1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan hal penting bagi manusia, karena melalui bahasa orang bisa berinteraksi dengan sesamanya. Kita dapat memahami maksud dan pemikiran orang lain melalui bahasa. Seperti apa yang diungkapkan oleh Chaer (1995:19), bahwa bahasa digunakan manusia untuk mengungkapkan gagasan, pikiran, konsep, atau juga perasaan.
Pemakaian bahasa sangat bervariasi karena masyarakat bersifat heterogen (Chaer dan Agustina 2010:61). Variasi bahasa yang dimaksud adalah gaya berbicara seseorang atau kelompok yang dipengaruhi faktor-faktor sosial.
Salah satu variasi bahasa tersebut adalah penggunaan bahasa untuk tujuan tertentu atau dalam lingkungan sosial tertentu atau biasa di sebut tingkat tutur. Menurut Pudjosudarmo (1979:3), tingkat tutur merupakan variasi bahasa yang perubahannya ditentukan oleh perbedaan relasi penutur terhadap lawan tutur.
Dengan adanya tingkat tutur maka penutur harus menyadari status sosialnya dalam berinteraksi verbal. Sebagai contoh dalam bahasa Jawa penutur yang kelas sosial atau status sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang tinggi (krama), ketika berinteraksi dengan pihak yang status sosialnya lebih tinggi. Sebaliknya, penutur yang berstatus sosial lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang rendah (ngoko) kepada lawan tutur yang statusnya lebih rendah untuk menunjukan perbedaan tingkat keakraban dan juga rasa hormat. Kerapihan bentuk-bentuk kosakata yang dimiliki oleh sistem bahasa Jawa
2 memungkinkan setiap penuturnya mempergunakan bahasa tersebut sesuai fungsi dan situasi.
Tingkat tutur berdasarkan pandangan penutur terhadap lawan tutur terdapat pula dalam bahasa Prancis. Meskipun tidak se-eksplisit dalam bahasa Jawa, keberadaaan tingkat tutur dalam bahasa Prancis tetap terasa. Salah satu penanda tingkat tutur dalam bahasa Prancis dan beberapa bahasa di Eropa diwujudkan dalam pemilihan kata ganti orang kedua yang tidak resiprok (Brown, 1960:254). Dalam bahasa Prancis pronomina orang kedua adalah tu ‘kamu’ dan
vous ‘anda’. Pemilihan pronomina orang kedua sebagai indikator kesopanan telah
terjadi sejak abad pertengahan hingga sekarang (Brown, 1960:255). Selain ditandai dari pemilihan pronomina, tingkat tutur yang dilatarbelakangi sikap santun penutur terhadap lawan tutur dapat dilihat melalui variasi pemilihan kata dan tata kalimat.
Bahasa Prancis terdapat konsep niveau de langue yang kurang lebih mempunyai pemahaman yang sama dengan konsep tingkat tutur. Di dalam
Dictionnaire de linguistique disebutkan niveau de langue merupakan:
La notion de niveau de langue est donc liée à la differenciation sociale en classe ou en groupe de divers type. Les locuteur peuvent employer plusieur niveaux différent selon les millieux dans lesquels ils se trouvent. Les clivage peuvent être seulement d’odre lexicale (argot, et langue courant, vocabulaire technique et langue courant) ou d’ordre phonétique, morphologique sintaxique et lexicale (Dubois, 1973:337).
‘Pengertian tingkat tutur terkait dengan perbedaan kelas sosial atau kelompok dalam berbagai jenis. Penutur dapat memakai beberapa tingkatan bahasa tergantung pada situasi dimana ia berada. Penggunaan tingkatan bahasa mungkin terjadi dalam tingkat leksikal (antara bahasa argot, bahasa standar, vokabuler teknik dan teknik penggunaan bahasa standar) atau dalam tataran phonetik, morfosintaksis, dan leksikal’.
3 Menurut Niquet (1990 : 26&29) umumnya terdapat 3 tingkat dalam bahasa Prancis, yaitu langue soutenue, langue courante, langue familière. Langue
soutenue merupakan bentuk bahasa tingkat tinggi. Tingkatan bahasa ini umumnya
digunakan oleh kalangan kelas atas dan kalangan intelektual. Langue courante merupakan bahasa standar, bahasa yang digunakan secara resmi di Prancis.
