58
Keefektifan Nematoda Patogen Serangga
Steinernema
sp.
Terhadap
Achaea janata
L., Serangga Pemakan Daun
Jarak Kepyar (
Ricinus communis
)
Effectiveness of Entomopathogenic Nematodes Steinernema sp.
to Achaea janata L., The Leaf Eater of Castor (Ricinus communis)
Heri Prabowo dan I Gusti Ayu Agung Indrayani
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Jln. Raya Karangploso Kotak Pos 199, Malang
E-mail: [email protected]
Diterima: 7 Januari 2013 disetujui: 30 April 2013
ABSTRAK
Penggunaan pestisida kimia yang cukup tinggi pada akhir-akhir ini telah menimbulkan dampak negatif ter-hadap lingkungan, sehingga pengendalian hama yang ramah lingkungan sangat diperlukan. Saat ini, peng-gunaan nematoda entomopatogen terutama Steinernema sp., membuka peluang untuk digunakan sebagai pengendalian Achaea janata. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui keefektifan Steinernema sp. ter-hadap A. Janata , dilaksanakan di laboratorium patologi serangga Balai Penelitan Tanaman Pemanis dan Serat pada bulan Maret sampai dengan Agustus 2011. Penelitian menggunakan rancanagan acak lengkap (RAL) dengan empat ulangan. Setiap ulangan menggunakan 25 larva A. janata instar 2. Larva diekspose de-ngan berbagai variasi konsentrasi Steinernema sp. dan kematian larva diamati setiap hari sampai 120 jam setelah infeksi. Konsentrasi Steinernema sp. yang digunakan adalah 0, 50, 100, 200, 300, dan 400 JI/larva. Hasil penelitian pemberian Steinernema sp. pada konsentrasi 200, 300, dan 400 JI/larva cukup efektif untuk membunuh A. janata dengan persentase berkisar antara 80–94% mulai 48–120 jam setelah perlakuan. Se-makin tinggi konsentrasi nematoda, seSe-makin tinggi mortalitas A. janata. Steinernema sp. dengan konsen-trasi 400 JI/larva paling efektif membunuh larva, menurunkan bobot larva, bobot pupa, jumlah telur yang dihasilkan, dan fertilitas telur.
Kata kunci: Steinernema sp., Achaea janata, efektivitas
ABSTRACT
High intensity of chemical pesticide application has become a serious concern of environmentalists in recent years,becauseofvariousnegativeimpactsofit.Therefore,environmentallyfriendlytechniquesof controlling insect pest are needed. Recently, the use of entomopathogenic nematodes, especially Steinernema sp., has created new possibilities of promising control techniques against insect pests. The aim of this study was to evaluate the effectiveness of Steinernema sp. to A. janata larvae in laboratory. This research was conducted at the Laboratory of Insect Pathology Laboratory of Indonesian Sweetener and Fiber Crops Research Insti-tute from March to August 2011. Tests used the 2nd stage larvae of Achaea janata, the leaf eater of castor (Ricinus communis). Treatment arranged in a completely randomized design (CRD) with 4 replicates. For each test used 25 larvae which were exposed to various concentrations of Steinernema sp. Concentration of
Steinernema sp. used was 0, 50, 100, 200, 300, and 400infective juvenile/larvae. Daily mortality A. janata
larvae, larval and pupal weight, the number of eggs laid, and number of hatch eggs were recorded.
Steinernema sp. on concentration of 200; 300; and 400IJ/larvae was effective to cause mortality of A. janata larvae (80–94% mortality after 48–120 hours). The higher the concentration of the nematode the higher larval mortality. Steinernema sp. with concentration of 400IJ/ larvae was effective decreasing larval and pupal weight, the number of eggs laid, and fertility of the eggs produced.
59
PENDAHULUAN
elama bertahun-tahun manusia mencoba untuk mengatasi masalah serangga hama dengan berbagai cara. Salah satu cara yang dianggap sebagai solusi cepat dan efektif ada-lahpenggunaaninsektisida kimia. Penggunaan insektisida kimia ini juga diterapkan untuk pe-ngendalian Achaea janata yaitu dengan meng-gunakan insektisida dari bahan aktif chlor-pyriphos (0,1%) (ICAR 2009). Penggunaan in-sektisida kimia berpotensi menimbulkan ber-bagai dampak negatif, seperti terjadinya resis-tensihama,resurgensi,keracunanpadamanusia, dan pencemaran terhadap lingkungan
(Dhali-wal et al. 2004; Horowitz & Ishaaya 2012).
Denganadanyadampaknegatif yang ditimbul-kan insektisida kimia, maka terbuka peluang untuk mengembangkan alternatif pengendalian hama yang ramah terhadap lingkungan. Alter-natif pengendalian hama yang ramah lingkung-an adalah pengendalilingkung-an hama secara hayati, khususnya pemanfaatan patogen serangga, se-perti: bakteri, jamur, virus, dan nematoda (La-zarovits et al. 2007; Kaya & Vega 2012). Salah satu patogen serangga yang sudah dimanfaat-kan dalam pengendali hayati serangga hama adalah nematoda Steinernema sp. (Koppen-höfer et al. 2012; Hunt 2007).
Penggunaan nematoda patogen serang-ga telah banyak dikembangkan untuk pengen-dalian hayati beberapa serangga hama di ber-bagai jenis tanaman, baik tanaman pangan, perkebunan, ataupun hortikultura (Grewal et al. 2005). Memang jika dibandingkan dengan penggunaaninsektisida kimia,penggunaan ne-matoda secara umum memerlukan biaya lebih mahal (Arthurs et al. 2004), memiliki daur hi-dup yang pendek, stabilitas yang rendah, dan untuk aplikasinya pengguna harus memiliki pe-ngetahuan yang cukup tentang nematoda mu-lai dari pengetahuan untuk perawatan sampai penyimpanan nematoda (Umamaheswari et al. 2006). Hal ini mengakibatkan penggunaan ne-matoda hanya terbatas pada petani yang sudah memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk menggunakan nematoda ini (Shapiro-Ilan et
al. 2002; Ehlers 2007). Akan tetapi dengan adanya peraturan dan larangan dari Food
Quality Protection Act of 1996 tentang
diper-lukannya pembatasa terhadap penggunaan in-sektisida kimia agar tidak meracuni manusia dan merusak alam sekitar (Anonim 1996) dan tekanan serta kesadaran dari masyarakat un-tuk mengurangi penggunaan insektisida kimia akan mendorong pengembangan pengendalian hayati yang aman terutama penggunaan ne-matoda patogen Steinernema sp. (Koppen-höfer & Fuzy 2009).
