• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. moneter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997, telah menimbulkan kesulitan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. moneter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997, telah menimbulkan kesulitan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ekonomi yang semakin meningkat dan seiring dengan gejolak moneter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997, telah menimbulkan kesulitan yang berat terhadap kemampuan perekonomian negara terutama di sektor riil.

Kelangsungan ekonomi secara defacto sangat berpengaruh terhadap menurunnya usaha, sehingga kemampuan setiap perusahaan untuk memenuhi kewajiban terhadap kreditor menjadi sulit dilaksanakan, tertunda bahkan ada yang sama sekali tidak dapat membayar lagi. Keadaan ini akan berdampak terhadap sektor lainnya yang apabila tidak di selesaikan secara tuntas akan menimbulkan dampak yang lebih luas terhadap gejolak sosial, politik di masyarakat luas.

Dalam rangka mengantisipasi kecenderungan tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo, maka sebagai salah satu sarana hukum untuk penyelesaian utang-piutang, pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang signifikan terhadap Undang-Undang Kepailitan yaitu Failisements- Verordening,S.1905 Nomor 217 jo S.1906 Nomor 348.

Materi peraturan ini dianggap belum memadai lagi untuk dipakai menangani berbagai kasus-kasus kebangkrutan dan kredit macet yang terjadi di Indonesia, Pada tahun 1998 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(2)

(PERPU) nomor 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Kepailitan (PERPU Kepailitan).2

Dalam bagian konsideran PERPU Kepailitan, disebutkan sebagai berikut : a. Bahwa untuk memberikan kesempatan kepada pihak kreditor dan perusahaan

sebagai debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil, diperlukan sarana hukum yang dapat digunakan secara cepat , terbuka dan efektif.

b. Bahwa salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi penyelesaian hutang piutang adalah peraturan tentang kepailitan, termasuk peraturan tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

c. Bahwa untuk mengatasi gejolak moneter beserta akibatnya yang berat terhadap perekonomian saat ini, salah satunya yang menjadi persoalan yang mendesak dan memerlukan pemecahan adalah penyelesaian hutang-piutang perusahaan, dan dengan demikian adanya peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yang dapat digunakan oleh para debitor dan kreditor secara adil, cepat dan terbuka dan efektif menjadi sangat perlu untuk segera diwujudkan.

d. Bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka penyelesaian utang piutang tersebut di atas, terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa secara secara adil, cepat, terbuka dan efektif melalui suatu Pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk dan bertugas menangani, memeriksa       

2 Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Benny.K.Harman, Analisa Kritis Putusan-Putusan Pengadilan Niaga. Cet 1, (Jakarta:CINLES-Center For Information & Law-Economic Studies,2000), hlm. 6 dan 7.

(3)

dan memutuskan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk di bidang Kepailitan dan penundaan pembayaran utang, juga sangat diperlukan dalam penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya.

Dalam perkembanganya, PERPU Kepailitan ditingkatkan menjadi Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang Kepailitan (UUK). UUK hanya terdiri dari dua pasal, dimana Pasal 1 UUK pada dasarnya menegaskan PERPU Kepailitan ditetapkan menjadi Undang-Undang, dan Pasal 2 UUK menyatakan bahwa UUK mulai berlaku sejak di Undangkan yaitu tanggal 9 september 1998.3

Kemudian UUK ini direvisi kembali menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau disingkat dengan (UUK-PKPU). Beberapa pokok materi baru dalam UUK ini antara lain:

Pertama, agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam UUK-PKPU ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu.

Kedua, mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

      

3   Ibid., hlm.9. 

(4)

Lahirnya UUK-PKPU, tentunya pengaturan dalam hal permohonan Kepailitan telah diatur lebih tegas, seperti mengenai Pengajuan Permohonan dalam hal Pengadilan Niaga Mana yang berwenang untuk memeriksa perkara ini. Setelah kurang lebih 6 tahun UUK-PKPU ini terbit, terdapat permasalahan terkait dalam hal Kompetensi Relatif dalam memeriksa perkara. Satu di antaranya adalah mengenai Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor : 65/Pailit/2010/PN.JKT.PST, antara PT.BANK CIMB NIAGA sebagai Pemohon Pailit I dan PT.ARITA PRIMA PERKASA sebagai Pemohon Pailit II vs PT.MESTIKA SAWIT INTIJAYA sebagai Termohon Pailit.

