• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS PENELITIAN. remaja yang menyimpang dari norma hukum, norma agama, maupun norma masyarakat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS PENELITIAN. remaja yang menyimpang dari norma hukum, norma agama, maupun norma masyarakat."

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Kajian Teoretis

2.1.1 Pengertian Kenakalan Siswa

Kenakalan siswa merupakan salah satu wujud dari proses pencarian jati diri pada usia remaja yang menyimpang dari norma hukum, norma agama, maupun norma masyarakat. Pada proses tersebut timbul kebimbangan pada diri remaja dalam menentukan sikap. Siswa bukan siswa kecil lagi tetapi juga belum bisa dikatakan dewasa. Oleh karena itu, siswa yang berada pada tahap remaja mencari sosok terdekat dengan kehidupannya sehari-hari untuk dijadikan panutan, misalnya remaja laki-laki meniru perilaku ayahnya sedangkan remaja putri bertingkah laku seperti ibunya. Lingkungan sekitar juga turut menentukan dalam proses pembentukan jati diri remaja.

Menurut Dariyo, (2007 :91) bahwa kenakalan adalah perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan oleh seseorang baik secara sendirian maupun berkelompok yang bersifat melanggar ketentuan-ketentuan hukum, moral, dan sosial yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. Pengertian kenakalan yang dimaksud disini adalah perilaku yang menyimpang dari atau melanggar hukum yang dilakukan oleh siswa di sekolah (Sarwono,2003:207).

Kenakalan menurut Sudarsono, (2004:10), apabila perbuatan perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat di mana ia hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial di mana di dalamnya terkandung unsur-unsur normatif.

Dari penjelasan para ahli tersebut, maka dapat dipertegas bahwa kenakalan siswa adalah segala bentuk perilaku yang ditunjukkan dalam bentuk perorangan ataupun kelompok yang bertentangan dengan aturan/tata tertib yang berlaku di dalam lingkungan sekolah.

(2)

2.1.2 Bentuk-bentuk Perilaku Kenakalan Siswa

Kenakalan pada diri siswa tidak timbul begitu saja. Kenakalan siswa terjadi karena suatu sebab yang dirasakan mengganggu diri siswa, sehingganya terjadi satu bentuk perilaku/sikap yang ditunjukkan untuk mencari suatu perhatian. Kartono (2002:21-23), mengemukakan wujud perilaku kenakalan siswa sebagai berikut:

a. Kebut-kebutan di jalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa sendiri serta orang lain.

b. Perilaku ugal-ugalan, berandalan, urakan, yang mengacaukan ketentraman sekitar. Tindakan ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitif yang tidak terkendali serta kesukaan menteror lingkungan.

c. Perkelahian antar gang, antar kelompok, antar sekolah, antar suku (tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban.

d. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan, atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macamkedurjanaan dan tindakan a-susila.

e. Kriminalitas anak, remaja dan adolesens lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, maling, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok, menggarong, melakukan pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya, mencekik, meracun, tindakan kekerasan, dan pelanggaran lainnya.

f. Berpesta pora sambil mabuk-mabukkan, melakukan hubungan seks bebas yang mengganggu lingkungan.

(3)

h. Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika (obat bius, drugs) yang erat bergandengan dengan tindak kejahatan.

i. Tindakan-tindakan immoral seksual secara terang-terangan, tanpa tedeng alingaling, tanpa rasa malu dengan cara yang kasar.

j. Homoseksualitas, erotisme anal dan oral, dan gangguan seksual lain pada siswa remaja disertai tindakan-tindakan sadistis.

k. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan, sehingga mengakibatkan ekses kriminalitas.

l. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen, dan pembunuhan bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin.

m. Tindakan radikal dan ekstrim, dengan cara kekerasan, penculikan, dan pembunuhan yang dilakukan anak-siswa remaja. 14. Perbuatan a-sosial dan anti sosial lain disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-siswa remaja.

n. Tindak kejahatan disebabkan luka di kepala dengan kerusakan otak ada kalanya membuahkan kerusakan mental, sehingga orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan kontrol diri.

o. Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakteristik siswa yang menuntut kompensasi.

Jensen (dalam Santoso,2003:207) mengemukakan pembagian kenakalan siswa menjadi 4 (empat) jenis, antara lain:

1) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain : perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.

(4)

2) Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.

3) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat. Di Indonesia mungkin dapat juga dimasukkan hubungan seks sebelum nikah dalam jenis ini.

4) Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status siswa sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggatdari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya.

Karakteristik bentuk-bentuk kenakalan siswa menurut Hariyadi (2003:160) dapat dilihat dari gejala:

a) Membohong : memutarbalikkan kenyataan dengan tujuan menipu orang atau menutupi kesalahan.

b) Membolos: pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah.

c) Kabur: meninggalkan rumah tanpa ijin orang tua atau menentang keinginan orang tua. d) Keluyuran: pergi sendiri maupun kelompok tanpa tujuan, dan mudah menimbulkan

perbuatan iseng yang negatif.

e) Bersenjata tajam: memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain, sehingga terangsang untuk menggunakannya.

f) Pergaulan buruk: bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk sehingga mudah terjerat dalam perkara yang benar-benar kriminal.

g) Berpesta pora berhura-hura: berpesta pora semalam tanpa pengawasan, sehingga timbul tindakan-tindakan yang kurang bertangganggung jawab (amoral dan a-sosial).

(5)

h) Membaca pornografi: membaca buku-buku cabul, pornografi, dan kebiasaan menggunakan bahasa yang tidak sopan, tidak senonoh, seolah-olah menggambarkan kurangnya perhatian dan pendidikan dari orang dewasa.

i) Mengkompas: secara berkelompok meminta uang pada orang lain dengan paksa, makan di rumah makan tanpa membayar, atau naik bus tanpa karcis.

j) Melacurkan diri: turut dalam pelacuran atau melacurkan diri baik dengan tujuan ekonomis maupun tujuan lainnya.

k) Merusak diri: merusak diri dengan mentato tubuhnya, minum-minuman keras, menghisap ganja, pecandu narkoba, sehingga merusak dirinya maupun orang lain. Tampil urakan, berpakaian tidak pantas juga termasuk tingkak laku merusak diri.

Kartono (2002:21) Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan, atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindakan a-susila merupakan salah satu bentuk kenakalan pada remaja (siswa).

2.1.3 Faktor-faktor Penyebab Kenakalan Siswa

Kenakalan siswa dilakukan oleh individu/sekelompok siswa yang tidak taat terhadap peraturan dan tata tertib sekolah. Kenakalan siswa ini ditunjukkan melalui perilaku, sikap, yang cenderung untuk menolak norma-norma yang berlaku dalam lingkungan sekolah yang dianggap sebagai pemikat kebebasan siswa. Sebab terjadinya kenakalan dikemukakan oleh Kartono (2002:25) adalah sebagai berikut:

a. Teori Biologis Tingkah laku kenakalan pada anak-siswa dan remaja dapat muncul karena beberapa faktor fisiologis dan stuktur jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Misalnya cacat

(6)

jasmaniah bawaan dan diabetes insipidus (sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.

b. Teori Psikogenis Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah laku kenakalan anak-siswa dari aspek psikologis atau isi kejiwaaan. Antara lain: faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis, dan lain-lain.

c. Teori Sosiologis Penyebab tingkah laku kenakalan pada anak-siswa remaja adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabakan oleh tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau internalisasi simbolis yang keliru.

d. Teori Subkultur Menurut teori subkultur ini, sumber juvenile delinquency ialah: sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultur) yang khas dari lingkungan familial, tetangga, dan masyarakat yang didiami oleh para remaja delinkuen tersebut. Sifat-sifat masyarakat tersebut antara lain: punya populasi yang sangat padat, status sosial-ekonomis penghuninya rendah, kondisi fisik perkampungan yang sangat buruk dan banyak disorganisasi familial dan sosial bertingkat tinggi.

Dari beberapa faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi kenakalan siswa dapat berasar dari dalam diri siswa dan dapat pula berasal dari luar diri siswa. 2.1.4 Penanganan Kenakalan Siswa

Kenakalan siswa banyak menimbulkan kerugian materiil dan kesengsaraan pada subyek pelaku sendiri maupun pada para korbannya, maka masyarakat dan pemerintah dipaksa untuk melakukan tindakan preventif dan penanggulangan secara kuratif. (Kartono, 2002:95-97) menyebutkan penanganan kenakalan siswa terbagi menjadi 2, yakni tindakan preventif dan kuratif.