Selain ramah lingkungan, penggunaan nematoda Steinernema sp. sebagai agen ha-yati memiliki beberapa keunggulan, antara lain tidak menyebabkan pencemaran lingkungan, mudah diproduksi massal (Georgis et al. 2006; Koppenhöfer & Kaya 2002; Bjorson & Schutte 2003), toleran terhadap berbagai macam in-sektisida kimia ketika diaplikasikan bersama-sama dengan insektisida kimia (Pino & Jove 2005; Elawad et al. 2007), bersifat aktif men-cari serangga sasaran (Campbell & Lewis 2002), tidak menyerang vertebrata (Ehlers 2003), dan dapat diaplikasikan dengan alat semprot standar yang umum digunakan untuk pesti-sida kimia (Wright et al. 2005).
Steinernema termasuk famili
Steinerne-matidae yang berasosiasi dengan bakteri
Xe-norhabdus sp.untuk membunuh serangga
sa-saran (Boemare & Tailliez 2009; Stock & Hunt 2005). Stadium Steinernema yang menyebab-kan kematian serangga sasaran adalah juvenil infektif (J III). JI masuk ke dalam tubuh se-rangga melalui integumen, spirakel, anus, dan mulut. JI dapat masuk ke dalam inang karena tertarik dengan CO2 yang dihasilkan inang sa-saran (Poinar 1990). Apabila juvenil infektif (JI) masuk ke dalam tubuh serangga melalui mulut atau anus maka JI tersebut akan menembus dinding perut untuk mencapai haemocoel, se-dangkan apabila masuk melewati spirakel, ju-venil menembus dinding trakea untuk men-capai haemocoel. Ketika JI telah mencapai
haemocoel, maka bakteri simbionnya akan
dile-paskan. Bakteri simbion akan membentuk kon-disi lingkungan yang cocok untuk
60
an nematoda dengan menghasilkan antibiotik yang menekan pertumbuhan mikroorganisme kompetitor lain dan mengubah jaringan serang-ga sasaran menjadi sumber makan nematoda sehinggaseranggasasaran akan terbunuh
aki-batseptisemia (Snyder et al.2007;Constant et
al. 2010). Steinernema memiliki 3 stadia, yaitu: telur, larva (juvenil), dan dewasa. Fase infektif (juvenil III) merupakan fase yang hidup bebas di luar inang tempat awal juvenil infektif (JI) dihasilkan, tahan terhadap lingkungan yang buruk, dan mampu menginfeksi inang baru (Lewis et al. 2006).
Achaea janata (Lepidoptera: Noctuidae)
merupakan hama utama pada tanaman jarak kepyar di India dan menyebabkan daun pada tanaman habis (defoliation) dan mengganggu fotosintesis tanaman (Rajendra 2007). Adanya serangan A. janata menyebabkan penurunan panen tanaman jarak kepyar sebesar 30–50% (Rao et al. 2012). Pada tanaman jarak kepyar
A. janata mampu berkembang biak dengan
baik dengan periode larva selama 10,38 hari dengan kemampuan telur yang dihasilkan se-banyak 535,5 telur. Sehingga adanya
serang-an A. janata sangat merugikan petani
tanam-an jarak kepyar di India (Bhadauria et al.
2002).
Untuk mengatasi adanya serangan A.
janata diperlukan adanya alternatif baru untuk
pengendalian hama ini. Menurut Divya & San-kar (2009), nematoda Steinernema sp. dapat menyebabkan mortalitas pada A. janata. Di Indonesia telah banyak dilakukan isolasi
Stei-nernema dari berbagai tempat dan digunakan
untuk pengendalian beberapa serangga hama penting pada tanaman kedelai dan kentang (Baliadi 2004; Akhdiya et al. 2008; Santoso et al. 2009), tetapi untuk A. janata pada tanam-an jarak kepyar belum btanam-anyak dilakuktanam-an. Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat memi-liki koleksi Steinernema sp. dari Asembagus yang belum pernah diuji keefektifannya
terha-dap A. janata. Dengan berbagai keunggulan
yang dipunyai Steinernema sp. diperlukan pe-nelitian mengenai keefektifan Steinernema sp. isolat Asembagus terhadap A. janata sehingga
dapat diperoleh informasi keefektifannya ter-hadap A. janata yang meliputi aspek mortali-tas, konsentrasi, dan waktu membunuh yang efektif, serta dosis sublethalnya.
Penelitian ini dilaksanakan dengan tuju-an untuk mengetahui keefektiftuju-an Steinernema
sp. terhadap A. janata.
BAHAN DAN METODE
Perbanyakan Serangga Uji
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Serangga, Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Malang mulai bulan Maret– Agustus 2011. Serangga yang digunakan pada pengujian ini adalah A. janata instar dua.
In-duk A. janata diperoleh dari Kebun Percobaan
Asembagus, Situbondo, Jawa Timur. Serangga yang berasal dari lapangan kemudian diperba-nyak dengan menggunakan daun jarak kepyar. Larva A. janata sebanyak sekitar 25 ekor di-masukkan ke dalam stoples dan diberi daun ja-rak kepyar sebagai pakannya. Kepadatan po-pulasi larva dalam setiap stoples diatur agar tidak terlalu padat, sehingga tiap serangga tidak kekurangan pakan. Larva yang telah masuk ke stadium pupa dipindahkan ke stoples lain. Se-telah pupa menjadi ngengat dewasa, dilaku-kan perkawinan agar mendapatdilaku-kan telur yang berumur seragam. Larva yang digunakan un-tuk pengujian adalah larva instar 2. Perba-nyakan larva ini dilakukan sampai memenuhi jumlah serangga uji yang akan digunakan.
