• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKERASAN DALAM PACARAN DAN GEJALA DEPRESI PADA REMAJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEKERASAN DALAM PACARAN DAN GEJALA DEPRESI PADA REMAJA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

173

DAN GEJALA DEPRESI PADA REMAJA

Ni’mah Rahmawati Nurislami, Rachmat Hargono

Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga

Email: nimahrahma78@gmail.com

Abstract: Lately,the prevalency of violence in dating was increase and the impact was signifi cance to

the adolescence development, especially in mental health. Therefore, it was important to fi nd out the effects of violence in dating especially on the impact of depressive symptoms and for prevention of the worse psychological disorders. This research focusing to see relationship between violence in dating and depressive sypmtoms experienced by adolescents. The population in this research consist of high school adolescent who hador in relationship and age range 15 to 19 years old. However, sample to be used in this undergraduate thesis are 69 adolescents which are 28 boys and 41 girls. Data collection instruments to be used are questionnaires for the tendency of conducting for violence in dating was measured by Confl ict in Adolescent Dating Relationships Inventory (CADRI), while measuring instrument depressive symptoms using the Beck Depression Inventory (BDI II). Statistical analysis were Spearman correlation with signifi cance level α = 0.05. The result of spearman test, signifi cance correlation between dating in violence with depression symtomps is 0,756 (p < 0,05). It meaning that violence in dating were signifi cant to the depressionin X High Schools in Surabaya.

Keywords: adolescence, dating violence, depression symptoms

Abstrak: Fenomena kekerasan dalam pacaran menunjukkan peningkatan prevalensi dan dampaknya yang signifi kan pada perkembangan remaja terutama pada kesehatan mental. Penelitian mengenai dampak kekerasan dalam pacaran terhadap terhadap munculnya gejala depresif pada remaja penting dilakukan sebagai upaya pencegahan timbulnya gangguan psikologis yang lebih buruk. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara kekerasan dalam pacaran dengan gejala depresif yang dialami remaja. Penelitian ini dilakukan pada remaja laki-laki dan perempuan dengan kriteria pernah atau sedang berpacaran, pernah mengalami kekerasan dalam pacaran, dan berusia di antara 15-19 tahun. Adapun subjek penelitian yang menjadi sampel adalah 69 orang dengan distribusi responden laki-laki 28 orang dan responden perempuan sebanyak 41 orang. Variabel kekerasan dalam pacaran diukur dengan alat ukur yang diterjemahkan dari Confl ict in Adolescent Dating Relationships Inventory (CADRI), sedangkan alat ukur gejala depresi dengan menggunakan kuesioner Beck Depression Inventory (BDI II). Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik korelasi Spearman, dengan tingkat kepercayaan α = 0,05. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa nilai signifi kansi kekerasan dalam pacaran dengan gejala depresi adalah = 0,756 (p < 0,05.) Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa terdapat hubungan antara kekerasan dalam pacaran dengan gejala depresi pada remaja SMA X di Kota Surabaya.

Kata kunci: remaja, kekerasan dalam pacaran, gejala depresi PENDAHULUAN

Kekerasan dalam pacaran beberapa dekade terakhir, telah menjadi persoalan kesehatan di masyarakat. Banyak bukti menyatakan bahwa dating violence di antara pelajar lebih meluas dari pada sebelumnya, dan memiliki konsekuensi terhadap perkembangan remaja. Meskipun secara terbatas dikonsepkan sebagai kekuatan fi sik, dating violence sekarang lebih luas dikenal sebagai sebuah abuse di mana mulai dari kekerasan emosional dan verbal sampai

pada perkosaan dan pembunuhan (Meadows, 2004).

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) di dalam laporan pertengahan tahun 2012 menyebutkan bahwa dari bulan Januari sampai dengan Juli 2012, sudah terjadi peristiwa 20 kasus anak bunuh diri. Penyebab bunuh diri terbanyak adalah urusan putus cinta remaja atau kekerasan dalam pacaran (delapan kasus), frustasi akibat ekonomi (tujuh kasus), anak yang berasal dari

(2)

keluarga yang tidak harmonis (empat kasus) dan masalah sekolah (satu kasus). Dating violence sendiri memiliki angka yang tinggi pada usia remaja. Hal diatas diperkuat oleh data statistik yang mengindikasikan bahwa remaja memiliki risiko yang lebih besar untuk terlibat dalam kekerasan dalam hubungan pacaran dibandingkan dengan orang dewasa (Straus, 2004). Bahkan remaja awal, akan lebih sering menjadi korban kekerasan dibandingkan dengan remaja akhir. Kekerasan merupakan segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan dan pelecehan fisik maupun psikologis (Baron dan Byrne, 2005). Tindak kekerasan terdapat beberapa jenis yaitu secara fi sik, psikis, serta seksual. Setiap kekerasan dapat menimbulkan efek jangka pendek maupun jangka panjang.

Kekerasan dapat terjadi pada siapa saja, tidak hanya terjadi pada perempuan saja atau hanya pada lelaki saja. Kekerasan dapat terjadi pada berbagai tingkatan usia, seperti pembagian perkembangan remaja awal, tengah maupun remaja akhir. Kekerasan pun tidak mengenal strata sosial dan status hubungan misalnya dalam pernikahan ataupun dalam masa pacaran. Kekerasan dapat terjadi ketika seseorang menjalani proses pacaran (dating violence) namun kekerasan dalam pacaran ini seringkali tidak terekspos dan biasanya disembunyikan oleh korbannya. Bahkan seringkali tidak disadari oleh korban yang telah mengalami kekerasan dalam pacaran.

Menurut Luthra, R. & Gidycz, C.A (2006), sedikit penelitian yang meneliti mengenai pengaruh acceptance of dating violence pada korban kekerasan dan masalah kesehatan mental. Selain itu terdapat hubungan negatif antara tingkat penerimaan kekerasan dan tingkat kesehatan mental berupa depresi ringan ataupun stress pada korban. Korban kekerasan pada pacaran dan diperlakukan dengan kasar, maka kesehatan mental mereka (depresi, kecemasan, dan somatik) juga terganggu. Beberapa kasus kekerasan dalam pacaran lebih sering disembunyikan terkadang tanpa sengaja terungkap. Hanya 33% dari korban yang mengakui bahwa terdapat kekerasan dalam hubungan pacaran mereka.