Permasalahan Kompetensi Relatif ini sangat penting dibahas demi untuk kepastian hukum dan putusan hakim yang berkualitas. Dari segi kepastian hukum yakni, adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Dengan adanya nilai yang berbeda-beda tersebut maka penilaian mengenai keabsahan hukum atau suatu perbuatan hukum, dapat berlain-lainan tergantung nilai mana yang dipergunakan. Tetapi umumnya nilai kepastian hukum yang lebih berjaya, karena diam-diam terkandung pengertian supremasi hukum.4

Dalam hal hukum yang berkualitas, maka menurut Wasis,SP, Hukum berkualitas adalah hukum yang mengandung nilai-nilai keadilan bagi seluruh masyarakat dan sesuai dengan kehendak / aspirasi masyarakat, sebab itu hukum yang       

4   Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, Tegakkan hukum Gunakan Hukum, (Jakarta:Buku Kompas,2006), hlm.59-60. 

(5)

baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang kepada tiap-tiap orang. Tujuan hukum, di samping menjaga kepastian hukum juga menjaga sendi- sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat.5

Mengenai peranan hakim dalam menegakkan kepastian Hukum, maka tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dengan hakim, Untuk menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Hakim menjadi faktor penting dan menentukan, Pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari menang, melainkan untuk mencari kebenaran dan keadilan.6

Dalam Putusan atas permohonan pernyataan Pailit dalam putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat nomor : 65/Pailit/2010/PN.JKT.PST., permasalahan yang timbul adalah tidak berjalannya ketentuan tentang prosedur permohonan Kepailitan dimana menurut UUK-PKPU dalam Pasal 3 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Permohonan diatur berdasarkan kedudukan si debitor, di tempat kedudukan terakhir debitor, di tempat kedudukan pesero atau firma tersebut, di kantor pusat tempat si debitor menjalankan profesi, bila badan hukum berdasarkan kedudukan hukum sebgaimana yang diatur dalam anggaran dasar badan hukum tersebut, tetapi kenyataannya dalam perkara ini ternyata Pengadilan yang mengadili yaitu Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berdasarkan Perjanjian Kesepakatan Bersama Mengenai Penyelesaian Pinjaman, dalam Pasal 7 ayat (4) dalam Perjanjian tersebut sepakat memilih Pilihan Hukum yang di antaranya Kompetensi Relatif. Acuan mengenai Pengadilan Niaga yang       

5 Wasis ,SP, Pengantar Ilmu Hukum, (Malang:UMM Press,2002), hlm.21.

6 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta:Buku Kompas,2007), hlm.275.

(6)

berwenang untuk memeriksa perkara ini haruslah mengacu kepada UUK-PKPU yakni Pasal 3 ayat 5 UUK-PKPU yang menyatakan : “ Dalam hal debitor merupakan badan hukum tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya ”.

Dalam hal kedudukan hukum si debitor sebagai badan hukum sendiri yaitu PT.Mestika Sawit Intijaya berada di Jalan Tembakau Deli I No.4-1, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara dan berdasarkan Anggaran Dasarnya (AD) berkedudukan hukum di Medan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat 5 UUK- PKPU jo Keppres No 97 tahun 1999 tentang Pembentukan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Negeri Semarang dalam Pasal 2 dinyatakan :

(1) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya.

(2) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh.7

(3) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi Wilayah Propinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur.

