• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NO. 35 TAHUN 2014 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NO. 35 TAHUN 2014 SKRIPSI"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

UNDANG NO. 35 TAHUN 2014 SKRIPSI

Disusun dan diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

DEARMAN SARAGIH NIM : 140200337

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

NAMA : DEARMAN SARAGIH

NIM : 140200337

DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA

JUDUL SKRIPSI : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NO. 35 TAHUN 2014

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan ciptaan skripsi atau karya ilmiah orang lain;

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah jiplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Medan, Agustus 2018

DEARMAN SARAGIH

NIM : 140200337

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang memberi kemampuan bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan selama kurang lebih empat tahun hingga penulisan skripsi ini.

Bersyukur juga atas karunia-Nya atas segala kasih dan hikmat serta penyertaan- Nya kepada penulis.

Skripsi ini berjudul : “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NO. 35 TAHUN 2014”.

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahan pada strata-I.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada ayah penulis, Paiman Saragih dan Ibu penulis, Arnida Br. Purba beserta abang, kakak dan adik penulis yang senantiasa mendukung dan mendoakan penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, arahan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

(5)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. O.K Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., H.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., Selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Liza Erwina S.H., M.Hum., Selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku Dosen PA dan Dosen Pembimbing I dari penulis mulai dari semester I sampai semester akhir yang senantiasa memberikan nasihat yang membangun dan telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan serta arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

8. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum., Selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan, arahan-arahan serta nasihat kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

9. Seluruh dosen pengajar yang mengabdikan diri untuk mengajar di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara yang turut mendukung segala

perkuliahan penulis selama menjalani urusan perkuliahan.

(6)

10. Seluruh pegawai dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk setiap pelayanan terbaik yang bisa diberikan.

11. Terimakasih kepada seluruh jajaran Kepolisian Resort Kota Besar Medan yang telah menerima dan melayani penulis saat melaksanakan penelitian di Polrestabes Medan.

12. PKK kelompok kecil Caisario J Sirait dan teman-teman kelompok kecil Estomihirogate (Florentino Napitupulu, Yesika Gultom dan Elsabet Siregar) serta segenap keluarga besar PD. Maranatha, bersyukur bisa mengenal Tuhan Allah Yesus Kristus bersama mereka.

13. Segenap keluarga besar DPC PERMAHI (Perhimpunan Mahasiswa Hukum) MEDAN, yang menjadi tempat belajar dan keluarga baru di perantauan serta memberikan sumbangsih dalam pembentukan karakter, sifat dan pola pikir penulis selama menjalani masa perkuliahan

14. Segenap keluarga besar IMAS-USU (Ikatan Mahasiswa Simalungun Universitas Sumatera Utara) yang menjadi tempat belajar serta memberikan sumbangsih dalam pembentukan karakter, sifat dan pola pikir penulis selama menjalani masa perkuliahan.

15. Terimakasih kepada kawan-kawan seperjuangan Sarmeli “Fals” Manalu, Bintang “Barbel” Manurung, Swandi “CowBoy” Hutabarat, Mulyadi

“Reggae” Sihombing, Martin “SiGaorDodak” Siahaan, Sara “ApaYa?”

Sihotang, Andre “Getek” Pasaribu, Rio “MrJarwok” Firmando, Jupiter

“Jupiluka” Zalukhu.

16. Terimakasih kepada kawan-kawan Personil PTT Panitia Natal FH USU

2017 dan kepada seluruh Panitia Natal FH USU 2017 yang telah memberi

(7)

warna tersendiri dalam sejarah kehidupan penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

17. Terima Kasih Kepada Seluruh Mahasiswa FH USU angkatan 2014 yang pastinya sangat banyak memberikan sumbangsih pembentukan cara pandang dan pola pikir penulis kearah yang lebih baik, semoga Tuhan pemilik nafas kehidupan mengulurkan tangan dan mencurahkan rahmat kepada kita semua dimanapun berpijak.

18. Dan semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu.

Penulis juga manusia biasa yang tidak lepas dari kekurangan maka dari itu penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis akan sangat berterimakasih jika ada kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Agustus 2018 Penulis,

Dearman Saragih

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

ABSTRAK ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LatarBelakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

1. Perlindungan Anak ... 9

a. Pengertian Anak ... 13

b. Hak-Hak Anak ... 16

c. Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual Terhadap Anak ... 24

2. Korban ... 31

a. Pengertian Korban ... 31

b. Jenis Korban ... 33

c. Ruang Lingkup Korban ... 40

3. Pengertian Tindak Pidana ... 42

F. Metode Penelitian... 47

(9)

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERSAN SEKSUAL DI

INDONESIA... 51

A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ... 51

B. Diluar KUHP ... 53

a. UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 53

b. UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ... 57

c. UU No. 31 Tahun 2104 Tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban ... 60

d. UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 65

BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI KOTA MEDAN ... 70

A. Faktor Internal ... 76

B. Faktor Eksternal ... 77

BABIV UPAYA DAN HAMBATAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI KOTA MEDAN ... 79

A. Upaya Kepolisian Dalam Pemberian Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Kota Medan ... 79

B. Hambatan Kepolisian Dalam Pemberian Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Kota Medan... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94

(10)

LAMPIRAN

Lampiran I HasilWawancara Lampiran II SuratRisetdariFakultas

Lampiran III Surat Bukti Riset dari UPPA SatResKrim Polrestabes Medan

(11)

ABSTRAKSI Dearman Saragih*

1

Liza Erwina**

Marlina***

Anak tidak terpisahkan dari keberlangsungan sebuah bangsa dan negara.

Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Dalam hal apapun, yang selalu harus diutamakan adalah kepentingan terbaik bagi anak, khususnya ketika anak menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual.

