• Tidak ada hasil yang ditemukan

8Jurnal Biologi Sumatera, Januari 2006, hlm Vol. 1, No. 1 ISSN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "8Jurnal Biologi Sumatera, Januari 2006, hlm Vol. 1, No. 1 ISSN"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)

TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO MENCIT (Mus musculus

L.) STRAIN DDW SELAMA PERIODE PRAIMPLANTASI HINGGA

ORGANOGENESIS

Emita Sabri, Deny Supriharti, dan Gunawan E. Utama

Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Jalan Bioteknologi No. 1, Padang Bulan, Medan 20155

Abstrak

Telah dilakukan penelitian mengenai efek pemberian monosodium glutamat (MSG) terhadap perkembangan embrio mencit (Mus musculus L.) strain DDW selama periode praimplantasi hingga organogenesis. MSG diberikan pada induk mencit dimulai sejak umur kehamilan 0 hari hingga 16 hari, secara gavage sebanyak 0,1 ml/10 g bb.

Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial yang terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan dengan dosis 2,4; 4,8; 9,6 mg/ml akuades, sedangkan kelompok kontrol terdiri dari kelompok kontrol tanpa perlakuan dan kontrol akuades.

Dari penelitian diperoleh hasil bahwa pemberian MSG pada induk mencit umur kehamilan 0 hari hingga 16 hari tidak mempengaruhi implantasi dan berat badan fetus hidup. MSG menyebabkan secara nyata menurunkan jumlah fetus hidup, yang ditandai dengan peningkatan persentase kematian intra uterus berupa embrio yang diresorp. MSG menyebabkan secara nyata peningkatan persentase kehilangan praimplantasi serta meningkatkan secara nyata persentase fetus yang mengalami malformasi. Malformasi yang ditemukan pada fetus adalah malformasi eksternal berupa mikropthalmia, anopthalmia, acorea sedangkan malformasi internal berupa hidrosephalus.

Dengan demikian dapat disimpulkan pada penelitian ini pemberian MSG pada induk mencit yang sedang hamil bersifat embriotoksik dan teratogenik.

Keywords: MSG, embriotoksik, teratogenik

PENDAHULUAN

Kesibukan yang meningkat di tengah masyarakat perkotaan dan pesatnya kemajuan teknologi informasi membawa dampak perubahan gaya hidup. Perubahan ini juga mempengaruhi pola konsumsi makanan dengan lebih banyak mengkonsumsi jenis makanan cepat saji. Keluarga yang makin sibuk, waktu yang tersedia untuk memasak makanan sendiri makin berkurang dan akhirnya tergantung pada bahan makanan awetan dan kemasan yang belakangan ini makin banyak dijual di pasar–pasar tradisional dan swalayan (Darmawan, 2001). Termasuk pula penggunaan berbagai macam penyedap rasa yang digunakan untuk keperluan sehari-hari baik berasal dari olahan tradisional maupun secara sintetis yang menggunakan bahan kimia (Anggara, 2000), misalnya bahan penyedap. Bahan kimia yang lebih dikenal dengan nama vetsin, micin, atau moto ini sudah lama akrab di kalangan ibu rumah tangga karena biasa

digunakan sebagai bahan penyedap masakan (Dhindsa, 1981).

Vetsin biasanya berbentuk kristal halus dan berwarna putih yang dibuat melalui proses fermentasi dari bahan dasar pati (gandum) dan gula molases (tetes tebu) yang diberi nama sebagai garam natrium dari asam glutamat atau lebih dikenal dengan nama monosodium glutamat (MSG) (Anggara, 2000). Asam glutamat merupakan salah satu jenis asam amino non esensial yang merupakan bagian dari kerangka utama dari berbagai jenis molekul protein yang terdapat dalam makanan, baik yang bersumber dari nabati maupun hewani (Winarno, 1994). Total pemakaian MSG di beberapa negara cukup tinggi misal Jepang, kira–kira sampai 15.000 ton per tahun, Korea, 30.000 ton per tahun, sedangkan di Amerika kira–kira 26.000 per tahun, dan di Indonesia sudah mencapai 17.000 ton per tahun (Dhindsa, 1981).

Penelitian mengenai efek toksik dari MSG ini menunjukkan hasil yang mengejutkan.

(2)

usakan mata pada ba

ode praimplantasi hingga rganogenesis lanjut.

