• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENINGKATKAN PEMAHAMAN MASYARAKAT MENGENAI HAK ATAS TANAH UNTUK MENCEGAH KONFLIK BERBASIS HAK ATAS TANAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MENINGKATKAN PEMAHAMAN MASYARAKAT MENGENAI HAK ATAS TANAH UNTUK MENCEGAH KONFLIK BERBASIS HAK ATAS TANAH"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MENINGKATKAN PEMAHAMAN MASYARAKAT MENGENAI HAK ATAS TANAH UNTUK MENCEGAH

KONFLIK BERBASIS HAK ATAS TANAH

Kusnandir

Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kemenetrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Email: kusnandirk@ymail.com

Nomor Hand phone: 081380932399

Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Bagi manusia, tanah tidak sekedar sebagai tempat tinggal, tetapi tanah dapat sebagai infestasi, dan tempat kegiatan usaha. Hampir semua usaha, seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, peternakan, perikanan, perdagangan, semua memerlukan tanah. Karena pentingnya tanah, maka kepemilikan tanah harus jelas dalam arti kepemilikan tanah harus tercatat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan harus disertai dengan bukti autentik kepemilikan tanah berupa sertifikat tanah. Sertifikat tanah tidak sekedar untuk menyatakan kepemilikan tanah, dengan dimilikinya sertifikat pemilik tanah secara hukum terlindungi. Selain itu, apabila diperlukan, pemilik tanah dengan mudah menggunakan, mengalihkan kepada pihak lain, atau sebagai jaminan pinjaman oleh pemiliknya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi tanah adalah permukaan bumi, termasuk yang ada di dalamnya dan benda-benda yang ada di atasnya. Untuk menjamin kepastian hukum bagi masyarakat, khususnya para pemilik tanah, maka tanah harus didaftarkan untuk mendapatkan bukti kepemilikan hak atas tanah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) Pasal 19 menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan pedaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pendaftaran Tanah

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 1, yang dimaksud pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta, dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Secara garis besar, pendaftaran tanah meliputi dua kegiatan yaitu kegiatan teknis dan kegiatan administrasi (Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis:2012). Kegiatan teknis

(2)

meliputi pengukuran, mengolah data teknis, yang diukur dilapangan seperti letak tanah, batas bidang tanah, ketentuan fisik tanah dan keadaan bangunan yang ada di atas tanah tersebut.

Sementara tugas administrasi meliputi menelitian keabsahan bukti permulaa, menetapkan serta memutuskan sebagai alat bukti yang dapat di ajukan untuk bukti permulaan. Kemudian mendaftarkannya dan memebrikan bukti haknya yaitu sertifikat. Untuk menghindari adanya bukti kepemilikan tanah ganda, maka tugas administrasi juga penting untuk memelihara rekaman data pendaftaran dan menyimpannya dalam daftar yang dapat dipertanggung jawabkan terhadap semua pihak.

Dalam prakteknya, pada saat pengukuran membutuhkan kehadiran beberapa pihak yaitu:

Pertma, pihak pemerintah yaitu petugas dari BPN yang bertugas untuk melakukan pengukuran, Kedua, pemilik tanah dengan membawa bukti permulaan. Bukti permulaan ini bisa berupa Akta Jual Beli (AJB). Ketiga, pemilik tanah yang berbatasan dengan tanah yang akan diukur.

Keempat, saksi untuk menyaksikan proses pengukuran. Setelah selesai dilakukan pengukuran maka selanjutnya adalah menunggu terbitnya sertifikat tanah dari BPN.

Sesuai Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 1 tahun 2010, lamanya waktu penerbitan sertifkat ditetapkan 98 hari. Adapun biaya pendafataran tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 yaitu Rp100.000,00 untuk badan hukum, dan Rp50.000,00 untuk perorangan. Biaya secara keseluruhan tergantung pada luas tanah, dan lokasi tanah. Kemudian, persyaratan untuk pembuatan sertifikat sesuai lampiran Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010 yaitu formulir permohonan, surat kuasa (apabila dikuasakan), foto copy KTP pemohon atau kuasa (apabila dikuasakan), bukti kepemilikan tanah, foto copy SPPT PBB.(detikFinance, 2014).