      

7 Daerah Istimewa Aceh telah berganti nama menjadi Nangroe Aceh Darusalam.

(7)

(4) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam perkara ini Kreditor yaitu PT.BANK CIMB NIAGA Tbk.,beralamat di Graha Niaga, Jalan jenderal Sudirman Kaveling 58 Jakarta 12190, yang selanjutnya disebut dengan Pemohon Pailit I dan PT.ARITA PRIMA PERKASA beralamat di kompleks Bilal Harmonis No.05 Kel.P.Brayan Darat I, Kec.Medan timur, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara selanjutnya disebut dengan Pemohon Pailit II, mengajukan gugatan Pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berdasarkan Perjanjian Kesepakatan Bersama Mengenai Penyelesaian Pinjaman yang ditanda tangani para pihak pada tanggal 22 Desember 2009 dalam Pasal 7 ayat (4), sepakat untuk memilih Pilihan Hukum pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima untuk memeriksa perkara ini dan telah diputus pada tanggal 06 Oktober 2010 dengan Majelis Hakim, Tjokorda Rai Suamba, SH. (Hakim Ketua Majelis), H.Syarifuddin, SH, M.Hum, Jupriyadi, SH.,M.Hum (masing sebagai Hakim anggota).

Berdasarkan uraian di atas, agar dapat mengkaji secara yuridis kewenangan Pengadilan Niaga yang berwenang memeriksa perkara Kepailitan ini dengan mengacu pada UUK-PKPU jo Keppres No.97 tahun 1999, karena Pengadilan Niaga merupakan Pengadilan khusus yang merupakan chamber dari Pengadilan Umum, seperti halnya dengan Pengadilan anak dan Pengadilan lalu lintas. Kasus yang diajukan ke Pengadilan Niaga akan diperiksa dan diputuskan dalam tingkat pertama oleh suatu Majelis Hakim. Pemeriksaan dan Pemutusan Pengadilan haruslah sesuai

(8)

dengan fakta hukum yang diperoleh di persidangan, sesuai dengan hukum/Undang- Undang yang berlaku dan keyakinan hakim.8

Dalam Putusan hukum oleh Majelis Hakim dalam perkara Kepailitan ini, hakim mengabulkan Permohonon Pemohon Pailit untuk seluruhnya dan menyatakan debitor PT.MESTIKA SAWIT INTIJAYA Pailit dengan segala akibat hukumnya.

Dalam kasus ini Menarik untuk diteliti, eksepsi termohon Pailit ditolak seluruhnya, eksepsi terkait kompetensi Relatif dalam hal yurisdiksi Pengadilan Niaga yang berhak untuk memeriksa dan memutus perkara ini sesuai Undang-Undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU).

Berdasarkan Pasal 3 ayat (5) yang menyatakan oleh karena termohon Pailit adalah badan hukum maka permohonan Pailit diajukan di domisili hukum sesuai yang telah dinyatakan dalam anggaran dasar dari badan hukum tersebut yaitu Kota Medan maka seharusnya permohonan Pailit seharusnya diajukan di Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri Medan bukan di Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, oleh karena itu seharusnya Permohonan Pernyataan Pailit Pemohon Pailit I dan II menurut hukum harus dinyatakan tidak dapat diterima (N.O).

       

9

 

8 Binsar Gultom, Pandangan Kritis seorang Hakim Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, (Medan:Pustaka Bangsa Press,2008), hlm.114.

9 Tuntutan yang kurang jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak dapat diterimannya tuntutan tersebut, demikian pula gugatan yang bertentangan satu sama lain atau disebut obscuur libel (gugatan tidak jelas dan tidak dapat dijawab dengan mudah oleh pihak tergugat, sehingga menyebabkan gugatan ditolak yang berakibat tidak diterimannya gugatan tersebut. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah agung RI No.443 K/Sip/1983 Tanggal 30 November 1983.  

(9)

Yang menarik dalam putusan ini adalah hakim tetap memeriksa perkara ini dengan hanya berdasarkan pilihan hukum pada kesepakatan bersama mengenai penyelesaian pinjaman. Apabila putusan ini sudah ditetapkan permasalahan yang muncul adalah bagaimana implementasi pelaksanaan putusan tersebut terkait langkah-langkah yang ditempuh oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan mengacu pada kedudukan hukum dari si debitor yang berada di Kab.Deli Serdang dan objek dan jaminan berada di Desa Pematang Seleng, Kecamatan Bilah Hulu, Kabupaten Labuhan Batu Provinsi Sumatera Utara padahal tujuan dasar dari UUK- PKPU bahwa untuk meningkatkan pemerataan dan mempermudah masyarakat baik secara

s Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan ( Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor : 65/Pailit/2010/

diid

1. a Perkara Kepailitan

ajiban Pembayaran Utang?

perorangan atau badan usaha dalam menyelesaikan sengketa di bidang perniagaan secara adil, cepat, terbuka dan efektif.

Dari uraian diatas tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas tesis yang berjudul “Analisi

PN.JKT.PST )”.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, timbul beberapa permasalahan yang dapat entifikasikan sebagai berikut :

Bagaimanakah Kewenangan Pengadilan Niaga Memeriks

Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kew

(10)

2. Bagaimana Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.JKT.PST.?

. Bagaimanakah Pelaksanaan Keputusan Hakim dalam perkara Nomor. 65/ Pailit/

?

C.

1. radilan dalam

daan Kewajiban Pembayaran Utang.

3. lit/2010/PN.JKT.PST.

sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang nomor.37 tahun 2004 tentang daan Kewajiban Pembayaran Utang?

1.

iharapkan dapat menambah dan memberikan

2.

3

2010/ PN. JKT. PST

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaturan terkait Kompetensi Relatif pe

memeriksa perkara Kepailitan menurut Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penun

2. Untuk mengkaji dasar pertimbangan hakim dalam putusan nomor 65/Pailit.2010.PN.JKT.PST.

Untuk mengetahui pelaksanaan putusan nomor 65/Pai

Kepailitan dan Penun

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : Manfaat secara teoritis

Secara teoritis, penelitian ini d

manfaat untuk mengembangkan pemikiran di bidang hukum Kepailitan.

Manfaat secara praktis

(11)

hal ini hakim dan advokat, agar dapat menegakkan hukum dan keadilan bagi para pihak dalam sengketa Kepailitan, terlebih mengetahui

menjatuhkan putusan Kepailitan dalam rangka penegakan

nya. Namun permasalahan yang terdapat di dalam tesis tersebut tidak sama

n erseroan”

2. mawati, tesis pada tahun 2003 dengan judul “Penyelesaian Utang Piutang elalui Hukum Kepailitan suatu Antisipasi Terhadap Kredit Bermasalah”.

Secara praktis tulisan ini dapat menjadi referensi pemikiran kepada aparat penegak hukum dalam

pola pikir hakim dalam hukum di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan sekolah Pasca sarjana, maka penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.JKT.PST.)”, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelum

dengan permasalahan dalam tesis ini sehingga penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Yang menyangkut dengan masalah Kepailitan, yaitu :

1. Halida Rahardini, tesis pada tahun 2002 dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Tanggung Jawab Direktur Dalam Hal Terjadi Kepailita P

At M

(12)

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Hakekat penulisan karya ilmiah sebagai salah satu landasan dalam hal perkembangan ilmu hukum tidaklah terlepas dari teori sebagai landasannya dan tugas hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum postulat-postulatnya hingga

uphoria reformasi segala bidang. Maka untuk mengantisipasi adanya

penegakan hukum, karena kaedah hukum akan tampak ketika penegakan hukum tersebut terjadi. Fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan- aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, Sehingga penelitian ini tidaklah dapat terlepas dari teori-teori hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran ahli hukum sendiri.

Apabila ditinjau secara teoritis, lahirnya Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 adalah sebagai konsekwensi dari keadaan krisis ekonomi dan moneter di Indonesia yang pada akhirnya juga menimbulkan krisis sosial dan politik akibat terjadinya e

kecenderungan dunia usaha yang bangkrut, Pemerintah pun menerbitkan Undang- Undang ini menjadi suatu kaedah hukum positif dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.