Dampak bagi para korban adalah dapat berupa luka psikologis, fi sik hingga kematian. Dampak psikologis yang ditunjukkan korban adalah gejala-gejala depresi, antara lain menjadi rendah diri, merasa sedih, bingung, malu, cemas, rasa bersalah, tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, kehilangan nafsu makan, hingga keinginan dan usaha untuk bunuh diri. Banyak korban yang tidak melaporkan kekerasan dalam pacaran yang dialaminya dan beberapa masih bertahan menjalin hubungannya dengan pasangan dengan berbagai alasan. Mengingat sulitnya korban untuk menceritakan dan terlebih tidak menyadari sebagai korban tindakan kekerasan karena terlalu sayang maka bila hal ini terus berlanjut dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan tubuh dan juga kesehatan mental seseorang.

Hanya sedikit dari beberapa korban yang mengadukan kasusnya ke pihak Komnas anak ataupun pada beberapa LSM yang peduli terhadap perilaku remaja tidak terkecuali berkaitan dengan keluhan kekerasan dalam pacaran. Penelitian di Kota Surabaya sendiri, pada tahun 2011 khususnya pada remaja beberapa laporan dari PKBI kota Surabaya menyebutkan bahwa pengaduan tentang kekerasan dalam pacaran juga semakin tinggi tiap tahunnya, terjadi peningkatan aduan sekitar 40% dari tahun 2010 ke 2011 yakni dari 25 kasus aduan menjadi 35 kasus yang di laporkan. Selain itu menurut data Riskedas (2013), angka gangguan mental emosional yang dialami oleh remaja >15 tahun di Jawa Timur memiliki nilai 6,5% diatas nilai cut of point di Indonesia yakni 6%. Peneliti tertarik untuk meneliti hubungan kekerasan dalam pacaran dengan depresi yang dialami oleh remaja di Surabaya. Karena Surabaya sebagai salah satu kota besar dan sekaligus ibu kota Jawa Timur dan memiliki sumber stressor yang tinggi serta pergaulan remaja saat ini yang memicu terjadinya kekerasan dalam pacaran dan memberikan dampak depresi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional. Penelitian ini dilakukan

(3)

di SMA X sebagai salah satu SMA yang direkomendasikan salah satu LSM remaja di surabaya dan memiliki kecenderungan memiliki perilaku bermasalah dan kasus-premarital salah satunya berhubungan dengan kekerasan dalam pacaran. Responden penelitian ini adalah siswa SMA X sesuai dengan syarat inklusi yakni berusia antara 15–19 tahun (Hurlock, 1990), sedang atau pernah berpacaran dan pernah atau sedang mengalami kekerasan dalam pacaran, dan bersedia menjadi responden penelitian. Studi pendahuluan dilakukan untuk menentukan responden yang memenuhi kriteria dan mengetahui jumlah responden yang hendak diambil populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI, siswa kelas X dan XII tidak masuk kriteria inklusi karena kelas X tidak diizinkan mengikuti penelitian ini dan kelas XII tengah sibuk mempersiapkan UNAS.

Berdasarkan data awal penentuan populasi penelitian, didapatkan informasi bahwa dari 125 siswa yang mengisi kuesioner didapatkan 104 siswa yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran. Penentuan sampel penelitian ditentukan dari metode Isaac and Michael 104 siswa diambil 69 siswa sebagai sampel penelitian.

A l a t y a n g d i g u n a k a n d a l a m pengumpulan data adalah kuesioner yang diberikan kepada responden. Kuesioner yang diberikan berupa data karakteristik individu responden, kuesioner modifi kasi terjemahan Confl ict in Adolescent Dating Relationships Inventory (CADRI), (Wolfe, dkk, 2005) yang telah diuji validasi yakni tentang tingkat kekerasan dalam pacaran berupa kekerasan ancaman, kekerasan relasi, kekerasan verbal emosional, kekerasan fi sik dan juga kekerasan seksual. Kuesioner untuk mengukur gejala depresi menggunakan modifikasi kuesioner Beck Depression Inventory I (BDI II) yang memang sesuai dengan responden usia lebih dari 13 tahun ke atas. (Cooper, 2010).

Variabel dependen pada penelitian ini adalah gejala depresi yang diukur dengan kuesioner dari BDI II sebagai akibat dari kekerasan dalam pacaran yang dialami remaja di SMA X di Surabaya. Sedangkan

variabel independen adalah tingkat kekerasan dalam pacaran yang dialami remaja.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari uji Spearman. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan Confi dent Interval (CI) sebesar 95% (Kelana, 2011). Uji Spearman digunakan untuk melihat hubungan antara variabel dependen dan independen yakni hubungan antara kekerasan dalam pacaran dengan gejala depresi. Sebelum dilakukannya analisis data, terlebih dahulu dilakukan proses skoring.

Proses skoring dilakukan dengan cara menjumlahkan total jawaban yang dipilih oleh responden berdasarkan tingkat kekerasan dalam pacaran dari pernah mengalami kekerasan 1–2 kali selama pacaran, pernah mengalami 3–5 kali kekerasan selama pacaran hingga pernah mengalami lebih dari 6 kali kekerasan selama pacaran. Pada gejala depresi juga merupakan hal yang dirasakan responden setelah mengalami kekerasan dalam pacaran kemudian dikategorikan dengan nilai 0–9 adalah normal, 10–15 adalah kategori ringan, 16–23 adalah kategori sedang dan > 24 adalah kategori berat.

HASIL

Kekerasan yang dialami baik berupa kekerasan verbal emosional, relasi, ancaman, fi sik maupun seksual baik berupa kategori ringan, sedang, maupun berat. 83% siswa yang pernah atau sedang berpacaran pernah mengalami kekerasan dalam pacaran oleh pasangannya.

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin pada tabel 1 diketahui bahwa antara responden laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan jumlah frekuensi pernah mengalami kekerasan lebih banyak responden perempuan dibanding responden laki-laki. Yakni responden perempuan sebanyak 59,4% dan responden laki-laki sebanyak 40,6% sehingga perbandingan antara responden adalah 2 perempuan dibanding 1 laki-laki.

(4)

Tabel 1. K a r a k t e r i s t i k R e s p o n d e n berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, Status Pacaran, Lama Pacaran, dan Pengeluaran selama Pacaran Karakteristik Frekuensi (%) Jenis Kelamin Laki-laki 28 40,6 Perempuan 41 59,4 Umur 15 1 1,4 16 28 40,6 17 34 49,3 18 5 7,2 19 1 1,4 Status Pacaran Sedang Berpacaran 62 89,9 Pernah Berpacaran 7 10,1 Lama Pacaran 19 1–6 bulan 27 39,1 7–12 bulan 18 26,1 13–18 bulan 12 17,4 >18 bulan 12 17,4 Pengeluaran selama Pacaran 20 31,7 Rp 0 47 68,1 Rp 5.000–Rp 49.000 14 20,2 Rp 50.000–Rp 99.000 5 7,2 Rp 100.000–Rp 150.000 3 4,3

Karakteristik responden berdasarkan umur pada tabel 1 menunjukkan informasi bahwa responden paling banyak berusia 17 tahun yakni 49,3% dan umur 16 tahun sebanyak 40,6%. Responden yang berusia Responden termuda berusia 15 tahun sebanyak 1,4% dan responden tertua yakni 19 tahun sebanyak 1,4%.

