• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDUAN OPERASI (Operation Manual)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PANDUAN OPERASI (Operation Manual)"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

PT INDONESIA INFRASTRUCTURE FINANCE

PANDUAN OPERASI

(Operation Manual)

L A M P I R A N

S I S T E M M A N A J E M E N

S O S I A L & L I N G K U N G A N

(SEMS)

Desember 2014

(2)

.

“Disclaimer”

Dokumen Lampiran SEMS versi Bahasa Indonesia ini adalah terjemahan bebas (unofficial translation) dari dokumen OM – ANNEXES SEMS PT IIF yang disiapkan dalam bahasa inggris yang ditujukan untuk keperluan sendiri dan kalangan terbatas.

Apabila terjadi perbedaan antara dokumen SEMS versi Bahasa Indonesia dengan versi Bahasa Inggris yang diakibatkan karena masalah alih bahasa dan interpretasi, maka yang berlaku adalah dokumen asli versi Bahasa Inggris.

SEMS PT IIF telah dimutakhirkan pada Bulan Desember 2014 sehingga sesuai dengan IFC “Performance Standar 2012”.

Apabila terdapat pertanyaan terhadap dokumen SEMS ini, harap ditujukan melalui surat elektronik (email) ke: sneteam@iif.co.id

(3)

1

DAFTAR ISI

1

LAMPIRAN A: DAFTAR PENGECUALIAN IIF ... 6

2

LAMPIRAN B: REGULASI REPUBLIK INDONESIA TERKAIT DENGAN

PERLINDUNGAN SOSIAL DAN LINGKUNGAN ... 8

2.1 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan (EML) ... 8

2.1.1 Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) ... 8

2.1.2 Peraturan Lainnya ... 8

2.2 Kutipan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 32/2009 .... 8

3

ANNEX C: PRINSIP-PRINSIP IIF ... 15

3.1. PRINSIP 1: SISTEM MANAJEMEN SOSIAL DAN LINGKUNGAN ... 15

3.1.1 Penilaian Sosial dan Lingkungan ... 16

3.1.2 Program Manajemen ... 17

3.1.3 Kapasitas dan Kompetensi Organisasi ... 19

3.1.4 Pelatihan ... 19

3.1.5 Keterlibatan Pemangku Kepentingan ... 19

3.1.6 Analisis dan Rencana Pelibatan Pemangku Kepentingan ... 19

3.1.7 Pemantauan ... 21

3.1.8 Laporan Eksternal dan Rencana Tindakan ... 21

3.2. PRINSIP 2: TENAGA KERJA DAN KONDISI KERJA ... 22

3.2.1 Kondisi Kerja dan Manajemen Hubungan Karyawan ... 23

3.2.2 Perlindungan Tenaga Kerja ... 24

3.2.3 Kesehatan dan Keselamatan Kerja ... 25

3.2.4 Pekerja Non Karyawan ... 25

3.2.5 Rantai Pasokan ... 26

3.3. PRINSIP 3: PENCEGAHAN DAN PENGURANGAN POLUSI DAN PERUBAHAN IKLIM .. 27

3.3.1. Persyaratan Umum ... 27

3.3.2. Pertimbangan Ambien ... 29

3.3.3. Gas Rumah Kaca ... 30

3.3.4. Konsumsi Air ... 31

3.3.5. Penggunaan dan Pengelolaan Pestisida ... 31

3.4. PRINSIP 4: KESEHATAN, KESELAMATAN DAN KEAMANAN MASYARAKAT/KESELAMATAN BENDUNGAN ... 32

3.4.1. Persyaratan Kesehatan dan Keselamatan Masyarakat ... 32

3.5. PRINSIP 5: PENGADAAN TANAH DAN PEMUKIMAN KEMBALI SECARA PAKSA ... 36

3.5.1. Persyaratan Umum ... 38

3.5.2. Pemindahan ... 39

3.5.3. Kewajiban Sektor Swasta terhadap Program Pemukiman Kembali yang Diprakarsai Pemerintah ... 42

(4)

2

3.6. PRINSIP 6: KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PENGELOLAAN

SUMBERDAYA ALAM ... 44

3.6.1. Perlindungan dan Konservasi Keanekaragaman Hayati ... 44

3.6.2. Pengelolaan Jasa Ekosistem ... 48

3.6.3. Rantai Pasokan ... 49

3.7. PRINSIP 7: MASYARAKAT ADAT/ASLI... 50

3.7.1. Persyaratan Umum ... 50

3.7.2. Mitigasi dan Manfaat Pembangunan ... 52

3.7.3. Persyaratan Khusus ... 52

3.8. PRINSIP 8: KEKAYAAN DAN WARISAN BUDAYA ... 55

3.8.1. Perlindungan Warisan Budaya pada Desain Proyek dan Eksekusi... 55

3.8.2. Proyek yang Menggunakan Warisan Budaya ... 58

4

LAMPIRAN D: KERANGKA ACUAN UNTUK STAF SEU IIF ... 59

5

LAMPIRAN E1: LEMBAR INFORMASI SOSIAL DAN LINGKUNGAN ... 69

6

LAMPIRAN E2: FORMULIR PERMINTAAN INFORMASI ... 71

7

LAMPIRAN F: DAFTAR PERIKSA UNTUK BERBAGAI PROYEK

INFRASTRUKTUR (PEMBANGKIT LISTRIK TERMAL, JALAN DAN JALAN

RAYA, PENYEDIAAN AIR DAN SANITASI) ... 74

8

LAMPIRAN G: PENAPISAN KATEGORI SOSIAL DAN LINGKUNGAN

PROYEK ... 91

9

LAMPIRAN H1: GARIS BESAR LAPORAN ANALISIS DAMPAK

LINGKUNGAN (EIA) ... 93

9.1 Pendahuluan ... 93

9.2 Kerangka Kebijakan, Hukum dan Administrasi ... 93

9.3 Deskripsi Proyek ... 93

9.4 Rona Lingkungan ... 94

9.5 Alternatif-Alternatif ... 94

9.6 Mengantisipasi Dampak Lingkungan dan Usaha-Usaha Mitigasi ... 95

9.7 Penilaian Ekonomi Lingkungan ... 96

9.8 Rencana Manajemen Lingkungan ... 96

9.9 Konsultasi Publik dan Pengungkapan Infomasi ... 96

9.10 Kesimpulan ... 97

9.11 Lampiran-Lampiran ... 97

10

LAMPIRAN H2: RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN ... 98

10.1. Rencana Pengelolaan Lingkungan ... 98

10.2. Mitigasi ... 98

10.3. Pemantauan ... 99

10.4. Pengembangan Kapasitas dan Pelatihan ... 99

10.5. Jadwal Pelaksanaan dan Perkiraan Biaya ... 99

10.6. Integrasi EMP dengan Proyek ... 99

11

LAPORAN I: GARIS BESAR LAPORAN KAJIAN AWAL LINGKUNGAN

(IEE) ... 100

(5)

3

11.2. Deskripsi Proyek ... 100

11.3. Rona Lingkungan ... 100

11.4. Penapisan Potensi Dampak Lingkungan dan Usaha Mitigasi ... 101

11.5. Rencana Pemantauan Lingkungan dan Persyaratan Kelembagaan ... 101

11.6. Konsultasi Publik dan Pengungkapan Informasi... 101

11.7. Temuan-temuan dan Rekomendasi ... 101

11.8. Kesimpulan ... 102

12

LAMPIRAN J: PEDOMAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP 5 (PENGADAAN

TANAH DAN PEMUKIMAN KEMBALI SECARA PAKSA) ... 103

12.1. Prosedur Pengadaan Tanah untuk Proyek-proyek yang Didukung oleh IIF ... 103

12.1.1. Prosedur Pengadaan Tanah menurut Peraturan yang Ada ... 103

12.1.2. Prosedur jika Negosiasi Gagal ... 109

12.1.3. Prosedur untuk Memperoleh Tanah melalui Negosiasi Langsung ... 109

12.2. Jenis Orang yang Terkenda Dampak Proyek (PAP) dan Hak-hak Mereka ... 110

12.2.1. PAP dengan Hak Atas Lahan yang Terkena Proyek ... 110

12.2.2. PAP tanpa Hak Atas Lahan yang Terkena Proyek ... 112

12.3. Ulasan, Persetujuan, Pengungkapan dan Pelaksanaan Rencana Tindakan dan Kerangka Kerja Pemukiman Kembali ... 113

12.4. Pelaksanaan Rencana Tindakan Pemukiman Kembali ... 113

12.5. Isi dari Rencana Tindakan Pemukiman Kembali ... 113

12.6. Isi Rencana Tindakan Pemukiman Kembali secara Ringkas ... 118

12.7. Isi dari Kerangka Kerja Pemukiman Kembali ... 119

13

LAMPIRAN K: PEDOMAN TAMBAHAN UNTUK PELAKSANAAN PRINSIP 7

DAN SARAN RINGKASAN DARI ISI RENCANA PEMBANGUNAN

MASYARAKAT ADAT (IPDP) ... 120

13.1. Peninjauan Kembali, Persetujuan dan Pelaksanaan dari IPDP ... 120

13.2. Pengungkapan ... 120

13.3. Isi dari IPDP ... 120

14

LAMPIRAN L: DAFTAR PERIKSA UNTUK MENENTUKAN PENERAPAN

PRINSIP-PRINSIP IIF ... 123

15

LAMPIRAN M: FORMAT ULASAN SOSIAL DAN LINGKUNGAN (MEMO

KEPADA RMC) ... 131

16

LAMPIRAN N: DAFTAR PERIKSA KUNJUNGAN LAPANGAN DAN

PENCATATAN ... 133

17

LAMPIRAN O: LAPORAN UJI TUNTAS SOSIAL DAN LINGKUNGAN ... 135

18

LAMPIRAN P: PEMANTAUAN & PENGAWASAN ... 138

19

LAMPIRAN Q: LAPORAN TAHUNAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN DARI