Dalam Konteks aplikatif, kaedah hukum positif tidak dapat dipisahkan dengan

(13)

mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame-work) yang ditetapkan oleh suatu Undang-Undang atau hukum.10

Bila hal itu dikaitkan dengan pembangunan hukum, maka pendekatannya tidak sekadar pembaharuan aturan-aturan hukum. Pembangunan hukum bertujuan membentuk atau mewujudkan sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional (Legal system). Dalam pembangunan, pembaharuan atau pembinaan sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional harus diikuti oleh pembangunan, pembaharuan atau pembinaan substansi dari sistem hukumnya. Substansi dari sistem hukum itulah yang akan menentukan sejauh mana sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional mencerminkan Indonesia baru dan mampu melayani kebutuhan Indonesia baru.

Dengan demikian dalam pembangunan sistem hukum nasional harus mencakup pembangunan bentuk dan isi dari peraturan perundang-undangan.11 Bagaimana pembangunan, pembaharuan atau pembinaan bentuk dan isi dari peraturan perundang-undangan inilah yang menjadi substansi dari kebijakan legislatif.

Kebijakan Legislatif atau kebijakan perundang-undangan adalah kebijakan politik dalam menyusun dan mewujudkan ide-ide para pembuat Undang-Undang (Legislator) dalam bentuk norma-norma baku yang terumus secara eksplisit dalam

      

10 Calire Seltz et.,al:1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:Universitas Indonesia (UI-Press),1986), hlm.9.

11 Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), (Yogyakarta:FH UII Press,2005), hlm.157-158. Lihat juga pendapat Von Savigny yang dikutip Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan sejarah, (Yogyakata:Kansius,1990), hlm.114., yang menyatakan, hukum adalah pernyataan jiwa bangsa-Volgheist-karena pada dasarnya hukum tidak dibuat oleh manusia tetapi tumbuh dalam masyarakat, yang lahir, berkembang, dan lenyap dalam sejarah. Dalam pembentukan hukum perlu pula diperhatikan cita-cita bangsa dan nilai – nilai yang terapat dalam bangsa tersebut.

(14)

bentuk peraturan perundang-undangan nasional, dengan berkekuatan sebagai apa yang dikatakan oleh Austin , “The Command of the Sovereign”.12 Penelitian ini pada dasarnya menggunakan teori hukum Positivis, sebagai landasan dan sebagai pisau analisis guna mengkaji hal-hal yang dianggap sebagai permasalahan mendasar dalam penelitian ini.

Menurut John Austin, tokoh yang menganut Hukum Positif, dengan menganut sub aliran hukum positif yang analitis dengan teori Analytical Jurisprudence menganut prinsip sebagai berikut:

Pertama, merupakan perintah dari penguasa (Law is a command of the law giver).

Maksudnya, perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. Hukum merupakan perintah yang dibebankan untuk mengatur mahluk berfikir, dan perintah itu diberikan oleh mahluk berfikir yang memegang kekuasaan. Dengan kata lain, hukum berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa, dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya suatu instansi yang berwenang. Hukum dipandang semata-mata dalam formalnya, yang dapat dipisahkan dari bentuk hukum materialnya. Artinya bahwa proses pembentukan hukum tersebut dilakukan melalui cara tertentu, agar hukum tersebut mempunyai dasar validitasnya. Dengan demikian hukum hanya didasarkan pada kekuasaan dari pihak yang berkuasa, tidak didasarkan pada prinsip keadilan, prinsip       

12 Oko Setyono dalam Muladi (Edt), Hak Asasi Manusia, Hakekat,Konsep & Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung:PT.Refika Aditama,2005), hlm.123.   

(15)

moralitas baik dan buruk.13 Dengan demikian , perbedaan antara Hukum positif dan hukum alam adalah bahwa dalam Hukum positif, hukum dibuat oleh pihak yang berkuasa dan pembuatanya didasarkan pula pada pihak yang berkuasa. Meskipun hukum tersebut dirasakan tidak adil atau tidak bermoral, namun karena pembuatan hukum tersebut didasarkan pada pihak yang berkuasa maka hukum ini tetap sah sebagai hukum. Sedangkan dalam hukum alam, hukum dibuat berdasarkan agama, prinsip keadilan, atau prinsip moralitas yang baik atau buruk. Dalam hal ini, hukum tersebut tetap dibuat oleh pihak yang berkuasa, misalnya oleh lembaga legislatif dan eksekutif, tapi pembuatanya didasarkan pada pertimbangan agama, keadilan dan moral.

Kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (Closed Logical System). Maksudnya adalah, bahwa keputusan-keputusan hukum yang tepat atau benar dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran moral.14 Pandangan ini jelas mendapat pengaruh ketat dari cara berfikir sainsmodern, Ilmu dianggap sebagai penyelidikan mandiri yang objeknya harus dipisahkan dari nilai.

Ketiga, hukum positif harus memenuhi beberapa unsur, yaitu unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Apabila tidak memenuhi keempat unsur tersebut, dia

      

13 W.Friedmann, Legal Theory, (London: Steven & sons Limited, Third Edition, 1953), hlm.151.

14 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum:Apakah hukum Itu?, (Bandung:PT.Remaja Rosdakarya, Cetakan Keenam,1993), hlm.44.

(16)

bukanlah hukum, melainkan moral positif (positive morality). Unsur perintah berarti bahwa satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya. Pihak yang diperintah akan dikenakan sanksi apabila perintah itu tidak ditaati.15 Sebagai contoh, Jika A (warga Negara) melakukan pelanggaran/kejahatan, maka B (aparat hukum) diberikan wewenang untuk mengenakan Y (sanksi).16 Perintah tersebut merupakan pembebanan kewajiban bagi yang diperintah, dan kewajiban ini hanya dapat terlaksana jika yang memerintah tersebut adalah pihak yang berdaulat. Dan yang memiliki kedaulatan itu dapat berupa seseorang atau sekelompok orang.17 Sedangkan contoh moral positif misalnya hukum internasional yang tidak mempunyai sanksi.

Sebagai penganut aliran positivisme dengan teori hukum murni, Hans Kelsen juga menyatakan prinsip dasar dalam aliran positivisme adalah :

Pertama, hukum haruslah dipisahkan dari anasir-anasir non-yuridis seperti anasir etis (moral), sosiologis, politis, dan sebagainya. Karena dipisahkanya hukum dari unsur non-yuridis itulah, sehingga teori yang dikemukakan oleh Hans kelsen disebut teori hukum murni.18 Pada dasarnya Hans kelsen berpendapat:

“it is called a “pure” theory of law, because it only describes the law and attemps to eliminate from the object of this description ever beratything that is not strictly law. Its aim is to free the science of law from alien elements”.19

      

15 Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat & Teori Hukum, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2004), hlm.59.

16 Ibid, hlm.43.

17 Ibid 

18 Pembahasan mengenai konsep pemisahan antara hukum dan moral tampaknya memperoleh perhatian yag cukup besar dari para ahli hukum. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam R.M Dworkin,The Philosophy of Law,(New Jersey:Oxford University Press,1977),hlm.17-37.

19 Hans Kelsen, Pure theory of law, diterjemahkan oleh Max Knight dari bahasa Jerman, (Berkeley:University of california Press,1967), hlm.1. 

(17)

Dipisahkanya hukum dari unsur etis, mengindikasikan bahwa Hans Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya hukum alam. Hal ini karena etika memberikan suatu penilaian tentang baik dan buruk, dan ajaran Kelsen menghindari diri dari soal penilaian ini. Begitu pula pemisahan dari unsur sosiologis, berarti ajaran Hans kelsen tidak memandang penting hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, dan seterusnya.

Kedua, ilmu hukum menurut Hans Kelsen termasuk dalam Sollenkatagori (hukum sebagai keharusan), bukan Seinskatagori (hukum sebagai kenyataan). Artinya, Kelsen hanya memandang hukum sebagai keharusan yang terlepas sama sekali dari hukum sebagai kenyataan. Orang mentaati hukum karena ia merasa wajib untuk mentaatinya sebagai suatu perintah negara. Contohnya: setiap orang yang membeli barang harus membayar (hukum sebagai keharusan), tetapi apabila dalam kenyataanya ada orang yang tidak membayar, maka hal itu bukan menjadi wewenang ilmu hukum, tetapi persoalan nyata dalam masyarakat.20

Ketiga, ajaran tentang “stuffentheorie” yang dikembangkan muridnya Adolf Merkl, yaitu bahwa sistem hukum hakikatnya merupakan sistem hirarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi (grundnorm). Hukum yang lebih rendah harus berdasar,bersumber, dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Sifat yang bertentangan dari hukum yang lebih rendah mengakibatkan batalnya daya laku hukum itu, sebaliknya, hukum yang lebih tinggi merupakan dasar dan sumber dari hukum yang lebih rendah. Semakin tinggi kedudukan hukum dalam       

20 Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung:Penerbit alumni,1982), hlm.39.

