• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Tenaga Listrik

Suatu sistem tenaga listrik pada dasarnya dapat dikelompokan atas tiga bagian utama, yaitu: sistem pembangkitan, sistem transmisi dan sistem distribusi seperti gambar 2.1.

Gambar 2.1 Sistem Tenaga Listrik (Sumber : Bastanna, 2009)

Pelanggan TR Pelanggan TM

(2)

Keterangan gambar 2.1

TR = Tegangan rendah

TM = Tegangan menengah

TT = Tegangan tinggi

TET = Tegangan ekstra tinggi

GI = Gardu induk

GD = Gardu distribusi

2.2 Sistem Jaringan Distribusi

Daya listrik yang dihasilkan pada pembangkit harus mengalami beberapa tahap pendistribusian sebelum daya itu digunakan oleh pemakai. Pembangkit dan pendistribusian daya dari pembangkit memungkinkan daya yang dihasilkan pada satu lokasi untuk penggunaan setiap saat pada lokasi lain beberapa mil jauhnya. Pentransmisian energi listrik dalam jumlah yang sangat besar melalui jarak yang sangat jauh paling efisien dengan menggunakan tegangan tinggi atau ekstra tinggi. Tegangan tinggi atau ekstra tinggi digunakan pada saluran transmisi untuk mengurangi jumlah aliran arus sampai sebesar yang dikehendaki.

Sistem distribusi tenaga listrik meliputi semua tegangan menengah 20 kV dan semua jaringan tegangan rendah 220/380 V hingga ke kWh meter pelanggan. Distribusi tenaga listrik menyalurkan energi listrik dengan penghantar udara maupun penghantar dibawah tanah dari mulai gardu induk hingga pusat beban. Setiap elemen jaringan distribusi pada lokasi tertentu dibangun gardu – gardu distribusi dimana tegangan menengah 20 kV diturunkan menjadi tegangan rendah 220/380 V. Dari gardu – gardu ini kemudian para pelanggan listrik dilayani dengan menarik kabel – kabel tegangan rendah menjelajah sepanjang pusat – pusat pemukiman, komersial maupun pusat – pusat industri. Beberapa pelanggan

(3)

besar dapat juga dilayani secara khusus dengan menggunakan jaringan tegangan tinggi 150 kV ataupun dengan jaringan tegangan menengah 20 kV.

Tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit sebelum disalurkan melalui saluran transmisi biasanya dinaikkan tegangannya menjadi 70 kV, 150 kV dan 500 kV melalui transformator penaik tegangan. Dari sistem tegangan transmisi kemudian diturunkan lagi di gardu induk menjadi tegangan menengah atau tegangan distribusi primer 20 kV. Tegangan menengah ini kembali mengalami penurunan tegangan pada gardu distribusi menjadi tegangan rendah 220/380 V. (Hartoyo, 2009)

Sistem jaringan distribusi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu, sistem jaringan distribusi primer dan sistem jaringan distribusi sekunder.

2.2.1 Sistem Jaringan Distribusi Primer

Jaringan distribusi primer adalah bagian dari sistem distribusi tenaga listrik diantara gardu induk dan gardu distribusi. Jaringan ini pada umumnya terdiri dari jaringan tiga phasa yang biasanya digunakan saluran kawat udara, kabel udara maupun kabel bawah tanah. Tegangan kerja dari sistem distribusi primer ini sebesar 20 kV, dikenal juga dengan jaringan tegangan menengah (JTM). Ada beberapa konfigurasi sistem jaringan distribusi primer diantaranya: (Hartoyo,2009)

1. Konfigurasi jaringan tipe Radial

Sistem distribusi dengan tipe Radial seperti gambar 2.2 adalah sistem distribusi yang paling sederhana dan ekonomis. Pada sistem ini terdapat satu penyulang yang menyuplai beberapa gardu distribusi.

(4)

Gambar 2.2 Konfigurasi Jaringan Tipe Radial (Sumber : Hartoyo, 2009)

2. Konfigurasi jaringan tipe Cincin (Loop)

Pada jaringan tegangan menengah konfigurasi Cincin (Loop) seperti gambar 2.3 dimungkinkan pemasokannya dari beberapa penyulang, sehingga dengan demikian tingkat keandalannya relatif lebih baik.