PENGEMBANG KEPADA IIF... 142

20

LAMPIRAN R: LAPORAN TAHUNAN PEMANTAUAN PERLINDUNGAN

SOSIAL DARI PENGEMBANG KEPADA IIF... 145

21

LAMPIRAN S: LAPORAN TAHUNAN KINERJA SOSIAL DAN LINGKUNGAN

IIF KEPADA INVESTOR STRATEGIS ... 148

(6)

4

21.2. Manajemen Sosial dan Lingkungan ... 149

21.2.1. Penyusun ESPR ... 149

21.2.2. Penanggungjawab Sosial dan Lingkungan ... 149

21.2.3. Struktur Organisasi dari Departemen ... 149

21.2.4. Hirarki didalam Unit ... 150

21.3. Kepatuhan IIF dengan Persyaratan Sosial dan Lingkungan (seperti yang dipersyaratkan dalam perjanjian pemegang saham) ... 150

21.3.1. Kepatuhan terhadap Perudangan ... 150

21.3.2. Kepatuhan pada Persyaratan IIF ... 150

21.3.3. Kemajuan dari Proyek/Kegiatan yang sedang Berjalan ... 151

21.4. Ringkasan dari Kinerja Keselamatan dan Tindakan Perbaikan ... 152

21.5. Inisiatif Pembangunan yang Berkelanjutan dan Hubungan Masyarakat ... 152

21.6. Garis Besar tentang Rencana Pemukiman Kembali (RAP) untuk Proyek yang dibiayai . 153 21.6.1. Ringkasan Eksekutif ... 153

21.6.2. Deskripsi Proyek ... 153

21.6.3. Ruang Lingkup Pengadaan Tanah dan Pemukiman Kembali ... 153

21.6.4. Profile/Informasi Sosio-ekonomi ... 154

21.6.5. Penyebaran Informasi, Konsultasi, Pendekatan Partisipatif, dan Keterbukaan Informasi 154 21.6.6. Mekanisme Penanganan Keluhan ... 155

21.6.7. Kerangka Kerja Kebijakan dan Hukum ... 155

21.6.8. Hak ... 156

21.7. Relokasi Perumahan dan Pemukiman ... 156

21.8. Pemulihan dan Rehabilitasi Pendapatan ... 156

21.9. Rencana Anggaran dan Pembiayaan ... 157

21.10. Jadwal Pelaksanaan ... 157

21.11. Kerangka Institusional untuk Pemukiman Kembali ... 158

21.12. Pemantauan dan Evaluasi ... 158

22

LAMPIRAN T: LAPORAN PELAKSANAAN/PENYELESAIAN PROYEK ... 159

23

LAMPIRAN U1: CONTOH KERANGKA ACUAN (TOR) (PROYEK-PROYEK

INFRASTRUKTUR) ... 161

23.1. Pendahuluan ... 161

23.2. Ruang Lingkup Laporan Kajian Dampak Lingkungan ... 161

23.3. Kerangka Kerja Regulasi dan Perencanaan ... 162

23.4. Deskripsi Proyek ... 162

23.4.1. Kebutuhan dan Alternatif Proyek ... 162

23.4.2. Komponen dan Pemilihan Tapak Proyek ... 163

23.5. Informasi Rona Awal ... 164

23.5.1. Survei Data Dasar ... 164

23.5.2. Survei Dasar Tambahan ... 164

23.6. Identifikasi dan Prediksi Dampak ... 165

23.7. Kajian Dampak Lingkungan dan Dampak Kumulatif... 165

23.7.1. Informasi Dasar yang diperlukan untuk Kajian Lingkungan ... 166

23.7.2. Kajian Dampak Kumulatif ... 166

23.8. Rencana Pengelolaan Lingkungan ... 167

23.9. Pengawasan Lingkungan ... 167

23.10. Persyaratan Konsultasi Publik ... 167

(7)

5

24

LAMPIRAN U2: KERANGKA ACUAN UNTUK MENYIAPKAN RENCANA

TINDAKAN PEMUKIMAN KEMBALI ... 169

24.1. Tujuan ... 169

24.2. Kerangka Waktu ... 169

24.3. Personel ... 169

24.4. Tugas ... 169

25

LAMPIRAN V: DAFTAR ISI PROSEDUR PENEMUAN TAK TERDUGA ... 172

25.1. Definisi PCR ... 172

25.2. Kepemilikan ... 172

25.3. Pengakuan ... 172

25.4. Prosedur setelah Penemuan ... 172

25.4.1. Penangguhan Pekerjaan ... 172

25.4.2. Pembatasan Lokasi Penemuan ... 173

25.4.3. Tidak Ada Penangguhan Pekerjaan ... 173

25.4.4. Laporan Penemuan Tak Terduga ... 173

25.4.5. Kunjungan dan Tindakan Badan Budaya ... 173

25.4.6. Penangguhan Pekerjaan Lebih Lanjut ... 174

(8)

6

1

LAMPIRAN A: DAFTAR PENGECUALIAN IIF

Daftar kegiatan yang tidak akan dibiayai oleh IIF:

1. Setiap kegiatan dengan penggunaan bahan-bahan radioaktif;

2. Operasi penebangan komersial untuk digunakan di hutan basah primer tropis; 3. Perikanan menggunakan jaring hanyut di lingkungan laut;

4. Introduksi organisme hasil rekayasa genetika; 5. Perjudian, kasino dan perusahaan yang sejenis; 6. Pertambangan atau penggalian karang hidup; 7. Produksi cat mengandung timbal;

8. Produksi atau perdagangan tembakau; 9. Produksi atau perdagangan bahan radioaktif;

10. Produksi atau perdagangan produk yang mengandung Poly Chlorinated Biphenyls (PCB); 11. Produksi atau perdagangan minuman beralkohol;

12. Produksi atau perdagangan senjata dan amunisi;

13. Produksi dan/atau penggunaan produk yang mengandung asbes; 14. Produksi, penyebaran dan penjualan pestisida ilegal;

15. Produksi atau perdagangan atau pemakaian serat asbes tak terikat;

16. Produksi atau perdagangan produk-produk kayu atau kehutanan lainnya dari hutan yang tidak dikelola;

17. Produksi atau perdagangan bahan perusak ozon yang dihapuskan secara bertahap secara internasional;

18. Produksi atau perdagangan obat-obatan yang dilarang secara internasional; 19. Produksi atau perdagangan pestisida/herbisida yang dilarang secara internasional;

20. Produksi atau perdagangan produk atau kegiatan yang dianggap ilegal berdasarkan undang-undang atau peraturan negara tuan rumah atau konvensi dan perjanjian international;

21. Produksi atau kegiatan yang berbahaya atau eksploitatif dari kerja paksa/pekerja anak; 22. Produksi, perdagangan, penyimpanan, atau transportasi bahan kimia berbahaya dalam jumlah

(9)

7

23. Produksi atau kegiatan yang berkenaan dengan tanah yang dimiliki, atau diklaim di bawah putusan pengadilan, oleh masyarakat adat/asli, tanpa dokumen persetujuan dari masyarakat tersebut;

24. Pembelian peralatan penebangan untuk digunakan di hutan primer tropis; 25. Perdagangan satwa liar atau produk satwa liar.

(10)

8

2

LAMPIRAN B: REGULASI REPUBLIK INDONESIA

TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SOSIAL DAN

LINGKUNGAN

2.1

Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan (EML)

1. Peraturan terkait proses Amdal di Indonesia untuk setiap kegiatan atau proyek yang berpotensi memiliki dampak lingkungan yang signifikan adalah Undang-Undang No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 15 tentang persyaratan penilaian dampak lingkungan. Regulasi baru terkait pengelolaan lingkungan, yaitu Undang-Undang No. 32/2009, diterbitkan pada tahun 2009 sebagai pengganti Undang-Undang No. 23/1997. Peraturan Pemerintah No. 27/1999 memberikan pedoman rinci dari sistem Amdal tersebut.

2. Pasal 10 dari EML 2009 memperhitungkan nilai-nilai agama, budaya dan tradisi dan norma-norma hidup masyarakat, perlindungan sumber daya alam, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.

