• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Keadaan Umum Perairan Gugus Pulau Nain

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5.1 Keadaan Umum Perairan Gugus Pulau Nain"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Keadaan Umum Perairan Gugus Pulau Nain

5.1.1 Kondisi perairan potensi budidaya rumput laut

Rumput laut secara ekologis dapat memberikan manfaat lingkungan yakni dapat mengurangi atau mencegah berbagai aktivitas perikanan yang merusak lingkungan, seperti penangkapan ikan yang destruktif. Secara biologis, rumput laut merupakan produsen primer bahan organik dan oksigen di perairan. Walaupun demikian, rumput laut juga membutuhkan media hidup yang sesuai. Air laut merupakan medium rumput laut untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi kualitas air dan rumput laut yang dibudidaya seperti pada Tabel 6.

Tabel 6 Parameter air untuk budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii No. Parameter Sesuai untuk rumput laut Sumber

1 Arus (cm/detik) 20 – 40 Mubarak (1982) Sunaryat (2004) 2 Kecerahan (m) 0,6 – >5 Bird & Benson (1987)

Atmadja et al. (1996) Sulistijo (2002)

3 Kedalaman (m) 5 – 20 KKP (2004)

4 Substrat dasar Karang, pecahan karang, pasir Dawes (1998) 5 Salinitas (ppt) 28 – 37 Doty (1987)

Kadi & Atmadja (1988) Sulistijo (2002)

Anggadiredja et al. (2006) 6 Suhu (0C) 24–35 0C Mairh et al. (1986)

Puslitbangkan (1991)

a. Arah dan kecepatan arus

Arah arus di lokasi penelitian pada bagian dalam sering berubah-ubah. Ini diduga karena pada bagian dalam adalah daerah rataan karang yang keadaan topografinya tidak seragam. Beberapa bagian di dasarnya berbentuk seperti parit. Sebaliknya, arah arus pada bagian luar umumnya seragam. Arah arus di lokasi penelitian pada bulan Maret 2007 seperti pada Gambar 13.

(2)

Gambar 13 Arah arus di Perairan Gugus Pulau Nain pada bulan Maret 2007. Kecepatan arus permukaan ada yang tetap (seragam) dan ada juga yang sering berubah-ubah. Kecepatan arus yang terjadi pada perairan sekitar Gugus Pulau Nain umumnya lebih cepat di daerah bagian luar karang tepi, sedangkan pada bagian dalam karang (gobah) kecepatan arus umumnya lemah bahkan ada yang tidak terjadi arus. Kecepatan arus permukaan yang lemah, salah satunya disebabkan pada saat pengukuran baru selesai turun hujan dimana kecepatan angin sangat lemah, karena kecepatan angin juga berpengaruh pada proses pergerakan massa air permukaan. Kecepatan arus lokasi penelitian seperti pada Tabel 7.

Secara umum dapat dijelaskan bahwa kecepatan arus permukaan tidak selalu mengikuti pola pergerakan dari pasang surut yang terjadi, begitu juga dengan arahnya tidak mengikuti proses pergerakan massa air sesuai dengan adanya pasang-surut. Padahal umumnya arah arus yang terjadi di daerah pantai akan bergerak sejajar dengan garis pantai. Hal yang terjadi karena di daerah studi merupakan daerah pulau sehingga pola pergerakannya baik kecepatan maupun arahnya tidak seragam dan itu dapat berubah-ubah setiap saat. Begitu juga dengan keadaan massa air yang diam (stagnan) walaupun pada waktu tersebut sedang terjadi proses air pasang. Hal ini mengartikan bahwa proses pergerakan massa air di daerah studi, arus pantai/lokal (arus utama) juga sangat berpengaruh, dan kejadian seperti ini mengartikan sedang terjadi tabrakan dua tekanan massa air antara arus pasang dengan arus pantai.

(3)

Tabel 7 Rata-rata kecepatan arus di Perairan Gugus Pulau Nain pada tahun 2007 - 2008

Stasiun Posisi Geografis Kecepatan Arus (cm/detik)

1 01O46’33,2”LU 7,5 124O46’50,8”BT 2 01O46’28.0”LU 5,6 124O47’00,5”BT 3 01O46’28,2”LU 4,6 124O47’07,1”BT 4 01O46’20,8”LU 7,6 124O46’58,2”BT 5 01O46’13,0”LU 7 124O46’55,1”BT 6 01O45’42,1”LU 13,4 124O46’39,5”BT 7 01O45’42,9”LU 11 124O46’37,8”BT 8 01O45’44,6”LU 21,3 124O46’33,7”BT 9 01O45’52,6”LU 10,3 124O46’27,6”BT 10 01O45’23,2”LU 11,2 124O47’10,5”BT

Kecepatan dan arah arus dari hasil pengukuran memperlihatkan bahwa umumnya kecepatan arus pada bagian dalam karang lebih lemah jika dibandingan dengan kecepatan arus pada bagian luar karang. Hal ini disebabkan pada bagian dalam karang, pengaruh topografi atau tahanan dasar sangat berpengaruh bila dibandingkan dengan daerah luar karang. Di daerah luar karang, massa air lebih bebas bergerak karena berada pada daerah yang terbuka. Kemudian untuk arah arus secara umum bergerak keluar atau menjauhi bagian daratan/pulau, sehingga sering arahnya berubah-ubah setiap saat.

Arus sangat mempengaruhi kesuburan rumput laut karena melalui pergerakan air, nutrien-nutrien yang sangat dibutuhkan dapat tersuplai dan terdistribusi, kemudian diserap melalui thallus. Kecepatan arus yang baik untuk rumput laut antara 20–40 cm/detik. Kecepatan arus yang lebih dari 40 cm/detik dapat merusak konstruksi budidaya dan mematahkan percabangan rumput laut (Mubarak 1982; Sunaryat 2004).

Arus di lokasi penelitian walaupun lemah masih memberikan manfaat karena arahnya berubah-ubah. Terjadinya pergerakan air yang berubah-ubah memungkinkan rumput laut dapat tumbuh dengan baik karena nutrien-nutrien

(4)

yang terbawa arus dapat terdistribusi dengan baik, serta rumput laut dapat dibersihkan dari kotoran. Walaupun demikian, penataan berdasarkan kapasitas areal budidaya rumput laut di Gugus Pulau Nain harus dilakukan. Penataan dimaksudkan agar kecepatan arus tidak tereduksi oleh padatnya wadah budidaya dan pembangunan rumah tinggal di areal budidaya. Selain itu, penataan akan lebih mengefektifkan pekerjaan pembudidaya baik untuk waktu dan biaya, juga tenaga.

b. Kecerahan dan kedalaman perairan

Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut, partikel-partikel dan warna air. Effendi (2003) menyatakan kecerahan air adalah ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual. Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput laut agar penetrasi cahaya matahari dapat diterima oleh rumput laut.

Rumput laut Eucheuma dapat tumbuh dengan baik pada kecerahan air laut yang lebih besar dari 5 meter (Bird & Benson 1987). Menurut Sulistijo (2002) dan Atmadja et al. (1996) kecerahan yang baik untuk kegiatan budidaya rumput laut berkisar 0,6–5 meter atau dapat lebih.

Dari hasil pengukuran, kecerahan di perairan Pulau Nain adalah 100%. Dikatakan 100% karena di perairan yang lebih dangkal yaitu pada rataan terumbu karang yang membatasi laut bagian luar, juga yang melingkar di sekeliling gobah, sinar matahari dapat menembus sampai ke dasar perairan pada saat air pasang tertinggi. Ini juga terjadi di dekat darat sekeliling Pulau Nain. Di bagian perairan dalam dan gobah, sinar matahari menembus lebih dari 20 meter, dimana kedalaman ini merupakan syarat pertumbuhan rumput laut. Kondisi kecerahan yang mengikuti kedalaman perairan dapat dilihat pada Gambar 14.

Kedalaman perairan mempunyai hubungan yang erat terhadap penetrasi cahaya, stratifikasi suhu vertikal, densitas dan kandungan oksigen serta zat-zat hara. Kedalaman perairan di lokasi penelitian berkisar 4,2–12,7 meter. Kedalaman perairan di perairan Gugus Pulau Nain secara keseluruhan seperti Gambar 14.

Secara umum, perairan Gugus Pulau Nain memiliki kedalaman yang sesuai untuk budidaya rumput laut dengan menggunakan metode tali panjang. Menurut Ditjenkan Budidaya KKP RI (2004), bahwa kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma spp adalah 5–20 m dengan

(5)

menggunakan metode tali panjang. Hal ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari. Ebert et al. (1973) menerangkan bahwa beberapa alga merah ditemukan pada perairan yang dangkal, tetapi beberapa diantaranya tumbuh pada kedalaman yang lebih besar daripada alga lain.

Gambar 14 Sebaran kedalaman di Perairan Gugus Pulau Nain.

c. Keterlindungan

Keterlindungan adalah salah satu faktor utama resiko budidaya rumput laut, untuk itu dalam pemilihan lokasi, keterlindungan sangat dipertimbangkan. Hal ini untuk menghindari kerusakan sarana budidaya dan tumbuhan rumput laut dari pengaruh angin dan gelombang yang besar.

Gugus Pulau Nain selain merupakan daerah semi terbuka dari pengaruh gelombang dan arus, juga merupakan daerah terbuka bagi pengaruh angin (Gambar 15). Di bagian barat dan utara sering terkena badai dan gelombang besar pada musim angin barat (November – Februari). Pengaruhnya dapat dilihat pada kondisi karang yang menurut Rachman (2010) bahwa persentase tutupan karang hidup di sisi ini rendah. Tetapi dengan adanya karang penghalang untuk meredam gelombang maka kondisi angin barat ini sangat disukai oleh pembudidaya rumput laut di Pulau Nain karena akan memberikan pertumbuhan yang paling baik.