Menyadari bahwa anak merupakan bagian yang sangat penting bagi kelangsungan dan kualitas hidup serta masa depan bangsa, sudah seharusnya kejahatan terhadap kekerasan seksual terhadap anak segera ditanggulangi secara memadai dan memberikan jaminan akan perlindungan hak-hak anak sebagai korban tindak pidana. Permasalahan yang diambil dari latar belakang tersebut adalah bagaimana pengaturan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual, apa faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak di Kota Medan serta hambatan dan upaya kepolisian dalam penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak di Kota Medan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris yang dilakukan melalui penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan yang didasarkan pada data primer dan data sekunder.

Pengaturan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual tertuang dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan kekerasan seksual terhadap anak pada KUHP, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhdap anak di Kota Medan adalah faktor internal: riwayat pelecehan seksual masa lalu pelaku, benci terhadap anak-anak, kelainan seksual dari pelaku; dan faktor eksternal: keluarga yang tidak harmonis, pengawasan yang kurang pada anak, penggunaan media yang tidak terkontrol, bentuk permainan yang menyimpang, pendidikan seksual yang tidak tepat, pengaruh lingkungan, kurangnya pendidikan moral dan agama. Upaya yang dilakukan Polrestabes Medan dalam perlindungan anak sebagai korban kekerasan seksual terdiri dari upaya preventif dan represif. Adapun hambatan Polrestabes Medan dalam pemberian perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan seksual adalah korban tidak dan kurang cepat melapor, jumlah penyidik UPPA Polrestabes Medan kurang, anak sulit dimintai keterangan, pelaku cenderung dilindungi keluarganya.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(12)

A. Latar Belakang

Anak merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang sejak dalam kandungan sudah mempuyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.

1

Selain itu, anak merupakan generasi penerus bangsa Indonesia, yang mempunyai hak dan kewajiban serta mampu membangun negaradan bangsa Indonesia. Anak adalah modal pembangunan yang akan memelihara dan mempertahankan pengembangan bangsa.

2

Anak harus dijaga dan diperlakukan dengan baik supaya masa depan anak yang gemilang dan mampu meraih cita-citanya. Mengingat pentingnya peran anak, hak anak secara tegas telah diatur dalam Undang-Undang Dasar yang menyatakan bahwa Negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan perlindungan dari kekerasan diskriminasi.

Hak asasi anak diperlakukan berbeda dari orang dewasa, karena anak sejak masih dalam kandung, melahirkan, tumbuh dan berkembang sampai menjadi orang dewasa, masih dalam keadaan tergantung belum mandiri dan memerlukan perlakuan khusus baik dalam gizi, kesehatan, pendidikan, keamanan, bebas dari rasa ketakuan bebas dari rasa kekhawatiran maupun kesejahteraannya.

3

Saat ini ada banyak kecenderungan meluas di Indonesia mengenai bagaiamana anak diperlakukan dan bagaimana terabaikannya mereka menjadi korban kekerasan atas perlakuan yang

1 Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Restu Agung, 2007, hal.1.

2 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta : Akademi Pressindo, 1985, hal.123.

3 H.R.A. Abussalam,Hukum Perlindungan Anak Jakarta: PTIK, 2014, hal.2.

(13)

tidak semestinya.

4

Untuk itu anak dalam pertumbuhan dan perkembangan memerlukan perhatian dan perlindungan khusus baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara.

Pergaulan manusia dalam interaksi sosial masyarakat telah menimbulkan berbagai pelanggaran hukum berupa kejahatan atau tindak pidana, salah satunya adalah tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak ini merupakan suatu masalah yang sangat penting karena yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual adalah anak dibawah umur, dimana anak dibawah umur masih dalam pengasuhan orangtua, anak sebagai tunas bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa harus diperhatikan, dilindungi dan dijaga dari segala tindakan yang merugikan.

Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia dari tahun 2010 hingga tahun 2014 tercatat sebanyak 21.869.797 kasus pelanggaran hak anak, yang tersebar di 34 provinsi, dan 179 kabupatan dan kota. Sebesar 42-58% dari pelanggaran hak anak itu, katanya, merupakan kejahatan seksual terhadap anak. Selebihnya adalah kasus kekerasan fisik, dan penelantaran anak. Data dan korban kejahatan seksual terhadap anak setiap tahun terjadi peningkatan. Pada 2010, ada 2.046 kasus, diantaranya 42% kejahatan seksual.

Pada 2011 terjadi 2.426 kasus (58% kejahatan seksual), dan 2012 ada 2.637 kasus (62% kejahatan seksual). Pada 2013, terjadi peningkatan yang cukup besar yaitu 3.339 kasus, dengan kejahatan seksual sebesar 62%. Sedangkan pada 2014 (Januari-

4 Abu Huraerah, Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak), Bandung, Penerbit NUANSA, 2007, hal.3.

(14)

April), terjadi sebanyak 600 kasus atau 876 korban, diantaranya 137 kasus adalah pelaku anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia juga menemukan banyak aduan kekerasan pada anak pada tahun 2010. Dari 171 kasus pengaduan yang masuk, sebanyak 67,8 persen terkait dengan kasus kekerasan. Dan dari kasus kekerasan tersebut yang paling banyak terjadi adalah kasus kekerasan seksual yaitu sebesar 45,7 persen (53 kasus). Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat, jenis kejahatan anak tertinggi sejak tahun 2007 adalah tindak sodomi terhadap anak.

Tahun 2007, jumlah kasus sodomi anak, tertinggi di antara jumlah kasus kejahatan anak lainnya. Dari 1.992 kasus kejahatan anak yang masuk ke Komnas Anak tahun itu, sebanyak 1.160 kasus atau 61,8 persen, adalah kasus sodomi anak. Dari tahun 2007 sampai akhir Maret 2008, jumlah kasus sodomi anak sendiri sudah naik sebesar 50 persen.

