• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENAMBAHAN KAPANG Monascus purpureus. PADA BIJI ALPUKAT (Persea Americana Mill) TERHADAP KARAKTERISTIK PIGMEN ALAMI KARYA TULIS ILMIAH OLEH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENAMBAHAN KAPANG Monascus purpureus. PADA BIJI ALPUKAT (Persea Americana Mill) TERHADAP KARAKTERISTIK PIGMEN ALAMI KARYA TULIS ILMIAH OLEH"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP KARAKTERISTIK PIGMEN ALAMI

KARYA TULIS ILMIAH

OLEH

DEWI KARTIKA SARI NIM 12.007

AKADEMI ANALIS FARMASI DAN MAKANAN PUTRA INDONESIA MALANG

(2)

TERHADAP KARAKTERISTIK PIGMEN ALAMI

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan kepada

Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang untuk memenuhi salah satu persyaratan

dalam menyelesaikan progam D-3 bidang Farmasi

OLEH

DEWI KARTIKA SARI

NIM 12.007

AKADEMI ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

PUTRA INDONESIA MALANG

(3)
(4)
(5)

i ABSTRAK

Sari, Dewi Kartika. 2015. Pengaruh Penambahan Kapang Monascus purpureus

Pada Biji Alpukat (Persea Americana Mill) Terhadap Karakteristik Pigmen Alami. Karya Tulis Ilmiah. Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra

Indonesia Malang. Pembimbing: Ambar Fidyasari, S.TP. MP

Kata Kunci : Monascus purpureus, Biji Alpukat, Pigmen alami

Penggunaan pewarna sintetis berbahaya masih banyak digunakan pada produk makanan. Pewarna sintetis memiliki berbagai efek negative pada kesehatan. Pigmen alami yang dihasilkan oleh kapang Monascus purpureus dapat digunakan sebagai alternative pengganti pewarna sintetis. Monascus purpureus bisa tumbuh baik pada medium yang banyak mengandung amilosa tinggi misalnya beras. Selain beras, salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai medium adalah biji alpukat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penambahan kapang

Monascus purpureus dengan variasi konsentrasi pada biji alpukat terhadap

karakteristik pigmen alami. Konsentrasi yang digunakan adalah 5%, 10% dan 15%. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh penambahan kapang Monascus

purpureus terhadap karakterisitk pigmen yang dihasilkan. Perlakuan terbaik

diperoleh dari perlakuan penambahan kapang 10%. Pada konsentrasi kapang 10% diperoleh karakteristik angkak sebagai berikut intensitas pigmen merah 0.6661, derajat kecerahan (L) 29.8, derajat kemerahan (a*) 18.7, dengan intensitas kelarutan pada air suhu 100oC sebesar 0.9985 dan uji kestabilan pigmen terhadap suhu 121oC didapatkan hasil 0.3353.

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya Tulis Ilmiah sebagai pesyaratan untuk menyelesaikan program D III di Akademi Analis Farmasi dan Makanan.

Tujuan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini mendeskripsikan pengaruh penambahan kapang Monascus purpureus pada biji alpukat terhadap karakteristik pigmen alami menggunakan metode sistem fermentasi padat.

Sehubungan dengan terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dra. Wigang Solandjari sebagai Direktur Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang.

2. Ambar Fidyasari,S.TP.,M.P. sebagai dosen pembimbing 3. Dra. Wahyu Wuryandari,M.Pd. sebagai dosen penguji I 4. Dr. Misgiati,A.Md., M.Pd. sebagai dosen penguji II

5. Bapak dan Ibu dosen Akademi Analis Farmasi dan Makanan beserta seluruh staf

6. Kedua orang tua dan keluarga besar yang telah memberikan doa, semangat serta motivasinya

7. Teman-teman mahasiswa Akafarma maupun Akfar dan semua pihak yang langsung maupun tidak langsung telah memberikan bantuan dan bimbingan, bantuan serta arahan kepada penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih mempunyai beberapa kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran akan sangat diharapkan. Semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat berguna dan bermanfaat.

Malang, Juli 2015

(7)

iii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v DAFTAR GAMBAR ... vi BAB 1PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 4 1.4 Kegunaan Penelitian ... 5 1.5 Asumsi Penelitian ... 5

1.6 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 6

1.7 Definisi Istilah ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Tinjauan tentang Tanaman Alpukat ... 8

2.2 Tinjauan tentang Biji Alpukat ... 9

2.3 Tinjauan tentang Monascus purpureus ... 11

2.5 Tinjauan tentang Fermentasi ... 19

2.6 Tinjauan tentang Sistem Fermentasi Padat ... 22

2.7 Kerangka teori ... 23

2.8 Hipotesis ... 25

BAB III METODE PENELITIAN ... 26

3.1 Rancangan Penelitian ... 26

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian... 27

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

3.4 Definisi Operasional Variabel ... 27

3.5 Instrumen Penelitian ... 29

3.6 Pengumpulan Data ... 29

(8)

iv

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Perhitungan Jumlah spora Monascus purpureus ... 37

4.2 Pembuatan Tepung Biji Alpukat ... 38

4.3 Fermentasi Tepung Biji Alpukat dengan Kapang Monascus purpureus 38 4.4 Serbuk Monascus purpureus ... 40

4.5 Intensitas Pigmen Merah ... 40

4.6 Analisis Warna ... 42

4.7 Kelarutan Pigmen dalam Air ... 44

4.8 Stabilitas Pigmen terhadap Suhu ... 46

BAB V PENUTUP ... 48

5.1 Kesimpulan... 48

5.2 Saran ... 48

(9)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Komposisi kimia dan sifat-sifat dari pati biji alpukat ... 10

Tabel 2.2. Komposisi proksimat dalam 100 g biji alpukat (mg/100 g) ... 10

Tabel 2.3. Komposisi mineral dalam biji alpukat dalam 100 g (mg/100 g)... 10

Tabel 2.4 Mikroorganisme penghasil pigmen ... 12

Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel ... 28

Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Kapang Monascus purpureus ... 37

Tabel 4.2 Organoleptis Tepung Biji Alpukat ... 38

(10)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Bentuk koloni kapang Monascus purpureus ... 13

Gambar 2.2. Struktur pigmen produksi kapang Monascus purpureus ... 17

Gambar 2.3. Morfologi M. purpureus ... 18

Gambar 3.1 Penutupan Alat Haemocytometer Dengan Gelas Penutup ... 30

Gambar 3.2 Haemocytometer yang Diamati dengan Menggunakan ... 31

Gambar 3.3 Titik Perhitungan Spora ... 31

Gambar 3.4 Alur Perhitungan Spora ... 32

Gambar 4.1. Grafik Intensitas Pigmen Pada Setiap Perlakuan ... 41

Gambar 4.2 Grafik Tingkat Kecerahan Pigmen ... 43

Gambar 4.3 Grafik Tingkat Kemerahan Pigmen ... 44

Gambar 4.4 Grafik Kelarutan Pigmen Dalam Air ... 45

(11)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan Spora Kapang Menggunakan Haemocytometer ... 53

Lampiran 2. Perhitungan Pembuatan Media PDA dan Larutan Nutrisi ... 54

Lampiran 3. Perhitungan suspensi spora yang akan diinokulasikan ... 55

Lampiran 4. Dokumentasi Pembuatan Tepung Biji Alpukat ... 56

Lampiran 5. Dokumentasi Fermentasi Monascus purpureus... 57

Lampiran 6. Dokumentasi Pengujian Karakteristik Pigmen ... 60

Lampiran 7. Data Pengamatan Absorbansi Intensitas Pigmen... 61

Lampiran 8. Analisis Statistik Pengaruh terhadap Intensitas Pigmen Menggunakan Uji One Way ANOVA ... 62

Lampiran 9. Data Pengamatan Analisis Warna ... 63

Lampiran 10. Analisis Statistik Derajat Kecerahan Menggunakan one way ANOVA ... 64

Lampiran 11. Analisis Statistik Derajat Kemerahan Menggunakan one way ANOVA ... 65

Lampiran 12. Data Pengamatan Kelarutan Pigmen Dalam Air ... 66

Lampiran 13. Analisis Statistik Kelarutan Pigmen Menggunakan Uji Two Way ANOVA ... 67

Lampiran 14. Data Pengamatan Kestabilan Pigmen Terhadap Suhu ... 70

Lampiran 15. Analisis Statistik Kestabilan Pigmen terhadap Suhu Menggunaka Uji two way ANOVA ... 71

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan bahan tambahan pada produk makanan saat ini semakin marak khususnya zat pewarna. Penambahan zat warna bertujuan memberikan variasi warna yang menarik. Zat pewarna yang sering digunakan oleh produsen adalah zat pewarna sintetis. Pewarna ini banyak digemari oleh produsen makanan karena harganya lebih murah dibandingkan dengan pewarna alami. Masalah ini tentu saja menjadi perhatian yang lebih bagi produsen agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Selain itu, kelebihan pewarna sintetis adalah stabilitasnya yang lebih baik dibandingkan dengan pewarna alami sehingga warna yang dihasilkan tetap cerah meskipun sudah mengalami proses pengolahan dan pemanasan.