Perbanyakan
Steinernema sp. untuk
Pengujian
Isolat nematoda Steinernema sp. yang digunakan merupakan isolat Asembagus yang diperoleh dari Kebun Percobaan Asembagus. Pembiakan massal nematoda Steinernema sp. dilakukan secara in vivo dengan mengguna-kan ulat Hongkong (Tenebrio molitor). Seba-nyak 20 ekor larva T. molitor dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian suspensi nema-toda sebanyak 100 JI/larva dimasukkan ke dalamnya. Larva yang mati dipindahkan ke dalam perangkap white, yang kemudian
diin-61 kubasikan pada temperatur ruang sampai JI
keluar. Air yang mengandung nematoda diam-bil dari perangkap white setiap dua hari sekali dengan menuang air yang mengandung JI ke erlenmeyer sebagai stok. Larutan stok dilaku-kan pencucian dengan air sampai diperoleh JI yang bersih dan siap digunakan untuk peng-ujian. Perbanyakan JI ini dilakukan sampai memenuhi jumlah JI yang akan digunakan.
Pengujian Keefektifan Steinernema sp.
Terhadap Mortalitas Larva A. janata
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) diulang 4 kali. Penelitian dilaku-kan dengan menggunadilaku-kan 6 tingkat konsen-trasi yakni 0, 50, 100, 200, 300, dan 400 JI/ larva; masing-masing konsentrasi diujikan pada 25 larva A. janata instar 2. Serangga uji diin-festasi dengan Steinernema sp. menggunakan teknik kertas saring. Kertas saring dipotong sebesar permukaan vial berdiameter 3cm. Potongan kertas saring diletakkan pada dasar vial. Kemudian 25 ekor larva diletakkan ke dalam masing-masing vial dengan pakan daun jarak kepyar. Pada masing-masing vial kemu-dian diteteskan nematoda dengan konsentrasi yang telah ditentukan. Pengamatan mortalitas larva dilakukan 24, 48, 72, 96, dan 120 jam setelah infestasi JI. Data mortalitas larva A.
janatadianalisismenggunakan Anova, bila
ter-dapat beda nyata antar perlakuan, maka dila-kukan uji jarak Duncan`s Mutiple Range Test (DMRT) 5%. Nilai lethal concentration (LC)
dan lethal time (LT) diperoleh berdasarkan
analisis probit.
Larva yang lolos dari infeksi Steiner-nema sp. dipelihara sampai menjadi dewasa. Untuk larva-larva yang lolos ini dilakukan pe-ngamatan bobot larva dan pupa, jumlah, dan fertilitas telur yang dihasilkan dewasanya. Un-tuk pengukuran parameter ini sampel peng-amatan yang diperoleh pada masing-masing pengamatan dalam satu ulangan dirata-rata sehingga diperoleh data satu ulangan. Ulangan yang digunakan sebanyak empat kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Anova bila terdapat beda nyata antarperlakuan,
ma-ka dilakuma-kan uji jarak Duncan`s Mutiple Range Test (DMRT) 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggunaan Steinernema sp. pada be-berapa serangga hama menunjukkan hal yang positif, antara lain menyebabkan mortalitas ulat bawang Spodoptera exigua instar 5 se-besar 90% (Wagiman et al. 2003), menye-babkan mortalitas rayap Coptotermes
curvig-nathussebesar99,66%(Bhakti 2004),
menye-babkan mortalitas ulat grayak Spodoptera litura
sebesar 78,30% (Uhan 2008a), menyebabkan mortalitas ulat tanah Agrotis ipsilon sebesar 76,67% (Uhan 2008b), menyebabkan
mortali-tasHelicoverpaarmigerasebesar90,00%
(Pra-bowo 2012) dan menyebabkan mortalitas ulat jantung kubis Crocidolomia binotalis sebesar 98,75% (Subagiya 2005). Adanya respon po-sitif infeksi juga terlihat saat pemberian
Stei-nernema sp. pada A. janata. Perlakuan
Steiner-nema sp. terhadap A. janata menyebabkan mortalitas yang bervariasi seperti yang terlihat pada Tabel 1. Perlakuan dengan Steinernema
sp. pada konsentrasi 50, 100, 200, 300, dan 400 JI/larva mempunyai tingkat keefektifan yang berbeda nyata dengan kontrol. Steiner-nema sp. memiliki persentase keefektifan un-tuk menyebabkan mortalitas larva A. janata
berkisar antara 37–94% mulai 24–120 jam setelah perlakuan. Semakin tinggi konsentrasi JI yang diberikan dan semakin lama larva terinfeksi JI, akan menyebabkan semakin meningkatnya mortalitas larva.
Menurut Shapiro-Ilan et al. (2002), de-ngan semakin meningkatnya konsentrasi JI, maka peluang infeksi JI melalui lubang-lubang alami, seperti: anus, mulut, atau spirakel se-makin tinggi dan sese-makin banyak. Dengan ba-nyaknya JI yang masuk ke dalam tubuh inang, maka jumlah sel-sel Xenorhabdus sp. yang tertransmisikan ke haemocoelcenderung akan semakin banyak, sehingga inang lebih cepat mengalami septisemia dan mati (Chapuis et al.
