• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Tinjauan Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab II Tinjauan Pustaka"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Bab II Tinjauan Pustaka

II.1 Outsourcing

Outsourcing didefinisikan sebagai penggunaan sumber daya strategis dari luar

untuk melakukan aktifitas yang sebelumnya ditangani oleh staff dan sumber daya internal[19]. Semua aktifitas bisnis dapat di-outsource, namun outsourcing memerlukan sebuah persetujuan antara pelaku dengan organisasi eksternal.

Outsourcing bukanlah sebuah konsep baru, namun berasal dari pelaksanaan

subkontrak aktifitas produksi. Tujuannya tidak hanya untuk mengurangi biaya non inti, namun juga untuk mengendalikan nilai strategis, transformasi bisnis, atau bahkan mengubah dinamika industri secara fundamental. Ed Frey [8],mengambil contoh dari beberapa organisasi dan menyimpulkan bahwa outsourcing memberi lapisan ekstra dalam supply chain, yang berarti memberi satu perlindungan ekstra. Hal ini disebabkan outsourcing yang biasa diikat oleh kontrak, meningkatkan kapasitas produksi dengan menggunakan sumber daya dari luar.

II.2 Outsourcing Teknologi Informasi

Menurut penelitian yang dilakukan Goldsmith[7] terhadap beberapa firma, area fungsional yang paling umum di outsource adalah teknologi informasi, yang meliputi semua aspek manajemen sistem informasi. Lebih rinci, survey yang dilakukan Lackow [22] pada industri outsourcing teknologi informasi menunjukkan, bahwa kategori layanan penyediaan teknologi informasi meliputi dukungan pengguna, Voice Network Management, pemulihan bencana, pengembangan perangkat, manajemen jaringan data, perawatan perangkat lunak,

Data Center Operations, strategi dan perencanaan teknologi informasi, layanan

pendukung, Application Hosting, dan proses bisnis. Survey tersebut juga menyimpulkan bahwa outsourcing teknologi informasi akan terus berkembang sesuai kepentingannya.

(2)

II.2.1 Ketatakelolaan Outsourcing Teknologi Informasi

Terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam ketatakelolaan outsourcing teknologi informasi, terutama saat menggunakan layanan pihak ketiga. Diantaranya adalah hasil yang lebih cepat dengan pemanfaatan evolusi teknologi dan penggunaan tenaga ahli suplier yang lebih siap dalam menghadapi perkembangan lingkungan. Hal ini seringkali membutuhkan pembedaan, bahkan konflik dan kemungkinan baru. Satu – satunya cara yang merupakan fungsi dari ketatakelolaan outsourcing adalah implementasi pendekatan untuk memfasilitasi dan membantu antarmuka klien dan suplier.

Disaat tidak terdapat cara untuk menjamin kesuksesan pelaksanaan outsourcing, beberapa pendekatan berikut dianggap merupakan pendekatan terbaik[10]:

a. Memastikan outsourcing diterima dan dimengerti oleh bisnis organisasi dan strategi operasi. Hal ini dapat membantu memisahkan aktivitas inti organisasi dan penentuan kandidat outsourcing.

b. Tidak melakukan outsourcing pada aktifitas yang rusak atau tidak lengkap. Bila organisasi klien tidak dapat mengelolanya, kemungkinan besar organisasi lain juga tidak.

c. Organisasi klien perlu mengetahui atau mengerti jumlah dan kualitas kebutuhan outsourcing dan layanan suplier yang potensial untuk memastikan terpenuhinya tujuan, harapan, dan sumber daya.

d. Merencanakan dengan baik proses transisi(transfer layanan pada suplier). Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:

1. Staff

2. Pengetahuan dan ketrampilan 3. Pengelolaan layanan

4. Biaya layanan dibawah kontrak. 5. Program pengembagan lebih lanjut 6. Evaluasi dan pembaruan prosedur.

(3)

e. Merencanakan dengan baik transformasi proses bisnis, metode operasi, dan pembuatan maupun penyaluran layanan. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal berikut:

1. Aktifitas ketatakelolaan yang disertakan dalam perjanjian

2. Benchmarking

3. Pengukuran biaya proyek melalui implemantasi 4. Manfaat yang didapat

5. Aset yang sesuai dengan kebutuhan 6. Pengelolaan perubahan lingkungan.

II.2.2 Manfaat Outsourcing Teknologi Informasi

Manajemen dapat memutuskan untuk melakukan outsourcing teknologi informasi dengan mempertimbangkan manfaat yang diperoleh. Seperti dapat dilihat pada Gambar II.1, jenis manfaat dari outsourcing teknologi informasi dibagi menjadi tiga bagian yaitu operasional, teknologi, dan keuangan[13].

Gambar II.1 Manfaat Outsourcing Teknologi Informasi[13]

Manfaat – manfaat ini dapat digunakan oleh pengambil keputusan dalam menentukan masa depan organisasi. Berikut adalah penjelasan detil dari tiap manfaat:

II.2.2.1 Manfaat Operasional

Dibandingkan dengan keberadaan teknologi informasi dalam bisnis modern, operasi pemrosesan data seringkali tidak menjadi kompetensi inti banyak organisasi. Kebutuhan peningkatan kualitas layanan, kompetensi personil

Jenis Manfaat

Outsourcing

Manfaat

(4)

teknologi informasi, dan pengembangan dan perawatan sistem yang handal dapat mempengaruhi manajemen sumber daya dan mengurangi kemampuan organisasi dalam menangani nilai bisnis yang sebenarnya. Outsourcing dapat menyelesaikan masalah ini dengan memindahkan pelayanan teknologi informasi kepada spesialis, sehingga manajemen dapat fokus pada aktifitas inti. Dengan meminimalisasi sumber daya untuk aktifitas non inti. Sebuah unit bisnis dapat meningkatkan kinerjanya dengan pembangunan dan perbaikan proses bisnis. Outsourcing juga merupakan pilihan umum dalam meminimalisai waktu pengenalan dan menghindari tingginya biaya memasuki pasar baru.

II.2.2.2 Manfaat Teknologi

Outsourcing dapat meningkatkan efisiensi dengan memperoleh akses pada

personil, proses, dan teknologi yang tidak ekonomis bila dilakukan secara internal. Akses pada teknologi dapat menyebabkan keunggulan secara teknis dalam berkompetisi. Hal ini merupakan salah satu cara dalam mengikuti perubahan teknologi informasi yang selalu berubah dan memperoleh keahlian teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas layanan bagi bisnis dan pelanggan.

II.2.2.3 Manfaat Keuangan

Manfaat lain yang tidak kalah penting dalam outsourcing teknologi informasi adalah keuangan. Outsourcing menawarkan kemungkinan kendali terhadap biaya pengelolaan teknologi informasi melalui efisiensi dengan berbagi biaya dengan suplier. Sebagai tambahan, outsourcing dapat mengurangi risiko dari kesalahan investasi teknologi yang seringkali membatasi sumber daya keuangan untuk aktifitas strategis lain.