BPN sebagai lemabaga pemerintah yang mempunyai tugas melayani masyarakat terkait pendaftaran tanah, dalam pelaksanaan tugasnya mengacu pada empat azas yaitu sederhana, aman, terjangkau, mutahir, dan terbuka. Supriyadi (2016:164) memerinci kelima azas tersebur sebagai berikut: (1) azas sederhana yaitu prosedur pendaftaran tanah mudah dipahami oleh pihak pihak yang berkepentingan; (2) azas aman, pendaftaran tanah dilakukan dengan teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum; (3) azas terjangkau, yaitu pendaftaran tanah harus terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkan, khususnya masyarakat golongan ekonomi lemah; (4) azas Mutahir.

Kepemilikan Tanah

Konsep mengenai hak atas tanah dalam Hukum Agraria Nasional yaitu UUPA. UUPA membagi hak atas tanah mejadi dua bentuk yaitu hak primer dan hak sekunder. Hak primer adalah hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seseorang atau badan hukum yang mempunyai jangka waktu lama, dan dapat dipindah tangankan kepada orang lain, atau ahli warisnya. Sementara hak sekunder adalah hak atas tanah yang bersifat sementara, dalam waktu yang terbatas.(Supriadi:64).

(3)

Terdapat empat hak atas tanah yang termasuk ke dalam hak primer yaitu hak milik (HM), hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai (HP). Penjelasan masing- masing hak tersebut sebagai berikut:

 Hak Milik (HM)

Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh, yang dapat dimiliki seseorang, dan dapat dialihkan kepada pihak lain (Pasal 6 UUPA). Hak turun temurun artinya, hak tersebut melekat selama pemiliknya masih ada atau masih hidup. Jika pemiliknya meninggal dunia, maka tanah tersebut akan beralih kepemilikan kepada ahli warisnya. Yang dimaksud terkuat karena hak milik jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan hak atas tanah lainnya, dan waktu kepemilikannya tidak terbatas, sepanjang hak atas tanah tersebut belum dijual kepada pihak lain, maka tanah hak milik tidak akan berpindah ke pihak lain. Kata terpenuh dalam definisi hak milik, karena pemilik tanah yang berstatus hak milik, pemiliknya mempunyai kewenangan yang sangat luas terhadap tanah miliknya, sepanjang tidak ada pembatasan dari pemerintah. Pembatasan yang dimaksud di sini, misalnya tanah hak milik tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum.

Menurut A.P. Parlindungan (1993), kata-kata terkuat dan terpenuh bermaksud untuk membedakannya dengan hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangun (HGB), Hak Pakai (HP), dan hak lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak miliklah yang “ter” (paling kuat dan penuh). Kepemilikan tanah Hak Milik, selain dari mekanisme jual-beli, waris, Hak Milik juga bisa karena pemberian pemerintah, baik kepada perorangan maupun kepada badan hukum. Yang menjadi dasar pemberian tanah negara menjadi Hak Milik, kepada perseorangan maupun kepada badan hukum yaitu Peraruran Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 6 Tahun 1972 tentang Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah, yang kemudian pada tahun 1999 Permendagri tersebut dirubah dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 3 Tahun 1993 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.Tanah milik negara yang diberikan kepada perorangan untuk pertanian luasnya tidak lebih dari 2 hektar, dan untuk non pertanian luasnya tidak lebih dari 2000 meter persegi, kecuali tanah bekas HGU. Kemudian, tanah diberikan kepada masyarakat untuk mendukung program pemerintah, seperti program transmigrasi.

Meskipun tanah Hak Milik mempunyai kekuatan hukum sangat kuat, yang secara admisnistratif dibuktikan dengan sertifikat, namun tanah Hak Milik karena suatu sebab dapat hapus. Salah satu penyebab hapusnya tanah Hak Milik diatur dalam UUPA, bahwa Hak Milik dapat hapus apabila untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara, dengan ganti kerugian yang layak. Hapusnya Hak Milik juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa demi untuk kepentingan umum Hak Milik boleh dicabut, namun harus disertai dengan ganti kerugian yang wajar, dan ganti kerugian tersebut dibayarkan dengan segera.