(6)

Gambar 15 Sebaran keterlindungan di Perairan Gugus Pulau Nain.

Gelombang akibat angin dari Laut Sulawesi diredam oleh karang yang mengelilingi pulau, sehingga hanya terjadi arus yang berfungsi membawa zat hara dan membersihkan rumput laut. Menurut Sulistijo (2002), lokasi budidaya harus terlindung dari hempasan ombak yang keras dan angin yang kuat, biasanya di bagian depan dari areal budidaya mempunyai karang penghalang yang dapat meredam kekuatan gelombang. Di bagian selatan Gugus Pulau Nain relatif terlindungi dari serangan ombak besar pada musim angin barat. Daerah ini terlindung oleh Pulau Mantehage sebagai penghalang.

d. Salinitas

Salinitas sangat berperan dalam budidaya rumput laut. Kisaran salinitas yang terlalu tinggi atau rendah dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi terganggu. Salinitas dapat menimbulkan tekanan osmotik pada biota air laut. Salinitas yang mendukung pertumbuhan Eucheuma alvarezzi berkisar antara 29–34 ppt (Doty, 1987), sedangkan menurut Kadi & Atmadja (1988) bahwa kisaran salinitas yang dikehendaki jenis Eucheuma berkisar antara 34–37 ppt. Menurut Sulistijo (2002) bahwa batas nilai salinitas terendah yang masih dapat ditolerir untuk kehidupan rumput laut jenis Eucheuma sp. pada salinitas 28 ppt. Anggadiredja et al. (2006) menyatakan salinitas yang baik untuk pertumbuhan Eucheuma berkisar 28 – 33 ppt.

(7)

Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai. Kisaran salinitas di perairan Pulau Nain adalah 30–34 ppt. Saat pengukuran, salinitas di lokasi penelitian pada waktu yang hampir sama menunjukkan bahwa kisaran salinitas seragam. Hal ini menunjukkan bahwa perairan di Gugus Pulau Nain memiliki sirkulasi air yang lambat dan dampak dari suhu sangat tinggi.

Eucheuma adalah alga laut yang bersifat stenohaline, relatif tidak tahan terhadap perbedaan salinitas yang tinggi. Fluktuasi salinitas selama penelitian masih pada taraf normal. Perbedaan salinitas pada saat pengukuran terjadi lebih diakibatkan karena pada saat itu baru terjadi hujan. Menurut Wyrtki (1961) in Bengen dan Retraubun (2006) fluktuasi nilai salinitas pada musim pancaroba bervariasi dipengaruhi oleh tinggi rendah curah hujan yang terjadi.

Berdasarkan hal tersebut, maka salinitas perairan Gugus Pulau Nain dapat dikatakan berada dalam batas yang layak untuk pertumbuhan rumput laut. Peta sebaran salinitas di perairan Gugus Pulau Nain seperti pada Gambar 16.

Gambar 16 Sebaran salinitas di Perairan Gugus Pulau Nain.

e. Substrat dasar

Substrat dasar perairan berhubungan dengan kecerahan perairan. Substrat dasar di lokasi penelitian terdiri dari pecahan karang dan pasir berkarang. Dasar

(8)

perairan yang sedikit berlumpur hanya di dekat permukiman dan sebagian kecil di padang lamun (Gambar 17).

Gambar 17 Sebaran substrat dasar di Perairan Gugus Pulau Nain.

Tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah campuran pasir karang dan potongan atau pecahan karang, karena perairan dengan substrat demikian biasanya dilalui oleh arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput laut. Substrat dasar yang berlumpur di kedalaman yang rendah akan mudah terangkat saat adanya arus yang kuat dan gelombang sehingga dapat menyebabkan kekeruhan perairan (Gerung et al. 2008). Dawes (1998) menyatakan bahwa pertumbuhan rumput laut akan baik apabila lokasi budidaya di perairan dangkal bersubstrat karang, pecahan karang, pasir atau campuran ketiganya.

Budidaya rumput laut di Gugus Pulau Nain tidak akan terlalu dipengaruhi oleh substrat dasar karena metode yang digunakan adalah tali panjang permukaan. Substrat dasar hanya mengindikasikan bahwa banyak terjadi pertumbuhan alga di lokasi tersebut yang tentunya layak juga untuk pertumbuhan rumput laut yang dibudidaya. Lee et al. (1999) dan Rorrer & Cheney (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan dan penyebaran rumput laut selain sangat tergantung pada faktor-faktor ekologis juga ditentukan oleh jenis substrat dasarnya. Rumput laut hidup di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda

(9)

keras lainnya. Karakteristik perairan pulau-pulau kecil, seperti di lokasi penelitian, menyebabkan perairan ini sangat terhindar dari dasar perairan yang berlumpur tetap. Selain tidak memiliki sungai, substrat lumpur hanya disebabkan oleh erosi dan limbah rumah tangga lokal sehingga substrat ini akan hanyut mengikuti arus.

f. Suhu perairan

Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses metabolisme organisme di perairan. Suhu yang mendadak berubah atau terjadinya perubahan suhu yang ekstrim akan mengganggu kehidupan organisme atau dapat menyebabkan kematian. Suhu perairan dapat mengalami perubahan sesuai dengan musim, letak lintang suatu wilayah, letak tempat terhadap garis edar matahari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran air, waktu pengukuran dan kedalaman air.

Gambar 18 Sebaran suhu di Perairan Gugus Pulau Nain.

Pada rumput laut kenaikan suhu yang tinggi akan mengakibatkan thallus menjadi pucat kekuning-kuningan dan tidak sehat. Selama penelitian kisaran suhu di perairan Pulau Nain 29–31,5oC (Gambar 18). Eucheuma sp. dapat tumbuh dengan baik pada suhu 24–35 0C dengan fluktuasi harian maksimum 4°C (Mairh et al. 1986 dan Puslitbangkan 1991). Suhu perairan yang tinggi dapat menyebabkan kematian pada rumput laut, serta kerusakan enzim dan membran sel yang bersifat labil. Pada suhu rendah, membran protein dan lemak dapat

(10)

mengalami kerusakan sebagai akibat terbentuknya kristal di dalam sel, sehingga mempengaruhi kehidupan rumput laut (Luning 1990).

Dawes (1998) menyatakan suhu mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan pertumbuhan rumput laut. Suhu air dapat berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologis rumput laut seperti fotosintesa, respirasi, metabolisme, pertumbuhan, dan reproduksi. Kisaran suhu perairan di Gugus Pulau Nain secara keseluruhan memiliki sebaran yang hampir sama. Fluktuasi harian suhu hanya sekitar 1oC, dengan demikian kegiatan budidaya rumput laut dapat berlangsung pada wilayah Gugus Pulau Nain.

g. Derajat keasaman (pH)

Setiap organisme perairan laut membutuhkan kondisi pH tertentu untuk kelangsungan hidupnya, tidak terkecuali rumput laut. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen dan ion-ion. Dari aktiviatas biologi dihasilkan gas CO2 yang merupakan hasil respirasi. Gas ini akan membentuk ion buffer atau penyangga untuk menjaga kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Pescod 1973). Hasil pengukuran pH di perairan Gugus Pulau Nain memperlihatkan bahwa nilai pH berada pada kisaran 8–8,3 atau nilai rata-rata 8,15 (Gambar 19). Menurut Bird & Benson (1987), kisaran pH yang baik bagi pertumbuhan Eucheuma adalah 6–8.

Air laut mempunyai kemampuan menyangga yang sangat besar untuk mencegah perubahan pH. Perubahan sedikit saja pH alami akan memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat menimbulkan perubahan dan ketidakseimbangan kadar CO2 yang dapat membahayakan kehidupan biota

laut. Menurut Chapman (1962) in Amiluddin (2007) hampir semua alga dapat hidup pada kisaran pH 6,8–9,6, sehingga pH tidak menjadi masalah bagi pertumbuhannya. Nilai pH yang normal bagi suatu perairan payau adalah antara 7–9, sementara pH air laut antara 8,0–8,5. Di perairan payau pada umumnya kapasitas buffernya cukup baik (nilai alkalinitas tinggi) sehingga jarang pH turun hingga di bawah 6,5 ataupun naik melebihi 9.

(11)

Gambar 19 Sebaran pH di Perairan Gugus Pulau Nain.

h. Nitrat

Perairan yang baik untuk pertumbuhan rumput laut harus mengandung cukup nutrien, baik makro maupun mikro. Kandungan fosfat dan nitrat di perairan sebaiknya berada pada rasio 1:3 agar rumput laut dapat bertumbuh dengan baik (Wardoyo 1978). Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0–0,1 mg/liter, perairan mesotrofik memiliki kadar nitrat antara 0,1–0,5 mg/liter, dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat yang berkisar antara 0,5–5 mg/liter (Effendi 2003). Kandungan nitrat di lokasi penelitian berkisar antara 3,5–5,8 mg/liter (Gambar 20). Menurut Herlina et al. (2009) pada konsentrasi nitrat 0,9 mg/l terjadi laju penyerapan tertinggi oleh rumput laut.

Kandungan nitrat perairan Pulau Nain digolongkan antara perairan mesotrofik dengan eutrofik (tingkat kesuburan sedang sampai tinggi). Kelarutan unsur hara nitrat yang layak dalam perairan dapat menghindarkan munculnya penyakit ice-ice pada rumput laut. Penyakit ice-ice merupakan kendala utama budidaya rumput laut. Gejala yang diperlihatkan pada rumput laut yang terserang penyakit tersebut adalah antara lain: pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna thallus menjadi pucat atau warna tidak cerah, dan sebagian atau

(12)

seluruh thallus pada beberapa cabang menjadi putih dan membusuk, maka nitrat merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan konsentrasi kadar karaginan rumput laut (Iksan 2005).