(7)

a. Tindakan preventif yang dilakukan berupa: a) Meningkatkan kesejahteraan keluarga

b) Perbaikan lingkungan, yaitu kampung-kampung miskin

c) Mendirikan klinik bimbingan psikologis dan edukatif untuk memperbaiki tingkah laku dan membantu remaja dari kesulitan mereka

d) Menyediakan tempat rekreasi yang sehat bagi remaja e) Membentuk badan kesejahteraan anak

f) Mengadakan panti asuhan

g) Mengadakan lembaga-lembaga reformatif untuk memberikan latihan korektif, pengoreksian dan asistensi untuk hidup mandiri dan susila kepada anak-siswa dan para remaja yang membutuhkan

h) Membuat badan supervisi dan pengontrol terhadap kegiatan siswa kenakalan, disertai program yang korektif

i) Mengadakan pengadilan anak

j) Menyusun undang-undang khusus untuk pelanggaran yang dilakukan oleh siswa dan remaja

k) Mendirikan sekolah bagi siswa gembel (miskin)

l) Mengadakan rumah tahanan khusus untuk siswa dan remaja

m) Menyelenggarakan diskusi kelompok dan bimbingan kelompok untuk membangun kontak manusiawi diantara para remaja delinkuen dengan masyarakat luar

n) Mendirikan tempat latihan untuk menyalurkan kreativitas para remaja delinkuen dan non delinkuen

(8)

a) Menghilangkan semua sebab-musabab timbulnya kejahatan remaja, yang berupa pribadi familial, sosial ekonomis, dan kultural

b) Melakukan perubahan lingkungan dengan jalan mencarikan orang tua angkat atau asuh dan memberikan fasilitas yang diperlukan bagi pengembangan jasmani dan rohani yang sehat bagi anak-siswa remaja

c) Memindahkan anak-siswa nakal ke sekolah yang baik, atau ke tengah lingkungan sosial yang baik

d) Memberikan latihan bagi remaja untuk hidup teratur, tertib dan disiplin

e) Memanfaatkan waktu senggang di kamp latihan, untuk membiasakan diri bekerja, belajar, dan melakukan rekreasi sehat dengan disiplin

f) Menggiatkan organisasi pemuda dengan program-program latihan vokasional untuk mempersiapkan siswa remaja delinkuen itu bagi pasaran kerja dan hidup di tengah masyarakat

g) Memperbanyak lembaga latihan kerja dengan program kegiatan pembangunan

h) Mendirikan klinik psikologi untuk meringankan dan memecahkan konflik emosional dan kejiwaan lainnya

2.1.5 Pengertian Pola Asuh Orangtua

Keluarga merupakan pendidik utama dan pertama, dikatakan yang pertama karena sebelum siswa sekolah, ia telah mengenal terlebih dahulu lingkungan keluarga, dan dikatakan yang utama karena pendidikan dalam keluarga merupakan landasan atau dasar untuk perkembangan siswa pada masa selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan siswa dalam sebuah keluarga berlangsung setahap demi setahap. Keluarga juga merupakan kelompok sosial yang pertama tempat seorang siswa berinteraksi, di mana dalam keluarga akan selalu

(9)

timbul hubungan timbal balik yang terus-menerus antar anggota keluarga. Karena melalui hubungan timbal balik tersebut, siswa pertama kali belajar memperhatikan keinginan-keinginan orang lain, belajar bekerjasama, dan belajar membantu orang lain. Orang tua dalam keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk perilaku siswa dalam kehidpan sehari-hari. Peranan tersebut dapat diungkapkan melalui pola asuh dalam kehidupan sehari-sehari-hari.

Di lihat dari segi bahasa, kata “pola asuh“ terdiri dari kata “pola“ dan “asuh”. Pola berarti model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur yang tetap). Sedang kata ”asuh” mengandung arti menjaga, merawat, mendidik siswa agar dapat berdiri sendiri. Menurut Kohn, pola asuh merupakan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orangtua ini meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya, (Depdiknas, 2003:3).

Tarsis Tarmudji, menyatakan bahwa, pola asuh merupakan interaksi antara orangtua dengan anaknya selama mengadakan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi siswa untuk mencapai kedewasaan dengan norma-norma yang ada di masyarakat. (Depdiknas, 2003:3).