Langue familière merupakan bahasa yang pemakaiannya cenderung spontan dan
tidak mengikuti aturan gramatikal yang ketat. Selain ketiga tingkatan tersebut terdapat pula tingkat tutur langue populaire yang terdiri dari langue argot dan
langue vulgaire. Tingkatan tutur langue populaire atau bahasa vernakular yang
merupakan bagian dari langue familière, perbedaannya pengguna dari langue
populaire adalah orang-orang kelas bawah dan anak muda (Auger & Valdman
1999:404)
Niveau de langue atau tingkat tutur merupakan topik menarik karena
penggunaan variasi bahasa tingkat tutur kurang begitu dikenal. Hal ini disebabkan kurangnya penjelasan secara mendalam tentang pemakaian variasi bahasa dalam berkomunikasi. Di dalam buku-buku belajar bahasa Prancis, penggunaan bahasa berdasarkan sikap santun penutur tehadap lawan tutur hanya penggunaan pronomina tu dan vous. Padahal, di dalam komunikasi banyak terdapat variasi bahasa yang pemakaiannya tergantung pada faktor sosial dan situasional. Sebagai usaha untuk mendapatkan pemahaman gambaran situasi pemakaian bahasa Prancis dalam komunikasi sehari-hari, film digunakan sebagai sarana melihat gambaran situasi budaya dan sosial.
Film merupakan sebuah karya seni yang digunakan manusia sebagai jendela untuk melihat realitas kehidupan. Melalui film, orang mampu melihat
sisi-4 sisi baru realitas dari yang pernah dilihat dan sadari (Rowlands, 2004:xxxiii). Sebagai media, film memungkinkan untuk dapat melihat kegiatan kehidupan sehari-hari dari suatu masyarakat. Film dianggap dapat memberikan informasi yang lebih lengkap dibandingkan dengan media lain seperti media tulis atau media cetak. Hal tersebut disebabkan sebagai media, film memiliki unsur-unsur yang lengkap meliputi: aspek gambar, gerak, musik, dan bahasa (Siregar 1984:1). Aspek bahasa yang terdapat dalam film merupakan aspek segmental (kalimat dan bagian kalimat) dan aspek suprasegmental (intonasi, ritme, dan aksen yang menyertai tuturan).
Skripsi ini meneliti bahasa yang berupa dialog dalam film. Film memuat dialog-dialog yang dituturkan para tokohnya sebagai unsur naratif. Pemilihan kata dalam dialog film tersebut memberikan informasi tentang hubungan, kedudukan, dan status sosial antar tokoh yang berdialog. Berbagai macam bentuk dialog yang bercirikan tingkat tutur menjadi objek utama penelitian ini. Berikut merupakan Pemakaian variasi bahasa tingkat tutur bahasa Prancis dapat digambarkan melalui percakapan antara anak muda di dalam adegan film AuRevoir Les Enfants:
(1) Julien : Elle a même pas de nichons!
Un Garçon: Gaffe! Babasses!
‘ Julien : Dia sama seperti kita, tidak mempunyai payudara!’ ‘ Julien: awas!! Ada Pastor!’
Kata gaffe, dan babasses, pada kalimat (1) merupakan le française des
jeunes, yaitu kosakata yang biasa dipergunakan antar anak muda ketika
berkomunikasi dalam pergaulan sehari-hari (Merle, 2000:3). Penggunaan kata
argot atau slang dalam suatu percakapan menunjukkan adanya tingkat tutur. Kata argot digunakan kepada lawan bicara yang sudah akrab atau lawan tutur tidak
5 memiliki status sosial di atas penutur (Grevisse 1980 : 24). Situasi penggunaan kata argot haruslah dalam situasi santai dan tidak formal. Jika penutur menggunakan tingkat tutur yang tidak tepat dapat menyebabkan lawan bicara tersinggung dan melukai kehormatannya.
Berikut contoh lain mengenai tingkat tutur yang terdapat dalam film Au
Revoir Les Enfants. Contoh ini terkait dengan perubahan cara memberi salam
antara anak muda terhadap orang yang lebih tua. Begitu pula sebaliknya, antara orang tua terhadap yang lebih muda.