(4)

Terkait dengan tanah hak milik mempunyai fungsi sosial, atau tanah hak milik dapat hapus apabila digunakan untuk kepentingan umum, maka hal ini [enting untuk dipahami oleh masyarakat. Apabila masyarakat sudah memahami tentang hal tersebut maka akan mempermudah dalam proses penghapusan tanah masyarakat yang akan digunakan untuk kepentingan umum. Yang dimaksud kepentingan umum di sini adalah kepentingan yang menyangkut sebagian besar masyarakat (Mudakir:2007). Contoh tanah hak milik untuk kepentingan umum, misalnya untuk pembuatan jalan tol atau jalan bukan jalan tol, untuk bandar udadara (bandara), dan sebagainya. Namun demikian, sebelum dilakukan penghapusan atau pembebasan tanah hak milik untuk kepentingan umum, perlu dilakukan penelitian dahulu supaya tidak keliru dalam taksiran harga untuk membayar ganti rugi kepada yang punya hak, sehingga tercapai rasa keadilan.

Ganti rugi menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Pasal 1, yaitu penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik maupun non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena proyek pengadaan tanah. Bentuk ganti rugi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 berupa uang dan/atau tanah, tanah pengganti dan/atau pemukiman kembali, penyertaan modal. Hartono Boedi (1999) menjelaskan, yang dimaksud penyertaan/saham yaitu bekas pemilik tanah bisa diikut sertakan sebagai pemilik modal dalam kegiatan yang berkaitan dengan tanah yang dibebaskannya, tentunya kalau penggunaan tanah itu sendiri ada unsur bisnis atau komersial. Tetapi, kalau penggunaan tanah itu semata-mata untuk kepentingan umum, tidak ada unsur bisnis atau komersial, maka para bekas pemilik tanah tidak bisa memaksa kepada pemerintah untuk menerima dirinya sebagai salah satu pemilik modal. Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden tersebut, diharapkan masyarakat memperoleh kejelasan mengenai hak-haknya apabila suatu saat tanahnya akan digunakan untuk kepentingan umum, sehingga tidak terajdi konflik antara masyarakat dengan pemerintah.

Pada kenyataannya, dalam pembebasan tanah untuk kepentingan umum ada saja masyarakat yang menolak ganti rugi, karena ganti rugi dari pemerintah belum seperti yang diharaapkan, sehingga pemilik tanah bersikukuh mempertahankan haknya. Dalam hal yang demikian, maka perlu dilakukan musyawarah kembali secara berjenjang. Untuk tingkat Pusat, musyawarah dilakukan oleh Menteri yang membidangi pertanahan, dalam hal ini, Menteri/Kepala BPN. Untuk tingkat Provinsi, musyawarah dilakukan oleh Gubernur, dan seterusnya.

Apabila pemilik tanah tidak bersedia musyawarah lagi, maka pemerintah setempat dapat mengusulkan kepada Presiden untuk dilakukan pencabutan hak katas tanahnya, dengan uang ganti rugi yang dititipkan di Pengadilan. Apabila Presiden telah mengeluarkan surat keputusan pencabutan ha katas tanah, maka hak katas tanah tersebut dianggap hapus. Dengan surat keputusan Presiden tersebut, jika pemilik tanah menolak pun, proyek pembangunan untuk kepentingan umum dapat dilanjutkan.

 Hak Guna Usaha (HGU)

(5)

Tanah Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak yang diberikan oleh negara kepada perusahaan pertanian, perikanan atau perusahaan peternakan untuk melakukan kegiatan usahanya di Indonedia, (Kartini Muljadi dan Gunawan Wijaya: 2014). HGU tidak seperti tanah Hak Milik (HM) yang bersifat terkuat dan terpenuh, HGU mempunyai daya berlakunya terbatas yaitu paling lama 25 tahun. Perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan HGU paling lama 35 tahun. Apabila dengan pertimbangan perusahaan ternyata waktu tersebut belum cukup, Pemegang HGU dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk perpanjangan waktu, perpanjangan waktu diberikan paling lama 25 tahun. Apabila waktu perpanjangan selama 25 tahun sudah habis, dapat diperbaharui.

Baik perpanjangan hak maupun pembaharuan hak diberikan apabila semua persyaratan sudah terpenuhi. Persyaratan perpanjangan HGU, dan pembaharuan HGU sama, yaitu:

Pertama, tanah tersebut masih digunakan untuk usaha sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. Artinya, tanah tersebut tidak rusak dan tidak digunakan untuk usaha yang tidak sesuai dengan tujuan.

Kedua, pemohon dapat memenuhi persyaratan tersebut. Ketiga, pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak. Pemohonan perpanjagan maupun pembaharuan diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum HGU berakhir. Adapun yang bisa mempunyai HGU, seperti yang ditetapkan dalam UUPA adalah Warga Negara Indonesia (WNI), dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dengan demikian jelas bahwa orang yang bukan WNI, dan badan hukum yang didirikan bukan menurut Indonesia tidak bisa diberikan HGU oleh negara/pemerintah Indonesia.