Siswa lahir, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga. Dari lingkungan keluarga siswa mendapatkan banyak pengalaman dan akan membawa siswa ke dalam pengalaman hidup yang beragam. Dari pengalaman tersebut siswa mampu bersosialisasi dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan di luar keluarganya dengan norma-norma dan aturan-aturan tertentu sehingga siswa mendapatkan pengalaman-pengalaman yang baru, belajar memerankan diri sebagai remaja yang dewasa, bergaul secara wajar, menadapatkan kepuasan akan keadaan dirinya dan mampu mengambil sikap dan tindakan yang bertanggung jawab.

(10)

Pola asuh berasal dari dua suku kata yang masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri. Dalam kamus besar bahasa Indonesia pola adalah system, gambar yang dipakai untuk contoh sedangkan asuh adalah menjaga (merawat dan mendidik) supaya dapat berdiri sendiri. Maurice (2000:83) mengatakan bahwa mengasuh bukan hanya merawat atau mengawasi siswa, melainkan lebih dari itu akni meliputi; pendidikan, sopan santun, disiplin, tanggung jawab, pengetahuan dan pergaulan yang bersumber pada pengetahuan orang tua. Apa yang dialami dalam proses pengasuhan akan menentukan sikap dari perilaku individu dalam bermasyarakat.

Menurut Poerwadarminta, (2002:163) pola asuh adalah system yang diterapkan orang tua dalam merawat dan mendidik siswa agar dapat mandiri. Sedangkan menurut Setiono (2007:82) bahwa pola asuh orang tua merupakan strategi yang digunakan oleh orang tua dalam membentuk kepribadian siswa dalam kehidupan sehari-hari. Pendapat ini diperkuat oleh hasil penelitian

Pendidikan siswa pada keluarga merupakan dasar utama dan pertama bagi pembentukan perilaku anak. Hal ini dijelaskan oleh Yusuf (2011:37) bahwa keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Pola asuh orangtua yang penuh dengan kasih sayang pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan siswa menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Menurut Ahmadi dan Supriyono (2010:85) bahwa orang tua yang kurang memperhatikan pendidikan anak-anaknya, mungkin acuh tak acuh, tidak memperhatikan kemajuan belajar anak-anaknya akan menjadi penyebab kesulitan belajarnya.

Gunarsa (2004: 185) mengemukakan pengertian keluarga adalah unit sosial yang paling kecil dalam masyarakat yang peranannya besar sekali terhadap perkembangan sosial, terlebih pada awal-awal perkembangannya yang menjadi landasan bagi perkembangan kepribadian selanjutnya. Kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada keluarga yang ada dalam

(11)

masyarakat itu. Apabila seluruh keluarga sudah sejahtera, maka masyarakat tersebut cenderung akan sejahtera pula.

Shohib (2000: 2) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pola asuh adalah upaya orang tua dalam menciptakan situasi dan kondisi yang didasarkan pada nilai moral, sehingga siswa didik menjadi pribadi yang utuh dan terintegrasi. Selanjutnya dijealskan pula pola asuh ditentukan pula oleh kehadiran orang tua tetap dirasakan secara utuh, terutama oleh anak-anak, sehingga memungkinkan adanya rasa kebersamaan. Selain itu, perlu adanya situasi yang dihayati bersama sehingga ada kemudahan dari orang tua untuk mengaktifkan anak-siswa melalui nilai-nilai moral yang dipatuhi dan ditaati dalam berperilaku.

Pola asuh orang tua sangat mempengaruhi setiap kepribadian yang telah terbentuk. Segala gaya atau model pengasuhan orang tua akan membentuk suatu kepribadian yang berbeda-beda sesuai apa yang telah diajarkan oleh orang tua. Orang tua merupakan lingkungan pertama bagi siswa yang sangat berperan penting dalam setiap perkembangan siswa khususnya perkembangan kepribadian anak. Oleh karena itu, diperlukan cara yang tepat untuk mengasuh siswa sehingga terbentuklah suatu kepribadian siswa yang diharapkan oleh orang tua sebagai harapan masa depan.

