• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. perkosaan yang dilakukan oleh keluarga korban atau orang-orang dekat. korban, kasus sodomi, perdagangan anak untuk dieksploitasi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. perkosaan yang dilakukan oleh keluarga korban atau orang-orang dekat. korban, kasus sodomi, perdagangan anak untuk dieksploitasi."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak kekerasan yang terjadi pada anak-anak di Indonesia mulai menuai sorotan keras dari berbagai kalangan pada saat banyak stasiun televisi swasta menayangkannya secara vulgar pada program kriminal, seperti: kasus perkosaan yang dilakukan oleh keluarga korban atau orang-orang dekat korban, kasus sodomi, perdagangan anak untuk dieksploitasi.

Pada Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminatif.1 Sebaliknya, mereka bukanlah objek (sasaran) dari tindakan kesewenang-wenangan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari pihak siapapun atau pihak manapun.2

Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual karena anak selalu di posisikan sebagai sosok lemah, tidak berdaya dan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang-orang dewasa disekitarnya. Anak yang dinilai rentan tersebut, seharusnya dirawat, diasuh, dididik dengan sebaik-baiknya agar mereka tumbuh dan berkembang secara sehat jasmani maupun rohani yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.3

1 Undang-undang dasar 1945

2 www.kompasiana.com diakses pada tanggal 7 Oktober 2019

3 Ivo Noviana, Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak Dan Penanganannya Child Sexual Abuse: Impact And Hendlin, Sosio Informa Vol. 01, No. 1, Hal 2

(2)

2

Dalam sejarah, tindak pidana perkosaan sebenarnya tindak pidana yang sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia. Tindak pidana perkosaan tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tetapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat.

Anak – anak yang menjadi korban pemerkosaan merupakan kelompok yang paling sulit pulih. Mereka cenderung akan menderita trauma akut. Masa depan anak tersebut akan hancur, dan bagi anak yang tidak kuat menanggung beban, maka pilihan satu-satunya adalah bunuh diri. Perasaan merasa perempuan yang sudah tidak terhormat lagi, malu karena cibiran masyarakat sekitar yang akan menghantui para korban tindak pidana pemerkosaan. Anak korban tindak pidana pemerkosaan mengalami penderitaan yang lebih berat lagi karena akan menjadi trauma yang akan mengiringi perjalanan hidup anak tersebut. Anak tersebut cenderung akan menutup diri dengan lingkungan sekitar.4

Dalam pasal 285 KUHP berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” .

Unsur pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP adalah (1) barang siapa, (2) dengan kekerasan atau (3) dengan ancaman kekerasan, dan (4) memaksa (5) seorang

4 Narini Hasyim “Darurat Kekerasan Seksual Pada Anak”, http:/ /rinihasyim.blogspot.com diakses tanggal 7 Oktober 2019

(3)

3

perempuan yang bukan istrinya (6) bersetubuh. Dengan unsur-unsur tersebut, maka variabel penentu untuk mengkualifikasi ada tidaknya suatu tindak pidana perkosaan adalah pada unsur consent/persetujuan kedua belah pihak.5

Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung oleh Pelaku adalah selama dua belas tahun penjara. Hal ini adalah ancaman hukuman maksimal, dan bukan sanksi hukuman yang dibakukan dan harus diterapkan. Sanksi minimal tidak ada, sehingga dapat diterapkan hukuman berapapun lamanya sesuai dengan selera hakim yang menjatuhkan vonis.6

Penderitaan yang ditimbulkan akibat pemerkosaan tersebut dapat menimbulkan luka pada korban. Bukan hanya luka pada bagian vital (alat kelamin permpuan), tetapi juga bisa saja ada organ lain yang terluka, fisik dan mental korban.

Apabila korban melakukan perlawanan terhadap pelaku agar tidak melakukan hal yang di inginkan korban. Sebagaian korban tindak pidana pemerkosaan yang berstatus anak hanya berdiam dan pasrah merima penderitaan yang disebabkan oleh pelaku daripada harus melaporkan ke pihak kepolisian dengan alasan mereka merasa

“malu” ketika harus di cecar pertanyaan dan menceritakan kembali bagaimana peristiwa tersebut bisa terjadi oleh pihak penyidik.