Gambar 2.3 Konfigurasi Jaringan Tipe Cincin (Loop) (Sumber : Hartoyo, 2009)

(5)

3. Konfigurasi jaringan tipe Spindel

Konfigurasi jaringan tipe Spindel seperti pada gambar 2.4 adalah suatu pola kombinasi jaringan dari pola Radial dan Cincin. Spindel terdiri dari beberapa penyulang (feeder) yang tegangannya diberikan dari gardu induk dan tegangan tersebut berakhir pada sebuah Gardu Hubung (GH).

Gambar 2.4 Konfigurasi Jaringan Tipe Spindle (Sumber : Hartoyo, 2009)

4. Konfigurasi jaringan tipe Gugus (Kluster)

Konfigurasi Gugus seeperti pada gambar 2.5 banyak digunakan untuk kota besar yang mempunyai kerapatan beban yang tinggi. Dalam sistem ini terdapat saklar pemutus beban dan penyulang cadangan.

Gambar 2.5 Konfigurasi Jaringan Tipe Gugus (Kluster) (Sumber : Hartoyo, 2009)

(6)

2.2.2 Sistem Jaringan Distribusi Sekunder

Jaringan distribusi sekunder merupakan bagian dari sistem distribusi tenaga listrik dimana jaringan ini berhubungan langsung dengan konsumen tenaga listrik. Pada jaringan distribusi sekunder, sistem jaringan primer diturunkan menjadi sistem tegangan rendah 220/380 V dengan menggunakan transformator penurun tegangan yang terdapat pada trafo distribusi. Sistem jaringan distribusi sekunder dapat dilihat pada gambar 2.6. (Hartoyo, 2009)

Gambar 2.6 Sistem Jaringan Distribusi Sekunder (Sumber : Hartoyo, 2009)

2.3 Pengertian Transformator

Transformator adalah suatu alat listrik yang digunakan untuk mentransformasikan daya atau energi listrik dari tegangan tinggi ke tegangan rendah atau sebaliknya, melalui suatu gandengan magnet dan berdasarkan prinsip

(7)

induksi-elektromagnet. Transformator digunakan secara luas, baik dalam bidang tenaga listrik maupun elektronika. Penggunaan transformator dalam sistem tenaga memungkinkan terpilihnya tegangan yang sesuai, dan ekonomis untuk tiap – tiap keperluan.

Pada umumnya tranformator terdiri pada sebuah inti, yang terbuat dari besi berlapis dan dua buah kumparan, yaitu kumparan primer dan kumparan skunder. Rasio perubahan tegangan akan tergantung dari rasio jumlah lilitan pada kedua kumparan. Biasanya kumparan terbuat dari kawat tembaga yang dibelit seputar kaki inti transformator. (Noerdayanto, 2007)

Gambar 2.7 Konstruksi Lengkap Transformator (Sumber : Noerdayanto, 2007)

2.4 Prinsip Kerja Transformator

Prinsip kerja suatu transformator adalah induksi bersama (mutual

induction) antara dua rangkaian yang dihubungkan oleh fluks magnet. Dalam

bentuk yang sederhana, transformator terdiri dari dua buah kumparan yang secara listrik terpisah tetapi secara magnet dihubungkan oleh suatu alur induksi. Kedua kumparan tersebut mempunyai mutual induction yang tinggi. Jika salah satu kumparan dihubungkan dengan sumber tegangan bolak-balik, fluks bolak-balik timbul di dalam inti besi yang dihubungkan dengan kumparan yang lain

(8)

menyebabkan atau menimbulkan ggl (gaya gerak listrik) induksi sesuai dengan induksi elektromagnet) dari Hukum Faraday, Bila arus bolak balik mengalir pada induktor, maka akan timbul gaya gerak listrik (ggl). (Noerdayanto, 2007)

Gambar 2.8 Rangkaian Transformator (Sumber : Noerdayanto, 2007)

Besarnya GGL induksi pada kumparan primer adalah

e

p = - Np 𝑑∅

𝑑𝑡 Volt (2.1)

dimana

e

p = GGL induksi pada kumparan primer Np = Jumlah lilitan kumparan primer

dΦ = Perubahan garis – garis gaya magnit dalam satuan weber dt = Perubahan waktu dalam satuan detik

Fluks magnet yang menginduksikan GGL induksi

e

p juga dialami oleh komponen sekunder karena merupakan fluks bersamaan (mutual fluks). Dengan

demikian fluks tersebut menginduksikan GGL induksi

e

s pada kumparan skunder.

e

s = - Ns 𝑑∅

𝑑𝑡 Volt (2.2)

dimana Ns adalah jumlah lilitan kumparan skunder.