2012). Bakteri yang telah mencapai haemocoel
62
Tabel 1. Pengaruh konsentrasi Steinernema sp. terhadap mortalitas larva Achaea janata pada lima hari setelah pengujian
Konsentrasi Steinernema
sp. (JI/larva) 24 jam 48 jam Waktu setelah pengujian 72 jam 96 jam 120 jam
400 75,00 a 83,00 a 87,00 a 89,00 a 94,00 a 300 59,00 bc 74,00 a 83,00 a 84,00 a 87,00 b 200 47,00 c 55,00 b 62,00 b 75,00 b 80,00 c 100 43,00 c 50,00 bc 61,00 b 70,00 b 78,00 c 50 37,00 c 41,00 cd 46,00 c 59,00 c 64,00 d Kontrol 4,00 d 6,00 d 7,00 d 7,00 d 8,00 e
Keterangan: Angka diikuti oleh huruf yang sama kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji jarak Duncan.
Tabel 2. Estimasi lethal concentration (LC) Steinernema sp. terhadap larva A. janata
Lethal concentration (LC)
Pengamatan 24 jam setelah
perlakuan 48 jam setelah perlakuan 72 jam setelah perlakuan 96 jam setelah perlakuan 120 jam setelah perlakuan
LC25 (JI/larva) 43,08 35,52 25,01 9,08 7,07
LC50 (JI/larva) 184,98 116,85 79,91 39,37 28,26
LC95 (JI/larva) 6 461,20 2 131,30 1 357,69 1 410,23 830,06
(Shapiro-Ilan et al. 2002; Marineide et al. 1993). Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Cuth-bertson&Walters(2005),yangmenyatakan bah-wa dengan semakin tinggi konsentrasi
Steiner-nema feltiae yang diberikan terhadap Bemisia
tabaci akan menyebabkan peningkatan
kema-tian terhadap serangga tersebut.
Tabel 2. menunjukkan bahwa pada 72 jam setelah perlakuan LC25, LC50,dan LC95 ber-turut-turut sebesar 2,5 x 101; 7,9 x 101; dan 1,3 x 103 JI/larva, sedangkan pada 96 jam se-telah perlakuan LC25;LC 50, dan LC 95 berturut-turut sebesar 9,1 x 100; 3,9 x 101; dan 1,4 x 103 JI/larva. Pada 120 jam setelah perlakuan LC25; LC50; dan LC95 berturut-turut sebesar 7,0 x 100; 2,8 x 101; dan 8,3 x 102 JI/larva.. Dengan semakin lamanya waktu pengamatan maka konsentrasi JI Steinernema sp. yang dibutuh-kan untuk membunuh larva adibutuh-kan semakin se-dikit. Karena dengan semakin lamanya pema-paran larva, maka peluang JI untuk lebih lama kontak dengan serangga sasaran dan peluang JI menginfeksi larva lebih besar. Semakin ba-nyak JI yang menginfeksi inang, semakin be-sar peluang dilepaskannya bakteri Xenorhabdus
sp. ke dalam haemocoel inang (Chapuis et al.
2012). Bakteri Xenorhabdus sp. yang telah mencapai haemocoel kemudian akan mengu-bah jaringan tubuh serangga yang terinfeksi menjadi sumber makanan nematoda, sehingga
serangga inang tersebut mengalami kematian akibat septicemia (kematian akibat invasi bak-teri virulen dalam haemocoel serangga) (Forst & Clarke 2002). Hal ini sesuai dengan peneli-tian Subagiya (2005), yang menyatakan bahwa pada konsentrasi JI yang lebih rendah dengan waktu pengamatan lebih lama mampu menye-babkan kematian C. binotalis yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi JI yang le-bih tinggi dengan waktu pengamatan lele-bih singkat
Menurut Chongchitmate1 et al. (2005), LC50 pada 72 jam setelah perlakuan konsen-trasi JI Steinernema siamkayai, S.
carpocap-sae, dan S. riobrave untuk Helicoverpa
armi-gera berturut-turut sebesar 22,5; 1,2; 1,2; dan
untuk Spodoptera litura 18,0; 0,2; dan 1,8 JI/ larva. Menurut Subagiya (2005), efektivitas relatif S. carpocapsae terhadap Crocidolomia
binotalis dalam 216 jam berturut-turut untuk
konsentrasi 1 x 103, 2 x 103, dan 4 x 103 ada-lah 91,25%; 93,75%; dan 93,75%. Sedang-kan besarnya LC50 adalah 1,78 x 103 larva/ml. Menurut Laznik et al. (2010), pada 192 jam setelah perlakuan konsentrasi JI Steinernema
feltiae isolat B30, B49, dan 3162 yang
menye-babkan mortalitas pada Sitophilus oryzae LC50, (JI/larva)sebesar 2,5 x 103; 2,2 x 103; 1,5 x 103 JI/larva. Jika dibandingkan dengan
rio-63
Tabel 3. Estimasi lethal time (LT) Steinernema sp. terhadap larva A. janata.
Lethal Time (LT)
Konsentrasi Steinernema sp. (JI/larva)
400 300 200 100 50
LT25 (jam) 1 5 10 12 11
LT50 (jam) 6 16 32 39 47
LT95 (jam) 197 282 615 685 1 556
brave untuk membunuh H. armigera dan S.
litura, isolat Steinernema sp. membutuhkan
konsentrasi yang lebih tinggi untuk membu-nuh larva A. janata, sedangkan jika dibanding-kan dengan S. carpocapsae dan S. feltiae
ma-ka Steinernema sp. membutuhkan konsentrasi
JI yang lebih sedikit untuk membunuh larva A.
janata.