(18)

peringkatnya, semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya dan semakin rendah pangkatnya, semakin nyata dan operasional sifat norma yang dikandungnya.21 Dalam hal penggunaan istilah hukum telah terjadi pencampuradukkan antara defenisi Pilihan Hukum dan Pilihan Forum sebagaimana diketahui bahwa Pilihan Hukum berkenaan dengan hukum mana yang berlaku untuk suatu perjanjian yang melibatkan dua hukum dua hukum dari dari negara yang berbeda. Sedangkan Pilihan Forum merupakan adalah mengenai badan mana yang berwenang memeriksa atau mengadili perselisihan yang terjadi22, bisa diselesaikan melalui Pengadilan Maupun jalur arbitrase yang dalam perkara No.

65/Pailit/PN.JKT.PST, dimungkinkan melakukan Pilihan forum sebagaimana diatur dalam Pasal 303 UUK-PKPU yang telah bersifat final dan mengikat.

Indonesia sebagai negara hukum dan penganut aliran hukum positif, setiap aspek tindakan pemerintah baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan Legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa dasar kewenangan, ketentuan bahwa setiap tindakan pemerintah ini harus didasarkan pada asas legalitas.23 Demikian juga halnya dengan para subjek hukum lainnya bertindak dan bertingkah laku dalam aspek kehidupan haruslah berpedoman pada ketentuan yang ada yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku.

      

21 Hans kelsen, Op.cit, hlm.126-137. 

22 Yansen Dermanto Latip, Pilihan Hukum Dan Pilihan Forum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2002), hlm.1.

23 Prajudi, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta:Ghalia Indonesia,1981), hlm.27.

(19)

Bertumpu pada teori di atas maka dapat dikatakan bahwa Pasal 3 ayat (1), (2),(3),(4), dan (5) UUK-PKPU merupakan suatu keharusan yang harus diterapkan oleh hakim sebagai acuan dalam memutus dan memeriksa perkara ini tanpa memperhatikan asal mula dari mana pasal tersebut terbentuk.

2. Kerangka Konsepsi

Defenisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Kompetensi

Kompetensi adalah kewenangan, kekuasaan.24 Dalam hal ini kompetensi relatif dari Pengadilan Niaga.

b. Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga adalah Pengadilan Khusus yang dibentuk dalam Pengadilan Umum.25 Dalam hal ini pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

c. Kepailitan

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesanya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini.

      

24 Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta:PrandjaParamita,1971), hlm.26.

25 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Pengadilan Niaga

(20)

d. Putusan Hakim

Putusan dalam hal ini putusan hakim adalah hasil atau kesimpulan suatu pemeriksaan perkara yang didasarkan pada pertimbangan yang menetapkan hukuman.26 Dalam hal ini Putusan hakim yang tertuang dalam putusan nomor . 65/

Pailit/ 2010/ PN.JKT.PST.

e. Pertimbangan Hakim

Dalam Undang-undang Kehakiman maupun literatur lain tidak ditemukan defenisi secara tegas mengenai apa yang dimaksud dengan pertimbangan hakim, namun beberapa pendapat mengenai gambaran umum tentang yang dimaksud dengan pertimbangan hakim adalah ukuran untuk menyatakan putusan guna memenuhi rasa keadilan masyarakat .27 Dalam hal ini pertimbangan hakim yang tertuang dalam putusan nomor. 65/ Pailit/ 2010/PN.JKT.PST.

f. Eksekusi

Eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan.28 Dalam hal ini eksekusi terhadap putusan nomor 65/ Pailit/ 2010/ PN.JKT.PST.

