan merasakan nyeri pada bagian abdomen.4 Gejala lain yang muncul adalah kekurangan gizi. Cacing cambuk memakan zat gizi yang berada di dalam usus besar. Tak hanya itu, cacing cambuk juga memakan sekresi jaringan. Selain itu, gejala yang terasa diantaranya adalah peradangan usus buntu (apendisitis) dan rectum yang menonjol melewati anus (prolaptus rekti).11

Trikuriasis dapat dideteksi dengan menemukan telur T. trichiura pada feses.14 Telur ini berwarna kuning kecoklatan, oval

dengan dua kutub yang saling

bersebrangan. Cara lain untuk mendeteksi trikuriasis adalah dengan melakukan kolonoskopi.15 Diagnosis juga dapat ditegakkan dengan uji serologi.

Apabila terdapat orang yang terinfeksi trikuriasis, maka pengobatan yang paling tepat untuk dilakukan adalah dengan memberikan mebendazol.4,9 Satu dosis mebendazol 500 mg dapat menyembuhkan sekitar 40-75% infeksi trikuriasis.4 Apabila telur masih positif setelah 3-4 minggu maka pengobatan mebendazol diulang.4 Mebendazol tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil karena dapat membahayakan janin yang sedang dikandungnya. Obat lain untuk menyembuhkan infeksi trikuriasis adalah albendazol, namun, efisiensi albendazol lebih rendah dibandingkan dengan mebendazol.4

Pencegahan trikuriasis dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan serta menerapkan perilaku hidup bersih sehat pada keluarga yaitu menggunakan jamban yang bersih, meningkatkan kebersihan individu, dan menghindari sayuran yang belum dicuci dengan bersih.4 Apabila mencuci sayuran tersebut sendiri, sayuran dicuci dengan air yang mengalir.

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terkadi melalui panca indra manusia. Sebagian besar diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat

(5)

penting untuk terbentuknya tindakan atau perilaku seseorang.16 Jadi pengetahuan tentang trikuriasis meliputi pengenalan penyakit, gejala klinis yang timbul, pencegahan trikuriasis, dan cara penanganan (pengobatan) dari trikuriasis.

Menurut Benjamin Bloom yang dikutip oleh Notoatmojo,16 pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif memiliki enam tingkatan, yaitu tahu, paham, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Tahu merupakan tingkatan pertama diantara lima lainnya. Definisi dari tahu adalah teringatnya kembali (recall) suatu materi yang pernah dipelajari sebelumnya. Hal yang diingat merupakan hal yang spesifik dari seluruh bahan yang telah dipelajari atau yang pernah diterima sebelumnya. Paham merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan hal yang

telah diketahui dan dapat

menginterpretasikan materi dengan benar. Seseorang yang sepenuhnya paham mengenai suatu materi harus dapat menyebutkan dan menjelaskan hal yang telah ia tahu dan pahami. Aplikasi merupakan sebuah penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Setelah paham, ada

baiknya seseorang mampu

mengaplikasikan hal yang telah ia pahami pada situasi dan kondisi sebenarnya. Analisis merupakan tingkatan keempat setelah aplikasi. Analisis merupakan

sebuah kemampuan seseorang untuk menjabarkan sebuah hal ke dalam suatu komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur dan masih saling terikat satu dengan yang lainnya. Sintesis merupakan sebuah kemampuan untuk menghubungan bagian-bagian agar menjadi sebuah bentuk utuh yang baru. Definisi lain dari sintesis adalah sebuah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Tingkatan akhir adalah evaluasi. Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu hal. Penilaian ini didasarkan atas kriteria yang ditentukan secara subjektif atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada sebelumnya.

Menurut Nursalam,17 terdapat enam sumber pengetahuan yang bisa didapatkan oleh setiap manusia. Sumber pertama adalah tradisi. Melalui adat istiadat setiap orang dapat diterima sebagai suatu yang benar. Banyak pertanyaan dan permasalah yang dapat dipecahkan berdasarkan suatu tradisi akan tetapi tradisi dapat menjadi penghambat dari kebutuhan manusia karena beberapa tradisi yang begitu melekat sehingga validitas, manfaat, dan kebenarannya tidak pernah dicoba atau diteliti.

(6)

Autoritas juga menjadi sumber dari pengetahuan. Keberadaan seseorang dengan keahlian tertentu menjadi sumber pengetahuan bagi orang lain akan tetapi apabila keahlian yang dimiliki hanya berdaasrkan pengalaman pribadi maka pengetahuan yang dimilikinya tidak dapat diujikan secara ilmiah.