Adanya perbedaan kebutuhan konsen-trasi JI untuk menyebabkan mortalitas inang disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Dowds & Peters (2002), faktor yang berperan besar dalam mempengaruhinya di antaranya adalah mekanisme pertahanan serangga secara fisik untuk mencegah JI menginfeksi serangga
(mechanical barrier). Terdapat beberapa
meka-nisme pertahanan serangga secara fisik untuk mencegah JI menginfeksi serangga (
mecha-nical barrier), antara lain melalui perilaku,
mor-fologi tubuh, struktur anatomi pada spirakel, dan integument serangga. Adanya mekanisme pertahanan secara fisik ini menyebabkan kon-sentrasi JI yang dibutuhkan untuk membunuh inang akan berbeda pada inang yang berbeda. Karena terdapat serangga yang memiliki meka-nisme pertahanan secara fisik yang lemah dan ada pula yang kuat sehingga konsentrasi JI yang dibutuhkan berbeda. Serangga yang me-miliki mandible kuat, lapisan sieve pada spi-rakel yang kuat, adanya lapisan epitelium pada integument, dan adanya lapisan pada saluran pencernaan yang kuat cenderung lebih tahan terhadap JI sehingga berdampak pula akan membutuhkan konsentrasi JI yang lebih banyak untuk membunuh inang yang memiliki spe-sifikasi mekanisme pertahanan fisik seperti ini (Dowds & Peters 2002). Pada Tabel 3 terlihat bahwa konsentrasi 200 JI/larva Steinernema
sp., waktu yang dibutuhkan untuk membunuh larva A. janata LT25, LT50,LT95 (jam)
berturut-turut sebesar 10, 32, dan 615 jam. Pada kon-sentrasi 300 JI/larva Steinernema sp., waktu yang dibutuhkan untuk membunuh larva A.
janata LT25,LT50,LT95 (jam) berturut-turut
se-besar 5, 16, dan 282 jam. Sedangkan pada konsentrasi 400 JI/larva Steinernema sp., wak-tu yang dibuwak-tuhkan unwak-tuk membunuh larva A.
janata LT25,LT50,LT95 (jam) berturut-turut
se-besar 1, 6, dan 197 jam. Hasil penghitungan
lethal time (LT) menunjukkan kecenderungan
bahwa pada semua konsentrasi JI yang diberi-kan, semakin tinggi persentase kematian larva maka akan semakin lama waktu yang dibu-tuhkan untuk membunuh larva. Hal ini sesuai dengan penelitian Mahar et al. (2004), yang menyatakanbahwadengansemakintinggi per-sentase kematian P. xylostella maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk membunuh larva. Steinernema sp. memerlukan waktu un-tuk membunuh serangga sasaran. Ketika JI sudah melepaskan bakteri di haemocoel diper-lukan waktu bagi bakteri untuk menghancur-kan jaringan serangga. Metabolisme bakteri melalui proses septicemia jaringan dan endo-toksin nematoda dalam tubuh serangga akan menyebabkan kematian dalam waktu 24–72 jam (Ravichandra 2008; Griffin et al. 2005). Oleh karena itu dengan semakin tinggi per-sentase kematian serangga sasaran maka se-makin lama waktu yang dibutuhkannya (Aydin & Susurluk 2005).
Menurut Chongchitmate1 et al. (2005), pada perlakuan konsentrasi 5 JI/larva
Steiner-nema siamkayai, S. carpocapsae, dan S.
rio-brave menyebabkan mortalitas pada
Helicover-pa armigera dan Spodoptera litura LT50, selama
4; 1; 2; 3; 1; dan 2 hari. Jika dibandingkan dengan Steinernema siamkayai, S.
carpocap-sae, dan S. riobrave untuk membunuh H.
64
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membunuh A. janata. Adanya perbedaan waktu untuk membunuh serangga sasaran disebab-kan karena adanya sistem imun di dalam se-rangga. Serangga memiliki mekanisme sistem imun ketika JI telah masuk ke dalam tubuh serangga, mekanisme imun tersebut adalah enkapsulasi dan pembentukan lapisan keras melanin (melanization) terhadap JI yang masuk kedalam tubuh serangga (Mastore & Brivio 2008; Li et al. 2007; Balasubrahmanian et al.
2009).
Adanya kedua sistem imun ini menye-babkan JI tidak dapat membunuh serangga inang. Kekuatan sistem imun pada masing-masing serangga berbeda-beda tergantung spe-siesnya. Dengan adanya perbedaan ini me-nyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk mem-bunuh serangga sasaran yang berbeda. Se-rangga yang memiliki sistem imun lemah me-miliki waktu membunuh (LT) serangga sasar-an ysasar-ang lebih singkat (Armer et al. 2004).
Selain berpengaruh terhadap lama wak-tu membunuh larva, adanya sistem imun ini menyebabkan serangga dapat lolos dari infeksi
Steinernema sp. Persentase larva yang lolos
infeksi berkisar antara 6–26%. Adanya akti- vasi sistem imun ini memiliki dampak negatif untuk serangga karena akan berpengaruh terhadap gangguan terhadap perkembangan fisiologis serangga yang lolos infeksi. Karena sebagian energi terpusat untuk aktivasi sistem imun serangga. Akibatnya serangga yang lolos
Tabel 4. Pengaruh konsentrasi Steinernema sp. terhadap bobot larva, pupa, jumlah telur yang dihasilkan, dan persentase telur yang berhasil menetas pada Achaea janata
Konsentrasi Steinernema sp. (JI/larva)
Bobot
larva (g) pupa (g) Bobot Jumlah telur Persentase telur tetas
400 0,51 a 0,53 a 112,50 a 31,64 ab 300 0,64 ab 0,55 a 222,50 ab 39,51 b 200 0,74 bc 0,57 a 354,50 ab 44,30 b 100 0,79 bc 0,61 a 460,00 cb 50,70 b 50 0,85 bc 0,69 ab 641,25 c 67,37 bc Kontrol 0,95 c 0,75 b 1 017,50 d 88,63 c
Keterangan: Angka diikuti oleh huruf yang sama kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji jarak Duncan.
infeksi akan mengalami hambatan dalam per-kembangan ke stadium selanjutnya (Ebrahimi
et al. 2011; Lazarro & Little 2009).
Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian
Steinernema sp. pada konsentrasi 50, 100,
200, 300, dan 400 JI/larva menyebabkan bobot larva, bobot pupa, jumlah telur yang dihasil-kan dan persentase telur yang menetas pada
A. janata berbeda nyata dengan kontrol.
Bo-bot larva, boBo-bot pupa, jumlah telur yang diha-silkan dan persentase telur yang menetas pada
A. janata lebih rendah dibandingkan kontrol.
Pada Gambar 1 dan 2 terlihat bahwa terdapat korelasi positif antara konsentrasi JI dan per-sentase penurunan bobot larva dan bobot
pu-pa A. janata yang lolos dari infeksi
Steinerne-ma sp. (r = 0,88; y = 0,099x + 4,71 untuk per-sentase penurunan bobot larva dan r = 0,68; y = 0,056x + 95,3 untuk persentase penurun-an bobot pupa). Peningkatpenurun-an konsentrasi JI berpengaruh terhadap bobot larva dan bobot pupa. Meningkatnya jumlah JI yang diin-fektirkan menyebabkan bobot larva dan bobot pupa semakin lebih rendah dibandingkan kontrol. Bobot larva A. janata lebih rendah 0,44−0,98 gram dibandingkan dengan kontrol.
Gambar 1. Hubungan antara konsentrasi JI dan persentase penurunan bobot larva A. janata yang lolos dari infeksi Steiner-nema sp.
Adanya gangguan pada bobot larva ter-nyata juga berlanjut ke penurunan bobot pu-pa, jumlah telur yang dihasilkan, dan persen-tase telur yang menetas. Menurut Ebrahimi et
y = 0,099x + 4,71 R² = 0,88 0 10 20 30 40 50 60 0 100 200 300 400 Konsentrasi JI (JI/larva) Pe nu ru na n bo bo t l arv a 6 0%
65
al. (2011), infeksi Steinernema feltiae menye-babkan gangguan pembentukan sayap imago, penundaan lamanya siklus hidup serangga, dan penurunan kebugaran Leptinotarsa
de-cemlineata. Gangguan perkembangan serangga
dapat terjadi ketika nematoda lolos dari
sis-tem enkapsulasi serangga (Girling et al. 2010).
Gambar 2. Hubungan antara konsentrasi JI dan persentase penurunan bobot pupa A. janata yang lolos dari infeksi Steiner-nema sp.
Implikasi dari penelitian ini adalah diper-olehnya informasi akan keefektifan dari
Stei-nernema spp. isolat Asembagus terhadap A.
janata. Selain itu dari hasil penelitian ini dapat
dijadikan dasar untuk penelitian lanjutan ten-tang mekanisme pertahanan A. janata
terha-dap Steinernema spp. dan uji lanjutan
keefek-tifannya di lapangan.
KESIMPULAN
PemberianSteinernemasp.pada konsen-trasi 200, 300, dan 400 JI/larva cukup efektif untuk membunuh A. janata dengan persenta-se berkisar antara 80–94% mulai 48–120 jam setelah perlakuan. Semakin tinggi konsentrasi nematoda, semakin tinggi mortalitas yang di-sebabkan, serta Steinernema sp. dengan kon-sentrasi 400 JI/larva paling efektif membunuh larva, menurunkan bobot larva, bobot pupa, jumlah telur yang dihasilkan, dan fertilitas telur.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Prof. Dr. Nurindah, Drs. Dwi Adi Sunarto, MP., dan Nur Asbani, SP., MSi. atas masukan dan koreksi terhadap makalah ini, serta kepada Zahara Mardiah, STP mahasiswa Wageningen University atas bantuan pencarian artikel yang berhubungan dengan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Akhdiya, A, Pratiwi, E, Samudra, IM & Priatno, TP 2008, Toksisitas bakteri simbion nematoda patogen serangga terhadap larva ulat Hong-kong, Prosiding Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 27:120–125.
Anonim 1996, The food quality protection act
(FQPA) of 1996, United States Environmental Protection Agency, Office of Pesticide Research, diakses pada 4 Maret 2013 (http://www.epa. gov/oppfead1/fqpa/).
Armer, CA, Berry, RE, Reed, GL & Jepsen, SJ 2004, Colorado potato beetle control by application of the entomopathogenic nematode hetero-rhabditis marelata and potato plant alkaloid manipulation, Entomol Exp. Appl. 111:47–58. Arthurs, S, Heinz, KM & Prasifka, JR 2004, An
analysis of using entomopathogenic nema-todes against above ground pests, Bulletin Entomology Research 94(4):297–306.
Aydin, H & Susurluk, A 2005, Competitive abilities of the entomopathogenic nematodes Steiner-nema feltiae and Heterorhabditis bacterio-phora in the same host at different tempera-tures, Turk J. Biology 29:35–39.
Balasubrahmanian, N, Hao, YJ, Toubarro, D, Nasci-mento, G & Simoes, N 2009, Purification bio-chemical and molecular analysis of a chymo-trypsin protease with prophenoloxidase sup-pression activity from the entomopathogenic nematode Steinernema carpocapsae, Interna-tional Journal for Parasitology 32(9):975–984. Baliadi, Y 2004, Patogenisitas nematode
entomo-patogen terhadap ulat grayak kedelai Spo-dopteralituraF.,JurnalIlmuPertanianMapeta
7:59–64.
Bhadauria, NKS, Singh, UC & Dwivedi, US 2002, Biology of Achaea janata Linneaus on Castor
y = 0,056x + 95,3 R² = 0,68 0 10 20 30 40 0 100 200 300 400 Konsentrasi JI (JI/Larva) % Pe nu ru na n b obo t p up a
66
and Rose, Agric. Science Digest 22(3):213– 214.
Bhakti, D 2004, Pengendalian rayap Coptotermes
curgnathus Holmgren menggunakan
nema-toda Steinernema carpocapse W. dalam skala laboratorium, Jurnal Natur Indonesia 6(2):81– 83.
Bjorson & Schutte 2003, Pathogens of mass pro-duced natural enemies and pollinators, in Lenteren, JC van (ed.), Quality control and production of biological control agents theory and testing procedures, CABI International, USA, p. 133–165.
