• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka merupakan parameter utama dalam penelitian ilmiah, karena tinjauan pustaka merupakan dasar pijakkan untuk membangun suatu konstruk teoritik, sebagai acuan dasar dalam membangun kerangka berpikir, dan menyusun hipotesis penelitian. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka dalam bab ini akan diuraikan teori-teori yang mendasari kinerja dan bagaimana hubungan kinerja dengan faktor-faktor yang memengaruhinya yaitu Work Family Conflict dan Work-family conflict self-efficacy. 2.1 Kinerja

2.1.1. Pengertian Kinerja

As’ad, 2004 (dalam Wirakristama, 2011) mendefinisikan kinerja sebagai kesuksesan seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Dapat dikatakan sukses setelah melakukan penelitian bahwa apa yang telah dikerjakan pada periode tertentu hasilnya lebih tinggi dari standar kerja yang telah ditetapkan. Kinerja ini dapat dikatakan sebagai tujuan yang ingin dicapai seseorang dalam menjalankan aktifitasnya. Menurut Dessler, 1997 (dalam Wirakristama, 2011) kinerja merupakan prestasi kerja, yakni perbandingan antara hasil kerja yang secara nyata dengan standar kerja yang ditetapkan. Karena organisasi pada dasarnya dijalankan oleh manusia, maka kinerja sesungguhnya merupakan perilaku manusia di

(2)

dalam organisasi yang memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Sedangkan menurut Anoraga (2006) kinerja merupakan prestasi atau hasil kerja yang ditunjukkan oleh orang per orang atau kelompok maupun organisasi sesuai persyaratan-persyaratan pekerjaan yang telah ditentukan.

Mathis (2006) mengungkapkan bahwa komponen kinerja meliputi kemampuan individual, perluasan usaha, dan dukungan organisasional. Kemampuan individual mencakup bakat, minat, faktor kepribadian. Usaha meliputi motivasi, etika kerja, kehadiran, dan rancangan tugas. Sedangkan dukungan organisasional terdiri atas pelatihan dan pengembangan, peralatan dan teknologi, manajemen, serta rekan kerja. Hasibuan, 2001 (dalam Labulu, 2012), mengemukakan kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu. Campbell dkk, 1994 (dalam Landy & Conte, 2007) menyatakan bahwa kinerja adalah perilaku. Lebih lanjut menurut Campbell, kinerja adalah sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang yang sesuai dengan tujuan organisasi dan dapat diamati. Pada akhirnya definisi kinerja menurut Campbell dkk, 1994 (dalam Landy & Conte, 2007) adalah perilaku yang sesuai dengan tujuan organisasi dan yang dapat diukur dari segi kecakapan individual karyawan. Kinerja

(3)

bukanlah tentang hasil atau konsekuensi dari sebuah perilaku tetapi tentang perilaku itu sendiri.

Secara khusus dalam Gereja Masehi Injili di Timor yang mempunyai wadah organisasi keagamaan yaitu Sinode Gereja Masehi Injili di Timor, para pendeta diatur sebagai pegawai atau karyawan pada organisasi keagamaan ini. Sehingga masing-masing pendeta mempunyai tugas dan tanggung jawab pelayanan yang ditentukan oleh sinode dimana setiap pendeta mempunyai uraian tugas masing-masing. Dari sinilah penulis mengasumsikan bahwa pendeta pun sama seperti karyawan pada sebuah organisasi ataupun industri, sehingga tidak ada teori yang khusus tentang kinerja seorang pendeta. Oleh karena itu penulis akan menggunakan definisi dari Campbell dkk, 1994 (dalam Landy & Conte, 2007), yaitu kinerja adalah perilaku yang sesuai dengan tujuan organisasi dan yang dapat diukur dari segi kecakapan individual karyawan.

2.1.2. Teori Kinerja

Kinerja individu adalah konsep inti dalam kerja dan psikologi organisasi. Selama sepuluh sampai lima belas tahun terakhir, para peneliti telah membuat kemajuan dalam menjelaskan dan memperluas konsep kinerja (Campbell, dalam Sonnentag & Frese, 2001). Kinerja merupakan konsep multi dimensi. Pada tingkat yang paling dasar, Borman dan Motowidlo (dalam Sonnentag & Frese, 2001) membedakan antara kinerja tugas dan

(4)

kinerja kontekstual. Dimana, kinerja tugas mengacu pada kemampuan individu dalam melakukan kegiatan yang berkontribusi terhadap organisasi. Sedangkan kinerja kontekstual mengacu kepada kegiatan yang tidak memberikan kontribusi tetapi secara teknis mendukung lingkungan organisasi, sosial dan psikologis dalam mencapai tujuan organisasi. Kinerja kontekstual bukan hanya meliputi perilaku seperti membantu rekan kerja atau menjadi anggota handal dari organisasi, tapi juga membuat saran tentang bagaimana untuk meningkatkan prosedur kerja. Tiga asumsi dasar yang berhubungan dengan perbedaan kinerja tugas dan kinerja kontekstual (Borman & Motowidlo, 1997, Motowidlo & Schmit, dalam Sonnentag & Frese, 2001) yaitu: (1) kegiatan yang relevan untuk kinerja tugas bervariasi antara pekerjaan sedangkan kinerja kontekstual mempunyai kegiatan yang relatif sama di seluruh pekerjaan, (2) kinerja tugas berkaitan dengan kemampuan , sedangkan kinerja kontekstual berhubungan dengan kepribadian dan motivasi, (3) kinerja tugas lebih ditentukan dan merupakan perilaku dalam peran sedangkan kinerja kontekstual lebih diskresioner dan merupakan perilaku di luar peran.

Selanjutnya, Sonnentag & Frese (2001) membahas mengenai garis utama dalam kinerja. Pertama mengenai relevansi kinerja individu yang berhubungan dengan kinerja individu maupun bagi organisasi, menggambarkan definisi kinerja dan

(5)

menjelaskan mengenai sifat kinerja yang multidimensional serta dinamis.

2.1.2.1. Relevansi Kinerja Individu

Organisasi sangat membutuhkan individu dengan kinerja yang sangat baik dalam rangka memenuhi tujuan organisasi, melaksanakan pelayanan yang dimana organisasi tersebut mempunyai spesialisasi dan pada akhirnya mencapai keuntungan yang diinginkan. Kinerja sendiri penting bagi individu itu sendiri karena menyelesaikan tugas dan bekerja pada tingkatan yang lebih tinggi bisa menjadi sumber kepuasan dengan merasa bangga dan menguasai suatu pekerjaan tertentu. Kinerja yang rendah dan tidak mencapai tujuan akan dialami sebagai ketidakpuasan bahkan sebagai kegagalan pribadi. Lebih lanjut, kinerja, jika disadari oleh orang lain dalam organisasi sering berhubungan dengan pemberian hadiah secara finansial dan berbagai keuntungan lainnya. Kinerja adalah yang utama meskipun bukan satu-satunya prasyarat untuk pengembangan karir masa depan dan keberhasilan di pasar tenaga kerja. Walaupun dapat terjadi pengecualian, individu berkinerja tinggi lebih mudah mendapatkan promosi dalam sebuah organisasi dan secara umum mempunyai peluang karir yang lebih baik dibandingkan individu berkinerja rendah (Van Scotter, Motowidlo & Cross dalam Sonnentag & Frese, 2001).