Istilah "nyaman" dan "tidak nyaman" adalah diksi dan bahasa operasional yang digunakan oleh penyidik untuk bertanya dalam proses pemeriksaan untuk mencari tahu ada atau tidaknya persetujuan. Karena itu tidak ada maksud

5 Lihat Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

6 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual,Bandung. Refika Aditama Hal 109

(4)

4

reviktimisasi terhadap pelapor/korban perkosaan. Demikian juga kasus pemerkosaan terhadap anak adalah jenis tindak pidana yang perlu penanganan khusus, termasuk memastikan akurasi dan ketersediaan bukti dalam rentang waktu yang cukup lama dari proses laporan hingga penyidikan dan penuntutan.7 Oleh karena itu perlindungan hukum untuk anak yang berstatus sebagai korban harus dilakukan secara maksimal.

Saat ini sistem hukum di Indonesia sudah mengatur secara khusus mengenai perlindungan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak – anak.

Diantara nya lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Meskipun perundang-undangan tersebut telah diakui dan disahkan oleh sistem perundang-undangan Indonesia, tetapi pada kenyaatannya pada saat proses penyidikan oleh kepolisian sering terjadi ketidak sesuaian antara undang-undang dan kenyataan dalam proses penyidikan.

Perlindungan saksi korban yang berstatus anak seringkali mendapatkan perlakuan yang sama dengan saksi korban berstatus dewasa dalam proses penyidikan di tingkat kepolisian.

Seperti contoh kasus Amanda (bukan nama sebenarnya) Ibu dari anak 16 tahun yang diperkosa ayah kandungnya sendiri. Amanda mengingat, butuh waktu selama lebih dari tiga jam di kantor polisi untuk membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), saat melaporkan kasus perkosaan putrinya, dua tahun lalu. Dia mengatakan

7 Kapolri Jenderal Tito Karnavian, dalam https://www.bbc.com diakses pada tanggal 7 Oktober 2019

(5)

5

banyak pertanyaan lain yang mengarah ke detail peristiwa perkosaan, yang membuat anaknya menjadi trauma.

Amanda mengatakan, "Anak saya kan jadi kayak dihakim. Kita yang jadi korban kayak kita yang jadi terdakwa. Kalau saya inget lagi saya sedih ya, anak umur 16 tahun itu apa yang dia mengerti tentang kekerasan seksual? Dia tak mengerti telah terjadi kekerasan seksual ".Dia mengaku kecewa dengan sikap para penyidik saat itu.

Maksudnya jangan menginterogasi kayak ke maling, gimana kejadian itu, layak seperti orang dewasa saja. Ya kecewa dengan pembuatan BAP-nya seperti orang dewasa. Hal lain, kata Amanda, sebelum pembuatan BAP, Amanda dan anaknya harus menunggu di ruang tunggu yang dipenuhi banyak orang yang membuatnya kurang nyaman.

Setelah BAP selesai, Amanda membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menunggu perkaranya masuk ke proses selanjutnya. Polisi kemudian menetapkan pelaku sebagai tersangka, tapi kemudian dilepas setelah ada jaminan. Kasus perkosaan yang diderita puterinya itu butuh waktu sampai delapan bulan sebelum akhirnya disidangkan di pengadilan. Selama proses tersebut, Amanda yang didampingi oleh LBH APIK sempat melaporkan kasus anaknya kepada Mahkamah Agung.