Boemare, N & Tailliez, P 2009, Molecular ap-proaches and techniques for the study of entomopathogenic bacteria, in Stock, SP et al. (eds.), Insect pathogens: Molecular approaches and techniques, CAB International, UK, p. 32– 45.
Campbell, JF & Lewis, EE 2002, Entomopathogenic nematode hostsearch strategies. in Lewis, EE
et al. MVK (eds.), The behavioural ecology of parasites, CABI Publishing., Wallingford, UK, p. 13–38
Chapuis, E, Arnal, A & Ferdy, JB 2012, Trade-offs shape the evolution of the vectorborne insect pathogen Xenorhabdus nematophila, Procee-ding of Royal Society B, p. 1–9.
Chongchitmate1, P, Somsook, V, Hormchan, P & Visarathanonth, N 2005, Bionomics of ento-mopathogenic nematode Steinernema siam-kayai Stock, Somsook and Reid (n. sp.) and its efficacy against Helicoverpa armigera Hüb-ner (Lepidoptera: Noctuidae), Kasetsart J. Nat. Sci. 39:431–439.
Constant, RHF, Waterfield, N & Daborn, P 2010. Insecticidal Toxins from Photorhabdus and Xenorhabdus, in Lawrence, IG et al. (eds.),
Insect control biological and synthetic agents, Academic Press, UK, p. 313–323.
Cuthbertson, AGS & Walters, KFA 2005, Evaluation of exposure time of Steinernema felticae
against second instar Bemisia tabaci, Tests Agrochem. Cult. 26(1):34–35.
Dhaliwal, GS, Koul, O & Arora, R 2004, Integrated pest management: Restrospect and prospect, in Koul, O et al. (eds.), Integrated pest ma-nagement potentials, constraints, and cha-llenges, CAB International, London, UK, p.1. Dowds, BCA & Peters, A 2002, Virulence
mecha-nism, in Gaugler, R (ed.) 2002,
Entomopatho-genic nemathology, CAB International, UK, p. 79–95.
Divya, K & Sankar, M 2009, Entomopathogenic ne-matodes in pest management, Indian, Journal of Science and Technology 2(7):53–60. Elawad, SA, Mousa, AS, Shahdad, SA, Alawaash &
Alamiri, A 2007, Efficacy of entomopathogenic nematodes against red palm weevil in UAE,
Acta Hortic., 736:415–420.
Ehlers, RU 2003, Entomopathogenic nematodes in the European biocontrol market, Commun Agric. Appl. Biol. Sci. 68:3–16.
Ehlers, RU 2007, Entomopathogenic nematodes: from science to commercial use, in Vincent, G
et al. (eds.), Biological control a global pers-pective, CAB International, USA, p. 136–151. Elbrahimi, L, Niknam, G & Lewis, EE 2011, Lethal
and sublethal effects of Iranian isolates of
Steinernema feltiae and Heterorhabditis bac-teriophora on the Colorado potato beetle,
Leptinotarsa decemlineata, Biocontrol 56(5): 781–788.
Forst, S & Clarke, D 2002, Bacteria-nematode symbiosis, in Gaugler, R (ed.) Entomopatho-genic nematology, CABI Publishing, UK, p. 57–78
Georgis, R, Koppenhöfer, AM, Lacey, LA, Be´ lair, G, Duncan, LW, Grewal, PS, Samish, M, Tan, L, Torr, P & van Tol, RWHM 2006, Successes and failures in the use of parasitic nematodes for pest control, Biological Control 38:103– 123.
Girling, RD, Ennis, D, Dillon, AB & Griffin, CT 2010, The lethal and sublethal consequences of entomopathogenic nematode infestation and exposure for adult pine weevils, Hylobius abietis (Coleoptera:Curculionidae), Journal of Invertebrate Pathology 104(3):195–202. Grewal, PS, Ehlers, RU & Shapiro-Ilan, DI 2005,
Critical issues and research needs for expand-ing the use of nematodes in biocontrol, in Grewal, PS et al. (eds.), Nematodes as bio-control agents, CABI Publishing, Wallingford, UK, p. 479–488.
Griffin, CT, Boemare, NE & Lewis, EE 2005, Biology and behavior, in, Grewal, PS et al. (eds.), Nematodes as biocontrol agents, CABI Pub-lishing, Wallingford, UK, p. 47–60.
Hunt, DJ 2007, Overview of taxonomy and sys-tematic, in: Khuong, B et al. (eds.), Entomo-pathogenic nematodes: systematic,
phylo-67
geny, and bacterial symbionts, Brill Publisher, Netherlands, p. 27–57.
Horowitz, A & Ishaaya, I 2012, Advanced techno-logies for managing insect pest: An overview, in Ishaaya, I et al. (eds.), Advanced technolo-gies for managing insect pest, Spingerlink Publishing, London. p. 1–12
Indian Council of Agricultural Research (ICAR) 2009, Annual Report 2008–2009, diakses pada tanggal 4 Maret 2013 (http://www.icar.org.
in/files/reports/icar-dare-annual-reports/2008. 09/08.Crop%20Manag ement.pdf).
Kaya, HK & Vega, FE 2012, Scope and basic principles of insect pathology, in, Kaya, HK & Vega FE (eds.), Insect pathology, Academic Press, UK, p. 1–11.
Koppenhöfer, AM & Kaya, HK 2002, Entomopa-thogenic nematodes and insect pest mana-gement, in Koul, O & Dhaliwal, GS (eds.), Mi-crobial biopesticides, Taylor and Francis, UK, p. 284–307.
Koppenhöfer, AM & Fuzy, EM 2009, Long-term ef-fects and persistence of Steinernema scara-baei applied for suppression of Anomala ori-entalis (Coleoptera: Scarabaeidae), Biological Control 48:63–72.
Koppenhöfer, AM, Ebssa, L & Fuzy, EM 2012, Sto-rage temperature and duration affect Steiner-nema scarabei dispersal and attraction, viru-lence, and infectivity to a white grup host.