Pengalaman seseorang dapat menjadi

sebuah sumber pengetahuan.

Kemampuannya untuk menyimpulkan hal yang terjadi, mengetahui aturan yang

berlaku, dan membuat prediksi

berdasarkan pengalaman sangatlah penting bagi pola penalaran manusia. Setiap orang pasti memiliki keterbatasan dalam pemahaman karena setiap pengalaman yang dialami oleh seseorang mungkin saja terbatas untuk memutuskan kesimpulan yang valid mengenai situasi. Pengalaman seseorang yang disertai dengan penilaian subjektif juga menyebabkan terbatasnya kesimpulan yang ditarik oleh orang tersebut. Kadang-kadang penyelesaian dari sebuah masalah menggunakan teknik coba dan salah. Penyelesaian ini terkadang tidak efisien untuk menjadi penyelesaian sebuah masalah. Metode itu berhasil digunakan oleh beberapa orang dan dapat memberikan sebuah pengetahuan baru.

Proses pemikiran yang logis sering digunakan untuk pemecahan sebuah

masalah. Alasan yang sifatnya rasional sangat terbatas dikarenakan validitas alasan deduktif tergantung pada informasi dimana seseorang memulai dan alasan tersebut mungkin tidak efisien untuk mengevaluasi akurasi permasalahan

Sumber pengetahuan yang paling tepat adalah dengan pendekatan ilmiah. Dengan menggunakan pendekatan ilmiah seseorang mampu mencari suatu kebenaran yang didasari atas pengetahuan yang terstruktur dan sistematis serta pengumpulan dan penganalisaan data berdasarkan atas prinsip validitas dan reabilitas.

Terdapat berbagai faktor yang

mempengaruhi tingkat dari ilmu pengetahuan, diantaranya adalah usia, pendidikan, pekerjaan, pengalaman dan sumber informasi, serta sosial ekonomi. Usia merupakan umur individu yang terhitung mulai ketika dilahirkan hingga berulang tahun. Semakin cukup umur maka tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan semakin lebih matang dalam berfikir dan bekerja.

Pendidikan merupakan suatu proses belajar. Dalam proses tersebut terjadi

pertumbuhan, perkembangan dan

perubahan ke arah yang dewasa, lebih baik, dan lebih matang. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan makin mudah menerima berbagai informasi dan

(7)

semakin banyak pula pengetahuan yang diterimanya.

Pekerjaan merupakan kebutuhan yang harus dilakukan untuk menunjang

kehidupan indiidunya maupun

keluarganya. Pengalaman dan sumber

informasi menunjukkan bahwa

pengetahuan dapat dipengaruhi melalui pengalaman individu maupun orang lain. Tingkatan sosial ekonomi yang terlalu rendah dapat menyebabkan orang tersebut tidak lagi peduli dengan pesan-pesan (pengetahuan) yang disampaikan, karena lebih memikirkan kebutuhan lain yang dirasa lebih mendesak.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,18 karakteristik merupakan sifat khas seseorang sesuai dengan perwatakan tertentu, sedangkan demografi adalah ilmu

mengenai susunan, jumlah, dan

perkembangan penduduk. Demografi juga dapat didefinisikan sebagai ilmu yang menjabarkan gambaran statistik mengenai suatu bangsa yang dilihat dari sisi sosial politik. Karakteristik yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah karakteristik demografi santri berupa jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah sumber informasi, dan informasi yang paling berkesan yang akan dilihat hubungannya dengan tingkat pengetahuan mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis.

Pesantren merupakan gabungan dari kata pe-santri-an, yang “santri” itu sendiri berarti murid dalam Bahasa Jawa. Menurut Bahasa Sansakerta, kata santri berasal dari kata “cantrik” yang berarti orang yang selalu mengikuti guru. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Agar kehidupan pesantren dapat berjalan dengan baik, maka kyai menunjuk seorang santri senior untuk menjadi lurah pondok sebagai pengatur juniornya. Kata “pondok” yang biasa terdapat di depan kata “pesantren” berasal dari Bahasa Arab yaitu

funduuq (قﻕوﻭدﺩنﻥفﻑ) yang artinya adalah

penginapan. Santri tidak tinggal bersama orang tuanya, melainkan tinggal bersama santri lainnya di pesantren. Maka pesantren dapat didefinisikan sebagai tempat santri untuk mengikuti gurunya dalam menuntut ilmu. Tujuan para santri tidak diijinkan untuk tinggal bersama orang tua maupun keluarganya adalah agar santri dapat hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan Tuhan.