Penambahan zat warna sintetis berbahaya masih sering dilakukan oleh produsen makanan dengan sengaja. Menurut data Dinas Kesehatan Kab.Sleman (2013) tentang pemantauan peredaran makanan telah dilakukan pemeriksaan kimia pada beberapa makanan meliputi kandungan boraks, Rhodamin B, Ponceau

G, metanil Yellow, Orange G dan Fast Green. Hasil pemeriksaan 23% sampel

(13)

Rhodamin B sebenarnya digunakan sebagai pewarna tambahan pada obat-obatan, kosmetik, pewarna kain dan sabun, dapat mengakibatkan kerusakan hati, tumor hati, dapat melukai mata dan bersifat karsinogenik atau dapat merangsang sel-sel kanker. Sedangkan metanil yellow yang sebenarnya berfungsi sebagai indikator dalam larutan, obat-obatan dan pemakaian luar dapat menyebabkan muntah, mual, edema paru, nekrosis hati, gangguan ginjal dan kanker saluran urin (Irdawati, 2010). Oleh sebab itu, maka dicari solusi pengganti dari pewarna sintetis yang lebih aman bagi kesehatan.

Penggunaan zat warna sintetis dapat digantikan dengan menggunakan zat warna alami yang diperoleh dari hasil alam baik tumbuhan maupun hewan. Penggunaan pewarna alami mempunyai kekurangan yaitu warna kurang stabil, tidak praktis dan mengganggu rasa serta aroma makanan (Marwati, 2010). Kelebihan dari pewarna alami adalah aman untuk dikonsumsi karena proses pembuatannya tidak menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya dan tidak meninggalkan residu dalam tubuh (Hapsari & Mulyani, 2010). Selain dari tanaman dan hewan, zat warna alami juga bisa dihasilkan dari mikroorganisme. Salah satu mikroorganisme yang dapat menghasilkan zat warna adalah Monascus

purpureus.

Monascus purpureus merupakan salah satu jenis jamur yang memiliki

metabolit sekunder yang dapat menghasilkan pigmen alami yang tidak toksik dan tidak mengganggu sistem kekebalan tubuh (Nufus, 2013). Kapang ini bisa dimanfaatkan melalui proses fermentasi baik pada substrat padat maupun cair.

Monascus purpureus menghasilkan 3 kelompok pigmen yaitu pigmen merah

(14)

ankaflavin), pigmen jingga (rubropunctatin dan monascorubrin) (Nufus, 2013).

Pigmen tersebut bersifat stabil, tidak beracun, dan tidak bersifat karsinogenik (Zubaidah & Dewi, 2014).

Di negara-negara Asia khususnya Cina, kapang ini digunakan sebagai penghasil angkak. Angkak adalah produk fermentasi dari beras oleh kapang

M.purpureus yang diproduksi dengan sistem fermentasi padat. Angkak digunakan

sebagai pengawet dan pewarna makanan seperti daging, ikan dan keju (Kasim, 2005). Pada penelitian yang dilakukan oleh Nufus (2013) Konsentrasi inokulum

M.purpureus paling optimum untuk produksi pigmen merah pada substrat tepung

biji durian adalah 10%, 5% untuk pigmen jingga dan 15% untuk pigmen kuning.

Monascus purpureus bisa tumbuh baik pada medium yang banyak

mengandung amilosa yang tinggi dan amilopektin yang rendah misalnya pada beras. Berbagai varietas beras dapat digunakan sebagai medium pertumbuhan kapang M.purpureus. Beras pera dengan intensitas amilosa yang tinggi (20-25%) dan amilopektin yang rendah merupakan substrat yang baik untuk pembuatan angkak(Kasim, 2005). Selain beras, salah satu bahan yang berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan angkak adalah biji alpukat.

Biji alpukat merupakan limbah industri pertanian yang melimpah namun limbah tersebut masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat melainkan hanya dibuang begitu saja. Biji alpukat mempunyai kandungan pati yang cukup tinggi yaitu 23% dengan kandungan amilosa 43,3% dan amilopektin 37,7% (Lubis, 2008). Selain kandungan patinya yang cukup tinggi, biji alpukat juga mengandung protein kasar 10,40%, lemak kasar 5,81%, serat kasar 6,11%, Ca 0,70% dan P 0,21% (Nelwida, 2009). Potensi tersebut dapat digunakan sebagai

(15)

peluang untuk menambah nilai ekonomis pada biji alpukat yang dapat menghasilkan pigmen alami dengan bantuan kapang M.purpureus. Pigmen inilah yang nantinya akan dijadikan sebagai pewarna alami.

Pembuatan pigmen alami berbahan dasar biji alpukat sampai saat ini masih belum dilakukan, maka perlu dilakukan penelitian pendahuluan untuk mengkaji pembentukan pigmen yang dihasilkan dari fermentasi biji alpukat menggunakan kapang Monascus purpureus dengan variasi konsentrasi starter yang optimal. Variasi starter yang digunakan adalah 5%, 10%, dan 15% dari ketiga konsentrasi tersebut diharapkan dapat menghasilkan pigmen alami.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Bagaimana pengaruh penambahan konsentrasi starter Monascus purpureus 5%, 10% dan 15% pada tepung biji alpukat terhadap karakteristik pigmen alami yang dihasilkan?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Untuk mengetahui pengaruh penambahan konsentrasi starter Monascus

purpureus 5%, 10% dan 15% pada tepung biji alpukat terhadap karakteristik

(16)

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Penelitian untuk Peneliti

Adapun kegunaan penelitian ini bagi peneliti adalah menambah pengetahuan dan informasi tentang pigmen alami dari limbah biji alpukat dengan fermentasi Monascus purpureus serta dapat diaplikasikan ke dalam ilmu analisa farmasi dan makanan.

1.4.2 Kegunaan Penelitian untuk Instansi

Adapun kegunaan penelitian ini bagi instansi adalah menambah pembendaharaan pustaka sebagai referensi pada penelitian dan pengembangan selanjutnya.

1.4.3 Kegunaan Penelitian bagi Masyarakat

Adapun kegunaan penelitian ini bagi masyarakat adalah memberikan informasi kepada masyarakat bahwa limbah biji alpukat dapat digunakan sebagai penghasil pigmen alami setelah difermentasi menggunakan Monascus purpureus sehingga dapat dijadikan sebagai alternatife pengganti pewarna sintetis.

1.5 Asumsi Penelitian

Adapun asumsi penelitian ini sebagai berikut.

1. Kapang Monascus purpureus dapat menghasilkan pigmen alami pada substrat yang mengandung karbohidrat tinggi khususnya pada kandungan amilosanya (Zubaidah & Sari, 2015).

(17)

2. Monascus purpureus memproduksi pigmen merah yang dapat digunakan sebagai pewarna makanan(Permana, 2004).

3. Pigmen yang dihasilkan kapang Monascus purpureus dapat dianalisis menggunakan alat spektrofotometri UV-Vis (Kasim, 2005).

1.6 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah biji alpukat diperoleh dari pedagang jus di area kota Malang, pembuatan tepung biji alpukat melalui proses pengeringan menggunakan oven, proses fermentasi menggunakan kapang

Monascus purpureus dengan variasi konsentrasi 5%, 10% dan 15%, pengujian

karakteristik pigmen yang dihasilkan meliputi intensitas pigmen, analisis warna, kelarutan pigmen dalam air, kestabilan pigmen terhadap suhu, dan kestabilan pigmen terhadap pH. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan di Laboratorium Instrumen Putra Indonesia Malang.

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah biji alpukat yang akan digunakan tidak ditentukan jenisnya. Pigmen yang dihasilkan tidak diuji kestabilannya dalam produk makanan serta tidak diuji kandungan lovastatinnya. Tidak membuat angkak dari beras sebagai pembanding pigmen yang dihasilkan. Analisis warna menggunakan color reader yang dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya.

1.7 Definisi Istilah

1. Kapang adalah sekelompok mikroba yang tergolong dalam fungi dengan ciri khas memiliki filament (miselium).

(18)

2. Monascus purpureus adalah salah satu spesies kapang merah yang termasuk dalam kerajaan Fungi, kelas Ascomycetes, keluarga Monascidae, ordo Plectascales, genus Monascus, spesies Purpureus dan merupakan jamur yang dapat menghasilkan pigmen alami.

3. Biji alpukat mempunyai bentuk yang besar, terdiri atas dua keping (cotyledon), dan dilapisi oleh kulit biji yang tipis melekat.

4. Tepung biji alpukat adalah partikel padat yang berbentuk butiran halus melewati ayakan no.20 dan berasal dari biji alpukat.

5. Pigmen alami adalah zat warna yang terdapat secara alami dan diproduksi baik secara langsung maupun tidak langsung oleh tumbuhan, hewan, dan beberapa organisme seperti bakteri, alga, dan khamir.

6. Fermentasi adalah proses dasar untuk mengubah suatu bahan menjadi suatu bahan lain dengan cara sederhana dan dibantu oleh mikroba.

7. Karakteristik pigmen adalah sifat–sifat dari pigmen yang dihasilkan meliputi intensitas pigmen, analisis warna, kelarutannya dalam air, kestabilan pigmen dalam suhu dan pH.

(19)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Tanaman Alpukat

Tanaman alpukat (Persea americana Mill) secara umum terbagi atas tiga tipe: tipe West Indian, tipe Guatemalan, dan tipe Mexican. Daging buah berwarna hijau di bagian bawah kulit dan menguning kearah biji. Warna kulit buah bervariasi, warna hijau karena kandungan klorofil atau hitam karena pigmen antosiasin (Chaguaramos, 2002).

