• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KEBIASAAN KONSUMSI PURIN TERHADAP KEJADIAN HIPERURISEMIA PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT TASIK MEDIKA CITRATAMA TASIKMALAYA TAHUN 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN KEBIASAAN KONSUMSI PURIN TERHADAP KEJADIAN HIPERURISEMIA PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT TASIK MEDIKA CITRATAMA TASIKMALAYA TAHUN 2014"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KEBIASAAN KONSUMSI PURIN TERHADAP KEJADIAN HIPERURISEMIA PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT TASIK MEDIKA CITRATAMA TASIKMALAYA

TAHUN 2014

Oleh :

Sonia Megawati Pamungkas, Siti Novianti, Lilik Hidayanti Peminatan Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Siliwangi

sonyamegawatipamungkas@gmail.com

ABSTRAK

Hiperurisemia atau lebih di kenal dengan meningkatnya kadar asam urat di dalam darah merupakan suatu penyakit gangguan kinetik asam urat, dimana salah satu penyebabnya adalah asupan purin. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan kebiasaan mengkonsumsi purin dengan kejadian hiperurisemia pada pasien rawat jalan RS TMC Tasikmalaya. Metode penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Instrumen penelitian menggunakan lembar kuesioner, populasi sebanyak 113 dan sampel sebanyak 87 dengan menggunakan teknik accidental. Teknik analisis menggunakan univariat dan bivariat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui kebiasaan konsumsi purin dengan kategori sering (64,4%), jarang (35,6%), rata-rata kadar purin 7,27 mg/dl, kejadian hiperurisemia (49,4%), dan non hiperurisemia (50,6%). Hasil uji statistik diketahui ada hubungan umur (p value=0,026, OR = 6,364), ada hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi purin (p value = 0,000, OR = 15,485) dengan kejadian hiperurisemia. Perlu meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai kandungan purin dalam jenis-jenis makanan dan dampaknya terhadap kejadian hiperurisemia.

Kata Kunci : Konsumsi Purin, Hiperurisemia Kepustakaan : 1994 – 2010

ABSTRACT

Hyperuricemia or more in the know with the increased levels of uric acid in the blood is a disorder of uric acid kinetics, where one of the causes is the intake of purines. The purpose of this study was to analyze the relationship of purine consumption habits to the incidence of hyperuricemia in the outpatient TMC Tasikmalaya hospital. Quantitative descriptive research method with cross sectional approach. Instruments peneliltian using questionnaire, a population of 113 and a sample of 87 with menggundakan acidentil technique, technique using univariate and bivariate analysis. The results of research known purine consumption habits with frequent category (64.4%), rarely (35.6%), the average levels of purine 7.27 mg / dl, the incidence of hyperuricemia (49.4%), and non-hyperuricaemia (50.6%). The results of the statistical test is known to have a relationship between the consumption habits of purine (p value = 0.000, OR = 15.485) with the incidence of hyperuricemia. Need to organize counseling services to patients to reduce or limit the consumption of purine.

Keywords: Habits Purin, Hyperuricemia Bibliography: 1994 - 2010

(2)

PENDAHULUAN

Seiring dengan perubahan tingkat pendapatan masyarakat, terjadi perubahan gaya hidup termasuk perubahan pola makan yang dapat memicu timbulnya penyakit asam urat. (Depkes Rl, 1994). Asam urat adalah suatu bahan normal dalam tubuh dan merupakan hasil akhir dari metabolisme purin yaitu hasil degradasi purin nucleotide yang merupakan bahan penting dalam tubuh sebagai komponen dari asam nukleat dan penghasil energi dalam inti sel. Hiperurisemia adalah keadaan karena terjadi peningkatan kadar asam urat darah di atas normal, yaitu lebih dari 7,0 mg/dl pada laki-laki dan 6,0 mg/dl pada perempuan. Penyebabnya adalah (1) Hipeurisemia dapat terjadi peningkatan metabolisme asam urat (overproduction), (2) penurunan pengeluaran asam urat urine (underection) atau gabungan keduanya. Peningkatan kadar asam urat dalam darah ini akan mengakibatkan penyakit asam urat. (Putra, 2006).