Karakteristik responden berdasarkan status pacaran menunjukkan informasi

bahwa frekuensi terbanyak adalah responden yang sedang berada pada hubungan berpacaran yakni sebanyak 89,9% dan responden yang pernah pacaran adalah sebanyak 10,1%.

Karakteristik responden berdasarkan lama pacaran dengan frekuensi terbanyak adalah 1–6 bulan pertama pacaran dan frekuensi terkecil adalah enam bulan ketiga dan keempat lama pacaran yakni 13–18 bulan dan >18 bulan yakni sama-sama 17,4%.

Karakteristik responden berdasarkan pengeluaran selama pacaran yakni frekuensi terbanyak adalah tidak ada pengeluaran untuk pacaran sebanyak 68% pada kategori pengeluaran Rp 5.000–Rp 49.000 sebanyak 20,2% dan frekuensi paling kecil adalah pengeluaran Rp 100.000–Rp 150.000 yakni sebanyak 4,3%. Sehingga sampel pada penelitian ini adalah mayoritas remaja perempuan yang berusia remaja pertengahan dan juga mayoritas sedang berpacaran. Selain itu mayoritas berada pada 6 bulan pertama pacaran serta mayoritas pengeluaran terkecil adalah Rp 5.000–Rp 49.000.

Tabel 2 menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa proporsi distribusi kategori kekerasan dalam pacaran terbesar pada responden laki-laki dan perempuan adalah kategori ringan yakni 19 orang (67,9%) pada responden laki-laki dan 27 orang (65,9%) pada responden perempuan. Pada kategori kekerasan dalam pacaran sedang juga masih didominasi responden perempuan yakni dialami oleh 8 orang (28,6%) pada responden laki-laki

Tabel 2. Distribusi Tingkat Kekerasan dalam pacaran dengan jenis kelamin

Jenis Kelamin Ringan Kategori KDPSedang Berat Jumlah

Laki-laki 19 (67,9%) 8 (28,6%) 1 (3,6%) 28 (100%)

Perempuan 27 (65,9%) 12 (29,3%) 2 (4,9%) 41 (100%)

Jumlah 46 (66,7%) 20 (29,0%) 3 (4,3%) 69 (100%)

Tabel 3. Distribusi Tingkat Gejala depresi dengan jenis kelamin

Jenis Kelamin Normal RinganDepresiSedang Berat Jumlah Laki-laki 13 (46,4%) 7 (25%) 7 (25%) 1 (3,6%) 28 (100%) Perempuan 18 (43,9%) 12 (29,7%) 9 (22%) 2 (4,9%) 41 (100%) Jumlah 41 (44,9%) 19 (27,5%) 16 (23,2%) 3 (4,3%) 69 (100%)

(5)

dan 12 orang (29,3%) pada responden perempuan.

Sedangkan untuk distribusi kekerasan dalam pacaran terkecil pada responden laki-laki dan perempuan adalah sama pada kategori berat yakni 1 orang (3,6%) pada laki-laki dan 2 orang (4,9%) pada responden perempuan.

Tabel 3 menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa proporsi distribusi kategori depresi terbesar pada responden laki-laki dan perempuan adalah kategori depresi normal atau tidak mengalami sindrom depresi yakni 13 orang (46,4%) pada responden laki-laki dan 18 orang (43,91%) pada responden perempuan. Secara total, seluruh responden laki-laki yang mengalami gejala depresi dibanding responden perempuan yang mengalami gejala depresi adalah 1:1,5.

Berdasarkan hasil dari tingkat keseringan mengalami kekerasan dalam pacaran secara umum responden perempuan lebih sering mengalami daripada responden laki-laki. Pada jenis kekerasan ancaman pada kategori ‘jarang’ yakni pernah mengalami kekerasan 1–2 kali kekerasan selama pacaran, proporsi yang paling banyak dialami responden yakni jenis kekerasan ancaman mengakhiri hubungan yang dilakukan pasangan responden, yakni 7 orang (47%) pada laki-laki dan 8 orang (53%) pada perempuan.

Jenis kekerasan ancaman pada kategori ‘kadang’ yakni pernah mengalami kekerasan 3-5 kali kekerasan selama pacaran, proporsi yang paling mengalami baik responden laki-laki dan perempuan yakni pada jenis kekerasan ancaman mengakhiri hubungan yang dilakukan pasangan responden, yakni 6 orang (32%) pada laki-laki dan 13 orang (68%) pada perempuan. Hal ini juga berlaku pada kategori sering yakni pernah mengalami kekerasan lebih dari 6 kali selama pacaran, proporsi jenis kekerasan terbanyak yang dialami jenis kekerasan ancaman mengakhiri hubungan yang dilakukan pasangan responden. Hal ini dialami oleh 2 orang (67%) pada responden laki-laki dan pada responden perempuan adalah 1 orang (33%).

Pada jenis kekerasan relasi, mayoritas yang pernah mengalaminya masih didominasi responden perempuan. Pada

kategori ‘jarang’, jenis kekerasan relasi dengan proporsi terbanyak pada responden laki-laki adalah pada jenis kekerasan berupa pasangan yang membatasi waktu berkumpul dengan teman yakni sebanyak 10 orang (56%) dan hal ini juga berlaku pada responden perempuan yakni sebanyak 8 orang (44%) yang mengalami hal tersebut.

Pada kategori jenis kekerasan ‘kadang’ yakni pernah mengalami kekerasan sebanyak 3–5 kali selama pacaran jenis kekerasan yang memiliki proporsi paling banyak sering dialami juga pada jenis pasangan yang membatasi waktu berkumpul dengan teman yakni 1 orang (14%) pada responden laki-laki dan 6 orang (86%) pada responden perempuan.

Pada kategori ‘sering’ yakni pernah mengalami kekerasan lebih dari 6 kali selama pacaran, sama halnya dengan kategori jarang dan kadang, responden yang mengali kekerasan dengan proporsi paling banyak masih didominasi responden perempuan. jenis kekerasan yang paling sering pada responden laki-laki maupun perempuan adalah sering pasangan bertindak membatasi waktu berkumpul dengan teman responden yakni yakni 2 orang (22%) pada laki-laki dan 7 orang (78%) pada responden perempuan.