Gambar 20 Sebaran nitrat di Perairan Gugus Pulau Nain

i. Fosfat

Kadar fosfat perairan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: perairan dengan tingkat kesuburan rendah, yang memiliki kadar fosfat total berkisar antara 0 – 0,02 mg/liter; perairan dengan tingkat kesuburan sedang memiliki kadar fosfat total 0,021 – 0,05 mg/liter; dan perairan dengan tingkat kesuburan tinggi, yang memiliki kadar fosfat total 0,051 – 0,1 mg/liter (Effendi 2003). Kandungan fosfat di perairan Pulau Nain selama penelitian yang terdeteksi berkisar 0,02 – 0,72 mg/l (Gambar 21). Fosfat di perairan Pulau Nain termasuk ke dalam perairan dengan tingkat kesuburan sama dengan kandungan nitrat, yaitu antara tingkat kesuburan sedang sampai tinggi. Kondisi di perairan Pulau Nain ini tergolong layak untuk budi daya rumput laut.

(13)

Gambar 21 Sebaran fosfat di Perairan Gugus Pulau Nain.

5.1.2 Kondisi perairan sekitar permukiman penduduk

Permukiman penduduk seringkali dinyatakan sebagai penyumbang limbah domestik tertinggi. Limbah permukiman mengandung limbah domestik berupa sampah organik, anorganik, dan deterjen. Sampah organik adalah sampah yang dapat diuraikan atau dibusukkan oleh bakteri. Menurut UNEP (1993) bahwa limbah pada dasarnya dapat menjadi sumberdaya dan dapat juga menjadi pencemar. Limbah yang mengandung nutrien esensial yang diperlukan oleh alam dapat menjadi sumberdaya, limbah yang mempunyai efek netral terhadap alam dapat diklasifikasikan sebagai gangguan biasa, sedangkan limbah yang merusak lingkungan adalah pencemar.

Hasil pengamatan di lokasi penelitian, bahan-bahan limbah yang berpotensi sebagai pencemar langsung masuk ke perairan P. Nain. Permasalahan pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir dan laut di Pulau Nain merupakan isu yang penting untuk dipelajari. Hal ini mengingat besarnya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya perairannya serta luasnya dampak yang akan diakibatkan di kemudian hari. Salah satu cara adalah mengidentifikasi parameter-parameter yang menjadi indikator tercemar atau tidaknya perairan laut Gugus Pulau Nain. Nilai-nilai parameter kualitas air yang diukur akan dibandingkan dengan nilai baku mutu kualitas air dan pengendalian pencemaran air sesuai

(14)

Peraturan Pemerintah RI No. 82/2001 (Lampiran 1) dan baku mutu air untuk biota laut sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 51/2004 (Lampiran 2).

a. Fosfat

Fosfat di perairan dapat bersumber dari air limbah rumah tangga berupa deterjen, residu pupuk, limbah industri, dan hancuran bahan organik. Fosfat juga bisa ditentukan oleh kotoran manusia dan hewan serta deterjen (Percella 1985; Chester 1990). Kandungan fosfat yang terdapat di perairan, umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l. Perairan yang kadar fosfat cukup tinggi melebihi kebutuhan normal organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi (Perkins 1974; Kevern 1982).

Kandungan fosfat yang terdeteksi dalam penelitian ini rata-rata 0,001 mg/l – 0,009 mg/l. Berdasarkan nilai baku mutu kualitas air dan pengendalian pencemaran air pada kelas 1 yang mensyaratkan maksimal kandungan Nitrat 0,2 mg/l (PP. RI., No. 82 Tahun 2001) maka perairan dekat permukiman penduduk Desa Nain tidak tercemar. Tingkat kesuburan yang ditetapkan oleh Effendi (2003) menggolongkan kondisi perairan di dekat permukiman Desa Nain dalam tingkat kesuburan rendah.

Gambar 22 menunjukkan kandungan fosfat pada titik awal sampel (di bawah rumah penduduk) mengindikasikan bahwa sudah ada dampak dari kegiatan manusia berupa limbah MCK dan penyiangan ikan. Terlihat juga, semakin ke arah laut kandungan fosfat semakin menurun. Kandungan fosfat ini tidak akan berpengaruh pada usaha budidaya rumput laut yang rata-rata jaraknya 100 – 150 m dari garis pantai.

Gambar 22 Sebaran fosfat ke arah laut di depan Desa Nain.

0,009 0,002 0,001 -0,002 -5E-18 0,002 0,004 0,006 0,008 0,01 0,012 0 m 50 m 100 m 200 m Fo sf at (m g /l)

(15)

Barbieri & Simona (2003) menyatakan bahwa perairan yang tercemar limbah organik fosfat akan meningkatkan tegangan permukaan air dalam bentuk lapisan tipis, sehingga dapat menghalangi difusi oksigen dari udara ke dalam badan air. Dampak negatif lainnya adalah eutrofikasi yakni meningkatnya jumlah alga yang mati dan tenggelam ke dasar perairan. Alga tersebut akan diuraikan oleh bakteri, mereduksi kandungan oksigen di dasar perairan, dapat mencapai ke tingkat yang sangat rendah untuk mendukung kehidupan organisme sehingga menyebabkan kematian ikan.

b. Nitrat

Nitrat (NO3) merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan

alga. Kadar nitrat pada perairan alami tidak pernah melebihi 0,1 mg/l. Apabila suatu perairan memiliki kadar nitrat sebesar 5 mg/l maka mengindikasikan bahwa perairan tersebut mengalami pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan kotoran hewan (Effendi 2003).

Hasil pengukuran kandungan nitrat di perairan dekat permukiman penduduk di Pulau Nain ada beberapa titik sampel yang nihil bahkan tidak terdeteksi, sedangkan yang tertinggi bernilai 0,08 mg/l (Gambar 23). Berdasarkan baku mutu kualitas air dan pengendalian pencemaran air pada kelas 1 yang mensyaratkan maksimal kandungan Nitrat 10 mg/l maka secara keseluruhan kandungan nitrat di sekitar permukiman penduduk belum mencemari perairan. Apabila dibandingkan dengan baku mutu untuk biota laut maka nitrat di Stasiun III, nilainya sama dengan ambang batas. Seperti sudah dijelaskan bahwa Stasiun III berada di permukiman yang tinggi aktivitas MCK dan pengolahan ikannya.

Gambar 23 Kandungan nitrat di depan permukiman penduduk Pulau Nain.

0,005 0,01 0,08 -0,025 0,015 0,055 0,095 0,135 I II III Nitr at (m g /l) Stasiun pengamatan

(16)

Menurut Lee et al. (1978) bahwa kisaran nitrat perairan berada antara 0,01 – 0,7 mg/1, sedangkan menurut Effendi (2003) bahwa kadar nitrat-nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l. Apabila kadar nitrat >0,2 mg/1 akan mengakibatkan eutrofikasi yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat.

Gambar 24 menunjukkan sebaran kandungan nitrat ke arah laut. Terlihat bahwa kandungan nitrat lebih menurun ke arah laut. Ini menunjukkan bahwa limbah dari sekitar permukiman penduduk, seandainya melampaui ambang batas baku mutu air, tidak akan tersebar sampai ke areal budidaya rumput laut.

Gambar 24 Sebaran nitrat ke arah laut di depan Desa Nain.

c. Total padatan tersuspensi (total suspended solid, TSS)

TSS atau padatan tidak terlarut dalam air dijumpai dalam bentuk organik dan anorganik maupun deterjen yang tidak dapat langsung mengendap sehingga dapat menyebabkan kekeruhan air. Bahan organik berupa sisa-sisa tumbuhan dan padatan biologi lainnya seperti sel alga, bakteri dan sebagainya. Sampah organik dapat diurai atau dibusukkan oleh bakteri. Sampah organik yang dibuang ke laut menyebabkan berkurangnya jumlah oksigen terlarut, karena sebagian besar digunakan bakteri untuk proses pembusukannya. Bahan anorganik antara lain berupa tanah liat dan butiran pasir. Bahan anorganik akan menghalangi cahaya matahari untuk proses fotosintesis. Deterjen merupakan limbah penduduk yang paling potensial mencemari air karena sangat sukar diuraikan oleh bakteri (Peavy et al. 1986; Blom et al. 1994; Helfinalis 2005).

Nilai TSS umumnya semakin rendah ke arah laut. Hal ini menunjukkan bahwa padatan tersuspensi disuplai oleh daratan. Hasil penelitian di depan Desa

0,032 0,008 0,005 0,003 -0,010 0,000 0,010 0,020 0,030 0,040 0,050 0 m 50 m 100 m 200 m Nitr at (m g /l)

(17)

Nain yang terdapat Stasiun I, II dan III dimana masing-masing stasiun terdiri atas 4 titik ke arah laut dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Total padatan tersuspensi ke arah laut di depan Desa Nain Stasiun Titik Pengamatan Permukaan Air (mg/l) Tengah Kolom Air (mg/l) I 0 m 12 10 50 m 32 12 100 m 6 80 200 m 22 18 II 0 m 6 12 50 m 8 10 100 m 12 6 200 m 6 4 III 0 m 96 8 50 m 8 10 100 m 12 16 200 m 98 54

Data TSS pada Tabel 8 secara keseluruhan terlihat masih di bawah ambang batas baku mutu air baik untuk kualitas air dan pengendalian pencemaran maupun baku mutu air untuk biota laut, kecuali pada Stasiun I untuk jarak 100 meter di tengah kolom air, dan pada Stasiun III di permukaan awal serta pada jarak 200 meter di permukaan yang telah melampaui baku mutu yang disyaratkan. Baku mutu air untuk kualitas air dan pengendalian pencemaran pada kelas 1 disyaratkan maksimal 50 mg/l, dan baku mutu air untuk biota laut yakni TSS maksimal disyaratkan pada ekosistem mangrove yakni 80 mg/l.