(5)

II.2.3 Risiko Outsourcing Teknologi Informasi

Saat keputusan outsourcing dibuat, hal tersebut bisa jadi hanya sementara karena banyaknya faktor yang memungkinkan terjadinya kegagalan. Keputusan tersebut bahkan seringkali tidak mempertimbangkan relasi terhadap publik atau dampak terhadap karir dari orang -orang yang terlibat di dalamnya. Gambar II.2 menunjukkan pembagian risiko dalam outsourcing teknologi informasi[12].

Gambar II.2 Elemen Risiko Outsourcing Teknologi Informasi[12]

Tiga jenis risiko tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Risiko operasional : Dipengaruhi faktor teknis, manusia, dan proses. Dapat berupa penurunan kualitas, biaya atau kecepatan eksekusi proses.

b. Risiko strategis : Berhubungan dengan masalah yang ditimbulkan oleh suplier dan pekerjanya, seperti perlindungan properti intelektual, keamanan, dan privasi.

c. Risiko komposit : Berhubungan dengan risiko jangka panjang, seperti hilangnya kemampuan melakukan suatu proses bisnis secara internal di masa depan karena hilangnya talenta dan pengetahuan dari aktifitas yang

di-outsourcing-kan.

Jenis Risiko outsourcing

Risiko Operasional Risiko Strategis Risiko Komposit

Suplier Teknis Manusia Proses Pengetahuan Kemampuan

(6)

Diantara risiko – risiko ini dampaknya dapat dikurangi dengan kendali pada perjanjian kontrak dan operasional. Bagaimanapun juga, mengelola risiko operasional adalah aktifitas berjalan yang perlu dilakukan secara berkelanjutan

II.3 Sumber Daya, Nilai Strategis dan Lingkungan Teknologi Informasi

Nilai strategis sumber daya dapat didefinisikan sebagai pemahaman dan pemanfaatan terhadap sifat dari masing – masing sumber daya dalam berinteraksi untuk menciptakan sebuah nilai. Nilai strategis sumber daya membantu organisasi mengembangkan sudut pandang yang dinamis dan terintegrasi. Dengan mengintegrasikan beberapa area fungsional dalam organisasi untuk membentuk sumber daya yang bernilai bagi stakeholder, pengambil keputusan dapat lebih fokus pada sumber daya yang tepat dalam menciptakan nilai.

Pada dasarnya sumber daya dalam bidang teknologi informasi dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori[8]. Kategori tersebut antara lain:

a. Manusia : Terdiri dari personil yang memiliki kemampuan, berkontribusi, atau pengguna dari teknologi informasi, misalnya spesialis teknologi informasi atau pengguna akhir.

b. Perangkat keras: Alat bantu dalam teknologi informasi yang bersifat nyata, dapat berupa CPU, monitor atau perangkat pendukung lainnya.

c. Perangkat lunak: Alat bantu yang bersifat tidak nyata, dapat berupa sistem, aplikasi, atau prosedur.

d. Data: fakta, informasi atau hasil analisa yang digunakan komputer.

e. Jaringan : alat bantu sebagai media komunikasi di bidang teknologi informasi.

Lima jenis sumber daya utama teknologi informasi (manusia, perangkat keras, perangkat lunak, data, dan jaringan) digunakan untuk mengumpulkan beberapa tipe sumber daya lain yang mengendalikan nilai bagi pelanggan, shareholder, dan

stakeholder. Tipe sumber daya ini disebut sebagai sumber daya value driving.

(7)

a. Kepuasan Pelanggan b. Kepuasan Suplier

c. Tingkat Kompetisi Produk d. Keuntungan

e. Brand/Image/Prestige/Reputation

f. Kepuasan pegawai g. Efisiensi operasional

Dalam departemen atau bagian teknologi informasi sebuah organisasi, sumber daya utama digunakan untuk meningkatkan nilai dari sumber daya value driving. Oleh sebab itu, nilai sumber daya value driving yang dipengaruhi departemen/bagian teknologi informasi dapat menjadi salah satu indikator kinerja teknologi informasi suatu organisasi.

Selain nilai strategis, nilai dari sumber daya dalam teknologi informasi juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan disekitarnya. Beberapa kondisi yang dapat mempengaruhi sumber daya teknologi informasi antara lain infrastruktur, standar(baik untuk teknologi, operasional, teknis, dan aplikasi), penelitian, instruksi, sistem administratif, dukungan baik internal(kebijakan organisasi) maupun eksternal(kebijakan pemerintah), perencanaan dan laporan organisasi, kerjasama atau kolaborasi dengan pihak lain.

II.4 The Conceptual Frameworks

Beberapa sudut pandang teoritis menjelaskan dengan baik sikap dari klien, suplier, dan organisasi penghubung dalam outsourcing. Beberapa mode pertimbangan dalam melakukan outsourcing teknologi informasi atau disebut “the

conceptual frameworks”dapat digunakan dalam menjelaskan perjanjian dalam

praktek dan derajat kesuksesan outsourcing[24]. The Conceptual Frameworks terdiri dari tujuh bagian. Tiap bagian dijelaskan dengan rinci sebagai berikut:

(8)

II.4.1 Core Competencies

Menurut Deloitte [3],Core Activities berarti aktifitas inti menuju bisnis yang tidak

memberi sebuah keunggulan dalam berkompetisi. Istilah “Core Competency” sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Prahalad [17] yang mendeskripsikannya sebagai kumpulan pengetahuan dalam organisasi, terutama bagaimana mengkoordinasi bermacam ketrampilan produksi dan mengintegrasikan berbagai aliran teknologi.

Kompetensi adalah sebuah kombinasi dari pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan sebuah tugas atau kumpulan tugas[6].Hubungan nyata antara kompetensi inti dan produk akhir adalah apa yang kita sebut produk dasar (perwujudan fisik dari satu atau lebih kompetensi inti).

Untuk menopang pertumbuhan dan mengungguli perusahaan lain, sebuah organisasi perlu membuat sebuah perbedaan untuk memperoleh keunggulan berkompetisi. Perbedaan yang dimaksud adalah dapat melakukan aktifitas lebih baik dengan biaya yang lebih efektif dibandingkan kompetitor. Mengembangkan sebuah keunggulan berkompetisi seringkali dilakukan belakangan, saat organisasi memilih untuk bertumbuh dibandingkan mengembangkan kompetensi intinya[3]. Beberapa masalah terkait dengan kompetensi inti adalah sebagai berikut:

a. Saat organisasi memilih untuk bertumbuh, risiko menjadi lebih mudah muncul, karena perlu disadari pesatnya pertumbuhan dalam organisasi juga dipengaruhi oleh Core Competency-nya

b. Pengalihan pada pertumbuhan dapat menyebabkan kurangnya fokus pada pondasi sukses di masa depan.

c. Para manajer enggan menyerahkan manajemen dari aktifitas bisnis, terutama aktifitas inti, kepada pihak eksternal.