Kemudian mengenai hapusnya HGU. Penghaausan HGU seperti halnya penghapusan Hak Milik. HGU bisa hapus karena beberapa sebab, yaitu jangka waktunya sudah berakhir, dihentikan/dibatalkan karena adanya pelanggaran, pemegang hak melepas haknya sebelum waktunya berakhir, dicabut oleh pemerintah untuk kepentingan umum, tanah tersebut ditelantarkan, dan tanahnya musnah.

 Hak Guna Bangun (HGB)

Dalam Pasal 35 UUPA, HGB didefinikan sebagai hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Setelah masa 30 tahun tersebut sudah habis, dapat diperpanjang dalam waktu paling lama 20 tahun, atas permohonan pemegang hak dengan mempertimbangkan keadaan bangunannya. Apabila waktu perpanjangan selama 20 tahun sudah berakhir atau sudah habis, dapat dilakukan pembaharuan HGB di atas tanah yang sama, atas permintaan pemegang hak, dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1) tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai denagn keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut;

2) syarat-syarat pemebrian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak, 4) tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.

(6)

Setelah disetujuinya permohonan pembaharuan, dan pembaharuan tersebut disetujui oleh pemerintah, maka pemegang HGB mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan.

Kewajiban pemegang HGB diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, sebagai berikut:

1) membayar uang masukan yang jumlah dan tata cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya; 2) menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya; 3) memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atanya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup; 4) menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGB kepada negara, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sesudah HGB itu hapus;

5) menyerahkan sertifikat HGB yang telah hapus kepada Kepala Pertanahan.

 Hak Pakai (HP)

Dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa Hak Pakai atas tanah adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasi langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan- ketentuan undang-undang. Hak pakai diberikan dalam jangka waktu tertentu, selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Hak Pakai juga dapat diberikan secara cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun, dan tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur pemerasan. Penting juga untuk dipahami mengenai hak pakai, Pasal 42 UUPA, disebutkan bahwa Hak Pakai hanya dapat diberikan kepada Warga Negara Indonesia (WNI); orang asing yang berkedudukan di Indonesia; badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, dan berkedudukan di Indonesia; badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Berbeda dengan HM, HGU, HGB yang dapat dijadikan jaminan hutang. Hak pakai pada awalnya tidak dapat dijadikan hutang, karena tidak termasuk hak atas tanah yang wajib didaftar. Oleh karena itu, tidak memenuhi syarat untuk dijadikan jaminan hutang. Sesuai perkembangan zaman, tanah negara yang akan menjadi hak pakai harus didaftarkan, dengan telah didadaftarkan maka hak pakai dapat sebagai jaminan hutang. Sebagai contoh, dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 185 tentang Rumah Susun, Hak Pakai Rumah Susun dapat dijadikan jaminan hutang dengan jaminan fidusia.

Selain hak primer seperti yang telah diuraikan di atas, terdapat hak atas tanah yang bersifat sekunder. Hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak atas tanah yang bersifat sementara.

Disebut sementara karena waktu penggunaannya sangat terbatas. Pasal 53 UUPA menentukan yang termasuk hak sekunder atau hak atas tanah yang bersifat sementara yaitu hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian.

(7)

 Hak Gadai Tanah

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang yang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut. Dimana seseorang itu harus menggadaikan barangnya untuk mendapatkan uang.(KUHPer. Pasal 1150). Pengertian hak gadai atas tanah terdapat pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960,

“bahwa tanah-tanah pertanian yang sudah digadai selama 7 (tujuh) atau lebih harus dikembalikan kepada yang empunya tanpa kewajiban untuk membayar tebusan tersebut”.

Ketentuan pasal tersebut memberikan batasan jangka waktu gadai tanah yang digadaikan, dengan maksud agar tidak menimbulkan kerugian pada salah satu pihak.

Dalam kehidupan di masyarakat, karena kebutuhan keuangan untuk suatu keperluan, sedangkan ketersediaan keuangan terbatas bahkan mungkin tidak ada, maka untuk memenuhinya dengan cara menggadaikan apa yang mereka miliki, termasuk menggadaikan tanah. Mengenai jangka waktu gadai, nilai gadai, termasuk mengenai hak mengambil hasil dari tanah yang digadaikan, dilakukan sesuai kesepakatan para pihak.