Pengadilan memvonis pelaku 13 tahun penjara. Namun, putrinya, menurut Amanda, masih mengalami trauma sampai saat ini atau dua tahun setelah persidangan selesai. Masalahnya, menurut Amanda, pengadilan tidak memerintahkan pemerintah untuk memberikan layanan pemulihan trauma. Hingga pada proses persidangan

(6)

6

selesai korban tidak mendapatkan bantuan pengobatan untuk mental korban pasca mengalami kejadian pemerkosaan tersebut.8

Kasus tersebut pada kenyataan nya telah menyimpang dengan peraturan yang diatur dalam pasal 69A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa “anak sebagai korban kejahatan seksual harus mendapatkan perlindungan khusus melalui upaya pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di timgkat pengadilan”9

Dalam kaitannya dengan tindak pidana perkosaan terhadap anak, Polres Mojokerto dalam kurun waktu 4 tahun terakhir telah menangani kasus perkosaan terhadap anak tercatat sebanyak 7 (tujuh) kasus dihitung pada kisaran tahun 20157 hingga tahun 2020.10

Pada Tahun 2019 silam, terhadap anak yang menyebabkan anak tersebut menjadi korban untuk kedua kali nya. Pada proses penyidikan, penyidik Polres Mojokerto Kota dalam memperlakukan anak sebagai korban tersebut sama dengan memperlakukan orang dewasa, yang membuat anak sebagai korban merasa tidak nyaman, malu, dan enggan untuk menceritakan apa yang terjadi pada anak tersebut.

Tidak ada ruangan khusus untuk anak sebagai korban pada proses penyidikan, anak sebagai korban ditempatkan pada tempat umum penyidikan yang dipenuhi banyak

8 Sri Lestari, 100 Women: Pengalaman korban perkosaan saat melapor ke polisi ,dalam https://www.bbc.com/indonesia/ diakses pada tanggal 7 Oktober 2019

9 Undang-Undang Nomor 35Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

10 Wawancara dengan Briptu Setyana, Penyidik Polres Mojokerto Kota pada tanggal 5 Mei 2020

(7)

7

orang yang membuat anak semakin malu dan tidak bisa menceritakan apa yang telah diperlakukan tersangka terhadap dirinya.11

Di luar itu, diduga masih banyak kasus-kasus perkosaan lain yang tidak teridentifikasi. Tindakan korban yang memilih tidak melaporkan kasus yang dialaminya itu dapat dipahami karena di mata mereka, kalaupun mencoba menuntut keadilan, belum tentu hukum akan memihaknya.

Bahkan, tidak mustahil kalau mencoba menuntut keadilan, justru mereka terpaksa mengalami kembali “perkosaan baru” yang tak kalah sadis. Pendapat itu mengungkap mengenai nasib korban yang dihadapkan pada situasi eksklusif, serba membatasi diri dari pergaulan dengan sesama kaum laki-laki karena dirinya sudah merasa tercemar, tidak berharga lagi di mata masyarakat yang memuja kesucian dalam pengertian keperawanan (virginitas).12

Reviktimisasi menjadi praktik yang masih sering ditemui di dalam masyarakat, bahkan dalam badan beserta aparat hukum yang seharusnya mampu menegakkan keadilan bagi korban. Untuk menghilangkan praktik reviktimisasi ini, maka diperlukan seperangkat peraturan yang berpihak pada korban serta berperspektif gender. Tak hanya menjelaskan mengenai ganjaran bagi pelaku, tetapi harus ada pula aturan yang berfokus pada kondisi mental maupun fisik korban.

Sebagian besar wanita sangat jarang memberitahu orang lain mengenai perlakuan fisik dan seksual yang mereka alami karena rasa takut, malu, dan menyalahkan diri sendiri. Lebih dari itu ketika mereka memberitahu kepada orang

11 Wawancara dengan Ibu Korban, Bunga (nama disamarkan) pada tanggal 10 Mei 2020

12 Abdul Wahid, Muhammad Irfan, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual (Bandung:

Refika Aditama,2001). Hal 82-83.

(8)

8

lain, maka biasanya mereka diminta untuk merahasiakannya juga. Sejumlah alasan mengapa wanita tidak melaporkan kekerasan fisik dan seksual kepada para peneliti/polisi, yaitu : terlalu pribadi untuk dibicarakan, rasa malu, takut atas pembalasan dari pelaku atau represi karena trauma.13

Penanganan, perlindungan, serta pemulihan korban harus menjadi bagian penting yang patut dipertimbangkan. Hal ini dikarenakan kerugian yang dialami korban akibat tindak kekerasan seksual yang terjadi kepada mereka tak bisa diganti rugi hanya dengan menghukum dan memenjarakan si pelaku saja. Apa yang akan terjadi kepada korban selanjutnya juga harus menjadi perhatian dalam merumuskan seperangkat aturan ini. Selain ganti rugi secara materiil, ganti rugi imateriil pun diperlukan untuk memastikan pemulihan korban setelah mengalami kekerasan seksual.