BAHAN DAN METODE

n minum dilakukan setiap hari secara ad

libitum.

an yang telah ditetapkan (Nizam

terdiri dari 2 kelompok lompok kontrol.

ba kan.

▪ Kontrol Pelarut dengan dosis 0 mg/4 ml

▪ uan dengan dosis 2,4 mg/4 ml akuades

▪ n dengan dosis 4,8 mg/4 ml akuades

(P2)

umlah ulangan untuk tiap kelompok perlaku da bagian hidung, mata, d ngan larutan hydroch uddin, 2000).

Rancangan Penelitian. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen dengan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang

Dari berbagai macam penelitian yang dilakukan pada neonatal dengan pemberian MSG dosis besar melalui suntikan diketahui bahwa MSG dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf dan mata pada bagian retina, menyebabkan kemandulan pada jantan dan betina, menurunkan berat uterus dan testis, serta kerusakan fungsi reproduksi (Takasaki 1979). Jhon Olney (1996)

dalam Winarno (1994) mengemukakan MSG

yang diberikan sebagai makanan pada tikus putih dapat mengakibatkan kerusakan pada beberapa sel syaraf khususnya di bagian hipotalamus. Kemudian pada tahun yang sama dilaporkan bahwa penyuntikan MSG pada bayi monyet dapat menyebabkan bayi monyet tersebut menjadi pendek serta mengalami ker

gian retina (Winarno, 1994).

Nizamuddin (2000) telah melakukan penelitian mengenai efek toksik pemberian MSG pada tikus jantan. Kelompok perlakuan diberi MSG dengan dosis 2400 mg/kg bb, 4800 mg/kg bb, dan 9600 mg/kg bb dalam 4 ml akuades sedangkan kelompok kontrol diberi 4 ml akuades tanpa MSG dan tanpa diberi apapun. Dari hasil penelitiannya, setelah pemberian dilakukan selama 49 hari ternyata MSG dapat mempengaruhi proses spermatogenesis. Namun, penelitian tentang efek toksik pemberian MSG terhadap perkembangan embrio belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian MSG terhadap gangguan perkembangan embrio (Mus

musculus L.) selama peri

o

Hewan Percobaan. Hewan percobaan

yang dipergunakan adalah mencit (Mus

musculus L.) betina strain DDW. Umur mencit

perlakuan 12 minggu dengan kisaran berat badan 25-30 g (Smith, 1988). Mencit dipelihara dalam kandang terbuat dari plastik yang diberi alas sekam yang diganti 2 kali seminggu. Pemberian pakan da

Bahan Uji. Bahan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah berupa serbuk monosodium glutamat (MSG) dengan merek dagang dari salah satu penyedap rasa yang diperoleh dari pasar swalayan. Serbuk MSG ini berupa kristal putih yang mengandung 99% MSG dan terbungkus dalam kantung plastik tertutup. Serbuk MSG ditimbang beratnya sesuai dengan dosis perlaku

yaitu kelompok perlakuan dan ke

Perlakuan terdiri atas satu faktor yaitu dosis han yang diguna

▪ Kontrol tanpa perlakuan (K0) akuades (KP0)

Perlak (P1) Perlakua

▪ Perlakuan dengan dosis 9,6 mg/4 ml akuades (P3)

J

an ditentukan dengan menggunakan rumus yang digunakan Sugandi & Sugiarto (1994).

Cara Kerja. Mencit betina dewasa

berumur 12 minggu dengan kisaran berat badan 25 sampai 30 g dan berada pada tahap estrus dikawinkan dengan seekor mencit jantan pasangannya. Apabila keesokan harinya terdapat sumbat vagina maka kopulasi telah terjadi dan dinyatakan sebagai kehamilan pada 0 hari (Taylor, 1986). Pemberian MSG pada hewan uji dilakukan secara oral menggunakan jarum

gavage pada induk mencit umur kehamilan 0

hingga 16 hari, dengan volume pemberian 0.1 ml/10 g bb. Sebelum perlakuan berat badan induk mencit ditimbang. Selanjutnya mencit dari kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dibunuh dengan cara dislokasi leher pada umur kehamilan 18 hari. Setelah pembedahan, dilakukan pengamatan meliputi jumlah implantasi, jumlah fetus hidup, fetus mati, embrio yang di resorpsi, korpus luteum. Fetus hidup ditimbang berat kemudian diamati kelainan-kelainan eksternal dan internal. Untuk pengamatan malformasi pa

an otak dilakukan pemotongan dengan pisau silet menggunakan metode penyayatan

razor blade (Taylor, 1986).