Terdapat beberapa pandangan dalam mendefinisikan sebuah pesantren. Wahid19 mendefinisikan pesantren adalah tempat dimana santri tinggal. Menurut Mas’ud,20 pesantren refers to a place where the santri

devotes most of his/her time to live and acquire knowledge.

Lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia ini memiliki andil yang besar

(8)

dalam perjalanan sejarah bangsa. Pondok pesantren tidak hanya memberikan pendidikan agama saja kepada para santrinya, pendidikan formal juga dilengkapi dalam sistem belajar pondok pesantren. Tiga tingkatan pendidikan formal yang diberikan di pesantren diantaranya adalah madrasah ibtidayah sederajat dengan SD, madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah masing-masing sederajat dengan pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain

cross-sectional dengan pengkajian analitik

karena peneliti ingin mengetahui hubungan tingkat pengetahuan tentang gejala dan pengobatan trikuriasis dengan karakteristik dan faktor-faktor lain pada santri Pesantren X, Jakarta timur tanpa diberikan intervensi. Pengambilan data dilakukan dalam satu waktu yang dilakukan pada tanggal 22 Januari 2011, bertempat di Pesantren X, Jakarta Timur. Populasi target dari penelitian ini adalah santri madrasah tsanawiyah dan madrasah Aliyah pesantren di Jakarta. Sedangkan populasi ternjangkaunya adalah santri madrasah tsanawiyah dan madrasah Aliyah Pesantren X, Jakarta Timur yang berada di lokasi pada saat pengambilan data. Tidak ada

kriteria inklusi dan ekslusi dikarenakan seluruh santri diikutsertakan dalam penelitian. Pada penelitian ini tidak dilakukan penghitungan sample karena seluruh santri yang berada pada saat pengambilan data dijadikan sampel penelitian (total sampling).

Variabel dependen pada penelitian ini adalah pengetahuan santri mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis dan variable independennya adalah jenis kelamin, tingkat pendidikan santri, jumlah sumber informasi, dan sumber informasi yang paling berkesan. Pada saat pengumpulan data, santri diminta untuk berkumpul di masjid kemudian setelah peneliti menjelaskan mengenai penelitian yang dilakukan, santri diminta kesediaannya secara lisan untuk diikutsertakan sebagai subjek penelitian. Selanjutnya santri dibagikan kuesioner yang berisi data karakteristik santri yaitu jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah sumber informasi, dan sumber informasi paling berkesan, serta pertanyaan mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis untuk diisi. Setiap pertanyaan terdiri atas empat puluhan jawaban dengan setiap pilihannya memiliki skor yang berbeda-beda. Nilai maksimum dari setiap pertanyaan adalah lima.

(9)

Setelah kuesioner diisi, peneliti memeriksa kelengkapan dan kesesuaian data. Kemudian dilakukan penghitungan untuk mengetahui skor tiap responden dan skor rata-rata tiap soal. Data dikelompokkan berdasarkan skala pengukurannya. Pada penelitian ini terdapat dua skala yaitu ordinal dan nominal. Jenis kelamin dan informasi paling berkesan termasuk skala nominal, sedangkan jumlah sumber informasi, tingkat pendidikan, dan tingkat pengetahuan tentang gejala dan pengobatan trikuriasis termasuk skala ordinal. Kedua skala ini didistribusikan dengan distribusi frekuensi. Seluruh data dimasukkan dan diolah menggunakan SPSS for Windows

versi 11.5 melalui editing, coding, cleaning, dan entry. Setelah itu dilakukan

uji statistik komparatif untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pengetahuan mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis dengan karakteristik santri Pesantren X, Jakarta Timur. Analisis variabel dilakukan dengan uji Kolmogorov-smirnov. Pada penelitian ini, analisis univariat digunakan pada distribusi frekuensi dengan analisis pada distribusi variabel dependen dan independen. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dan independen.

Hasil

Pesantren X yang berada di Jakarta Timur merupakan salah satu institusi pendidikan yang berdasarkan agama yang dilengkapi dengan fasilitas sekolah madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah. Luas tanah dari pesantren ini adalah 12 500 m2 dengan luas bangunan 7 050 m2. Fasilitas yang terdapat di pesantren ini diantaranya 6 ruangan sebagai asrama putra, 2 ruangan besar sebagai asrama putri, 2 bangunan sekolah, mesjid, perpustakaan, aula, lapangan utama, lapangan bawah, laboratorium komputer, pos kesehatan pesantren (poskestren), kantin, wartel, dan toko buku.