(9)

Kinerja dan pertumbuhan sebuah perusahaan datang dari sebuah set kompetensi inti. Untuk mempertahankan fokus pada kompetensi inti ini, perusahaan harus melibatkannya dalam strategi bisnis dan melakukan outsource pada aktifitas yang tidak memberi keunggulan dalam berkompetisi.

II.4.1.1 Tes pasar eksternal terhadap kompetensi inti organisasi

Untuk dapat dikualifikasikan sebagai “dasar”, sebagai inti dari strategi yang efektif, kompetensi harus lulus sejumlah tes dari pasar eksternal mengenai nilai yang dimilikinya [3]. Gambar II.3 menunjukkan sebuah cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui apakah sebuah kompetensi masuk kategori inti atau tidak.

Gambar II.3 Test Pasar Eksternal pada Sebuah Kompetensi Inti[3]

Seperti dapat dilihat pada Gambar II.3 tes kompetensi inti dapat dilakukan melalui lima cara. Lima cara tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Tes kemungkinan imitasi : apakah kompetensi sulit untuk ditiru?

Tidak dapat diimitasi adalah jantung dari pembentukan nilai dan keunggulan berkompetisi karena batas yang diberikannya. Bila strategi kompetensi tidak dapat diimitasi, maka keuntungan yang didapat akan mudah dipertahankan. Tidak dapat diimitasi diturunkan dari keunikan fisik (mis: paten, lokasi), ketergantungan(kompetensi yang telah dibangun lama

daya tahan: seberapa cepat sumber daya menurun? Nilai Sebuah Kompetensi inti ketepatan: siapa yang mendapatkan nilai yang dibuat

sumber daya?

kemungkinan imitasi

apakah kompetensi sulit untuk ditiru?

pengganti: bisakah sebuah kompetensi unik tergantikan oleh sumber daya yang lain? keunggulan kompetitif:

kompetensi siapa yang sebenarnya lebih baik?

(10)

sulit ditiru karena dibuat berdasarkan akumulasi), ambiguitas penyebab(kesulitan dalam mendapat kompetensi atau bagaimana membuat ulang), atau keunggulan gerakan awal usaha pasar untuk menjadi yang pertama dalam investasi aset atau teknologi).

b. Tes daya tahan: seberapa cepat sumber daya menurun?

Sebuah kompetensi lebih bernilai bila dapat mempertahankan keunggulan berkompetisinya selama mungkin. Kompetensi inti harus memiliki daya tahan atau akan cepat hilang dan turun nilai keuntungannya.

c. Tes ketepatan: siapa yang mendapatkan nilai yang dibuat sumber daya? Mendasarkan sebuah strategi pada kompetensi yang tidak terpisahkan dalam sebuah organisasi dapat menyebabkan keuntungan sulit diraih dan dipertahankan. Sebagai contoh, kompetensi yang bergantung pada individu yang dapat meninggalkan perusahaan, atau persediaan yang terikat pada kontrak yang dapat dibatalkan, bukan merupakan keputusan yang tepat. d. Tes pengganti: bisakah sebuah kompetensi unik tergantikan oleh sumber

daya yang lain?

Pengganti seringkali tidak diketahui. Sebagai contoh, teknologi baru dapat dengan mudah menggantikan solusi lama. Mencari kemungkinan bilamana kompetensi inti dapat tergantikan merupakan hal penting. Terutama bila sebuah organisasi bergantung pada hal tersebut untuk mendukung kemampuannya dalam menghasilan sebuah barang atau jasa yang berkualitas.

e. Tes keunggulan kompetitif: kompetensi siapa yang sebenarnya lebih baik? Organisasi harus mengevaluasi kompetensi inti yang berhubungan dengan kompetitornya. Strategi organisasi yang dibangun berdasar set kemampuan spesifik akan menjadi kurang spesifik bila kompetitor dengan kemampuan lebih baik menggunakan strategi yang sama.

II.4.2 Resource Based

Resource based theory ditemukan oleh Barney dan Grant, tahun 1991. teori ini

menjelaskan bahwa aset dan sumber daya yang dimiliki organisasi dapat menjelaskan perbedaan kinerja yang dihasilkan. Sumber daya dapat bersifat nyata

(11)

atau tidak, dan berdampak pada kekuatan dan kelemahan yang dimiliki organisasi yang pada akhirnya berpengaruh pada keunggulan berkompetisi. Wernerfelt[16] mengartikan sumber daya (resource) sebagai segala sesuatu yang bisa dianggap sebagai sebuah kekuatan atau kelemahan dari firma. Sumber daya dianggap penting untuk mendahului produk , terutama kinerja. Teori ini mengalamatkan masalah utama mengenai bagaimana keunggulan kinerja dapat dicapai oleh firma lain pada pasar yang sama dengan cara memperoleh dan mengekploitasi sumber daya unik yang dimiliki firma.

Conner dan Prahalad [16] berpendapat bahwa keunggulan berkompetisi dapat ditopang dengan sekumpulan sumber daya unik pada inti organisasi. Dengan kata lain, dapat disimpulkan sudut pandang Resource Based melihat bagaimana pemilik bisnis membangun usahanya berdasarkan sumber daya dan kemampuan yang mereka miliki saat ini atau yang bisa didapatkan kelak. Pendekatan Resource

Based berdasar pada sumber daya organisasi dan bagaimana sumber daya tersebut

dikombinasikan menjadi sebuah kemampuan. Dalam Resource Based, organisasi dikatakan memiliki keunggulan berkompetisi saat dapat memenuhi beberapa syarat berikut[16]:

a. Melakukan sewa yang memerlukan heteroginitas antar organisasi

b. Menikmati sewa yang tidak ternilai biaya, dengan cara mendapatkan sebuah set sumber daya yang memerlukan Ex-Ante Limit untuk berkompetisi mendapatkan sumber daya tersebut.

c. Menyimpan sewa tersebut dalam organisasi, yang memerlukan mobilitas sumber daya yang tidak sempurna

d. Mempertahankan sewa tersebut, yang memerlukan Ex-Post Limit dalam kompetisi.

Faktor pendukung tercapainya keunggulan berkompetisi dalam Resource Based ditunjukkan oleh Gambar II.4 dimana ada empat faktor yang mempengaruhi tercapainya keunggulan berkompetisi:

(12)

Gambar II.4 Sudut Pandang Teori Resource Based[16]

Faktor – faktor yang mendukung tercapainya keunggulan berkompetisi dalam

Resource Based dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Heteroginity: Industri dibuat dari organisasi yang memiliki akses pada banyak sumber daya dan ketrampilan berbeda, dengan cara berikut:

1. Mengikat sumber daya dan kemampuan yang berbeda dalam organisasi. Heteroginitas menyatakan secara tak langsung bahwa organisasi dengan bermacam kemampuan akan belajar dengan tingkatan berbeda pula.