Untuk memastikan embrio yang diresorpsi, uterus ditetesi larutan ammonium

sulphate 10% selama 10 menit, dibilas dengan air

mengalir kemudian ditetesi de

loric acid 1% dan larutan potassium ferricyanide 2% yang ditandai dengan bintik

hitam pada uterus (Taylor, 1986).

Analisis Data. Dari pengamatan yang

diperoleh dianalisis secara statistik dengan analisis varian (anava) untuk membandingkan data parametrik berupa berat fetus hidup, jumlah fetus hidup, jumlah implantasi, dan jumlah

(3)

korpus

iresorpsi, persen fetus mati, persen kehilan

Untuk menghitung persen fetus hidup,

persen persen

mbrio diresorpsi, persen kehilangan praimpl

s musculu

pok K0, kelompok KP0 dan kelompok P1, begitu

an aktif da

p

pula pada kelompok P3 (5,80) menunjukkan perbedaan yang nyata menurun jika dibandingkan dengan kelompok K0, KP0, dan P1.

Pada penelitian ini terjadi penurunan jumlah fetus hidup berkaitan erat dengan semakin

meningkatnya jumlah kematian intrauterus terutama berupa embrio diresorpsi (Tabel 2) dan seiring dengan kenaikan dosis MSG yang diberikan pada induk mencit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian MSG selama induk mencit hamil bersifat embriotoksik. Hal ini diduga karena pemberian MSG yang dilakukan secara terus menerus sejak kehamilan 0 hingga 16 hari masuk ke dalam tubuh induk mencit, kemudian adanya ketidakmampuan induk mencit untuk menetralisir dan mendetoksifikasi senyawa-senyawa kimia yang masuk ke dalam tubuh induk mencit. Akhirnya terakumulasi pada embrio mencit melalui pembuluh darah dan mempengaruhi perkembangan fetus mencit tersebut. Winarno (1995) menyatakan bahwa MSG merupakan garam natrium dari asam glutamat yang dihasilkan dari proses pembuatan gula molases yang membentuk glutamin, kemudian diubah menjadi asam glutamat dan gugus karboksilat. Kedua senyawa tersebut mudah terhidrolisis dengan penambahan asam atau basa. Meskipun kedua senyawa tersebut merupakan komponen yang aktif, tetapi sejauh ini belum diketahui senyawa yang lebih berper luteum pada kelompok perlakuan dengan

kelompok kontrol. Apabila terdapat perbedaan yang sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Gomez & Gomez, 1995).

Data non parametrik berupa persen embrio yang d

gan praimplantasi, dan malformasi dianalisis dengan menggunakan uji Wilcoxon’s

rank sum test (Wilcoxon & Wilcox 1965 dalam

Sabri, 1996).

malformasi, persen fetus mati, e

antasi dihitung Manson & Kang (1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian tentang pengaruh MSG dengan dosis perlakuan 2,4 mg/4ml akuades (P1), 4,8 ml/4 ml akusdes (P2), dan 9,6 mg/4 ml akuades (P3) dan kelompok kontrol terdiri dari kontrol tanpa perlakuan (K0) dan kontrol pelarut (KP0) yang diberikan pada induk mencit (Mu

s L.) albino strain DDW selama umur

kehamilan 0 hingga 16 hari menggunakan jarum

gavage dengan volume pemberian 0,1 ml/10 g bb

yang dapat dilihat dari beberapa tabel di bawah.

Pengaruh Pemberian MSG terhadap Rataan Penampilan Organ Reproduksi Induk Mencit dan Keadaan Fetus Hidup Selama 0 hingga 16 hari Kehamilan. Hasil analisis sidik

ragam terhadap penampilan reproduksi induk mencit yang sedang hamil (Tabel 1) meliputi berat badan fetus hidup, jumlah fetus hidup, jumlah implantasi, dan jumlah korpus luteum menunjukkan bahwa berat badan fetus hidup pada kelompok K0 (1,35) tidak berbeda nyata dengan kelompok KP0 (1,35). Kelompok perlakuan dosis P1 (1,05), P2 (1,08), dan P3 (1,07) juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan kelompok K0 dan KP0. Jumlah fetus hidup yang diperoleh pada kelompok K0 (9,60) dengan kelompok KP0 (9,40) tidak menunjukkan perbedaan, selanjutnya jumlah fetus hidup pada kelompok P1 (7,80) cenderung menurun dibandingkan KP0 (9,40), meski secara statistik tidak berbeda. Hasil analisis sidik ragam kelompok P2 (5,40) menunjukkan perbedaan yang nyata menurun jika dibandingkan dengan kelom

kelom

lam menyebabkan kematian intrauterus. Sadler (1993) menambahkan embrio mudah diserang atau diganggu pada tingkat dini, maka dalam perkembangannya mengalami kerusakan yang sangat parah sehingga tidak dapat hidup.