Pesantren X memiliki 36 orang pengajar dan 15 orang pengurus pesantren. Jumlah keseluruhan santri mencapai 220 santri yang terdiri atas 120 santri yang berpendidikan tsanawiyah dan 100 santri yang berpendidikan aliyah. Pada penelitian ini, santri yang diikutsertakan adalah 154 orang karena sebagian santri sedang pulang ke rumah.

Santriwati (santri perempuan) memiliki 2 ruangan besar untuk dijadikan ruang tidur. Santriwan (santri laki-laki) memiliki 6 ruangan yang dijadikan ruang tidur. Tiap santri mendapatkan jatah kasur masing-masing. Mereka tidur secara bersama-sama pada ruangan tersebut tanpa sekat. Di

(10)

dalam asrama putri dan putra terdapat banyak kamar mand. Setiap kamar mandinya dibagi untuk beberapa santri. Para santri mendapatkan jatah makanan dua kali sehari dari pesantren dan mereka masih diijinkan untuk membeli makanan yang dijual disekitar pesantren.

Poskestren difasilitasi oleh seorang dokter yang datang sebulan sekali. Dokter datang untuk memeriksa santri yang memiliki keluhan kesehatan dan memberikan pengobatan. Dokter tidak pernah

melaksanakan pengobatan masal dan penyuluhan kesehatan pada seluruh santri.

Sumber informasi yang didapatkan oleh santri dapat dikatakan terbatas. Para santri tidak diijinkan untuk menonton televisi. Dikhawatirkan televisi memberikan pengaruh buruk bagi para santri. Sedangkan internet masih tersedia di laboratorium komputer yang terdapat di

dalam pesantren. Akan tetapi

penggunaannya masih dibatasi hanya untuk

keperluan pembelajaran saja.

Pada Tabel 4.2.1 tampak bahwa responden laki-laki (59,1%) lebih banyak dibandingkan perempuan dan mayoritas tingkat pendidikan responden adalah tsanawiyah (52,6%).

Tabel 4.2.1 Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan Variabel Kategori Jumlah Persentase

Jenis Kelamin

Laki-laki 91 59,1

Perempuan 63 40,9 Tingkat Pendidikan Tsanawiyah 81 52,6

(11)

Berdasarkan Tabel 4.2.2 tampak bahwa semua responden pernah mendapat informasi mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis. Jumlah sumber informasi yang paling banyak diterima responden adalah sebanyak (50%). Sumber informasi yang diterima responden sebanyak kurang dari sama dengan tiga (67,5%) lebih banyak diterima oleh responden dibandingkan dengan sumber informasi yang lebih dari tiga (32,3%).

Tabel 4.2.2 Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Sumber Informasi Jumlah Sumber Informasi Jumlah Persentase

Tidak mendapat informasi 0 0 Hanya 1 sumber informasi 1 0,6 2 sumber informasi 26 16,9 3 sumber informasi 77 50 4 sumber informasi 33 21,4 5 sumber informasi 11 7,1 6 sumber informasi 4 2,6 7 sumber informasi 1 0,6 8 sumber informasi 1 0,6

Berdasarkan Tabel 4.2.3, responden paling berkesan mendapatkan informasi yang disampaikan oleh dokter (51,9%). Sumber langsung (92,1%) menjadi sumber informasi yang lebih berkesan bagi responden dibandingkan dengan informasi yang disampaikan melalui media (7,7%).

Tabel 4.2.3 Sebaran Responden Berdasarkan Sumber Informasi Paling Berkesan Sumber Informasi Paling Berkesan Jumlah Persentase

Sumber Langsung Pengajar 19 12,3

Dokter 80 51,9 Teman 1 0,6 Orang tua 42 27,3 Media Internet 6 3,9 Radio 0 0 Televisi 5 3,2 Koran 1 0,6 Majalah 0 0

(12)

Berdasarkan Tabel 4.2.4 didapatkan bahwa jumlah santri yang mempunyai tingkat pengetahuan baik hanya 1 santri (0,6%), cukup 18 santri (11,7%) dan kurang 135 santri (87,7%). Dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, tidak terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) antara jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah sumber informasi, dan informasi paling berkesan yang didapatkan santri dengan pengetahuan responden mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis.