Dari persamaan

e

p dan

e

s didapatkan perbandingan lilitan berdasarkan perbandingan GGL induksi, yaitu

a =

e

e

p s =

𝑁𝑝

𝑁𝑠 (2.3)

Apabila a = nilai perbandingan lilitan tranformator

(9)

a >1, maka transformator berfungsi untuk menurunkan tegangan

2.5 Keadaan Transformator Tanpa Beban

Bila kumparan primer suatu transformator dihubungkan dengan sumber tegangan V1 yang sinusoidal, akan mengalirkan arus primer I0 yang juga sinusoidal dan dengan menganggap belitan N1 reaktif murni. I0 akan tertinggal 90° dari V1. Arus primer I0 menimbulkan fluks (Ф) yang sefasa dan juga berbentuk sinusoidal. (Bastanna, 2009)

Gambar 2.9 Trafo Dalam Keadaan Tanpa Beban (Sumber : Bastanna, 2009)

Ф = Фmax sin ωt ( 2.4 )

Fluks yang sinusoid ini akan menghasilkan tegangan induksi

e

1

e

1 = -N1 𝑑𝛷 𝑑𝑡

e

1 = -N1 𝑑(𝛷 max ∙ sin 𝜔𝑡) 𝑑𝑡

e

1 = -N1 ωΦmax sin (ωt – 90) tertinggal 90 ° dari Φ (2.5)

dimana :

e

1 = gaya gerak listrik (Volt)

N1 = jumlah belitan di sisi primer (Turn) ω = kecepatan sudut putar (Rad/Sec) Φ = fluks magnetik (Weber)

(10)

Gambar 2.10 Gambar Gelombang e1, Tertinggal 90° Dari Φ (Sumber : Bastanna, 2009)

Harga efektifnya menjadi

E1 = 𝑁1 𝜔𝛷𝑚𝑎𝑥 √2

E1 = 𝑁1 2𝜋𝑓𝛷𝑚𝑎𝑥 √2 E1 = 𝑁1 2𝑥3,14𝑓𝛷𝑚𝑎𝑥 √2 E1 = 4,44 N1 fΦmax (Volt) (2.6)

Pada rangkaian skeunder fluks (Φ) bersama juga menimbulkan :

e

2 = -N2 𝑑𝛷 𝑑𝑡

e

2 = -N2

ω

Φmax∙cos ωt (Volt) (2.7) Harga efektifnya : E2 = 4,44 N2 fΦmax (Volt) (2.8)

Sehingga perbandingan antara rangkaian primer dan sekunder adalah :

𝐸1 𝐸2 =

𝑁1

(11)

dimana :

E1 = ggl induksi di sisi primer (Volt)

E2 = ggl induksi di sisi sekunder (Volt)

N1 = jumlah belitan sisi primer (Turn)

N2 = jumlah belitan sisi sekunder (Turn) a = faktor transformasi

2.6 Keadaan Transformator Berbeban

Apabila kumparan sekunder dihubungkan dengan ZL, I2 mengalir pada

kumparan sekunder, dimana I2 = 𝑉𝑧

𝑍𝑙

Gambar 2.11 Trafo Dalam Keadaan Berbeban (Sumber : Bastanna, 2009)

Arus beban I2 ini akan menimbulkan gaya gerak magnet (ggm) N2I2 yang

cenderung menentang fluks (Ф) bersama yang telah ada akibat arus pemagnetan. Agar fluks bersama itu tidak berubah nilainya, pada kumparan primer harus mengalir arus I2', yang menentang fluks yang dibangkitkan oleh arus beban I2, hingga keseluruhan arus yang mengalir pada kumparan primer menjadi : (Bastanna, 2009)

I1 = I0 + I2’ (Ampere) (2.10)

Bila komponen arus rugi inti (Ic) diabaikan, maka I0 = Im , sehingga :

I1 = Im + I2’ (Ampere) (2.11)

dimana:

(12)

I'2 = arus yg menghasilkan Φ'2 (Ampere)

0 = arus penguat (Ampere) Im = arus pemagnetan (Ampere) Ic = arus rugi-rugi inti (Ampere)

Untuk menjaga agar fluks tetap tidak berubah sebesar ggm yang dihasilkan oleh arus pemagnetan IM, maka berlaku hubungan :

N1 IM = N1 I1 – N2 I2

N1 IM = N1 (IM + I2’) – N2 I2 N1 I2’ = N2 I2

Karena IM dianggap kecil, maka I2’ = I1. Sehingga : N1 I1 = N2 I2

𝐼1

I2 = 𝑁2

𝑁1

(2.12)

2.7 Beban Tidak Seimbang

Menurut Machmudsyah, (2006) yang dimaksud dengan keadaan seimbang adalah suatu keadaan di mana :

• Ketiga vektor arus / tegangan sama besar.