(6)

Tingginya relevansi dari kinerja individu tercermin juga dalam pekerjaan dan penelitian psikologi organisasi. Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas tentang pentingnya kinerja individu dalam penelitian empirik, telah dilakukan sebuah penelusuran literatur dalam dua belas jurnal psikologi organisasi utama. Jurnal ini mencakup berbagai fenomena pada level individu, level kelompok dan level organisasi. Berdasarkan penelusuran literatur ini ditemukan 146 meta-analisis dalam 20 tahun yang telah lampau

Di antara meta-analisis – meta-analisis ini, setengahnya (54,8%) ditujukan pada kinerja individu sebagai konstruk inti. Kebanyakan dalam meta-analisis ini kinerja individual menjadi variabel terikat atau sebagai hasil pengukuran (72,5%). Sekitar 6% dari meta-analisis tersebut mencakup ukuran kinerja individu dimana kinerja individu adalah variabel bebas atau variabel prediktor. 21% dari meta-analisis ini mengungkap tentang penilaian kinerja dan masalah pengukuran kinerja.

Luasnya penggunaan pengukuran kinerja individu dalam satu penelitian dan juga meta-analisis menunjukkan bahwa kinerja individu adalah sebuah variabel kunci dalam psikologi kerja dan organisasi. Menariknya, kinerja individu lebih sering diperlakukan sebagai variabel terikat yang secara praktis bisa dikatakan bahwa kinerja individu adalah sesuatu yang ingin ditingkatkan dan dioptimalkan oleh organisasi. Meskipun besar peran relevansi

(7)

kinerja individu dan meluasnya pengggunaan kinerja sebagai ukuran hasil dalam penelitian empiris, relatif hanya sedikit usaha yang dilakukan untuk menjelaskan konsep kinerja. Campbell (p.704 1990, dalam Sonnentag & Frese, 2001) mendeskripsikan literatur tentang struktur dan isi kinerja sebagai “gurun maya”. Namun selama 10 sampai 15 tahun terakhir dapat disaksikan bahwa terjadi peningkatan minat dalam mengembangkan definisi kinerja dan menentukan konsep kinerja.

Beberapa penulis sebelumnya setuju bahwa dalam mengonseptualisasikan kinerja, harus dapat dibedakan antara aspek kinerja yang berbentuk aksi atau perilaku dan aspek hasil dari suatu kinerja (Campbell,1990; Campbell, McCloy, Oppler, & Sager, 1993; Kanfer, 1990; Roe, 1999, dalam Sonnentag & Frese, 2001). Aspek perilaku menunjuk kepada apa yang di kerjakan oleh seseorang dalam situasi kerja. Ini merujuk kepada tindakan-tindakan yang spesifik. Tidak semua perilaku dapat dimasukkan dalam konsep kinerja, hanya perilaku-perilaku yang sesuai dan memenuhi tujuan organisasi. Kinerja adalah dimana seseorang dibayar untuk mengerjakan sesuatu oleh organisasi dan orang tersebut melakukannya dengan baik (Campbell, dkk., 1993, dalam Sonnentag & Frese, 2001). Pada akhirnya setelah berdiskusi panjang lebar, para ahli setuju bahwa kinerja merujuk kepada aspek perilaku seseorang, dalam hal ini perilaku yang sesuai dan memenuhi tujuan suatu organisasi.

(8)

2.1.2.2. Kinerja Sebagai Konsep yang dinamis Kinerja individual tidak stabil seiring dengan waktu. Variasi dalam kinerja individual mencerminkan proses pembelajaran atau proses jangka panjang lainnya dan perubahan kinerja sementara. Perubahan kinerja individual adalah hasil dari belajar. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kinerja meningkat seiring dengan peningkatan waktu yang dihabiskan pada pekerjaan yang spesifk dan pada akhirnya mencapai tujuannya (Avolio, Waldman & McDaniel, 1990; McDaniel, Schmidt & Hunter, 1988;Qui˜nones, Ford & Teachout, 1995 dalam Sonnentag & Frese, 2001).

Selanjutnya proses yang mempengaruhi kinerja juga berubah seiring dengan waktu. Untuk mengidentifikasi perubahan proses yang mempengaruhi kinerja, Murphy (1989 dalam Sonnentag & Frese,2001) membedakan antara suatu masa transisi dan masa pengelolaan. Masa pengelolaan terjadi ketika pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk melakukan suatu pekerjaan telah selesai dipelajari dan ketika pemenuhan tugas menjadi otomatis. Untuk masa transisi, sangat dibutuhkan kemampuan kognitif. Pada masa pengelolaan, kemampuan kognitif menjadi tidak terlalu penting dan faktor disposisional (motivasi, minat dan nilai) menjadi lebih relevan dengan kinerja.

(9)

2.1.2.3. Perspektif Perbedaan Individual (individual differences) dalam Kinerja

Perspektif perbedaan individual berfokus kepada perbedaan kinerja antar individu dan berniat untuk mengidentifikasikan faktor yang mempengaruhinya. Inti dari perspektif ini adalah individu seperti apakah yang mempunyai kinerja terbaik. Ide dasar dari perbedaan dalam kinerja antara individu dapat dijelaskan dari perbedaan individual dalam kemampuan, kepribadian maupun motivasi.

Perbedaan individual dalam motivasi dapat disebabkan oleh perbedaan ciri-ciri motivasi dan perbedaan kemampuan-kemampuan motivasi (Kanfer & Heggestad, 1997 dalam Sonnentag & Frese, 2001). Ciri-ciri motivasi lebih mempunyai hubungan yang erat dengan konstrak kepribadian tetapi mereka lebih sempit dan lebih relevan untuk proses motivasional contohnya intensitas dari suatu perilaku. Kanfer & Heggestad (1997 dalam Sonnentag & Frese, 2001) mendeskripsikan prestasi dan kecemasan sebagai dua ciri motivasi dasar. Meta analisis yang dilakukan oleh Vinchur dkk, memberikan bukti tentang hubungan kebutuhan berprestasi dan kinerja (Vinchur, dkk dalam Sonnentag & Frese, 2001). Kemampuan motivasi merujuk kepada strategi regulasi diri yang dilakukan selama pencapaian tujuan.

self-efficacy yaitu keyakinan bahwa seseorang dapat melakukan sesuatu dengan baik adalah suatu