Menurut Sunarjono (1998), alpukat termasuk tanaman hutan yang tingginya mencapai 20 meter. Bentuk pohonnya seperti kubah sehingga dari jauh tampak menarik. Daunnya panjang (lonjong) dan tersusun seperti pilin. Pohonnya berkayu, umumnya percabangan jarang dan arahnya horizontal. Bunga alpukat keluar paja ujung cabang atau ranting dalam tangkai panjang. Warna bunga putih dan setiap bunga akan mekar sebanyak dua kali(Chandra et al, 2013).

Berikut ini adalah toksonomi tanaman alpukat : Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (Berkeping dua / dikotil) Sub Kelas : Magnoliidae

(20)

Ordo : Laurales Famili : Lauraceae Genus : Persea

Spesies : Persea Americana Mill (Chandra et al., 2013)

2.2 Tinjauan tentang Biji Alpukat

Biji buah alpukat sampai saat ini hanya dibuang sebagai limbah yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Padahal di dalam biji alpukat mengandung zat pati yang cukup tinggi, yakni sekitar 23%. Biji alpukat tergolong besar, terdiri atas dua keping (cotyledon), dan dilapisi oleh kulit biji yang tipis melekat. Biji tersusun oleh jaringan parenchyma yang mengandung sel-sel minyak dan butir tepung sebagai bahan cadangan makanan (Lubis, 2008).

Menurut hasil analisis Alsuhendra, et al., (2007) biji alpukat memiliki kandungan air 12,76 g, kadar abu 2,7 g, kandungan fenol 5449,05 µg/g. Kandungan mineral dari buah alpukat sangat tinggi dibandingkan dengan buah segar lainnya. Abu minimum dalam alpukat California (jenis Rhoad) yaitu 0,54% yang hampir rata-rata dalam buah segar (Rahman, 2009). Biji alpukat kaya akan sumber campuran kompleks senyawa polifenolik mencakup dari yang sederhana katekin dan epikatekin dengan zat polimerik terbesar. Biji alpukat merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan bagi tumbuhan, selain buah, batang, dan akar.

(21)

Tabel 2.1. Komposisi kimia dan sifat-sifat dari pati biji alpukat Komponen Jumlah (%) Kadar pati 10,2 Kadar pati *Amilosa *Amilopektin 80,1 43,3 37,7 Protein tn Lemak tn Serat kasar 1,21

Warna putih coklat

Kehalusan ganula Halus Rendemen pati 21,3

*Amilosa + amilopektin = pati; tn = tidak dianalisa (Sumber : Lubis 2008)

Tabel 2.2. Komposisi proksimat dalam 100 g biji alpukat (mg/100 g)

Kandungan Jumlah Kadar air 9,92 Lemak 16,54 Protein 17,94 Serat 3,10 Abu 2,40 Karbohidrat 48,11 (sumber Arukwe et al., 2012)

Tabel 2.3. Komposisi mineral dalam biji alpukat dalam 100 g (mg/100 g)

Kandungan Mineral Jumlah

Sodium 0,30 Kalsium 14,15 Magnesium 26,16 Fosfor 31,33 Kalium 100,83 Seng 0,09 Zat besi 0,31 Tembaga 0.98 Timah hitam ND Kadmium ND Khrom ND ND : tidak terdeteksi (sumber Arukwe et al., 2012)

(22)

2.3 Tinjauan tentang Monascus purpureus

Monascus adalah salah satu kapang homotalik yang termasuk kelompok Ascomycetes. Pada tahun 1884, nama Monascus pertama kali diperkenalkan oleh

Philippe van Tieghem, dengan nama species M. ruber. Kemudian pada tahun 1895, Went mengisolasi M. purpureus dari angkak di Jawa. Ada tiga species

Monascus, yaitu M. purpureus Went, M. ruber van Tieghem, dan M. Pilosus Sato

ex Hawksw & Pitt. Selanjutnya, Cannon et al., (1995) menambahkan dua species tambahan yang diisolasi dari sedimen suatu sungai di Iraq, yaitu M. pollens dan

M. sanguineus. Species yang paling banyak diteliti adalah M. purpureus. Ada

banyak jenis strain yang dilaporkan dalam berbagai publikasi, beberapa diantaranya sering dianggap sebagai spesies tersendiri(Timotius, 2004).

(23)

Tabel 2.4 Mikroorganisme penghasil pigmen (telah digunakan sebagai

pewarna alami makanan atau berpotensi tinggi di bidang pewarna)

Mikroorganisme Pigmen Colour Status*

Bakteri Agobacterium Aurantiacum Astaxhantin Pink-red RP Paracoccus Carotinifaciens Astaxhantin Pink-red RP Bradyrhizobium sp. Canthaxhantin Dark-red RP Streptomyces echinoruber Rubrolone Red DS

Flavobacterium sp. Zeaxanthin Yellow DS

Paracoccus

Zeaxanthinifaciens

Zeaxanthin Yellow RP

Fungi

Monascus sp. Ankaflavin Yellow IP

Monascus sp. Monascorubramin Red IP

Penicillium Oxalicum

Anthraquinone Red IP

Blakeslea trispora Lycopene Red DS

Fusarium Sporotrichioides

Lycopene Red RP

Cordyceps unilateralis Naphtoquinone Deep blood-red RP

Ashbya gossypi Riboflavin Yellow IP

Monascus sp. Rubropunctatin Orange IP

Blakeslea trispora ß-carotene Yellow-orange IP

Fusarium Sporotrichioides

ß-carotene Yellow-orange DS

Neurospora crassa ß-carotene Yellow-orange RP

Phycomyces Blakesleeanus ß-carotene Yellow-orange RP Penicillium Purpurogenum Unknown Red DS Yeast Saccharomyces Neoformans var. nigicans Black Melanin RP Xanthophyllomyces Dendrorhous Astaxanthin Pink-red DS

Rhodotorula sp. Torularhodin Orange-red DS

(24)

Menurut Wanti (2008) klasifikasi dari Monascus purpureus adalah sebagai berikut:

Divisio : Amastigomycotina Sub Divisio : Ascomycotina Classis : Ascomycetes Sub Classis : Plectomycetidae Ordo : Eurotiales Familia : Trichocomaceae Genus : Monascus

Spesies : Monascus purpureus Went.

Gambar 2.1. Bentuk koloni kapang Monascus purpureus

(sumber Tanggara, 2013)

Monascus purpureus memiliki spora yang berentuk bulat dengan

diameter 5 mikron atau bulat telur dengan ukuran 6 x 5 mikron (Tanggara, 2013). Monascus purpureus memiliki karakteristik antara lain menghasilkan warna yang khas, berpropagul tipis, dan tumbuh menyebar dengan miselium berwarna abu-abu. Setelah miselium mencapai masa pertumbuhan optimal, warnanya akan berubah menjadi merah keunguan (Purwanto, 2011). Selain itu,

(25)

Monascus purpureus memproduksi kleistotesia dan aleuriokonidia. Kleistotesia

merupakan kantung (askus) yang tertutup sempurna (Tanggara, 2013).

Adanya sumber karbon dan nitrogen (amilosa dan metionin) berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan produksi metabolit-metabolit Monascus

purpureus (Purwanto, 2011). Hal tersebut disebabkan Monascus purpureus

mempunyai aktivitas sakarifikasi dan proteolitik, sehingga dapat tumbuh baik pada medium yang kaya akan amilosa dan metionin. Selain itu, kapang tersebut juga menghasilkan enzim maltase, invertase, lipase, oksidase, dan ribonuklease (Dhale, 2007).

Kapang Monascus dapat mengonversi pati menjadi beberapa senyawa metabolit, diantaranya alkohol, antibiotik, antihipertensi, enzim, asam lemak, flavor, flocculant, keton, asam-asam organik, vitamin, dan pigmen.(Andarwulan & Faradilla, 2012)

Produksi pigmen oleh Monascus dipengaruhi oleh tipe substrat yang digunakan dan kondisi selama produksi angkak seperti pH, temperatur, dan kadar air. Monascus purpureus akan tumbuh dengan baik pada suhu 27-32°C (Purwanto, 2011). Pada kondisi pH sekitar 2,5-8 dengan pH optimum 4,0-7,0. Selain itu, penambahan 1-10% bahan-bahan sumber karbon (glukosa, maltosa, atau etanol) dan 0,1-0,5% sumber nitrogen (pepton dan amonium nitrat) pada substrat, dapat meningkatkan kemampuan inokulum dalam memproduksi pigmen(Andarwulan & Faradilla, 2012).

Pigmen Monascus dibedakan menjadi dua, yaitu pigmen intraseluler (tidak larut air), dan pigmen ekstraseluler (larut air). Pigmen merah, kuning dan oranye tidak larut air, tetapi dapat bereaksi dengan gugus amino yang

(26)

kemudian menghasilkan cincin piran sehingga larut air. Reaksi pigmen dengan gugus amino membuat daya larutnya pada air tinggi (Tanggara, 2013).