Analisis statistik jumlah implantasi antara ketiga kelompok perlakuan menunjukkan adanya penurunan bila dibandingkan dengan kedua kelompok kontrol. Namun setelah dilakukan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah implantasi (Tabel 1) antara ketiga

ok perlakuan dengan kedua kelompok yang masing-masing tidak menunjukkan adanya perbedaan. Dengan demikian pemberian MSG selama umur kebuntingan induk mencit cenderung tidak bersifat sebagai anti implantasi.

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa jumlah korpus luteum dari ketiga kelompok perlakuan cenderung mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan kedua kelompok kontrol. Dan jumlah korpus luteum tertinggi terdapat pada P3 dan menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan K0, KP0, P1, dan P2. Terjadinya variasi peningkatan jumlah korpus luteum antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol diduga tidak disebabkan oleh pemberian dosis MSG, tetapi mungkin disebabkan oleh faktor genetik serta faktor internal dari induk mencit yang berbeda-beda. Besarnya jumlah korpus luteum antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol tersebut menggambarkan telur yang diovulasikan.

(4)

s meneru

dilihat pada Table 2. Hasil menunjukkan bahwa

tase malform

pada awal kebuntingan erupa

asi pada fetus. Menurut Wilson (1973), kerentanan terhadap teratogenesis tergantung dari genotip dari suatu konseptus dan cara-cara interaksi dengan faktor lingkungan yang meliputi perbedaan spesies, perbedaan strain dan lingkungan, serta penyebab dari faktor lain.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa persentase kematian intrauterus (Tabel 2) hanya berupa embrio diresopsi yang menunjukkan adanya peningkatan embrio diresopsi baik pada kedua kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Pada kelompok K0 persentase embrio

diresopsi sebesar 0,80% (1,24±1,06) dan pada KP0 persentasenya meningkat sebesar 2,59% (1,62±1,06), tetapi berdasarkan hasil uji statistik tidak berbeda. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor internal dari induk mencit itu sendiri atau juga terjadi secara alami. Pada perlakuan P1 persentase embrio diresopsi sebesar 5,00% (1,93±1,17) dan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kelompok K0 maupun KP0. Demikian pula pada P2 (5,40%), meskipun adanya peningkatan persentase embrio diresorpsi, tetapi uji statistik menunjukkan tidak berbeda nyata dengan K0, KP0, dan P1. Namun pada P3 persentase embrio diresopsi sebesar 8,67% (3,64±1,20) dan menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan K0, KP0, P1, dan P2. Ini berarti bahwa terjadinya peningkatan persentase embrio diresopsi tersebut sejalan dengan kenaikan dosis MSG yang diberikan. P3 merupakan dosis yang optimal dalam menyebabkan kematian intrauterus yang berupa embrio diresopsi. Dengan demikian penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian MSG selama umur kehamilan induk mencit bersifat embriotoksik. Seperti yang dikemukakan oleh Schardein (1985) dalam Peniati (1994), bahwa kematian fetus

Meskipun banyak telur yang diovulasikan tetapi terjadi kehilangan jumlah praimplantasi yang tinggi dan berbeda nyata (P2) bila dibandingkan dengan kelompok K0 (Tabel 2). Hal ini diduga karena pemberian MSG dilakukan secara teru

s selama 0 hingga 16 hari kehamilan induk mencit dapat mengganggu tahap perkembangan embrio pada waktu pembelahan atau cleavage. Oleh karenanya sel-sel embrional tidak mencapai tahap blastokista yang normal untuk dapat terimplantasi pada uterus.

Pengaruh Pemberian MSG terhadap Persentase Penampilan Organ Reproduksi Induk Mencit Secara Gavage pada Umur 0 Hari Hingga 16 Hari Kehamilan. Persentase

penampilan organ reproduksi yang diamati dalam penelitian ini meliputi persentase fetus yang mengalami malformasi, persentase kematian intrauterus berupa persentase embrio diresopsi dan persentase kehilangan praimplantasi yang dapat

persentase fetus yang mengalami malformasi 0% terjadi pada kelompok K0 dan KP0. Pada perlakuan P1 menyebabkan malformasi sebesar 2,05% (1,35±1,10) yang tidak berbeda nyata dengan kelompok K0 dan KP0.