      

26 Subekti,Op.cit.,hlm.85.

27 Binsar Gultom, Op.cit., hlm.24

28 Subekti, Op.cit., hlm.39 

(21)

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi dan Sifat penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian Hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan,29 yang berkaitan dengan analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan dalam Perkara Kepailitan.

Penelitian hukum Normatif (Legal Research) terdiri dari inventarisasi hukum positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif, serta penemuan hukum in concreto. Penelitian hukum normatif yang dipakai dalam penelitian adalah penemuan hukum in concreto. Dalam penelitian ini, norma-norma hukum in abstracto diperlukan mutlak untuk berfungsi sebagai premisa mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (Legal facts) dipakai sebagai premisa minor.

Melalui proses silogisme akan diperolehlah sebuah konklusi, yaitu hukum in concreto, yang dimaksud.30 Adapun sifat penulisan ini adalah deskriptif analitis,yaitu untuk mendapatkan deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti.

      

29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo persada,2004), hlm.14.

30 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2006), hlm.91-92.

(22)

2. Sumber Data

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, didasarkan pada penelitian kepustakaan (Library research), (Library research) yang dilakukan dengan menghimpun data sekunder, yaitu:

a. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas.31 Bahan hukum primer terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan maupun putusan-putusan pengadilan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa buku, majalah dan jurnal-jurnal ilmiah yang ada relevansinya dengan penelitian ini dan dapat memberi petunjuk dan inspirasi bagi penulis dalam rangka melakukan penelitian.32

c. Bahan hukum Tertier, yakni memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,33 seperti kamus umum, kamus hukum, dan bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi hasil penelitian ini.

3. Tehnik dan Alat Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan , dipergunakan tehnik penelitian kepustakaan (Library research) dalam menganalisa putusan No.

65/2010/Pailit/PN.JKT.PST. dan menggunakan pendekatan perundang-undangan       

31 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana,2008), hlm.141.

32 Ibid,hlm.155.

33 Zainuddin ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika,2009), hlm.106.

(23)

(statute approach). Pendekatan tersebut, melakukan pengkajian peraturan perundang- undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.34 Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah studi dokumen.

4. Analisis Data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan diorganisasikan, serta diurutkan dalam suatu pola tertentu sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hal-hal yang sesuai dengan bahasan penelitian. Seluruh data ini dianalisa secara kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan responden, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan35 yang ada dalam tesis ini, serta penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan pendekatan deduktif-induktif.

Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.

      

34 Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang:Bayumedia,2005), hlm.241.

35 Ronny Hamitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1982), hlm.93.

Referensi

Dokumen terkait

Able to create programs that require requirements and replays using C++ and for array data Array Array Ceramah Interaktif, Diskusi, Praktikum dan Latihan Soal (CIDPLS)

Sasaran 5 : Meningkatnya toko yang menyediakan produk sandang lokal bali dengan indikator Jumlah toko yang menyediakan produk sandang lokal Bali Capaian kinerja sampai

Dimensi pelayanan keagamaan memiliki nilai HSQ-Metrix nol yang berarti para responden memiliki tingkat kepuasan yang standar atau tidak terjadi kesenjangan antara

Pada penelitian ini, bahan tambahan yang digunakan adalah abu sekam padi dan fly ash dengan kadar 10, 15, 20% dari berat semen dalam setiap campuran beton berpori; dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1 tingkat konsep diri berada pada kategori sedang dengan prosentase 68% sebanyak 34 anak asuh; 2 tingkat dukungan sosial berada pada kategori

Hanya dengan optimasi bentuk dengan tetap menggunakan bahan timbal, berat akhir kontainer menjadi 43,9 kg (Iihat Tabel 3). Bila menggunakan tungsten pejal murni, berat kontainer

Pendidikan orangtua juga berkaitan dengan pernikahan usia dini, yakni pendidikan orangtua yang rendah berisiko 1,25 kali lebih besar menikah pada usia < 20 tahun

Sesuai dengan fokus penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menggambarkan Manajemen Krisis Internal