(10)

konstrak yang lain dalam domain motivasi yang sangat relevan dengan kinerja (Bandura, 1997; Stajkovic & Luthans, 1998 (dalam Sonnentag & Frese, 2001). Lebih spesifik lagi, self efficacy telah menunjukkan dapat berhubungan dengan kinerja tugas maupun kinerja kontekstual. Ditambahkan bahwa self-efficacy mempunyai peran penting dalam proses pembelajaran dimana dalam proses analisis yang teliti Mitchell, Hopper, Daniels & George-Falvy (1994 dalam Sonnentag & Frese, 2001) telah melihat efek dari self-efficacy dalam belajar. Pada awal proses belajar, self-efficacy menjadi prediktor yang lebih baik daripada tujuan

2.1.3. Aspek- Aspek Kinerja

Campbell, dkk1993 (dalam Landy & Conte, 2007) mengemukakan aspek-aspek kinerja sebagai berikut:

a. Job-specific task proficiency: kapasitas individu dalam mengerjakan tugas yang menjadi inti dalam pekerjaan tersebut.

b. Non specific task proficiency: kapasitas individu dalam mengerjakan tugas diluar tugas yang menjadi inti dari pekerjaan tersebut.

c. Written and oral comunication task proficiency: kemampuan individu berkomunikasi baik lisan atau tertulis dalam melaksanakan tugas.

d. Demonstrating effort: tingkat konsistensi dari usaha individu, frekuensi seseorang memberikan usaha ekstra ketika dibutuhkan. Kesanggupan seseorang untuk bekerja dalam situasi yang buruk.

(11)

e. Maintaining personal dicipline: kemampuan individu untuk menghindari perilaku-perilaku yang bertentangan dengan aturan yang berlaku.

f. Facilitating peer and team performance:

kemampuan individu untuk memfasilitasi rekan kerja dan bekerja sama dalam tim

g. Supervision/leadership: kemampuan dalam

mempengaruhi rekan kerja dalam hal yang positif dalam hubungan interpersonal

h. Management/administration: kemampuan

mengorganisasikan orang, memonitor perkembangan, menyelesaikan masalah, mengontrol pengeluaran dan seterusnya.

2.1.4. Penilaian Kinerja Individu

Menurut Robbins (2006) penilaian kinerja diukur melalui:

a. Hasil tugas individu.

Pengukuran ini berfokus pada apa yang telah dihasilkan daripada bagaimana sesuatu dicapai atau dihasilkan. Dengan menggunakan hasil tugas individu maka pimpinan dapat menilai atas dasar kriteria seperti kuantitas yang diproduksi, bahan buangan yang ditimbulkan dan biaya per unit produksi.

b. Perilaku

Pengukuran ini berfokus pada perilaku karyawan dalam bekerja pada perusahaan. Dalam hal ini kualitas, kuantitas, ketepatan waktu, dan efektifitas dalam bekerja menjadi fokus utamanya. Kriteria keperilakuan terbukti bermanfaat apakah para

(12)

karyawan mencurahkan banyak usaha untuk memngembangkan diri.

c. Ciri kepribadian

Alat pengukuran yang berfokus pada ciri kepribadian individu seperti : sikap baik, kooperatif, percaya diri, mempunyai banyak pengalaman, mudah panik, loyalitas. Alat pengukuran ini lebih lemah daripada hasil tugas individu dan perilaku karena paling jauh dari kinerja aktual perusahaan, namun masih sering digunakan hingga saat ini. Penilaian kinerja bersifat obyektif dan subyektif menurut Siagian (1995) yaitu sebagai berikut :

a. Obyektif : Kinerja dapat juga diterima, diukur, oleh pihak lain, selain yang bersangkutan dan bersifat kuantitatif

b. Subjektif : pengukuran berdasarkan pendapat pribadi dan standar pribadi yang bersangkutan dan sulit diverifikasi oleh orang lain.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penilaian kinerja secara subyektif.

Hasibuan (2010) mengemukakan aspek-aspek yang dinilai dalam kinerja mencakup sebagai berikut: 1. Kesetiaan

Penilai mengukur kesetiaan individu terhadap pekerjaannya, jabatannya, dan organisasi. Kesetiaan ini dicerminkan oleh kesediaan individu menjaga dan membela organisasi, di dalam

(13)

maupun di luar pekerjaannya dari rongrongan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

2. Prestasi Kerja

Penilai mengukur hasil kerja individu baik kuantitas maupun kualitas sesuai dengan uraian tugasnya.

3. Kejujuran

Penilai mengukur kejujuran dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Memenuhi perjanjian bagi dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

4. Kedisiplinan

Penilai mengukur kedisiplinan individu dalam mematuhi peraturan-peraturan yang ada dan melakukan pekerjaan sesuai dengan apa yang dibebankan kepadanya.

5. Kreativitas

Penilai mengukur kemampuan individu dalam mengembangkan kreativitas untuk menyelesaikan pekerjaannya sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna.

6. Kerjasama

Penilai mengukur kesediaan individu berpartisipasi dan bekerjasama dengan individu lainnya secara vertikal maupun horizontal, baik di dalam maupun di luar pekerjaan, sehingga hasil pekerjaan akan semakin baik.

7. Kepemimpinan

Penilai mengukur kemampuan untuk memimpin, berpengaruh, mempunyai pribadi yang kuat, dihormati, berwibawa, dan dapat memotivasi orang

(14)

lain atau bawahannya untuk bekerja secara efektif.

8. Kepribadian

Penilai mengukur individu dari sikap perilaku, kesopanan, periang, disukai, memberi kesan menyenangkan, memperlihatkan sikap yang baik, serta berpenampilan simpatik dan wajar.

9. Prakarsa

Penilai mengukur kemampuan berpikir yang orisinal dan berdasarkan inisiatif sendiri untuk menganalisis, menilai,menciptakan, memberi alasan, mendapatkan kesimpulan, dan membuat keputusan penyelesaian masalah yang dihadapinya.

10. Kecakapan

Penilai mengukur kecakapan individu dalam menyatukan dan menyelaraskan bermacam-macam elemen yang semuanya terlibat di dalam penyusunan kebijaksanaan dan di dalam situasi manajemen.

11. Tanggung Jawab

Penilai mengukur kesediaan individu dalam mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya, pekerjaan dan hasil kerjanya, sarana dan prasarana yang digunakan serta perilaku kerjanya. Selain aspek-aspek yang dikemukakan oleh Hasibuan (2010), terdapat juga komponen-komponen yang terdapat dalam pedoman penilaian kinerja karyawan GMIT sebagai berikut :

a. Komponen kesetiaan, yang dimaksud dengan kesetiaan adalah setia kepada alkitab sebagai

(15)

firman Allah, pengakuan dan ajaran gereja berdasarkan alkitab, kesetiaan terhadap akta/janji panggilan pelayanan, taat dan mengabdi sepenuhnya kepada pelayanan gereja sebagai tugas pokok karyawan GMIT dalam hal ini pendeta dan taat terhadap sejumlah perangkat aturan dan keputusan yang telah ditetapkan oleh sinode, majelis sinode, klasis, persidangan jemaat, persidangan majelis jemaat dan persidangan majelis jemaat harian. Komponen ini terdiri dari sub komponen sebagai berikut:

1. Menjunjung tinggi Alkitab sebagai firman Allah. 2. Menjunjung tinggi pengakuan dan ajaran GMIT 3. Kesetiaan terhadap status/panggilan sebagai

karyawan GMIT

b. Komponen Prestasi Kerja dan Tanggung Jawab, yang dimaksud dengan Prestasi dan Tanggung Jawab adalah hasil kerja atau buah pelayanan yang dicapai seorang karyawan GMIT dalam hal ini pendeta dalam melaksanakan tugas yang diembankan kepadanya berdasarkan azas efisiensi, efektivitas, dan ekonomis. Hasil kerja tidak dapat dipisahkan dari kesiapan diri dan cara kerja atau melayani. Komponen ini terdiri dari sub komponen sebagai berikut:

1. Sehat jasmani dan rohani

2. Pengembangan kemampuan selama bertugas sebagai karyawan GMIT.

3. Pengabdian dan tanggung jawab

4. Hasil pelaksanaan tugas sesuai harapan / ketentuan.

(16)

c. Komponen Disiplin, yang dimaksud dengan Disiplin adalah kondisi dan kualitas pejabat dan karyawan yang memiliki roh dan perilaku dalam melayani dengan penuh pengendalian diri yang tampak dalam ketaatan pada ketentuan yang berlaku bagi jabatan dan pekerjaan gereja yaitu mengenai kewajiban dan larangan yang berkaitan dengan jabatan dan pekerjaan tertentu dalam gereja. Komponen ini terdiri dari sub komponen sebagai berikut :

1. Menaati ketentuan Tata GMIT mengenai ajaran, disiplin hidup, dan disiplin organisasi.

2. Pernyataan dan janji berkaitan dengan pelayanan dapat dipercaya.

3. Jujur dan dapat dipercaya dalam mengelola perbendaharaan.

4. Menyimpan dan memelihara rahasia jabatan. d. Komponen Ketaatan, yang dimaksud ketaatan

adalah kesanggupan karyawan dalam hal ini memahami, menjemaatkan, dan bekerja sesuai tata gereja yaitu keputusan-keputusan sinode,keputusan majelis sinode, persidangan jemaat, persidangan majelis jemaat serta menaati prosedur dan semua ketentuan pelayanan yang berlaku. Komponen ini terdiri dari sub komponen sebagai berikut:

1. Menaati tugas sesuai struktur organisasi (tupoksi).

2. Menaati prosedur penyelesaian masalah sesuai tata gereja.

(17)

4. Kesetiaan menaati tata GMIT.

e. Komponen Kerjasama, yang dimaksud dengan kerjasama adalah kemampuan karyawan GMIT dalam hal ini pendeta untuk bekerjasama dengan orang lain dalam menyelesaikan sesuatu tugas yang ditentukan sehingga mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya. Komponen ini terdiri dari sub komponen sebagai berikut :

1. Mengetahui dan menghargai tugas orang lain dalam jemaat.

2. Mengetahui dan menghargai tugas orang lain di jemaat lain / organisasi lain.

3. Mampu bekerjasama dengan pejabat/ orang lain dalam organisasi-organisasi/ unit-unit pelayanan .

f. Komponen Prakarsa, yang dimaksud dengan prakarsa adalah kemampuan dalam menciptakan metode dan cara kerja yang baru serta menyampaikan ide-ide baru yang bermanfaat bagi pelayanan serta berani mengambil keputusan dalam situasi darurat demi kepentingan jemaat. Komponen ini terdiri dari sub komponen sebagai berikut :

1. Mampu menciptakan / menerapkan / menyampaikan metode/cara kerja/bentuk-bentuk pelayanan baru.

2. Mengambil keputusan mengatasi situasi darurat/ kemandekan.

g. Komponen kepemimpinan, yang dimaksud kepemimpinan adalah kemampuan untuk

(18)

mempengaruhi orang lain dalam menjalankan fungsi kepemimpinan Kristus dengan mengutamakan asas kemajelisan, kebersamaan, dan kesetaraan. Komponen ini terdiri dari sub komponen sebagai berikut

1. Melaksanakan kepemimpinan yang melayani. 2. Menciptakan kemajuan / perkembangan secara

berkelanjutan.

3. Menerapkan asas presbiterial/sinodal.

4. Visi dan misi pelayanan berdasarkan RIP/ HKUP.

5. Pelaksanaan pengawasan melekat.

6. Peduli pada keadaan dan hak-hak karyawan yang dipimpin.

7. Peduli pada kaderisasi.

Aspek-aspek dan komponen-komponen yang dikemukakan baik oleh Malayu P. Hasibuan dan dalam pedoman penilaian kinerja karyawan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), mempunyai kesamaan sehingga dalam penelitian ini akan digunakan adalah aspek-aspek kinerja menurut Hasibuan (2010), dengan menambahkan komponen-komponen tertentu yang ada di dalam pedoman penilaian kinerja karyawan GMIT. Alasan mengapa penulis menggabungkan kedua hal di atas adalah aspek-aspek yang dikemukakan oleh Hasibuan (2010) masih bersifat mengukur kinerja karyawan secara umum sedangkan komponen-komponen dalam pedoman penilaian kinerja karyawan GMIT sudah lebih spesifik kepada populasi dimana penelitian ini

(19)

akan dilaksanakan, sehingga akan didapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang diharapkan penulis bisa diungkap melalui penelitian ini.

Aspek-aspek di atas dapat dimasukkan ke dalam aspek-aspek kinerja (performance) yang dikemukakan oleh Campbell, dkk (1993 dalam Landy & Conte, 2007) dimana komponen prestasi kerja masuk kedalam komponen job-specific task proficiency. Komponen Tanggung jawab dan prakarsa masuk pada komponen demonstrating effort. Komponen ketaatan masuk pada komponen maintaining personal dicipline. Komponen kerja sama masuk pada komponen facilitating peer and team performance. Komponen kepemimpinan masuk pada komponen supervision/leadership dan management/ administration. Ada satu komponen yang harus ditambahkan pada komponen penilaian kinerja menurut GMIT yaitu kemampuan berkomunikasi secara lisan dan tulisan karena pekerjaan pendeta sangat erat dengan kemampuan komunikasi. Dari uraian di atas maka penulis akan menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Campbell, dkk (1993, dalam Landy & Conte, 2007)

2.1.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Menurut Mathis & Jackson (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja individu tenaga kerja, yaitu:

1. Kemampuan mereka, 2. Motivasi,

(20)

3. Dukungan yang diterima,

4. Keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan, dan hubungan mereka dengan organisasi.

Menurut Gibson (1987) ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap kinerja :

1. Faktor individu: kemampuan, ketrampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang.

2. Faktor psikologis: persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja

3. Faktor organisasi: struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward system).

Work-family conflict self-efficacy masuk dalam faktor psikologis yang mempengaruhi kinerja karena work-family conflict self-efficacy berhubungan dengan keyakinan seseorang akan kemampuannya dalam melakukan sebuah tugas dengan sukses. Keyakinan berhubungan dengan persepsi seseorang akan kinerjanya dan persepsi tersebut akan mempengaruhi sikap dan motivasi seseorang dalam bekerja.( Bandura, 1997; Stajkovic & Luthans, 1998 dalam Sonnentag & Frese, 2001) menyatakan bahwa Work-family conflict self-efficacy yaitu keyakinan bahwa seseorang dapat melakukan sesuatu dengan baik adalah suatu konstruk yang lain dalam domain motivasi yang sangat relevan dengan kinerja. Lebih spesifik lagi, work-family conflict self-efficacy telah

(21)

menunjukkan dapat berhubungan dengan kinerja tugas maupun kinerja kontekstual. Navon & Erez (2005), menyatakan bahwa dalam kondisi saling ketergantungan tugas rendah, work-family conflict

self-efficacy muncul sebagai konstruk yang

bermakna yang dapat menjelaskan kinerja individu dibandingkan efikasi kolektif.