5

Ketua umum Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengungkapkan, data menunjukkan bahwa pihaknya menerima pengaduan 3.339 kasus kekerasan pada anak di tahun 2016. Sementara pada 2017, Komnas PA menerima pengaduan sebanyak 2.737 (52% kejahatan seksual) kasus kekerasan pada anak yang mengalami penurunan bila dibandingkan pada tahun 2016.

6

Di Kota Medan sendiri, merujuk pada data Kepolisian Resort Kota Besar Medan mengenai kasus kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani unit PPA Polrestabes Medan dari Tahun 2015 sampai dengan pertengahan 2018, penulis akan

5 https://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_seksual_terhadap_anak_di_Indonesia, diakses pda tanggal 8 Februari 2018.

6 https://m.viva.co.id/amp/gaya-hidup/parenting/991216-hampir-3-000-kasus-kekerasan-anak- terjadi-di-tahun-2017, diakses pada tanggal 20 Agustus 2018 pikul 17.05 WIB.

(15)

menguraikan data kasus kekerasan seksual terhadap anak dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Jumlah Kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak yang Ditangani Oleh Unit PPA Polrestabes medan

No. Tahun Jumlah Korban Laki-Laki Korban

Perempuan

1. 2015 101 1 100

2. 2016 117 1 116

3. 2017 98 3 95

4. Per Bulan Juni 2018

35 1 34

Total 351 6 345

Sumber: Polrestabes Medan, 2018

Secara umum tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah kasus tindak pidana

kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani Unit PPA Polrestabes Medan

mengalami kenaikan pada tahun 2016 bila dibandingkan pada tahun 2015. Pada tahun

2015 tercatat sebanyak 101 kasus, sedangkan pada tahun 2016 tercatat sebanyak 116

kasus. Kemudian pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 2017, kasus tindak pidana

kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani oleh Unit PPA Polrestabes Medan

mengalami penurunan dibanding dua tahun sebelumnya yaitu hanya tercatat 95 kasus.

(16)

Kemudian sampai pertengahan tahun 2018 ini tercatat sebanyak 35 kasus dan memiliki potensi jumlah yang bertambah sampai di penghujung tahun 2018.

Sampai pertengahan tahun 2018, jumlah kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak pada tahun 2016 merupakan jumlah yang paling banyak ditangani oleh Unit PPA Polrestabes Medan dalam tiga tahun terakhir. Sedangkan yang paling sedikit adalah di tahun 2017. Melihat hasil dari jumlah kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak diatas dapat disimpulkan bahwa rata-rata tiap tahun di Kota Medan terdapat lebih dari 100 anak yang dieksploitasi secara seksual setiap tahunnya. Hal yang paling menarik perhatian disini adalah terdapat selisih yang sangat besar antara korban laki-laki dan perempuan dimana sebagian besar dari total keseluruhan yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak adalah perempuan. Hal ini semakin mendukung pernyataan yang mengatakan bahwa kekerasan seksual adalah momok menakutkan yang selalu mengincar perempuan.

Kasus tindak pidana berupa data diatas, anak seharusya ditempatkan sebagai

objek perlindungan dari semua kalangan mengingat mereka (anak) adalah pihak yang

lemah baik secara kejiwaan, fisik dan mental. Masalah kekerasan seksual di

Indonesia, khususnya terhadap anak perlu mendapatkan perhatian lebih intensif dan

serius lagi. Hal ini mengingat terdapat kecenderungan bahwa korban anak sering

terabaikan oleh lembaga-lembaga kompeten dalam sistem peradilan pidana yang

seharusnya memberikan perhatian dan perlindungan yang cukup berdasarkan hukum.

(17)

Hal tersebut tidak seharusnya terjadi mengingat korban tetap mempunyai hak untuk diperlakukan adil dan dilindungi hak-haknya.

7

Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dan dalam bidang kehidupan dan penghidupan lainnya. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam pelaksanaan Peradilan Pidana Anak yang asing bagi dirinya.

8

Menyadari bahwa anak merupakan bagian yang sangat penting bagi kelangsungan dan kualitas hidup serta masa depan bangsa, sudah seharusnya kejahatan terhadap kekerasan seksual terhadap anak segera ditanggulangi secara memadai dan memberikan jaminan akan perlindungan hak-hak anak korban tindak pidana karena anak sangat membutuhkan perlindungan demi pemenuhan akan hak asasi manusia yang dimiikinya sejak lahir.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat skripsi ini dengan judul Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Ditinjau Dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2014

7 Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Ramai), Bandung:

PT. Alumni, 2006, hal. 1.

8 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bndung, PT. Refika Aditama, 2014, hal. 3.

(18)

B. Perumusan Masaah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, adapun perumusan masalah di skripsi ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang perlindungan anak korban tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia ?

2. Apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di Kota Medan?

3. Bagaimanakah upaya dan hambatan Kepolisian Resort Kota Besar Medan dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Pada umumnya tujuan adalah menetapkan suatu target dari suatu pekerjaan sebagai dasar untuk mencapai hasil yang diharapkan, oleh sebab itu perlu dirumuskan apa saja yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di Kota Medan.

3. Untuk mengetahui Upaya dan hambatan Kepolisian Resort Kota Besar Medan

dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan seksual.