Pada kekerasan verbal emosional menampilkan hasil yang bervariasi namun masih sama proporsi mayoritas responden yang mengalami paling banyak adalah perempuan. Pada kategori ‘jarang’ yaitu yang mengalami kekerasan sebanyak 1–2 kali selama pacaran, jenis kekerasan yang paling banyak dialami responden laki-laki adalah jenis kekerasan emosional sengaja membuat cemburu yang dilakukan oleh pasangannya, jumlah responden yang mengalami hal ini adalah 12 orang (43%) dibandingkan responden wanita yang juga jarang mengalaminya.

Pada kategori yang sama yakni ‘jarang’ atau mengalami kekerasan sebanyak 1–2 kali selama pacaran, proporsi terbanyak adalah jenis kekerasan verbal emosional pada responden perempuan adalah pasangan yang sengaja membuat cemburu yakni 16 orang (57%) dan pasangan yang sengaja membicarakan sesuatu sehingga membuat

(6)

marah yakni 16 orang (62%) hal ini di bandingkan dengan responden laki-laki yang juga mengalami hal serupa.

Kategori ‘kadang’ yakni pernah mengalami kekerasan yakni pernah mengalaminya 3–5 kali selama pacaran, proporsi terbanyak pada responden laki-laki yang mengalaminya adalah pada jenis sengaja membuat cemburu yakni pernah dialami 12 orang (50%), dan pada responden perempuan dialami oleh 12 orang (50%).

Pada kategori ‘sering’ yakni pernah mengalami kekerasan lebih dari 6 kali selama pacaran, proporsi jenis kekerasan terbanyak yang dialami responden laki-laki adalah sikap pasangannya yang terlalu possessive atau pasangan yang selalu mencari tahu sedang berada di mana dan dengan siapa, hal ini dialami oleh 12 orang (35%) pada responden laki-laki dan pada responden perempuan proporsi terbanyak juga pada jenis kekerasan verbal emosional over protective ini yakni sebanyak 22 orang (65%).

Pada jenis kekerasan fi sik, mayoritas yang pernah mengalaminya pada semua kategori masih didominasi responden perempuan. Pada kategori ‘jarang’, jenis

kekerasan fi sik dengan proporsi terbanyak pada responden laki-laki adalah pada jenis kekerasan berupa pasangan yang mendorong dengan kasar yakni sebanyak 5 orang (53%) dan hal ini juga berlaku pada responden perempuan yakni sebanyak 3 orang (37%) yang mengalami hal tersebut.

Pada kategori ‘kadang’ yakni pernah mengalami kekerasan sebanyak 3-5 kali selama pacaran jenis kekerasan yang memiliki proporsi paling banyak sering dialami juga pada jenis pasangan yang mendorong dengan kasar yakni 3 orang (60%) pada responden perempuan dan 2 orang (40%) pada responden laki-laki, Pada kategori sering yakni pernah mengalami kekerasan lebih dari 6 kali selama pacaran, jenis kekerasan yang memiliki proporsi paling banyak adalah sering didorong dengan kasar oleh pasangannya yakni 1 orang (20%) pada laki-laki dan 4 orang (80%) pada responden perempuan.

Pada jenis kekerasan seksual proporsi yang mengalami kekerasan paling banyak masih didominasi oleh responden perempuan. Pada kategori ‘jarang’ yakni pernah mengalami kekerasan 1–2 kali selama pacaran proporsi yang paling sering Tabel 4. Hasil Crosstabulasi Jenis Tingkat Kekerasan dalam Pacaran dengan Gejala Depresi

Kekerasan Ancaman Normal Ringan Depresi Sedang Berat

Ringan 29 (55,8%) 16 (30,8%) 7 (13,5%) 0 (0,0%)

Sedang 2 (16,7%) 3 (25,0%) 4 (33,3%) 3 (25,0%)

Berat 0 (0.0%) 0 (0,0%) 5 (100%) 0 (33,3%)

Relasi Normal Ringan Sedang Berat

Ringan 30 (63,8%) 11 (23,4%) 6 (12,8%) 0 (0,0%)

Sedang 1 (5,3%) 8 (42,1%) 8 (42,1%) 2 (10,5%)

Berat 0 (0.0%) 0 (0,0%) 2 (66,7%) 1 (33,3%)

Verbal Emosional Normal Ringan Sedang Berat

Ringan 28 (55,8)% 11 (26,2%) 3 (7,1%) 0 (0,0%)

Sedang 1 (5,0%) 7 (35,0%) 10 (50,0%) 2 (10,0%)

Berat 2 (26,6%) 1 (14,3%) 3 (42,9%) 1 (14,3%)

Fisik Normal Ringan Sedang Berat

Ringan 28 (51,9)% 16 (29,6%) 10 (18,5%) 0 (0,0%)

Sedang 2 (18,2%) 2 (18,2%) 5 (45,5%) 2 (10,0%)

Berat 1 (25,0%) 1 (25,0%) 1 (25,0%) 1 (14,3%)

Seksual Normal Ringan Sedang Berat

Ringan 30 (61,2)% 12 (24,5%) 6 (12,2%) 1 (2,0%)

Sedang 1 (5,3%) 7 (36,8%) 9 (47,4%) 2 (10,5%)

(7)

dialami oleh responden laki-laki adalah jenis kekerasan seksual yang dilakukan oleh pasangannya yakni dicium meskipun tidak menginginkannya yakni sebanyak 2 orang (20%) dan untuk proporsi terbanyak pada perempuan jenis juga pada kekerasan mencium meskipun tidak diinginkan sebanyak 8 orang (80%).

Kategori ‘kadang’ untuk proporsi terbanyak pada responden laki-laki adalah pada jenis kekerasan dicium oleh pasangannya meskipun sebenarnya tidak menginginkannya yakni sejumlah 4 orang (50%), hasil yang sama dengan responden perempuan 4 orang (50%). Pada kategori sering yakni pernah mengalami kekerasan lebih dari 6 kali selama pacaran proporsi terbanyak pada responden perempuan juga pada jenis dicium pacar meskipun tidak diinginkan dan pada responden laki-laki tidak ada yang mengalaminya pada kategori sering.

Berdasarkan informasi pada tabel 4, pada tabel tersebut dapat diketahui bahwa pada kekerasan relasi untuk kategori kekerasan ringan dengan depresi yang tergolong masih normal atau tidak mengalami sindroma depresif memiliki persentase sebesar 55,8% lebih tinggi jika dibandingkan dengan kategori kekerasan dalam pacaran ringan dengan depresi ringan 30,8%. Untuk kekerasan dalam pacaran kategori sedang, persentase terbesar adalah memiliki hubungan dengan depresi kategori sedang yaitu sebesar 33,3%. Hal ini serupa dengan kekerasan dalam pacaran kategori berat yang juga persentase dominan adalah depresi kategori sedang dengan persentase sebesar 100%.