Tabel 4.2.4 Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Gejala dan Pengobatan Trikuriasis dan Faktor-Faktor yang Berhubungan

Variabel Kategori Tingkat Pengetahuan Cacingan P Uji

Baik Cukup Kurang

Jenis kelamin Laki-laki 1 17 73 0,170 Kolmogorov-Smirnov Perempuan 0 1 62 Tingkat pendidikan Tsanawiyah 0 5 76 0,535 Kolmogorov-Smirnov Aliyah 1 13 59 Jumlah sumber informasi ≤ 3 0 14 90 1,000 Kolmogorov-Smirnov >3 1 4 45 Informasi paling berkesan Sumber langsung 1 16 125 1,000 Kolmogorov-Smirnov Media 0 2 10

(13)

Tabel 4.2.5 terlihat masih terdapatnya skor nol pada setiap soal, hal tersebut menunjukkan bahwa santri masih belum mengerti materi mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis. Presentase menunjukkan bahwa rata-rata santri memiliki pengetahuan yang kurang pada setiap soalnya karena presentase masih kurang dari 59%.

Tabel 4.2.5 Sebaran Responden Berdasarkan Skor Soal Kuesioner Pengetahuan Gejala dan Pengobatan Trikuriasis

No Pertanyaan Skor Jumlah Persentase Skor total

Skor maks

Persentase

21 Infeksi berat pada cacing cambuk mengakibatkan... 0 38 24,7 200 770 26% 1 40 26 2 68 44,2 3 8 5,2 4 0 0 5 0 0 22 Infeksi cacing cambuk dapat menyebabkan... 0 20 13 262 770 34% 1 12 7,8 2 120 77,9 3 0 0 4 0 0 5 2 1,3 23 Infeksi cacing cambuk dalam jangka panjang dapat menyebabkan... 0 32 20,8 256 770 33,2% 1 59 38,3 2 0 0 3 58 37,7 4 2 1,3 5 3 1,9 24 Cacing cambuk TIDAK dapat diobati dengan obat cacing… 0 86 55,8 340 770 44,1% 5 68 44,2 25 Pengobatan cacing cambuk… 0 115 74,7 195 770 25,3% 5 39 25,3 Pembahasan

Di DKI Jakarta, trikuriasis memiliki prevalensi yang tinggi terutama di Jakarta Timur karena jenis tanahnya adalah tanah liat, penduduknya padat dan sering mengalami banjir. Dengan demikian, warga perlu ditingkatkan kewaspadaannya

terhadap trikuriasis dengan diberikan pengetahuan mengenai trikuriasis.

Pengetahuan merupakan dasar penting untuk membentuk perilaku seseorang. Pembentukan perilaku yang didasari oleh pengetahuan membuat perilaku akan lebih

(14)

bertahan lama dibandingkan dengan pembentukan perilaku tanpa didasari pengetahuan. Pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai sumber. Semakin banyak

terpapar sumber tersebut maka

pengetahuan yang dimilikinya akan banyak. Marini21 berpendapat bahwa pendidikan merupakan salah satu sumber untuk mendapatkan informasi.

Salah satu lembaga pendidikan di Indonesia adalah pesantren. Di Jakarta Timur terdapat pesantren padat penghuni dengan fasilitas yang digunakan bersama-sama. Umumnya santri berasal dari keluarga dengan status sosio ekonomi rendah. Dengan demikian, santri mempunyai risiko terinfeksi trikuriasis sehingga perlu diberikan penyuluhan mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis.

Pengetahuan mengenai gejala trikuriasis merupakan komponen yang penting untuk melakukan pengobatan dan pencegahan trikuriasis. Apabila seseorang mengetahui gejala-gejala yang timbul pada dirinya tentu ia akan melakukan pengobatan dengan cepat dan melakukan pencegahan agar penyakit tersebut tidak menyebar lebih luas. Semakin banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang tentu perilaku yang dilakukannya dalam menemukan

gejala dan melakukan penanganan trikuriasis akan lebih tepat dan cepat.