Orang tua dan keluarga adalah penanggung jawab pertama dan utama penanaman sopan santun dan budi pekerti bagi anak. Baru kemudian, proses penanaman akan dilanjutkan oleh guru dan mansyarakat. Ketiga unsur ini, menurut Sujiono, (2003: 43), hendaknya bekerja sama secara harmonis. Menurut Thoha (1996:109) yang mengemukakan bahwa pola asuh orang tua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik siswa sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak. Peran keluarga menjadi penting untuk mendidik siswa baik dalam sudut tinjauan agama, tinjauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan individu. Jika

(12)

pendidikan keluarga dapat berlangsung dengan baik maka mampu menumbuhkan perkembangan kepribadian siswa menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama, kepribadian yang kuat dan mandiri, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua adalah segala bentuk perlakuan yang diberikan kepada siswa dalam upaya membentuk pribadi siswa yang positif. 2.1.6 Jenis Pola Asuh Orang tua

Pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru, namun didalamnya lebih besar tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak. Peran orang tua dalam mendidik siswa sangatlah penting, dan orangtua memegang peranan utama dan pertama bagi pendidikan anak, mengasuh, membesarkan dan mendidik siswa merupakan tugas mulia yang tidak lepas dari berbagai halangan dan tantangan, sedangkan guru disekolah merupakan pendidik yang kedua setelah orangtua di rumah. Pada umunnya siswa atau siswa adalah merupakan insan yang masih perlu dididik atau diasuh oleh orang yang lebih dewasa dalam hal ini adalah ayah dan ibu, jika orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama ini tidak berhasil meletakan dasar perilaku yang baik maka akan sangat berat untuk berharap sekolah mampu membentuk siswa menjadi pribadi yang baik.

Meski dunia pendidikan atau sekolah juga turut berperan dalam memberikan kesempatan kepada siswa untuk memiliki perilaku tidak nakal berdasarkan pergaulan teman sebaya, pola asuh orang tua tetap merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk siswa untuk berakhlak baik. Orangtua mana yang tidak mau melihat anaknya tumbuh menjadi siswa tidak nakal. Tampaknya memang itulah salah satu tujuan yang ingin dicapai orang tua dalam mendidik anak-anaknya.

(13)

Para orang tua hendaknya memperhatikan suasana harmonis dan kondusif dalam keluarga, sehingga memungkinkan terbentuknya perilaku siswa yang positif. Menurut Dariyo (2004:97) membagi bentuk pola asuh orang tua menjadi empat, yaitu :

a. Pola Asuh Otoriter (parent oriented)

Ciri-ciri dari pola asuh ini, menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat dikontrol oleh anak. Siswa harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang diperintahkan oleh orang tua. Dalam hal ini, siswa seolah-olah mejadi “robot”, sehingga ia kurang inisiatif, merasa takut tidak percaya diri, pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan tetapi disisi lain, siswa bisa memberontak, nakal, atau melarikan diri dari kenyataan, misalnya dengan menggunakan narkoba. Dari segi positifnya, siswa yang dididik dalam pola asuh ini, cenderung akan menjadi disiplin yakni mentaati peraturan. Akan tetapi bisa jadi, ia hanya mau menunjukkan kedisiplinan di hadapan orang tua, padahal dalam hatinya berbicara lain, sehingga ketika di belakang orang tua, siswa bersikap dan bertindak lain. Hal itu tujuannya semata hanya untuk menyenangkan hati orang tua. Jadi siswa cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang semu.

Prasetya (2003:29), bahwa dalam pola asuh otoriter cenderung tidak memikirkan apa yang akan terjadi dikemudian hari, jadi fokusnya lebih pada masa kini. Dari segi positifnya, siswa yang dididik dalam pola asuh ini, cenderung akan menjadi disiplin yakni mentaati peraturan. Akan tetapi bisa jadi, ia hanya mau menunjukkan kedisiplinan di hadapan orang tua, padahal dalam hatinya berbicara lain, sehingga ketika di belakang orang tua, siswa bersikap dan bertindak lain. Hal itu tujuannya semata hanya untuk menyenangkan hati orang tua. Jadi siswa cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang semu. Siswa yang berasal dari keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter dan pengawasan ketat akan memperlihatkan cirri

(14)

kepribadian/karakter yang tidak berhasil, tidak bahagia, penyendiri, dan sulit mempercayai orang lain, kadar harga dirinya rendah, jika dibandingkan dengan siswa yang dibesarkan oleh orang tua yang tidak terlalu mengatur.