Pada titik sampel di Stasiun I dan III yang TSS-nya telah melewati ambang batas, diduga disebabkan pada Stasiun I walaupun permukimannya relatif sedikit tetapi terdapat ekosistem mangrove. Pada Stasiun III selain permukiman agak padat, di wilayah ini penggunaan air tawar sangat tinggi karena terdapat sumur ‘aer jere’ yang merupakan satu-satunya sumber air tawar penduduk Desa Nain. Di sekitar Stasiun III ini juga terlihat bahwa aktivitas pengolahan perikanan lebih tinggi di bandingkan dengan di Stasiun II yang sebenarnya permukiman penduduknya lebih padat. Selain itu untuk kontur tanah, di darat dekat Stasiun III terdapat bukit yang berbatasan langsung dengan laut, dibandingkan dengan

(18)

Stasiun I dan II keberadaan bukit masih dipisahkan oleh rumah-rumah penduduk. Hal ini diduga sebagai salah satu penyumbang tingginya TSS di Stasiun III akibat masuknya air yang mengandung debu dari perbukitan.

Daya jangkau TSS menuju ke areal budidaya yakni sebaran secara horisontal baik sebaran di permukaan air maupun di tengah kolom air. Hasil yang didapat bahwa perlu diberi perhatian untuk kandungan TSS di Stasiun III pada jarak 200 meter. Pada titik sampel ini, kandungan TSS di permukaan air telah melewati ambang batas baku mutu air. Titik sampel dengan jarak 200 meter dari titik awal di Stasiun III ini telah berada di areal budidaya rumput laut.

TSS di tengah kolom air pada Stasiun II terlihat bahwa semakin ke laut, kandungan TSS semakin rendah, sedangkan di Stasiun III semakin ke laut, kandungan TSS semakin tinggi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa, di Stasiun II ke arah laut yang menjauh dari pulau tidak terdapat penghalang dari karang yang membatasi gobah, sehingga arah arus dengan leluasa masuk sehingga terjadi pengenceran yang dapat menurunkan TSS. Ini terjadi di tengah kolom air karena di permukaan air, sebaran TSS masih ada pengaruh dari angin atau gelombang. Pada Stasiun III di tengah kolom air, dimana TSS semakin ke laut semakin tinggi, disebabkan saat pengukuran dilakukan pada saat air bergerak naik, sehingga padatan yang terperangkap di dasar rataan karang akan terangkat. Diketahui bahwa Stasiun III berada di sekitar permukiman penduduk yang aktivitas buangan limbah paling tinggi, sehingga di sekitar situ juga beban limbah tinggi.

Fardiaz (1992) menyatakan bahwa padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi penentrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga menghambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya, yang lebih lanjut berarti kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Kedua, secara langsung TSS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti mengganggu pernafasan biota karena tertutupnya insang oleh partikel-partikel tersuspensi. Dampak lainnya dari TSS yang tinggi, terjadi sedimentasi yang selanjutnya berakibat pendangkalan. Selain itu, tingginya TSS mengakibatkan penumpukan bahan organik di dasar yang berakibat pada meningkatnya proses

(19)

dekomposisi yang akan mengurangi kandungan oksigen perairan dan menghasilkan bahan-bahan toksik.

Kandungan TSS di Perairan Gugus Pulau Nain secara keseluruhan diukur juga di depan Desa Tatampi dan Kampung Tarente. Hasil analisis TSS depan permukiman di Pulau Nain dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Total padatan tersuspensi di depan permukiman di Pulau Nain Kedalaman Stasiun I II III VII X Permukaan (mg/l) 12 6 96 80 10 Tengah (mg/l) 10 12 8 12 28

Pada Tabel 9, TSS secara keseluruhan terlihat masih di bawah ambang batas baku mutu air baik untuk kualitas air dan pengendalian pencemaran maupun baku mutu air untuk biota laut, kecuali di permukaan pada Stasiun III yang sudah dijelaskan di atas. Pada Stasiun VII yang berada di depan Kampung Tarente, kandungan TSS sama dengan baku mutu air untuk biota di ekosistem pesisir yakni 80 mg/l. Dapat dijelaskan bahwa Kampung Tarente berada di sisi timur Pulau Nain yang perairannya berada di antara Pulau Nain kecil. Kandungan TSS di stasiun ini diduga juga sangat dipengaruhi oleh hutan mangrove yang merupakan ekosistem mangrove terbesar di Pulau Nain. Kandungan TSS yang rendah di tengah kolom air, diduga dipengaruhi oleh arus dari selatan dan tenggara yang perairannya lebih terbuka.

Pada Stasiun X di depan Desa Tatampi terlihat kandungan TSS bagian permukaan lebih rendah dibandingkan dengan Stasiun III dan VII. Desa Tatampi berada di bagian utara Pulau Nain yang menghadap ke Samudera Pasifik sehingga sirkulasi dan pengenceran air lebih tinggi, walaupun demikian diduga masih ada pengaruh dari perairan Desa Nain yang berada di barat Pulau Nain. Pengaruhnya dapat dilihat pada kandungan TSS di bagian tengah kolom air yang lebih tinggi dari TSS permukaan. Hal ini diduga bahwa di bagian tengah kolom air masih dipengaruhi oleh arus keluar dari perairan barat pulau.

(20)

5.2 Budidaya Rumput Laut di Gugus Pulau Nain

5.2.1 Budidaya rumput laut tahun 1996 – 2006

Budidaya rumput laut di Gugus Pulau Nain yang dimulai sejak tahun 1989 mencapai puncak produksi pada kurun tahun 1996–2000 yaitu bisa mencapai 350– 400 ton per bulan. Tetapi sejak akhir tahun 2000 produksi rumput laut di pulau ini mulai menurun dan tidak membaik sampai tahun 2007. Perlu ditelusuri faktor-faktor penyebab terjadinya kondisi tersebut. Penelusuran lewat wawancara dilakukan agar lebih akurat dalam mendeskripsinya. Upaya ini diharapkan dapat mempelajari kondisi di masa lampau, kemudian membuat suatu perencanaan yang efektif sehingga dapat memprediksi hasil yang efisien di masa mendatang.

Dari hasil kuisioner, responden yang aktif di bidang budidaya rumput laut, baik sebagai pembudidaya maupun pekerja adalah yang berusia di bawah 50 tahun yakni 74,72%, yang berusia 51–60 tahun yakni 25,27% adalah sebagai pedagang pengumpul atau yang memanen rumput laut yang jatuh dan atau tumbuh di dasar perairan. Sebanyak 41,7% menjawab bahwa mereka menanam rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma denticulatum (K+E), 32,97%, menanam K. alvarezii, dan 25,27% menanam E. denticulatum. Dari 41,76% pembudidaya K+E, pada awalnya (tahun 1996–2000) didominasi oleh K. alvarezii. Tetapi sejak tahun 2001–2006, 80% menanam E. denticulatum sedangkan K. alvarezii yang ditanam hanya untuk stok yang dijual sebagai bibit.

Budidaya rumput laut di Pulau Nain telah dimulai sejak tahun 1989, maka 51,65% responden menjawab telah membudidaya rumput laut sebelum tahun 1996. Dari hasil wawancara didapat bahwa pembudidaya rumput laut setelah tahun 1989 bertambah rata-rata 2,2% (2–3 pembudidaya), kemudian terjadi peningkatan pada tahun 1996 sekitar 35,16%. Mulai tahun 1997–1999 masing-masing naik 6,59% (Gambar 25). Peningkatan ini karena produksi yang sangat tinggi dari jenis K. alvarezii yang diiringi dengan harga jual rumput laut kering saat itu berkisar antara Rp. 6.000–7.200 per kg.

Sesudah tahun 1999–2004 tidak ada pembudidaya baru, alasannya adalah areal budidaya telah terpakai secara keseluruhan dan tahun-tahun berikutnya produksi K. alvarezii sudah menurun sehingga menurunkan gairah pembudidaya. Kemudian pada 2005 ada pembudidaya yang baru yakni sebesar 2,2%, hal ini

(21)

dikarenakan sudah banyak lahan yang tidak dimanfaatkan lagi sehingga oleh masyarakat lain mencoba memulai usaha budidaya rumput laut. Jenis rumput laut yang dibudidaya adalah jenis E. denticulatum.

Gambar 25 Persentase pembudidaya memulai budidaya rumput laut di P. Nain.

Usaha budidaya rumput laut di Desa Nain terdiri dari pembudidaya, pedagang, eksportir, pekerja, dan beberapa aktivitas yang berhubungan dengan budidaya rumput laut. Pada tahun 1996–2000 sebanyak 92,13% adalah pembudidaya, dimana 86,52% adalah pemilik lahan. Tahun 2001–2006 terjadi penurunan, baik pembudidaya maupun pemilik lahan (Tabel 10).

Tabel 10 Persentase jenis usaha dan kepemilikan usaha rumput laut di P. Nain Usaha Tahun 1996 – 2000 Tahun 2001 – 2006 Jenis Usaha (%) Pembudidaya 92,13 61,02 Pedagang 4,49 1,69 Eksportir 0 0 Lainnya 3,37 37,29 Kepemilikan usaha (%) Pemilik 86,52 55,93 Sewa Lahan 0 0 Tenaga Kerja 7,87 38,98 Lainnya 5,62 5,08

Penurunan produksi rumput laut sangat berpengaruh pada pedagang pengumpul, pada tahun 1996–2000 ada 4 pengumpul sedangkan tahun 2001–2006 tersisa 1 pengumpul. Pada Tabel 10, terlihat sebagian menjadi pekerja atau memanen dari alam, baik rumput laut yang jatuh ke dasar perairan dari hasil budidaya atau yang bertumbuh alami di dasar. Ini sangat jelas terlihat dari nilai

51,65 35,16 6,59 6,59 2,20 0 10 20 30 40 50 60 < 1996 1996 1997 1999 2005 Ju m lah r es p o n d en ( % )

(22)

3,37% pada tahun 1996–2000 menjadi 37,29% pada tahun 2001–2005. Untuk tahun 1996–2000 pekerja hanya 7,87% kemudian menjadi 38,98% pada tahun 2000–2006.