14

Anggaran yang ditujukan untuk membantu korban dalam proses pemulihan pun harus ditetapkan. Dengan begitu, korban yang tidak memiliki kemampuan materiil untuk menemui psikiatri pun mampu terbantu untuk menghilangkan rasa menyalahkan diri sendiri, cemas berlebih, depresi, serta trauma yang kerap dialami oleh para korban pada umumnya. Tak hanya memastikan keadaan korban dalam jangka pendek, namun juga jangka panjang, yakni dengan memastikan bahwa korban akan mampu menjalani kehidupannya seperti sedia kala di masa yang akan datang.

13Jurnal Srigunting, Viktimisasi Dan Wanita Sebagai Korban Viktimisasi dalam https://jurnalsrigunting.com/2012/12/22/viktimisasi-dan-wanita-sebagai-korban-viktimisasi/ diakses pada tanggal 9 Juni 2020

14 Ibid

(9)

9

Dengan adanya kasus tersebut terjadi ketidak sesuaian antara perundangan- undangan tentang perlindungan saksi korban yang berstatus anak yang disahkan oleh sistem hukum Indonesia dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat dalam hal ini Polres Mojokerto Kota sebagai tempat untuk memperoleh data untuk membahas skripsi ini. Yang menyebabkan anak sebagai korban mendapat perlakuan yang sama dengan orang dewasa dalam proses penyidikan. Peran penyidik sangat penting sebagai titik awal terungkapnya tindak pidana pemerkosaan.

Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan tersebut penulis tertarik untuk menuliskan dan membahas dalam skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Dalam Proses Penyidikan Sebagai Upaya Mencegah Reviktimisasi (Studi Kasus Polres Mojokerto Kota)”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses penyidikan tindak pidana pemerkosaan di Polres Mojokerto Kota?

2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan dalam proses penyidikan sebegai upaya mencegah reviktimisasi di Polres Mojokerto Kota?

3. Apa saja kendala dalam pemberian perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan dalam proses penyidikan sebegai upaya mencegah reviktimisasi di Polres Mojokerto Kota dan bagaimana solusinya?

C. Tujuan Penelitian

(10)

10

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Bagaimana proses penyidikan tindak pidana pemerkosaan di Polres Mojokerto Kota

2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan dalam proses penyidikan sebagai upaya mencegah reviktimisasi di Polres Mojokerto Kota

3. Untuk mengetahui apa saja kendala dalam pemberian perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan dalam proses penyidikan sebegai upaya mencegah reviktimisasi di Polres Mojokerto Kota.

D. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis :

a. Sebagai masukan pemikiran untuk pengembangan mengenai ilmu hukum pada umumnya, khususnya bagaimana proses penyidikan oleh pihak Kepolisian terhadap anak sebagai korban dalam tindak pidana pemerkosaan.

b. Sebagai tambahan refrensi penegak hukum khususnya pihak Penyidik Kepolisian Polres Mojokerto Kota mengenai perlindungan hukum anak sebagai korban dalam tindak pidana pemerkosaan sebagai upaya mencegah reviktimisasi 2. Manfaat Praktis :

(11)

11

a. Sebagai syarat penulis untuk menempuh gelar Strata 1 Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Malang

b. Tambahan informasi bagi penulis untuk mengetahui bagaimana proses penyidikan dan pemberian perlindungan hukum anak sebagai korban di Polres Mojokerto Kota

E. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan bagi penulis :

Sebagai syarat penulis untuk menempuh gelar Strata 1 Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Malang. Dan dapat menambah wawasan mengenai bagaimana proses penyidikan dan pemberian perlindungan hukum anak sebagai korban dalam tindak pidana pemerkosaan di Polres Mojokerto Kota