(19)

2. Manfaat Penulisan

Dengan adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana. Hasil dari pelaksanaan penelitian sudah selayaknya akan dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis saja, tetapi juga dapat bermanfaat bagi semua pihak terkait dalam penulisan skripsi ini, untuk itu saya memaparkan tentang hal-hal yang menurut saya akan memberikan manfaat dari penulisan skripsi ini antara lain :

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan penambahan ilmu bagi para pembaca khususnya para kalangan akademis dan pihak-pihak yang terkait dengan topik penulisan ini. Penulisan ini juga diarapkan berguna dan bermanfaat sebagai bahan acuan untuk perkembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dan apabila memungkinkan dapat bermanfaat bagi perkembangan undang-undang di Indonesia.

b. Manfaat Praktis

1. Penulisan skripsi ini dapat memperluas pengetahuan tentang penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan dilapangan, serta menambah khasanah ilmu hukum pidana tentang perlindungan terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual.

2. Bagi para pembuat peraturan diharapkan penulisan skripsi ini dapat dijadikan

salah satu masukan dalam membua peraturan mengenai perlindungan hukum

terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual.

(20)

3. Bagi masyarakat, penuisan skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat luas dalam hal perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual.

D. Keaslian Penulisan

Setelah ditelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana, belum ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul dan permasalahan yang akan diangkat yaitu tetntang, “Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Ditinjau Dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak” Peulisan skripsi ini adalah asli dari ide, pemikiran, gagasan dan usaha penulis sendiri tanpa adanya penjiplakan dari hasil karya orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, namun apabila terdapat kesamaan maka penulis siap bertanggungjawab sepenuhnya atas keaslian penulisan skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Perlindungan Anak

Sesungguhnya hukum dapat dilihat dari delapan arti, yaitu hukum dalam arti

penguasa, hukum dalam arti petugas, hukum dalam arti sikap tindakan, hukum dalam

arti sistem kaidah, hukum dalam arti jalinan nilai, hukum dalm arti tata hukum,

hukum dalam arti ilmu hukum, hukum dalam arti disiplin hukum. Beberapa arti

hukum dari berbagai macam sudut pandang dapat digambarkan bahwa hukum tidak

semata-mata peraturan perundang-undangan tertulis dan aparat penegak hukum

(21)

seperti yang selama ini dipahami oleh masyarakat umum yang tidak tahu tentang hukum. Tetapi hukum juga meliputi hal-hal yang sebenarnya sudah hidup dalam pergaulan masyarakat.

9

Perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang. Perlindungan juga mengandung makna pengayoman yang diberikan oleh seseorang terhadap orang yang lebih lemah. Perlindungan hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk member perlindungan kepada warga negaranya agar hak-haknya sebagai seorang warganegara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.

Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindugan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

10

Konsep perlindungan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menekankan bahwa perlindungan merupakan upaya dalam pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh lembaga perlindungan saksi dan korban atau lembaga lainnya. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak

9 Soedjono Dirdjosisworo ,Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 25

10 Rahayu, 2009, Pengangkutan Orang, etd.eprints,ums.ac.id., diakses pada hari Kamis, 31 Mei 2018 pukul 13.00 Wib.

(22)

yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh Undang-Undang kepada pelaku kejahatan. Membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tapa memperhatikan pula hak-hak korban.

11

Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis dan bantuan hukum. Ganti rugi adalah sesuatu yang diberikan kepada pihak yang menderita kerugian sepadan dengan memperhitungkan kerusakan yang dideritanya.

12

Terdapat perbedaan antara kompensasi dan restitusi, jika kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjwaban masyarakat atau negara (the responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertangungjawaban pidana.

13

Perlindungan korban dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkrit (langsung). Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan). Perlindungan yang

11 Andi Hamzah, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bina cipta, bandung, 1986, Hal. 33

12Jeremy Bentham, Teori Perundang-undangan Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Nusamedia & Nuansa, Bandung, 2006, Hal 316.

13 Arif Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Normadan Realit, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, Hal 31.

(23)

konkrit pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materi maupun non-materi.

Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup pembebasan dari ancaman, dari pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan.

Pengertian perlindugan korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu:

14

a. Dapat diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana, (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang)

b. Dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana, (jadi identik dengan penyantunan korban)

Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan soisal), dan sebagainya. Pada konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksana pidana. Adapaun asas-asas yang dimaksud sebagai berikut:

15

14 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2007, Hal. 61.

15 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, Hal. 30

(24)

1. Asas manfaat

Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetap juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat

2. Asas keadilan

Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melidungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan.

3. Asas keseimbangan

Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitution in integrum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban.

4. Asas kepastian hukum

Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan.

a. Pengertian Anak

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak terdapat

pengaturan yang tegas tentang kriteria batasan usia anak. Berbeda peraturan

perundag-undangan berbeda pula kriteria anak dalam peraturan perundang-undangan

(25)

tersebut. Adapun Pengertian anak menurut ketentuan Peraturan Perundan-undangan di Indonesia adalah sebagai berikut :

1) Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3029) tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tidak secara eksplisit mengatur mengenai batas usia anak. Akan tetapi bila dilihat dalam Pasal 153 ayat ayat (5) KUHAP menyebutkan bahwa Hakim Ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur 17 Tahuntidak diperkenankan menghadiri sidang. Selanjutnya dalam Pasal 171 KUHAP menyebutkan bahwa batasan usia anak di sidang pengadilan yang boleh diperiksa tanpa sumpah dipergunakan batasan usia di bawah 15 tahun.

16

2) Didalam ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

17

3) Didalam ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

18

16 Angger SIgit Pramukti & Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2015, hal. 7.

17 Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

18 Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(26)

4) Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteran anak, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahu dan belum pernah kawin.

19

5) Dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa anak adalah tiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih didalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentinganya.

20

6) Didalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tetang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum selanjutnya disebut anak adalah yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

21

7) Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional memberlakukan wajib belajar 9 tahun, yang dikonotasikan menjadi anak yang berusia 7 sampai 15 tahun.

22

8) Didalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Noor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

19 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteran anak

20 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

21 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tetang Sistem Peradilan Pidana Anak

22 M. Nasir Djamil, Anak Bukan untuk Dihukum :Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA)ra, Jakarta : Sinar Grafika, 2013, hal. 10.