2. Kelas penting sumber daya adalah kelas yang terbatas dalam jangka pendek, namun dapat diperbarui dan dikembangkan dalam organisasi yang menggunakannya.

b. Ex-Post Limit untuk berkompetisi: meningkatkan teknologi yang potensial yang ada. Kekuatan dalam berkompetisi yang membatasi imitator dengan cara.:

1. Membatasi peniruan atau imitasi, dipertahankan dengan cara mengisolasi mekanisme.

2. Membatasi sumber daya pengganti. Keunggulan berkompetisi Ex-Post Limit dalam berkompetisi Mobility tidak sempurna

Ex-Ante Limit dalam

berkompetisi Heterogeneity

(13)

c. Ex-Ante Limit untuk berkompetisi: reputasi dan pengetahuan spesialis 1. Menganut asumsi bahwa sumber penyewa dalam organisasi adalah

sebuah posisi superior sumber daya.

2. Bila terdapat banyak organisasi menyadari potensinya, perjuangan dalam kompetisi akan terjadi untuk memperebutkan posisi superior yang dimaksud.

3. Proses ini akan merugikan semua target sewa yang dapat diperoleh bila posisi tersebut didapat.

4. Sebuah organisasi membutuhkan perkiraan masa depan untuk memperoleh atau membangun kekosongan dalam berkompetisi. Hal ini memerlukan informasi yang tidak tentu dan tidak lengkap, atau akan terdapat perbedaan dalam biaya yang dibutuhkan organisasi dalam mengimplementasikan pilihan strategis.

d. Mobilitas tidak sempurna: berbagi reputasi dan pengetahuan spesialis Tidak berbagi pengetahuan spesialis dan reputasi untuk mempertahankan keunggulan berkompetisi.

II.4.3 Resource Dependencies

Menurut teori Resource Dependencies, pihak yang kekurangan sumber daya yang diperlukan akan berusaha menjalin hubungan dengan pihak lain untuk mengisi kekurangan tersebut[2].Organisasi berusaha merubah ketergantungan dalam suatu hubungan dengan meminimalisasi ketergantungannya atau dengan meningkatkan ketergantungan organisasi lain kepadanya. Dengan sudut pandang tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam Resource Dependencies, organisasi dilihat sebagai koalisi yang merubah struktur dan pola kelakuannya agar dapat memperoleh dan memelihara sumber daya eksternal yang diperlukan.

Resource Dependencies berasal dari teori sistem terbuka dimana organisasi

memiliki perubahan derajat kebergantungan pada lingkungan eksternal, khususnya untuk sumber daya yang dibutuhkan untuk beroperasi. Hal ini menyebabkan masalah karena organisasi memiliki ketidakpastian dalam

(14)

mendapatkan sumber daya dan meningkatkan masalah ketergantungan organisasi dalam mendapatkan sumber daya kritis. Seringkali, kendali eksternal dari sumber daya ini mengurangi keleluasaan manajerial, mengganggu tercapainya sasaran organisasi dan mengancam eksistensi dari organisasi itu sendiri. Dihadapkan pada situasi ini, manajemen akan mengarahkan organisasi agar mengelola ketergantungan eksternal sebagai keunggulan. Dalam Resource Dependencies organisasi memiliki ketidakpastian dalam mendapatkan sumber daya yang meningkatkan masalah ketergantungan organisasi dalam mendapatkan sumber daya kritis. Dari sudut pandang ini dapat dilihat bahwa sebuah organisasi dapat mengelola peningkatan ketergantungan dengan mengadaptasi atau menghindari kebutuhan eksternal dengan melakukan strategi – strategi berikut[2]:

a. Mengubah kebergantungan organisasi melalui integrasi, merger dan penggolongan.

b. Menciptakan struktur kolektif untuk membentuk “lingkungan yang bisa dinegosiasikan”

c. Menggunakan aksi legal, politis, atau sosial untuk membentuk lingkungan baru yang lebih bersahabat.

Resource Dependencies menggunakan set strategi spesifik untuk mengelola

lingkungan eksternal dan mendiskusikan kondisi yang paling tepat. Sudut pandang Resource Dependencies mencari cara pengendalian sumber daya untuk mencapai efektifitas dalam organisasi. Esensi dari sudut pandang Resource

Dependencies adalah keunggulan kinerja finansial yang didapat dari pengelolaan

ketergantungan dan ketidaktentuan. Pemilihan strategi yang tepat untuk mempengaruhi lingkungan sebagai keunggulan harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan karena dapat menciptakan sebuah pilihan dalam berkontribusi atau menyembunyikan sumber daya penting atau masukan yang dapat digunakan sebagai alat tawar – menawar antara rekan dan pelanggan. Gambar II.5 menunjukkan model framework konseptual Resource Dependencies yang digunakan untuk menganalisa sebab dan akibat dari sebuah Controlling

(15)

H1 H3(+)

H H4(-)

Gambar II.5: Framework Konseptual Resource Dependencies [2] Dalam framework konseptual Resource Dependencies, Dependency(ketergantungan pada pihak lain) dan Uncertainty(tidak pastinya

aliran sumber daya) menjadi faktor penentu utama peningkatan efektifitas dalam organisasi (dampak terhadap keuangan dan pelanggan). Berikut adalah beberapa asumsi dan pengertian yang digunakan dalam framework Resource Dependencies [2]:

a. Dependency: kurangnya sumber daya dalam tubuh organisasi membuat ketergantungan potensial pada pihak lain.

b. Uncertainty : aliran sumber daya bukanlah subyek kendali organisasi sehingga tidak dapat diprediksi secara akurat. Dengan begitu, organisasi mencari cara mengelola lingkungan untuk menjamin kelangsungan hidup jangka panjang dengan meminimalisasi ketergantungan dan mengurangi ketidaktentuan(uncertainty) dalam mendapatkan sumber daya melalui hubungan formal maupun informal (outsourcing) dengan organisasi lain. c. Controlling Orientation: kemampuan dalam mengelola lingkungan

dianggap sebagai suatu keunggulan berkompetisi.

d. Firm power : keunggulan yang dimiliki sebuah organisasi e. Financial Outcomes : kinerja keuangan organisasi

f. Customer Outcomes : dampak sebuah hubungan yang dirasakan pihak

customer atau pelanggan.

Dependency (Clark et al., 1994; Heide dan Stump, 1995; Pfeffer dan Salancik, 1978) Firm Power (Asymmertric Interdependence) (Emerson, 1962; Frazier, 1991) Financial Outcomes

-ROA, Sales Growth,

Market Share, Profitability (Mcalister et al., 1986; Wathne dan Heide, 2000) Controlling Orientation (CO) (Aldrich, 1999; Pfeffer dan Salancik, 1978; Scott, 1998) Uncertainty (Balakrishnan dan Wernerfelt, 1986; Heide, 1994; Pfeffer dan Salancik, 1978 Customer Outcomes Kepuasan pelanggan, Value (Anderson dan Weitz, 1992; Ganesan,

1994; Geyskens et al.,1999)

(16)

II.4.4 Transaction Cost Economics

Robin [14] mendefinisikan Transaction Cost sebagai biaya yang berhubungan dengan pertukaran ekonomi, yang sangat bergantung pada harga pasar kompetitif dari barang atau jasa yang dipertukarkan. Sebagai contoh, dua klien dapat membeli barang dari dua suplier yang sama, namun dengan biaya transaksi yang berbeda, mengingat jarak transportasi atau perbedaan dalam cara membeli dan ketatakelolaan departemennya.