Pada tahun 1996–2000 jumlah tali ris yang dimiliki setiap pembudidaya terkelompok pada jumlah 40–200 ujung yang umumnya menanam jenis K. alvarezii, sedangkan tahun 2001–2006 tersebar mulai dari 10–200 ujung yang umumnya menanam jenis E. denticulatum. Pada tahun 1996–2000 selain harga jual yang tinggi juga masih adanya pemodal dari luar dengan sistem PIR.

Selain jumlah tali ris yang hampir seragam, juga masing-masing pembudidaya memiliki panjang tali ris antara 30–200 meter. Di tahun 2001–2006, dengan modal yang kecil pembudidaya memiliki panjang tali ris bervariasi antara 20–60 meter.

Keterkaitan lainnya terlihat pada Gambar 26, dimana 91,21% pembudidaya pada tahun 1996–2000 memakai tenaga kerja, tenaga kerja dibutuhkan mulai dari mengikat bibit sampai pasca panen. Pada tahun 2001–2006 hanya 34,07% pembudidaya yang memakai tenaga kerja.

Gambar 26 Keberadaan tenaga kerja pada budidaya rumput laut di Pulau Nain. Umumnya pembudidaya membutuhkan modal usaha sebesar 5–6 juta rupiah, jumlah ini merupakan modal standar budidaya K. alvarezii untuk panjang tali ris 40 meter dengan jumlah 100 ujung.

Produksi K. alvarezii per panen pada tahun 1996–2000 relatif hampir sama, berkisar antara 1–4 ton per pembudidaya. Tahun 2001–2006 produksi tertinggi hanya berkisar 1–2 ton per panen. Ada juga yang panen sekitar 6–7 ton, ini disebabkan ada beberapa pembudidaya yang membudidaya secara besar-besaran untuk memanfaatkan lahan yang telah ditinggalkan oleh pembudidaya

91,21 8,79 34,07 65,93 0 25 50 75 100

Memakai Tenaga Kerja Tidak Memakai Tenaga Kerja

Ju m lah resp o n d en ( %)

Penyerapan tenaga kerja

(23)

yang lain. Hasil kurang dari 1 ton umumnya diproduksi untuk suplai bibit, sehingga jumlahnya hampir sama untuk kedua kurun waktu. Bibit disuplai bukan hanya untuk budidaya rumput laut di Pulau Nain tetapi ke seluruh sentra budidaya di Sulawesi Utara, bahkan sampai ke Gorontalo dan Maluku Utara.

Produksi tertinggi rumput laut di Pulau Nain tahun 1996–2000 terjadi pada bulan September–Pebruari tahun berikutnya. Produksi yang dimaksud didominasi oleh K. alvarezii. Responden yang menjawab produksi tertingginya pada bulan Maret, umumnya yang membudidaya E. denticulatum dan sebagian kecil K. alvarezii, sedangkan untuk Juni–Juli secara keseluruhan yang dibudidaya adalah E. denticulatum. Untuk tahun 2001–2006 produksi terjadi sepanjang tahun, karena yang dibudidaya umumnya adalah E. denticulatum. Produksi rumput laut bulanan di Pulau Nain untuk kedua kurun waktu dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Produksi rumput laut di Pulau Nain (ton/bulan)

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Rata-rata produksi tertinggi (ton)

1996 - 2000 3 3 1 0 0 2 3 0 8 11 7 9

2001 - 2006 3 2 4 1 5 5 3 7 10 7 5 7

Rata-rata produksi terendah (ton)

1996 - 2000 0 0 3 5 11 5 1 5 9 2 2 0

2001 - 2006 1 0 0 8 19 2 1 0 0 3 0 0

Datab Tabel 11 jika dihubungkan dengan hasil wawancara tentang musim penghujan pada tahun 1996–2000 bahwa musim penghujan umumnya terjadi pada bulan Januari–Maret dan September–Desember. Sedangkan kurun waktu tahun 2001–2006, musim penghujan lebih lama, dimana terjadi pada bulan Januari sampa April dan Agustus–Desember. Dapat dijelaskan bahwa data di atas untuk produksi rumput laut K. alvarezii yang sangat ditentukan oleh iklim. Pada musim hujan dan gelombang (awal dan akhir tahun), K. alvarezii dapat tumbuh dengan baik. Sedangkan pada pertengahan tahun (musim panas) produksi K. alvarezii menurun. Untuk jenis E. denticulatum lebih tahan atau tidak terlalu terpengaruh oleh iklim. Data E. denticulatum yang menunjukkan bahwa produksi rumput laut di Pulau Nain terjadi sepanjang tahun.

Pada tahun 1996–2000 penyakit ‘ice-ice’ terjadi hampir sepanjang tahun (Tabel 12), dengan kata lain tidak dipengaruhi oleh musim tetapi oleh aktivitas budidaya rumput laut. Budidaya yang memanfaatkan keseluruhan areal dengan

(24)

cara terus-menerus mengakibatkan penyakit menyebar dan siklus hidupnya tidak putus. Selain itu, pembudidaya telah membangun tempat tinggal di atas areal budi daya. Limbah rumahtangga ini juga diduga sebagai penyebab tumbuh kembangnya penyakit sepanjang tahun.

Tahun 2001–2006 diduga penyakit ‘ice-ice’ lebih dipengaruhi oleh iklim, dimana pada musim panas, rumput laut lebih banyak diserang penyakit. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa kondisi ini umumnya untuk jenis K. alvarezii sedangkan jenis E. denticulatum lebih tahan terhadap serangan penyakit.

Tabel 12 Presentase tingkat prevalensi penyakit ice-ice pada rumput laut Bulan

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 1996 – 2000

(%) 10,9 1,8 1,8 3,6 38,1 23,6 9 1,8 1,8 - - 7,2 2001 – 2006

(%) - - - 5 22 24 20 24 4 - - 2

Penyakit rumput laut tidak dipengaruhi oleh metode budidaya. Budidaya rumput laut di Pulau Nain saat ini menggunakan metode tali panjang. Pada tahun 1996–2000, metode lepas dasar banyak digunakan sebagai alternatif pemanfaatan lahan yang telah habis terpakai. Tahun 2001–2006, metode lepas dasar digunakan untuk pencegahan penyakit, apabila rumput laut terindikasi terserang penyakit maka beberapa pembudidaya menurunkan posisi tali ke dasar.

5.2.2 Budidaya rumput laut saat ini

Pembudidaya rumput laut di Pulau Nain, 62,5% mengenal usaha ini dari orang tua, sedangkan 37,5% mengetahuinya dari penyuluh atau bimbingan dinas terkait. Walaupun demikian hanya 6% pembudidaya yang masih bersama-sama orang tua mereka, 94% sudah berusaha sendiri. 93% merupakan pekerjaan utama, dan semuanya milik pribadi. Pembudidaya yang telah memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun sebanyak 62%, sedangkan yang berpengalaman 6–10 tahun dan di bawah 6 tahun masing-masing 31% dan 7%. Jadi sebanyak 93% pembudidaya rumput laut di Pulau Nain sudah sangat berpengalaman.

Sebanyak 94% pembudidaya menanam rumput laut jenis K. alvarezii dan E. denticulatum, sedangkan hanya 6% yang menanam rumput laut jenis E. denticulatum dengan jumlah dan panjang tali ris bervariasi. Untuk kepemilikan

(25)

jumlah tali ris, paling banyak yakni 63% memiliki tali ris 60 ujung, 31% memiliki 100 ujung, dan hanya 6% yang memiliki tali ris sebanyak 40 ujung. Dan untuk panjang tali ris, saat ini 69% memelihara rumput laut di tali ris sepanjang 60 meter, dan 31% pada tali ris 100 meter.

Pembudidaya rumput laut mendapatkan bibit sebagian besar berasal dari sisa budidaya yakni 38%, dan 31% bibit diambil dari alam, 25% beli dari pembudidaya yang lain, serta sisanya 6% memiliki kebun bibit. Umumnya pembudidaya mampu memilih bibit yang berkualitas baik. Untuk berat awal dan jarak tanam bibit rumput laut dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Persentase berat awal dan jarak bibit yang ditanam oleh pembudidaya Berat awal bibit yang ditanam

Berat bibit 100 g 200 – 250 g

% 85% 15%

Jarak bibit yang ditanam

Jarak tanam 20 cm 25 cm 30 cm

% 29% 57% 14%

Pembersihan rumput laut selama pemeliharaan, sebanyak 82% responden melakukan pembersihan sekali sehari, bahkan 6% pembudidaya melakukan pembersihan sebanyak dua kali sehari. Tetapi ada pembudidaya yang tidak melakukan pembersihan (12%).

Kejadian pencurian rumput laut pernah dialami oleh 6% responden, sedangkan gangguan oleh tumbuhan penempel (epifit) pada rumput laut dialami oleh 94% pembudidaya. Rumput laut sebagian besar terserang oleh penyakit ice-ice (47%), diikuti oleh mati layu (35%), dan penyakit lainnya 18%. Untuk mencegah penyebaran penyakit, 59% pembudidaya memanen dan menjemur rumput laut yang terkena penyakit, 29% pembudidaya memanen secara keseluruhan rumput laut yang ditanam, dan 12% pembudidaya lebih giat melakukan pembersihan.