• Ketiga vektor saling membentuk sudut 120º satu sama lain.

Sedangkan yang dimaksud dengan keadaan tidak seimbang adalah keadaan di mana salah satu atau kedua syarat keadaan seimbang tidak terpenuhi. Kemungkinan keadaan tidak seimbang ada 3 yaitu:

• Ketiga vektor sama besar tetapi tidak membentuk sudut 120º satu sama lain. • Ketiga vektor tidak sama besar tetapi membentuk sudut 120º satu sama lain. • Ketiga vektor tidak sama besar dan tidak membentuk sudut 120º satu sama lain.

(13)

( a ) ( b ) Gambar 2.12 Vektor Diagram Arus (Sumber : Machmudsyah, 2006)

Gambar 2.21 (a) menunjukkan vektor diagram arus dalam keadaan seimbang. Di sini terlihat bahwa penjumlahan ketiga vektor arusnya (IR, IS, IT) adalah sama dengan nol sehingga tidak muncul arus netral (IN). Sedangkan pada gambar 2.21 (b) menunjukkan vektor diagram arus yang tidak seimbang. Di sini terlihat bahwa penjumlahan ketiga vektor arusnya (IR, IS, IT) tidak sama dengan nol sehingga muncul sebuah besaran yaitu arus netral (IN) yang besarnya bergantung dari seberapa besar faktor ketidakseimbangannya.

2.8 Beban Penuh Transformator

Daya transformator bila ditinjau dari sisi tegangan tinggi (primer) dapat dirumuskan sebagai berikut : (Machmudsyah, 2006)

S = √3 x V x I (2.13)

dimana

S = Daya transformator (kVA)

V = Tegangan sisi primer transformator (kV) I = Arus jala-jala (A)

Sehingga untuk menghitung arus beban penuh dapat menggunakan rumus :

IFL =

𝑆

√3 ∙𝑉 (2.14)

dimana

IFL = Arus beban penuh (A) S = Daya transformator (kVA) V = Tegangan sisi sekunder (V)

(14)

Arus rata-rata siang dan malam hari dapat dihitung dengan rumus :

Irata-rata = 𝐼𝑅+𝐼𝑆+𝐼𝑇

3

(2.15)

Prosentase pembebanan transformator adalah :

I rata − rata

I FL x 100% (2.16)

Jika [ I ] adalah besaran arus phase dalam penyaluran daya sebesar P pada keadaaan seimbang, maka pada penyaluran daya yang sama tetapi dengan keadaan yang tidak seimbang besarnya arus – arus phase dapat dinyatakan dengan keofisien a, b, c sebagai berikut :

IR = a·I maka a = IR I (2.17) IS = b·I maka a = IS I (2.18) IT = c·I maka a = IT I

(2.19)

Dengan IR, IS dan IT berturut – turut adalah arus di phase R, S dan T. Koefisien a, b, dan c dapat diketahui besarnya, dimana pada keaadaan seimbang besarnya koefisien a, b, dan c adalah 1. Maka rata – rata ketidakseimbangan beban (dalam %) adalah :

= {|a−1|+ |b−1|+ |c−1|

3 x 100 % (2.20)

2.9 Rugi-Rugi Transformator

2.9.1 Rugi Arus Pusar (Eddy Current)

Arus pusar adalah arus yang mengalir pada material inti karena tegangan yang diinduksi oleh fluks. Arah pergerakan arus pusar adalah 90° terhadap arah fluks. (Prasetya, 2007)

(15)

Gambar 2.13 Arus Pusar yang Berputar Pada Material Inti (Sumber : Prasetya, 2007)

Dengan adanya resistansi dari material inti maka arus pusar dapat menimbulkan panas sehingga mempengaruhi sifat fisik material inti tersebut bahkan hingga membuat transformator terbakar. Untuk mengurangi efek arus pusar maka material inti harus dibuat tipis dan dilaminasi sehingga dapat disusun hingga sesuai tebal yang diperlukan. Rugi arus pusar dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : (Prasetya, 2007)

p

e =

k

e

∙ f² ∙ t² ∙ B²

max (2.21) dimana

p

e = Rugi arus pusar [w/kg]

k

e = Konstanta material inti f = Frekuensi [Hz]

t = Ketebalan material [m]