Coase [14] adalah orang pertama yang mempertanyakan kendali dalam sebuah organisasi. Framework teoritis yang dia kembangkan menanggapi pertanyaan tersebut akhirnya dikenal sebagai Transaction Cost Economics(TCE). TCE berpendapat bahwa ekonomisasi biaya transaksi menentukan aktifitas ekonomi organisasi, dan pemisahan aktivitas antara firma dan pasar. Relevansi ide ini dalam praktek outsourcing dianggap sangat berguna bagi peneliti.

Transaction Cost dapat diklasifikasikan dalam dua kategori: biaya koordinasi dan

biaya motivasi. Biaya koordinasi didefinisikan sebagai biaya dalam mengawasi lingkungan, merencanakan dan tawar – menawar untuk memutuskan apa yang harus diselesaikan. Biaya koordinasi meliputi biaya mempertemukan pembeli dan penjual, penelitian pasar, pemasaran, prosedur penetapan harga, dan usaha pembeli dalam menemukan produk yang diinginkannya. Biaya motivasi terdiri dari dua elemen : biaya yang berhubungan dengan informasi yang belum lengkap atau tidak dapat diandalkan dan biaya yang berhubungan dengan komitmen yang tidak sempurna. Informasi dikatakan belum lengkap atau tidak dapat diandalkan bila satu pihak dalam transaksi tidak pernah yakin pihak lain menyediakan informasi yang lengkap atau dapat diandalkan. Komitmen dikatakan tidak sempurna karena pihak – pihak dalam suatu transaksi tidak pernah yakin bahwa komitmen atau ancaman yang dibuat akan dijalankan dengan baik.

(17)

II.4.4.1 Atribut dalam Transaction Cost Economics

Coase [14] menganjurkan firma mengganti pasar saat biaya transaksi didalam firma lebih kecil dibanding biaya transaksi melalui pasar sebelumnya. Dari sudut pandang ini, dapat disimpulkan notasi dari peminimalan biaya atau efisiensi merupakan aspek pokok dari Transaction Cost Economics. Williamson[14] mendefinisikan tiga atribut kritis dalam transaction cost, antara lain: (i) asset

specify , (ii) uncertainty, dan (iii) frequency (dikombinasikan dengan durasi).

II.4.4.1.1 Asset Specificity

Lohtia [14] mendeskripsikan Asset Specificity sebagai sebuah aset, baik nyata maupun tidak, yang memiliki nilai kecil saat berada diluar hubungan khusus.

Transaction Cost Economics menganggap makin tinggi aset ditetapkan, maka

makin besar kemungkinan sebuah transaksi akan dikelola secara internal. Penetapan aset cukup komplek. Terdapat enam dimensi spesifikasi aset, yang meliputi: manusia, fisik, situs, terdedikasi, Brand capital, dan penetapan aset sementara. Enam dimensi aset tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Penetapan Aset Manusia

Meliputi semua keahlian atau pengetahuan khusus yang pegawai kembangkan melalui latihan, dan mewakili spesialisasi atau pengalaman yang spesifik pada sebuah hubungan pegawai dan majikan.

b. Penetapan Aset Fisik

Menyangkut investasi aset fisik yang berkenaan dengan hubungan perdagangan tertentu. Sebagai contoh adalah fasilitas produksi sayap yang dibuat oleh sebuah suplier Boeing. Sayap – sayap ini dibuat spesifik pada transaksi tersebut dan tidak dapat dibuat oleh pabrik pesawat manapun.

c. Penetapan Aset Situs

Berhubungan dengan investasi pada sebuah situs yang tertutup bagi penjual atau pembeli dengan tujuan memfasilitasi sebuah transaksi. Sebagai contoh, Toyota memiliki supplier yang dibangun disebelah mereka dan mengirimkan produknya

(18)

langsung dari suplier ke Toyota. Situs menspesifikasi pemakaian, dimana aset tidak dapat memiliki kegunaan alternatif, mengingat tingginya biaya relokasi.

d. Penetapan Aset Terdedikasi

Berhubungan dengan aset dengan tujuan umum, yang berlawanan dengan aset yang spesifik, dibeli sehubungan dengan kontrak hubungan perdagangan jangka panjang yang spesifik. Sebagai contoh, hotel dapat mengembangkan fasilitasnya untuk digunakan delegasi dalam menyelenggarakan konferensi.

e. Brand Capital

Berhubungan dengan investasi reputasi.Masalah dapat muncul dimana satu pihak memiliki kendali atas aset yang dapat merusak reputasi baru pihak lain.

f. Penetapan Sementara

Berhubungan dengan investasi aset dimana waktu dan koordinasi dari aktifitas merupakan hal kritis. Pembangunan kapal dapat digunakan sebagai contoh. Bila semua aktifitas yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah kapal dikoordinasikan dan dijadwalkan, kegagalan pengiriman satu barang yang dibutuhkan untuk kapal dapat dirasa mahal bagi pabrik kapal tersebut. Bisa terdapat suplier alternatif untuk barang tersebut, namun bila diperlukan waktu lebih untuk membuatnya, maka biaya transaksinya dapat menjadi signifikan bagi si pembuat kapal.

g. Intelektual

Sebagai tambahan enam aspek dari Asset Specify, aspek ketujuh yang disebut “Intellectual Asset Specificity” dapat disertakan. Aset ini berhubungan dengan penelitian, desain, pengembangan, dan kepatenan. Saat terdapat Asset Specificity yang bercampur, firma kemungkinan besar akan melakukan outsource atau mengadakan perjanjian bilateral.

(19)

II.4.4.1.2 Uncertainty

Atribut kedua dari Transaction Cost Economics adalah Uncertainty. Dalam transaksi, Uncertainty menggarisbawahi ketidaklengkapan kontrak. Makin besar kesulitan dalam melihat saat yang mempengaruhi sebuah hubungan perdagangan, makin besar pula ketidakpastian dan potensi munculnya kontrak yang tidak lengkap. Widener and Selto [14] mengklasifikasikan Uncertainty sebagai

Environmental (variasi dalam kebutuhan aktifitas) dan Behaviourial

(ketidakmampuan mengawasi aktifitas). Transaction Cost Economics menganggap bahwa dengan makin besarnya kehadiran Uncertainty, maka ada kemungkinan lebih besar transaksi akan dilakukan secara internal.

II.4.4.1.3 Frequency

Frequency mengacu pada pengulangan dan volume transaksi yang mirip. Saat

menjelaskan hal ini, Colbert dan Spicer [14] menggunakan kata “extent” untuk mewakili kata “frekwensi” dan “volume”. Makin besar extent sebuah transaksi, makin besar pula kemungkinan transaksi akan dikelola secara internal dikarenakan ekonomisasi produksi yang bisa diperoleh.