2.2. Work Family Conflict

2.2.1. Pengertian Work Family Conflict

Menurut Irwanto dkk (1991 dalam Messakh, 2007), konflik dapat terjadi pada saat muncul dua kebutuhan atau lebih secara bersamaan. Menurut Robbins (1996 dalam Messakh, 2007), konflik adalah suatu proses dimana terjaadi pertentangan dari suatu pemikiran yang dirasa akan membawa suatu pengaruh yang negatif. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa konflik secara umum adalah bertemunya dua kepentingan yang berbeda dalam waktu yang bersamaan dan dapat menimbulkan efek yang negatif.

Adanya tuntutan untuk mendukung ekonomi rumah tangga menjadi salah satu alasan bagi wanita untuk bekerja (Anoraga, 1992, dalam Messakh, 2007). Pada perempuan yang bekerja mereka dihadapkan pada banyak pilihan yang ditimbulkan oleh perubahan peran dalam masyarakat, di satu sisi mereka harus berperan sebagai ibu rumah tangga yang tentu saja bisa dikatakan memilki tugas yang cukup berat dan sisi lain mereka juga harus

(22)

berperan sebagai wanita karir. Menurut Davis & Newstrom (1995, dalam Messakh, 2007) konflik peran merupakan perbedaan persepsi terhadap suatu peran yang disebabkan sulitnya untuk mengungkapkan harapan-harapan tertentu tanpa memisahkan harapan yang lain. Menurut Netemeyer, Boles & McMurrian (1996), work-family conflict adalah pertentangan antar peran (inter role conflict) dimana tuntutan umum dalam pekerjaan (general demands of a role), waktu yang dihabiskan untuk (time devoted to a given role), dan tekanan yang diciptakan oleh salah satu peran mengganggu peran yang lain (the strain produced by a given role). Dalam hal ini dapat dikatakan peran dalam pekerjaan mengganggu peran dalam rumah tangga. Pada penelitian ini penulis akan menggunakan definisi yang dikemukakan oleh Netemeyer.

2.2.2. Elemen-elemen Work-Family conflict

Netemeyer, Boles, McMurrian (1996) menyatakan ada tiga elemen work family conflict yaitu:

a. General demands of a role

Tuntutan umum dalam suatu peran dalam hal ini tugas, tanggung jawab dan komitmen dalam sebuah peran mengganggu tugas, tanggung jawab dan komitmen pada peran yang lain.

b. Time Devoted to a role

Waktu yang dihabiskan untuk sebuah peran mengganggu waktu untuk peran yang lain

(23)

c. Strain produced by a given role

Tekanan yang dihasilkan oleh sebuah peran menghasilkan tekanan bagi peran lain.

2.2.3. Peran Work-Family Conflict

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Grant-Vallone & Donaldson (2001) menunjukan bahwa work-family conflict berperan dalam menurunkan tingkat positive well-being seorang pekerja. Hasil ini konsisten dengan penelitian dari Galinsky et al. (1996, dalam Grant-Vallone & Donaldson (2001)), penelitian ini mengemukakan bahwa work-family conflict tidak secara eksklusif menjadi masalah hanya pada keluarga yang masih memandang pembagian tanggung jawab secara tradisional. Semua tipe keluarga dapat merasakan tingkat work-family conflict yang tinggi. Perbedaan gender, suku bangsa, status pernikahan, dan status sebagai orang tua menunjukkan bahwa work-family conflict mempengaruhi semua tipe pekerja.

2.3. Work-Family Conflict self-efficacy

2.3.1. Pengertian Work-Family Conflict self-efficacy

Work-family conflict self-efficacy adalah

keyakinan yang dipegang seseorang tentang kemampuannya dan juga hasil yang akan ia peroleh dari kerja kerasnya memengaruhi cara individu berperilaku (Bandura, 1977). Dalam teori sosial kognitif, Bandura (1986) menyatakan bahwa work-family conflict self-efficacy ini membantu seseorang dalam menentukan pilihan, usaha mereka untuk

(24)

maju, kegigihan dan ketekunan yang mereka tunjukkan dalam menghadapi kesulitan dan derajat kecemasan atau ketenangan yang mereka alami saat mereka mempertahankan tugas-tugas yang mencakupi kehidupan mereka. Selanjutnya, Bandura (1997) menambahkan bahwa work-family conflict self-efficacy merupakan keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai dan memperoleh hasil-hasil yang positif. Di samping itu Schultz (1994), mendefinisikan work-family conflict self-efficacy sebagai perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan.

Bandura, 1977 (dalam Baron & Byrne,2004) mengemukakan bahwa work-family conflict self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan,menghasilkan sesuatu. Sedangkan, Feist & Feist (2002) menyatakan work-family conflict self-efficacy adalah keyakinan individu bahwa mereka memiliki kemampuan dalam mengadakan kontrol terhadap pekerjaan mereka dan peristiwa di dalam lingkungan mereka sendiri. Bandura dalam Corsini (1994) menyebutkan efikasi diri sebagai pernyataan subjektif berupa keyakinan individu akan kemampuan dirinya dalam mengontrol perilaku dan tuntutan sosial lingkungan, sehingga memperoleh hasil yang maksimal bagi dirinya. Jelasnya, Corsini menyebut adanya aspek keyakinan dalam mengontrol lingkungan dan perilakunya bagi individu yang bersangkutan.