Hama dan penyakit yang menyerang rumput laut, menurut 50% responden terjadi pada musim pancaroba, 31% menjawab terjadi pada musim kemarau, sedangkan 19% mengatakan terjadi pada musim hujan. 87% pembudidaya melakukan penggantian teknik budidaya di saat peralihan musim. Menurut mereka pada musim hujan bibit akan bertumbuh dengan baik dan kurangnya hama dan

(26)

penyakit. Pergantian teknik budidaya di saat musim kemarau atau pancaroba dengan melakukan penjarangan tali ris dan jarak tanam bibit, serta menurunkan rumput laut sekitar 25–30 cm dari permukaan air laut.

Panen dilakukan saat rumput laut berumur di atas 40 hari. Pembudidaya yang melakukan panen rumput laut pada umur 40 – 45 sebanyak 41%, 40 – 60 hari dilakukan oleh 18% pembudidaya, dan panen di atas 60 hari dilakukan oleh 29% pembudidaya. Sedangkan 12% responden melakukan panen rumput laut saat berumur 30 hari dengan maksud untuk bibit yang akan dipakai sendiri atau dijual.

Keseluruhan hasil di atas adalah data aspek budidaya rumput laut. Umumnya pembudidaya rumput laut di Pulau Nain telah melakukan budidaya rumput laut yang sesuai. Hanya ada beberapa aspek yang perlu diberi perhatian, misalnya tentang adanya pembudidaya yang tidak melakukan pembersihan rumput laut, padahal salah satu penyebab penyakit adalah tidak bersihnya rumput laut. Rumput laut yang terserang penyakit dikhawatirkan akan cepat menyebar ke rumput laut yang lain. Hal ini didukung data bahwa 94% pembudidaya pernah mengalami rumput lautnya diserang penyakit. Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah umur panen, hampir 50% pembudidaya rumput laut di Pulau Nain melakukan panen di atas 45 hari. Ini akan berpengaruh pada kandungan karaginannya, yang tentunya akan berakibat pada daya jualnya yang rendah.

Selain aspek budidaya, aspek teknik penanganan budidaya rumput laut di Pulau Nain perlu diketahui. Aspek teknik penanganan atau dikenal dengan good handling practice (GHdP) antara lain adalah tenaga kerja, produktifitas, teknik panen, pengetahuan mutu rumput laut baik bibit maupun produksi, pemanenan, penggudangan, dan pemasaran.

Saat ini pembudidaya tidak lagi memakai tenaga kerja untuk persiapan wadah dan penanaman rumput laut, pembersihan serta pengawasan. Mereka sudah melakukan sendiri atau dibantu oleh anggota keluarga. Pemakaian tenaga kerja 89% pada saat panen, dan 63% pada saat sortir. Pada tahap panen, 17% pembudidaya memakai satu orang pekerja, 61% memakai 2 pekerja, dan 11% memakai 3 pekerja. Pada tahap sortir, rata-rata pembudidaya mengupah 2 pekerja. Dari sisi gender, pembudidaya tidak ada yang khusus memakai tenaga kerja

(27)

wanita. Pekerja pria yang diupah sebanyak 26% serta pembudidaya yang memakai tenaga kerja pria dan wanita sebanyak 74%.

Teknik pemanenan yang dilakukan pembudidaya rumput laut, 73% pembudidaya memanen keseluruhan rumput laut, 27% melakukan pemetikan dengan menyisakan pangkal rumput laut untuk dipelihara pada siklus berikutnya. Hasil panen dijemur di atas rak (para-para) yang terbuat dari bambu. Para-para ditancapkan dengan tiang bambu atau kayu di atas air. Pengeringan dilakukan selama 3 hari atau lebih tergantung cuaca saat penjemuran. Agar rumput laut kering merata maka setiap 3 – 4 jam rumput laut dibalik. Ada juga pembudidaya yang membalik rumput laut kurang dari 3 jam, tetapi ada yang melakukannya setiap 6 jam.

Pengetahuan pembudidaya dalam membedakan rumput laut kering antara jenis K. alvarezii dan E. denticulatum masih tergantung dari pengalaman mereka masing-masing. Sebanyak 86% pembudidaya bisa membedakannya tetapi pembudidaya yang lain belum mampu membedakan antara jenis K. alvarezii dan E. denticulatum yang sudah kering. Walaupun demikian, untuk mencegah tercampurnya kedua jenis maka awal pengeringan sudah dilakukan pemisahan.

Semua responden mengatakan bahwa mereka sudah mengetahui mutu rumput laut kering, sebagian mengetahuinya dari pengalaman pribadi dan sebagian mengetahui dari penyuluhan instansi terkait. Lama penyimpanan, 50% menyimpan rumput laut kering selama 1–3 bulan, 6% pembudidaya menyimpan lebih dari 3 bulan, dan 44% menyimpan kurang dari 1 bulan atau langsung menjualnya. Umumnya mereka menjual hasil rumput laut kering kepada pedagang pengumpul yang berada di Desa Nain, kecuali jika mereka ke Manado bersamaan dengan tersedianya rumput laut kering maka mereka menjual langsung ke perusahaan. Itupun tidak dalam jumlah yang banyak karena yang mereka perhitungkan adalah biaya transportasi. Harga rumput laut kering di Manado biasanya lebih tinggi Rp. 250,- – Rp. 500,- per kilogram dibandingkan dengan harga pada pengumpul di Desa Nain.

Aspek lain yang perlu diketahui adalah kelembagaan. Di desa pesisir seperti di Pulau Nain terdapat lembaga pemerintahan, kemasyarakatan, ekonomi, dan sosial budaya yang dapat dilihat pada Tabel 14. Menurut data DKP Minut,

(28)

saat ini terdapat 64 kelompok pembudidaya rumput laut di Desa Nain. Ironisnya, 65% responden menyatakan belum memiliki kelompok. Peranan kelompok, 86% menyatakan membantu dalam pemasaran, dan 14% menyatakan membantu dalam penyediaan bibit. Peranan lain dari kelompok adalah menjalin kerjasama dengan pihak tertentu sebagai pembeli rumput laut.

Tabel 14 Kelembagaan di Desa Nain

No Lembaga Jumlah anggota

1. Lembaga Pemerintahan

Jumlah aparat pemerintah desa Jumlah pengurus BPD/dewan kelurahan

22 orang 13 orang 2. Lembaga Kemasyarakatan

Jumlah pengurus PKK

Jumlah pengurus Karang Taruna

7 orang 4 orang 3. Kelembagaan Ekonomi

Jumlah koperasi 2 unit

4. Kelembagaan Sosial Budaya Jumlah ormas keagamaan

Jumlah organisasi seni-budaya

Jumlah kader pemberdayaan masyarakat Jumlah fasilitator desa

1 unit 5 unit 11 orang 3 orang Sumber : BPM-PD Minut, 2010

Hanya sebanyak 34% responden, baik secara perorangan maupun lewat kelompok menyatakan pernah berhubungan dengan pihak perbankan dalam hal peminjaman modal. Untuk administrasi peminjaman hanya 37% yang menyatakan prosesnya mudah atau lebih mudah dari lembaga kredit lain. Dalam hal pelunasan, 83% menyatakan lunas tepat waktu. Adapun alasan bagi yang pelunasannya tidak tepat waktu adalah hasil usaha sedikit atau gagal, belum ada kelompok, atau hasil usaha digunakan untuk kebutuhan lain.

Di Desa Nain terdapat 2 koperasi, sebanyak 69% responden merupakan anggota koperasi. Peranan koperasi dalam pemasaran rumput laut, 85% responden menyatakan berperan dalam menentukan harga, dan 15% responden menyatakan koperasi membantu dalam memasarkan hasil. Secara pribadi atau lewat kelompok, 57% responden menyatakan belum pernah berhubungan dengan pihak koperasi dalam hal peminjaman modal, dan 43% menyatakan pernah meminjam modal di koperasi. Proses administrasi peminjaman dikatakan para responden: 17% rumit, 42% lebih rumit dari bank atau lembaga kredit lain, 25% mudah, dan 17% lebih

(29)

mudah dari lembaga kredit lain. 92% responden menyatakan melunasi pinjaman modal dari koperasi tepat waktu. Ada 28% responden pernah berhubungan dengan pihak tengkulak untuk modal. Proses adiministrasi peminjaman, sebagian responden menyatakan mudah tetapi sebagian menyatakan rumit.

Partisipasi responden dalam kegiatan penyuluhan hanya 7% yang menyatakan selalu mengikutinya, 60% kadang-kadang, dan 33% tidak pernah. 69% responden merasakan manfaat dalam mengikuti kegiatan penyuluhan. Kegiatan pelatihan atau studi banding: 44% responden belum pernah mengikuti, 19% sering mengikuti, dan kadang-kadang 37%.

Untuk aspek keuangan, sebanyak 80% pembudidaya menyatakan pernah menghitung ongkos produksi dan keuntungan dari budidaya rumput laut. Perhitungan keuntungan: 80% responden mendapat info harga dari pembeli, dan sisanya dari penyuluh. Walaupun demikian, pembelilah yang menentukan harga rumput laut. Pertimbangan pembudidaya memilih pembeli adalah harga lebih tinggi (73%), 7% mempunyai hubungan baik, 20% jarak ke tempat penjualan.

5.2.3 Pola Tanam Rumput Laut

Kegiatan budidaya rumput laut tidak banyak menuntut tingkat keterampilan tinggi dan modal yang besar, sehingga dapat dilakukan oleh semua anggota keluarga nelayan termasuk ibu rumah tangga dan anak-anak. Namun demikian rumput laut yang dibudidayakan sering terkena penyakit seperti ice-ice dan hama pemangsa lainnya. Salah satu penyebab kegagalan pada budidaya rumput laut antara lain adalah penerapan sistem budidaya yang tidak tepat waktu dan sistem tanam yang kurang sesuai (Puslitbangkan, 1991).