(2) Les amis de Julien: Salut, Julien.. mes hommage, Madame Madame Quentin : Bonjour les enfants
‘Teman dari julien: Hai Julien.. Hormat kami nyonya’ ‘ Ibu Quentin: Selamat pagi anak-anak’
Situasi tuturan pada kalimat (2) adalah ketika Julien, tokoh utama dalam film ini, diantar oleh ibunya ke stasiun untuk menuju asramanya di luar kota Paris. Ketika mengucapkan salam perpisahan, Julien dan ibunya disapa oleh teman asrama Julien. Teman dari Julien memberikan sapaan akrab dengan mengucapkan “Salut” berarti ‘Hai’ kepada Julien. Sebaliknya, teman dari Julien menyapa ibu Julien dengan sapaan sopan yang diwujudkan dalam kata “Mes hommage”, yang merupakan salam hormat kepada seorang wanita. Ibu dari Julien merespon salam teman dari Julien dengan mengucapkan bonjour ‘Selamat siang’. Penggunaan sapaan seperti demikian disebabkan faktor hubungan kedekatan yang tidak akrab antara ibu Julien dan teman dari Julien yang juga menandakan adanya jarak sosial antara ibu Julien terhadap teman dari Julien.
Film Au Revoir Les Enfants menarik untuk dikaji karena film karya Louis Malle yang rilis tahun 1987 ini mendapatkan banyak penghargaan dalam festival
6 film. Penghargaan yang diraih film ini meliputi penghargaan film terbaik di Le
Cesar du cinema, film asing terbaik dalam Chicago Film Critics Association Awards pada tahun 1989, Venice Film Festival 1987, dan penghargaan penulisan
naskah film terbaik pada Festival Film Eropa
Cerita yang terdapat dalam film ini juga menarik, karena mengisahkan takdir yang mempertemukan sang tokoh utama Julien dengan Bonnet. Sekembalinya dari liburan Pastor Jean memperkenalkan tiga murid baru salah satu di antaranya adalah Bonnet. Sebelum kedaangan Bonnet, Julien adalah murid terpintar di kelas dan Bonnet menjadi saingan Julien di kelas. Namun, setelah mengalami beberapa kejadian terjalin hubungan persahabatan di antara mereka. Sampai suatu ketika Julien menemukan rahasia dari Bonnet bahwa ia adalah seorang Yahudi. Di akhir kisah Bonnet ditangkap oleh Gestapo (Polisi rahasia Jerman pada zaman Nazi).
Pemakaian bentuk langue argot, langue vulgaire di antara anak-anak muda; pemilihan kata ganti ‘Tu’ dan ‘Vous’; pemakaian ungkapan permintaan dengan kalimat panjang atau pendek; yang semuanya didukung konteks, mengindikasikan adanya sikap penutur terhadap lawan tutur dalam berkomunikasi. Adanya tingkat tutur atau niveau de langue yang tergambar melalui adegan film Au Revoir Les Enfants di atas merupakan cerminan kehidupan masyarakat Prancis sehari-hari.
1.2 Rumusan Masalah
Dialog merupakan unsur naratif dalam sebuah film. Dialog dalam sebuah film merupakan salah satu media komunikasi untuk menyampaikan informasi dari film tersebut. Dalam sebuah dialog terdapat tuturan-tuturan antar tokoh. Dari
7 Pemilihan kata dalam dialog film tersebut memberikan informasi tentang hubungan, kedudukan, dan status sosial antar tokoh yang berdialog.
Berdasarkan rumusan tersebut permasalahan di atas dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana wujud tingkat tutur dalam bahasa Prancis yang tercermin dalam film Au Revoir Les Enfants?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi tingkat tutur bahasa Prancis dalam film Au Revoir Les Enfants?
1.3 Tujuan penelitian
Penelitian ini memiliki dua tujuan, pertama mendeskripsikan wujud tingkat tutur dalam bahasa Prancis yang ada dalam film Au Revoir Les Enfants. Kedua, menjabarkan faktor-faktor pembentuk tingkat tutur bahasa Prancis dalam film Au Revoir Les Enfants.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam melakukan tinjauan pustaka, terdapat beberapa penelitian dengan tema yang sama. Seperti yang dilakukan Wieda Herdiana yang diterbitkan pada 2004 tentang bahasa gaul remaja dengan objek material artikel “Koi de 9?” dalam majalah Okapi. Dalam skripsi tersebut, pembahasan hanya difokuskan pada pembentukan kata bahasa gaul remaja di Prancis dan fungsi-fungsi dari variasi bahasa tersebut secara sosial yakni untuk mengakrabkan, menyindir, merahasiakan, dan memaki.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Atina Handayani pada 2014 dengan objek material media sosial akun facebook dari Lisa François-marie. Pembahasan
8 penelitian tersebut tentang pembentukan bahasa gaul dalam media sosial facebook dengan tujuan mempermudah dan penghematan karakter.
