• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa untuk berkomunikasi antarsesama masyarakat Jawa.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa untuk berkomunikasi antarsesama masyarakat Jawa."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa untuk berkomunikasi antarsesama masyarakat Jawa. Dalam interaksi sosial masyarakat Jawa, lebih cenderung menggunakan komunikasi lisan daripada komunikasi tulis. Komunikasi lisan yang dimaksud adalah suatu percakapan yang terjadi antara pembicara dengan lawan bicara dengan memperhatikan situasi terjadinya pembicaraan itu (Yustinah, 2008: 85). Dari penjelasan Yustinah tentang komunikasi lisan, fakta yang ada dalam kehidupan sosial menunjukan kebanyakan masyarakat lebih cenderung menggunakan komunikasi dalam bentuk lisan daripada tulis. Begitu pula masyarakat Jawa yang berada di Desa Mopuya lebih cenderung menggunakan komunikasi lisan karena komunikasi lisan dianggap lebih praktis daripada komunikasi tulis.

Masyarakat Jawa yang berada di Desa Mopuya merupakan masyarakat transmigran dari Jawa ke Mopuya sejak tahun 1972. Masyarakat Jawa di Desa Mopuya ini menggunakan bahasa Jawa jika berkomunikasi antarsesama masyarakat Jawa. Namun, dipihak lain masyarakat Jawa menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat berkomunikasi dengan masyarakat yang bukan masyarakat Jawa.

Sebagai salah satu bahasa daerah, bahasa Jawa telah mendapat jaminan oleh pemerintah dalam pembinaan dan pengembangannya. Penjelasan ini dapat dilihat dalam UUD 1945 Bab XV Pasal 36 dijelaskan „di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya (misalnya bahasa Jawa, Madura, dan Sunda) bahasa itu akan dihormati dan dipelihara oleh negara‟, (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2011: 38). Salah satu bahasa daerah itu adalah bahasa Jawa yang akan peneliti kaji berdasarkan rumusan masalah yang ada. Stratifikasi bahasa Jawa ada beberapa tingkatan pemakaiannya yaitu kromo inggil, karma andhap, karma lugu, ngoko andhap, ngoko lugu (Maryani, 2011: 160). Hal ini senada dengan Ohoiwutun (2002: 87-88) menyatakan, bahasa Jawa terbagi menjadi 3 tingkatan yaitu: ngoko, madya, krama. Bahasa Jawa ngoko dan madya yang lebih sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

(2)

Dari kedua tingkatan bahasa Jawa yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari terdapat perbedaan yaitu pada pengucapan bahasa dan kesan yang ditimbulkan. Bahasa ngoko memiliki kesan lebih kasar sedangkan kromo memiliki kesan lebih sopan. Kata-kata dalam bahasa Jawa ngoko berbeda dengan bahasa kromo, namun pada hakikatnya memiliki makna yang sama dan banyak terdapat kata-kata yang mengacu pada masa lampau dan yang akan datang dalam penuturannya yang disebut dengan deiksis.

Kaswanti (1984: 1) menyatakan deiksis adalah sebuah kata, dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi si pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu. Dari pendapat Kaswanti di atas mengenai deiksis, dapat disimpulkan bahwa deiksis adalah penggunaan bahasa baik lisan maupun tulisan yang acuannya dapat berpindah-pindah dan digunakan oleh masyarakat dalam berkomunikasi termasuk bahasa daerah Jawa.

Deiksis yang terdapat dalam bahasa Jawa sama dengan deiksis pada bahasa Indonesia yaitu terdiri dari deiksis eksternal (luar tuturan) dan deiksis internal (dalam tuturan). Yang membedakan labuhan “setting anchorage” dalam tuturan dan labuhan luar tuturan adalah bidang permasalahannya. Bidang permasalahan eksofora adalah semantik leksikal. Meskipun bidang sintaksis tidak dapat dilepaskan sama sekali dari pembahasan bidang semantik leksikal ini. Hal ini berbeda dengan endofora yang terutama menyoroti masalah sintaksis.