Journal of Invertebratae Pathology 112:129– 137.
Lazarovits, G, Goettel, MS & Vincent, C 2007, Adventures in biocontrol, in Vincent, C et al.
(eds.) Biological control a global perspective, CAB International, London, UK, p. 2.
Lazzaro, BP & Little, TJ 2009. Immunity in a va-riable world, Philos. Trans R. Soc. B. 364:15–26. Laznik, Z, Toth, T, Lakatos, T, Vidrih, M & Trdan, S
2010, The activity of three new strains of
Steinernema feltiae aganist adults of Sitophi-lus oryzae under laboratory conditions, Journal of Food Agriculture and Environment 8:132– 136.
Lewis, EE, Campbell, J, Griffin, C, Kaya, H & Pe-ters, A 2006, Behavioral ecology of entomo-pathogenic nematodes, Journal Biological Con-trol 38:66–79.
Li, XY, Cowles, RS, Cowles, EA, Gaugler, R & Cox-Foster, DL 2007, Relationship between the successful infection by entomopathogenic
nema-todes and the host immune response, Inter-national Journal for Parasitology 37:365–374. Mahar, AN, Munir, M & Elawad, S 2004, Microbial
control of diamondback moth Plutella xylos-tella L. (Lepidoptera: Plutellidae) using bac-teria Xenorhabdus nematophila and its meta-bolites from entomopathogenic nematode
Steinernema carpocapsae, J. Zhejian Univ. Sci. 5(10):1.183–1.190.
Marineide, M, Aguillera & Smart Jr, CS 1993, Development, reproduction, and pathogeni-city of Steinernema scapterisci in monoxenic culture with different species of bacteria,
Journal of Invertebrate Pathology 62:289– 294.
Mastore, M & Brivio, MF 2008, Cuticular surface lipids are responsible for distinguise proper-ties of an entomoparasite against host cellular responses, Developmentals and Comparative Immunology 32(9):1050–1062.
Prabowo, H 2012, Patogenisitas nematoda Steiner-nema spp. isolat Asembagus terhadap Helico-verpa armigera Hubner, Prosiding Seminar Nasional Serat Alam Inovasi Teknologi Serat Alam Mendukung Agroindustri Yang Berkelan-jutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor, hlm. 211–215.
Pino, FGD & Jove, M 2005, Compability of ento-mopathogenic nematodes with fipronil, Jour-nal of Helminthology 79(2005):333–337. Poinar Jr, GO 1990, Biology and taxonomy of
Steinernematidae and Heterorhabditidae, in Gaugler, R & Kaya, HK (eds.), Entomopatho-genic nematodes in biological control, Boca Raton, FL, CRC Press, p. 23–62.
Rajendra, S 2007, Elements of entomology, Ras-togi Publication, India, p. 378–379.
Rao, MS, Rao, CAR, Srinivas, K, Pratibha, G, Sek-har, SMV, Vani, GS & Venkateswarlu, B 2012, Intercropping for management of insect pests of castor Ricinus communis, in the semiarid tropics of India, Journal of Insect Science
12(14):1–10.
Ravichandra, NG 2008, Plant nematology, IK Inter-national Publishing House, First Edition, India, p. 434–437.
Santoso, T, Bunga, JA & Supramana 2009, Bio-efficacy of entomopathogenic nematode, Stei-nernema sp. isolated from Timor Island as bioinsecticide on sweet potato weevil, Cyclas formicarius (Fabr), (Coleoptera: Brentidae),
68
Shapiro-Ilan, DI, Gouge, DH, Koppenhöfer, AM 2002, Factors affecting commercial success: case studies in cotton, turf and citrus, in Gaugler, R (ed.), Entomopathogenic nema-tology, CAB International, Wallingford, pp. 333–355.
Subagiya 2005, Pengendalian hayati dengan ne-matoda entomogenus Steinernema carpocap-sae (All) strain lokal terhadap hama Croci-dolomia binotalis Zell. di Tawangmangu, Agro-sains 7(1):34–39.
Snyder, H, Stock, P, Kim, SK, Flores-Lara, Y & Forst, S 2007, New insights into the coloni-zation and release processes of Xenorhabdus nematophila and the morphology and ultra-structure of the bacterial receptacle of its ne-matode host, Steinernema carpocapsae, Appl. Environ. Microbiol. 73:5338–5346.
Stock, SP & Hunt, DJ 2005, Morphology and sys-tematics of nematodes used in biocontrol, in Grewal, PS et al. (eds.), Nematodes as bio-control agents, CABI Publishing, Wallingford, UK, p. 3–43.
Umamaheswari, R, Sivakumar, M & Subramanian, S 2006, Survival and infectivity of
entomo-pathogenic nematodes in alginate gel formu-lations against rice meal moth larva, Corcyra cephalonica Stainton, Natural Product Radi-ance 5(2):95–98.
Uhan, TS 2008a, Bioefikasi beberapa isolat nema-toda entomopatogenik Steinernema spp. ter-hadap Spodoptera litura Fabricius pada ta-naman cabai di rumah kaca, J. Hort. 18(2): 175–184.
Uhan, TS 2008b. Keefektifan nematoda entomo-patogen Steinernema carpocapsae (Rhabdi-tida: Steinernematidae) isolat lembang ter-hadap mortalitas larva Agrotis ipsilon Hufn. (Lepidoptera: Noctuidae) pada tanaman kubis di rumah kaca, J. Hort. 18(2):165–174. Wagiman, FX, Triman, B & Astuti, RS 2003,
Ke-efektifan Steinernema sp. terhadap Spodop-tera exigua, Jurnal Perlindungan Tanaman In-donesia 9(1):22–27.
Wright, DJ, Peters, A, Schroer, S, Fife, JP 2005,
Application technology, in Grewal, PS et al.
(eds.), Nematodes as bio-control agents, CABI Publishing, pp. 91–106.