Menurut Dariyo (2007:98) ciri-ciri dari pola asuh otoriter, menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat dikontrol oleh anak. Siswa harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang diperintahkan oleh orang tua. Dalam hal ini, siswa seolah-olah mejadi “robot”, sehingga ia kurang inisiatif, merasa takut tidak percaya diri, pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan tetapi disisi lain, siswa bisa memberontak, nakal, atau melarikan diri dari kenyataan, misalnya dengan menggunakan narkoba.

Pola asuh orangtua yang autoritarian adalah orangtua yang memberikan batasan-batasan tertentu dan aturan yang tegas terhadap anaknya, tetapi memiliki komunikasi verbal yang rendah. Pola asuh ini merupakan cara yang membatasi dan bersifat menghukum sehingga siswa harus mengikuti petunjuk orangtua dan menghormati pekerjaan dan usaha orangtua. Contoh orangtua yang authoritarian akan berkata : “Kamu melakukan hal itu sesuai dengan cara saya atau orang lain“. Dalam hal ini nampak sekali orangtua bersikap kaku dan banyak menghukum anak-siswa mereka yang melanggar, karena sikap otoriter orangtua. Biasanya pola asuh ini memiliki kontrol yang kuat, sedikit komunikasi, membatasi ruang gerak anak, dan berorientasi pada hukuman fisik maupun verbal agar siswa patuh dan taat. Ada ketakutan yang tinggi dalam diri orangtua terhadap anaknya karena adanya pertentangan dalam kemauan dan keinginan. Jadi anak-siswa ini sering sekali tidak bahagia, ketakutan dan cemas dibandingkan dengan siswa lain, gagal memulai suatu kegiatan, menarik diri karena tidak puas diri dan memiliki ketrampilan komunikasi yang lemah.

(15)

Lebih lanjut Setiono (2007:79) pola asuh otoriter memiliki ciri-ciri menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak. Siswa harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang diperintahkan oleh orang tua. Dalam hal ini, siswa seolah-olah menjadi robot, sehingga ia kurang inisiatif, merasa takut, tidak percaya diri, pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan, tetapi disisi lain siswa bisa memberontak, nakal atau melarikan diri dari kenyataan, misalnya dengan menggunakan narkoba.

b. Pola Asuh Permisif (children centered)

Sifat pola asuh ini, yakni segala aturan dan ketetapan keluarga di tangan anak. Apa yang dilakukan oleh siswa diperbolehkan orang tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak. Siswa cenderung bertindak semena-mena, tanpa pengawasan orang tua. Ia bebas melakukan apa saja yang diinginkan. Dari sisi negatif lain, siswa kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Bila siswa mampu menggunakan kebebasan tersebut secara bertanggung jawab , maka siswa akan menjadi seorang yang mandiri, kreatif, inisiatif dan mampu mewujudkan aktualisasinya.

Menurut Thoha (1996:109) yang mengemukakan bahwa pola asuh orang tua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik siswa sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak. Peran keluarga menjadi penting untuk mendidik siswa baik dalam sudut tinjauan agama, tinjauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan individu. Jika pendidikan keluarga dapat berlangsung dengan baik maka mampu menumbuhkan perkembangan kepribadian siswa menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama, kepribadian yang kuat dan mandiri, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal.

(16)

Pola asuh orang tua permisif memungkinkan seorang siswa untuk menentukan pilihannya sendiri, tanpa larangan dan tidak ada istilah persetujuan orang tua. Setiono (2007:84). Orang tua lebih suka „lepas tangan‟ dalqam pendidikan anak-anaknya dan membiarkan mereka belajar dari konsekuensi yang didapat dari perbuatannya sendiri. Meskipun pola ini memacu seorang siswa menjadi lebih kreatif dan mampu mengembangkan kemampuannya sendiri, mereka kerap mengalami masalah saat harus berhadapan dengan komunitasnya serta tidak bisa bekerja pada tempatnya yang penuh tekanan. Pola asuh ini juga tidak baik mengajarkan mana yang baik dan mana tidak baik yang harus mereka lakukan.

Menurut Gunarsa (2003:83), bahwa orangtua yang menerapkan pola asuh permisif memberikan kekuasaan penuh pada anak, tanpa dituntut kewajiban dan tanggung jawab, kurang kontrol terhadap perilaku siswa dan hanya berperan sebagai pemberi fasilitas, serta kurang berkomunikasi dengan anak. Dalam pola asuh ini, perkembangan kepribadian siswa menjadi tidak terarah, dan mudah mengalami kesulitan jika harus menghadapi larangan-larangan yang ada di lingkungannya.