3. Berdasarkan pasal 22 undang-undang tersebut, setiap rencana usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) (prosedur izin tersebut digambarkan dalam Lampiran E)

2.1.1

Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)

4. Peraturan pemerintah tentang Amdal menekankan bahwa Amdal adalah salah satu syarat perizinan, dimana para pengambil keputusan harus mempertimbangkan hasil kajian sebelum memberikan izin untuk usaha/kegiatan.

5. IIF akan mengikuti prosedur ini sebagai bagian dari penilaian dari proyek.

2.1.2

Peraturan Lainnya

6. Peraturan lain sebagaimana diamanatkan dari waktu ke waktu oleh hukum dan peraturan yang berlaku, yang berkaitan dengan pembebasan tanah sama pentingnya dalam SEMS. Dalam kasus konflik antara persyaratan berdasarkan Bagian ini dengan hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia, sebagai perusahaan keuangan yang beroperasi di Indonesia, IIF akan mematuhi hukum dan peraturan di Indonesia dan hukum tersebut kedudukannya akan selalu berada di atas setiap saat.

2.2

Kutipan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup 32/2009

Bagian II: Tujuan Pasal 3

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:

a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

(11)

9

b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;

c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;

e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;

g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;

h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan

j. mengantisipasi isu lingkungan global.

Bagian III: Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH)

Pasal 9

1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri atas: a. RPPLH nasional;

b. RPPLH provinsi; dan c. RPPLH kabupaten/kota.

2) RPPLH nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun berdasarkan inventarisasi nasional.

3) RPPLH provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun berdasarkan: a. RPPLH nasional;

b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan c. inventarisasi tingkat ekoregion.

4) RPPLH kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun berdasarkan: a. RPPLH provinsi;

b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan c. inventarisasi tingkat ekoregion.

Pasal 10

1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 disusun oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

2) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan: a. keragaman karakter dan fungsi ekologis;

b. sebaran penduduk;

c. sebaran potensi sumber daya alam; d. kearifan lokal;

e. aspirasi masyarakat; dan f. perubahan iklim.

3) RPPLH diatur dengan:

a. peraturan pemerintah untuk RPPLH nasional;

(12)

10

c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk RPPLH kabupaten/kota 4) RPPLH memuat rencana tentang:

a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;

b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup; c. pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya

alam; dan

d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.a government regulation for national RPPLH; 5) RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan

rencana pembangunan jangka menengah.

Pasal 14

Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas: a. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS);

b. tata ruang;

c. baku mutu lingkungan hidup;

d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup; e. Amdal;

f. UKL-UPL; g. perizinan;

h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;

i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; j. anggaran berbasis lingkungan hidup;

k. analisis risiko lingkungan hidup; l. audit lingkungan hidup; dan

m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.

Paragraf 5 Amdal

Pasal 22

1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal.

2) Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:

a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. luas wilayah penyebaran dampak;

c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e. sifat kumulatif dampak;

f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau

g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 23

1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan Amdal terdiri atas:

(13)

11

b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan.

c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya.

d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya.

e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya.

f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik. g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati.

h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara.

i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.

2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 24

Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup.

Pasal 25

Dokumen Amdal memuat:

a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan. b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan.

c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.

d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan.

e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup.

f. rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Pasal 26

1) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.

2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.

3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. yang terkena dampak;

b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau

c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal.

4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal.

Pasal 27

Dalam menyusun dokumen Amdal, pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat meminta bantuan kepada pihak lain.

(14)

12

Pasal 28

1) Penyusun Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal.

2) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. penguasaan metodologi penyusunan Amdal;

b. kemampuan melakukan pelingkupan, prakiraan, dan evaluasi dampak serta pengambilan keputusan; dan

c. kemampuan menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

3) Sertifikat kompetensi penyusun Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi penyusun Amdal yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria kompetensi penyusun Amdal diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 29

1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

2) Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

3) Persyaratan dan tatacara lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 30

1) Keanggotaan Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 terdiri atas wakil dari unsur:

a. instansi lingkungan hidup; b. instansi teknis terkait;

c. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;

d. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;

e. wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan f. organisasi lingkungan hidup.

2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas pakar independen yang melakukan kajian teknis dan secretariat yang dibentuk untuk itu.

3) Pakar independen dan secretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 31

Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 32

1) Pemerintah dan pemerintah daerah membantu penyusunan Amdal bagi usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup.

(15)

13

2) Bantuan penyusunan Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi, biaya, dan/atau penyusunan amdal.

3) Kriteria mengenai usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 33

Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Prosedur perizinan AMDAL di Indonesia:

 Komisi Penilai Amdal dibentuk oleh Menteri (di Tingkat Nasional) atau oleh Gubernur (di Tingkat Provinsi)

 Komisi Penilai di Tingkat Nasional terdiri atas perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Tata Ruang, Kementerian Riset dan Teknologi, Pemerintah Provinsi/Daerah, Pakar dalam bidang pengelolaan lingkungan dan sektor terkait lainnya, masyarakat terdampak, dan pemangku kepentingan lain yang dibutuhkan.

 Komisi Penilai di Tingkat Provinsi/Daerah terdiri atas perwakilan dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Tata Ruang, Dinas Kesehatan, Pemerintah Pusat yang terkait dengan jenis rencana usaha/kegiatan, masyarakat terkena dampak, Pusat Studi Lingkungan dari Universitas di lokasi terkait dan pemangku kepentingan lain yang dibutuhkan.

 Jenis rencana usaha/kegiatan yang dievaluasi oleh Komisi Penilai Amdal Tingkat Nasional:  Usaha/kegiatan strategis yang terkait dengan pertahanan dan keamanan negara;  Usaha/kegiatan yang berlokasi di lebih dari satu wilayah provinsi;

 Usaha/kegiatan yang berlokasi di wilayah Negara Kesatuan yang sedang dalam sengketa dengan negara lain;

 Usaha/kegiatan yang berlokasi di wilayah laut lebih dari 12 (duabelas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas; dan/atau

 Usaha/kegiatan yang berlokasi di lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan negara lain.

 Sementara itu, komisi Penilai Amdal Tingkat Provinsi melakukan evaluasi untuk usaha/kegiatan di luar kriteria tersebut.

 Ringkasan Amdal meliputi lingkup studi atau penilaian (area sosial, area ekologis, area administratif) dan rencana tindakan.

 Di Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup juga bertindak sebagai Kepala Biro Lingkungan Hidup Nasional.

(16)

14

(17)

15

3

ANNEX C: PRINSIP-PRINSIP IIF

3.1.

PRINSIP 1: SISTEM MANAJEMEN SOSIAL DAN LINGKUNGAN

1. Prinsip 1 menggarisbawahi pentingnya mengelola kinerja sosial dan lingkungan selama usia proyek (beberapa kegiatan bisnis yang menjadi bagian untuk dikaji dan dikelola). Sistem manajemen sosial dan lingkungan yang efektif merupakan proses yang dinamis, berkesinambungan yang diprakarsai oleh manajemen dan melibatkan komunikasi antara klien, pekerja/karyawan dan masyarakat lokal yang terdampak langsung oleh proyek (masyarakat terdampak). Elemen yang menggambarkan proses manajemen bisnis yang mapan mulai dari “merencanakan, menerapkan, memeriksa dan mengatur”, sistem tersebut memerlukan penilaian menyeluruh terhadap potensi dampak dan risiko sosial dan lingkungan dari tahap awal pengembangan proyek dan secara teratur dan konsisten mengurangi dan mengelola dampak tersebut secara berkelanjutan. Sistem manajemen yang baik adalah yang sesuai dengan skala dan sifat proyek dalam mendorong kinerja sosial dan lingkungan yang berkelanjutan sehingga proyek mampu meningkatkan keuangan dan kondisi sosial dan lingkungan. Prinsip-prinsip ini berlaku untuk proyek-proyek dengan dampak dan risiko sosial dan lingkungan yang seharusnya dapat dikelola, pada tahap awal pengembangan proyek dan seterusnya. 2. Klien akan menyusun dan memelihara Sistem Manajemen Sosial dan Lingkungan (SEMS) yang sesuai dengan sifat dan skala proyek yang sesuai dengan tingkat dampak dan risiko sosial dan lingkungan. Sistem Manajemen Sosial dan Lingkungan merupakan gabungan dari elemen-elemen berikut:

(i) Penapisan dan kategorisasi proyek; (ii) Penilaian sosial dan lingkungan;

(iii) Program manajemen sosial dan lingkungan; (iv) Kapasitas dan kompetensi organisasi; (v) Pelatihan;

(vi) Kesiapsiagaan dan tanggap darurat; (vii) Keterlibatan pemangku kepentingan; (viii) Pemantauan dan peninjauan; dan (ix) Pelaporan.

3. Hak asasi manusia harus dihormati untuk menghindari pelanggaran terhadap hak asasi manusia lain dan menangani dampak merugikan terhadap hak asasi manusia yang mungkin ditimbulkan atau disebabkan oleh perusahaan. Masing-masing prinsip memiliki unsur-unsur yang berkaitan dengan aspek hak asasi, yang mungkin dijumpai proyek dalam menjalankan operasinya. Isu-isu hak asasi manuasia yang berkaitan dengan proyek akan dapat diatasi melalui uji tuntas terhadap prinsip-prinisip tersebut.