2.4 Tinjauan tentang Pigmen Monascus purpureus

Pigmen Monascus merupakan cairan berwarna merah yang keluar dari ujung hifanya . Pada waktu kultur ini masih muda, cairan ini tidak berwarna, tetapi seiring dengan pertumbuhan umur kultur, cairan tersebut berubah menjadi merah. Cairan tersebut akan terdifusi keseluruh substrat setelah keluar dari ujung hifanya. Selain dikeluarkan dari ujung-ujung hifanya, pigmen ini juga terdapat di dalam hifa (Purwanto, 2011).

Pigmen Monascus sp. merupakan metabolit sekunder yang mulai terbentuk pada fase pertumbuhan lambat dan semakin meningkat pada fase pertumbuhan stasioner. Metabolit tersebut termasuk dalam kelompok poliketida. Poliketida merupakan senyawa alam yang dibentuk dari unit-unit asetat, dengan bentuk aktif asetil CoA dan malonil CoA. Pigmen Monascus sp. termasuk dalam kelompok heksaketida, karena dibentuk dari enam unit asetat.

Pigmen yang dihasilkan oleh kapang tersebut memiliki warna merah, merah keunguan dan kuning. Pigmen tersebut mempunyai kelarutan yang tinggi, warnanya stabil, mudah dicerna dan tidak bersifat karsinogenik. Monaskorubin dan monaskoflavin merupakan pigmen utama pada angkak, yang keduanya dibedakan berdasarkan kelarutannya dalam eter(Tanggara, 2013).

Stabilitas pigmen angkak sangat dipengaruhi oleh sinar matahari, sinar ultraviolet, keadaan asam dan basa (pH), suhu, dan oksidator. Pigmen

(27)

angkak lebih stabil pada pH 9 dibandingkan dengan pH 7 dan pH 3. Pemanasan pada suhu 100oC selama satu jam tidak menyebabkan kerusakan nyata terhadap pigmen angkak (Wanti, 2008).

Penggunaan pigmen Monascus telah diterapkan pada beberapa kelompok pangan. Dosis yang digunakan untuk pewarna pangan hewani berkisar 2000-4000 ppm ekstrak Monascus. Pigmen Monascus baik untuk pewarna makanan atau minuman yang memiliki pH netral, tidak perlu pemanasan yang lama, dan tidak terkena sinar matahari langsung selama penyimpanan atau transportasi. Penyinaran langsung dengan sinar matahari menyebabkan degadasi pigmen(Tanggara, 2013).

2.4.1 Karakteristik Pigmen Angkak

Telah disebutkan sebelumnya bahwa selama proses fermentasi, terbentuk sejumlah pigmen warna pada angkak. Pigmen yang diproduksi selama fermentasi ini sekurang-kurangnya ada enam jenis, yaitu 2 jenis pigmen kuning: monascin (C21H26O5) dan ankaflavin (C23H30O5), 2 jenis pigmen oranye: rubropunctatin (C21H22O5) dan monascorubrin (C23H26O5), dan 2 jenis pigmen merah: rubropunctamin (C21H23NO4) dan monascorubramin (C23H27NO4) (K.H.Timotius, 2004).

(28)

Gambar 2.2. Struktur pigmen produksi kapang Monascus purpureus

(sumber Dhale, 2007)

Pendeteksian pigmen angkak dapat dilakukan secara spektrofotometri. Pigmen kuning, oranye, dan merah dapat dideteksi oleh spektrofotometer secara berturutturut pada panjang gelombang 400, 470, dan 500 nm(Andarwulan & Faradilla, 2012).

(29)

A B C

Gambar .2.3. Morfologi M. purpureus 3090 dilihat dengan foto mikroskop fase-kontras (x 1000). A. Bagian morfologi menghasilkan pigmen kuning (garis = 1,5 µm); B. Bagian ascomata menghasilkan pigmen jingga (orange) (garis = 2,5 µm); dan C. Bagian ascomata dewasa menghasilkan pigmen merah (garis = 4 µm)

(Sumber Permana, 2004).

Pigmen-pigmen pada angkak cukup stabil selama proses autoklaf pada kisaran pH yang luas walau lebih disukai pada pH basa atau netral. Pigmen ini juga stabil selama penyimpanan pada temperatur dingin. Berdasarkan hasil penelitian Fabre et al. (1993), warna pada saus dan pasta yang diwarnai dengan pigmen merah Monascus masih bertahan 92-98 % setelah 3 bulan penyimpanan di temperatur 4oC. Namun demikian, pigmen ini tidak stabil jika terpapar cahaya (warna yang tersisa hanya 20 % setelah 50 hari) dan panas (55 % warna hilang akibat pemanasan selama 2 jam pada temperatur 100oC) (Andarwulan & Faradilla, 2012).

Hasil penelitian Carvalho, et al (2005) menunjukkan efek pH dan jenis larutan terhadap kestabilan pigmen angkak. Pigmen yang dilarutkan dalam air pada kisaran pH 4-8 dan diinkubasi pada temperatur yang sama mengalami degadasi yang bervariasi. Sampel dengan pH yang lebih rendah mengalami

(30)

degadasi warna yang lebih cepat dibandingkan sampel dengan pH yang lebih tinggi. Efek pH terhadap degadasi pigmen ini tidak tampak untuk sampel dengan pelarut etanol. Hal ini kemungkinan karena asam meningkatkan interaksi air dengan pigmen. Interaksi ini dapat berupa pemutusan ikatan ester pada rubropunctamin atau monascorubramin. Pada sampel dengan pelarut etanol, keberadaan air sangat sedikit atau tidak ada sehingga pH larutan tidak mempengaruhi kestabilan pigmen. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pigmen angkak tidak cocok diaplikasikan pada makanan asam berair seperti susu fermentasi. Sebaliknya, pigmen angkak cocok digunakan pada pangan kering atau minuman berbasis alkohol seperti wine(Andarwulan & Faradilla, 2012).

2.5 Tinjauan tentang Fermentasi

Fermentasi berasal dari kata fervere (Latin), yang berarti mendidih, menggambarkan aksi ragi pada ekstrak buah selama pembuatan minuman beralkohol (Sulistyaningrum,2008). Dalam arti sempit fermentasi adalah suatu proses kimia dimana terjadi pembentukan gas dan busa. Sedangkan fermentasi dalam arti luas adalah proses melibatkan aktifitas mikroba untuk memperoleh energi melalui pemecahan substrat yang berguna untuk keperluan metabolisme dan pertumbuhannya sehingga dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pakan sebagai akibat dari pemecahan kandungan zat makanan dalam bahan pakan tersebut (Lunar, 2012).

Proses fermentasi mikroba akan membutuhkan sejumlah energy untuk pertumbuhannya dan perkembangbiakkannya yang akan diperoleh melalui perombakan zat makanan di dalam substrat. Perubahan kimia yang terjadi di

(31)

dalam substrat diakibatkan oleh aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba tersebut yang meliputi perubahan molekul yang mudah dicerna. Produk fermentasi dapat memperbaiki sifat-sifat bahan dasar seperti meningkatkan kecernaan, menghilangkan senyawa beracun, menimmbulkan rasa, dan aroma yang disukai.

Faktor yang menentukan keberhasilan proses fermentasi adalah suhu pertumbuhan, ketebalan substrat, bentuk dan ukuran partikel, kelembaban, aerasi dan jumlah mikroba dalam inokulum.

1. Air

Mikroba tidak akan tumbuh tanpa adanya air. Air bertindak sebagai pelarut dan sebagian besar aktifitas metabolic dalam sel dilakukan dalam lingkungan air. Air merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba dan kelangsungan proses fermentasi.

2. Konsentrasi Substrat dan Nutrien

Pertumbuhan kapang akan optimal jika nutrient yang diperlukan dan kondisi media sesuai. Semua mikroba memerlukan nutrient dasar untuk kehidupan dan pertumbuhannya seperti vitamin dan mineral.

3. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) merupakan petunjuk aktivitas ion H dalam suatu larutan. Pada proses fermentasi, pH sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan mikroba, dan berhubungan erat dengan suhu. Jika suhu naik, pH optimum untuk pertumbuhan juga naik.

(32)

4. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Masing-masing mikroba mempunyai suhu optimum, minimum, dan maksimum untuk pertumbuhannya. Suhu akan berpengaruh terhadap ukuran sel, produk metabolik seperti pigmen dan toksin, kebutuhan zat gizi, reaksi enzimatik, dan komposisi kimia sel.

5. Dosis Inokulum

Dalam lingkungan tertentu, dosis inokulum yang digunakan menentukan panjang pendeknya waktu inkubasi untuk mendapatkan hasil fermentasi yang baik. Inokulum mengandung spora yang pada pertumbuhannya menghasilkan enzim yang dapat menguraikan substrat menjadi komponen yang lebih sederhana, lebih mudah larut serta menghasilkan flavor dan aroma yang khas. Jumlah spora yang terlalu sedikit akan memperlambat laju pertumbuhan sehingga memberikan kesempatan kepada mikroba lain yang mampu bersaing dengan mikroba yang ada. Jumlah mikroba yang terlalu banyak akan menyebabkan sporulasi yang terlalu cepat sehingga sebagian energy kinetic tidak digunakan untuk memperbanyak sel. Jumlah koloni mikroba yang optimal untuk fermentasi adalah 1 x 107

6. Lama Inkubasi

Lama inkubasi berkaitan erat dengan waktu yang dapat digunakan oleh mikroba untuk tumbuh dan berkembang biak. Semakin lama waktu fermentasi maka semakin banyak kandungan zat yang digunakan kapang untuk hidupnya sehingga kandungan zat makanan yang tersisa semakin sedikit.