(25)

Menurut Bandura 1997 (dalam Friedman & Schustack, 2008) self-efficacy adalah karakteristik internal yang mempengaruhi perilaku dan reaksi dalam cara yang relatif konstan dan terprediksi, self-efficacy juga ditentukan oleh situasi. Hennessy (2005), mengemukakan bahwa work-family conflict self-efficacy dalam hubungan dengan kemampuan mengatasi Work-Family conflict dapat digunakan untuk memprediksi sejauh mana tingkat Work-Family conflict yang dialami dan mempengaruhi kekuatan hubungan antara stress dan kepuasan kerja seseorang.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa work-family conflict self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang ia hadapi, sehingga mampu mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkannya. Work-family conflict self-efficacy dalam penelitian ini adalah work-family conflict self-efficacy dalam situasi Work-Family conflict atau work-family conflict self-efficacy. Jika merujuk pada definisi work-family conflict self-efficacy menurut Corsini (1994) , maka dapat dibuat definisi dari work-family conflict self-efficacy adalah pernyataan subjektif berupa keyakinan individu akan kemampuan dirinya dalam mengontrol perilaku dalam menghadapi Work-Family conflict dan tuntutan sosial lingkungan, sehingga memperoleh hasil yang maksimal bagi dirinya. Berdasarkan uraian di atas, penulis akan

(26)

menggunakan definisi yang dikemukakan oleh Bandura dalam Corsini (1994)

2.3.2. Aspek-Aspek Work-family conflict self-efficacy Bandura (1977) menyatakan aspek- aspek work-family conflict self-efficacy terbagi menjadi tiga aspek yaitu:

a. Outcome Expectancy

Outcome expectancy adalah harapan terhadap kemungkinan hasil dari suatu perilaku, yaitu suatu perkiraan bahwa tingkah laku atau tindakan tertentu akan menyebabkan akibat tertentu yang bersifat khusus. Outcome expectancy merupakan keyakinan sejauh mana perilaku tertentu akan menimbulkan konsekuensi tertentu b. Efficacy Expectancy

Efficacy expectancy adalah harapan akan

membentuk perilaku secara tepat. Suatu keyakinan bahwa seseorang akan berhasil dalam bertindak sesuai dengan hasil yang diharapkan. Aspek ini menunjukkan bahwa harapan orang berkaitan dengan kesanggupan melakukan suatu perilaku yang dikehendaki. Efficacy expectancy tergantung pada situasi dan beberapa informasi berupa persepsi dari hasil suatu tindakan yang didapatkan melalui kehidupan, modelling, peristiwa verbal dan keadaan yang mengancam.

(27)

c. Outcome Value

Outcome value adalah nilai yang mempunyai arti dari konsekuensi-konsekuensi yang terjadi apabila suatu perilaku dilakukan dan orang harus mempunyai outcome value yang tinggi untuk mendukung efficacy expectancy dan outcome expectancy yang dimiliki.

Bandura dalam Corsini (2004), menyatakan aspek-aspek work-family conflict self-efficacy sebagai berikut:

a. Kognitif

Kemampuan individu untuk berpikir dan menemukan cara-cara yang digunakan serta merancang tindakan yang akan diambil untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk mencapai tujuan itu, masing-masing individu mempersiapkan diri dengan pemikiran-pemikiran ke depan, sehingga dapat melakukan tindakan yang tepat. Fungsi utama berpikir memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif ini adalah semakin aktif kemampuan individu dalam analisis berpikir dan dalam berlatih, mengungkapkan ide-ide atau gagasan pribadi, maka akan mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

(28)

b. Motivasi

Kemampuan individu untuk memotivasi diri melalui pikirannya, untuk melakukan tindakan dan keputusan sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Motivasi timbul dari pemikiran optimis dari dalam dirinya, untuk mewujudkan tindakan yang dilakukan. Masing-masing individu berusaha memotivasi dirinya dengan menetapkan keyakinan pada tindakan yang dilakukan,, merencanakan tindakan yang akan dilaksanakan atau direalisasikan. Motivasi dalam work-family

conflict self-efficacy dapat digunakan untuk

memprediksi kesuksesan dan kegagalan. c. Afeksi

Kemampuan individu untuk mengatasi emosi yang ditimbulkan diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Afeksi terjadi secara alami dalam diri individu dan berperan dalam menentukan identitas pengalaman emosional. Afeksi ditunjukkan dengan mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola pikir yang benar, untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.

d. Seleksi

Kemampuan individu untuk menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Seleksi tingkah laku memengaruhi perkembangan personal.

(29)

Asumsi yang timbul pada aspek ini adalah ketidakmampuan individu dalam tingkah laku membuat individu tidak mudah percaya diri, bingung, menyerah ketika menghadapi situasi sulit.

2.3.3. Peran Work-family conflict self-efficacy Terhadap Kinerja

Bandura (1997), menyatakan bahwa peran dari work-family conflict self-efficacy terhadap kinerja adalah:

1. Work-family conflict self-efficacy mempengaruhi tujuan yang ditentukan oleh individu bagi dirinya sendiri

Work-family conflict self-efficacy mempengaruhi pilihan individu dalam membuat tujuan, tingkat tantangan tujuan mereka dan tingkat komitmen untuk tujuan pribadi. Karyawan dengan tingkat work-family conflict self-efficacy rendah akan memilih tujuan yang kurang menantang untuk diri mereka sendiri dan sebaliknya

2. Work-family conflict self-efficacy mempengaruhi belajar dan usaha yang diberikan

Karyawan belajar, melakukan dan mengerahkan usaha pada tingkat yang konsisten dengan work-family conflict self-efficacy mereka. Karyawan dengan self-efficacy yang tinggi akan

(30)

bekerja keras untuk belajar bagaimana melakukan tugas-tugas baru, karena mereka yakin mereka akan berhasil

3. Work-family conflict self-efficacy mempengaruhi ketekunan seseorang dalam mencoba melaksanakan tugas-tugas baru dan sulit

work-family conflict self-efficacy mempengaruhi bagaimana karyawan akan bertahan lama ketika terlibat dengan tugas dan tantangan. Karyawan dengan work-family conflict self-efficacy tinggi akan bertahan lebih lama dalam menghadapi tugas yang sulit karena mereka lebih yakin bahwa mereka akan belajar dan berhasil menjalankan tugas.

4. Work-family conflict self-efficacy mempengaruhi bagaimana karyawan akan tangguh dalam menghadapi situasi buruk

Work-family conflict self-efficacy mempengaruhi bagaimana karyawan akan merespon kekecewaan. Individu yang memiliki work-family conflict self-efficacy tinggi akan lebih cepat pulih dari kemunduran dibandingkan mereka yang tidak. 5. Work-family conflict self-efficacy mempengaruhi

tingkat stres dan kecemasan yang dialami individu ketika mereka terlibat dalam tugas

work-family conflict self-efficacy mempengaruhi pengalaman fisiologis stres. Individu tingkat

(31)

work-family conflict self-efficacy rendah dapat mengalami reaksi stres fisiologis lebih intens dalam menghadapi tantangan dibandingkan mereka yang memiliki tingkat work-family conflict self-efficacy yang lebih tinggi. Hal ini pada gilirannya dapat mempengaruhi kinerja mereka pada tugas dan sejauh mana mereka bertahan dalam menghadapi tantangan.