Pada kekerasan Relasi diketahui bahwa untuk kategori kekerasan ringan dengan depresi yang tergolong masih normal atau tidak mengalami sindroma depresif memiliki persentase sebesar 63,8% lebih tinggi jika dibandingkan dengan kategori kekerasan dalam pacaran ringan dengan depresi ringan 23,4%.

Untuk kategori sedang, persentase terbesar adalah memiliki hubungan dengan depresi kategori sedang yaitu sebesar 42,1%. Pada kategori berat yang juga persentase dominan adalah depresi kategori sedang dengan persentase sebesar 66,7%.

Pada kekerasan Verbal Emosional diketahui bahwa untuk kategori kekerasan ringan dengan depresi yang tergolong masih normal atau tidak mengalami sindroma depresif memiliki persentase sebesar 55,8% lebih tinggi jika dibandingkan dengan kategori kekerasan dalam pacaran ringan dengan depresi ringan 26,2%.

Untuk kekerasan dalam pacaran kategori sedang, persentase terbesar adalah memiliki hubungan dengan depresi kategori sedang yaitu sebesar 50%. Hal ini serupa dengan kekerasan dalam pacaran kategori berat yang juga persentase dominan adalah depresi kategori sedang dengan persentase sebesar 42,9%.

Pada kekerasan fi sik, diketahui bahwa untuk kategori kekerasan ringan dengan depresi yang tergolong masih normal atau tidak mengalami sindroma depresif memiliki persentase sebesar 52,9% lebih tinggi jika dibandingkan dengan kategori kekerasan dalam pacaran ringan dengan depresi ringan 29,6%. Untuk kekerasan dalam pacaran kategori sedang, persentase terbesar adalah memiliki hubungan dengan depresi kategori sedang yaitu sebesar 45,5%. Pada kategori berat presentase dengan seluruh kategori gejala depresi adalah sama yakni masing-masing satu orang atau 25%.

Tabel 5. Hasil Uji Hubungan antara Kekerasan dalam Pacaran dengan Gejala Depresi

Variabel P (Sig) R Kekerasan Ancaman 0,000 0,534 Kekerasan Relasi 0,000 0,616 Kekerasan Verbal Emosional 0,000 0,596 Kekerasan Fisik 0,002 0,373 Kekerasan Seksual 0,000 0,557 Sumber: Uji Spearman

Pada kekerasan seksual, diketahui bahwa untuk kategori kekerasan ringan dengan depresi yang tergolong masih normal atau tidak mengalami sindroma depresif memiliki persentase sebesar 61,2% lebih tinggi jika dibandingkan dengan kategori kekerasan dalam pacaran ringan dengan depresi ringan 24,5%.

Untuk kategori sedang, persentase terbesar adalah memiliki hubungan dengan depresi kategori sedang yaitu sebesar 47,4%.

(8)

Pada kategori berat yang juga persentase dominan adalah depresi kategori sedang dengan persentase sebesar 100%.

Pada tabel 3 diketahui bahwa seluruh Jenis kekerasan dalam pacaran secara signifikan berhubungan dengan gejala depresi. Pada kelima hasil uji hubungan jenis kekerasan dalam pacaran dengan gejala depresi diketahui bahwa nilai signifikasi paling tinggi adalah pada hubungan kekerasan dalam pacaran jenis relasi dan verbal emosional, dan hubungan signifi kasi paling rendah adalah pada kekerasan dalam pacaran kategori kekerasan fi sik.

PEMBAHASAN

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa persebaran terbesar usia responden adalah 17 tahun (49,3%). Usia remaja menengah yakni usia 15–17 tahun adalah usia pertengahan remaja (mid-adolescence), remaja mengalami masa transisi dari interaksi antara kelompok lawan jenis menjadi antar lawan jenis.

Pada usia ini remaja mulai mencoba menjalin hubungan dan komitmen dengan orang dicintai atau memiliki ketertarikan dengannya dan hubungan bersifat timbal balik serta membutuhkan pengorbanan waktu dan energi yang diberikan. Agresi atau kekerasan dalam pacaran mulai terjadi pada tahap ini meskipun jarang. Hal ini diperparah dengan kondisi kejiwaan yang labil dan remaja kesulitan memutuskan penyelesaian masalahnya Wolfe & Feiring (2000), dalam (Wolfe, et al, 2005).

Sedangkan untuk jenis kelamin responden terbesar adalah perempuan sebanyak 41 orang (59,4%). Motivasi yang menyebabkan perilaku kekerasan dalam pacaran berbeda antara laki-laki dan perempuan. Menurut mereka, marah menjadi alasan utama untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya, laki-laki melakukannya untuk mengontrol pasangan dan alasan gender, sedangkan perempuan melakukannya sebagai pertahanan diri.

Hal inilah yang menyebabkan lebih banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran meskipun keduanya memiliki kesempatan yang sama

dalam mendapatkan perlakuan kekerasan dalam pacaran oleh pasangannya.

Karakteristik responden berdasarkan pada tabel 1 status pacaran adalah mayoritas responden sedang berstatus pacaran yaitu 62 orang (89,9%). Hal ini menunjukkan mayoritas responden masih berada pada status berpacaran dan masih sangat mungkin untuk mendapatkan kekerasan dalam hubungan pacaran selanjutnya.

Beberapa faktor yang dapat ditangkap sesuai dengan data hasil penelitian ini diantaranya adalah lama pacaran dengan tingkat keparahan kekerasan dalam pacaran yang dialami. Hal ini sesuai dengan siklus kekerasan dalam pacaran. Siklus kekerasan dalam pacaran terbagi dalam tiga fase. Fase yang pertama yakni berada di awal enam bulan pertama hingga enam bulan kedua, jenis kekerasan yang dilakukan bersifat ringan seperti tamparan, kekerasan verbal, upaya mengontrol pasangan dan pada fase ini sikap korban adalah dengan menenangkan pasangan, menjauh dari keluarga, teman, dan bersifat pasif.

Fase selanjutnya yakni fase terparah yakni pada enam bulan ketiga, yaitu pasangan menunjukkan perilaku destuktif terhadap pasangannya, hal ini nampak pada tabel bahwa jumlah responden yang mengalami kekerasan kategori berat semua berada pada masa rentang fase ini. Perilaku yang dilakukan misalnya mendorong, memukul, hingga memperkosa. Sedangkan pada fase ketika yakni diatas 18 bulan pasangan mulai melakukan hal yang romantis, pada saat ini pasangan mulai menyadari kesalahan dan mencoba memperbaiki hubungan dan berjanji tidak melukai kembali.