Fetus yang mengalami malformasi pada kelompok P2 cenderung meningkat bila dibandingkan kedua kelompok kontrol, meskipun secara statistik tidak berbeda. Namun pada perlakuan P3 persentase fetus yang mengalami malformasi sebesar 11,05% (2,26±1,40) dan menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan K0, KP0, P1, dan P2. Malformasi yang ditemukan pada ketiga kelompok perlakuan berupa mikroptalmia, anoptalmia, akorea, dan hidrosefalus (Tabel 3). Kejadian ini diduga karena semakin meningkatnya pemberian dosis MSG yang diberikan, serta didukung oleh kemampuan induk mencit untuk menetralisir zat atau senyawa kimia yang bersifat toksik. Selain itu juga tergantung kerentanan dan kondisi fisiologis dari induk mencit yang berbeda-beda, sehingga cenderung meningkatkan persen

m kan ciri utama dari toksisitas

perkembangan dan kematian yang terjadi berupa embrio resopsi yang ditandai oleh adanya bekas implantasi, tetapi bila kematian yang terjadi pada akhir kebuntingan maka fetus akan diresopsi seluruhnya sehingga dihasilkan fetus yang mengalami maserasi.

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa hasil analisis statistik Wilcoxon’s rank sum test menunjukkan persentase kehilangan praimplantasi pada kelompok K0 sebesar 3,21% (3,19±0,02) dan secara statistik tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan KP0 yang besarnya 5,92% (5,77±0,02). Pada perlakuan P1 persentase kehilangan praimplantasinya sebesar 6,67% (5,88±0,02) juga menunjukkan perbedaan yang tidak nyata jika dibandingkan dengan K0, KP0. Namun pada P2 persentase sebesar 22,70% (16,18± 1,29) yang menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan K0, KP0 dan P1. Sedangkan pada perlakuan P3 persentase kehilangan praimplantasi sebesar 16,22% (10,39±1,00) dan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan K0, KP0, dan P1. Pada penelitian ini, P2 merupakan dosis yang cukup optimal dalam menyebabkan kehilangan praimplantasi. Besarnya persentase kehilangan praimplantasi ini diduga karena pemberian MSG mulai 0 hari hingga 16 kehamilan dan berlangsung secara terus menerus tanpa ada

(5)

ng menyat

Eksternal dan Internal pada F

ai pada K0 dan KP0. Pada perlakuan P1 persenta

aitu pada saat proses diferensiasi jaringan lensa d

ang secara vertikal

optik p

i mana sel-sel epitel ekuatorial di bagian posterior yang mengelilingi jaringan lensa tidak mengalami pemanjangan ke arah anterior untuk membentuk serabut lensa primer yang akan menutupi seluruh rongga lensa mata, yang akhirnya akan membentuk serabut lensa sekunder

sehingga lensa mata akan mengecil (Gilbert, 1988).

Rugh (1968) menambahkan bahwa pada hari ke-13 ini serabut-serabut lensa menyelaputi kantung lensa, kemudian lipatan penutup primer mulai terbentuk dan serabut-serabut saraf muncul pada tangkai optik sehingga pada perkembangan selanjutnya serabut lensa ini berkemb

selang interval waktu. Dengan demikian dapat mengganggu tahap perkembangan embrio pada waktu pembelahan, sehingga sel-sel embrional tidak dapat mencapai tahap blatokista yang normal. Hal ini didukung oleh Parthodiharjo (1980) dalam Tampubolon (2000) ya

akan, bahwa perubahan komposisi substansi sangat mempengaruhi pertumbuhan embrio dan apabila substansi yang diperlukan embrio tersebut dimasuki zat atau bahan lain yang sifatnya toksik maka zat atau bahan tersebut dapat memasuki sistem peredaran darah kemudian akan mempengaruhi perkembangan embrio sehingga mengakibatkan embrio mati.