(33)

7. Aerasi

Aerasi bertujuan untuk mensuplai oksigen dan membuang CO2 pada fermentasi aerobic. Oksigen diperlukan untuk mendapatkan energy melalui oksidasi CO2 dan air. Aerasi yang baik adalah mengalirnya udara ke seluruh bagian media.

8. Bentuk dan ukuran partikel

Keseragaman partikel substrat akan mempermudah penyebaran spora yang diinokulasikan dalam substrat tersebut. Ukuran partikel yang terlalu kasar atau terlalu halus akan mempersulit aerasi.

2.6 Tinjauan tentang Sistem Fermentasi Padat

Fermentasi adalah proses dasar untuk mengubah suatu bahan menjadi suatu bahan lain dengan cara sederhana dan dibantu oleh mikroba. Proses fermentasi ini merupakan bioteknologi sederhana (Sibarani, 2010).

Sistem fermentasi padat merupakan salah satu metode fermentasi yang melibatkan pertumbuhan mikroorganisme pada partikel-partikel padat yang lembab. Kelembaban tersebut terjadi akibat adanya udara dan sedikit air yang mengisi celah-celah sempit antar partikel. Hal tersebut membuat metode ini bersifat aerobik. Penerapan metode ini sering dilakukan pada mikroorganisme jenis kapang. Namun berdasarkan hasil penelitian ternyata beberapa spesies bakteri dan khamir juga dapat ditumbuhkan menggunakan metode tersebut (Mitchell, 2005). Bahan yang sering digunakan dalam sistem fermentasi padat antara lain biji-bijian,sereal, dedak, kacang-kacangan, dan lignoselulosa (Waites, 2001).

(34)

Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi sistem fermentasi padat antara lain kandungan air, temperatur, dan aerasi. Kadar air sangat berpengaruh terhadap aktifitas mikroorganisme. Kandungan air yang terlalu rendah menyebabkan substrat sulit diakses oleh mikroorganisme. Sebab selama proses fermentasi, air dalam substrat akan mengalami penguapan akibat aktifitas metabolik mikroorganisme. Sehingga akan memperlambat pertumbuhan mikroorganisme. Sedangkan kandungan air yang terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya penurunan porositas, penurunan difusi oksigen, dan pertukaran gas dalam substrat. Hal tersebut menyebabkan sulitnya degadasi substrat dan tingginya tingkat kontaminasi (Waites, 2001).

Temperatur fermentasi juga akan berpengaruh terhadap terjadinya penguapan air dalam substrat. Hal tersebut juga dipengaruhi adanya aerasi dan agitasi. Sedangkan aerasi berkaitan dengan sistem fermentasi padat yang bersifat aerobik. Adanya oksigen yang masuk dapat menurunkan temperatur, mengurangi jumlah CO2, dan mengurangi kadar senyawa volatil yang dapat menghambat pertumb uhan mikroorganisme. Namun laju alir oksigen dipengaruhi oleh kandungan air dalam substrat. Apabila kandungan air dalam substrat tinggi akan mengganggu difusi oksigen (Waites, 2001).

2.7 Kerangka teori

Penggunaan zat pewarna pada produk makanan saat ini semakin marak Tujuan dari penambahan zat pewarna untuk memberikan variasi warna yang menarik. Pewarna yang sering digunakan adalah zat warna sintetis karena harganya lebih murah, namun dapat mengganggu kesehatan jika dikonsumsi

(35)

dalam waktu cukup lama. Penggunaan zat warna sintetis dapat digantikan dengan menggunakan zat warna alami yang diperoleh dari tumbuhan maupun hewan. Selain dari tanaman dan hewan, zat warna alami juga bisa dihasilkan dari mikroorganisme, salah satunya adalah Monascus purpureus.

Monascus purpureus bisa tumbuh baik pada medium yang banyak

mengandung amilosa yang tinggi dan amilopektin yang rendah misalnya pada beras. Selain beras, salah satu bahan yang berpotensi untuk dijadikan sebagai media tumbuh dari kapang tersebut adalah biji alpukat.

Biji alpukat mempunyai kandungan pati yang cukup tinggi yaitu 23% dengan kandungan amilosa 43,3% dan amilopektin 37,7%. Potensi tersebut dapat digunakan sebagai peluang untuk menambah nilai ekonomis pada biji alpukat yang dapat menghasilkan pigmen alami dengan bantuan kapang M.purpureus.

Pigmen yang dihasilkan berasal dari keluarnya cairan ganular melewati ujung-ujung hifa Monascus purpureus. Ketika kultur masih muda, cairan ekskresinya tidak berwarna, tetapi secara bertahap terjadi perubahan menjadi kemerahan. Hal ini terjadi karena pada waktu kultur masih muda, semua nutrisi dipakai untuk pertumbuhan dan setelah dewasa sebagian nutrisi dipakai untuk membentuk pigmen angkak. Proses pembentukan pigmen pada Monascus sp diawali dari tetraketida yang terbentuk melalui reaksi kondensasi satu molekul asetil-CoA dengan tiga molekul malonil-KoA. Tetraketida memperoleh satu molekul malonil-CoA membentuk pentaketida kemudian pentaketida mendapat satu lagi molekul malonil-CoA dan membentuk heksaketida dan akhirnya terbentuk pigmen merah (Hajjaj et al., 1999).

(36)

2.8 Hipotesis

Terdapat pengaruh penambahan kapang Monascus purpureus terhadap tepung biji alpukat yang digunakan sebagai substrat dalam memproduksi pigmen.

(37)

26

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Berdasarkan permasalahannya penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental yang bertujuan mengetahui pengaruh penambahan kapang

Monascus purpureus pada biji alpukat sebagai penghasil pigmen alami. Penelitian

eksperimen merupakan penelitian yang mengubah satu atau lebih faktor pada situasi yang terkontrol untuk melihat pengaruh dari faktor tersebut (Prabandari, 2014). Adapun tahapan-tahapan dalam penelitian ini meliputi persiapan, pelaksanaan, dan akhir.

Tahap persiapan dalam penelitian ini yaitu menentukan populasi dan sampel penelitian, menentukan lokasi dan waktu penelitian, serta mempersiapkan peralatan dan menghitung kebutuhan bahan yang akan digunakan saat penelitian.

Tahap pelaksanaan yaitu pembuatan tepung biji alpukat, proses fermentasi menggunakan kapang Monascus purpureus, pengujian karakteristik pigmen hasil fermentasi tepung biji alpukat meliputi intensitas pigmen menggunakan spektrofotometri UV-Vis, analisis warna derajat kemerahan (a*) dan kecerahan (L*) menggunakan color reader, pengujian kelarutan pigmen dalam air , uji kestabilan pigmen terhadap suhu dan kestabilan pigmen terhadap pH.

Tahap akhir meliputi analisis data yang diperoleh, diolah, diinterpretasikan terhadap hasil penelitian untuk mengetahui pengaruh penambahan kapang

(38)

Monascus purpureus terhadap pigmen alami yang dihasilkan pada substrat tepung

biji alpukat.

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian

3.2.1 Populasi penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah tepung biji alpukat (Persea

Americana Mill).

3.2.2 Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah 100g tepung biji alpukat hasil fermentasi dengan kapang Monascus purpureus. Sampel tersebut digunakan untuk penentuan karakterisasi pigmen alami sebelum dan sesudah proses fermentasi.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Farmakognosi Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang, Laboratorium Mikrobiologi Fakultas MIPA di Universitas Brawijaya.

3.3.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dimulai dari proses penyusunan proposal pada bulan November 2014 sampai terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah tahun 2015.

3.4 Definisi Operasional Variabel

Dalam penelitian ini terdapat variabel bebas dan terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penambahan konsentrasi starter Monascus

(39)

purpureus. Sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah karakteristik

pigmen yang dihasilkan oleh fermentasi tepung biji alpukat.

Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel

Variabel Sub Variabel Definisi Operasional Indikator Alat ukur Hasil ukur Skala Konsentra si kapang 5%, 10% dan 15% Banyaknya starter Monascus purpureus yang dibutuhkan untuk memfermentasi tepung biji alpukat menggunakan konsentrasi 5%, 10%, dan 15% Jumlah kapang 2 x 106 hingga 2 x 108 cfu/ml Haemo cytomet er cfu/ml rasio Karakteris tik pigmen Intensitas Pigmen Tingkatan nilai absorbansi pigmen yang dihasilkan dari fermentasi tepung biji alpukat. Absorbansi pigmen semakin meningkat semakin bagus. spektro fotomet ri UV-Vis 500nm. absorb ansi Rasio Analisis Warna Proses pengukuran warna meliputi tingkat kecerahan dan tingkat kemerahan pada sampel setelah difermentasi dengan Monascus purpureus 0-100 untuk kecerahan dan +100 untuk kemerahan Colorid er - Rasio Kelarutan Pigmen dalam Air Sampel dilarutkan dalam air pada suhu 25ºC, 60ºC, 80ºC dan 100ºC. Absorbansi pigmen semakin meningkat semakin bagus. spektro fotomet ri UV-Vis pada panjang gelomb ang 500nm. absorb ansi Rasio Kestabilan Pigmen terhadap Suhu Larutan sampel didiamkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 25ºC, 70ºC dan 121ºC. Absorbansi pigmen pada suhu ruang spektro fotomet ri UV-Vis 500nm. absorb ansi Rasio

(40)

3.5 Instrumen Penelitian

3.5.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender, loyang, pisau, inkubator, autoklaf, glasswere, pH meter, termometer, neraca analitik, mikro pipet, ose, bunsen, oven, haemocytometer, color reader, rotary shaker,

vortex homogenizer, spektrofotometri UV-Vis.