Menurut Prasetya (2003:31), bahwa pola asuh permissif atau biasa disebut pola asuh penelantar, yaitu di mana orangtua lebih memprioritaskan kepentingannya sendiri, perkembangan kepribadian siswa terabaikan, dan orangtua tidak mengetahui apa dan bagaimana kegiatan siswa sehari-harinya.

Di samping pengertian pola asuh permissif atau penelantar di atas, dalam hal ini Dariyo (2004:98), menambahkan bahwa pola asuh permissif yang diterapkan orangtua, dapat menjadikan siswa kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Namun bila siswa mampu menggunakan kebebasan secara bertanggung jawab, maka dapat menjadi seorang yang mandiri, kreatif, dan mampu mewujudkan aktualitasnya.

(17)

Dari uraian para ahli seperti di atas, dapat diambil pemahaman bahwa pola asuh permissif mempunyai ciri sebagai berikut: Siswa diberi kebebasan penuh menentukan tindakannya sendiri, hadiah dan hukuman tidak diterapkan, orangtua kurang membimbing, dan kurang kontrol terhadap perilaku dan kegiatan sehari-hari. Pola asuh permissif atau penelantar yang diuraikan di atas, memiliki keterkaitan dengan pola asuh penyabar atau pemanja yaitu di mana orangtua selalu berpusat pada kepentingan anak, orangtua tidak mengendalikan dan tidak menegur perilaku anak, dalam hal ini orangtua tidak ingin terkesan mengecewakan anak. Kondisi demikian, akan memunculkan kebiasaan manja, selalu tergantung pada orang lain di sekitarnya. c. Pola Asuh Demokratis

Kedudukan antara orang tua dan siswa sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Siswa diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang dilakukan oleh siswa tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral. Orang tua dan siswa tidak dapat berbuat semena-mena. Rich (2008:2) menjelaskan adalah penting bagi orang tua mangatakan pada anak-siswa mereka bahwa mereka mampu untuk merasakan rasa percaya diri yang sesungguhnya,anak-siswa perlu mengalami dan merasakan keberhasilan mereka sendiri. Siswa diberi kepercayaan dan dilatih untuk mempertanggung jawabkan segala tindakannya. Akibat positif dari pola asuh ini, siswa akan menjadi seorang individu yang mempercayai orang lain, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya, tidak munafik, jujur. Namun akibat negatif, siswa akan cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, kalau segala sesuatu harus dipertimbangkan siswa dan orang tua.

(18)

Pada pola asuh ini orang tua tidak menerapkan salah satu tipe pola asuh tertentu. Tetapi kemungkinan orang tua menerapkan pola asuh secara fleksibel, luwes dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu.

Santi (2009: 73) menjelaskan pada umumnya orang tua selalu menyalahkan anak-siswa apabila tingkah laku mereka tidak seperti yang diinginkan. Hal ini lebih banyak dikarenakan kurangnya pengetahuan dan pemahaman kita terhadap perkembangan jiwa anak, sehingga orang tua sering melakukannya dengan kurang tepat. Selanjutnya diuraikan pula anak-siswa selalu memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa dan kemampuan untuk menyerap informasi sangat tinggi.

Pola asuh yang bergaya autoritatif mendorong siswa untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Adanya sikap orangtua yang hangat dan bersifat membesarkan hati anak, dan komunikasi dua arah yang bebas membuat siswa semakin sadar dan bertanggung jawab secara sosial. Hal ini disebabkan karena orang tua dapat merangkul dan mencarikan alasan untuk solusi di masa depan. Contoh sikap orangtua yang autoritative : ”Kamu tahu bahwa kamu seharusnya tidak melakukan hal itu, tetapi sekarang mari kita diskusikan bersama bagaimana bisa mengatasi situasi tersebut dengan lebih baik di masa depan”. Sebenarnya pola asuh ini merupakan gabungan dari kedua pola asuh yaitu pola asuh autoritarian dan permisif.