Pengaruh Pemberian MSG terhadap Kejadian Kelainan

etus Mencit Setelah Induk Diberi MSG Secara Gavage pada Umur Kehamilan 0 Hari Hingga 16 Hari. Kejadian kelainan eksternal

pada fetus mencit yang induknya diberi MSG berupa mikropthalmia, anopthalmia, dan acorea, sedangkan kelainan internal yang muncul pada fetus mencit adalah hidrosephalus, yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Kelainan mikropthalmia merupakan kelainan yang terjadi pada bagian mata yang menyebabkan salah satu bagian lensa mengecil pada sebelah kanan ataupun pada sebelah kiri (Taylor, 1968). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, kelainan mikropthalmia tidak dijump

se munculnya kelainan mikropthalmia sebesar 1,11% begitu pula pada P2 persentasenya sebesar 1,82% dan pada P3 menunjukkan peningkatan sebesar 3,75%. Meskipun terjadi sedikit peningkatan persentase kelainan mikropthalmia ini, namun berdasarkan hasil uji statistik tidak berbeda dari kelompok K0 dan KP0.

Keadaan ini menunjukkan bahwa tingkat kejadian munculnya kelainan mikropthalmia ini mungkin belum begitu tinggi sehingga secara analisis statistik Wilcoxon’s rank sum test juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda antara kedua kelompok kontrol. Dalam penelitian ini terlihat bahwa kelainan mikropthalmia tidak disebabkan oleh infeksi dalam rahim seperti sitomegalo virus dan toksoplasmosis, tetapi kelainan mikropthalmia diduga karena pemberian MSG yang mengganggu periode organogenesis mata, y

maupun lateral mengisi rongga mata, sedang menurut Sadler (1993) kelainan mikropthalmia ini merupakan keadaan di mana seluruh mata terlalu kecil dan volume bola mata dapat berkurang sampai dua per tiga dari normal. Biasanya kelainan ini dihubungkan dengan cacat mata lainnya. Mikropthalmia kerapkali merupakan akibat infeksi dalam rahim seperti sitomegalo virus atau toksoplasmosis.

Kelainan anopthalmia merupakan kelainan menyebabkan kehilangan salah satu bagian mata baik sebelah kanan ataupun sebelah kiri (Taylor, 1968). Dari Tabel 3 dapat dilihat, bahwa pada K0 dan KP0 tidak dijumpai adanya kelainan anopthalmia. Pada P1, persentase kejadiannya sebesar 1,11%, pada P2 persentasenya sebesar 1,82%, dan pada P3 persentasenya sebesar 3,75%, meski demikian hasil analisis statistik menunjukkan tidak berbeda nyata dengan K0. Terjadinya kelainan anopthalmia ini diduga disebabkan karena pemberian MSG mengganggu terbentuknya kantung optik primer dari dinding otak depan sehingga plakoda lensa tidak dapat berinvaginasi membentuk kantung lensa dalam proses pembentukan mata, sehingga salah satu bagian mata tidak dapat terbentuk pada saat organogenesis mata. Gilbert (1988) menyatakan bahwa mata terbentuk dari dinding otak depan. Pada bagian anterior membentuk kantung optik primer, kemudian sel-sel mesenkim dari kantung

rimer tersebut akan menginduksi lapisan ektoderm hingga membentuk plakoda lensa. Plakoda lensa tersebut mengalami invaginasi juga membentuk kantung lensa. Plakoda lensa menginduksi kantung optik primer untuk membentuk cawan optik sehingga sel-sel mesenkim dari cawan optik yang berada di bagian posterior akan membentuk tangkai optik sehingga akhirnya membetuk mata.

Kelainan acorea merupakan kelainan pada mata yang disebabkan karena salah satu bagian mata tidak mempunyai lensa mata (Taylor, 1968). Kelainan ini tidak dijumpai pada K0, KP0, dan P1. Sedangkan kelainan acorea ditemukan pada P2 persentasenya sebesar 1,82% dan P3, dan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dari K0l, KP0, dan P1. Terjadinya kelainan acorea ini diduga karena pemberian MSG dapat

(6)

mengga

meningkat sejalan dengan peningkatan dosis

optimal kelainan

hidro ing n hidr

pada kelompok diband

an otak tersebut tidak dapat mengalir menuju ventrikel ke IV kemudian akan hidrosephalus ini disertai dengan adanya

enipisan selaput) ongga

otak (Sa

Tab Rataan pena rgan reprod k mencit pada kehamilan 0 hing setelah

diberi MSG vage lakuan Be n Fetu (g) Ju s J Im si Juml pus Luteum

nggu pembentukan lensa mata yang berasal dari kantung lensa yang akan berkembang membentuk lensa dari periode organogenesis mata sehingga lensa mata gagal terbentuk (Gilbert, 1988). Rugh (1968) menyatakan bahwa pada hari ke-11 kantung lensa mata mulai menutup dari epitel ektoderm bagian kepala sehingga lensa mata mulai muncul keluar, serabut-serabut lensa, dan fisura choroid mulai terbentuk.