Penentuan pola tanam rumput laut dalam bentuk tabel dapat disesuaikan dengan membandingkan antara pertumbuhan rumput laut dengan tingkat terserang penyakit (prevalensi), penghujan, dan gelombang. Nilai pertumbuhan yang digambarkan dalam analisis ini dihitung dari pertumbuhan rumput laut dimana dari berat awal 100 gram sampai pada capaian nilai rata-rata total pertumbuhan (gram) setiap siklus untuk 9 siklus tanam. Nilai penghujan, prevalensi, dan gelombang adalah hasil analisis jawaban responden dalam bentuk persentase (%). Jawaban responden berdasarkan pengalaman budidaya rumput laut dan daya ingat untuk kurun waktu tahun 1996 – 2006.

(30)

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa pertumbuhan rumput laut pada bulan Januari mulai menurun sampai pada nilai terendah di bulan Maret. Kemudian pertumbuhan mulai meningkat sampai nilai tertinggi bulan November. Pola menurun pertumbuhan pada November berlanjut sampai Maret tahun berikutnya.

Prevalensi pada rumput laut mulai dari bulan April–September, dimana kondisi wabah banyak terjadi pada bulan Mei–Agustus. Kondisi ini memperlihatkan trend pertumbuhan meningkat. Dapat dijelaskan bahwa, penyakit yang terjadi adalah proses sebab-akibat dari bulan-bulan sebelumnya. Ini jelas terlihat bahwa pada waktu bukan prevalensi, pertumbuhan semakin menurun, diduga saat itulah rumput laut telah menurun kondisinya karena beberapa faktor penyebab penyakit. Faktor-faktor penyebab penyakit dimungkinkan oleh: kondisi parameter air yang menurun, serangan hama, dan epifit. Paling jelas terlihat adalah akibat dari serangan hama, dimana thallus mengalami tanda terkelupas atau beberapa bagian yang hilang. Penyebab lain dari semakin membaiknya kondisi rumput laut yang terserang penyakit karena pada akhir dan awal tahun telah memasuki musim penghujan dan gelombang pada batas-batas toleransi.

Kemudian terlihat juga musim hujan yang normal, rumput laut bertumbuh dengan baik. Tetapi, apabila curah hujan tinggi seperti pada bulan Desember maka akan mengakibatkan menurunnya pertumbuhan. Salah satu akibat curah hujan yang tinggi adalah dampak langsung tutupan awan yang tinggi dimana akan mengurangi proses fotosintesa dari rumput laut.

Gelombang yang terjadi di Pulau Nain terlihat bahwa musim gelombang yang besar di bulan Desember dapat mengakibatkan menurunnya pertumbuhan rumput laut. Ini lebih berpengaruh kepada teknis budidaya, yakni mengurangi aktivitas pemeliharaan dan rusaknya konstruksi budidaya, selain itu beberapa thallus bisa patah. Walaupun demikian, hempasan gelombang atau arus yang disebabkan oleh gelombang pada batas-batas toleransi dapat membersihkan rumput laut dari debu atau sampah yang menempel. Arus juga akan membawa lebih banyak nutrien untuk memenuhi kebutuhan tumbuh rumput laut.

Informasi dari pembudidaya tentang produksi rumput laut tertinggi mereka sepanjang tahun dibandingkan dengan hasil pertumbuhan penelitian maka dibuat

(31)

Gambar 27. Informasi dari pembudidaya berasal dari pengalaman dan daya ingat untuk kurun waktu 10 tahun yakni tahun 1996 – 2006, dan data penelitian didapat dari tahun 2007 – 2008.

Pada hasil penelitian, bulan Maret pertumbuhan rumput laut menurun drastis tetapi ada 2,13% responden menjawab bahwa bulan Maret pernah mengalami puncak produksi. Bulan April dan Mei tidak ada responden yang mengalami puncak produksi padahal hasil pertumbuhan dari penelitian bahwa pada bulan April–Mei mulai meningkat, demikian juga untuk bulan Agustus. Bulan-bulan lainnya, kecuali bulan desember, kedua informasi saling menunjang. Pada bulan Desember dengan pertumbuhan yang menurun, ada 19,15% responden menjawab bahwa bulan tersebut merupakan puncak produksi rumput laut. Diduga yang mempengaruhi adalah kondisi lingkungan untuk tahun yang berbeda. Selain itu tidak ada informasi lebih lanjut dari pembudidaya rumput laut di Pulau Nain tentang jenis yang memberikan produksi tertinggi di bulan-bulan tertentu. Seperti sudah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa K. alvarezii jika dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan maka laju pertumbuhannya akan lebih baik. Secara keseluruhan, budidaya rumput laut K. alvarezii (Cottonii) di Gugus Pulau Nain dapat diusahakan sepanjang tahun. Teknik dan cara untuk mengantisipasi apabila terjadi perubahan atau gangguan lingkungan dan biologi yang ekstrim pada rumput laut maka dibuat suatu pola tanam dalam tabel, seperti pada Tabel 15.

Tabel 15 Pola tanam berdasarkan perubahan kondisi ekologi dan biologi rumput laut serta teknik penanggulangannya.

Kondisi Lokasi Bulan kalender Penanggulangan 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 1 Penghujan & Kemarau 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3

 Kemarau: kedalaman tali minimal 50cm  Penghujan: jmlh tali dibatasi 2 Rumput laut terserang epifit - - - 2 3  Bersihkan RL  Menggoyang tali

 Batasi jmlh tali ris 3 Prevalensi pada rumput laut 4 5 6 7 8 9 - - 12 - - -  Memetik yg berpenyakit  Mengganti yang berpenyakit  Memanen cepat 4 Pertumbuhan lambat - - - 3  Ganti bibit

 Jarak tali diperlebar 5 Laut

(32)

Tabel 15 dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Apabila terjadi penyakit, penanggulangannya dengan cara memetik rumput laut dan mengganti rumput laut yang terkena penyakit agar penyakit tidak menyebar ke rumput laut yang lain. Jika terlihat bahwa prevalensi sudah mewabah sebaiknya dilakukan pemanenan secara keseluruhan.

2. Membatasi jumlah tali ris pada waktu penghujan, bermaksud untuk mengakali jumlah nutrien yang konsentrasinya berubah yang disebabkan oleh jumlah air tawar yang masuk. Nutrient yang tersedia diharapkan dapat memenuhi kebutuhan rumput laut yang ada. Pada waktu terserang epifit, pembatasan jumlah tali agar rumput laut mudah dibersihkan karena jumlah rumput laut yang akan dibersihkan tidak banyak. Pembatasan jumlah tali juga agar pembudidaya leluasa bergerak saat bekerja. Pada saat gelombang, pembatasan jumlah tali ris lebih memudahkan pembudidaya mengawasi dan memperbaiki jika terjadi kerusakan konstruksi wadah budidaya.

3. Pada musim kemarau, tali ris diturunkan minimal 50 cm dari permukaan air agar tidak terpengaruh oleh suhu permukaan air, dan rumput laut tidak terjemur terlalu lama. Saat terserang epifit, rumput laut dibersihkan langsung dengan cara diambil kemudian dibuang di darat. Kemudian, tali ris atau rumput laut digoyang-goyang agar epifit yang tidak terambil akan terlepas dari rumput laut atau tali ris. Apabila pertumbuhan rumput laut lambat, dapat diganti dengan bibit baru yang sesuai kriteria pemilihan bibit yang baik.

Gambar 27 menunjukkan komposisi dari kondisi budidaya rumput laut di perairan Gugus Pulau Nain. Dalam setahun waktu penghujan terjadi sebanyak 9 bulan, kemarau 3 bulan, prevalensi 7 bulan, terserang epifit 2 bulan, pertumbuhan yang rendah 1 bulan, dan terjadinya gelombang laut sebanyak 9 bulan. Semua kondisi ini cenderung dapat terjadi sepanjang setahun atau hanya beberapa kondisi saja yang terjadi dalam setahun.

Waktu penghujan sangat bermanfaat bagi rumput laut walaupun belum ada informasi spesifik tentang kisaran intensitas dan frekuensi curah hujan yang sesuai kebutuhan pertumbuhan rumput laut, karena curah hujan yang tinggi dapat juga mengakibatkan pelarutan nutrient, menurunkan salinitas, kebersihan areal,

(33)

kecepatan arus melemah, dan kekeruhan perairan. Menurut Boyd (1979) in Armita (2011) bahwa kondisi kekeruhan yang baik untuk budidaya rumput laut yakni 10 < 40 NTU, selanjutnya WALHI (2006) in Armita (2011) kekeruhan standar untuk lingkungan rumput laut adalah kurang dari 20 NTU.

Gambar 27 Komposisi kecenderungan kondisi lingkungan dan budidaya rumput laut di Perairan Gugus Pulau Nain.