Gejala trikuriasis adalah mual, anemia, nyeri abdomen, diare berdarah, malnutrisi, berat badan berkurang, dan gangguan perkembangan kognitif. Hasil penelitian ini menunjukkan pada umumnya santri tidak mengetahui gejala tersebut karena hanya

0,6% responden yang memiliki

pengetahuan baik mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis. Selain itu, terdapat 11,7% responden yang berpengetahuan cukup mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis, sedangkan sebagian besar responden (87,7%) berpengetahuan kurang. Hal tersebut disebabkan di dalam kurikulum pesantren tidak terdapat mata ajar biologi sehingga mereka tidak mempelajari cacingan termasuk T. trichiura. Poskestren yang menjadi fasilitas

pesantren ini juga tidak dilengkapi dengan fasilitas penyuluhan kesehatan dari dokter. Dokter yang datang setiap sebulan sekalinya hanya memeriksakan santri yang sedang sakit. Konsultasi kesehatan juga hanya dilakukan secara perorangan, hal ini menyebabkan pengetahuan mengenai promosi kesehatan tidak merata pada seluruh santri. Keterbatasan santri dalam mendapatkan sumber informasi juga menjadi faktor penting dari kurangnya tingkat pengetahuan yang dimiliki para santri. Santri memiliki tingkat pengetahuan

(15)

yang baik apabila mempunyai inisiatif dalam mencari informasi mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis, karena pesantren tidak mensosialisasikan gejala dan pengobatan trikuriasis melalui media cetak seperti poster ataupun brosur.

Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Subahar22 di Jakarta yang menyatakan bahwa 93,06% responden memiliki tingkat pengetahuan rendah mengenai kecacingan dan sebanyak 59,6% responden memiliki tingkat pengetahuan baik.

Hasil penelitian ini berbeda dengan laporan Sekartini et al23 yang meneliti tingkat pengetahuan ibu mengenai penyakit cacingan. Penelitian tersebut menunjukkan

mayoritas responden (59,6%)

berpengetahuan baik karena pernah memiliki anak yang cacingan dan ibu-ibu tersebut telah mendapatkan informasi mengenai cacingan dari posyandu atau puskesmas.

Secara umum perempuan lebih sering berinteraksi dan bertukar informasi daripada laki-laki dan perempuan lebih sering berada di rumah sehingga lebih sering memperoleh informasi dari banyak aspek, salah satunya adalah televisi yang menjadi media yang dianggap paling efektif diantara media lainnya.

Pada penelitian ini tingkat pengetahuan mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis tidak berhubungan dengan jenis kelamin responden. Hal tersebut disebabkan responden laki-laki dan perempuan tinggal bersama di satu asrama dengan fasilitas dan pendidikan yang sama pula. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Fadhlan24 yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan mengenai pemberantasan sarang nyamuk pada murid madrasah tidak berhubungan dengan jenis kelamin karena aktivitas laki-laki dan perempuan yang hampir sama (bersekolah), sehingga pertukaran informasi terjadi merata pada kedua kelompok. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Oktarina25 bahwa tingkat pengetahuan tentang HIV AIDS pada responden laki-laki berbeda bermakna dengan perempuan.

Menurut Marini,21 pendidikan merupakan sebuah sarana untuk mendapatkan informasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai seseorang maka akan semakin banyak pula informasi yang diterimanya. Namun hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis dengan tingkat pendidikan responden. Hal ini dikarenakan santri madrasah tsanawiyah dan aliyah tidak diberikan mata ajar biologi

(16)

sehingga tidak mempelajari cacingan termasuk T. trichiura.

Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Pratiwi26 di Desa Gedangan, Kabupaten Sukoharjo bahwa tingkat pengetahuan ibu mengenai ASI eksklusif berhubungan dengan tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, semakin baik tingkat pengetahuan ibu mengenai pemberian ASI eksklusif pada anaknya.

Saat ini, sumber informasi berupa media massa telah mengalami perkembangan pesat sehingga mempermudah masyarakat untuk mengakses berbagai informasi yang ada. Pada penelitian ini didapatkan bahwa tingkat pengetahuan gejala dan pengobatan trikuriasis tidak berhubungan dengan jumlah informasi yang didapatkan. Hal dikarenakan informasi yang diterima belum tentu berkualitas, sehingga tidak dapat meningkatkan pengetahuan santri.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Hastuti27 yang menyatakan

bahwa jumlah sumber informasi

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan mengenai gizi anak SD di Kecamatan Bringin, Kabupaten Dati II, Semarang. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori Piaget [dikutip dari Santrock]28 yang

melaporkan bahwa peningkatan

pengetahuan dipengaruhi oleh dua faktor yang saling berhubungan, yaitu diri sendiri dan lingkungan. Banyaknya jumlah informasi yang didapat di lingkungan secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi baiknya pengetahuan yang dimiliki seseorang.

Menurut Munir yang dikutip oleh Mustaram,29 multimedia dianggap sebagai media pendidikan yang berkesan karena informasi dapat diterima melalui berbagai panca indra yaitu penglihatan, pendengaran, dan sentuhan. Multimedia dapat membuat materi yang disampaikan berkesan apabila disusun secara sistematik, komunikatif, dan interaktif selama informasi diberikan. Multimedia dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung. Berkesan atau tidaknya bergantung kepada penerima informasi tersebut.