 Hak Usaha Bagi Hasil

Dalam kehidupan di masarakat yang heterogen, tentu berbeda beda termasuk berbeda dalam status sosial maupun status ekonomi. Ada bekerja di kantor, ada pula yang bekerja sebagai petani atau pedagang. Ada yang kaya, banyak juga yang miskin, dan seterusnya.

Keadaan inilah yang kemudian memunculkan adanya rasa saling membutuhkan satu dengan lainnya. Bagi orang yang kurang berilmu, membutuhkan orang yang berilmu sebagai tempat untuk bertanya tentang hal tertentu. Bagi orang yang tanahnya luas, tidak tergarap, membutuhkan orang untuk menggarap, agar tanahnya produktif atau tidak mubadzir, dan seterusnya. Keadaan seperti ini terjadi di hampir semua pedesaan di Indonesia.

Seseorang yang menggarap tanah orang lain ad acara atau mekanisme yang digunakan, salah satu mekanisme yang digunakan adalah mekenisme hak usaha bagi hasil. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, Pasal 1, huruf (c) yang dimaksud perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apa pun juga yang diadakan antara pemilik pada satu fihak dan seseorang atau badan hukum pada pihak lain yang dalam undang-undang ini disebut “penggarap” berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak. Dalam perjanjian bagi hasil yang diperbolehkan menggarap adalah para petanai yang memiliki tanah atau pun tanah garapannya tidak lebih dari 3 hektare. Perjanjian bagi hasil dibuat bersama sama antara pemilik tanah dan penggarap, secara tertulis dihadapan kepala desa/lurah tempat adanya tanah yang akan digarap, kemudian disyahkan oleh Camat setempat.

Lamanya waktu perjanjian, apabila yang digarap merupakan tanah sawah maka waktu sekurang-kurangnya 3 tahun, dan jika yang diperjanjikan merupakan tanah kering, maka waktu perjanjian sekurang-kurangnya 5 tahun. Apabila waktu perjanjian telah habis, sementara

(8)

masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen, maka perjanjian berjalan terus sampai tanaman tersebut selesai dipanen. Namun demikian, perpanjangan waktu tersebut tidak boleh lebih dari satu tahun. Apabila dalam masa perjanjian penggarap meninggal dunia, maka perjanjian bagi hasil dilanjutkan oleh ahli warisnya. Pemutusan perjanjian bagi hasil sebelum habis masanya, sangat dimungkinkan sepanjang persetujuan kedua belah pihak dengan melaporkan atau memberitahukan kepada kepala desa/lurah setempat.

 Hak Menumpang

UUPA tidak mendefinisikan atau tidak memberikan pengertian mengenai hak menumpang. Menurut Boedi Harsono (2004) hak menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan dan menempati rumah di atas tanah pekarangan milik orang lain. Hak menumpang terjadi karena pihak pemilik tanah percaya kepada seseorang yang akan menumpang. Dalam hak menumpang hampir tidak ada perjanjian antara pemilik tanah dengan pihak yang akan menumpang. Mekipun ada perjanjian tetapi tidak tertulis, tidak ada saksi, dan tidak harus deketahui oleh perangkat desa. Jadi sifatnya lebih kepada kekeluargaan. Secara hukum, hak menumpang jauh dari kepastian hukum dan perlindungan hukum.

Hak menumpang juga tidak mempunyai jangka waktu yang pasti, karena itu hak menumpang dapat diberhentikan sewaktu waktu, tergantung pada pemilik tanah. Seseorang sebagai hak menumpang juga tidak wajib membayar sesuatu atau sewa kepada pemilik tanah, dan tidak wajib didaftarkan ke kantor pertanahan. Hak menumpang bisa dilanjutkan oleh ahli warisnya, tetapi tidak bisa dialihkan kepada pihak lain yang bukan ahli waris.

Seperti hak tanah lainnya, hak menumpang juga dapat hapus. Hak menumpang akan hapus apabila pemilik tanah mengahiri hubungan hukum dengan pemegang hak menumpang, hak milik atas tanah yang ditumpangi dicabut untuk kepentingan umum, pemegang hak melepaskan haknya secara sukarela, yang terahir adalah apabila tanah tersebut musnah.