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa kelainan hidrosephalus ini tidak dijumpai pada kelompok K0 dan KP0. Tetapi pada P1 dan P2 persentase kejadiannya meningkat sebesar 2,22% dan 7,27%, meski tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dari kelompok K0 dan KP0. Sedangkan pada P3 persentasenya cenderung mengalami peningkatan yang cukup tinggi sebesar 15,00% yang menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan K0, KP0, P1, dan P2. Keadaan ini menunjukkan bahwa tingkat kejadian dari munculnya kelainan hidrosephalus

dengan kelompok kontrol mungkin disebabkan karena MSG yang diberikan pada saat dalam pembentukan otak. Rugh (1968) menyatakan organogenesis otak terjadi pada umur kebuntingan 7 sampai 14 hari. Terjadinya hidrosephalus disebabkan oleh adanya penimbunan cairan otak dalam ventrikel serebrum. Seperti yang diungkapkan oleh Taylor (1968), hidrosephalus ada 2 macam yaitu hidrosephalus internal yang ditandai oleh terjadinya pengumpulan cairan otak secara tidak normal di dalam ventrikel otak, dan hidrosephalus eksternal yang ditandai oleh penimbunan cairan otak di permukaan otak dan durameter. Pada penelitian ini kelainan hidrosephalus yang mucul adalah hidrosephalus internal yaitu hidrosephalus yang disebabkan oleh adanya penimbunan cairan otak pada ventrikel lateral (ventrikel I dan ventrikel II) karena adanya penyumbatan pada rongga otak tengah (mesensephalon) yang disebut akuaduktus silvius sehingga cair

MSG yang diberikan. P3 merupakan dosis yang dalam menyebabkan

terkumpul diventrikel lateral dan biasanya

sephalus. T ginya kejadia

perlakukan jika osephalus ingkan p mantel ( dler, 1993). yang melapisi r

el 1. mpilan o uksi indu ga 16 hari

secara ga

Per rat Bada

s Hidup mlah Fetu Hidup umlah planta ah Kor K0 1,35 aA 9,60 aA 10,00 a 11,60 KP0 1,35 aA 9,40 aA 10,80 a 14,00 1,05 aA 7,80 aA 9,60 a 17,60 1,08 aA P1 P2 5,40 bA 7,40 a 15,80 P3 1,07 aA 5,80abA 8,80a 19,20

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda nyata pada taraf 1% (huruf besar)

rut uji D

Tabel 2. Persentase penampila organ reproduksi induk it pada umur keham 0 hingga 16

hari diberi MSG seca avage

kuan Persent Fetus

Mengalam alformasi

Persentase Kematian Persenta

P i menu uncan (DnMRT) n menc ilan ra g Perla ase i M Intrauterus se Kehilangan raimplantas Embrio Resorb K0 0 (0) 0,80 (1,24±1,06) 3,21 (3,19 ±0,02) KP0 0 P1 (1,93 ±1,17) (5,88 ±0,02) 5,40 (1,93 ±1,17) 22,70* (16,18±1,29) P3 11,05* (2,26±1,40) 8,67* (3,46 ±1,20) 16,22 (10,39 ±1,00) (0) 2,59 (1, 6) 5,00 62±1,0 5,92 (5, ) 6,67 77±0,02 2,05 (1,35±1,10) P2 5,19 (1,71±1,23)

(7)

Keteranga ina al d f ng induknya d a gavage u ilan i lakuan Ju Induk Ju h Fetus Hidup

Jumlah Fetus Mengalami Malformasi (% n: Uji statistik Wilcoxon’s Rank Sum Test

*Berbeda nyata dari ontrol (p<0,05) k

Tabel 3. Kejadian kela n ekstern

r keham

an internal pada 0 hingga 16 har

etus mencit ya iberi MSG secar

pada um Per mlah mla ) Malformasi rnal Ma Internal Ekste lformasi

Mikropthalmia Anopthalmia Acorea Hidrosephalus

K0 5 22 0 0 0 0 KP0 5 22 0 0 5 18 1,11 0 0 1 1,11 0 2,22 P2 1,82 P3 5 16 3,75 P 5 11 1,82 1,82 7,27 3,75 3,75 15,00*

Keterangan: Uji statistik Wilcoxon’s Rank Sum Test *Berbeda nyata dari kontrol (p<0,05)

DAFTAR PUSTAKA

Darma

Frand Gome Harah

Mayes P.A., Gravner alban

Mamalia dan Unggas. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Nizamuddin. 2000. Pengaruh Monosodium Glutamat (MSG) Per Oral terhadap

Sadler TW. 1988. E

ukra

Takas xicological Studies of

Taylor. 1986. Practical Teratology. London: Academic Press.