Deiksis eksofora (deiksis eksternal/luar tuturan) terbagi atas deiksis persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu. Leksem-leksem dalam deiksis persona mencakup bentuk-bentuk nomina dan pronominal. Deiksis ruang mencakup leksem verbal dan adjektival. Terakhir, deiksis waktu, mencakup leksem adverbial. Semua jenis deiksis eksofora ini digunakan jika acuannya berada di luar tuturan. Dalam endofora (deiksis internal/dalam tuturan), antara lain membahas masalah anafora dan katafora, baik yang persona maupun yang bukan persona. Anafora mengacu pada konstituen di sebelah kirinya, sedangkan katafora mengacu pada konstituen di sebelah kanannya. Deiksis endofora digunakan jika acuannya berada di dalam tuturan.

(3)

Berdasarkan pada uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan suatu penelitian tentang deiksis eksternal bahasa Jawa dalam tindak komunikasi lisan oleh masyarakat Desa Mopuya sebagai sebuah kajian sosiolinguistik yang membahas tentang disiplin ilmu pragmatik. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang deiksis eksternal bahasa Jawa di desa Mopuya Kecamatan Dumoga Utara. Dengan demikian, maka penelitian ini diformulasikan dengan judul: “Deiksis Eksternal Bahasa Jawa dalam Tindak Komunikasi Lisan oleh Masyarakat Desa Mopuya”.

KAJIAN PUSTAKA

Deiksis menurut Chaer (2010: 31) adalah “kata atau kata-kata yang rujukannya tidak tetap dapat berpindah dari satu maujud ke maujud yang lain. Kata-kata pada deiksis ini adalah kata-kata yang menyatakan waktu, menyatakan tempat, dan yang berupa kata ganti”. Hal ini senada dengan Lyons (dalam Kaswanti 1984: 2) menyatakan, “dalam ilmu linguistik kata deiksis dipakai untuk menggambarkan fungsi kata persona, kata ganti demonstrative, fungsi waktu dan bermacam-macam ciri gramatikal dan leksikal lainnya yang menghubungkan ujaran dengan jalinan ruang dan waktu dalam tindak ujaran”. Sedangkan menurut Court (dalam Kaswanti 1984: 5) menyatakan, pembedaan deiksis ada tiga secara rapi terdapat pada kata ganti demonstrative (yang berkategori adjektifa), adverbial tempat, dan verba yang menggambarkan arah gerakan.

Selanjutnya deiksis menurut Kaswanti (1984: 1) adalah “sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi si pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu”. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Alwi, dkk (2003: 42) menyatakan, “Deiksis adalah gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan”. Dalam hal ini teori deiksis peneliti gunakan untuk mengkaji bahasa Jawa.

Berdasarkan pendapat pakar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa deiksis adalah tuturan yang dikeluarkan oleh alat artikulasi manusia untuk berkomunikasi.

(4)

Namun kata atau tuturan itu merujuk pada penggunaan kata dan kalimat yang mengacu pada masa lampau dan masa yang akan datang. Kata-kata yang dipakai dalam berkomunikasi oleh masyarakat merupakan bahasa yang memiliki variasi dalam penuturannya, baik itu bahasa daerah maupun bahasa Indonesia.

Dari penjelasan deiksis yang dikemukakan oleh beberapa pakar, maka peneliti mengambil satu teori yang akan digunakan dalam penelitian ini yakni teori yang dikemukakan oleh Kaswanti (1984: 19-98) yang membahas tentang deiksis dalam bahasa Indonesia dengan kajian pragmatik yang tidak dapat lepas dari variasi bahasa dalam penuturan bahasa Jawa.

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Menurut Nazir (2003: 54) bahwa metode deskriptif kualitatif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki. Dalam penelitian ini metode deskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis deiksis eksternal bahasa Jawa dalam tindak komunikasi lisan oleh masyarakat Desa Mopuya.

1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik yang digunakan untuk memperoleh informasi melalui pengukuran-pengukuran tertentu, sebagai landasan dalam menyusun argumentasi logis menjadi fakta dan data yang diperoleh telah diuji (Fathoni, 2006: 104). Hal ini senada dengan Keraf (1994: 160) menyatakan ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam mengumpulkan data, cara tersebut adalah wawancara dan angket, observasi dan penelitian lapangan, penelitian pendapat, penelitian kepustakaan, mekanisme kepustakaan.