3.5.2 Bahan

Bahan yang digunakan antara lain biji alpukat yang diperoleh dari pedagang jus di area Malang, kultur Monascus purpureus yang diperoleh dari BPPT Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, medium PDA, ethanol 95%, KOH 0.25M, HCl 0.1M, NH4NO3 , MgSO4.7H2O,KH2PO4,Na2S2O5, alkohol 70%, akuades, kertas coklat, spiritus, methanol 96%, buffer Na-sitrat pH 3, buffer Na-fosfat pH 7, dan asetonitril.

3.6 Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian.

3.6.1 Pemeliharaan dan Perbanyakan Monascus purpureus

Medium yang digunakan untuk menumbuhkan M.purpureus adalah PDA (Potato Dekstrose Agar). Medium dibuat dengan mencampurkan serbuk PDA dengan aquades dengan takaran tertentu. Standar pembuatannya yaitu untuk 1L medium PDA, dibutuhkan 39g serbuk PDA. Setelah dicampurkan dengan aquades dan diaduk hingga homogen, medium dipanaskan di hot plate dan magnetic

(41)

stirrer hingga mendidih. disterilkan di autoclave pada suhu 1210C selama 15 menit. Setelah disterilkan, media didinginkan sampai suhu ruangan.

Dimasukkan media PDA ke dalam tabung reaksi untuk membuat media miring, tunggu sampai membeku. Isolat kapang Monascus purpureus diinokulasikan menggunakan kawat ose. Diinkubasi selama 6 hari pada suhu 30-31oC (Nufus, 2013).

3.6.2 Perhitungan jumlah spora Monascus purpureus

Perhitungan jumlah spora yang diproduksi oleh Monascus purpureus dilakukan menggunakan alat haemocytometer dengan cara diambil koloni

M.purpureus yang sudah diinokulasikan pada agar miring. Pengamatan jumlah

spora dilakukan dengan cara manambahkan 9ml aquades steril pada setiap tabung yang berisi kultur M. purpureus. Hifa yang menempel pada medium dikeruk perlahan menggunakan jarum ose hingga didapatkan suspensi sporanya, setelah itu suspensi spora dipindahkan kedalam tabung kosong dan dihomogenkan dengan cara divortex, lalu dipipet dan diteteskan satu tetes kedalam bidang hitung haemocytometer dan ditutup dengan gelas penutup.

Gambar 3.1 Penutupan Alat Haemocytometer Dengan Gelas Penutup

(42)

Kemudian dengan menggunakan perbesaran 400x, spora M.purpureus dapat terhitung dibawah mikroskop. Spora yang dihitung hanya pada daerah dengan nomor 3 dengan bidang hitung (1+2+3+4+5) seperti yang tersaji pada Gambar 3.2

Gambar 3.2 Haemocytometer yang Diamati dengan Menggunakan

Mikroskop (Sumber : (Yuliani, 2013)

Pada daerah dengan nomor tiga terdapat 25 kotak. Dari 25 kotak tersebut dipilih lima kotak saja yang dijadikan tempat perhitungan spora M. purpureus, yaitu kotak A, B, C, D dan E. Seperti yang tersaji dalam Gambar 3.3

Gambar 3.3 Titik Perhitungan Spora

(43)

Setiap kotak A, B. C, D memiliki enambelas kotak kecil. Perhitungan spora seperti yang terdapat pada Gambar 3.5

Gambar 3.4 Alur Perhitungan Spora

(Sumber : (Yuliani, 2013)

Setelah didapat jumlah spora, lalu dihitung jumlah spora/ml pada bidang hitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

𝑆 = 𝑅 𝑥 𝐾 𝑥 𝐹

Keterangan :

S : Jumlah spora/ml

R : Jumlah rata-rata spora pada 5 bidang pandang haemocytometer K : Konstanta koefisien alat (2,5 x 105)

F : Faktor Pengenceran yang dilakukan (Yuliani, 2013)

3.6.3 Persiapan Suspensi Kapang Monascus purpureus

Suspensi spora M.purpureus dibuat dengan cara ditambah 9ml aquades steril. Suspensi yang didapat kemudian divorteks hingga homogen dan dihitung

(44)

jumlah sporanya menggunakan haemocytometer. Untuk mendapatkan banyaknya suspensi spora yang diinokulasikan maka digunakan rumus sebagai berikut :

𝑥 = 𝑛

100 𝑥 10 Keterangan :

x : Banyaknya suspensi spora yang digunakan n : Konsentrasi yang digunakan

10 : 10g substrat yang digunakan

Penentuan konsentrasi dibuat berdasarkan perbandingan konsentrasi dengan banyak substrat yang digunakan. Pada 5% (v/b), 10g substrat diinokulasikan dengan 0,5ml suspensi spora M.purpureus. Konsentrasi 10% (v/b), 10g substrat diinokulasikan dengan 1ml suspensi spora M.purpureus. Konsentrasi 15% (v/b), 10g substrat diinokulasikan dengan 1,5ml suspensi spora

M.purpureus(Yuliani, 2013). Penambahan inokulum yang dianjurkan untuk

fermentasi padat adalah sebanyak 2 x 106 hingga 2 x 108 cfu/ml(Zubaidah & Sari, 2015)

3.6.4 Pembuatan Tepung Biji Alpukat

Metode perlakuan awal yang dilakukan adalah pemilihan biji alpukat yang baik, pencucian biji alpukat, pengelupasan kulit biji, dan teknik pemotongan biji alpukat. Pengelupasan kulit biji alpukat dapat dilakukan dengan menggunakan pisau karena kulit biji alpukat tipis dan mudah dikelupas. Pemotongan biji alpukat dilakukan secara irisan (slicing) dengan tebal kira-kira 0,5 mm .

Untuk pembuatan larutan: padatan sebanyak 1 gram kemudian dimasukkan ke dalam gelas kimia dan ditambahkan dengan aquades hingga volume yang

(45)

ditentukan diaduk dengan menggunakan batang pengaduk hingga padatan larut dalam aquades.

Biji alpukat direndam dengan larutan natrium metabisulfit, perendaman selama 24 jam, rasio biji alpukat dan larutan perendam (F/S) 1:5 (gr/mL). Biji alpukat yang sudah direndam kemudian dicuci menggunakan aquades kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 50oC sampai kering (Chandra & Inggrid, 2013).

3.6.5 Persiapan Medium Fermentasi

Tepung biji alpukat ditimbang dengan menggunakan timbangan digital dengan berat 10g untuk setiap cawan petri. Setiap cawan petri kemudian ditambahkan 4ml larutan nutrisi yang mengandung : 0,25% (b/v) KH2PO4, 0,15% (b/v) NH4NO3, dan 0,1% (b/v) MgSO4.7H2O dalam 12,5ml akuades (Tedjautama & Zubaidah, 2014). Selain itu, pH substrat diatur hingga mencapai pH 6.0 dengan 0,1M NaOH atau 0,1M HCl. Kemudian cawan petri ditutup menggunakan kertas coklat dan disterilisasi dengan autoklaf 1210C selama 15 menit dengan tekanan 15 psi (Ahmad et al, 2009).

3.6.6 Fermentasi Monascus purpureus pada Substrat Tepung Biji Alpukat

Substrat yang telah disterilkan didinginkan sampai suhu ± 300C. Kemudian diinokulasikan dengan suspensi spora kapang M.purpureus dengan konsentrasi inokulum yang terdiri atas 5%, 10%, 15% (v/b). Cawan petri ditutup dengan kertas coklat steril agar tidak terjadi kontaminasi. Fermentasi akan dilakukan pada suhu ± 300C selama 14 hari(Zubaidah & Sari, 2015) .

(46)

3.6.7 Sampling Pengambilan Substrat

Sampling pengambilan substrat tepung biji alpukat yang telah difermentasi oleh Monascus purpureus selama 14 hari dikeringkan dengan oven kering suhu 700C selama 24 jam dan dihancurkan menggunakan blender kering hingga diperoleh serbuk (Zubaidah & Sari, 2015).

3.6.8 Analisis Intensitas Pigmen

Serbuk hasil fermentasi ditimbang 0,05g yang sudah dikeringkan terlebih dahulu. Diekstrak menggunakan 10mL methanol 96%. Larutan kemudian dishaker dengan kecepatan 200 rpm selama 1 jam. Larutan selanjutnya dipisahkan dari residu dengan menggunakan kertas saring dan dibiarkan mengendap. Filtrat yang diperoleh dimasukkan dalam kuvet dan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada λ 500nm. Sebelumnya spektrofotometer dikalibrasi dengan menggunakan methanol 96% sebagai blankonya(Zubaidah & Sari, 2015).