II.4.5 Agency Cost

Agency Cost ditemukan oleh Alchian dan Demsetz tahun 1972. Agency Cost

merupakan salah satu pengembangan aspek dari teori transaction cost, yang mempertimbangkan sudut pandang risiko antara pelaku(klien) dan rekan

outsourcing-nya(agen atau suplier)[14]. Teori ini berfokus pada ketentuan kontrak

dan hubungan antara kedua belah pihak yang terlibat dalam outsourcing. Teori ini membedakan antara kontrak yang berdasar pada hasil dengan kontrak yang berdasar pada sifat. Bila organisasi klien tidak mempercayai suplier, maka biaya pengawasan yang lebih besar akan diperlukan agar suplier memberi produk atau layanan yang baik. Organisasi klien memiliki dua pilihan: kontrak yang mengatur pembayaran berdasarkan produk atau layanan yang dihasilkan atau kontrak yang

(20)

mengatur pelaksanaan sebuah fungsi dalam batasan waktu. Bila klien tidak dapat mempercayai rekannya untuk menyediakan layanan sesuai perjanjian, maka kontrak berdasarkan pada hasil dapat diterapkan. Pada pihak suplier, kontrak berdasarkan sifat setidaknya memastikan bahwa pihaknya telah menghabiskan kurun waktu tertentu untuk aktifitas terkait, terlepas hasilnya baik atau buruk. Menurut teori Agency Cost, masalah kunci manajemen adalah pemilihan tipe kontrak yang efisien antara klien dan suplier. Teori ini mengemukakan bahwa perbedaan keuntungan klien dan suplier terdiri dari tiga bagian[5]:

a. Biaya pengawasan klien

Biaya pengawasan klien ,muncul saat klien mengawasi kinerja dari suplier. b. Sisa biaya klien

Sisa biaya klien muncul saat klien membeli sebuah fungsi dari suplier dengan keterbatasan kemampuan yang dimiliki.

c. Biaya pengikat suplier

Biaya pengikat suplier muncul saat agen gagal memenuhi kebutuhan klien sesuai ketentuan dalam kontrak.

Biaya – biaya tersebut memiliki implikasi kebijakan sebagai berikut[5]:

a. Information Costs in Contract Management. Sebagai tambahan untuk

menjelaskan manajemen kontrak yang melibatkan Agency Cost, satu yang harus diamati adalah bahwa keunggulan informasi dari kontraktor dalam kinerja berarti kontraktor dapat menetapkan biaya agen tinggi dengan mengabaikan usaha pelaku dalam memperoleh informasi. Makin sulit pelaku mendapatkan informasi sebagai akibat kinerja, makin besar kemungkinan kontrak akan disusun berdasarkan sifat kontraktor. Makin tidak pasti akibatnya, makin besar kemungkinan agen akan memiliki dorongan untuk menolak usaha pengumpulan informasi pelaku begitu juga keberanian sifat dibandingkan akibat standar kinerja.

b. Goal Incongruity(perbedaan sasaran) antara pelaku dan agen meningkatkan

dorongan bagi agen untuk menyembunyikan informasi dari pelaku.

c. Agent Risk Aversion. Beberapa agen lebih menolak risiko dibandingkan agen

(21)

oleh agen cenderung dilakukan dengan cara menahan informasi pada pelaku, yang akan meningkatkan biaya yang ditanggung agen.

d. Interdependence dapat juga membuat proses menjadi lebih komplek dan tak

pasti, sebagai akibat pertukaran peningkatan biaya agen dalam memperoleh kinerja informasi.

e. Communication Costs. Agen dapat tidak mengikuti maksud dari pelaku saat

ada investasi untuk waktu dan personil. Selain itu, investasi dalam saluran komunikasi oleh pelaku, menyebabkan kurangnya klarifikasi dan konsistensi pesan dari pelaku.

Agen menghadapi biaya informasi saat ini dan ketidaktentuan masa depan, hal ini membatasi kemampuan pengambilan keputusan dan memaksa agen membuat keputusan dengan mencari solusi yang paling memuaskan dibanding optimasi (memerlukan informasi lengkap).

II.4.6 Partnership

Partnership bukanlah sebuah teori melainkan beberapa penelitian yang

mengamati pengembangan kepercayaan antara klien dan suplier dalam

outsourcing teknologi informasi[20]. Partnership tidak hanya mempertimbangkan

pihak lain dalam transaksi, namun berdasar pada elemen pertukaran (bila anda melakukan hal ini untuk saya, maka saya akan melakukan hal itu untuk anda). Dalam sebuah persekutuan outsourcing, organisasi klien dan penyedia layanan berusaha mencapai sikap yang saling menguntungkan agar dapat menciptakan solusi saling menguntungkan(win – win). Hal ini memerlukan strategi yang hati – hati karena kebanyakan persekutuan outsourcing tidak berdasar pada kontrak formal, melainkan berdasar pada pengembangan hubungan antar organisasi dan semacamnya, dimana mekanisme pengawasan difokuskan pada kepercayaan dan kendali kontraktual seadanya. Lebih jauh sebuah persekutuan memerlukan sasaran umum dan keseimbangan sasaran antara klien dan penyedia layanan.

(22)

Kepercayaan menjadi masalah yang makin penting saat menjalin hubungan dalam

outsourcing teknologi informasi. Untuk mencapai harapan dan pencapaian dalam

sebuah hubungan outsourcing, organisasi harus mempercayai vendor outsource-nya. Kepercayaan sendiri dapat didefinisikan sebagai perasaan dari hasil sebuah proses mengerti, pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan ekonomi, dan hubungan sosial.

II.4.6.1 Framework Kepercayaan dalam Hubungan Outsourcing

Framework ini terdiri dari tiga area utama: kontrak, budaya, dan keamanan.

Sebagai contoh budaya dapat mempengaruhi bagaimana kontrak dibuat dan dikelola, dan bagaimana masalah keamanan dipilih untuk meningkatkan kemungkinan tercapainya sukses dalam pelaksanaan outsourcing[20]. Ketentuan kontrak akan mempengaruhi pemilihan dan penggunaan keamanan, begitu juga sebaliknya. Gambar II.6 menunjukkan framework dalam Parthnership dan menjelaskan bagaimana area kontrak, budaya dan keamanan berhubungan satu dengan lain dalam meningkatkan kepercayaan dalam perjanjian antara klien dan suplier.

Gambar II.6 Framework Kepercayaan dalam Outsourcing[20]

Area – area yang terdapat dalam framework Partnership dapat dijelaskan sebagai berikut:

Keamanan

Budaya Kontrak

(23)

a. Kontrak

Area kritis dalam kontrak meliputi kontrak mutual dan tertulis, meminimalisasi ketidaktentuan, durasi kontrak

b. Budaya

Area kritis dalam budaya meliputi kepemimpinan, komunikasi, konteks c. Keamanan

Area kritis dalam keamanan meliputi bidang administratif dan bidang teknis.