Pada hasil penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis dengan informasi paling berkesan. Mayoritas responden memilih informasi yang disampaikan secara langsung sebagai informasi paling berkesan. Sebanyak 51,9% responden memilih dokter sebagai sumber informasi paling berkesan. Hal tersebut disebabkan terbatasnya akses santri terhadap media massa sehingga

(17)

informasi yang didapatkan tidak optimal. Selama berada di pesantren, santri tidak diperbolehkan menonton TV dan hanya diperbolehkan menggunakan internet untuk kepentingan pendidikan. Tidak adanya media cetak berisi promosi kesehatan yang disebarkan oleh pesantren juga menjadi salah satu faktor penyebab hanya 12 responden (7,7%) yang memilih media massa sebagai sumber informasi paling berkesan. Oleh karena itu, mayoritas santri memilih dokter yang datang setiap sebulan ke poskestren sebagai sumber informasi paling berkesan.

Kesimpulan

Tingkat pengetahuan santri mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis tergolong kurang yaitu 87,7%. Karakteristik santri pesantren X, Jakarta Timur adalah 59,1% laki-laki, 40,1% perempuan, 52,6% santri dengan tingkat pendidikan madrasah tsanawiyah dan 47,4% santri dengan tingkat pendidikan madrasah aliyah. Tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan santri mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis dengan jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah sumber informasi, dan sumber informasi yang dianggap paling berkesan.

Saran

Tingkat pengetahuan santri mengenai gejala dan pengobatan trikuriasis perlu ditingkatkan dengan memberikan edukasi berupa penyuluhan dengan memperhatikan jawaban yang salah pada kuesioner. Penyuluhan diberikan oleh dokter kepada seluruh santri tanpa memandang jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perilaku santri dalam pencegahan trikuriasis.

Daftar Referensi

1. WHO. Prevention and control of intestinal parasitic infection. Geneve: Technical Report series 854; 1997. 2. Warren KS. Mahmound AAF.

Tropical and geological medicine. New York: McGraw-Hill Book Company; 1984.

3. Wani SA, Ahmad F, Amin A, Dar ZA, Dar PA. Intestinal helminthiasis in children of Gurez Valley of Jammu and Kashmir State India. Journal of Global Infectious Diseases. 2010;2:91-4.

4. Adusei K, Donkor P. Trichuris

trichiura. eMedicine Emergency

Medicine. 2009. [cited 2011 Jan 17]. Available from: Medscape.

5. Puspita A. Prevalensi cacing Ascaris

lumbricoides, cacing tambang, dan Trichuris trichiura setelah lima tahun

(18)

program eliminasi filariasis di Desa Mainang, Alor, Nusa Tenggara Timur.

Jakarta: Universitas Indonesia; 2009. 6. Hadidjaya P. Masalah penyakit

cacingan di Indonesia dan penanggulangannya. Majalah

Kedokteran Indonesia. 1994;44:215-6. 7. Sasangko A. Dua belas tahun

pelaksanaan program pemberantasan cacing di sekolah sekolah dasar DKI Jakarta. Jurnal Epidemiologi

Indonesia. 2000;1(1):41-54.

8. Mardiana, Djarismawati. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar wajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008;7(2):769-74. 9. Gourgiotis S, Baratsis S. Rectal

prolapsed. Int J Colorectal Dis. 2007;22(3):231-43.

10. Ramdath DD, Simeon DT, Wong MS, Grantham-McGregor SM. Iron status of school children with varying intensities of Trichuris trichiura infection. Parasitol. 1995;110:347-51. 11. Subahar R. Prevalensi cacingan di

Desa Karangasem Bali Tahun 2011 [Unpublised Data]. Jakarta:

Departemen Parasitologi FKUI; 2011 12. Purnomo J, Gunawan W, Magdalena

LJ, Ayda R, Harijani AM. Atlas helmitologi kedokteran. Jakarta: Gramedia; 2005.

13. Laboratory identification of parasites of public health concern. [cited 2011 August 24]. Available from:

http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/.

14. Chang CW, Chang WH, Shih SC, Wang TE, Lin SC, Bair MJ. Accidental diagnosis of Trichuris

trichiura by colonoscopy.

Gastrointest. 2008;68(1):154.