Penelitian tingkat tutur pernah dilakukan oleh Theresia Avila Rencidiptya Gitanati Firstantin pada 2014 mengenai jenis tingkat tutur yang diteliti dengan menggunakan aturan tingkat tutur lawan bicara dalam bahasa Korea, sedangkan faktor perubahan tingkat tutur dianalisis dengan teori sosiolinguistik dan pragmatik.
Berdasarkan referensi-referensi karya tulis dan penelitian terdahulu yang tercantum di atas, maka penulis memilih judul “Variasi Bahasa Tingkat Tutur Bahasa Prancis dalam Film Au Revoir Les Enfants”. Penelitian yang membahas tingkat tutur bahasa Prancis melalui media film merupakan penelitian pertama kali dilakukan
1.5 Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pendekatan dalam ranah sosiolinguistik. Pendekatan sosiolinguistik dalam penelitian ini meliputi: variasi bahasa, aspek sopan santun dalam bahasa Prancis, dan tingkat tutur dalam bahasa Prancis.
1.5.1 Variasi Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam suatu kelompok sosial masyarakat satu dan yang lainnya berbeda disebabkan oleh adanya kelompok-kelompok sosial yang memiliki kecenderungan untuk menggunakan bahasa yang sesuai dengan konteks sosial. Kecenderungan ini disebabkan oleh masyarakat mengikuti kaidah-kaidah sosial yang beraneka ragam sehingga bahasa memiliki keragaman bentuk dan fungsi. Keragaman ini menunjukkan bahwa setiap bahasa memilik variasi bahasa.
9 Gadet (2003:94) membagi variasi bahasa Prancis menjadi dua kategori: variasi berdasarkan penutur ( variation selon les usager ) dan berdasarkan penggunaannya ( variation selon l’usage ).
1. Variasi berdasarkan penutur
Variasi berdasarkan penutur dilihat dari adanya keragaman penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa itu sendiri. Variasi ini didasarkan oleh identitas pengguna bahasa itu, di mana tinggalnya, dan bagaimana kedudukan sosialnya. Salah satu bentuk dari variasi bahasa berdasarkan penutur adalah variasi
diastrique. Dalam variasi diastrique terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
penggunaan bahasa. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor kelas sosial dan faktor usia.
a. Kelas Sosial
Variasi dalam penggunaan bahasa dapat dilihat dari segi kelas sosial. Kelas sosial merujuk kepada perbedaan stratifikasi antara kelompok manusia dalam masyarakat atau budaya. Sumarsono (2007:43) menjelaskan bahwa kelas sosial mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu pada bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan lain sebagainya. Labov (1996) membuktikan bahwa seorang individu dalam kelas sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bentuk tertentu sekian kali dalam situasi tuturan tertentu. Menurut Chambers (2003:42) pembagian kelas sosial dapat ditentukan oleh beberapa variabel salah satunya adalah pekerjaan. Berdasarkan pekerjaannya Chambers membagi kelas sosial menjadi tiga, yaitu: Masyarakat kelas sosial atas yaitu orang-orang yang bekerja sebagai pemilik perusahaan atau kaum-kaum
10 borjuis pemilik modal. Masyarakat kelas menengah adalah masyarakat yang bekerja sebagai ahli dan kepala bagian suatu perusahaan. Masyarakat kelas bawah adalah orang-orang yang bekerja sebagai buruh, pembantu, pelayan atau pekerjaan kasar lainnya.
b. Usia
Sama seperti kelas sosial, usia menjadi faktor yang memengaruhi dalam pengambilan sikap penutur kepada lawan tutur. Menurut Boyer (2001:24) usia mempengaruhi penggunaan terbentuknya suatu ragam bahasa. Keanekaragaman bahasa tersebut dapat ditemukan pada berbagai generasi. Sumarsono (2007:50) membagi kelompok manusia berdasarkan usia menjadi : kelompok anak-anak, kelompok remaja, dan kelompok dewasa. Menurut Sumarsono (2007:51) anak-anak pada umumnya menggunakan bahasa dengan kosakata yang sederhana dan terbatas. Pada kelompok remaja, ia menggunakan bahasanya sendiri untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Menurut Chambers (2003 :194), masa remaja adalah masa berinovasi dalam perubahan secara linguistik. Seringkali mereka menciptakan bahasa mereka sendiri sebagai identitas mereka yang tidak dapat dimengerti maupun dipakai oleh kalangan anak-anak maupun dewasa. Bahasa gaul yang dipakai kalangan muda prancis biasa disebut le français des jeunes atau
parler jeune. Masa dewasa menurut Chambers (2003:195) adalah tahap yang
mewakili kehidupan krusial. Pada masa dewasa orang akan beralih dari bahasa gaul ke dalam bahasa karena adanya tuntuan pekerjaan untuk menyambung hidup. 2. Variasi berdasarkan penggunaan:
Variasi ini membicarakan bidang penggunaan, keformalan, atau sarana penggunaan. Salah satu bentuk variasi bahasa berdasarkaan penggunaan adalah
11 variasi diaphasique. Variasi ini disebabkan oleh adanya perbedaan situasi berbahasa, perbedaan hubungan antara penutur dan lawan tutur yang menyebabkan adanya pemilihan tingkat keformalan dalam berkomunikasi. Salah satu faktor penggunaan bahasa dalam variasi diaphasique adalah niveau de
langue.
1.5.3 Tingkat Tutur
Tingkat tutur merupakan salah satu wujud variasi bahasa. Faktor penentu dalam tingkat tutur adalah relasi antara penutur dan lawan tutur. Apabila seorang penutur bertutur dengan lawan bicara yang perlu dihormati maka penutur akan menggunakan tingkat tutur hormat. Menurut (Kridalaksana 1993:223) tingkat tutur adalah ragam bahasa menurut hubungan antara pembicara, sistem bahasa tersebut merupakan bentuk-bentuk yang diungkapkan dalam situasi formal atau non-formal. Dalam bahasa Prancis Tingkat tutur dikenal dengan istilah niveau de
langue.
1.5.4 Tingkat Tutur dalam Bahasa Prancis (Niveau de Langue)
Konsep tingkat tutur dalam bahasa Prancis dapat ditandai dalam tataran leksikal melalui pemilihan kata dalam variasi Niveau de langue dan juga pemilihan pronomina dalam konteks tertentu. Menurut François Gadet, niveau de
langue dapat digambarkan dalam ranah sintaksis klausa maupun frasa yang
terwujud dalam penggunaan kata penyanya dalam kalimat interogatif dan kata penyopan, bentuk negasi, dan bentuk subjonctif (Yuguello dkk, 2003:95) .
Niveau de langue mempunyai arti tingkatan bahasa atau tingkat tutur. Niveau de langue sering juga disebut sebagai registre de langue atau style atau
12 yaitu variasi bahasa berdasarkan tingkat keformalan. Niveau de langue dibagi menjadi langue soutenue (ragam bahasa tinggi), langue courante (ragam bahasa median), langue familière (ragam bahasa rendah), dan parles de jeunes yang terdiri dari tingkatan langue argotique (ragam bahasa kalangan tertentu), dan bahasa vulgaire (Bahasa kasar).
a. Langue soutenue
La langue soutenue atau ragam bahasa tinggi biasa digunakan dalam
karya-karya sastra dan penulisan surat-surat resmi. Menurut Gadet (1992:113) ragam ini memiliki ciri di antaranya penggunaan kosakata yang jarang ditemui pada ragam bahasa lainya, kata-kata yang mengandung konotasi, metafora, dan metonimi, bentuk gaya bahasa yang indah dan rapi, kalimat-kalimat yang panjang dengan struktur tata bahasa yang rumit seperti pemakaian bentuk interogatif langsung terbalik, pembalikan letak subjek dan verba setelah adverbia tertentu, kala passé simple dan passé antérieur pada modus indikatif, kala imparfait dan
plus que parfait pada modus subjonctif. contoh:
(3) L’èléve : Aujourd’ hui Saint Simèon stylite. Saint simeon stylite avait
treize ans et gardais les moutons de son père quand il etendit ce verse de l’evangile “ malheur à vous qui riez à present, car le jour viendra où vous pleurerez”. Il quitta ses parents, devint ermite, et vécut trente ane sur une colonne.
‘Murid : Hari ini pembacaan kisah Santo Simon Stylite: Santo Simon Stylite berumur 13 tahun dan sedang menjaga domba ayahnya ketika ia mendengar bagian dari alkitab “Berdukalah bagimu yang tertawa hari ini, karena akan datang hari di mana kamu akan menangis”. Ia meninggalkan orang tuanya untuk menjadi pertapa dan hidup menyendiri selama 30 tahun.’
Konteks pembacaan kisah dari Santo Simon Stylite setelah proses makan malam di asrama. Penanda langue Soutenu di atas adalah penggunaan kala passé simple.
13 Penggunaan passé simple umumnya terdapat pada ragam bahasa tulis. Jarang ditemui penggunaan passé simple dalam komunikasi sehari-hari.
b. Langue courante
Langue courante disebut juga bahasa standar, merupakan ragam bahasa
yang telah melewati proses kodifikasi, yaitu tahap pembakuan tata bahasa, ejaan, dan kosa kata oleh lembaga bahasa L’Academie Française (Arrivée, 1986:29). Pembakuan dapat terjadi melalui penyusunan kamus bahasa tersebut. Secara resmi, bahasa ini berfungsi sebagai bahasa resmi atau bahasa nasional.
Ragam bahasa ini digunakan pada situasi yang cukup formal antar orang yang mengenal satu sama lain dengan tingkat keakraban yang rendah seperti antara guru dan murid, politikus, jurnalis, pembaca berita (Gaillard 1995 : 285).
Langue courante menggunakan kosakata standar yang terdiri dari
kata-kata umum yang dipahami oleh semua pengguna bahasa Prancis. Jika langue
soutenue bercirikan kepatuhan pada tata bahasa yang tinggi dan ketat, begitu juga
dengan ragam langue courante, tetapi dengan tingkat yang lebih sederhana dan lebih mudah dipahami.
Langue courante menurut Gadet (dalam Yaguello dkk, 2003:95)
bercirikan penggunaan unsur kalimat negatif ne-pas yang mengapit verba secara utuh, penggunaan klausa penyopan s’il vous plait, excusez-moi, vous pouvez, je
suis desolé, est-ce que dan lain-lain, penggunaan pronomina orang kedua vous,
sebagai Contoh:
(4) Le Caporal: La forêt est interdite aux civils après 20 heures. Vous
n’avez pas entendu parler du couvre-feu?
Le Père Jean: Vous croyez que nous l’avons fait exprès?
‘Kopral : Apakah kalian tidak mengetahui jika Hutan terlarang untuk sipil diatas jam 10 malam?’
14 ‘Pastor Jean: Anda ragu kalo kami memperhatikan?’
Tuturan di atas merupakan langue courante yang ditandai dengan pemakaian tata bahasa standar, kosa kata yang umum, kalimat yang tidak terlalu panjang dan rumit dan penggunaan pronomina vous yang resiprok. Pronomina
vous digunakan unruk menandakan orang kedua tunggal maupun jamak.
Penggunaan pronominal vous kepada orang kedua tunggal menandakan formula kesopanan dalam bahasa Prancis. Umumnya, pronomina vous dipergunakan sebagai sapaan pada orang asing atau orang yang baru dikenal, seperti pada tuturan contoh kalimat (3). Apabila orang asing menyapa dengan pronomina tu, pada perkenalan pertama akan dianggap sebagai tindakan yang tidak sopan atau merendahkan lawan tutur. Pemakaian pronomina tu menunjukkan adanya kedekatan atau keakraban, sedangkan pemakaian pronomina vous menunjukkan situasi formal (Wardaugh, 1997:314).
c. Langue familière
Langue familière sering dicampuradukkan dengan istilah parlée, regional
namun lebih sering disebut dengan langue parlée. Variasi bahasa ini biasanya dipakai dalam situasi komunikasi dengan tingkat kekeluargaan yang tinggi antar penuturnya. Gadet (1992: 24 - 26) menyebutkan, terdapat dua macam definisi terkait dengan langue familière. Definisi pertama secara sosiologi yang dilihat dari penuturnya, dan definisi kedua yang dilhat dari ciri-ciri kebahasaannya. Jika dilihat dari penuturnya, langue familière merupakan ragam bahasa yang bersifat pribadi atau hanya dimengerti oleh kelompok tertentu. Langue familière biasanya ditemukan dalam percakapan antar keluarga dan antar teman. Menurut kamus
15 yang dipakai dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis, tapi tidak dipakai dalam situasi resmi.