(18)

16

3.1.1

Penilaian Sosial dan Lingkungan

4. Klien akan melakukan proses penilaian sosial dan lingkungan dengan akan mempertimbangkan potensi dampak dan risiko proyek terhadap sosial dan lingkungan (termasuk tenaga kerja, kesehatan dan keamanan kerja) secara terpadu. Proses penilaian ini akan didasari pada informasi yang ada saat ini, termasuk deskripsi proyek yang sesuai dan data rona sosial dan lingkungan. Penilaian ini akan mempertimbangkan semua risiko dan dampak proyek terhadap sosial dan lingkungan, termasuk isu-isu yang teridentifikasi dalam Prinsip 2 hingga 8, dan pihak-pihak yang terdampak terhadap proyek. Peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dimana proyek beroperasi yang berkaitan dengan aspek sosial dan lingkungan, termasuk undang-undang yang diberlakukan di Indonesia menurut hukum internasional juga akan dipertimbangkan.

5. Risiko dan dampak akan dianalisa dalam lingkup wilayah yang terpengaruh oleh proyek. Wilayah yang terpengaruh ini meliputi:

(i) Lokasi utama proyek dan fasilitas-fasilitas terkait yang dibangun atau dikelola oleh klien (termasuk kontraktor-kontraktor), seperti koridor kabel transmisi, jaringan pipa, kanal-kanal, terowongan-terowongan, akses dan pengalihan jalan, area pembuangan dan asrama pekerja;

(ii) Fasilitas-fasilitas terkait (“Associated Facilities”) yang tidak dibiayai sebagai bagian dari proyek (pembiayaan dapat diberikan secara terpisah oleh klien atau pihak ketiga, termasuk pemerintah), dan kelangsungan dan keberadaan fasilitas tersebut bergantung pada proyek serta barang dan jasa yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas tersebut didalam mendukung keberhasilan proyek;

(iii) Daerah-daerah yang potensial terdampak oleh dampak kumulatif dari pengembangan proyek yang direncanakan lebih lanjut, proyek atau kondisi apapun saat itu dan perkembangan proyek lain yang secara realistik didefinisikan pada saat kajian sosial dan lingkungan tersebut dilakukan;

(iv) Daerah-daerah yang berpotensi terdampak dari hal-hal yang tidak direncanakan, namun dapat diprediksi yang disebabkan oleh proyek yang dapat terjadi kemudian atau di lokasi yang berbeda. Wilayah yang terpengaruh tidak termasuk sebagai dampak potensial yang akan terjadi tanpa proyek atau terlepas dari proyek; dan

(v) Dampak tidak langsung dari proyek terhadap keanekaragaman hayati atau jasa ekosistem, dimana penghidupan masyarakat bergantung pada ekosistem tersebut.

6. Risiko dan dampak juga akan dianalisis berdasarkan tahapan utama dari siklus proyek, termasuk pra-konstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi. Penilaian juga akan mempertimbangkan peran dan kapasitas dari pihak ketiga (seperti pemerintah pusat dan daerah, kontraktor dan pemasok), sejauh keberadaan mereka menjadi risiko untuk proyek, dan harus diakui bahwa klien harus mengelola risiko dan dampak tersebut sesuai dengan kontrol dan pengaruh klien terhadap kegiatan dari pihak ketiga. Dampak-dampak yang berkaitan dengan rantai pasokan akan dipertimbangkan dimana sumberdaya yang digunakan oleh proyek bersifat rentan secara ekologis, atau dalam kasus dimana biaya tenaga kerja yang rendah menjadi sebuah faktor daya saing terhadap barang yang dipasok. Penilaian juga akan mempertimbangkan potensi dampak lintas batas, seperti polusi udara, atau polusi terhadap saluran pembawa (“waterways”) internasional, serta dampak global, seperti emisi gas rumah kaca (GHG).

(19)

17

7. Penilaian seharusnya menampilkan dan mengevaluasi isu-isu secara memadai, akurat dan objektif yang disiapkan oleh tenaga ahli yang berkualitas dan berpengalaman. Untuk proyek yang memiliki dampak negatif penting atau dampak teknis yang kompleks, klien dapat diminta untuk tetap mempertahankan keberadaan tenaga ahli eksternal untuk membantu dalam proses penilaian tersebut. 8. Tergantung pada tipe proyek dan sifat serta besaran risiko dan dampak, proyek mungkin akan membutuhkan penilaian dampak sosial dan lingkungan dengan skala penuh, penilaian sosial dan lingkungan yang hanya terbatas atau terfokus, atau penerapan langsung pada rona lingkungan, baku mutu polusi, kriteria desain atau standar konstruksi. Ketika proyek melibatkan aktivitas bisnis yang telah ada, audit terhadap kinerja sosial dan lingkungan mungkin dibutuhkan untuk melihat bagian yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Jenis isu, risiko dan dampak akan dikaji, cakupan keterlibatan para pemangku kepentingan juga sangat bervariasi, tergantung dari sifat proyek dan kapasitas, lokasi dan tahapan proyek.

9. Proyek dengan potensi dampak negatif penting yang dinilai beragam, tidak berbalik (“irreversible”), atau belum pernah terjadi sebelumnya akan dikaji dampak sosial dan lingkungannya secara komprehensif. Kajian ini akan mencakup pengujian alternatif secara teknis dan layak secara finansial1 terhadap sumber dampak tersebut, dokumen-dokumen lain yang rasional untuk menentukan

tindakan perbaikan yang diperlukan. Dalam kasus lain, penilaian secara regional, sektoral dan strategis kadang diperlukan.

10. Kajian dengan lingkup yang lebih kecil dapat dilakukan untuk proyek dengan dampak yang terbatas, dampak yang berbalik (“reversible”) dan secara umum dapat ditangani melalui tindakan mitigasi.

11. Proyek dengan dampak minimal atau tidak merugikan tidak dikenai penilaian lebih jauh di luar identifikasi mereka.

12. Sebagai bagian dari penilaian, klien akan mengidentifkasi individu-individu dan kelompok yang memiliki pemahaman lain terhadap proyek karena mereka yang dirugikan atau memang mereka merupakan kelompok rentan2. Bila kelompok-kelompok yang diindentifikasi sebagai kelompok yang

dirugikan atau rentan, klien akan mengusulkan dan menerapkan tindakan yang berbeda sehingga dampak negatif tidak berpengaruh secara proporsional kepada mereka dan mereka tidak dirugikan dalam berbagi manfaat dan peluang.

3.1.2

Program Manajemen

13. Dengan mempertimbangkan temuan dari hasil penilaian sosial dan lingkungan dan hasil konsultasi dengan masyarakat terdampak, klien akan menetapkan dan mengelola program untuk

1 Kelayakan teknis adalah berdasarkan pada apakah upaya dan tindakan yang diusulkan dapat dilaksanakan dengan keahlian, peralatan dan bahan-bahan yang tersedia secara ekonomi, mempertimbangkan faktor lokal yang ada seperti iklim, geografi, demografi, infrastruktur, keamanan, tata kelola, kapasitas dan keandalan operasional. "Kelayakan finansial" didasarkan pada pertimbangan komersial, termasuk besaran biaya inkremental yang relatif besar untuk mengadopsi tindakan dan tindakan tersebut dibandingkan dengan biaya investasi, operasi dan pemeliharaan proyek dan apakah biaya tambahan ini dapat membuat proyek tidak layak kepada klien.

2 Status ini mungkin berasal dari ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat individu, atau asal usul, atau kelahiran, atau status lainnya dari orang atau ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, Klien juga harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti jenis kelamin, etnisitas, budaya, penyakit, cacat fisik atau mental, kemiskinan atau kerugian ekonomi, dan ketergantungan pada sumber daya alam yang unik.

(20)

18

memitigasi dan meningkatkan kinerja untuk menangani risiko dan dampak sosial dan lingkungan yang telah teridentifikasi (program manajemen).

14. Program manajemen terdiri dari kombinasi kebijakan operasional, prosedur, dan pelaksanaan. Program ini dapat diterapkan secara umum di seluruh organisasi klien atau pada lokasi, fasilitas dan kegiatan-kegiatan khusus. Langkah-langkah dan tindakan untuk mengatasi dampak dan risiko yang teridentifikasi. Langkah-langkah dan tindakan untuk mengatasi dampak dan risiko yang teridentifikasi akan bermanfaat untuk menghindari dan mencegah dampak dengan memininimalkan dampak, mitigasi, atau kompensasi, yang layak secara teknis maupun finansial. Jika risiko-risiko dan dampak tidak dapat dihindari atau dicegah, maka langkah-langkah dan tindakan mitigasi akan diidentifikasi sehingga proyek tetap dapat beroperasi dengan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan memenuhi persyaratan Prinsip 1 sampai 8. Tingkat kerincian dan kerumitan dari program ini serta tindakan dan upaya yang diprioritaskan ini akan sepadan dengan risiko dan dampak-dampak proyek.