Anggapan secara umum di masyarakat lebih berpeluang mengeluarkan uang untuk keperluan pacar seperti untuk mentraktir makan, nonton, membelikan keperluan pasangan, Selain karena faktor gender dan anggapan bahwa pria dianggap berpeluang mengeluarkan uang untuk keperluan pacaran, dengan asumsi umum di masyarakat inilah menyebabkan seringkali pasangan perempuannya menuntut banyak dalam memenuhi kebutuhannya dari pacarnya, inilah salah satu hal yang membuat laki-laki

(9)

terkadang merasa tertekan dan berkorban lebih banyak (Sumiarni, E, 2004).

Crosstabulasi antara jenis kekerasan dalam pacaran dengan tingkat kekerasan dalam pacaran menunjukkan hasil pembagian kategori kekerasan dalam pacaran dengan jenis kelamin responden diketahui bahwa mayoritas responden dari ketiga jenis kategori kekerasan dalam pacaran didominasi responden perempuan dengan perbandingan 1:1,5. Berdasarkan teori feminisme mengangkat isu peran gender bahwa kekerasan dalam suatu relasi dipengaruhi isu bahwa laki-laki berperan sebagai pelaku sedangkan perempuan bertindak sebagai korban. Laki-laki merupakan peran yang mendominasi dan sosok yang agresif, dominan, kompetitif, care-taking. Sedangkan perempuan disosialisasikan sebagai sosok yang pasif, kooperatif, care-giving.

Lelaki melakukan kekerasan sebagai alat pengontrol pasangan sedangkan perempuan melakukannya sebagai alat pertahanan, hal inilah yang membuat korban kekerasan dalam pacaran tidak hanya perempuan namun juga bisa dialami oleh laki-laki, terutama perempuan saat ini telah merasa segala sesuatu berhak juga dilakukan perempuan karena adanya teori emansipasi wanita.

Jenis yang pertama pada kekerasan dalam pacaran adalah kekerasan verbal emosional yang terbagi dalam tiga jenis komponen yakni kekerasan ancaman, kekerasan verbal emosional dan kekerasan relasi. Pada kekerasan ancaman kategori tingkat keseringan yakni pernah dialami responden lebih dari 6 kali selama pacaran. Proporsi paling banyak adalah jenis kekerasan ancaman untuk mengakhiri hubungan dari pasangannya dan responden yang paling banyak mengalami adalah perempuan.

Lelaki sebagai gender yang di anggap memiliki agresi tinggi pada pasangan lebih sering memilih mengekang pasangan untuk mengendalikan hubungannya, salah satu yang dilakukan adalah dengan mengancam mengakhiri hubungan. Menurut Murray (2000), tindakan pemberian ancaman seringkali dilakukan untuk mengikat pasangannya. Masa remaja adalah masa

emosi yang masih labil sehingga beberapa remaja khawatir untuk kehilangan pasangannya dan berusaha mempertahankan hubungannya.

Jenis kekerasan verbal emosional kedua yakni kekerasan relasi, kategori tingkat keseringan yang memiliki proporsi paling banyak adalah jenis kekerasan relasi yakni pasangan yang seringkali membatasi waktu berkumpul dengan teman dan responden yang paling banyak mengalami adalah perempuan. Menurut Murray (2000), tindakan membatasi waktu pasangan dengan teman termasuk dalam tindakan memonopoli waktu pasangan. Selanjutnya hal yang dilakukan adalah mengontrol dengan siapa saja yang dapat berbicara dengan pacarnya dan mengontrol aktivitas agar dapat selalu bersama pasangannya.

Jenis kekerasan verbal emosional pada kategori tingkat keseringan yang memiliki proporsi paling banyak adalah jenis kekerasan verbal emosional yakni terlalu possesive atau pasangan yang selalu mencari tahu sedang berada di mana dengan siapa dan responden yang paling banyak mengalami adalah perempuan. Menurut Murray (2000), tindakan possessive yang ditunjukkan dengan seringkali menanyakan atau mengintrograsi berlebihan adalah salah satu hal yang dilakukan pasangan karena terlalu cemburu dan berusaha mengontrol kehidupan pacarnya. Hal ini lebih sering memberikan dampak terganggu bagi pasangan dan seringkali diikuti oleh ancaman tertentu jika pasangan tidak memberikan kabar sedang berada di mana dan dengan siapa.

Tindakan membatasi waktu pasangan merupakan tindakan agresi relasi yakni perilaku yang bertujuan sebagai usaha kontrol sosial atau merusak hubungan yang terjadi bila antara pelaku dan korban maupun korban dengan orang lain dan lingkungannya. Jika hal ini dilakukan berlarut dan berkelanjutan, maka selanjutnya hubungan sosial korban dengan teman sebaya dan lingkungannya akan terganggu dan ini tidak baik untuk kesehatan sosial remaja di masa mendatang (CDC, 2009).

Jenis kekerasan fisik pada kategori tingkat keseringan yang memiliki proporsi paling banyak adalah jenis kekerasan fi sik

(10)

yakni sering didorong dengan kasar oleh pasangannya dan responden yang paling banyak mengalami adalah perempuan. Tindakan melukai fisik baik secara sengaja atau tidak sengaja pada saat emosi kepada pasangan sering kali dilakukan remaja pada pasangannya. Selanjutnya beberapa responden pada kategori kadang yakni pernah mengalami 3–5 kali selama pacaran juga pernah mengalami di tendang, dibenturkan kepalanya oleh pasangannya agresi seperti ini seringkali juga dialami responden perempuan. Menurut Murray (2000), tindakan mendorong dan memukul pasangan diidentifi kasi dapat menyebabkan luka, cedera, hingga patah tulang. Jika hal ini dilakukan terus menerus dan diabaikan dan masih saja dimaafkan oleh korban, maka selanjutnya akan terjadi kekerasan fi sik yang lebih parah seperti mulai memukul hingga meninggalkan luka serius.

Jenis kekerasan seksual pada kategori tingkat keseringan yang memiliki proporsi paling banyak adalah jenis kekerasan seksual yakni sering mencium meskipun tidak menginginkannya yang oleh pasangannya dan responden yang paling banyak mengalami adalah perempuan. Selanjutnya beberapa responden pada kategori kadang juga pernah mengalami di Menyentuh dan meraba dengan bernafsu oleh pasangannya, agresi seperti ini seringkali juga dialami responden perempuan. Menurut Murray (2000), tindakan mencium pasangan meskipun tidak diinginkan dan tanpa seizin korban meskipun telah cukup lama berpacaran terlebih jika pacar menolak maka hal ini termasuk kekerasan dalam pacaran. Selanjutnya kekerasan seksual yang terkadang dialami responden adalah mendapatkan sentuhan atau diraba pada bagian tubuh tertentu dan hal ini tidak diinginkan maka merupakan tindakan kekerasan. Kedua hal tersebut jika sering dilakukan terutama jika korban mendapatkan ancaman dari pasangannya, maka akan sangat mungkin berlanjut pada tindakan dating rape atau perkosaan (Fraley, R.C, 2010).