3.6.9 Analisis Warna

Serbuk angkak dimasukkan dalam plastik transparan kemudian target pembacaan a* (derajat kemerahan) dan L* (kecerahan) ditentukan, hasil pembacaan yang tertera dalam color reader dicatat(Zubaidah & Sari, 2015). 3.6.10 Uji Kelarutan Pigmen dalam Air

Dalam 4 tabung reaksi diisi dengan air masing-masing 10mL bersuhu 25ºC, 60ºC, 80ºC dan 100ºC. Masing-masing tabung tersebut ditambahkan serbuk angkak sebanyak 60mg dan divortex selama 30 detik. Larutan selanjutnya disaring menggunakan kertas saring dan filtrat yang diperoleh kemudian diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada λ 500nm (Zubaidah & Sari, 2015).

(47)

3.6.11 Uji Kestabilan Pigmen terhadap Suhu

Sebanyak 600mg serbuk angkak dilarutkan dalam 100mL air dan selanjutnya disaring. Larutan dipindahkan ke dalam 4 tabung reaksi yang masing-masing berisi 10mL larutan filtrat. Masing-masing-masing tabung selanjutnya dipanaskan dalam oven dengan suhu 25ºC, 70ºC dan 121ºC selama 1 jam dan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada λ 500nm(Zubaidah & Sari, 2015).

3.7 Analisis Data

Data yang didapatkan dari hasil identifikasi karakteristik pigmen yang dihasilkan dari fermentasi tepung biji alpukat menggunakan kapang Monascus

purpureus dilakukan pengolahan data menggunakan metode RAL. Pada pengujian

intensitas pigmen dan analisis warna yang meliputi derajat kecerahan dan derajat kemerahan, hasilnya dianalisis menggunakan metode one way ANOVA. Sedangkan untuk pengujian kelarutan pigmen dalam air dan uji kestabilan pigmen pada suhu digunakan metode analisis two way ANOVA. Data ini diolah menggunakan program SPSS 15.

(48)

37

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Perhitungan Jumlah spora Monascus purpureus

Pada penelitian ini menggunakan kapang Monascus purpureus. Jenis

Monascus merupakan kapang yang diketahui telah banyak digunakan di Asia

selama berabad-abad sebagai pewarna makanan dan minuman. Sebelum digunakan untuk inokulum maka kapang ini perlu dihitung apakah jumlahnya sesuai untuk proses fermentasi padat. Perhitungan jumlah spora Monascus

purpureus bertujuan untuk mengetahui jumlah kapang tiap mL dan dihitung

menggunakan haemocytometer (Lampiran 1). Penambahan inokulum yang dianjurkan untuk fermentasi angkak berkisar antara 2x106 hingga 2x108 cfu/mL (Zubaidah & Sari, 2015).

Setelah dilakukan perhitungan kapang Monascus purpureus menggunakan

haemocytometer diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Kapang Monascus purpureus

Ulangan Jumlah kapang (cfu/mL)

Ulangan I 2,95 x 107

Ulangan II 2,9 x 107

Ulangan III 2,95 x 107

Dari hasil di atas, jumlah kapang yang akan digunakan memenuhi syarat yang dianjurkan untuk proses fermentasi. Suspensi kapang yang dihasilkan berwarna orange yang berasal dari warna kapang Monascus purpureus.

(49)

4.2 Pembuatan Tepung Biji Alpukat

Biji alpukat yang sudah disortasi diiris tipis-tipis kemudian direndam dengan larutan natrium metabisulfit. Fungsi dari larutan natrium metabisulfit adalah untuk mencegah proses browning (pencoklatan). Menurut (Chandra et al., 2013) proses browning disebabkan oleh senyawa fenolik dopamine (3,4-dihidroksi phenilalanin) secara ezimatik oleh reaksi antara oksigen dengan substrat fenolik dengan katalisator polifenol oksidase.

Dalam 1L larutan natrium metabisulfit berisikan rajangan biji alpukat sebanyak 200g. Setelah dilakukan perendaman selama 1 hari, rajangan biji alpukat dioven pada suhu 50oC selama 2 hari. Pengeringan tersebut bertujuan untuk mengurangi kadar air sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15%. Selanjutnya rajangan biji alpukat yang sudah kering dihaluskan dengan menggunakan blender dan diayak dengan ayakan no.20 (Chandra et al., 2013). Hasil dari tepung biji alpukat dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 4.2)

Tabel 4.2 Organoleptis Tepung Biji Alpukat

Bentuk Serbuk halus

Bau Bau alpukat

Warna Coklat muda

4.3 Fermentasi Tepung Biji Alpukat dengan Kapang Monascus purpureus

Pada proses fermentasi media tepung biji alpukat ditimbang sebanyak 10g kemudian ditambahkan dengan variasi konsentrasi 5%, 10% dan 15%. Pada konsentrasi 5%, suspensi kapang yang ditambahkan sebanyak 0,5mL , 1mL untuk konsentrasi 10% dan 1,5mL untuk konsentrasi 15% (Lampiran 3). Proses inokulasi dilakukan dengan menambahkan suspensi yang diperoleh dari kultur

(50)

yang berusia 6 hari pada medium PDA hal ini mengacu pada penelitian Nufus, 2013 dimana kultur yang ditambahkan saat usia 6 hari dapat memberikan hasil yang optimum. Sebelum ditambahkan dengan suspensi kapang, media terlebih diberi larutan nutrisi yang berisikan KH2PO4 sebagai sumber mineral, NH4NO3 sebagai sumber nitrogen dan MgSO4 sebagai sumber energi untuk Monascus

purpureus. Selain itu kandungan karbohidrat dalam biji alpukat merupakan

sumber karbon yang paling dominan dan merupakan sumber energi utama. Sumber karbon yang dapat digunakan dalam pertumbuhan Monascus purpureus dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumber karbon langsung (glukosa, maltosa, dan fruktosa) dan sumber karbon tak langsung (laktosa dan gliserol). Sedangkan sebagai sumber nitrogen dapat digunakan pepton, nitrat, glutamat, dan tripton (Miyake et al., 2006). Tepung biji alpukat juga mengandung pati yang cukup tinggi, semakin banyak kandungan pati dalam sampel, maka semakin banyak nutrisi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan Monascus purpureus sehingga fase stationer akan menjadi lebih lama dibandingkan Monascus purpureus yang tumbuh dalam substrat yang lebih rendah kandungan nutrisinya. Kemudian dilakukan pengaturan pH yaitu hingga pH media 6 karena termasuk dalam pH optimum Monascus purpureus. Suhu inkubasi untuk fermentasi adalah 30 oC selama 14 hari karena kondisi tersebut merupakan kondisi optimal untuk proses pembentukan pigmen (Zubaidah & Sari, 2015).

Pertumbuhan pada substrat padat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain kelembaban, oksigen/aerasi, pH, suhu dan kualitas inokulum. Kondisi optimal untuk proses pembentukan pigmen adalah pada pH

(51)

5-6, suhu 30 oC selama 14 hari dan kelembaban 50% (Lindayani & Hartayanie, 2011).

4.4 Serbuk Monascus purpureus

Setelah dilakukan proses fermentasi menggunakan kapang Monascus

purpureus selama 14 hari. Media yang mengalami perubahan warna (dari warna

coklat menjadi warna merah) dikeringkan dalam oven dengan suhu 700C selama 24 jam hal ini sesuai dengan penelitian (Zubaidah & Sari, 2015). Hasil pengeringan kemudian dihaluskan dengan cara ditumbuk hingga halus. Hasil uji organoleptis angkak biji alpukat dapat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.3 Organoleptis Angkak Biji Alpukat

Konsentrasi 5% 10% 15%

Bentuk Serbuk halus Serbuk halus Serbuk halus

Bau Sedikit bau alpukat Sedikit bau alpukat Sedikit bau alpukat

Warna Merah tua Merah tua Merah tua

Pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa pada masing-masing konsentrasi kapang memberikan warna yang sama dilihat secara kasat mata yaitu berwarna merah tua sehingga perlu dilakukan pengujian karakteristik pada pigmen.

4.5 Intensitas Pigmen Merah

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan kapang

Monascus purpureus pada biji alpukat (Persea Americana Mill) terhadap

karakteristik pigmen jika dibandingkan dengan sampel biji alpukat yang tidak ditambahkan dengan kapang Monascus purpureus. Sebelum dilakukan pengujian, serbuk angkak diekstraksi dengan metanol karena pigmen yang akan diekstrak bersifat polar (“like dissolved like”). Hal ini sesuai dengan penelitian Hajjaj et al.,

(52)

1999 dimana pigmen yang dihasilkan Monascus purpureus dapat dipisahkan melalui ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik (eter, etanol, benzena, asam asetat, metanol dan kloroform).

Gambar 4.1. Grafik Intensitas Pigmen Pada Setiap Perlakuan

Gambar di atas menunjukan ada pengaruh penambahan kapang Monascus

purpureus dilihat dari kenaikkan nilai absorbansi. Berdasarkan analisis data

menggunakan anova satu jalur dengan program SPSS.15 diperoleh nilai p = 0,000 (p<0,05) artinya bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada perlakuan tersebut. Setelah dilanjutkan analisis post hock terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan 0% atau kontrol dengan semua perlakuan 5%, 10% dan 15%., dimana intensitas pigmen yang paling tinggi adalah pada konsentrasi 10% (Lampiran 7).