15. Program akan menentukan hasil yang ingin dicapai sejauh mungkin dengan beberapa elemen, seperti indikator kinerja, target atau kriteria yang diterima yang dapat dipantau selama periode waktu yang ditentukan, dan dengan estimasi sumberdaya dan tanggung jawab dalam pelaksanaannya. Memahami bahwa dinamika proses pengembangan dan pelaksanaan proyek, program akan fleksibel terhadap perubahan kondisi proyek , kejadian yang tidak terduga dan hasil pemantauan.

3.1.2.1 Rencana Tindakan

16. Apabila klien mengidentifikasi tindakan mitigasi spesifik yang diperlukan supaya proyek mematuhi undang-undang dan peraturan yang berlaku dan untuk memenuhi persyaratan Prinsip 1 sampai 8, maka klien akan menyiapkan rencana tindakan. Upaya dan tindakan ini akan mencerminkan hasil konsultasi mengenai risiko dan dampak negatif sosial dan lingkungan dan upaya serta tindakan yang diusulkan untuk menangani hal tersebut. Rencana tindakan dapat berupa penjelasan singkat tentang langkah-langkah mitigasi rutin terhadap serangkaian rencana spesifik3. Rencana tindakan

akan:

i. menjelaskan tindakan yang diperlukan untuk menerapkan berbagai langkah upaya mitigasi atau tindakan perbaikan yang akan dilakukan;

ii. prioritas tindakan-tindakan tersebut; iii. memasukkan jangka waktu pelaksanaan;

iv. mengungkapkan kepada masyarakat terdampak;

v. menjelaskan jadwal dan mekanisme pelaporan kepada pihak luar atas pelaksanaan Rencana Tindakan perbaikan klien.

3 Sebagai contoh, Rencana Tindakan Pemukiman Kembali, Rencana Tindakan Keanekaragaman Hayati, Rencana Pengelolaan Bahan Berbahaya & Beracun, Rencana Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat, Rencana Kesehatan Masyarakat dan Keselamatan, dan Rencana Pembangunan Masyarakat Adat.

(21)

19

3.1.3

Kapasitas dan Kompetensi Organisasi

17. Klien akan membangun, menjaga dan meningkatkan struktur organisasi sesuai dengan kebutuhannya, mulai dari tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melaksanakan program manajemen, termasuk rencana tindakan. Personel khusus, termasuk perwakilan dari manajemen, perlu memiliki pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman yang diperlukan dalam melakukan pekerjaan mereka, termasuk pengetahunan terkini terhadap kewajiban terhadap peraturan di Indonesia, termasuk batas tanggung jawab dan wewenang yang jelas yang perlu direncanakan. Tanggung jawab sosial dan lingkungan yang utama harus ditentukan dan dikomunikasikan dengan benar ke personel yang relavan dan ke bagian organisasi yang lain. Manajemen sponsor dan departeman sumber daya manusia dan keuangan yang memadai akan memberikan kesinambungan untuk mencapai kinerja sosial dan lingkungan yang efektif dan berkelanjutan.

18. Proses identifikasi risiko dan dampak sosial dan lingungan terdiri dari evaluasi dan presentasi yang memadai, akurat dan obyektif yang disusun oleh profesional yang berkompeten.

3.1.4

Pelatihan

19. Klien akan melatih karyawan dan kontraktor-kontraktor yang memiliki tanggung jawab langsung dalam kegiatan yang berkaitan dengan kinerja sosial dan lingkungan sehingga mereka akan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam melakukan pekerjaan mereka, termasuk pengetahunan terkini terhadap kewajiban untuk peraturan di negara tuan rumah dan kewajiban yang sesuai dengan persyaratan pada Prinsip 1 hingga 8. Pelatihan juga akan membahas upaya dan tindakan khusus yang dipersyaratkan dalam program manajemen, termasuk rencana tindakan, metode yang kompeten dan efisien.

3.1.5

Keterlibatan Pemangku Kepentingan

20. Hubungan yang kuat, saling membangun dan saling menanggapi antara klien IIF dengan masyarakat terdampak sangat penting dalam mencapai keberhasilan proyek dalam mengelola dampak sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, keterlibatan pemangku kepentingan merupakan dasar dalam mencapai tujuan tersebut.

21. Keterlibatan pemangku kepentingan merupakan proses yang berkelanjutan dengan melibatkan bermacam tingkatan elemen, mulai dari analisis dan perencanaan pemangku kepentingan, pengungkapan dan penyebaran informasi, konsultasi dan partisipasi, mekansime pengaduan dan pelaporan berkelanjutan kepada masyarakat terdampak. Sifat, frekuensi dan tingkat usaha dalam melibatkan pemangku kepentingan dapat sangat bervariasi dan akan disesuaikan dengan risiko dan dampak proyek serta tahapan dari proyek tersebut.

3.1.6

Analisis dan Rencana Pelibatan Pemangku Kepentingan

22. Klien IIF akan mengidentifikasi berbagai pemangku kepentingan yang mungkin berkepentingan terhadap kegiatan mereka dan memperhatikan bagaimana melakukan komunikasi eksternal yang dapat memfasilitasi dialog dengan para pemangku kepentingan. Jika memungkinkan, Rencana Pelibatan Pemangku Kepentingan (SEP) akan dikembangkan dan dilakukan sesuai dengan risiko dan dampak proyek serta tahapan proyek, dan disesuaikan dengan karakteristik dan kepentingan

(22)

20

masyarakat terdampak. Jika dimungkinkan, SEP akan mencakup tindakan yang sesuai dalam mengantisipasi mereka yang diidentifikasi sebagai orang yang dirugikan dan rentan. Bila proses keterlibatan pemangku kepentingan hanya bergantung pada perwakilan masyarakat, maka klien perlu melakukan upaya yang masuk akal untuk memverifikasi bahwa orang tersebut memang mewakili pandangan masyarakat terdampak dan mereka dapat diandalkan untuk berkomitmen mengkomunikasikan hasil konsultasi kepada konstituen mereka.

3.1.6.1 Pengungkapan

23. Pengungkapan informasi yang relevan dengan proyek akan membantu masyarakat dan pemangku kepentingan memahami risiko, dampak dan kesempatan dari proyek. Apabila klien telah melakukan proses kajian sosial dan lingkungan, klien akan secara terbuka mengungkapkan dokumen kajian tersebut. Klien akan memberikan akses kepada masyarakat terdampak terhadap informasi yang terkait dengan tujuan, sifat dan skala proyek, durasi rencana kegiatan/proyek dan potensi risiko dan dampak kepada masyarakat. Untuk proyek-proyek dengan dampak sosial dan lingkungan yang merugikan, pengungkapan informasi harus dilakukan di awal proses penilaian sosial dan lingkungan dan pada setiap kesempatan sebelum konstruksi proyek dimulai dan dilakukan secara berkelanjutan.

3.1.6.2 Konsultasi

24. Jika masyarakat terdampak merupakan masyarakat terdampak negatif dari suatu proyek, klien akan melakukan proses konsultasi dengan cara memberikan kesempatan kepada masyarakat terdampak untuk mengemukakan pandangan mereka terkait risiko dan dampak proyek serta tindakan mitigasinya, termasuk mempertimbangkan dan meresponnya. Konsultasi yang efektif adalah proses dua arah yang seharusnya:

(i) berdasarkan pada pengungkapan informasi yang relevan dan memadai sebelumnya, termasuk konsep dokumen dan rencana-rencana;

(ii) dimulai sejak awal proses penilaian sosial dan lingkungan;

(iii) akan berfokus pada risiko dan dampak negatif terhadap sosial dan lingkungan dan perencanaan usaha-usaha mitigasi dan kegiatan yang direncanakan untuk mengatasi hal tersebut;

(iv) akan dilakukan secara berkelanjutan seiring dengan risiko dan dampak yang timbul. Proses konsultasi akan dilakukan dengan cara yang inklusif dan sesuai budaya; dan

(v) bebas dari manipulasi, gangguan, pemaksaan dan intimidasi dari pihak luar.

25. Klien akan menyesuaikan proses konsultasi dengan menggunakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat terdampak, proses mereka mengambil keputusan dan kebutuhan kelompok-kelompok yang dirugikan dan rentan.

26. Untuk proyek dengan dampak negatif penting terhadap masyarakat terdampak, proses konsultasi harus memastikan terjadinya keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan dan proses fasilitasi terhadap mereka. Partisipasi yang terbuka perlu dikelola dalam sebuah konsultasi yang berulang, yang dapat mendorong klien agar bisa menyertakan pandangan masyarakat terdampak ke dalam pembuatan keputusan klien, terutama untuk hal-hal yang sangat berpengaruh kepada masyarakat terdampak secara langsung, seperti upaya-upaya mitigasi, bagi hasil keuntungan dan peluang-peluang, serta masalah pelaksanaan. Klien harus mendokumentasikan prosesnya, terutama pada upaya yang dilakukan untuk menghindari atau mengurangi risiko dan dampak yang merugikan masyarakat terdampak.