II.4.7 Game Theory

Bidang Game Theory muncul pada tahun 1944 ditulis oleh John Von Neumann dan Oskar Morgenstern[23]. Game Theory merupakan cabang dari matematika terapan yang sering digunakan dalam kontek ekonomi. Teori ini mempelajari interaksi antar agen. Dalam strategi permainan, organisasi memilih strategi mana yang akan memaksimalkan hasil pekerjaan mereka, memberi pilihan strategi untuk agen yang lain. Ciri – ciri utama teori ini adalah menyediakan sebuah pendekatan pemodelan formal bagi situasi sosial dimana pengambil keputusan berinteraksi dengan agen yang lain. Game Theory mengembangkan pendekatan optimasi sederhana dalam ekonomi neoklasikal.

Meski beberapa analisa dari Game Theory mirip dengan Decision Theory, studi mengenai keputusan Game Theory dibuat dalam sebuah lingkungan dimana para pemain berinteraksi. Dengan kata lain, studi Game Theory memilih sifat optimal dimana biaya dan keuntungan dari tiap pilihan bergantung pada pilihan individu lain. Permainan yang dipelajari Game Theory didefinisikan dengan baik melalui objek matematik. Sebuah permainan terdiri dari sebuah set pemain, set langkah atau strategi yang dimiliki tiap pemain, dan sebuah spesifikasi harga kombinasi dari tiap kombinasi. Permainan paling kooperatif diwakili dalam bentuk fungsi, sementara perluasan bentuk normal digunakan untuk mendefinisikan permainan non kooperatif.

(24)

II.4.7.1 Definisi Pendukung Game theory

Berikut adalah beberapa definisi pendukung dalam Game Theory[23]: a. Game

Sebuah game adalah deskripsi formal dari sebuah situasi strategis. b. Game theory

Game theory adalah pelajaran resmi mengenai pengambilan keputusan

dimana beberapa pemain yang terlibat didalamnya harus memilih akibat potensial dari kepentingan pemain lain.

c. Payoff

Payoff adalah sebuah angka, disebut juga kegunaan, yang mencerminkan

dampak yang diinginkan seorang pemain, dengan tujuan apapun. Saat dampak diacak, payoff ditimbang berdasar probabilitasnya. Payoff yang diinginkan berhubungan dengan sikap pemain terhadap risiko.

d. Pemain

Agen yang mengambil keputusan dalam permainan. e. Rasionalitas

Seorang pemain disebut rasional bila pemain tersebut bermain untuk memaksimalkan payoff-nya sendiri.

f. Strategi

Strategi adalah satu dari banyak aksi yang mungkin dilakukan oleh seorang pemain.

II.4.7.2 Penerapan Permainan Prisoner Dilemma dalam Penentuan Outsourcing

Prisoner Dilemma adalah permainan dalam bentuk strategis antara dua pemain.

Dalam permainan ini terdapat matrik 2x2 yang berisi Payoff dari masing – masing pemain. Tiap sel dalam matrik berisi dua nomer yang menunjukkan Payoff yang didapat dari setiap pemain untuk strategi yang dipilihnya. Bila pemain I memainkan sisi bagian bawah, maka nomer bagian bawah dari tiap sel adalah

(25)

contoh penerapan permainan Prisoner Dilemma pada penentuan keputusan membeli(outsource) atau menyediakan secara internal(insource).

Gambar II.7 Penerapan Prisoner Dilemma dalam Pemilihan Strategi Suplier dan Klien[23]

Pada Gambar II.7 ditunjukkan pemain I mewakili penyedia layanan yang diperlukan(suplier), sedangkan pemain II mewakili organisasi yang mempertimbangkan kemungkinan outsource(klien). Pada matrik tersebut ditunjukkan pemain I memiliki dua pilihan strategis, antara menyediakan layanan dengan kualitas baik(high) atau buruk(low). Tentu saja pilihan low merupakan pilihan yang dicari oleh penyedia karena memerlukan biaya dan usaha lebih kecil. Pemain II juga memiliki dua pilihan strategis, antara membeli(buy) atau tidak membeli(don’t buy) layanan yang disediakan pemain I (suplier). Bila pemain I memilih memberi kualitas layanan yang baik(high), dan pemain II memilih untuk membeli layanan tersebut(buy), maka masing – masing pemain akan mendapatkan

Payoff yang sama (2). Bila pemain I memilih memberi kualitas layanan

rendah(low), namun pemain II tetap memilih untuk membeli layanan tersebut, pemain I akan mendapat Payoff besar(3), sedangkan pemain II tidak mendapatkan

Payoff (0). Bila skenario tersebut terjadi, dapat dikatakan pemain I memilih

strategi yang baik, dan pemain II memilih strategi yang buruk. Bila pemain II berpikir rasional bahwa pemain I akan berusaha memberi kulitas layanan yang buruk(low), maka tidak akan terjadi transaksi jual beli, dan masing – masing pemain juga mendapat Payoff sama(1).

(26)

II.5 Analytic Hierarchy Process(AHP)

Analytic Hierarchy Process adalah sebuah teknik terstruktur untuk membantu

menyelesaikan pengambilan keputusan yang komplek. Analytic Hierarchy

Process tidak membantu mengambil keputusan yang tepat, namun memilih satu

diantara banyak berdasarkan teori matematika dan psikologi manusia. Analytic

Hierarchy Process menyediakan framework luas dan rasional untuk menyusun

masalah, menilai dan menghitung elemen yang terkandung untuk mencapai sasaran tertentu. Analytic Hierarchy Process juga dapat digunakan untuk membantu manajemen menentukan aktifitas yang di-outsource, khususnya dibidang teknologi informasi. Analytic Hierarchy Process menggunakan tiga faktor dalam pemilihan aktifitas teknologi informasi yang di-outsource, yaitu tingkat kritis(criticality), tingkat kestabilan(stability), dan tingkat kesederhanaan(simplicity). Analytic Hierarchy Process terdiri dari tiga level. Pada Gambar II.8 menujukkan bahwa tiap level merupakan langkah tersendiri untuk mendapatkan aktivitas yang paling sesuai untuk di-outsource.

Level 1

Level 2

Level 3

Gambar II.8 Hirarki Keputusan untuk Memilih Aktifitas yang di-Outsource[15]

Klasifikasi tiga hirarki keputusan untuk memilih aktifitas outsourcing dapat dijelaskan sebagai berikut:

Outsourcing aktifitas bisnis

Criticality Stability Simplicity

(27)

Level 1: Mengetahui prioritas kategori

Level ini digunakan untuk mengetahui tingkat kepentingan dari tiga kategori teknologi informasi yang digunakan. Hasilnya akan digunakan untuk menilai tingkat prioritas tiap aktifitas yang menjadi kandidat dalam outsourcing.

Level 2: Penilaian aktifitas untuk tiap kategori

Berdasarkan kandidat aktifitas yang ada, responden diberi pertanyaan untuk memberi tingkat kepentingan tiap kandidat aktifitas seperti yang telah dilakukan pada Level 1. Responden diberi pertanyaan untuk membuat perbandingan diantara aktifitas tersebut berdasarkan kriteria criticality, stability dan simplicity.