Selanjutnya Rahadi (2002: 15-16) menyatakan ada dua macam metode yang dapat digunakan dalam penelitian tindak tutur yakni metode simak dan metode cakap. Kedua metode ini dalam penerapannya masih dijabarkan menggunakan teknik bawahan yaitu teknik yang sifatnya dasar dan teknik yang sifatnya lanjutan. Hal ini senada dengan Sudaryanto (1993: 133-135) menyatakan, Dalam teknik

(5)

pengumpulan data ada beberapa cara yang dapat dipakai yaitu teknik simak libat cakap dan teknik wawancara.

Teknik pengumpulan data yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli senada dengan teknik yang dikemukakan oleh Mahsun (2011: 92-104) menyatakan teknik pengumpulan data dapat dikelompokkan menjadi tiga metode yaitu metode simak, metode cakap, dan metode intropeksi.

Teknik penggumpulan data dalam peneliti yang mengkaji deiksis eksternal bahasa Jawa dalam tindak komunikasi lisan oleh masyarakat Desa Mopuya mengikuti beberapa teknik yang dikemukakan oleh Mahsun (2011: 92-104), sebagai berikut.

a. Metode Simak

Metode simak adalah cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Istilah menyimak di sini tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan. Metode ini memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap. Teknik sadap disebut sebagai teknik dasar dalam metode simak karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan. Dalam arti, peneliti dalam upaya mendapatkan data dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang yang menjadi informan, Mahsun (2011: 92-93). Selain teknik sadap, dalam metode ini juga terdapat teknik rekam yang terjadi jika bahasa yang diteliti adalah bahasa yang masih dituturkan oleh pemiliknya. Teknik ini digunakan jika penggunaan bahasa yang disadap itu berwujud secara lisan, Mahsun (2011: 93).

b. Metode Cakap

Metode cakap adalah cara yang ditempuh dalam pengumpulan data berupa percakapan antara peneliti dengan informan. Mahsun (2011: 95) menyatakan, metode cakap memiliki teknik dasar berupa teknik pancing, karena percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya dimungkinkan muncul jika peneliti memberikan stimulasi (pancingan) pada informan untuk memunculkan gejala kebahasaaan yang diharapkan oleh peneliti.

(6)

Dalam teknik analisis data, peneliti akan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan dua metode yaitu: (1) metode daya pilah menurut organ wicara, dan (2) metode daya pilah menurut lirik pembeda tulisan (Sudaryanto, 1993: 133-135). Metode pilah menurut organ wicara adalah memperhatikan kata-kata yang dituturkan oleh masyarakat saat berkomunikasi, sedangkan metode daya pilah yakni mengelompokkan kata-kata yang berhubungan dengan permasalahan peneliti yakni deiksis eksternal bahasa Jawa dalam tindak komunikasi lisan oleh masyarakat Desa Mopuya.

Dalam analisis data, peneliti akan menguraikan teknik analisis yang tidak terlepas dari dua teknik yang dikemukakan oleh Sudaryanto di atas. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana data yang penting dan akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain (Sugiono, 2008: 88). Adapun teknik yang dimaksud sebagai berikut. 1. Hasil rekaman dari informan yang masih dalam bentuk kaset dalam bahasa

Jawa, akan peneliti terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk teks agar mudah dipahami oleh pembaca.

2. Peneliti akan mengklasifikasikan kata bahasa Jawa dalam deiksis eksternal. 3. Peneliti akan mengklarifikasikan penggunaan bahasa Jawa dalam berbagai

situasi.

4. Peneliti akan menganalisis data yang diperoleh dari informan.

5. Peneliti akan menyimpulkan data sesuai dengan deiksis eksternal bahasa Jawa dalam tindak komunikasi lisan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dalam tindak komunikasi lisan Desa Mopuya terdapat jenis deiksis eksternal bahasa Jawa yang berarti kata ganti di luar tuturan . Kata ganti yang digunakan oleh masyarakat Desa Mopuya mengacu pada kata yang dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhatikan saat dan tempat dituturkannya pembicaraan dan bertujuan untuk mempermudah masyarakat dalam menunjukkan identitas baik si penutur, mitra tutur, maupun