Jika dilihat dari segi kebahasaannya, langue familière beberapa sifat khas dalam bahasa populer adalah digunakannya kata dengan bentuk yang disingkat (abreviasi), penggunaan kosakata familière yaitu kosakata yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, peminjaman dari bahasa asing, penggunaan pronomina orang kedua tu, susunan kalimat yang tidak lengkap dalam penggunaan bahasa lisan, penggunaan e muet atau e yang tidak diucapkan pada bentuk kalimat tanya tak langsung, penghilangan klausa ne dalam bentuk negatif dan penggunaan persona on dalam menggantikan pronomina nous (Gadet,1992:113)
(5) Bonnet: Merci. J’ai plus faim.
‘Pessoz: Terima kasih saya tidak lagi lapar
Tuturan di atas merupakan langue Familier yang ditandai dengan penggunaan kalimat negative yang tidak lengkap. Dalam contoh (5), kalimat negatif tersebut tidak menyertakan kata ne meskipun tidak merubah makna dari kalima tersebut. Langue familier adalah bahasa yang mengutamakan keefisienan dalam pelafalan sehingga banyak kosakata yang mengalami penyingkatan dalam ragam bahasa ini selain itu penggunaan kosakata familière yang menandakan keakraban juga sering digunakan dalam tingkatan Bahasa ini.
1.6 Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan strategis, yaitu: tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap pemaparan kesimpulan hasil analisis. (Sudaryanto, 1993:5). Pengumpulan data dilakukan dengan teknik simak, dilanjutkan dengan analisis data dengan menggunakan metode agih dan dilanjutkan dengan pemaparan hasil analisis data dengan metode informal.
16 Pada tahap pertama yaitu tahap pengumpulan data. Data yang diperoleh berbentuk penggalan dialog melalui penyimakan dan mencatat dialog pada film yang mengandung variasi tingkat tutur yang burwujud nomina, verba, adjektiva maupun adverbia. Dalam pelaksanaannya, proses penyimakan dilakukan dengan menyimak secara berulang-ulang setiap dialog yang ada didalam film Au Revoir
Les Enfants untuk memperoleh transkrip teks bahasa Prancis yang diperlukan
dalam proses analisis.
Penyimakan tahap selanjutnya dilakukan untuk mengamati adanya pemakaian unsur lingual yang berupa kata-kata, kelompok kata, ataupun kalimat yang disertai dengan peristiwa tertentu atau intonasi tertentu yang dapat mengindikasikan tingkat tutur. Setelah itu dilakukan tahap pencatatan. Tahap pencatatan dilakukan dengan menuliskan data yang berupa penggalan dialog film dalam kartu data.
Dalam penerapannya, untuk menganalisis data dalam bentuk sekuen dialog dipergunakan metode agih, yaitu cara menganalisis data dengan menggunakan unsur penentu yang berupa unsur bahasa itu sendiri (Sudaryanto 1993:27).
Pemaparan hasil data dilakukan dengan cara penyajian hasil informal. Penyajian hasil analisis data secara informal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata yang biasa (Sudaryanto, 1993:145). Penjabaran proses dan hasil analisis menggunakan kata-kata dari penulis agar dipahami pembaca dengan mudah.
17 Penelitian ini akan disajikan dengan disusun secara sistematis dan berurutan dalam tiga bab. Bab 1 berupa pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan, tinjauan pustakan landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penyajian. Pada bab 2 memuat analisis data sehingga dapat terlihat bagaimana landasan teori digunakan untuk memecahkan permasalahan bahasa yang ada. Di akhir skripsi, bab 3 berisi tentang kesimpulan dan saran. Kemudian dilanjutkan dengan resumé yang merupakan ringkasan atau gambaran lengkap keseluruhan isi skripsi dalam bahasa Prancis, dan di akhir tulisan akan disertai dengan daftar pustaka.