2.4. Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya

Hasil-hasil penelitian sebelumnya membahas kaitan antara variabel Work-Family conflict dan variabel kelelahan emosional yang terjadi pada wanita bekerja seperti yang dikemukakan oleh Boles, Johnston, Hair & Jr. (1997) yang menemukan bahwa konflik pekerjaan-keluarga yang dialami personel penjualan meningkatkan kelelahan emosional mereka. Demerouti, Bakker & Bulters (2004) melakukan studi longitudinal pada para karyawan (70% adalah wanita) untuk memeriksa hubungan antara intervensi keluarga terhadap pekerjaan atau konflik antara pekerjaan-keluarga dan kelelahan emosional. Mereka menemukan bahwa konflik peran dalam pekerjaan dan keluarga adalah determinan kausal dari kelelahan emosional.

Hasil penelitian yang kedua adalah variabel Work-Family conflict dan variabel tingkat depresi pada wanita bekerja. Wanita mempunyai tingkat depresi yang tinggi dalam menyesuaikan diri secara psikologis terhadap adanya Work-Family conflict.

(32)

Penelitian yang dilakukan oleh Sprock & Yoder, 1997 menyatakan bahwa wanita sering mempunyai skor yang tinggi pada skala depresi dibandingkan pria. yang ketiga adalah antara Work-Family conflict dan tingkat work-family conflict self-efficacy yang dimiliki oleh seorang wanita bekerja. Beberapa penelitian menyatakan bahwa wanita sering memiliki tingkat work-family conflict self-efficacy yang rendah dalam mengatasi Work-Family conflict yang dialami. Salah satu penelitian menyatakan wanita muda mempunyai tingkat antisipasi yang tinggi untuk kedua tipe konflik, dan dilaporkan efikasi diri yang rendah terhadap kemampuannya mengatasi atau menanggulangi konflik peran dalam keluarga yang mengintervensi peran dalam pekerjaan (Cinnamon, 2006).

Beberapa penelitian menyatakan sebagai berikut: work-family conflict self-efficacy yang tinggi pada pekerjaan yang spesifik pada orang dewasa ditemukan berkorelasi positif dengan tingginya kerelaan mereka untuk memilih pekerjaan tersebut (Tang,Fouad & Smith,1999) dan dengan tingginya aspirasi karir mereka terhadap pekerjaan tersebut (Nauta,Epperson & Kahn, 1998). Work-family conflict work-family conflict self-efficacy yang rendah pada pekerjaan tertentu berkontribusi terhadap eliminasi prematur terhadap karir yang mungkin dimiliki (Betz & Hackett, 1981). Hampir sama dengan hal tersebut di atas work-family conflict self-efficacy sebagai orang tua berkorelasi positif dengan adaptasi yang baik terhadap peran sebagai orang tua (Ardelt & Eccles,

(33)

2001), dan work-family conflict self-efficacy akan pernikahan muncul sebagai prediktor dari kepuasan pernikahan (Fincham, Harold & Gano-Philips, 2000). Selanjutnya work-family conflict self-efficacy mungkin dapat memainkan peran penting dalam menentukan efikasi diri dalam kemampuan seseorang mengatasi konflik pekerjaan-keluarga atau disebut juga Work-Family conflict.

Hasil penelitian yang keempat adalah antara Work-Family conflict dan kinerja. Karatepe & Sokmen (2006) melakukan sebuah studi di Ankara, Turki pada karyawan hotel dan menemukan sebuah hubungan negatif yang signifikan antara Work-Family

conflict dan kinerja. Yang dimaksud dengan

hubungan negatif yang signifikan adalah apabila tingkat Work-Family conflict tinggi maka kinerja menurun, sebaliknya apabila tingkat Work-Family conflict rendah maka kinerja meningkat secara signifikan.

2.5. Dinamika Psikologi

Penelitian sangat sedikit yang melihat hubungan antara work-family conflict self-efficacy dan Work-Family conflict, misalnya Kahn & Long, 1988; Matsui & Onglatco, 1992. Erdwins et al. 2001 (dalam Hennessy, 2005) mencatat bahwa "tampaknya logis bahwa suatu hubungan mungkin ada di antara kedua konstruksi”. Erdwins dkk meneliti hubungan antara dukungan sosial,kepuasan peran, dan work-family conflict self-efficacy untuk mengukur Work-Family conflict dan role overload. Para peserta

(34)

termasuk 129 perempuan yang sudah menikah, yang semuanya memiliki paling sedikit satu anak usia prasekolah. Para peneliti berhipotesis bahwa work-family conflict self-efficacy dalam peran pekerjaan dan keluarga akan terkait dengan konflik pekerjaan / keluarga, role overload, dan kepuasan ibu. Kelebihan beban Peran diukur dengan item tunggal bertanya, "Seberapa sering hal yang Anda lakukan menambahkan menjadi terlalu banyak "(Erdwins et al. 2001, dalam Hennessy, 2005).

Paling menarik bagi studi saat ini, Hasil penelitian menunjukkan bahwa work-family conflict

self-efficacy dalam pekerjaan dan keluarga

merupakan prediktor yang signifikan darikonflik perempuan bekerja/keluarga. Hasil penelitian menunjukkan hubungan negatif antaran konflik bekerja / keluarga dan efektivitas diri dalam pekerjaan dan keluarga, menunjukkan bahwa wanita tingkat konflik pekerjaan / keluarga menurun seiring work-family conflict self-efficacy dalam pekerjaan dan peran keluarga meningkat. Namun, Erdwins dkk. (2001) menggunakan skala terpisah untuk mengukur family conflict self-efficacy orangtua dan

work-family conflict self-efficacy pekerjaan. Untuk

mempelajari hubungan antara work-family conflict self-efficacy dan konflik bekerja/keluarga lebih cermat, akan terlihat penting untuk menggunakan ukuran work-family conflict self-efficacy konflik bekerja/keluarga (yang mencerminkan kemampuan yang dirasakan untuk bernegosiasi bekerja / konflik

(35)

keluarga), bukan tindakan yang terpisah dari self-efficacy kerja dan self-self-efficacy orangtua.

Work-family conflict khususnya pendeta wanita akan menghambat terjadinya keseimbangan antara kedua peran yang dijalankan seorang wanita. Oleh karena itu Work-Family conflict tersebut harus diselesaikan atau dikelola secara efektif agar keadaan menjadi normal kembali atau seimbang.

Studi menunjukkan bahwa wanita hanya mempunyai waktu senggang yang jauh lebih sedikit dibanding pria atau suami mereka (Engel, 1994). Karena pada umumnya wanita karier bekerja 7 sampai 8 jam (Munandar,1985). Pada pekerjaan sebagai seorang pendeta, seseorang wanita dapat bekerja secara penuh selama 24 jam. Menurut Shaevitz (1989), dapat terjadi keletihan pada wanita bekerja bukan hanya lelah biasa. Ini disebabkan oleh kesibukan baik sebagai seorang wanita bekerja maupun sebagai seorang yang bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga terutama pengasuhan anak yang membuat ibu atau wanita kurang istirahat. Berdasarkan riset membuktikan bahwa Work-Family conflict mempunyai pengaruh buruk bagi kesehatan baik di tempat kerja maupun dirumah. Zappert & Stansbury (dalam Widiyanto, 2001 dalam Messakh, 2007), menyatakan dalam penelitiannya bahwa wanita bekerja memiliki tingkat depresi lebih tinggi dibanding pria bekerja. Hal ini disebabkan adanya kenyataan bahwa wanita cenderung bekerja lebih banyak dari pada pria dan

(36)

wanita dibebani oleh masalah pengasuhan anak. Walaupun bekerja secara penuh, wanita tetap menganggap keluarganya sebagai yang terpenting. Sehingga terkadang mereka merasa bersalah ketika harus meninggalkan keluarga demi urusan pekerjaan.