(23)

21

27. Proses konsultasi harus menangkap pandangan laki-laki dan perempuan dan mencerminkan perbedaan kepentingan antara laki-laki dan perempuan mengenai dampak, mekanisme mitigasi dan keuntungan.

3.1.6.3 Mekanisme Penanganan Keluhan

28. Klien akan menanggapi kekhawatiran masyarakat terkena dampak terkait dengan proyek. Jika klien mengantisipasi risiko dan dampak negatif yang sedang menimpa masyarakat terdampak, klien akan menyusun mekanisme keluhan untuk menerima dan memfasilitasi penyelesaian masalah dan keluhan masyarakat terdampak atas kinerja sosial dan lingkungan klien. Mekanisme penanganan keluhan sehurusnya disesuaikan dengan risiko dan dampak negatif yang akan menimpa masyarakat sebagai pengguna utamanya. Keluhan harus ditangani dengan segera, menggunakan proses yang dapat dimengerti dan transparan sesuai dengan budaya dan mudah untuk diakses oleh semua segmen masyarakat terdampak dan tanpa biaya dan retribusi. Mekanisme tersebut tidak menghalangi akses terhadap proses yudisial atau perbaikan administrasi. Klien akan menginformasikan kepada masyarakat terdampak tentang mekanisme ini didalam proses keterlibatan pemangku kepentingan.

3.1.7

Pemantauan

29. Sebagai sebuah unsur dalam sistem manajemen, klien akan menyiapkan prosedur untuk memantau dan mengukur efektifitas dari program manajemen. Selain mencatat informasi yang relevan untuk melacak kinerja dan menetapkan kendali operasional, klien perlu menggunakan mekanisme yang dinamis, seperti inspeksi dan audit, jika memungkinkan untuk memverifikasi kepatuhan dan kemajuan terhadap hasil yang diinginkan. Struktur ogranisasi memerlukan orang-orang dengan kemampuan yang sesuai dalam mengawasi program pemantauan dan menerima hasil penilaian berkala terhadap efektivitas program manajemen, berdasarkan pengumpulan dan analisis data yang sistematis. Untuk proyek yang menimbulkan dampak penting, yang beragam, tidak berbalik atau yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka klien akan diminta untuk mempertahankan seorang ahli eksternal yang berkualitas dan berpengalaman untuk memverifikasi informasi hasil pemantauan. Tingkat pemantauan harus sepadan dengan risiko dan dampak proyek dan terhadap persyaratan dan kepatauhan yang menjadi kewajiban proyek. Pemantauan harus disesuaikan berdasarkan dengan pengalaman dan umpan balik kinerja. Klien akan mendokumentasikan hasil pemantauan dan mengidentifikasi serta menunjukkan tindakan perbaikan dan pencegahan yang diperlukan dalam program manajemen yang telah diubah. Klien akan menerapkan tindakan perbaikan dan pencegahan serta menindaklanjuti tindakan tersebut untuk memastikan kehandalannya.

3.1.8

Laporan Eksternal dan Rencana Tindakan

30. Klien akan mengungkapkan rencana tindakan kepada masyarakat terdampak. Selain itu, klien akan memberikan laporan berkala yang menggambarkan kemajuan dalam pelaksanaan rencana tindakan terkait dengan isu-isu yang mencakup risiko atau dampak yang berkelanjutan kepada masyarakat tedampak, dan pada isu-isu dalam proses konsultasi atau pengaduan/keluhan masyarakat yang telah diindentifikasi untuk menjadi perhatian masyarakat. Jika program manajemen menghasilkan perubahan atau penambahan terhadap usaha-usaha mitigasi terkait isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat terdampak, maka usaha-usaha mitigasi dan tindakan perbaikan yang baru juga akan diungkapkan. Laporan tersebut akan dalam format yang dapat diakses oleh masyarakat terdampak. Frekuensi laporan ini akan proporsional dengan kekhawatiran masyarakt terdampak, namun sekurang-kurangnya setahun sekali.

(24)

22

3.2.

PRINSIP 2: TENAGA KERJA DAN KONDISI KERJA

31. Prinsip 2 pada dasarnya memperkenalkan konsep bahwa perlindungan terhadap hak-hak dasar para pekerja harus sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Melalui peningkatan hubungan pekerja – manajemen, dan dengan memperlakukan para pekerja secara adil dan menyediakan lingkungan kerja yang aman dan sehat, klien akan mendapatkan keuntungan-keuntungan yang nyata (“tangible”). Kegagalan dalam membentuk dan meningkatkan hubungan pekerja – manajemen yang kuat dan sehat dapat melemahkan komitmen serta ketahanan pekerja yang pada akhirnya dapat membahayakan keberlangsungan sebuah proyek.

32. Adapun penerapan Prinsip ini akan ditentukan pada saat proses penilaian aspek-aspek Sosial dan Lingkungan, dimana pelaksanaan dari tindakan-tindakan yang perlu dilakukan agar memenuhi persyaratan-persyaratan yang terdapat di dalam Prinsip ini, dikelola melalui sebuah Sistem Manajemen Sosial dan Lingkungan (SEMS) yang dimiliki atau dikembangkan oleh klien IIF. persyaratan terkait penilaian dan manajemen sistem dijelaskan lebih lanjut pada Prinsip 1. Persyaratan-persyaratan yang dijelaskan di dalam Prinsip ini disusun berdasarkan sejumlah perjanjian internasional yang telah melalui proses negosiasi melalui “International Labour Organization” (ILO) dan “United Nations” (PBB)4.

33. Adapun kata “pekerja” yang dimaksud dalam prinsip ini adalah karyawan dari klien IIF atau pengembang, termasuk para pekerja yang bukan merupakan karyawan. Penerapan prinsip ini akan bergantung kepada jenis pekerja, sebagai berikut:

 Karyawan: Seluruh persyaratan-persyaratan Prinsip ini, kecuali persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam Bagian 3.2.2 dan 3.2.3 harus diterapkan;

 Pekerja yang bukan karyawan: persyaratan-persyaratan Bagian 3.2.4 harus diterapkan. 34. Isu-isu terkait Rantai Pasokan5 terdapat di Bagian 3.2.5.

4 Konvensi-konvensi tersebut adalah:

ILO Convention 87 on Freedom of Association and Protection of the Right to Organize ILO Convention 98 on the Right to Organize and Collective Bargaining

ILO Convention 29 on Forced Labour

ILO Convention 105 on the Abolition of Forced Labour ILO Convention 138 on Minimum Age (of Employment) ILO Convention 182 on the Worst Forms of Child Labour ILO Convention 100 on Equal Remuneration

ILO Convention 111 on Discrimination (Employment and Occupation) United Nations Convention on the Rights of the Child, Article 32.1

UN Convention on the Protection of the Rights of all Migrant Workers and Members of their Families

(25)

23

3.2.1

Kondisi Kerja dan Manajemen Hubungan Karyawan

3.2.1.1 Kebijakan dan Prosedur terkait Sumber Daya Manusia

35. Klien IIF akan menerapkan kebijakan dan prosedur terkait sumber daya manusia sesuai dengan ukuran perusahaan maupun banyaknya pekerja yang dilakukan perusahaan untuk mengelola karyawan sesuai dengan persyaratan-persyaratan dalam Prinsip ini. Di dalam kebijakan ini, klien IIF akan menyediakan informasi kepada para karyawan terkait hak-hak mereka berdasarkan Undang-undang maupun peraturan terkait ketenagakerjaan yang berlaku, termasuk hak-hak terkait upah dan tunjangan. Kebijakan ini harus jelas dan dapat dimengerti oleh karyawan dan harus dijelaskan atau dapat diakses oleh setiap karyawan sebelum karyawan tersebut dipekerjakan.

3.2.1.2 Hubungan Kerja

36. Klien IIF akan mendokumentasikan serta mengkomunikasikan kepada seluruh karyawan maupun karyawan yang dikontrak secara langsung oleh klien IIF terkait kondisi kerja dan perjanjian kerja termasuk hak mereka terkait upah dan tunjangan.

3.2.1.3 Kondisi Kerja dan Perjanjian Kerja

37. Disaat klien IIF berada dalam posisi sebagai pihak yang melakukan negosiasi terkait perjanjian kerjasama dengan organisasi pekerja, perjanjian tersebut harus dijunjung tinggi oleh klien IIF. Apabila tidak terdapat perjanjian kerja, atau apabila perjanjian tersebut tidak mengatur hal-hal terkait kondisi kerja dan perjanjian kerja (diantaranya upah dan tunjangan, waktu kerja, pengaturan serta kompensasi lembur, cuti terkait sakit, melahirkan, liburan atau hari libur), klien IIF harus menyediakan kondisi kerja dan perjanjian kerja yang memenuhi syarat-syarat perundangan nasional.

38. Klien IIF harus mengidentifikasi apabila terindikasi adanya pekerja migran, dimana klien IIF harus memastikan bahwa mereka dipekerjakan dengan kebijakan/kontrak kerja yang sejajar dengan para pekerja bukan migran yang melakukan pekerjaan sejenis.