(7)

orang yang sedang diacu dalam pembicaraan. Dalam kata ganti terdapat beberapa kata ganti dalam penuturan yaitu kata ganti persona, kata ganti ruang/tempat, dan kata ganti waktu. Akan tetapi pada tindak komunikasi lisan bahasa Jawa oleh masyarakat Desa Mopuya, tidak ditemukan kata ganti persona pertama, karena tidak ada kata ganti persona pertama yang merujuk pada luar tuturan.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa kata ganti yang digunakan dalam tuturan oleh masyarakat baik masyarakat Jawa, Batak, Manado maupun Gorontalo hanya mengacu pada pemakaian kata yang dianggap lebih mudah untuk menunjukkan identitas diri, baik penutur maupun mitra tutur. Data yang terlampir merupakan gambaran dari bahasa yang digunakan oleh masyarakat dalam berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan masyarakat maupun lingkungan pelajar. Penggunaan kata ganti sering digunakan baik kata ganti persona, kata ganti ruang, dan kata ganti waktu. Kata ganti yang digunakan sangat memudahkan dalam berkomunikasi dan merupakan faktor utama yang menunjang keberhasilan dalam berinteraksi antarsesama.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan hasil penelitian ini secara singkat yakni dari beberapa kata yang mengacu pada deiksis eksternal hanya kata ganti persona pertama yang tidak ditemukan dalam percakapan, semua dikarenakan kata ganti persona pertama merupakan orang yang terlibat langsung dalam percakapan. Namun, pada data yang telah peneliti ambil, kata ganti persona kedua dan ketiga yang lebih sering muncul dalam percakapan. Mengingat kata ganti persona kedua dan ketiga lebih banyak yang mengacu pada orang di luar tuturan. Sedangkan kata ganti ruang/tempat dan kata ganti waktu tidak sering muncul dalam percakapan, semua itu dipengaruhi dengan situasi yang terjadi dalam percakapan. Dapat disimpulkan bahwa dari semua kata ganti baik kata ganti persona pertama, kedua, ketiga, ruang/tempat, dan kata ganti waktu, kata ganti persona ketiga lah yang lebih banyak muncul dalam percakapan yang mengacu pada deiksis eksternal.

(8)

Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2011. UU RI No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Chaer, Abdul. 2010. Kesatuan Berbahasa. Jakarta: Rinaka Cipta.

Fathoni, H. Abdurrahmat. 2006. Metodologi Penelitian Dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: Rinaka Cipta.

Kaswanti Purwo, Bambang. 1984. Deiksis Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Keraf, Gorys. 1994. Komposisi. Flores-NTT-Indonesia: Nusa Indah. Mahsun. 2011. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Rajawali Pers.

Maryani, Yeyen S.R.H Sitanggang. 2011. Pemberdayaan Bahasa Indonesia Memperkukuh Budaya Bangsa Dalam Era Globalisasi. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Nazir. 2003. Metode Penelitian. Bandung: Rineka Cipta. Ohoiwutun, Paul. 2002. Sosiolinguistik. Jakarta: Kesaint Blanc.

Rahardi, Kunjana. 2002. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Erlangga.

Sudaryanto. 1993. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Pretek. Jakarta: Rineka Cipta.

Sugiyono. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif, Kualitatif E&D. Bandung: Alfabeta

Referensi

Dokumen terkait

i. Mengkaji kesan agregat berkubik yang telah dihancurkan menggunakan mesin Barmac terhadap kekuatan konkrit asfalt berbanding agregat ketaksekataan. Menentukan kandungan

Terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif Dan Prestasi Belajar IPS”.. ini merupakan eksperimen semu dengan menggunakan rancangan The Posttest-Only Control Group Design dengan

huomiota siihen, että koulutusta, työelämää ja perhejärjestelmiä koskevat yhteiskunnalliset muutokset vaikuttavat nuoruuden ja aikuisuuden elämänvaiheisiin.

Dalam hal ini Sunarya (2007:40) mengemukakan bahwa “Pendidikan jasmani merupakan pendidikan yang dilakukan melalui aktivitas fisik sebagai media untuk mencapai

nggak mau pulpen itu balik kemuka saya garu-gara saya ribut sama kamu.. : Gere cuma mau ngomons

Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari Abi Dzar RA bahwa pada saat Nabi Muhammad SAW menyebut tentang AL-Haudh beliau bersabda: mengalir padanya dua pancuran

Dengan menganggap perilaku gelombang elektron dalam atom hidrogen serupa dengan getaran kawat kita dapat mengambil postulat bahwa sebuah elektron dapat mengelilingi

dari pusat layanan kesehatan rujukan persalinan, rendahnya pengetahuan dan sikap masyarakat, serta masih banyaknya kasus persalinan muda (di bawah usia 18 tahun) sangatlah