Penyakit asam urat merupakan suatu penyakit tidak menular yang memiliki nama lain yaitu arthritis pirai atau arthritis gout (atau sering juga disebut "gout"). Arthritis pirai merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi atau penumpukan kristal monosodium urat di dalam cairan ekstraselular. Deposisi asam urat ini terjadi pada jaringan yang dapat menimbulkan beberapa manifestasi klinis, yaitu terjadinya arthritis gout akut; pembentukan tophus/ tofi (akumulasi urat pada saluran kencing; dan gout nefropati/ kegagalan ginjal, namun jarang terjadi (Putra, 2006).

Penyakit asam urat ini pada umumnya dapat mengganggu aktivitas harian penderitanya. Penderita penyakit asam urat tingkat lanjut akan mengalami radang sendi yang timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Penderita tidur tanpa ada gejala apapun namun ketika bangun pagi harinya terasa sakit yang sangat hebat hingga tidak bisa berjalan. Apabila proses penyakit berlanjut dapat terkena sendi lain yaitu pergelengan tangan atau kaki, lutut, dan siku (Tehupeiory, 2006).

Angka kejadian hiperurisemia tertinggi dijumpai di Negara Cina pada tahun 2011 mendapatkan prevalensi hiperurisemia sebesar 21,6% pada pria dan 8,6% pada wanita. Di Jepang, Okinawa General Health Maintenance Association melakukan skrining terhadap 9.914 individu (6.163 pria dan 3.751 wanita usia 1 8 - 8 9 tahun) dan didapatkan prevalensi hiperurisemia secara keseluruhan sebesar 28,5%, dengan prevalensi hiperurisemia pada pria sebesar 34,5% dan pada wanita sebesar 11,6%. Di Indonesia juga telah dilakukan penelitian untuk mencari prevalensi hiperurisemia. Prevalensi hiperurisemia di desa Tenganan Pegrisingan Karangasem, Bali pada tahun 2011 didapatkan sebesar 28%.7. Di Minahasa, pada tahun 2003 tercatat proporsi kejadian arthritis gout sebesar 29,2% dan pada etnis tertentu di Ujung Pandang sekitar 50% penderita rata-rata telah menderita gout 6,5 tahun atau lebih setelah keadaan menjadi lebih parah. Sementara di Bandungan Jawa Tengah, prevalensi pada kelompok usia muda, yaitu antara 15-45 tahun, sebesar 0,8%, meliputi pria 1,7% dan wanita ,05%. (Karimba, 2010).

Peningkatan kadar asam urat atau hiperurisemia dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya : faktor genetik, peningkatan pergantian asam nukleat, indeks masa tubuh, usia, jenis kelamin, konsumsi purin, konsumsi alkohol, penyakit dan obat-obatan. (Putra, 2006).

Dalam penelitian dikatakan bahwa faktor risiko paling sering yang dapat menyebabkan hiperurisemia adalah konsumsi makanan tinggi purin seperti daging merah dan alkohol. Menurut Moa, et al, faktor diet (makanan tinggi purin) berperan aktif dalam meningkatkan prevalensi hiperurisemia. Hasil pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingginya konsumsi makanan tinggi purin seperti daging merah, ikan, makanan laut dan minuman keras akan menghasilkan prevalensi serangan hiperurisemia yang berbeda (Edward, 2008).

Purin merupakan molekul yang terdapat di dalam inti sel dalam bentuk nukleotida (Karyadi, 2002). Menurut Dalimartha 2002, purin adalah protein yang termasuk dalam golongan nuldeoprotein. Selain didapat dari makanan juga berasal dari penghancuran sel-sel yang sudah tua. Pembuatan atau sintesa purin juga dilakukan oleh tubuh sendiri dari bahan-bahan seperti C02, glutamin, glisin, asam aspartat, dan folat. Diduga metabolit purin diangkut ke hati, lalu mengalami oksidasi menjadi asam urat. Kelebihan asam urat dibuang melalui ginjal dan usus.

Bahan pangan yang tinggi kandungan purinnya dapat meningkatkan kadar asam urat dalam urin. Konsumsi lemak atau minyak tinggi (seperti makanan yang digoreng, santan, margarin atau mentega) dan buah-buahan yang mengandung lemak tinggi (seperti durian dan alpukat) dapat meningkatkan kadar serum karena menurunkan pengeluaran asam urat di ginjal. Mengkonsumsi karbohidrat sederhana gula, permen, harum manis, dan gulali juga dapat meningkatkan kadar asam urat serum (Soegih 1991 dalam Krisnatuti 2008).

(3)

Konsumsi makanan yang banyak mengandung purin dapat menyebabkan asam urat, namun dapat pula disebabkan oleh metabolisme tubuh yang tidak sempurna dan bekerja dengan optimal. Penyebab lainnya juga datang dari kegagalan ginjal yang memaksa sel tubuh untuk mengeluarkan asam urat melalui urine. Pada umumnya penyakit asam urat hinggap pada mereka yang berusia lanjut baik pria maupun wanita, namun dari banyaknya kasus penyakit asam urat ini, penyakit asam urat tidak hanya diderita oleh mereka yang berusia lanjut. Menurut survei asam urat tidak mengenal batasan usia, asam urat pun dapat menyerang mereka yang masih dalam usia muda, remaja bahkan anak-anak.

Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti pada tanggal 02 Januari 2014 di Poli Rawat Jalan RS TMC Tasikmalaya terhadap 15 pasien yang melakukan pemeriksaan kadar asam urat dimana 75% nilai asam uratnya tinggi dengan nilai rata-rata asam urat sebesar 9.14 mg/dl sedangkan batas normal adalah 2.4 - 7.0 mg/dl. Berdasarkan hasil wawancara, dari 15 pasien diantaranya 75% berusia kurang dari 65 tahun dan 25% berusia lebih dari 65 tahun. Di samping itu dari 15 pasien 60% mengkonsumsi kelompok makanan tinggi purin misalnya jeroan. 25% mengkonsumsi makanaan purin seperti daging, ikan dan kacang-kacangan sedangkan 15% mengkonsumsi rendah purin misalnya seperti sayuran dan buah-buahan.

Kadar asam urat dikontrol oleh beberapa gen. Analisis The National Heart, Lung and Blood Institute Family Studies menunjukkan hubungan antara faktor keturunan dengan asap urat sebanyak kira-kira 40 L. (Putra, 2006). Penelitian Wallace yang menjelaskan bahwa adanya peningkatan terjadinya penyakit hiperurisemia yang seiring dengan bertambahnya umur. Wallace menjelaskan bahwa seseorang yang berumur 65 - 74 tahun akan meningkatkan terjadinya penyakit hiperurisemia. Dari 21/100 orang menjadi 24/100 orang dari tahun 1990 sampai tahun 1992 dan semakin meningkatkan menjadi 31/1000 dari tahun 1997 sampai tahun 1999. Penelitian Choi yang menjelaskan bahwa pasien yang umurnya di bawah 65 tahun prevalensi hiperurisemia lebih besar pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan wanita yaitu dengan ratio 3 : 1 (K. Choi, 2004).

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kebiasaan konsumsi purin, kejadian hiperurisemia, dan menganalisis hubungan kebiasaan mengkonsumsi purin dengan kejadian hiperurisemia pada pasien rawat jalan RS TMC Tasikmalaya pada tahun 2014.

Metode Penelitian

Penelitian termasuk jenis penelitian kuantitatif, metode penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian adalah pasien rawat jalan yang berjenis kelamin laki-laki yang melakukan pemeriksaan asam urat. Jumlah sampel sebanyak 87 orang, teknik pengambilan sampel aksidental, dengan kriteria pasien rawat jalan RS. TMC Tasikmalaya yang melakukan pemeriksaan asam urat, berjenis kelamin laki-laki. Instrumen menggunakan kuesioner (FFQ).

Variabel penelitian terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas dalam hal ini kebiasaan konsumsi purin dan variabel terikatnya yaitu kejadian hiperurisemia. Untuk lebih jelasnya variabel penelitian dapat penulis operasionalisasikan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Definisi Operasional Variabel No

Variabel Definisi

operasional Alat Ukur Kategori Skala

Kebiasaan Konsumsi Purin (Variabel X) Kebiasaan konsumsi purin adalah banyaknya makanan mengandung zat purin yang dikonsumsi oleh responden Food Frequency Questionnaire (FFQ)

0. Sering sekali : jika konsumsi > 1 kali perhari skor 50

1. Sering : jika 1 kali perhari skor 35 2. Biasa : jika > 3kali perminggu skor 25 3. Kadang-kadang : jika 1-3 kali

perminggu skor 10

4. Jarang sekali : jika 1-3kali perbulan skor 5

5. Tidak pernah mengkonsumsi skor 0

Nominal

Kejadian Hiperurisemia (Variabel Y)

Kadar asam urat melebihi batas standar yang ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan Melihat hasil pengukuran laboratorium RS TMC

0. Hiperurisemia : kadar purin > 7.0 mg/dl 1. Non Hiperurisemia kadar purin ≤ 7.0

mg/dl

(4)

Teknik analisis data menggunakan analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan kebiasaan konsumsi purin dan kejadian hipreurisemia, dengan uji statistik ; nilai rata-rata atau mean, standar deviasi, minimal, dan maksimal. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan kebiasaan konsumsi purin dengan kejadian hiperurisemia, uji statistik yang digunakan chi square.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Usia pasien rawat jalan di RS TMC Tasikmalaya yang menjadi subyek penelitian berkisar antara 43 tahun sampai dengan 68 tahun dengan rata-rata usia 55 tahun 4 bulan dengan standar deviasi 6,26. Dari latar belakang pendidikan, sebanyak 40,2% berpendidikan SMA, 18,4% berpendidikan Diploma (D1, D2, D3), 37,9% berpendidikan lulusan S1, 3,4% berpendidikan lulusan S2. Berdasarkan status pekerjaannya, sebanyak 2,3% petani, 42,5% berwiraswasta, 24,1% pegawai swasta, 31% PNS/Polri/TNI/BUMN dan 4,6% pensiunan PNS/Polri/TNI/BUMN.

Kebiasaan konsumsi purin diukur dengan menggunakan metode FFQ terhadap 27 jenis makanan yang mengandung purin. Jenis makanan dikelompok menjadi 3 kelompok yaitu kelompok tinggi purin (100-1000 mg/100 g), makanan dengan kadar purin sedang (9-100 mg/100 g) dan makanan dengan kadar purin rendah. Responden dikatakan sering jika pada salah satu kelompok makanan tinggi purin atau sedang purin terdapat skor > 25 atau dikonsumsi 1 kali/hari, dan dikatakan jarang jika terdapat skor < 25 pada salah satu kelompok makanan tinggi purin ataupun puring sedang. Adapun kategori kebiasaan konsumsi purin oleh responden dapat dilihat pada Gambar 1. 0 10 20 30 40 50 60 70 Sering Jarang 56 (64,4%) 31 (35,6%) F rek u ensi (P er se n tas e)

Kebiasaan Konsumsi Purin

Gambar 1 Grafik distribusi Frekuensi Kebiasaan Konsumsi Purin Pada Pasien Rawat Jalan di RS TMC Tasikmalaya Tahun 2014

Gambar 4.2 menunjukan dari 87 responden sebanyak 56 responden (64,4%) sering mengkonsumsi purin, dan sebanyak 31 responden (35,6%) jarang mengkonsumsi purin. Jenis makanan yang sering dikonsumsi adalah pada kelompok makanan tinggi purin yang paling biasa dikonsumsi adalah jenis makanan jeroan yaitu dikonsumsi 3 kali perminggu oleh 21 responden (24,1%) dan oleh 10 responden (11,5%) sering dikonsumsi atau di konsumsi 1 kali per hari. Pada kelompok makanan dengan kandungan purin sedang, yang biasa dikonsumsi adalah daging ayam yaitu dikonsumsi 3 kali perminggu oleh 36 responden (41,4%) dan dan oleh 17 responden (19,5%) sering dikonsumsi atau dikonsumsi 1 kali per hari. Pada kelompok makanan rendah purin, yang biasa konsumsi adalah telur yaitu dikonsumi 3 kali perminggu oleh 38 responden (43,7%) dan oleh 9 responden (10,3%) sering dikonsumsi atau dikonsumsi 1 kali per hari.

Tabel 2. Data Statistik Kadar Purin Pada Pasien Rawat Jalan di RS TMC Tasikmalaya Tahun 2014

Mean Standar

Deviasi Min Max

(5)

Penentuan kadar purin ditentukan berdasarkan hasil uji laboratorium. Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar purin responden berkisar antara 5,08 mg/dl sampai 10,06 mg/dl dengan rata-rata kadar purin sebesar 7,27 mg/dl + 1,35 mg/dl. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian hiperurisemia ditentukan berdasarkan kadar purin, responden mengalami kejadian hiperurisemia jika kadar purinnya lebih dari sama dengan 7 mg/dl. Adapun kejadian hiperurisemia berdasarkan kadar purin dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kejadian Hiperurisemia Pada Pasien Rawat Jalan di RS TMC Tasikmalaya Tahun 2014

No Kejadian Hiperurisemia Frekuensi

(F)

Persentase (%)

1 a. Hiperurisemia (Kadar purin > 7 mg/dl) 43 49,4

2 b. Non Hiperurisemia (Kadar purin < 7 mg/dl) 44 50,6

Jumlah 87 100

Tabel 3. menunjukkan bahwa dari 87 responden sebanyak 44 responden (50,6%) tidak mengalami kejadian hiperurisemia, dan sebanyak 43 responden (49,4%) mengalami kejadian hiperurisemia. Dimana sebanyak 59,8% responden menyatakan sebelumnya tidak pernah mengalami hiperurisemia dan 40,2% pernah mengalami hiperurisemia, yang sebagian besarnya (51,4%) dialami 1 sampai 5 bulan yang lalu. Seluruh responden tidak teratur memeriksakan kadar purin, dimana 97,7% pemeriksaan kadar purin responden direkomendasi dokter, dan sebanyak 89,7% teratur dalam mengkonsumsi obat, dan 10,3% tidak teratur dalam mengkonsumsi obat.

Tabel 4. Tabulasi Silang Hubungan Kebiasaan Konsumsi Purin Dengan Kejadian Hiperurisemia pada Pasien Rawat Jalan di RS TMC Tasikmalaya Tahun 2014

Kebiasan Konsumsi Purin Kejadian Hiperurisemia P Value OR 95% Cl Hiperurisemia Non Hiperurisemia Jumlah n % n % n % Sering 39 69,6 17 30,4 56 100 0,000 15,485 (4,689-51,137) Jarang 4 12,9 27 87,1 31 100 Jumlah 43 49,4 44 50,6 87 100

Tabel 4 menunjukkan bahwa, pada responden yang sering mengkonsumsi purin sebagian besarnya mengalami kejadian hiperurisemia (69,6%) dan hanya sebagian kecil yang non hiperurisemia (30,4%). Sedangkan pada responden yang jarang mengkonsumsi purin sebagian besarnya non hiperurisemia (69,6%) dan hanya sebagian kecil yang hiperurisemia (12,9%).