Banyak wanita yang mengeluh karena harus melakukan pekerjaan rumah tangga sekaligus bekerja diluar rumah secara penuh. Banyak diantara mereka yang mampu mengerjakan dua peran tersebut secara baik meskipun dilakukan dengan rasa tertekan (Wolfman, 1988). Ditambah lagi adanya kenyataan bahwa suami mereka sama sekali tidak membantu dalam urusan rumah tangga.

Dari uraian di atas, terdapat dampak negatif peran ganda wanita bekerja dalam hal ini pendeta yang dapat menyebabkan keletihan pada wanita bekerja karena tidak mungkin seluruh urusan rumah tangga dapat diselesaikan oleh seorang wanita bekerja (pendeta wanita). Tetapi ia harus mampu menyeimbangkan tuntutan peran dalam hidupnya.

Hal tersebut di atas menunjukkan adanya pengaruh Work-Family conflict yang dialami perempuan yang bekerja dalam hal ini pendeta wanita terhadap kinerjanya baik dalam keluarga dan dalam pekerjaannya.

Work-family conflict self-efficacy (juga dikenal sebagai teori kognitif sosial atau teori pembelajaran

(37)

sosial) adalah keyakinan seseorang bahwa dia mampu melakukan tugas tertentu berhasil (Bandura,1997). Pikirkan work-family conflict self-efficacy sebagai semacam kepercayaan diri (Kanter, 2006) atau versi tugas khusus harga diri (Brockner, 1988). Work-family conflict self-efficacy memiliki tiga dimensi: besarnya, tingkat kesulitan tugas dimana seseorang percaya dia bisa mencapai; kekuatan, besarnya keyakinan tentang kuat atau lemah, dan umum, sejauh mana harapan adalah umum di seluruh situasi. Rasa karyawan kemampuan mempengaruhi persepsinya, motivasi, dan kinerja (Bandura, 1997). Kita jarang berusaha untuk melakukan tugas ketika kita berharap untuk berhasil.

Work-family conflict self-efficacy memiliki efek kuat pada belajar, motivasi, dan kinerja, karena orang mencoba untuk belajar dan melakukan hanya tugas-tugas yang mereka percaya mereka akan dapat melakukan berhasil. Work-family conflict self-efficacy mempengaruhi pembelajaran dan performa dalam tiga cara (Bandura, 1982): Work-family conflict self-efficacy mempengaruhi tujuan bahwa karyawan memilih untuk diri mereka sendiri. Karyawan dengan rendahnya tingkat work-family conflict self-efficacy cenderung menetapkan tujuan yang relatif rendah untuk diri mereka sendiri. Sebaliknya, individu dengan work-family conflict self-efficacy tinggi cenderung menetapkan tujuan pribadi yang tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa orang tidak hanya

(38)

belajar tapi juga tampil di tingkat yang konsisten dengan work-family conflict work-family conflict self-efficacy keyakinan mereka.

Pengaruh work-family conflict self-efficacy belajar serta upaya yang mengerahkan orang pada pekerjaan. Karyawan dengan tinggi work-family conflict self-efficacy umumnya bekerja keras untuk mempelajari bagaimana melakukan tugas-tugas baru, karena mereka yakin bahwa usaha mereka akan berhasil. Karyawan dengan rendah work-family conflict self-efficacy dapat mengerahkan usaha yang lebih sedikit ketika belajar dan melakukan tugas-tugas kompleks, karena mereka tidak yakin upaya ini akan membawa kesuksesan. Work-family conflict self-efficacy mempengaruhi ketekunan dengan mana orang mencoba tugas-tugas baru dan sulit. Karyawan dengan tinggi efektivitas diri yakin bahwa mereka dapat belajar dan melakukan tugas tertentu. Dengan demikian, mereka cenderung bertahan dalam usaha mereka bahkan ketika permukaan masalah. Sebaliknya, karyawan dengan rendah work-family conflict self-efficacy yang percaya bahwa mereka tidak mampu belajar dan melakukan tugas yang sulit cenderung menyerah ketika menghadapi masalah. Dalam sebuah tinjauan literatur yang luas pada efektivitas diri, Albert Bandura & Edwin Locke (2003) menyimpulkan bahwa work-family conflict self-efficacy merupakan penentu kuat dari kinerja pekerjaan. Termasuk dalam hal ini pekerjaan sebagai pendeta wanita di sebuah organisasi gereja.

(39)

2.6. Model Penelitian

Model yang ingin dikembangkan dalam penelitian ini adalah:

Gambar 2.1. Model Penelitian 2.7. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya dan kaitan antar variabel yang ada, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah work-family conflict dan work family conflict work-family conflict work-family conflict self-efficacy sebagai prediktor kinerja pendeta wanita di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Klasis Kota Kupang dan Klasis Kupang Tengah.

Work-family Conflict

Kinerja Pendeta Wanita

Work-family conflict self-efficacy

Gambar

Gambar 2.1. Model Penelitian  2.7. Hipotesis Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Maka dari penelitian tersebut, penulis dapat mengetahui pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah Kota Malang terkait penagihan pajak restoran yang

Selain itu, ada beberapa keuntungan yang diperoleh ketika menggunakan permainan dalam proses pembelajaran di kelas, yaitu: memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan

Pada penelitian ini, peneliti mengambil judul “Pembuatan Sistem Informasi Rental Mobil Pada Purnama Rent Car Ploso Pacitan” Rental mobil merupakan salah satu bisnis yang

Membuat latihan merasai pelbagai corak irama dengan cara memainkan alat perkusi.. Mendengar dan membuat

Penelitian DOLPHIN mencoba menjawab dua pertanyaan: 1) Apakah aman menggunakan 3HP bersama dengan ART berbasis dolutegravir? 2) Jika ya, apakah dosis dolutegravir perlu

Tugas Akhir berjudul Perbandingan Biaya Dan Waktu Pelaksanaan Pekerjaan Mat Foundation Dan Pondasi Bored Pile (Studi Kasus Proyek Kutabex Pantai Kuta Bali) telah diuji dan

Kerusakan jalan akibat beban berlebih yang melebihi kekuatan perkerasan jalan atau kekuatan jembatan Kegiatan demobilisasi peralatan  Wawancara dengan penduduk di sekitar jalan

Faktor kesehatan ibu adalah faktor yang berhubungan dengan kondisi ibu yang menyebabkan ibu memberikan makanan tambahan pada bayi usia kurang dari enam bulan, misalnya