Dalam pola asuh ini dipandang bahwa kebebasan pribadi untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya baru bisa tercapai dengan sempurna apabila siswa mampu mengontrol dan mengendalikan diri serta menyesuaikan diri dengan lingkungan baik keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini siswa diberi kebebasan namun dituntut untuk mampu mengatur dan mengendalikan diri serta menyesuaikan diri dan keinginannya dengan tuntutan lingkungan. Oleh

(19)

karena itu sebelum siswa mampu mengatur dan mengendalikan dirinya sendiri, maka dalam dirinya perlu ditumbuhkan perangkat aturan sebagai alat kontrol yang dapat mengatur dan mengendalikan dirinya sesuai dengan aturan yang berlaku di lingkungannya. Pengontrolan dalam hal ini, walaupun dalam bentuk apapun hendaknya selalu ditujukan supaya siswa memiliki sikap bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap lingkungan masyarakat. Dengan demikian siswa itu akan memiliki otonomi untuk melakukan pilihan dan keputusan yang bernilai bagi dirinya sendiri dan bagi lingkungannya. Dalam hal ini perlu disadari bahwa kontrol yang ketat harus diimbangi dengan dorongan kuat yang positif agar individu tidak hanya merasa tertekan tetapi juga dihargai sebagai pribadi yang bebas. Komunikasi antara orang tua dengan siswa atau siswa dengan orang tua dan aturan intern keluarga merupakan hasil dari kesepakatan yang telah disetujui dan dimengerti bersama. Untuk hal ini Baumrind (1978) menekankan bahwa dalam pengasuhan autoritatif mengandung beberapa prinsip : pertama, kebebasan dan pengendalian merupakan prinsip yang saling mengisi, dan bukan suatu pertentangan. Kedua, hubungan orang tua dengan siswa memiliki fungsi bagi orang tua dan anak. Ketiga, adanya kontrol yang diimbangi dengan pemberian dukungan dan semangat. Keempat, adanya tujuan yang ingin dicapai yaitu kemandirian, sikap bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung jawab terhadap lingkungan masyarakat.

2.1.7 Kerangka Berpikir

Seorang siswa yang dibiasakan dengan suasana keluarga yang terbuka saling menghargai, saling menerima dan mendengarkan pendapat anggota keluarganya, maka ia akan tumbuh menjadi generasi yang terbuka, fleksibel, penuh inisiatif, dan produktif, suka akan tantangan dan percaya diri. Perilaku kreatif dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

(20)

Dariyo (2004:97) membagi bentuk pola asuh orang tua menjadi empat, yaitu : pola asuh otoriter, pola asuh permisif, pola asuh demokratis, pola asuh penelantar.

Dalam penelitian ini, dapat digambarkan kerangka hubungan pola asuh orangtua terhadap kenakalan siswa adalah sebagai berikut :

2.2 Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis pada penelitian ini adalah “Terdapat hubungan antara pola asuh orangtua dengan kenakalan siswa di SMA Negeri 1 Bongomeme Kabupaten Gorontalo”.

Kenakalan siswa Pola Asuh Demokratis

Pola Asuh Otoriter

Pola Asuh Permisif

Pola Asuh Situasional Pola Asuh Orangtua

(21)

Referensi

Dokumen terkait

4. Masih adanya siswa yang sering meninggalkan shalat lima waktu, hal ini diketahui siswa tidak ikut shalat berjamaah bersama di sekolah untuk shalat dzuhur.. Masih

sumberdaya serta toleransi terhadap keragaman budaya masyarakat. Pembelajaran Geografi melalui dunia pendidikan dengan setiap konten dan kurikulum yang dikembangkan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan tentang Askes dengan pemanfaatan kartu Askes Alba pada tenaga kerja PT Gunatex Jaya Pekalongan

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kemampuan

kompetensi menyangkut kemampuan dalam menjalankan tugas secara profesional yang meliputi kompetensi materi (substansi), keterampilan, dan metodologi. Personality menyangkut

Di beberapa tempat di luar negeri, pemerintah dan masyarakat bergotong- royong untuk menciptakan access point yang terjangkau, misalnya di perpustakaan umum (public library). Di

(CLEARANCE FORM) DITANDA TANGANI OLEH GURU DI SARANKAN UNTUK MENGAMBIL TIKET UPACAR LULUSAN DARI PENASEHAT (COUNSELOR) SELESAI SEKOLAH... SENIN, 12 JUNI PERPUSTAKAAN

Rapat Pengurus Nasional diselenggarakan untuk membahas dan mengkoordinir pelaksanaan berbagai keputusan organisasi yang bersifat khusus dihadiri oleh Dewan Pengurus Nasional,