Level 3: Pemilihan aktifitas outsourcing

Level tiga digunakan untuk menentukan vektor prioritas outsourcing untuk tiap kandidat aktifitas. Hasil analisa pada tingkat ini dapat digunakan untuk menilai aktifitas yang paling layak di-outsource mengacu pada rendahnya vektor prioritas aktifitas tersebut.

Contoh perhitungan lengkap dari perhitungan Analytic Hierarchy Process dapat dilihat pada Lampiran A.

II.6 Metode Penelitan

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Secara umum penelitian ada tiga macam yaitu yang bersifat penemuan, pembuktian, dan pengembangan. Jenis metode penelitian sendiri dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan dan tingkat kealamiahan obyek yang diteliti. Berdasarkan tujuan, metode penelitian dapat diklasifikasikan menjadi penelitian dasar, penelitian terapan dan penelitian pengembangan. Sedangkan berdasarkan tingkat kealamiahannya, metode penelitian dapat dikelompokkan menjadi metode penelitian eksperimen, survey dan naturalistik. Berdasarkan jenis penelitiannya, metode penelitian eksperimen dan survey termasuk dalam kelompok metode kuantitatif, sedangkan metode penelitian naturalistik termasuk dalam kelompok metode kualitatif.

(28)

II.6.1 Proses Penelitian Kuantitatif

Proses penelitian kuantitatif dimulai dari masalah. Selanjutnya supaya masalah dapat dijawab dengan baik, maka masalah dirumuskan secara spesifik dengan kalimat tanya. Untuk menjawab rumusan masalah yang bersifat sementara(hipotesis), maka hipotesis tersebut harus diuji dengan pendekatan yang sesuai. Setelah metode penelitian yang sesuai dipilih, peneliti dapat menyusun instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpul data. Data yang terkumpul digunakan untuk menguji hipotesis, apakah diterima atau tidak. Hasil pengujian ini akan digunakan untuk membuat kesimpulan dan saran dari penelitian.

II.6.2 Rumusan Masalah Penelitian

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, rumusan masalah merupakan pertanyaan yang akan dicari jawabannya melalui pengumpulan data. Pada dasarnya rumusan masalah dibagi menjadi tiga bagian:

a. Rumusan masalah deskriptif

Rumusan masalah deskriptif adalah suatu rumusan masalah yang berkenaan dengan pertanyaan terhadap keberadaan variabel mandiri, baik pada satu variabel atau lebih.

b. Rumusan masalah komparatif

Rumusan masalah komparatif adalah rumusan masalah penelitian yang membandingkan keberadaan satu variabel pada dua atau lebih sampel yang berbeda, atau pada waktu yang berbeda.

c. Rumusan masalah assosiatif

Rumusan masalah assosiatif adalah rumusan masalah penelitian yang bersifat menanyakan hubungan antara dua variabel atau lebih.

(29)

II.6.3 Variabel Penelitian

Menurut hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain maka macam – macam variabel dalam penelitian dapat dibedakan menjadi:

a. Variabel Independen

Variabel ini sering disebut sebagai variabel bebas yang mempengaruhi atau menjadi penyebab timbulnya variabel dependen.

b. Variabel Dependen

Variabel ini sering disebut variabel terikat, yang merupakan akibat adanya variabel bebas.

c. Variabel Moderator

Variabel ini merupakan variabel yang mempengaruhi(memperkuat atau memperlemah) hubungan antara variabel independen dan dependen.

d. Variabel Interviewing

Variabel interviewing adalah variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variabel independen dan dependen menjadi hubungan tidak langsung dan tidak dapat diukur.

e. Variabel Kontrol

Variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan sehingga pengaruh variabel independen terhadap dependen tidak dipengaruhi faktor luar.

II.6.4 Hipotesis Penelitian

Bentuk – bentuk hipotesis sangat terkait dengan rumusan masalah penelitian. Bila dilihat dari tingkat ekplanansinya, maka bentuk rumusan masalah penelitian dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Hipotesis Deskriptif

Hipotesis deskriptif merupakan jawaban sementara terhadap masalah deskriptif, yaitu yang berkenaan dengan variabel mandiri.

(30)

b. Hipotesis Komparatif

Hipotesis komparatif merupakan jawaban sementara terhadap masalah komparatif. Pada rumusan ini variabelnya sama, namun menggunakan sampel yang berbeda.

c. Hipotesis Assosiatif

Hipotesis assosiatif adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah assosiatif, yaitu menanyakan hubungan antara dua variabel atau lebih.

II.6.5 T-test Satu Sampel dan Pearson Product-Moment Correlation

Hipotesis deskriptif dapat diuji menggunakan t-test satu sampel, yang memiliki rumusan:

Rumus II.1 :

Dimana,

t = Nilai t yang dihitung n = Jumlah data

X = Nilai rata- rata µ0 = Nilai hipotesis

s = Simpangan baku sampel

Sedangkan hipotesis assosiatif dapat diuji menggunakan teknik korelasi Pearson

Product-Moment yang memiliki rumusan:

Rumus II.2 :

Dimana,

r = Korelasi Pearson Product Moment n = Jumlah data

Xi = Nilai X ke i Yi = Nilai Y ke i

(31)

X = Rata - rata X Y = Rata – rata Y Sx = Simpangan baku X Sy = Simpangan baku Y

Gambar

Gambar II.1 Manfaat Outsourcing Teknologi Informasi[13]
Gambar II.2 Elemen Risiko Outsourcing Teknologi Informasi[12]
Gambar II.3 Test Pasar Eksternal pada Sebuah Kompetensi Inti[3]
Gambar II.4 Sudut Pandang Teori Resource Based[16]
+6

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan praktikum ilmu tanah ini adalah untuk mengetahui tentang profil tanah, tekstur tanah, konsistensi tanah, kadar air tanah, kerapatan partikel dan massa tanah, keasaman

Konselor adalah pendidik profesional yang berkualifikasi akademik minimal Sarjana Pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling dan telah lulus pendidikan profesi

dimana media pembelajaran dapat digunakan baik dalam penyampaian materi di. kelas maupun dilapangan (praktek) untuk menganalisis ketepatan

Dalam video klip Cinta Laura, idenya adalah meng-ekspos gerakan-gerakan dance yang dibawakan oleh si artis bersama sepasang penari yang mengiringinya, pengambilan gambar dilakukan

Skripsi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Pembimbing I Amir dan Pembimbing II Muttiarni. Penelitian ini bertujuan untuk

Jadi, Project Based Learning (PjBL) atau Pembelajaran Berbasis Proyek (PBP) merupakan tugas-tugas komplek, yang didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan yang menantang atau

Wawancara yang dilakukan oleh peneliti pertama yaitu menentukan informan. Dari informan ini dapat diperoleh informasi tentang keberadaan Perkebunan teh Kaligua terhadap

Penggunaan bahasa sastra akan memperindah diksi dudu.Penggunaan bahasa sastra mempunyai bunyi yang merdu dan saling berhungan dengan kata yang lainnya pada setiap