(27)

Anak disebutkan bahwa anak adalah seorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masuk dalam kandungan.

23

Hadi Supeno mengungkapkan bahwa semestinya setelah lahir Undang- Undang Perlindungan Anak yng dalam strata hukum dikategorikan sebagai lex specialist, semua ketetuan lainnya tentang defenisi anak harus disesuaikan, termasuk kebijakan yang dilahirkan serta berkaitan dengan pemenuhan hak anak.

24

Peraturan perundang-undangan yang ada memang sudah seharusnya memliki satu (mono) defenisi sehingga tidak akan menimbulkan tumpang tindih peraturan perundang- undangan yang ada pada tataran praktis akan membuat repot penyelenggara pemerintahan. Untuk itu, Undang-Undang Perlindungan Anak memang seyogiyanya menjadi rujukan dalam menentukan kebijakan yang berhubungan dalam pemenuhan hak anak.

25

b. Hak-Hak Anak

Anak sebagai sebuah pribadi yang sangat unik da memiliki ciri yang khas.

Walaupun dia dapat bertindak berdasarkan perasaan, pikiran dan kehendaknya sendiri, ternyata lingkungan sekitar mempuyai pengaruh yang cukup besar dalam membentuk perilaku seorang anak. Untuk itu bimbingan, pembinaan dan perlindungan dari orang tua, guru serta orang dewasa lainnya sangat dibutuhkan oleh anak didalam perkembangannya.

26

Dalam pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan anak disebutkan bahwa hak anak adalah bagian

23 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang- Undang Noor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak.

24 Hadi Supeno dikutip dari : M. Nasir Djamil, Op Cit, hal. 10.

25 Ibid, hal. 11.

26 Di dalam Naskah Akademis Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

(28)

dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah dan pemerinta daerah.

27

Pasal 16 ayat (3) Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) menentukan bahwa keluarga adalah kesatuan alamiah dan mendasar dari masyarakat dan berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara. DUHAM adalah instrumen internasioanal HAM yang memiliki sifat Universal, dalam arti setiap hak- hak yang diatur didalamnya berlaku untuk semua umat manusia tanpa terkecuali, dengan demikian sudah pasti pemenuhannya tidak ditentukan oleh batas usia. Anak sebagai bagian dari keluarga memerlukan pemeliharaan dan perlindungan khusus dan tergantung pada bantuan dan pertolongan orang dewasa, terutama pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya. Dalam pemenuhan haknya, seorang anak tidak dapat melakukannya sendiri disebabkan kemampuan dan pengalamannya yang masih terbatas. Orang dewasa, khususnya orang tua memegang peranan penting dalam memenuhi hak-hak anak.

Konstitusi Indonesia, UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi telah menggariskan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

28

Dengan dicantumkannya hak anak tersebut dalam batang tubuh konstitusi maka bisa diartikan bahwa kedudukan dan perlindungan hak anak merupakan hal penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dijalankan dalam kenyataan sehari-hari.

27 Pasal angka 12 UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

28 Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.

(29)

Didalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dirumuskan 15 Pasal yang khusus merumuskan hak-hak anak, karena pembentuk UU menyadari bahwa anak merupakan kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Lebih lanjut pengaturan hak-hak anak di Indonesia saat ini, juga diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden No. 36 tahu 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Dalam Pasal 1 buir 12 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sendiri merupakan bentuk konkretisasi dari pelaksanaan Konvensi Hak-Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Sebagaimana telah disebutkan, upaya perlindungan hak-hak anak di Indonesia telah diakomodir dalam UUD 1945 Pasal 28B ayat (2) sebagaimana telah disebutkan diatas, juga dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak, hak-hak anak secara umum dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, antara lain

29

:

29 Mohammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, Hal. 35.

(30)

1. Hak untuk kelangsungan hidup (The Right To Survival) yaitu hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (The Right Of Life) dan hak utuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Hak ini antara lain termuat dalam Pasal-Pasal berupa :

a) Hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan sejak dilahirkan;

b) Hak anak untuk hidup bersama orangtuanya, kecuali kalau hal ini dianggap tidak sesuai dengan kepentingan terbaiknya;

c) Kewajiban Negara untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk salah perlakuan (abuse);

d) Hak anak-anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus;

e) Hak anak untuk menikmati standar kehidupan yang memadai, dan tanggung jawab utama orang tua, kewajiban negara utuk memenuhinya;

f) Hak anak atas pendidikan dan kewajiban negara untuk menjamin agar pendidikan dasar disediakan secara cuma-cuma dan berlaku wajib;

g) Hak anak atas perlindumgan dari penyalahgunaan obat bius dan narkotika;

h) Hak anak atas perlindungan eksploitasi dan penganiayaan seksual, temasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi;

i) Kewajiban Negara untuk menjajagi segala upaya guna mencegah penjualan, penyelundupan dan penculikan anak.

2. Hak terhadap perlindungan (Protection Rights) yaitu hak-hak dalam konvensi hak

anak yang meliputi hak perlidungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan

(31)

keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi. Hak ini terdiri dari atas 3 (tiga) kategori, antara lain :

a) Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu nondiskriminasi terhadap hak-hak anak, hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan dan hak anak penyandang;

b) Larangan eksploitasi anak, misalnya hak berkumpul dengan keluarganya, kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah perlakuan oleh orang tua atau orang lain, perlindungan bagi anak yatim, kewajiban negara utuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan atau perkembangan anak, larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, pidana mati, seumur hidup dan penahanan semena-mena.

3. Hak untuk tumbuh kembang (Development Rights) yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan nonformal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak (the rights of standart of living).