Crosstabulasi antara gejala depresi dengan jenis kelamin menunjukkan hasil pembagian kategori gejala depresi dengan jenis kelamin responden diketahui bahwa

mayoritas responden dari keempat jenis kategori depresi didominasi responden perempuan. Mayoritas responden masih tergolong pada gejala kategori depresi minimal atau normal. Kemudian kedua yakni kategori depresi ringan, sedang, dan yang memiliki proporsi paling rendah adalah kategori berat.

Depresi pada usia remaja pertengahan disebabkan oleh perubahan personal yang dialami remaja, di mana remaja mulai beranjak dari usia anak-anak dan menuju dewasa. Ciri perkembangan remaja pertengahan antara lain mulai mengenal lawan jenis dan membina hubungan dengan lawan jenis, ada komitmen dan ada kompetensi, rasa ingin dihargai, dan pencarian jati diri (Hurlock, 1990).

Remaja pertengahan yang tidak dapat mengendalikan diri, gagal membina hubungan, merasa tertekan dan berbagai masalah lainnya, akan memicu remaja merasakan masalah yang membuat stress. Stress yang tidak tertangani akan membuat remaja mengalami depresi.

Menurut National Institute of Mental health (2011), ketika masa pubertas remaja laki-laki dan perempuan pada umumnya dapat mengalami depresi terutama dimulai diatas usia 15 tahun dan remaja perempuan lebih mudah mengalami depresi dibandingkan remaja laki-laki. Perbandingan jumlah total responden laki-laki dengan perempuan yang mengalami gejala depresi baik ringan sedang, maupun berat adalah 1:1,5. Hal tersebut mengidentifikasikan bahwa responden yang berjenis kelamin perempuan lebih mudah mengalami masalah terutama akibat mengalami kekerasan dalam pacaran dan dapat berujung pada penyakit depresi.

Depresi lebih banyak terjadi pada perempuan pada usia muda karena pada saat itu berada pada masa kematangan seksual, di mana hormon estrogen, progesteron dan testosteron mengalami perubahan setiap minggu mengikuti siklus haid. Hormon tersebut akan sangat mempengaruhi tindakan yang ingin dilakukan otak. Hal ini akan secara cepat mempengaruhi gejala-gejala terutama yang berkaitan dengan suasana hati dan mempengaruhi emosi, perempuan menjadi lebih peka dan sensitif terhadap

(11)

persetujuan, ketidaksetujuan, tekanan, penerimaan, serta penolakan.

M e n u r u t B r i z e n d i n e ( 2 0 0 7 ) , perempuan lebih mudah terkena depresi juga dikarenakan perempuan lebih terfokus pada hubungan, menentukan pasangan seumur hidup, dan memilih masa depan, sesuai dengan kepentingan keluarga. Menurut Semiun (2006), perempuan mudah mengalami depresi karena perempuan lebih kuat menggeneralisir sikap-sikap negatif secara berlebihan, tergesa-gesa menyikapi sesuatu, sulit melupakan perasaan tidak menyenangkan secara berlebihan dibandingkan laki-laki.

Berdasarkan uji statistik menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kekerasan dalam pacaran dengan gejala depresi yang dialami remaja di SMA X di Surabaya. Hubungan antara kedua variabel ini adalah linier sehingga semakin tinggi tingkat keparahan kekerasan dalam pacaran maka semakin tinggi juga tingkat keparahan gejala depresi yang dialami oleh responden.

Menurut Banyard et al., (2006), dalam Foshee et al (2001), depresi berhubungan dengan kekerasan dalam pacaran terutama yang dialami oleh remaja perempuan. Karena berdasarkan stabilitas emosi dan peran usia remaja adalah masa yang masih memiliki stabilitas emosi yang labil sehingga sangat mudah mengalami depresi.

Menurut Adam dan Susan (2012), remaja usia pertengahan lebih banyak mengalami kekerasan dalam pacaran dengan bentuk kekerasan psikologis yang akhirnya berdampak pada kesehatan mental terutama depresi yang dirasakan remaja. Remaja yang mengalami kekerasan akan lebih sering menunjukkan gejala depresi seperti mengalami kesedihan berkepanjangan, merasa tidak percaya diri, lebih mudah tersinggung, mengalami perubahan nafsu makan dan masa tidur.

Remaja yang mengalami kekerasan emosional atau psikologis cenderung mengalami gejala depresi kognitif berupa kesedihan yang berlarut-larut, perasaan bersalah, merasa dihukum, merasa gagal dan mengkritik diri sendiri. Hal sesuai dengan penelitian bahwa remaja di SMA

X jenis gejala depresi dengan proporsi terbanyak yang dialami adalah perasaan sedih berlarut-larut, merasa bersalah, dan merasa dihukum.

Data dari CDC (2009), juga menyebutkan bahwa remaja yang pada masa Sekolah Menengah Atas pernah mengalami kekerasan dalam pacaran dan mengalami gejala depresi maka di masa dewasa juga kan lebih mudah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

KESIMPULAN

Responden yang mengalami kekerasan dalam pacaran mayoritas adalah perempuan dengan usia remaja pertengahan. Mayoritas responden juga sedang menjalani hubungan pacaran sehingga perlu adanya pemberian informasi tentang kekerasan dalam pacaran sehingga sebagai upaya pencegahan atas terjadinya gejala depresif maupun akibat langsung dari kekerasan dalam pacaran.

Jenis kekerasan dalam pacaran yang memiliki proporsi paling sering serta berhubungan dengan semakin beratnya gejala depresif yang dialami responden adalah kekerasan verbal emosional dan kekerasan relasi Ada hubungan antara kekerasan dalam pacaran dengan depresi pada remaja di SMA X di Surabaya.

Kekerasan dalam pacaran memiliki hubungan terhadap gejala depresi, hal ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam pacaran yang dialami remaja memiliki dampak terhadap gangguan mental depresif, hal ini akan lebih berbahaya jika akibatnya termanifestasi hingga remaja telah dewasa.

P e n e l i t i a n i n i m a s i h p e r l u disempurnakan, diharapkan penelitian selanjutnya lebih lanjut membahas penyebab atau faktor yang mempengaruhi kekerasan dalam pacaran dan juga menggunakan kuesioner serta metode wawancara untuk melihat lebih lanjut gejala depresif yang dialami remaja.