2. Kegunaan bagi penegak hukum :

Sebagai sumbangan pemikiran bagi penegak hukum dalam hal ini penyidik Polres Mojokerto Kota dalam melakukan penyidikan dan pemberian perlindungan hukum anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan

3. Kegunaan bagi masyarakat :

Tambahan wawasan kepada masyarakat mengenai proses penyidikan dan pemberian perlindungan hukum anak sebagai korban dalam tindak pidana pemerkosaan di Polres Mojokerto Kota

F. Metode Penulisan

(12)

12

1. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan Yuridis Sosiologis :

Metode Pendekatan Yuridis Sosiologis adalah pendekatan dengan melihat secara langsung penerapan peraturan perundang-undangan atau aturan hukum lainnya yang berkaitan dengan proses penyidikan dan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan, serta dilakukan wawancara dengan beberapa responden yang dianggap dapat memberikan data dan informasi terkait dengan penelitian ini guna mendapatkan data dan informasi yang akurat serta dapat dipercaya kebenarannya.15

a. Dari aspek yuridis mengkaji perlindungan hukum bagi anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan dalam proses penyidikan untuk mencegah reviktimisasi berdasarkan :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak dan;

3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Perpu 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ;

15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press,1986) Hal 43

(13)

13

4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perliundungan Saksi dan Korban

b. Dari segi empiris atau sosiologis, penelitian ini fokus pada pelaksaan penyidikan bagi anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan di Polres Mojokerto Kota

2. Lokasi Penelitian :

Polres Mojokerto Kota yang beralamat di Jalan Bhayangkara No. 25 Miji, Kec. Prajurit Kulon, Kota Mojokerto. Jawa Timur 61322.

Dikarenakan di Polres Mojokerto Kota menangani kasus tindak pidana pemerkosaan yang mengakibatkan anak sebagai korban. Kasus tersebut menyita perhatian masyarakat karena tidak dipenuhinya hak- hak anak sebagai korban dalam proses penyidikan.

3. Jenis Data :

a. Data Primer : diperoleh dari dokumen tertulis (Berita Acara Pemeriksaan, Hasil Visum Et Repertum), rekaman hasil wawancara dengan penyidik unit PPA, dan informasi terkait dengan proses penyidikan dan bentuk perlindungan hukum anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan yang diperoleh dari sumber pertama (Polres Mojokerto Kota) b. Data Sekunder : Buku, Jurnal, Hasil penelitian terdahulu

yang terkait dengan bentuk perlindungan hukum anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan.

4. Teknik pengumpulan data :

(14)

14 a) Wawancara :

Dengan mewawancarai secara langsung sumber data dengan melakukan observasi pengamatan lapangan. Dengan narasumber :

1) Orang tua korban

2) IPDA Suasmoni S.E Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Mojokerto Kota

3) Briptu Setyana Dewi Penyidik Unit PPA Polres Mojokerto Kota

4) Bripda Indira Penyidik Unit PPA Polres Mojokerto Kota

b) Studi Dokumen :

Segala macam bentuk informasi yang berbentuk berkas (laporan polisi, Laporan Penyidikan, laporan hasil Visum Et Reperetum, dsb) terkait kasus pemerkosaan anak sebagai korban yang diperoleh dari pihak penyidik Polres Mojokerto Kota.

c) Studi Pustaka

Bentuk informasi dalam bentuk buku-buku baik melalui media cetak atau elektronik (internet) terkait kasus pemerkosaan anak sebagai korban dan bentuk perlindungan hukumnya.

5. Metode Analisa :

a) Metode analisa deskriptif kualitatif :

(15)

15

Metode analisis yang digunakan pada penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif tidak menggunakan alat statistik, namun dilakukan dengan menginterpretasi tabel-tabel, grafik-grafik, atau angka-angka yang ada kemudian melakukan uraian dan penafsiran

b) Analisa Kasus :

Telah terjadi tindak pidana pemerkosaan terhadap anak (15 Tahun) yang dilakukan oleh tersangka JP terhadap korban atas nama anak RSL yang terjadi sekira bulan Februari sampai dengan Maret 2019 bertempat di salah satu hotel di Kota Mojokerto. