• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN KEDOKTERAN GIGI, MAU KEMANA?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDIDIKAN KEDOKTERAN GIGI, MAU KEMANA?"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN KEDOKTERAN GIGI,

MAU KEMANA?

Eky Soeria Soemantri Ketua Umum Afdokgi

Pendahuluan.

Dalam perkembangannya pendidikan kedokteran gigi di Indonesia mengalami berbagai macam perubahan. Mulai dari pendidikan yang mengacu kepada kurikulum peninggalan Belanda dan Jepang yaitu berupa kurikulum tahunan, pada era tahun delapan puluhan berubah menjadi kurikulum dengan menggunakan satuan kredit semester (SKS), kemudian timbul peraturan yang memisahkan pendidikan preklinik dan profesi dan saat sekarang yang menganjurkan pendidikan dengan kurikulum berbasis kompetensi.

Semua ini kalau hanya disusun berdasarkan acuan dari Negara-negara maju tanpa mengerti filsafat yang dianut akan menyebabkan pendidikan yang arahnya tidak pasti. Sebenarnya mau kemana pendidikan kedokteran gigi kita ini ?

Pada saat ini yang banyak dipermasalahkan adalah produknya, dokter gigi macam apa dan dengan kompetensi apa yang, dan melupakan siapa yang akan dirawat oleh dokter gigi tersebut.

Untuk membahas hal ini mari kita membahas pendidikan dokter gigi di Indonesia dan perkembangannya.

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KEDOKTERAN GIGI

Untuk membahas hal ini, Mario Chayes telah membagi perkembangan pendidikan Kedokteran Gigi di dunia sejak permulaan sampai sekarang menjadi 3 periode, yakni :

Periode pertukangan (The Artisan Period)

a. Periode ini adalah awal pendidikan kedokteran gigi, yang didasarkan kepada pendidikan pertukangan. Pada waktu itu Kedokteran Gigi masih dianggap sebagai kerajinan tangan, dan pelajaran yang diberikan hanya segi-segi tekniknya dan keterampilan tangan saja. Gurunya adalah semacam tukang yang telah mahir, sedang muridnya belajar sebagai kenek. Seringkali periode dilakukan secara turun menurun dari orangtua ke anak. Periode ini telah lampau, akan tetapi sisa-sisanya masih banyak terdapat di Indonesia dalam bentuk Tukang Gig . Tukang gigi di Indonesia malahan sekarang lebih berkembang tanpa pembatasan kewenangannya

b. Periode Akademis (The Academic Period).

Pada jaman ini pendidikan kedokteran gigi telah ditingkatkan menjadi pendidikan tinggi dalam bentuk Fakultas Kedokteran Gigi.

(2)

Kedokteran Gigi diakui sebagai ilmu pengetahuan akan tetapi juga sebagai seni (Science and Art). Pendidikannya dititik beratkan kepada segi-segi teknik-mekanis, dengan segi-segi biologis pada tingkat pre-klinis. Berbagai mata pelajaran teori dan klinis dikelompokkan dalam beberapa bagian (Departments).

Oleh karena pada periode ini banyak sekali terjadi kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan pula banyak penemuan alat-alat, bahan-bahan dan teknik-teknik baru, maka spesialisasi di berbagai bidang Ilmu Kedokteran Gigi berkembang dengan pesatnya. Periode ini adalah yang sekarang sedang kita alami di sebagian besar negara-negara di dunia, termasuk juga di Indonesia.

c. Periode Kemanusiaan (The Humanistic Period).

Periode ini adalah belum dilakukan oleh beberapa negara, akan tetapi di beberapa negara lainnya pendidikan dokter gigi secara humanistic telah dilaksanakan. Periode ini ditandai oleh humanisasi dari pendidikan calon dokter gigi, yang menekankan kepada pada mahasiswa untuk melihat pasien sebagai anggota dari masyarakat (community) dan merawatnya dengan penuh rasa perikemanusiaan. Pasien itu tidak dianggap sebagai suatu obyek, sebagai suatu kasus, akan tetapi sebagai manusia, makhluk yang merupakan kesatuan fisik mental, emosional dan sosial. Dalam hubungan ini ilmu pengetahuan tidak dianggap sebagai tujuan akhir, akan tetapi sebagai alat untuk mengabdi kepada masyarakat (community) untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Maka upaya-upaya preventif menjadi titik penting dalam periode ini.

Dengan melihat pembagian ini, bagaimana sebenarnya pendidikan kedokteran Gigi di Indonesia?

Pendidikan Kedokteran Gigi di Indonesia pada masa sekarang.

Sebelum kita melangkah lebih jauh, marilah kita membahas pola pendidikan dokter gigi di Indonesia saat ini. Pendidikan dokter gigi saat ini rata-rata berjalan selama 5,5 sampai 6 tahun dengan menggunakan pola Kurikulum Berdasarkan Kompetensi yang sudah disusun oleh Konsil Kedokteran Gigi Indonesia dan ditetapkan sebagai panduan bagi institusi pendidikan Kedokteran Gigi di indonesia. Pendidikan Kedokteran gigi di Indonesia terbagi menjadi:

1. Tingkat pre-klinik/sarjana atau pre-profesisonal, yang lamanya 4 tahun, yang pendidikannya dititik beratkan kepada Ilmu-ilmu Pengetahuan Dasar (Basic Sciences) yang berhubungan dengan ilmu kesehatan : Biologi, Kimia, dan Fisika. Ilmu-ilmu Kesehatan Dasar (Basic Health and dental Sciences) dan kepada keterampilan di bidang teknologi kedokteran gigi.

2. Tingkat Klinik/profesi, yang pada umumnya dimulai pada tahun ke V. Pelaksanaan dari pendidikan klinik ini dilakukan di berbagai Bagian (Department) yang terpisah satu sama lain, antara lain bagian Konservasi, Prostetik, Imu Bedah mulut dan maksilofasial,

(3)

Dengan pendidikan seperti ini terjadi pemisahan antara klinik dan preklinik dan juga terjadi pemilahan bidang keilmuan, akibatnya cara pandang mahasiswanya hanya berdasarkan bidang keilmuan, bahkan dosennya pun cara pandangnya berdasarkan bidang keilmuannya. Seringkali mahasiswa kesulitan pada waktu meminta persetujuan dosen akan pekerjaannya, karena dalam menilai pekerjaan seorang mahasiswa dosen tersebut cara pandangnya berdasarkan kaidah-kaidah spesialistik. Akibatnya seringkali tidak ada batas yang jelas antara kerja seorang spesialis dan seorang dokter gigi. Juga terjadi kompetisi kewenangan antara spesialis dengan dokter gigi.

Mengenai pendidikan dokter gigi saat ini dapat dikemukakan beberapa catatan :

1. Penerimaan mahasiswa dilakukan dari lulusan SMA Jurusan IPA (beberapa Fakultas menerima juga dari IPS), yang latar belakang studi di bidang ilmu sosial sangat kurang bahkan hampir tidak ada. Bahkan juga ditingkat pre-profesional di Indonesia umumnya tidak diberikan mata pelajaran sosial sciences dan humanities.

Hal ini berbeda dengan di luar negri, dimana para mahasiswa pada Colleges of Sciences

and Arts dapat memilih sendiri mata-mata pelajaran yang diinginkan, disesuaikan

dengan syarat-syarat pre-profesional training-nya.

2. Pembagian yang ketat dalam pendidikan pre-klinik dan klinik mengakibatkan tidak terdapatnya korelasi antara pelajaran Basic Sciences dan Basic Medical/Dental Sciences disatu pihak dengan pendidikan klinik dilain pihak.

Para mahasiswa umumnya telah melupakan pengetahuan di preklinik, sehingga mereka tidak dapat menghubungkan pengetahuan preklinik dalam menghadapi masalah-masalah klinis. Sistem pendidikan macam ini dikenal sebagai sistem horisontal.

3. Tidak terdapat keseimbangan (balances) antara jumlah waktu pelajaran bidang teknologi – biologi dan bidang sosial sciences-humanities. Masih terlalu banyak dititik beratkan kepada bidang teknologi kedokteran gigi, sedang mata pelajaran Public Health dan Preventive Dentistry masih di anak-tirikan. Pelajaran Community Dentistry masih dianggap tidak diperlukan.

4. Baru pada tahun ke V para mahasiswa mendapat kesempatan untuk melihat pasien, sehingga mereka tidak mendapat cukup waktu untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam menjalin hubungan kemanusiaan dengan pasien.

5. Pengkotakan dalam bermacam-macam bagian klinis dilakukan ketat sekali, sehingga pasien-pasien seolah-olah dipecah-pecah, dan seakan-akan tidak ada hubungannya antara bagian yang satu dengan bagian yang lain.

6. Pada umumnya para mahasiswa merawat pasien di klinik yang letaknya di bangunan fakultas atau yang berada di rumah sakit, yang sedikit sekali dipengaruhi oleh lingkungan kemasyarakatan, dimana mereka dikemudian hari akan hidup dan bekerja. 7. Sistem pendidikan ini memisahkan Fakultas Kedokteran Gigi dari masyarakat

(Cummunity).

Sikap bahwa tugas dari fakultas adalah untuk mendidik mahasiswa menjadi dokter gigi yang baik dan trampil dilihat dari sudut teknis, mengakibatkan bahwa fakultas menjadi

(4)

Menara Gading (Ivory Tower) dan memisahkan para calon dokter gigi dari kenyataan-kenyataan di masyarakat, dimana mereka akan memberikan pelayanan kesehatannya.

Setelah melakukan bench marking dan analisa mengenai pendidikan calon dokter gigi dan kebutuhan masyarakat, maka jelaslah bahwa pendidikan kedokteran gigi diseluruh dunia sedang berada dalam transisi, yakni dari Periode Akademic kepada periode Humanistic, yang diarahkan kepada pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat.

Sebaiknya di Indonesia Fakultas-fakultas Kedokteran Gigi hendaknya secepat mungkin mengadakan reorientasi dan reorganisasi, supaya dapat menghasilkan dokter gigi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Reorganisasi ini hendaknya didasarkan kepada pemikiran-pemikiran di bawah ini :

1. Bahwa untuk dapat menegakkan diagnosa yang tepat dan pemeliharaan kesehatan dari masyarakat, perlu sekali seorang Dokter Gigi, disamping mempelajari segi-segi teknis Kedokteran Gigi, juga mempelajari dan menghayati pengaruh-pengaruh ekologi, antropologi, budaya, politik, sosial dan ekonomi terhadap kesehatan di dalam masyarakat, dimana ia memberikan pelayanannya.

2. Bahwa Dokter Gigi harus insyaf tentang tanggung jawabnya dalam masyarakat dimana ia hidup dan bekerja, sebagai Warga-Negara, sebagai dokter gigi dan sebagai petugas kesehatan masyarakat pada umumnya.

3. Bahwa dokter gigi harus juga sadar tentang perananannya sebagai pemimpin dan sebagai seorang ahli di bidang kesehatan mulut dan gigi terhadap masyarakatnya 4. Didalam negara yang sedang membangun menuju masyarakat adil dan makmur,

pelayanan kesehatan (termasuk kesehatan mulut dan gigi), yang dititik beratkan kepada masyarakat, merupakan salah satu usaha utama yang mendukung keseluruhan usaha pembangunan.

5. Oleh karena itu filsafah pendidikan Kedokteran Gigi harus masyarakat-sentris (Community-oriented) dan berdasarkan kemanusiaan (Humanistic).

6. Program pendidikan harus berdasarkan azas keseimbangan (a balanced educational

program) antara segi-segi ilmu pengetahuan, keterampilan teknis, dan pengetahuan

kemasyaratakan, yang kesemuanya diintegrasikan dan ditujukan kepada peningkatan kesehatan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

7. Berdasarkan pengalaman bahwa mahasiswa telah melupakan pelajaran Basic

Sciences dan Basic Health Sciences sehingga ia tidak dapat mengorelasikannya

dalam menghadapi masalah-masalah klinis, maka pembagian yang ketat antara pre-klinik dan pre-klinik seperti dalam kurikulum tipe horisontal, harus dihindarkan dan diganti dengan kurikulum tipe diagonal (vertikal atau spiral).

8. Perbedaan antara kedua tipe kurikulum ini hanya dalam pengaturan membagi-bagi berbagai mata-pelajaran. Dalam kurikulum tipe diagonal penyebaran berbagai mata pelajaran dilakukan sedemikian rupa, sehingga terdapat korelasi yang baik antara mata pelajaran-mata pelajaran yang sangat berkaitan dan jalin-menjalin satu sama lain.

(5)

9. Hal ini dapat dicapai dengan memindahkan sebagian dari mata pelajaran Basic

Health Sciences dari tingkat-tingkat permulaan ke tingkat-tingkat yang lebih tinggi,

dan sebaliknya sebagian dari Clinical Sciences ditempatkan juga di tingkat-tingkat permulaan. Dengan demikian maka para mahasiswa diberi kesempatan untuk melihat pasien sedini mungkin, walaupun pada permulaan hanya untuk observasi saja.

10. Seperti telah diterangkan, mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi pada umumnya tidak mempunyai background – Study apa yang dinamakan pendidikan Sosial-Budaya dan Humaniora. Memang pendidikan Kedokteran dan Kedokteran Gigi mengharuskan ilmu pengetahuan Eksakta dan Alam. Akan tetapi hendaknya jangan dilupakan pentingnya pengetahuan sosial-budaya, agar supaya Fakultas Kedokteran Gigi bukan saja mencetak dokter gigi yang mahir, akan tetapi juga seorang warga negara yang baik, serasi dengan salah satu tujuan pendidikan tinggi, yakni: membentuk manusia pancasila, yang demokratis dan bertanggung jawab akan terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

11. Hendaknya dengan dilupakan, bahwa pendidikan ilmiah dan teknis-mekanis yang tinggi itu dapat dijadikan lebih baik dan lebih mulia, jika ditambah dengan pendidikan moral, dan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan yang luhur.

12. Dengan tidak mengurangi pentingnya mata pelajaran clinical dentistry, pendidikan mahasiswa dalam segi-segi sosial ekonomis dari kedokteran gigi (Preventive, Public

Health dan Community Dentistry) harus lebih diintensifkan dengan maksud supaya

calon-calon dokter gigi itu menjadi prevention-minded dan sadar akan tanggung-jawabnya terhadap masyarakat.

13. Hendaknya diperhatikan sikap dari dokter gigi terhadap pasiennya. Umumnya dokter gigi bersikap pasif terhadap pasien-pasien, ia melakukan pengobatan atas permintaan pasien (diagnosa dan pengobatan). Seharusnya sikap pasif ini diubah dengan sikap aktif: sejarah penyakitnya dipelajari dan dicatat, kemudian diadakan berbagai usaha untuk menghentikan secepat mungkin perkembangan penyakit, dan supaya penyakit tidak terulang kembali (epidemiologi dan pencegahan).

14. Untuk dapat merubah sikap pasif ini, pendidikan calon dokter gigi harus diarahkan sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai sikap aktif. Dalam hal ini pendidikan Preventive Dentistry mempunyai peranan yang penting.

15. Seolah-olah telah merupakan suatu tradisi, bahwa Kedokteran Gigi hanya mempunyai perhatian problema-problemanya sendiri (in splendid isolation), dan tidak atau sedikit sekali mempunyai minat untuk memberikan sumbangan terhadap kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya.

16. Sikap mengisolir diri ini hendaknya segera diubah. Kedokteran gigi harus secara aktif dan berencana melibatkan diri dalam memberikan sumbangan terhadap kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya

(6)

Marilah kita sekarang tinjau bagaimana didalam prakteknya jika filsafat kesehatan jaman sekarang dititik beratkan kepada masyarakat. Seperti diterangkan terlebih dahulu bahwa masyarakat itu kompleks sekali. Bagaimana kompleksnya masyarakat sebagai kesatuan, jarang sekali dapat disadari sepenuhnya oleh pada anggota profesi-profesi kesehatan, termasuk juga para dokter gigi. Untuk dapat menegakkan diagnosa dan meningkatkan derajat kesehatan dari suatu masyarakat, kita harus mengetahui keadaan ekonomi masyarakat tersebut, pola-pola sosial-budaya dari berbagai golongan dan pengaruh-pengaruh keagamaan, kepercayaan dan tradisi-tradisi di masyarakat itu terhadap kesehatan.

Kita harus mengetahui pola-pola organisasi dari masyarakat tersebut, misalnya struktur kekuatan-kekuatan (power structure) yang terdapat di masyarakat, struktur politiknya, perundang-undangan dan peraturan-peraturan kesehatan, sikapnya terhadap kesehatan, dan tingkat pendidikannya.

Kita harus mengetahui karakteristik demografi dari masyarakat, teknik-teknik biostatistik untuk pengumpulan data dan analisanya, epidemiologi dari berbagai penyakit, dan pola organisasi dan administrasi kesehatan.

Karena sangat kompleksnya masyarakat itu, maka dalam menjalankan pekerjaannya, para petugas kesehatan (termasuk dokter gigi) harus bekerja-sama dengan orang-orang atau ahli-ahli yang mempunyai berbagai latar belakang studi yang berbeda-beda, akan tetapi yang mempunyai tujuan yang sama dalam pekerjaannya, yakni kesejahteraan masyarakat.

Kerjasama ini misalnya dilakukan dengan aparat pemerintah, ahli-ahli pertanian, sosial-budaya, agama dan lain-lain dalam bentuk multi-disciplinary tim.

Dengan demikian, Community Medicine dan Community Dentistry harus menjadi landasan kebijaksanaan dari Pemerintah Indonesia c.q. Departemen Kesehatan dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia, serasi dengan filsafat kesehatan

Community-Oriented. Maka tipe dokter gigi yang dibutuhkan di Indonesia adalah yang Community-Oriented, dengan tidak mengurangi kecakapannya dalam Individual Dentistry.

Kemudian dari dokter gigi yang Community-Oriented ini diharapkan juga kecakapan dalam penelitian dan dalam perkembangan ilmu (Researh and Development) juga ndalam administrasi kesehatan.

Semua usaha-usaha kesehatan mulut dan gigi ini dintegrasikan dalam usaha-usaha kesehatan lainnya, dan bekerja-sama dengan para ahli non-kesehatan, sehingga dokter gigi menjadi anggota yang terhormat dari intra-disciplinary health-tim maupun dari

multi-disciplinary tim, yang mengelola kesejahteraan masyarakat (Community).

Jelaslah, bahwa profesi dan ilmu kedokteran gigi, sebagai suatu cabang dari profesi dan ilmu kesehatan, hendaknya mengikuti seluruh perkembangan dan perubahan-perubahan dalam filsafat kesehatan, termasuk juga pada zaman sekarang ini, yakni dengan merealisasikan Community Dentistry.

Jika tidak, maka para dokter gigi akan ketinggalan zaman. Akibatnya dokter gigi tidak akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat zaman sekarang, tidak akan dapat menyesuaikan diri dengan usaha-usaha kesehatan lainnya, dan ia akan tidak dapat melakukan tugas-tugasnya sebagai anggota tim kesehatan. Dokter gigi akan terasing di masyarakat, dimana ia hidup dan bekerja. Public image terhadap dokter gigi dan profesi kedokteran gigi akan menjadi unfavourable sekali.

(7)

Walaupun perubahan kurikulum itu penting, sebenarnya bukan hanya persoalan kurikulum saja, akan tetapi yang lebih penting lagi ialah filsafat yang menjadi dasar pendidikan itu

Mudah-mudahan dengan pemikiran bersama dapat tercapai suatu pola pendidikan calon-calon dokter gigi yang benar-benar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, demi kesehatan, keadilan-sosial, kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kesimpulan

Dengan uraian tersebut diatas maka dapat kita simpulkan sebagai berikut:

1. Sesuai dengan kebijaksanaan perkembangan pendidikan kedokteran gigi dan program kesehatan gigi di seluruh dunia, maka tipe dokter gigi yang dibutuhkan di Indonesia adalah yang Community-Oriented, dengan tidak mengurangi kecakapannya dalam

Individual Dentistry. Dari dokter gigi yang Community-Oriented ini diharapkan juga

kecakapan dalam penelitian, dalam memperkembangkan ilmu (Researh and

Development) dan dalam administrasi kesehatan.

2. Semua usaha-usaha kesehatan mulut dan gigi ini dintegrasikan dalam usaha-usaha kesehatan lainnya, dan bekerja-sama dengan para ahli non-kesehatan, sehingga dokter gigi menjadi anggota yang terhormat dari intra-disciplinary health-tim maupun dari

multi-disciplinary tim, yang mengelola kesejahteraan masyarakat (Community).

3. Sesuai dengan uraian di atas, maka diperlukan reorganisasi dan reorientasi pendidikan

kedokteran gigi dimana tipe dokter gigi yang dibutuhkan adalah dokter gigi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia yaitu dokter gigi yang Community

Oriented.

Adaptasi dari tulisan Prof.drg. Soeria Soemantri Oleh: Eky S. Soeria Soemantri .

. .

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah pupuk yang dikirim dari gudang oleh PT Pupuk Kujang hasil baik menggunakan penghitungan FMOLP maupun interactive-FMOLP memiliki hasil yang lebih optimal, dilihat dari

Sediaan setengah padat berbentuk bulat telur digunakan untuk 2agina... Cara penyimpanan obat di rumah tangga sebagai berikut : 1. $impan obat ditempat yang se!uk dan

Valbury Asia Securities or their respective employees and agents makes any representation or warranty or accepts any responsibility or liability as to, or in relation to, the

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) model pembelajaran yang menghasilkan prestasi belajar matematika lebih baik di antara model pembelajaran kooperatif

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penerapan model Quantum Teaching berbantuan Cabri 3D efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah peserta

1) Variabel PER, DPR, ROA, Tingkat Suku Bunga SBI serta Kurs Dollar AS secara serempak bersama-sama mempengaruhi Harga Saham. Hal ini disebabkan karena pada

disimpulkan bahwa ukuran perusahaan, tingkat leverage dan profitabilitas secara simultan berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman, Mahkamah berpendapat mengenai dalil Pemohon yang menginginkan agar Pasal 83 ayat (1) KUHAP sepanjang