 Hak Sewa Tanah Pertanian

Hak sewa tanah pertanian adalah suatu perbuatan hukum dalam bentuk penyerahan penguasaan tanah pertanian oleh pemilik tanah kepada pihak lain (penyewa) dalam jangka waktu tertentu dan sejumlah uang sebagai sewa yang ditentukan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak. Hak sewa tanah pertanian bisa terjadi melalui perjanjian yang tidak tertulis ataupun tertulis, dimana didalam perjanjian tersebut memuat unsur-unsur para pihak, obyek, uang sewa, jangka waktu, haak dan kewajiban bagi pemilik tanah pertanian, dan penyewa.

Hapusnya hak sewa tanah apabila jangka waktu sudah berakhir, hak sewanya dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan dari pemilik tanah, kecuali diperbolehkan oleh pemilik tanah. Faktor lain yang dapat menghapuskan hak sewa tanah yaitu hak sewanya dilepaskan secara sukarela oleh penyewa, hak sewa dicabut untuk kepentingan umum. Dan terakhir adalah karena tanahnya musnah.

Konsep hukum tanah Indonesia menyatakan bahwa pada dasarnya seluruh tanah yang ada di Indonesia merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, untuk seluruh masyarakat dan

(9)

bangsa Indonesia. Kemudian, untuk menghindari kekecauan dalam peruntukan atau kepemilikannya diperlukan pengaturan, agar supaya tertib. Apabila tidak diatur, mengingat tanah kian hari nilaianya makin tinggi, dan kebutuhan tanah terus meningkat, sehingga berpotensi menimbulkan terjadinya sikap sewenang-wenang dari pihak tertentu yang berujung pada ketidakadilan. Dengan pembagian hak-hak atas tanah yang secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu hak primer dan hak sekunder, maka secara administratif semua hak atas tanah menjadi lebih jelas, baik peruntukannya maupun si pemegang hak.

Pemahaman masyarakat terkait pembagian hak atas tanah tersebut sangat penting.

Dengan dipahaminya pembagian hak atas tanah tersebut, diharapkan masyarakat akan mematuhi segala ketentuan terkait dengan hak atas tanah, sesuai dengan kapasitas atau kedudukan masing- masing. Kepatuhan masyarakat terhadap ketentuan terkait dengan hak atas tanah diharapkan akan mengurangi konflik yang bersumber dari hak atas tanah.

DAFTAR BACAAN

Harsono Boedi, Hukum Agraria Indonesia,(Jakarta: Jambatan, 2004)

Iskandar Mudakir Syah, Dasar-Dasar Pembebasan Tanah, cet.1 (Jakarta: Jala Permata, 2007) Mulyadi Kartini dan Widjaja Gunawan, Hak-hak Atas Tanah,cet.7 (Jakarta: Prenada Media

Group, 2014).

Lubis Yamin dan Lubis Rahim, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 2012) Subek R dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradya

Paramita, 2004)

Supriyadi, Hukum Agraria, cet.7 (Jakarta: Sinar Grafika, 2016)

Indonesia, Kitab Undang-Undang Agraria dan Pertanahan, (Jakarta: Fokusmedia, 2013) ---, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

(10)

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Suyanto (1999) dalam Dwiyono (2004), pakan yang akan digunakan untuk pembesaran ikan lele ini relatif mudah didapat karena beberapa perusahan pakan telah

Ratna Setyaningsih, M.Si, selaku Kepala Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin

Oleh karena itu dari pengertian diatas bahwa yang dimaksud dengan sewa menyewa (Ija>rah) adalah suatu perjanjian tentang pemakaian dan pengambilan manfaat dari suatu

Saat keluaran jaringan tidak sama dengan keluaran yang diharapkan maka keluaran akan menyebar mundur ( backward) pada lapisan tersembunyi diteruskan ke unit. pada

pertanyaan/penyelidikan untuk konsultasi publik dan rekomendasi atas persetujuan formal dari draf akhir. The Standardisation Committee decides by a positive vote of 70

Tujuan Penelitian untuk mengetahui strategi pengembangan Bandara Internasional Soekarno Hatta dalam peningkatan pelayanan publik di bandara berdasarkan kombinasi dari

Judul Skripsi : Pengaruh Kebijakan Dividen, Kebijakan Hutang, Profitabilitas, dan Ukuran Perusahaan terhadap Nilai Perusahaan (Studi Empiris pada Perusahaan