Beberapa hak-hak untuk tumbuh kembang ini, yaitu :

a) Hak untuk memperoleh informasi (the rights of information);

b) Hak memperoeh pendidikan (the rights of education);

c) Hak bermain dan rekreasi (the rights to play and recreation);

d) Hak berpartisipasi dalam kegiatan budaya (the rights to participation in cultural activities);

e) Hak untuk kebebasan berpikir (conscience), dan beragama (the rights to

thought and religion);

(32)

f) Hak untuk pengembangan kepribadian (the rights to personality development);

g) Hak untuk memperoleh identitas (the rights to identity);

h) Hak memperoleh kesehatan dan fisik (the rights healt and physical development);HAk untuk didengar pendapatnya (the rughts to be heard);Hak untuk/atas keluarga (the rights to family).

4. Hak untuk berpartisipasi (Participation Rights), yaitu hak-hak anak yang meliputi hak untuk menyaakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of a child to express her/his views freely in all matters affecting the child).

Hak untuk berpartisipasi juga merupakan hak anak mengenai identitas budaya mendasar bagi anak, masa kanak-kanak dan pengembangan keterlibatannya di dalam masyarakat luas. Hak ini member makna bahwa anak-anak ikut memberikan sumbangan peran, antara lain :

a) Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya;

b) Hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi serta untuk berekspresi;

c) Hak anak untuk berserikat dan menjalin hubungan untuk bergabung;

d) Hak anak unuk memperoleh akses informasi yang layak dan terlindung dari informasi yang tidak sehat.

Hak-hak anak di Indonesia secara umum ditentukan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, antara lain

30

:

30 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

(33)

a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;

b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diridan status kewarganegaraan;

c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua;

d. Setiap anak berhak untuk mengeahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;

e. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mentas, spiritual dan sosial;

f. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tigkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya;

g. Bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus;

h. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan membertikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan;

i. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul,

dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat,

bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri;

(34)

j. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial;

k. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya;

l. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir;

m. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan dan pelibatan dalam peperangan;

n. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusawi;

o. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum;

p. Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir;

q. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan

secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh

bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya

(35)

hukum yang berlaku, dan membela diri serta memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum;

r. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku yang kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan;

s. Setiap anak yang menjadin korban pornografi, penculikan, kejahatan, perdagangan, kekerasan fisik dan/atau psikis, kejahatan seksual, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual serta anak yang berhadapan dengan hukum berhak mengajukan kepengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan; dan

t. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapat bantuan hukum dan bantuan lainnya

c. Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Kekerasan seksual merupakan permasalahan yang serius di hadapi peradaban modern saat ini, karena adanya tindakan kekerasan seksual menunjukan tidak berfungsinya suatu norma pada diri seseorang (pelaku) yang mengakibatkan dilanggarnya suatu hak asasi dan kepentingan orang lain yang menjadi korbannya.

Komnas Perlindungan Anak dan Perempuan menyebutkan beberapa bentuk kekerasan seksual diantaranya Perkosaan, Pelecehan seksual, Eksploitasi seksual, Penyiksaan seksual, Perbudakan seksual serta Intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perksoaan.

31

31http://www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2013/12/Kekerasan-Seksual- Kenalidan-Tangani.pdf diakses pada Minggu, 23 Februari 2018, Pukul.19.30 WIB

(36)

Bentuk kekerasan seksual diatas disebutkan adanya pelecehan seksual. Di dalam masyarakat secara umum biasanya menyamakan kekerasan seksual dengan pelecehan seksual dengan suatu tindakan yang sama. Pelecehan seksual dengan kekerasan seksual bisa dikatakan hampir sama, akan tetapi sesungguhnya pelecehan seksual sebenarnya merupakan bagian dari bentuk kekerasan seksual seperti yang disebutkan oleh Komnas Perlindungan Anak dan Perempuan tersebut diatas, namun di dalam hukum pidana tidak di perkenalkan istilah pelecehan seksual melainkan kekerasan seksual saja yang di bagi menjadi persetubuhan dan pencabulan, sebab pelecehan seksual merupakan bahasa yang akrab di masyarakat.

Pelecehan seksual adalah perilaku yang bersifat seksual yang tidak diinginkan dan tidak dikehendaki oleh penerima atau korbanya dan berakibat mengganggu diri penerima pelecehan, perilakunya yang dapat digolongkan sebagai tindakan pelecehan seksual seperti pemaksaan melakukan kegiatan seksual, pernyataan merendahkan yang berorientasi seksual atau seksualitas, lelucon yang berorientasi seksual, permintaan melakukan tindakan seksual yang disukai pelaku dan juga ucapan atau perilaku yang berkonotasi seksual, tindakan-tindakan tersebut dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung (implicit).

32

Bentuk pelecehan seksual sesuai dengan pernyataan diatas dapat dikategorikan menjadi:

a. Pelecehan seksual verbal

32 N.K. Endah Trwijati, Pelecehan Seksual : Tinjauan Psikologis, fakultas pskologi Universitas Surabaya, Savy Amira Women’s Crisis Center, Hlm.1. diakses pada 23 februari 2018, pukul 19.45 WIB

(37)

wujud pelecehan seksual secara verbal lebih dilakukan dengan wujud ucapan/perkataan yang ditujukan pada orang lain namun mengarah pada sesuatu yang berkaitan dengan seksual, pelecehan ini dapat berwujud seperti :

1) Bercandaan, menggoda lawan jenis atau sejenis, ataupun mengajukan pertanyaan seputar seksual didalam diskusi atau obrolan yang tidak dikhususkan membahas seputar seksual.

2) Menyampaikan atau menanyakan pada orang lain tentang keinginan secara seksual ataupun kegiatan seksual yang pernah dilakukan oleh orang tersebut, yang membuat orang itu tidak nyaman.