Berdasarkan hasil uji statistik di peroleh nilai p value 0,000 yang lebih kecil dari  0,05, artinya ada hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi purin dengan kejadian hiperurisemia pada pasien rawat jalan di RS TMC Tasikmalaya. Dari hasil analisis diperoleh nilai Odd Ratio (OR) 15,485 dengan 95% Cl (4,689-51,137) yang artinya bahwa pasien atau responden yang sering mengkonsumsi purin mempunyai resiko 15,485 kali mengalami hiperurisemia dibanding dengan responden yang jarang mengkonsumsi purin.

Hiperurisemia atau meningkatnya kadar asam urat di dalam darah, asam urat terbentuk jika kita mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung purin (Misnadiarly, 2007). Jika pola makan tidak di ubah maka kadar asam urat dalam darah yang berlebihan akan menimbulkan penumpukan kristal asam urat. Apabila kristal berada dalam cairan sendi maka akan menyebabkan penyakit gout (monosodium monohidrat) (Misnadiarly, 2007).

Asam urat merupakan metabolisme akhir purin. Di dalam tubuh, perputaran purin terjadi secara terus menerus seiring dengan sintesis dan penguraian RNA dan DNA, walaupun tidak ada asupan purin, tetap terbentuk asam urat dalam jumlah yang substansial (Sacher, 2004), sehingga dengan adanya kebiasaan mengkonsumsi purin akan meningkatkan asupan zat purin dalam tubuh dan jika sistem ekskresi dalam tubuh mengalami gangguan, maka akan memicu produksi asam urat yang berlebih sehingga dapat menyebabkan kadar asam urat dalam tubuh meningkat atau mengalami kejadian hiperurisemia. Menurut Krisnatuti (2008), bahan pangan yang tinggi kandungan purinnya dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah antara 0,5-0,75 g/ml purin

(6)

yang dikonsumsi. Asupan purin yang tinggi dapat menyebabkan akumulasi kristal purin berlebih pada sendi tertentu yang dapat meningkatkan serangan artritis gout.

Menurut Karyadi (2002) Asam urat akan meningkat dalam darah bila ekskresi atau pembuangannya terganggu. Sekitar lebih dari 90% penderita hiperurisemia mengalami kelainan ginjal dalam pembuangan asam urat. Biasanya, penderita gout dan hiperuresia mengeluarkan asam urat sekitar 40% lebih sedikit daripada seorang yang normal. Secara normal, baik pada penderita gout dan non-gout, pengeluaran asam urat secara otomatis akan lebih banyak pada saat asam urat dalam darah meningkat akibat asupan purin dari luar atau pembentukan purin. Namun, pada penderita gout, kadar asam urat dalam darah lebih tinggi kurang lebih 1-2 mg/dl daripada seorang normal. Pembuangan asam urat terganggu karena penurunan proses fitrasi (penyaringan) di bagian glomerulus ginjal, penurunan proses sekresi di tubulus ginjal, dan peningkatan absorpsi kembali (reabsorpsi) di tubulus ginjal.

Menurut Vazquez-Mellado et al (2004) terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan kejadian hiperurisemia diantaranya ; 1) Genetik yaitu faktor keturunan, 2) Peningkatan pergantian asam nukleat pada semua sel, 3) Indeks massa tubuh yaitu pada kondisi berat badan yang berlebih (gemuk) karena lemak yang banyak terdapat menghambat pengeluaran asam urat melalui urin, 4) Umur, kadar asam urat pada serum cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan usia, 5) Jenis Kelamin, pria mempunyai kandungan asam urat dalam darah lebih tinggi dibanding wanita, 6) Konsumsi purin, bahan pangan yang tinggi kandungan purinnya biasanya makanan mengendul lemak atau minyak tinggi dapat meningkatkan kadar asam urat dalam urin, 7) Penyakit, asam urat bukan penyakit pokok, biasanya menjadi penyerta dari penyakit degeneratif, 8) Obat-obatan, jenis obat tertentu yang dikonsumsi dalam jangka panjang dapat meningkatkan kadar asam urat dalam tubuh, seperti diuretik dan aspirin.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kebiasaan konsumsi purin dengan kategori sering 64,4%, jarang 35,6%. Jenis makanan dengan tinggi purin yang sering dikonsumsi adalah jeroan. Jenis makanan dengan kandungan purin sedang, yang sering dikonsumsi adalah kacang-kacangan. Jenis makanan rendah purin, yang sering dikonsumsi oleh adalah telur. Kejadian hiperurisemia terjadi pada 49,4% responden dan non hiperurisemia sebanyak 50,6%. Ada hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi purin dengan kejadian hiperurisemia (p value = 0,000, OR = 15,485, Cl 95% = 4,689-51,137). Disarankan dapat menyelenggarakan pelayanan konseling kepada pasien untuk mengurangi atau membatasi konsumsi purin dan diharapkan pula dapat meningkatkan pengetahuan pasien mengenai jenis-jenis makanan yang mengandung purin serta dampaknya terhadap kejadian hiperurisemia, baik melalui pelayanan konseling, leaflet ataupun pamplet.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad H. Asdie (2000) Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, volume 4. Jakarta: EGC. Almatsier, S (2005) Penuntun Diet. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Arikunto, (2006) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta

Choi, K., Cho, W., Lee, S., Lee, H. & Kim, C., (2004) “The Relatonship among Quality, Value, and Satisfaction and Behavioral Intention in Health Care Provider Choice: A South Korean Study”, Journal of Business Research.

Dalimartha, S (2002) Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilidi 2. Jakarta : Trubus Agriwidya

Gibson, R. S. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. Oxford University Press Inc, New York.

Junaidi I (2006) Rematik dan Asam Urat, Jakarta, PT Buana Ilmu Populer,

Karimba, (2010) Gambaran Kadar Asam Urat Pada Mahasiswa Angkatan 2011 Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Dengan Indeks Massa Tubuh ≥ 23 kg/m2. Jurnal Skripsi

Karyadi E (2002) Hidup Bersama Penyakit Hipertensi, Asam Urat, Jantung Koroner Jakarta: Intisari Mediatama.

Krisnatuti D dan Yenrina R. (2008) Diet Sehat Untuk Penderita Asam Urat. Penerbit: Penebar Swadaya. Jakarta.

Misnadiarly (2007) Asam Urat – Hiperurisemia - Arthritis Gout. Jakarta: Pustaka Obor Populer. Moehyi S, (1999) Pengaturan Makanan dan Diet Untuk Penyembuhan Penyakit. Penerbit PT

(7)

Kertia Nyoman, (2009) Asam urat. Kartika Media: Yogyakarta

Putra, Tjokorda Raka. (2006) Hiperurisemia. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: FKUI

Supariasa, dkk. (2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penerbit Kedokteran EGC

Tehupeiory, Edward Stefanus (2006) Artritis Pirai (Artritis Gout) dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia

Winter G, Buku Pintar Kesehatan: 796 Gejala 520 Penyakit,160 Pengobatan,alih bahasa Peter Anugrah dan Surya Satyanegara dari judul aslinya Complete Guide to Symptons,Illness & Surgery, Jakarta, Penerbit Arcan, 1994

Gambar

Tabel 1.  Definisi Operasional Variabel
Gambar 1  Grafik  distribusi  Frekuensi  Kebiasaan  Konsumsi  Purin  Pada  Pasien  Rawat Jalan di RS TMC Tasikmalaya Tahun 2014
Tabel 3.  Distribusi  Frekuensi  Kejadian  Hiperurisemia  Pada  Pasien  Rawat  Jalan  di  RS  TMC  Tasikmalaya Tahun 2014

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat hidayah serta inayah–Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Faktor Risiko yang Berhubungan dengan

Laporan Penelitian berjudul HUBUNGAN PENINGKATAN USIA DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT BHINEKA BAKTI HUSADA PADA TANGGAL 19-31 JULI

Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara faktor risiko obesitas (tidak berolahraga, jenis kelamin, usia ≥ 45 tahun, pendidikan, dan

Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa tidak berolahraga, jenis kelamin, umur &gt;45 tahun, riwayat keluarga, dan merokok merupakan faktor risiko terhadap kejadian