15. Ok K, Kim Y, Song J, Lee H, Ryu S, Lee J, et al. Trichuris trichiura infection diagnosed by colonoscopy: case reports and review of literature. Korean J Parasitol. 2009;47(3): 275-290.

16. Notoatmodjo S. Ilmu kesehatan masyarakat. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2003.

17. Nursalam. Pendekatan praktis metodologi riset

keperawatan. Jakarta: Sagung Seto; 2001.

18. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka; 1996.

19. Wahid A. Menggerakkan tradisi: esai esai pesantren. LKIS. 2001;1:17. 20. Masud. Pendidikan Islam, demokrasi,

dan masyarakat madani. Ismail SM, editor. 2000;1:171.

21. Marini D. Gambaran pengetahuan, sikap, dan tindakan mengenai DBD pada keluarga di Kelurahan Padang

(19)

Bulan Tahun 2009 [skripsi]. Medan: FKUSU; 2010.

22. Subahar R, Susanto L. A. Lumbricoides eggs and

human-intestinal protozoan cyst found in river water of Angke River, Jakarta. Makara Kesehatan. 2008;12: 83-5.

23. Sekartini R, Wawolumaya C, Kesume W, Memy YD, Yulianti, Syihabul S, et

al. Pengetahuan, sikap, dan perilaku

ibu yang memiliki anak usia SD tentang penyakit cacingan di Kelurahan Pisang Baru, Jakarta Timur [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2001.

24. Fadhlan A. Tingkat pengetahuan siswa madrasah tsanawiyah Negeri Bayah mengenai pemberantasan sarang nyamuk DBD setelah penyuluhan [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2010.

25. Oktarina, Hanafi F, Budisuari MA. Hubungan antara karakteristik responden, keadaan wilayah dengan

pengetahuan, sikap terhadap

HIV/AIDS pada masyarakat

Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2009;12(4):362-9.

26. Pratiwi MLE. Hubungan tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dengan pemberian ASI eksklusif di Desa Gedangan Kabupaten Sukoharjo [karya tulis ilmiah]. Surakarta:

Universitas Sebelas Maret Surakarta; 2009.

27. Hastuti S. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan gizi anak sekolah dasar di Kecamatan Bringin Kabupaten Dati Ii Semarang Propinsi Jawa Tengah [karya tulis ilmiah]. Semarang: Universitas Diponegoro; 1989.

28. Santrock JW. Adolescence perkembangan remaja. Jakarta: Erlangga; 2003.

29. Mustaram RF. Penerapan multimedia berbasis komputer untuk

meningkatkan kemampuan pemahamn siswa pada pembelajaran

menyambung pipa dengan brazing [skripsi]. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia; 2011.

Gambar

Tabel 4.2.1 Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan
Tabel 4.2.3 Sebaran Responden Berdasarkan Sumber Informasi Paling Berkesan
Tabel 4.2.4 Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Gejala dan Pengobatan Trikuriasis dan Faktor- Faktor-Faktor yang Berhubungan
Tabel  4.2.5  terlihat  masih  terdapatnya  skor  nol  pada  setiap  soal,  hal  tersebut    menunjukkan  bahwa  santri  masih  belum  mengerti  materi  mengenai  gejala  dan  pengobatan  trikuriasis

Referensi

Dokumen terkait

Pada instalasi perpipaan pompa sentrifugal, kecepatan aliran di dalam pipa harus sesuai dengan kecepatan aliran yang diizinkan berdasarkan fluida kerjanya.. Kecepatan aliran

Desa Pejarakan, Kec. Dinas Kalibukbuk, Ds. Dinas Dauh Margi. 18 Singaraja, Kec. Basri Abdillah/ PP. Dinas Sekeling, Ds. Dinas Sekeling, Ds. Anyelir 26C Denpasar, Tanjung Bungkak

[r]

aliansi yang dilakukan Jepang dengan Amerika Serikat terutama dalam bidang militer dapat memperkuat keamanan kawasan serta Jepang itu sendiri karena jaminan

Yang diatas adalah bentuk sederhana dari kunci dasar C mayor, dan apabila dipindahkan atau digeser ke kolom bar / greep yang lain dengan bentuk yang sama maka akan

Menekankan pada tujuan utama film dokumenter Kain Tenun Gringsing adalah untuk menambah wawasan masyarakat tentang keberadaan kain Tenun Gringsing yang ada di

Wilayah di sekitar stasiun curah hujan Indramayu, misalnya, merupakan wilayah yang cenderung mengalami kondisi ekstrim basah baik pada skala waktu 3, 6, maupun