39. Klien akan melaksanakan kebijakan terkait kualitas serta pengelolaan akomodasi dan penyediaan fasilitas umum (dasar) apabila akomodasi disediakan kepada para pekerja. Penyediaan akomodasi tersebut diberikan secara konsisten sesuai dengan prinsip-prinsip tidak ada diskriminasi dan kesempatan yang berimbang. Pengaturan akomodasi hendaknya tidak membatasi gerak pekerja untuk membentuk asosiasi/organisasi.

3.2.1.4 Organisasi Pekerja

40. Di negara dimana sudah terdapat Undang-Undang terkait hak-hak para pekerja untuk membentuk dan bergabung dengan organisasi/serikat pekerja yang mereka pilih tanpa campur tangan untuk bernegosiasi (tawar-menawar) secara kolektif, klien IIF akan mengikuti peraturan perundangan yang berlaku tersebut. Apabila, peraturan perundangan yang berlaku melarang pekerja untuk berorganisasi, klien IIF tidak akan menghalangi apabila pekerja ingin menyampaikan keluhan mereka dan melindungi hak mereka terkait kondisi kerja dan kontrak kerja. Klien tidak boleh mempengaruhi ataupun mengkontrol mekanisme ini.

41. Dalam kasus seperti disebut di atas, dan jika tidak ada peraturan perundangan nasional yang mengatur hal ini, klien IIF tidak boleh melarang atau menghambat para pekerja membentuk atau bergabung ke dalam organisasi pekerja (serikat) pilihan mereka atau untuk melakukan negosiasi (tawar-menawar) secara kolektif, dan tidak akan mendiskriminasi atau melakukan tindakan

(26)

24

pembalasan terhadap para pekerja yang terlibat, atau hendak berpartisipasi ke dalam organisasi tersebut dan untuk bernegosiasi secara kolektif.

3.2.1.5 Tidak Ada Diskriminasi dan Kesempatan yang Setara

42. Klien IIF tidak akan membuat keputusan terkait perekrutan karyawan berdasarkan karakter pribadi yang tidak ada hubungannya dengan tugas dan fungsinya dalam pekerjaan. Klien IIF akan membina hubungan pekerjaan berdasarkan prinsip kesempatan yang sama dan perlakuan yang adil, dan tidak akan mendiskriminasi terkait hubungan pekerjaan, termasuk di dalamnya terkait proses perekrutan dan penandatanganan kontrak kerja, kompensasi (termasuk upah dan tunjangan), kondisi kerja dan kontrak kerja, akses terhadap pelatihan, promosi, pemberhentian kerja atau pensiun, dan tindakan disiplin lainnya. Klien akan melakukan upaya untuk mencegah serta menyikapi adanya pelecehan, intimidasi, dan/atau eksploitasi, terutama terhadap wanita. Prinsip-prinsip tidak ada diskriminasi ini juga berlaku untuk pekerja migran.

43. Di negara dimana sudah terdapat Undang-undang terkait tidak ada diskriminasi dalam mempekerjakan karyawan, klien IIF akan mengikuti peraturan perundangan yang berlaku tersebut. Apabila tidak ada Undang-undang terkait tidak ada diskriminasi dalam mempekerjakan karyawan, klien IIF akan memenuhi Prinsip ini. Upaya-upaya khusus untuk melindungi atau membantu pemulihan adanya kejadian diskriminasi di masa lalu atau adanya pemilihan fungsi khusus berdasarkan jenis pekerjaan tertentu tidak dinyatakan sebagai diskriminasi.

3.2.1.6 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

44. Klien IIF akan menyusun rencana PHK termasuk di dalamnya memitigasi dampak negatif dari proses PHK terhadap karyawan untuk mengantisipasi penghilangan sejumlah pekerjaan atau pelepasan sejumlah karyawan secara signifikan. Rencana tersebut harus berdasarkan prinsip tidak ada diskriminasi dan mencerminkan proses konsultasi klien IIF dengan karyawan, organisasi mereka dan, apabila dianggap perlu, dengan pemerintah.

3.2.1.7 Mekanisme Penanganan Keluhan

45. Klien IIF akan menyusun mekanisme penanganan keluhan untuk para pekerja (dan organisasi mereka, apabila ada) terkait dengan hal-hal yang memerlukan perhatian di tempat kerja. Klien IIF akan menginformasikan kepada para pekerja terkait mekanisme penanganan keluhan pada saat mereka dipekerjakan, dan dokumen tersebut mudah untuk diakses oleh para pekerja. Mekanisme ini harus melibatkan pihak manajemen dan dalam penanganan yang menjadi perhatian para pekerja harus secara tepat, menggunakan proses yang mudah dimengerti dan transparan yang memberikan umpan balik kepada keluhan/yang menjadi perhatian dari para pekerja, tanpa adanya imbal/balas jasa. Mekanisme ini juga harus mengakomodasi adanya keluhan anonim yang perlu diangkat dan diselesaikan. Mekanisme ini tidak boleh menghalangi proses pengambilan jalur hukum atau prosedur arbitrase, atau mekanisme alternatif (pengganti mekanisme penanganan keluhan) yang telah ditetapkan di perjanjian kerjasama (dengan serikat pekerja).

3.2.2

Perlindungan Tenaga Kerja

3.2.2.1 Pekerja Anak

46. Klien IIF tidak akan mengeksploitasi pekerja anak, atau apabila anak tersebut dihadapkan pada kondisi bahaya atau pekerjaan tersebut mengganggu proses pendidikan anak tersebut atau

(27)

25

membahayakan kesehatan anak tersebut baik secara fisik, mental, spiritual atau perkembangan sosial mereka. Klien akan mengidentifikasi apabila ada pekerja yang berumur di bawah 18 tahun. Apabila, perundangan nasional memiliki payung hukum terkait mempekerjakan anak di bawah umur, klien IIF harus tunduk dan patuh terhadap perundangan yang berlaku. Anak-anak berusia di bawah 18 tahun tidak boleh dipekerjakan untuk jenis-jenis pekerjaan yang berbahaya. Seluruh jenis pekerjaan yang melibatkan anak-anak di bawah 18 tahun harus dilakukan penilaian risiko yang tepat serta dilakukan pengawasan yang ketat terkait kondisi kesehatan, kondisi tempat kerja serta waktu kerjanya.

3.2.2.2 Pekeja Paksa

47. Klien IIF tidak akan mempekerjakan pekerja paksa untuk jenis pekerjaan atau jasa apapun yang dilakukan oleh seseorang dibawah ancaman atau pemberian denda. Hal ini mencakup segala jenis pekerjaan yang bersifat paksaan dan wajib, seperti pekerja paksa (wajib), pekerjaan yang mengikat atau kontrak-kontrak kerja serupa. Klien IIF tidak akan mempekerjakan orang-orang yang diperdagangkan (perdagangan orang).6

3.2.3

Kesehatan dan Keselamatan Kerja

48. Klien IIF akan menyediakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi para pekerja, dengan memperhitungkan risiko bawaan dari sektor industrinya serta memperhatikan jenis-jenis bahaya spesifik yang terdapat di dalam lingkungan pekerjaan klien IIF, termasuk bahaya fisik, kimia, biologi serta radiasi dan ancaman khusus bagi wanita. Klien IIF akan mengambil tindakan-tindakan bertahap untuk mencegah terjadinya kecelakaan, cedera dan penyebaran penyakit dari, atau terkait oleh, atau muncul akibat dari pekerjaan tersebut dengan cara meminimalisasi penyebab bahaya sewajar mungkin. Klien IIF akan menangani aspek-aspek diantaranya: identifikasi potensi bahaya terhadap pekerja, terutama hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan jiwa, menyediakan alat-alat dan tindakan pencegahan, termasuk diantaranya modifikasi, mengganti atau menghilangkan kondisi-kondisi atau bahan-bahan berbahaya; pelatihan terhadap para pekerja; dokumentasi serta pelaporan kecelakaan kerja, penyakit serta insiden; pencegahan, kesiapan serta tanggapan pada saat keadaan darurat. Ini semua dilakukan secara konsisten mengikuti praktik industri international yang baik (“good international industry practice”7).

3.2.4

Pekerja Non Karyawan

49. Untuk tujuan dari Prinsip ini, “pekerja non-karyawan” mengacu pada pekerja yang (i) dikontrak langsung oleh klien, atau dikontrak melalui kontraktor atau perantara lainnya; dan (ii) pekerja yang

6 Perdagangan orang adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan

ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Wanita dan anak-anak biasanya rentan terhadap perdagangan orang.

7 Didefinisikan sebagai pelatihan atas keterampilan profesi, ketekunan, kebijaksanaan dan tinjauan ke masa depan yang

sewajarnya diharapkan dari para profesional yang terampil dan berpengalaman dibidangnya apabila dilibatkan dan dihadapkan dalam keadaan yang sama secara global.