Hujan juga berakibat buruk pada waktu pasca panen yakni lama pengeringan apabila memanfaatkan sinar matahari. Lain halnya dengan musim kemarau yang dapat mempercepat waktu pengeringan. Kebutuhan cahaya matahari dalam budidaya rumput laut menurut Djawad (1987) in Armita (2011) dibutuhkan intensitas cahaya sekitar 5000 lux. Dalam Wikipedia, dijelaskan bahwa musim hujan atau musim basah adalah musim dengan ciri meningkatnya curah hujan di suatu wilayah dibandingkan biasanya dalam jangka waktu tertentu secara tetap. Secara teknis meteorologi, musim hujan dianggap mulai terjadi apabila curah hujan dalam tiga dasarian berturut-turut telah melebihi 100 mm per meter persegi per dasarian dan berlanjut terus. Apabila hal ini belum terpenuhi namun curah hujan telah tinggi kondisinya dianggap sebagai peralihan musim (pancaroba). Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk dapat disebut musim kemarau, curah hujan per bulan harus di bawah 60 mm per bulan (atau 20 mm per dasarian) selama tiga dasarian berturut-turut. LAPAN (2009) menyatakan bahwa Indonesia mempunyai karakteristik khusus, baik dilihat dari posisi, maupun keberadaanya,

Penghujan Kemarau Prevalensi

(34)

sehingga mempunyai karakteristik iklim yang spesifik. Di Indonesia terdapat tiga jenis iklim, yaitu:

1. Iklim musim (iklim muson) sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap periode tertentu. Biasanya satu periode perubahan angin muson adalah 6 bulan. Iklim musim terdiri dari 2 jenis, yaitu angin musim barat daya (muson barat) dan angin musim timur laut (muson timur). Angin muson barat bertiup sekitar Oktober-April yang basah sehingga membawa musim hujan/penghujan. Angin muson timur bertiup sekitar April-Oktober yang sifatnya kering mengakibatkan Indonesia mengalami musim kemarau. 2. Iklim tropis/tropika (iklim panas), wilayah yang berada di sekitar garis

khatulistiwa otomatis akan mengalami iklim tropis yang bersifat panas dan hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Iklim tropis bersifat panas sehingga wilayah Indonesia panas yang mengundang banyak curah hujan atau Hujan Naik Tropika.

3. Iklim laut, Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah laut mengakibatkan penguapan air laut menjadi udara yang lembab dan curah hujan yang tinggi.

Gelombang laut yang terjadi sebanyak 9 bulan bukan kendala dalam budidaya rumput laut di Pulau Nain, seperti sudah dijelaskan pada bab sebelumnya hanya waktu-waktu tertentu terjadi gelombang besar yang dapat mengganggu budidaya rumput laut, selebihnya gelombang dibutuhkan. Apalagi perairan Gugus Pulau Nain terdapat karang tepi yang mengelilinginya.

Pola tanam dan kondisi lingkungan budidaya rumput laut di atas akan berbeda untuk setiap areal budidaya di Wilayah Minahasa, bahkan di wilayah lain, tetapi alternatif penanggulangannya paling tidak seperti yang dijelaskan di atas. Parenrengi et al. (2010) menyatakan bahwa pembudidaya rumput laut diharapkan mampu mengevaluasi sendiri kondisi budidaya yang dilakukan dengan pemantauan kondisi secara berkala, dimana inventarisasi dan identifikasi masalah yang tepat merupakan langkah yang harus dilakukan dalam upaya pencarian alternatif pemecahan masalah yang tepat.

(35)

5.2.4 Pertumbuhan dan produksi rumput laut

Pola pertumbuhan rumput laut adalah berbeda-beda tergantung spesies dan keberadaan lingkungannya. Tingkat pertumbuhan rumput laut ini dipengaruhi oleh faktor internal yakni kondisi thallus, dan faktor eksternal yakni faktor fisika, faktor kimia serta faktor biologi. Dalam penelitian ini, uji pertumbuhan dilakukan di areal budidaya (rataan karang) dan di luar areal budidaya (lereng karang). Frekuensi uji sebanyak 9 siklus terus-menerus. Pada tahun berikutnya dilakukan di perairan permukiman penduduk sebanyak 2 siklus penanaman.

Bibit pada awalnya berasal dari pembudidaya rumput laut di lokasi penelitian, selanjutnya digunakan bibit dari tahap penanaman sebelumnya. Bibit awal adalah rumput laut yang sudah digunakan oleh pembudidaya secara terus menerus selama lebih dari 20 tahun. Namun demikian bibit dipilih dari bagian ujung rumput laut yang percabangan banyak, kelihatan segar, dan elastis.

Faktor eksternal umumnya memenuhi syarat bagi pertumbuhan rumput laut di lokasi penelitian. Walaupun demikian untuk nitrat dan fosfat pada waktu tertentu telah melewati ambang batas baku mutu air untuk biota laut sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 51/2004 tetapi belum terindikasi tercemar sesuai baku mutu kualitas air dan pengendalian pencemaran air oleh Peraturan Pemerintah RI No. 82/2001.

Indikator pertumbuhan rumput laut dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian, di antaranya: pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan harian (LPH). Beberapa hasil penelitian tentang pertumbuhan rumput laut yang sudah dilakukan dari jenis E. denticulatum (E. spinosum) yakni 2,08–8%, sedangkan K. alvarezii (E. cotonii) 4,4–8,9%, selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

a. Pertumbuhan rumput laut di areal budidaya

Uji statistik pertumbuhan untuk rata-rata keseluruhan maupun beda kedalaman menunjukkan tidak beda nyata (Lampiran 4). Pola pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii di Perairan Gugus Pulau Nain secara umum cenderung meningkat seiring dengan perubahan waktu, baik pada masing-masing siklus tanam maupun secara keseluruhan dari 9 siklus yang dilakukan, hasil analisis laju pertumbuhan harian (LPH) dapat dilihat pada Tabel 16.

(36)

Pada awal penelitian, pertumbuhan K. alvarezii cenderung lambat kemudian meningkat sampai pada siklus tanam VIII dan melambat lagi pada akhir penelitian di siklus tanam IX. Hal ini disebabkan awalnya ditemukan banyak tumbuhan epifit dan telur biota laut yang menempel atau membungkus thallus rumput laut uji. Jenis epifit yang ditemukan dari golongan alga merah (Acanthopora spicifera, Hypnea, Polysiphonia, Coraline algae, alga coklat (Dictyota dichotoma dan Padina santae), alga hijau (Chaetomorpha crassa). Polysiphonia tingkat penetrasinya sangat kuat sampai ke tengah jaringan rumput laut. Tumbuhan penempel ini bersifat kompetitor dalam menyerap nutrisi. Selain itu, bersama telur ikan yang menempel, epifit dapat menjadi pengganggu karena menutupi rumput laut dalam fotosistesis.

Tabel 16 Laju pertumbuhan harian (%) K. alvarezii di areal budidaya pada tahun 2007 – 2008

Kedalaman (cm)

Siklus tanam dan pertumbuhan

I II III IV V VI VII VIII IX Feb- Mar Apr- Mei Mei- Jun Jul- Ags Ags- Sep Okt- Nov Nov- Des Jan- Feb Feb- Mar 0 3,71 3,12 5,75 6,28 7,01 7,00 6,95 7,56 6,31 50 3,52 3,31 5,59 5,96 6,96 6,95 6,79 7,63 6,48 100 3,53 3,28 5,54 5,74 6,89 6,88 6,74 7,61 6,50 Laju pertumbuhan harian (LPH) seperti pada Tabel 16, terlihat berada di atas 3%. Menurut Anggadiredja et al. (2006) bahwa faktor pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp. dikatakan baik jika laju pertumbuhan hariannya tidak kurang dari 3%. Kisaran LPH dalam penelitian ini, K. alvarezii nilai terendah terdapat pada siklus II yakni 3,12%, dan yang tertinggi pada siklus VIII yakni 7,79% yang keduanya berada pada titik sampel permukaan (0 cm). Apabila dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya, LPH rumput laut di Gugus Pulau Nain dapat dikatakan lebih baik. Bahkan ada yang hasil penelitian sebelumnya LPH di bawah 3% walaupun ada beberapa yang LPH relatif sama yaitu sekitar 5–7%. Gambar 28 memperlihatkan pertumbuhan mutlak yaitu selisih antara berat akhir dan berat awal.

Pada Gambar 28 terlihat bahwa awalnya pertumbuhan relatif lambat. Dalam penelitian pada akhir tahun 2007 sampai awal tahun 2008 terjadi angin dan gelombang, sehingga upaya pembersihan rumput laut tidak maksimal. Seiring

Gambar

Tabel 6  Parameter air untuk budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii  No.  Parameter  Sesuai untuk rumput laut  Sumber
Tabel 7  Rata-rata kecepatan arus di Perairan Gugus Pulau Nain pada                            tahun 2007 - 2008
Tabel 9  Total padatan tersuspensi di depan permukiman di Pulau Nain   Kedalaman     Stasiun   I  II  III  VII  X  Permukaan (mg/l)  12  6  96  80  10  Tengah (mg/l)  10  12  8  12  28
Gambar 26  Keberadaan tenaga kerja pada budidaya rumput laut di Pulau Nain.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam berbakti kepada orang tua, kita mengenal istilah “Birrul Walidaini” yang artinya yaitu berbuat baik dan bakti kepada orang tua melalui pemenuhan hak-hak kedua

Aktifitas Guru Dengan Menerapkan Metode Latihan Hasil pengamatan aktivitas guru terdiri dari dua guru bidang studi Seni Budaya dan Keterampilan, bahwa penerapan motode latihan pada

Lagipun di antara kedua negara tesebut, terdapat banyak persamaan di antara mereka dari segi sosial, ekonomi, politik yang tidak memberi kesan negatif kepada

Further, given the information on KCSI’s capital structure and the proxy values for gearing for financial services and US rail, an asset beta can be..

Sehubungan dengan Pelelangan Paket Pekerjaan Peningkatan Jaringan Irigasi D.I Tanjung pada Dinas Pengairan Kabupaten Aceh Tenggara Sumber Dana APBK Aceh Tenggara Tahun Anggaran

Adapun persamaan tersebut menunjukkan dampak etika profesional, kompetensi akuntan pendidik atas akuntabilitas kinerja akuntan pendidik, dari hasil penelitian, maka

Berdasarkan hasil kegiatan pengabdian masyarakat tersebut, dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat di daerah Bale-Bale khususnya remaja yang mempunyai jiwa

Mahasiswa mampu menyimak dan berbicara dalam bahasa Perancis setelah melihat tayangan film pendek serta dapat mengungkapkan kembali dengan menggunakan