3) Mengkritik atau mengomentari bentuk fisik yang mengarah pada bagian-bagian seksualitas, misalnya bentuk bokong ataupun ukuran kelamin seseorang.

b. Pelecehan seksual non verbal

Bentuk pelecehan non verbal merupakan kebalikan dari verbal apabila dalam pelecehan verbal adalah menggunakan kata-kata ataupun ajakan berbentuk tulisan dalam katagori non verbal ini lebih menggunakan tindakan akan tetapi tidak bersentuhan secara langsung antara pelaku dengan korbanya, misalnya:

1) Memperlihatkan alat kelamin sendiri dihadapan orang lain baik personal ataupun dihadapan umum,

2) Menatap bagian seksual orang lain dengan pandangan yang menggoda, 3) Menggesek-gesekkan alat kelamin ke orang lain.

c. Pelecehan seksual secara fisik

Dalam katagori ini pelecehan seksual antara pelaku dan korban sudah terjadi

kontak secara fisik, dapat digolongkan perbuatan yang ringan dan berat misalnya:

(38)

1) Meraba tubuh seseorang dengan muatan seksual dan tidak diinginkan korban.

2) Perkosaanatau pemaksaan melakukan perbuatan seksual.

3) Memeluk, mencium atau menepuk seseorang yang berorientasi seksual.

Bentuk lain pelecehan seksual pada anak selain yang dilakukan oleh orang dewasa dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:

a. Inces

Perilaku seksual yang dilakukan dalam lingkup keluarga dekat dimana dalam keluarga dekat tidak diperbilehkan adanya hubungan perkawinan, misalnya ayah dengan anak, ibu dengan anak, saudara kandung, kakek atau nenek dengan cucu dan juga berlaku antara paman dengan keponakan atau bibi dengan keponakan.

33

Selain dengan adanya hubungan darah hal ini berlaku juga pada hubungan perkawinan misalnya anak dengan ayah atau ibu tiri.

34

Dampak dari inces selain meninggalkan trauma, mengganggu perkembangan anak karena belum waktunya melakukan aktifitas seksual juga akan merusak garis keturunan apabila anak korban pelecehan seksual tersebut hingga mengalami kehamilan, tentunya akan mengalami kebingungan dalam silsilah keluarga dan akan mendapat cemoohan dari masyarakat sekitar.

b. Pedofilia

Kelainan seksual yang ditandai dengan rasa ketertarikan terhadap seksual orang yang telah masuk dalam usia dewasa terhadap anak-anak, hal ini bisa diakibatkan

33 Fausiah Fiti dan Julianti Widury, , Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, Jakarta, Universitas Indonesia Press. 2005, hal.62

34 Sri Maslihah, Play Therapi Dalam Identifikasi Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak, Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia. 2013, hal.24.

(39)

karena 2 faktor yaitu akibat pengalaman masa kecil seseorang yang tidak mendukung tingkat perkembangannya atau pengalaman seseorang yang pada masa kecilnya yang pernah menjadi korban pelecehan oleh seorang pedofil juga.

35

Penderita pedofilia belum tentu memiliki kecenderungan melakukan aksi pelecehan seksual terhadap anak sebab beberapa di antaranya hanya memliki ketertarikan saja namun tidak melakukan tindak pidana seperti kekerasan seksual pada anak.

c. Pornografi anak

Layaknya pornografi pada umumnya pornografi pada anak juga hampir sama, hanya saja anak-anak yang menjadi objek atau subjek dari pornografi tersebut, contoh sederhana adalah anak-anak di paksa melihat atau mendengar gambar, video, atau tindakan seksual secara nyata bahkan termasuk membaca tulisan- tulisan yang mengarah pada aktivitas seksual, hal ini karena patut diduga bahwa seorang anak belum sewajarnya menerima informasi seksual. Pornografi di Indonesia sendiri di atur dalam UndangUndang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”. Sehingga pornografi dapat masuk dalam jajaran pelecehan seksual

35 Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak, Yogyakarta, Pustaka Yustisia. 2015, hal. 4.

(40)

anak apabila si anak dipaksa melihat atau menjadi hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 tersebut diatas.

d. Extrafamilial sexual abuse

Berbeda dengan inces, perbedaan terletak pada pelaku kejahatannya. Extrafamilial sexual abuse dilakukan bukan dalam lingkup keluarga melainkan dalam lingkup umum seperti sekolah, penitipan anak, ataupun tempat bermain. Dalam kategori ini sudah banyak sekali contoh yang terjadi di masyarakat misalnya kasus pelecean seksual di Jakarta International School (JIS) yang justru dilakukan di kamar mandi.

Perbedaan secara terperinci dapat dilihat dari 3 kategori kekerasan seksual menurut pandangan Russel dalam buku Yohannes Fery yakni:

36

a. Kekerasan seksual yang sangat serius yaitu hubungan seksual anal, oral dan oral genital seks.

b. Kekerasan seksual serius, yaitu dengan memperlihatkan adegan berhubungan seksual di depan anak, memperlihatkan situs maupun gambar pornografi kepada anak, menyuruh anak untuk memegang alat kelamin pelaku dengan tujuan memperoleh kepuasan, atau kegiatan seksual lain akan tetapi belum sampai pada hubungan kelamin seperti kekerasan seksual yang sangat serius.

c. Kekerasan seksual yang cukup serius, yakni menyentuh bagian seksualitas anak (privasi anak) atau dengan membuka baju si anak secara paksa.

36 Yohannes Ferry, Kekerasan Seksual Pada Anak Dan Remaja, Jakarta, PT.Rajawali. 1997, hal. 2.

(41)

Kekerasan seksual pada anak sendiri didefinisikan sebagai suatu tindakan perbuatan pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual maupun aktifitas seksual yang lainnya, yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak, dengan kekerasan maupun tidak, yang dapat terjadi di berbagai tempat tanpa memandang budaya, ras dan strata masyrakat. Korbannya bisa anak laki-laki maupun perempuan, akan tetapi umumnya adalah anak perempuan dibawah 18 tahun.