Bmax = Nilai puncak medan magnet [T]

2.9.2 Rugi Hysterisis

Rugi hysterisis terjadi karena respon yang lambat dari material inti. Hal ini terjadi karena masih adanya medan magnetik residu yang bekerja pada material, jadi saat arus eksitasi bernilai 0, fluks tidak serta merta berubah menjadi 0 namun perlahan-lahan menuju 0. Sebelum fluks mencapai nilai 0 arus sudah mulai mengalir kembali atau dengan kata lain arus sudah bernilai tidak sama dengan 0 sehingga akan membangkitkan fluks kembali. (Prasetya, 2007)

(16)

Gambar 2.14 Grafik Hysterisis Iex Terhadap Φ (Sumber : Prasetya, 2007)

Rugi hysterisis ini memperbesar arus eksitasi karena medan magnetik residu mempunyai arah yang berlawanan dengan medan magnet yang dihasilkan oleh arus eksitasi. Untuk mengurangi rugi ini, material inti dibuat dari besi lunak yang umum digunakan adalah besi silikon. Besarnya rugi hysterisis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2.18.

p

h = kh

∙ f² ∙ 𝐵

𝑛max (2.22)

dimana

p

h = Rugi hysteresis [w/kg]

k

h = Konstanta material inti

f = Frekuensi [Hz]

Bmax = Nilai puncak medan magnet [T]

n = Nilai eksponensial, tergantung material dan Bmax Rugi hysteris maupun rugi arus pusar bernilai tetap, tidak bergantung pada besarnya beban

2.9.3 Rugi Tembaga

Rugi tembaga adalah rugi yang dihasilkan oleh konduktor/tembaga yang digunakan sebagai bahan pembuat kumparan. Rugi ini diakibatkan oleh adanya resistansi bahan. Nilai resistansi konduktor dapat dihitung dengan Persamaan 2.19. (Prasetya, 2007)

R =

𝜌∙𝑙

(17)

dimana R = Tahanan (Ohm)

ρ = Tahanan jenis (Ohm.m)

l = Panjang (m)

A = Luas penampang (m²)

Sedangkan untuk menghitung kerugian tembaga itu sendiri dapat mempergunakan persamaan 2.20 untuk sisi primer dan persamaan 2.21 untuk sisi sekunder. (Prasetya, 2007)

Pcp = I²p

Rp (2.24)

Pcs = I²s

Rs (2.25)

dimana Pcp = Rugi konduktor primer Pcs = Rugi konduktor skunder

Ip = Arus pada kumparan primer Is = Arus pada kumparan sekunder Rp = Tahanan kumparan primer Rs = Tahanan kumparan skunder

Dengan memperhatikan Persamaan 2.20 dan Persamaan 2.21 terlihat bahwa besarnya arus yang mengalir pada kumparan berpengaruh terhadap besarnya rugi konduktor, dengan kata lain besarnya beban mempengaruhi besarnya nilai kerugian.

2.9.4 Rugi Pada Arus Netral

Sebagai akibat dari ketidakseimbangan beban antara tiap-tiap fasa pada sisi sekunder trafo (fasa R, fasa S, fasa T) mengalirlah arus di netral trafo. Arus yang mengalir pada penghantar netral trafo ini menyebabkan losses (rugi-rugi).

Losses pada penghantar netral trafo ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

(Prasetya, 2007)

PN = IN² x RN (2.26)

dimana PN = losses pada penghantar netral trafo (watt) IN = arus yang mengalir pada netral trafo (A) RN = tahanan penghantar netral trafo (Ω)

(18)

Sehingga daya aktif transformator dapat dirumuskan sebagai berikut:

P = S x cos φ (2.27)

dimana P = daya aktif transformator S = daya semu transformator Cos φ = 0,85 (asumsi)

Prosentase rugi – rugi daya akibat adanya arus netral pada penghantar netral transformator adalah ;

% PN = PN

P

x 100 %

(2.28)

2.9.5 Rugi Pada Arus ke Tanah (Ground)

Rugi – rugi daya (losses) yang diakibatkan karena arus netral yang mengalir ke tanah (ground) dapat dihitung dengan perumusan sebagai berikut : (Prasetya, 2007)

PG = IG² x RG (2.29)

dimana

PG = losses akibat arus netral yang mengalir ke tanah (watt) IG = arus netral yang mengalir ke tanah (A)