DAFTAR PUSTAKA

Adam & Susan. 2012. Dating Violence. National Association of School Psychologists. Principal Leaders: April 2012.

(12)

Banyard, V.L., Cross, C., & Modecki, K. L. 2006.Interpersonal violence in adolescence. Journal of Interpersonal Vi o l e n c e , 2 1 ( 1 0 ) , 1 3 1 4 – 1 3 3 2 . doi:10.1177/0886260506291657

Baron, R.B & Byrne, D. 2005. Psikologi Sosial (Ed.10) (Ratna Djuwita, Pengalih Bhs.). Jakarta: Penerbit Erlangga. Brizendie, L. 2007. The Female Brain.

Jakarta: Ufuk Media

Callahan, Michelle R. Tolman, Richard M. & Saunders, Daniel G. 2003. Adolescent Dating Violence Victimization and Psychological Well Being. Journal of Adolescent Research, Vol. 18,No.6 November 664681.http://www.sagepub. com/prsw/ovewviews/pdfs/Callahan. Article.pdf: Sage Publication, Diakses 30 September 2013.

C e n t e r s f o r D i s e a s e C o n t r o l a n d Prevention. 2009. Understanding teen dating violence: Fact sheet. http:// www.cdc.gov/violenceprevention/pdf/ TeenDatingViolence2009-a.pdf. Diakses 20 September 2013.

Cooper, Erin. 2010. Depression among African, American female college students: Exploratory factor analysis of the Beck Depression Inventory II. ProQuest Dissertations and Thesis. Fraley, R.C. 2010. Information on the

Experiences in Close Relationships-Revised (ECR-R) Adult Attachment Questionnaire. Diunduh dari internal. psychology.illinois.edu/~rcfraley/ measures/ecrr.htm pada tanggal 16 Februari 2014.

Foshee, V. A., Linder, F., MacDougall, J.E., & Bangdiwala, S. 2001.Genderdifferences in the longitudinal predictors of adolescent dating violence* 1.Preventive Medicine, 32(2), 128–141. doi:10.1006/ pmed.2000.0793

Heise L.L., et al., 1994.Violence Against Women: The Hidden Health Burden. World Bank, Washington D.C.: ix + 72 hlm.

Hurlock, Elizabeth B. 1990. Developmental Psychology A Life Span Approach. Boston: McGraw-Hill.

Kelana, D. 2011. Metodologi Penelitian Keperawatan, Jakarta: CV. Trans Info Media

Komnas Perempuan, 2002.Petakekerasan, pengalaman perempuan Indonesia. Komnas Perempuan. Jakarta: 344 hlm. Luthra, R. & Gidycz, C. A. 2006.Dating

violence among college men and women: evaluation of a theoretical model. Journal of Interpersonal Violence, 21, 717–731 Meadows, Robert J. 2004. Understanding

Violence and Victimization. New Jersey: Prentice Hall.

Monks, F.J. dkk. 2004. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya Edisi Keempat Belas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Murray, J. 2000. But I Love Him. New York: Harper Collins Publishers.

National Institute of Mental health. 2011. Depression. US Departemen of Health and Services.

Rifka Annisa,WCC.2009.Kekerasan Dalam Pacaran. Diunduh dari http://rifka. site40.net/rif_datakasus2/datakasus.php. Sitasi15 September 2013.

Santrock, John W. 2009. Adolescence 13th Edition. Boston: McGraw-Hill Higher Education.

SEBAYA. 2011. Hasil survey kesehatan reproduksi remaja dan seksualitas SeBAYA-PKBI daerah Jawa Timur. (Tidak diterbitkan).

Seligman, MEP.1993. What You Can Change: The Complete Guide to Successful Self Improvement. New York: Pawcett Columbine.

Semiun, Y. 2006. Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Kanisius.

Singarimbun,M&Effendi,Sofian,.1989. Metode Penelitian Survei. Edisi Revisi. Jakarta: PT Pustaka LP3ES.

Straus, M.A. 2004. Prevalence of Violence Against Dating Partners by Male and Female University Students Worldwide. Violence Against Women, 10,790–811. Sumiarni, E. 2004. Jender dan Feminisme,

adolescent romantic relationships. Child Maltreatment, 5, 360–363.Edisi 1, Cetakan 1. Yogyakarta: Wonderful Publishing Company.

Wolfe, D.A., & Feiring, C. 2000. Dating violence through the lens of Wolfe, D.A, Grasley, C., Katreena, S., Reitzel-Jaffe, D., Straatman, A.L., & Wekerle, C.,.

(13)

2001. Development and validation of the confl ict in adolescent dating relationships inventory. Psychological Assessments, 13, 277–293.

Wolfe, D.A., Scott, K.L., & Crooks, C.V. 2005. Abuse and violence in adolescent

girls’ dating relationships. Dalam D.J. Bell, S.L. Foster, & E.J.131 Mash (eds.), Handbook of behavioral and emotional problems in girls (pp. 381–414). New York: Kluwer Academic/ Plenum Publishers.

Gambar

Tabel 2 menunjukkan bahwa  menunjukkan bahwa proporsi distribusi  kategori kekerasan dalam pacaran terbesar  pada responden laki-laki dan perempuan  adalah kategori ringan yakni 19 orang  (67,9%) pada responden laki-laki dan  27 orang (65,9%) pada responde
Tabel 4.  Hasil Crosstabulasi Jenis Tingkat Kekerasan dalam Pacaran dengan Gejala Depresi
Tabel 5.  Hasil Uji Hubungan antara  Kekerasan dalam Pacaran dengan  Gejala Depresi

Referensi

Dokumen terkait

Pada grafik 2 aspek landasan SMPN 259 lebih menonjol karena memiliki landasan atau dasar yang jelas di dalam program bimbingan konseling seperti keyakinan (

Mewajibkan kepada pemegang izin usaha di bidang kehutanan untuk memiliki sumber daya manusia, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan serta melaksanakan

The question might be phrased as, ‘‘Even in the absence of a law that efficiently allocates (through clear rules) and enforces (through the ko ¯ban system and crime

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh penulis mengenai pengaruh efektivitas pengendalian internal terhadap kualitas pelayanan publik

rumah  tangga  dan  perwakilan  organisasi  majikan  pekerja  rumah  tangga”.  Keempat  Pasal  ini . mengatur hal‐hal berikut: 

Pada uji koefisien regresi secara parsial, diperoleh nilai t hitung variabel investasi sebesar 5,020 lebih besar dari nilai t tabel 1,703 dapat disimpulkan bahwa variabel

Untuk menentukan bahan apa yang akan digunakan kita juga harus.. mengetahui sifat-sifat fisik

Furthermore, using such a static factory method mandates that the client refer to the returned object by its interface rather than by its implementation class, which is generally