37

Pelaku pelecehan seksual terhadap anak sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa melainkan juga dilakukan oleh anak-anak terhadap anak-anak, sebab seiring kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi banyak sekali konten-konten bernuansa seksual yang tersebar melalui media elektronik, sehingga banyak sekali anak yang melakukan perbuatan seperti yang telah mereka lihat ataupun dengar, mengingat anak-anak sudah dikenalkan dan difasilitasi dengan perangkatperangkat elektronik seperti smart phone dan komputer yang sudah dilengkapi dengan koneksi internet sehingga mereka mudah sekali mendapatkan informasi yang kadang orang tua juga lalai untuk memberikan proteksi pada anak dan teknologi informasi.

Berdasar pada uraian tersebut yang dimaksud dengan kekerasan seksual pada anak adalah setiap perkataan ataupun pemaksaan tindakan/perilaku/gerak-gerik seksual terhadap anak yang menjadikan anak

sebagai

korban kekerasan seksual tersebut merasa tidak nyaman, trauma, merasa ketakutan, depresi ataupun mengalami luka secara fisik.

37 N Katjasungkana, Penyalahan Seksual Pada Anak, Jakarta, Mitra Wacana. 2000, hal. 14.

(42)

3. Korban

a. Pengertian Korban

Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli (Abdussalam, 2010: 5) bahwa korban (victim) adalah “orang yang telah mendapat penderitaan atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan ataub usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”. Di sini jelas yang dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fiik dan seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana.

38

Selaras dengan pendapat diatas adalah (Arif Gosita, 1989:75) menyatakan yang dimaksud dengan korban aalah

“mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”. Ini menggunakan istilah penderitaan jasmani dan rohaniah (fisik dan mental) dari korban dan juga bertentangan dengan hak asasi manusia dan korban.

39

Secara yuridis pengertian korban termaktub dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dinyatakan korban adalah

“seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Melihat rumusan tersebut, yang disebut korban adalah :

40

38 Bambang Waluyo, Viktimologi: Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hal. 9.

39 Ibid.

40 Ibid, hal. 10.

(43)

1) Setiap orang;

2) Mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau;

3) Kerugian ekonomi;

4) Akibat tindak pidana.

Ternyata pengertian korban disesuaikan dengan masalah yang diatur dalam beberapa perundang-undangan tersebut. Jadi tidak ada suatu pengertian yang baku, namun hakikatnya adalah sama, yaitu sebagai korban tindak pidana. Tentunya tergantung sebagai korban tindak pidana apa, misalnya kekerasan dalam rumah tanga, pelanggaran HAM yang berat dan sebagainya. Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang No.

11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

41

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi-Saksi dalam Pelanggaran HAM yang berat, Korban adalah “Orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindugan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror dan kekerasan pihak mana pun”.

42

Korban menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah “orang yamg

41 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

42 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi-Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat.

(44)

mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.

43

Kemudian menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang dimaksud dengan korban adalah “orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonmi atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat termasuk korban atau ahli warisnya”.

44

b. Jenis Korban

Klasifikasi atau penggolongan tipe korban telah dilakukan oleh para pendahulu viktimologi. Penggolongan jenis korban tersebut tidak terlepas dari penderitaan, kerugian atau kehilangan yang diderita oleh korban. Ada beberapa tipe korban, yang masing-masing sangat tergantung dari segi mana penggolongan tersebut dilakukan

45

.

1) Berdasarkan jenis viktimisasinya, dapat dibedakan antara:

a) Korban bencana alam atau penyebab lain

Yaitu mereka yang mengalami penderitaan , kerugian atau kehilangan akibat dari bencana alam atau peristiwa lain bukan karena perbuatan manusia. Misal:

korban tanah longsor atau menjadi korban gigitan hewan liar.

b) Korban tindak pidana.

43 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

44 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

45 G. Widiartana, Viktimologi: Perspektif Korban dalam Penanggulangan Kejahatan, Yogyakarta: Kelompok Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014, hal. 28.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Tujuan dari perancangan media interaktif itu sendiri adalah bagaimana agar penyampaian informasi tersebut lebih optimal dan dapat meningkatkan atensi serta

hukum dalam memperoleh organ gigi manusia untuk kepentingan Pendidikan. Masyarakat mengetahui adanya hukum yang mengatur tentang jual beli organ. untuk kepentingan pendidikan.

Berdasarkan hasil dari penelitian dan analisis yang telah di lakukan oleh penulis tentang Pelaksanaan Manajemen Kemitraan PT Buana Wira Lestari Mas dengan Petani

Meningkatkan jumlah desa Masih rendahnya Melaksanakan pelatihan, penyuluhan dan Kecamatan Bakam Jan-Des mandiri pangan yang jumlah desa yang monitoring kegiatan pengembangan

Kemudian dilakukan pemodelan variabel persentase rumah tangga miskin dan faktor-faktor memengaruhinya, terdiri dari: mengidentifikasi pola hubungan dengan menggunakan

Kepala Seksi Bina Satuan Linmas atau Kepala Seksi Bina Potensi Masyarakat membuat nota dinas dan konsep surat pemberitahuan Pembinaan dan Pemberdayaan Satuan Linmas atau

Pada indikator variabel ke lima memutar sekrup makrometer pada saat melakukan mencari objek, dimana memutar makrometer saat melakukan pengamatan kerah belakang

Dari tabel tersebut terlihat bahwa kemurnian DNA sampel ubi jalar yang diekstraksi menggunakan metode CTAB dari Tanaka dan Nakatani mempunyai kemurnian yang lebih baik dibandingkan