RG = tahanan pembumian netral trafo (Ω)

2.10 Panel Tegangan Rendah

Panel tegangan rendah (low voltage board) adalah suatu peralatan yang berfungsi menerima dan mendistribusikan tenaga listrik ke konsumen pemakai tenaga listrik sesuai dengan system yang diperlukan. Low voltage board merupakan sebuah panel yang terletak atau terpasang pada kaki-kaki gardu distribusi. Low voltage board merupakan sebuah perangkat hubung bagi (PHB). Adapun bagian pengaman dan pendistribusian dari low voltage board ini terdiri dari peralatan pelindung (sekering/fuse) dan pensakelaran (disconnecting switch). (Noerdayanto, 2007)

(19)

Gambar 2.15 Tata Letak Komponen Dalam Panel Tegangan Rendah (Sumber : Noerdayanto, 2007)

2.11 Pengukuran

2.11.1 Pengukuran Tegangan

Pengukuran tegangan dilakukan untuk mengetahui nilai tegangan yang ada dan dilakukan meliputi pengukuran tegangan antar fasa dan tegangan antar fasa dengan netral yang diukur pada busbar atau sepatu kabel fasa R, S, T dan netral pada LV board. Selain pada LV board pengukuran tegangan juga dilaksanakan di ujung line jurusan (JTR). Pengukuran tegangan ini dilaksanakan untuk mengetahui kwalitas tegangan yang disalurkan dengan batas pelayanan minimal 10% dari 220/380 volt dan batas maksimal 5% dari 220/380 volt. Pengukuran tegangan mengunakan suatu peralatan volt meter. (Noerdayanto, 2007)

(20)

Gambar 2.16 Pengukuran Tegangan Pada Panel Tegangan Rendah (Sumber : PT PLN (Persero) Rayon Mengwi, 2011)

2.11.2 Pengukuran Arus

Pengukuran arus beban dilakukan untuk mengetahui nilai arus beban yang ada dan dilakukan meliputi pengukuran arus beban pada masing-masing fasa dan netral. Pengukuran dilaksanakan di panel tegangan rendah baik secara beban total pada titik keluaran hef boom saklar maupun pada titik keluaran dari masing-masing NH fuse jurusan. Pengukuran arus dilaksanakan pada beban-beban puncak di siang hari dan di malam hari. Tujuan dari pengukuran arus adalah untuk mengetahui besar beban yang disalurkan ke pelanggan dan disesuaikan dengan kapasitas daya trafo distribusi yang tepasang supaya tidak terjadi overload (beban diatas 80% dari daya terpasang). Pengukuran arus mengunakan perlatan ampere meter. (Noerdayanto, 2007)

(21)

Gambar 2.17 Pengukuran Arus Pada Panel Tegangan Rendah (Sumber : PT PLN (Persero) Rayon Mengwi, 2011)

Gambar

Gambar 2.1 Sistem Tenaga Listrik
Gambar 2.2 Konfigurasi Jaringan Tipe Radial
Gambar 2.4 Konfigurasi Jaringan Tipe Spindle
Gambar 2.6  Sistem Jaringan Distribusi Sekunder
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada operasi penugasan ke peubah, tipe ungkapan yang terletak di kanan operator penugasan ( = ) secara otomatis akan dikonversikan sesuai dengan tipe peubah yang terletak di

Tabel ini menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua berada pada tingkat pendidikan menengah seperti SMP 8,67%, SMA 56% dan Perguruan Tinggi sebesar 31,33%. Adapun grafik

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa jika kedua metode dijalankan oleh MAN Ciwaringin Cirebon baik secara on the job maupun off the job maka produktivitas

Effect of weekly zinc supplements on incidence of pneumonia and diarrhoea in children younger than 2 years in an urban, low income population in Bangladesh: randomised

[r]

Bimbingan karir anak berkebutuhan khusus di Sekolah dasar dimaknai sebagai sebuah usaha untuk mengarahkan anak berkebutuhan khusus untuk dapat memahami potensi dirinya,

Keunggulan steganografi dari kriptografi adalah kemampuannya untuk membuat suatu pesan rahasia menjadi tidak terlihat, atau tidak mengundang orang lain yang tidak mengetahui

Berdasarkan hasil pengambilan data baik pretest dan posttest, didapatkan bahwa pada pretest sebelum diberikan treatmen melalui pembelajaran rata-rata hasil kemampuan