(28)

26

langsung berhubungan dengan fungsi penting terhadap produk atau jasa klien untuk durasi yang cukup lama. Kebijakan dan prosedur untuk mengelola dan memantau kinerja pekerja tersebut dalam kaitannya dengan persyaratan Prinsip ini akan dibentuk oleh klien. Ketika klien IIF mempekerjakan pekerja non-karyawan secara langsung, klien IIF akan menggunakan upaya yang wajar secara komersial untuk menerapkan persyaratan Prinsip ini, kecuali pada Bagian 3.2.1.1, 3.2.1.6 dan Bagian 3.2.5. Sehubungan dengan kontraktor atau perantara lainnya untuk pengadaan pekerja non karyawan, klien IIF akan menggunakan upaya yang wajar secara komersial untuk: (i) memastikan bahwa kontraktor atau perantara tersebut merupakan perusahaan terkemuka dan sah; dan (ii) mengharuskan kontraktor atau perantara tersebut menerapkan persyaratan Prinsip ini kecuali untuk Bagian 3.2.1.1, 3.2.1.6 dan 3.2.1.7

50. Pekerja Non-karyawan harus memiliki akses ke mekanisme keluhan. Klien harus memperpanjang fungsi mekanisme penanganan keluhan untuk mencakup pekerja non-karyawan dalam kasus apabila perusahaan dimana mereka dipekerjakan tidak memiliki mekanisme penanganan keluhan.

3.2.5

Rantai Pasokan

51. Dampak buruk yang terkait dengan rantai pasokan harus dipertimbangkan, dimana biaya tenaga kerja rendah merupakan faktor utama dalam daya saing terhadap produk/jasa yang disediakan. Klien harus mengetahui serta memberi perhatian khusus terkait adanya pekerja anak dan kerja paksa di rantai pasokan utama8, agar konsisten dengan Bagian 3.2.2.1 dan 3.2.2.2 di atas. Jika

terindikasi/teridentifikasi adanya kasus pekerja anak atau kerja paksa, klien akan mengambil langkah yang tepat untuk melakukan tindakan perbaikan. Klien akan memantau rantai pasokan utamanya secara terus menerus untuk mengidentifikasi adanya perubahan signifikan dalam rantai pasokan dan jika terdapat risiko baru atau insiden terkait pekerja anak dan / atau kerja paksa yang teridentifikasi, klien akan mengambil langkah yang tepat untuk mengatasinya.

52. Sejauh yang berlaku, relevan dan memungkinkan, klien akan memperkenalkan prosedur dan langkah-langkah mitigasi untuk memastikan bahwa pemasok utama dalam rantai pasokan mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau untuk memperbaiki situasi yang membahayakan jiwa jika ada risiko yang tinggi terhadap masalah keamanan yang signifikan terkait dengan rantai pasokan pekerja . Kemampuan klien untuk sepenuhnya mengatasi risiko ini akan tergantung pada tingkat kontrol manajemen klien atau pengaruh atas pemasok utama. Dimana proses perbaikan tidak memungkinkan, klien akan mempertimbangkan untuk mengganti rantai pasokan utama proyek dari waktu ke waktu kepada pemasok yang dapat menunjukkan bahwa mereka mematuhi Prinsip ini.

8 Pemasok utama adalah para pemasok yang, secara berkelanjutan, menyediakan barang atau bahan penting untuk

(29)

27

3.3.

PRINSIP 3: PENCEGAHAN DAN PENGURANGAN POLUSI DAN

PERUBAHAN IKLIM

53. Prinsip 3 mengakui bahwa peningkatan kegiatan ekonomi dan urbanisasi sering menghasilkan peningkatan polusi udara, air, dan tanah, dan mengkonsumsi sumber daya yang terbatas dengan cara yang dapat mengancam masyarakat dan lingkungan di tingkat lokal, regional, dan global9. Di sisi lain,

bersama dengan perdagangan internasional, pencegahan polusi dan teknologi kontrol dan praktiknya menjadi lebih mudah diakses dan dapat dicapai di hampir semua bagian dunia. Ada juga konsensus global yang berkembang bahwa konsentrasi atmosfer saat ini dan proyeksi gas rumah kaca (GRK) mengancam kesehatan masyarakat dan kesejahteraan generasi sekarang dan yang akan datang. Pada saat yang sama, lebih efisien dan efektif dalam penggunaan sumber daya dan pencegahan polusi10 dan gas rumah kaca untuk menghindari emisi dan mitigasi teknologi dan praktiknya telah

menjadi lebih mudah diakses dan dapat dicapai di hampir semua bagian dunia.

54. Prinsip ini menjelaskan tentang pendekatan tingkat proyek untuk efisiensi sumber daya dan pencegahan polusi dan kontrolnya, sejalan dengan teknologi dan prakteknya yang disebarluaskan secara internasional. Selain itu, Prinsip ini juga meningkatkan kemampuan sektor swasta untuk mengintegrasikan teknologi dan praktiknya, sejauh mana penggunaannya secara teknis dan finansial layak dan hemat biaya dalam konteks sebuah proyek yang mengandalkan keterampilan dan sumber daya yang tersedia secara komersial.

55. Penerapan Prinsip ini dimulai selama proses identifikasi risiko dan dampak Sosial dan Lingkungan, sedangkan pelaksanaan tindakan yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan Prinsip ini dikelola melalui Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Sosial klien. Persyaratan penilaian dan sistem manajemen telah diuraikan dalam Prinsip 1.

3.3.1.

Persyaratan Umum

56. Selama desain, konstruksi, operasi dan paska operasi proyek (siklus hidup proyek) klien akan mempertimbangkan kondisi sekitar dan menerapkan efisiensi sumber daya yang layak secara teknis dan finansial, dan prinsip-prinsip pencegahan polusi dan teknologi yang paling cocok untuk menghindari atau, di mana penghindaran tidak dimungkinkan, meminimalkan atau mengurangi dampak buruk pada kesehatan manusia dan lingkungan, namun tetap layak secara teknis dan biaya yang efektif11. Prinsip-prinsip dan teknik yang diterapkan selama siklus hidup proyek akan disesuaikan

dengan bahaya dan risiko yang terkait dengan sifat proyek dan konsisten dengan praktik industri

9 Untuk keperluan Prinsip ini, istilah “polusi” digunakan untuk merujuk pada polutan berbahaya dan tidak berbahaya dalam

bentuk padat, cair, atau bentuk gas, dan dimaksudkan untuk mencakup bentuk-bentuk lain seperti bau yang tidak sedap, kebisingan, getaran, radiasi, energi elektromagnetik, dan penciptaan potensi dampak visual termasuk cahaya.

10 Untuk tujuan Prinsip ini, istilah “pencegahan polusi” tidak berarti penghapusan mutlak emisi, tapi menghindari pada

sumbernya apabila memungkinkan, dan, jika tidak memungkinkan, meminimalikan agar selanjutnya polusi memen uhi tujuan Prinsip.

11 Kelayakan teknis didasarkan pada langkah-langkah dan tindakan yang diusulkan dapat dilaksanakan dengan

keterampilan, peralatan, dan bahan yang tersedia secara komersial, dengan mempertimbangkan faktor-faktor lokal seperti iklim, geografi, infrastruktur, keamanan, pemerintahan, kapasitas dan kehandalan operasional yang berlaku. Kelayakan finansial didasarkan pada pertimbangan komersial, termasuk relatif besarnya penambahan biaya untuk mengadopsi langkah-langkah dan tindakan dibandingkan dengan biaya investasi, operasional, dan pemeliharaan proyek.

Gambar

Tabel 7.1: Daftar Periksa untuk Pembangkit Listrik Termal
Tabel 7.2: Daftar Periksa untuk Proyek Jalan Raya dan Jalan
Tabel 7.3: Daftar Periksa untuk Proyek Pengadaan Air
Tabel 7.4: Daftar Periksa untuk Proyek Sanitasi Air
+6

Referensi

Dokumen terkait

Karena tingkat signifikansi di bawah 0,05 dapat disimpulkan bahwa variabel Tehnologi informasi dan Sumber Daya Manusia berpengaruh signfikan secara bersama-sama

Industri pangan mempunyai tanggung jawab langsung dalam pencapaian status kesehatan dan gizi masyarakat yang lebih baik dalam perannya sebagai penyedia produk

Perjanjian Pembiayaan Al-Murabahah adalah bentuk perjanjian jual beli barang antara pihak Bank dalam hal ini adalah penjual dan pihak pembeli dalam hal ini adalah Nasabah,

Tingkat kepuasan pengguna jasa layanan dalam penelitian ini mencakup aspek kualitas informasi, kualitas sistem, kualitas pelayanan, kepuasan pengguna, dan loyalitas pengguna

Penelitian tentang produksi selulase dari ampas tebu sudah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya oleh referensi [8] yang membuat enzim selulase dari ampas

dari pemegang hak cipta.. iii Universitas Indonesia.. iv Universitas Indonesia.. v Universitas Indonesia Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena

Menimbang : bahwa sebagai tindak lanjut pasal 8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pengelompokan Kemampuan Keuangan Daerah, Penganggaran dan

Pada sistem ini anak tidak juga diajarkan pada pembelajaran seperti sekolah lain, dan disini juga diberikan muatan pengetahuan tentang agama seperti mengaji,