Yatim W. 1994. Reproduksi dan Embriologi. Bandung: Penerbit Tarsito.

Anggara U. 2000. Aditif Makanan Dan Obat-obatan. Pusat Penyelidikan Racun Negara (USM). Jurnal Kedokteran Malaysia. 2: 19-23 C.

wan I. 2000. Nutrisi dan Makanan Tambahan. Jakarta: Penerbit PT Penebar Swadaya.

Dhindsa KS. 1981. Histological Changes in The Thyroid Gland Induced By Monosodium Glutamat In Mice. An Atlas of Human Anatomy.

son RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi Keempat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

z, Gomez. 1995. Prosedur Penelitian Untuk Penelitian Pertanian. Edidi Ke-2. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

ap R. 2001. Paper Teratologi. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

S Manson J.M, Kang Y.J. 1989. Methods For

Asssing Female Reproduvtive and Development Toxicology in Principles and Methods of Toxicology. Secon Edition. New York: AW Hayes Raven Press, Ltd.

D.K. 1992. Biokimia’ Harper. Edisi Ke-20. Jakarta: Penerbit Penerbit Buku Kedokteran EGC.

dov A.V. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Tam N

Spermatogenesis dan Jumlah Anak Tikus Putih Jantan Dewasa. Jurnal Kedokteran

Yarsi 8: 93-113.

Sabri, E. 1996. Pengaruh Ekstrak Kencur

(Kaempferia galanga L.) terhadap

Perkembangan Prenaral Mencit (Mus

musculus) Swiss Webster Albino. Tesis.

Pascasarjana. ITB. Bandung.

mbriologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Smith JB. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan

Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press.

Sugandi E, Sugiarto. 1994. Rancangan Percobaan. Edisi Pertama. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset.

Suntoro HS. 1983. Metode Pewarnaan. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara.

Y. 2000. Benih Masa Depan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Syhrum MH, Kamaludin. 1994. Reproduksi dan Embriologi, dari Satu Sel Menjadi Organisme. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia .

aki Y. 1979. To

Monosodium Glutamate in Rodents. Japan. bajong J. 1995. Sinopsis Histologis. Jakarta:

Gambar

Tabel 2.   Persentase  penampila organ reproduksi induk  it pada umur keham 0 hingga 16  hari diberi MSG seca avage
Tabel 3.  Kejadian kela n ekstern r keham

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan wawancara peneliti dengan kepala sekolah SMP Negeri 4 Padang pada tanggal 28 Februari 2012, beliau mengatakan siswa didiknya sering bolos sekolah untuk

The purpose of this research is to know how is the condition of tourism in Kediri Residency, to analyse the loyalty level of local tourism who have ever go to Kediri

- Dinilai dari aspek manajemen Koperasi Serba Usaha Karyawan Pemerintah Kota Semarang tahun 2011 adalah termasuk baik dengan hasil skor 11,50 dari keseluruhan skor 15.

Enkripsi adalah suatu proses penyandian yang melakukan perubahan suatu pesan, dari yang dapat dimengerti, disebut dengan plainteks, menjadi suatu kode yang sulit dimengerti,

Masalah yang masih tersisa sehubungan dengan penjabaran ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 ini ialah, apakah setelah MK katakanlah memutuskan bahwa pendapat

Kode Barang Asal-usul Cara Nomor Bahan Nomor Register Merk / Type Ukuran /cc Nama Barang /.

b. Karakteristik individu adalah potensi insani yang masih “tertanam” pada diri setiap individu dan siap untuk dimunculkan. Karakteristik individu diukur melalui alat

Konsep pusat perbelanjaan meliputi jenis toko di dalam pusat perbelanjaan, jumlah toko yang mengisi pusat perbelanjaan dan variasi harga untuk produk, mengingat mayoritas