Hal tersebut bisa terjadi karena diduga pada konsentrasi 10%, Monascus

purpureus merupakan kondisi optimum dalam memproduksi pigmen merah pada

media biji alpukat. Pembentukan pigmen pada angkak biji alpukat dipengaruhi oleh jumlah starter yang digunakan. Jika starter terlalu sedikit akan menyebabkan produksi pigmen tidak maksimum karena jumlah mikroba yang ada dalam

0.006533 0.641366 0.666166 0.649033 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 0% 5% 10% 15% Ab so rb an si (O D 50 0n m) Konsentrasi

Intensitas pigmen

(53)

medium tidak mencukupi dalam menghasilkan pigmen tersebut. Sebaliknya, apabila jumlah starter yang diberikan terlalu banyak maka produksi pigmen yang dihasilkan juga kurang maksimum karena dengan banyaknya starter menyebabkan mikroba yang terdapat dalam media semakin banyak dan akan terjadi perebutan nutrisi dalam medium tersebut (Irdawati, 2010).

Karakteristik pigmen yang diproduksi selama fermentasi ini sekurang-kurangnya ada enam jenis, yaitu 2 jenis pigmen kuning: monascin (C21H26O5) dan ankaflavin (C23H30O5), 2 jenis pigmen oranye: rubropunctatin (C21H22O5) dan monascorubrin (C23H26O5), dan 2 jenis pigmen merah: rubropunctamin (C21H23NO4) dan monascorubramin (C23H27NO4) (K.H.Timotius, 2004). Berdasarkan pernyataan di atas, pigmen yang dihasilkan pada fermentasi biji alpukat termasuk dalam pigmen merah yaitu rubropunctamin (C21H23NO4) dan monascorubramin (C23H27NO4). Proses pembentukan pigmen pada Monascus sp diawali dari tetraketida yang terbentuk melalui reaksi kondensasi satu molekul asetil-CoA dengan tiga molekul malonil-KoA. Tetraketida memperoleh satu molekul malonil-CoA membentuk pentaketida kemudian pentaketida mendapat satu lagi molekul malonil-CoA dan membentuk heksaketida dan akhirnya terbentuk pigmen merah (Hajjaj et al., 1999).

4.6 Analisis Warna

4.6.1 Kecerahan (L)

Nilai L* menyatakan tingkat gelap terang dengan kisaran 0-100 dimana nilai 0 menyatakan kecenderungan warna hitam atau sangat gelap, sedangkan nilai 100 menyatakan kecenderungan warna terang atau putih (Satriyanto et al, 2012).

(54)

Derajat kecerahan memiliki nilai berbanding terbalik dengan nilai intensitas pigmen pada angkak. Semakin tinggi nilai intensitas pigmen maka warna yang dihasilkan akan menjadi lebih pekat sehingga derajat kecerahan semakin menurun. Hasil derajat kecerahan dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

Gambar 4.2 Grafik Tingkat Kecerahan Pigmen

Gambar di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan pada tiap konsentrasi kapang Monascus purpureus. Berdasarkan analisis data menggunakan anova satu jalur dengan program SPSS.15 diperoleh nilai p = 0,000 (p<0,05) artinya bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada perlakuan tersebut. Setelah dilanjutkan analisis post hock, terdapat perbedaan antar perlakuan 5%, 10% dan 15% dimana pada konsentrasi 5% memiliki tingkat kecerahan yang paling tinggi dibnadingkan dengan konsentrasi 10% dan 15% (Lampiran 8). Hal ini disebabkan karena pada konsentrasi 10% dan 15%, warna yang dihasilkan lebih merah pekat dibandingkan dengan konsentrasi 5%. Sehingga kepekatan tersebut mempengaruhi tingkat kecerahan dari masing-masing perlakuan.

4.6.2 Kemerahan (a*)

Nilai kemerahan menyatakan tingkat warna hijau sampai merah dengan kisaran nilai -100 sampai +100 (wahyuni, 2015). Derajat kemerahan memiliki

28 29 30 31 32 33 5% 10% 15% Skal a n ila i Konsentrasi kapang

Derajat Kecerahan

L*

(55)

nilai berbanding lurus dengan nilai intensitas pigmen pada angkak, dimana semakin tinggi intensitas pigmen maka nilai derajat kemerahan juga semakin tinggi. Hasil derajat kemerahan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 4.3 Grafik Tingkat Kemerahan Pigmen

Berdasarkan analisis data menggunakan anova satu jalur dengan program SPSS.15 diperoleh nilai p = 0,000 (p<0,05) artinya bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada perlakuan tersebut. Setelah dilanjutkan analisis post hock, terdapat perbedaan yang nyata pada antar perlakuan 5%, 10% dan 15% dimana pada konsnetrasi 10% memiliki tingkat kemerahan yang paling tinggi (Lampiran 9).Hal ini disebabkan oleh variasi penambahan konsentrasi kapang yang mempengaruhi pigmen yang dihasilkan.

4.7 Kelarutan Pigmen dalam Air

Pengujian kelarutan pigmen angkak dalam air ini bertujuan untuk mengetahui kelarutan optimal pigmen pada beberapa perlakuan. Suhu air yang digunakan sebagai perlakuan adalah 25oC, 60oC, 80oC dan 100oC. Kelarutan serbuk angkak ditentukan dengan nilai absorbansi dari larutan serbuk angkak pada panjang gelombang 500nm. Nilai absorbansi yang diperoleh merupakan intensitas

0 5 10 15 20 5% 10% 15% Sk al a n ila i Konsentrasi kapang

Derajat kemerahan

a*

(56)

pigmen yang terlarut dalam aquades dengan berbagai suhu. Hasil kelarutan pigmen dalam air dapat dilihat dari gambar di bawah ini.

Gambar 4.4 Grafik Kelarutan Pigmen Dalam Air

Gambar di atas menunjukkan bahwa kelarutan pigmen meningkat seiring dengan kenaikan suhu air atau bersifat endoterm. Berdasarkan analisis data menggunakan anova dua jalur dengan program SPSS 15 diperoleh nilai p = 0,000 (p<0,05) yang artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara variabel indenpenden (konsentrasi starter, suhu air, konsentrasi starter*suhu air) terhadap variabel dependen yaitu kelarutan pigmen yang ditunjukkan dengan nilai absorbansi. Setelah dilanjutkan analisis post hock terdapat perbedaan yang signifikan pada masing-masing perlakuan 5%, 10% dan 15% (Lampiran 10). Pada perlakuan konsentrasi 10% memiliki tingkat kelarutan yang lebih baik dibandingkan dengan konsentrasi 5% dan 15%. Sedangkan pada perlakuan suhu terdapat perbedaan yang signifikan, dimana pada suhu 100oC dapat melarutkan pigmen secara optimal.

Hal ini disebabkan karena energi kinetik antar partikel mengalami peningkatan pada suhu tinggi sehingga pergerakan antar partikel lebih cepat dibandingkan dengan suhu rendah, yang menyebabkan kontak antara partikel air

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 25 60 80 100 A b so rb a n si (O D 5 0 0 n m ) suhu air

Kelarutan Pigmen

5% 10% 15%

Gambar

Tabel 2.1. Komposisi kimia dan sifat-sifat dari  pati biji alpukat  Komponen  Jumlah (%)  Kadar pati  10,2  Kadar pati  *Amilosa  *Amilopektin  80,1 43,3 37,7  Protein  tn  Lemak  tn  Serat kasar  1,21
Tabel 2.4 Mikroorganisme penghasil pigmen (telah digunakan sebagai  pewarna alami makanan atau berpotensi tinggi di bidang pewarna)
Gambar 2.1. Bentuk koloni kapang Monascus purpureus    (sumber Tanggara, 2013)
Gambar 2.2. Struktur pigmen produksi kapang Monascus purpureus  (sumber Dhale, 2007)
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang diperoleh adalah Evaluasi Ergonomi dengan menggunakan metode ergoceklist belum diterapkan di PT Pertamina (Persero) RU IV Cilacap, Kondisi

Secara khusus tujuan penelitian adalah untuk medapatkan kejelasan penerapan metode demonstrasi untuk meningkatkan aktivitas belajar pada materi menentukan bilangan

Dari 12 tumbuhan yang ada, serealia (jagung dan shorgum), umbi-umbian (ubi jalar, ubi kayu, talas, porang atau suweg), polong-polongan (kacang hijau dan kacang

Keuntungan khusus untuk ruang bawah-bawah yang berada pada bawah tanah MAT (Muka air tanah) adalah dapat menyekat air tanah. Bangunan bawah tanah yang lantainya terletak

Dosis awal harus dikurangi 50% pada pasien yang sudah dapat diuretik, yang kekurangan cairan, atau sudah tua sekali karena risiko hipotensi, dapat menyebabkan hiperkalemia

Berdasarkan perdebatan tersebut, Hall (1996) merumuskan identitas dalam tiga pengertian, yaitu enlightment subject, sociological subject, dan postmodern subject. Enlightment subject

Perhitungan Rata-rata, Standar deviasi, dan Variansi Nilai Hasil Belajar Siswa di Kelas Eksperimen

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunian-Nya penyusunan skripsi dengan judul Pengaruh Kualitas Auditor, Karakteristik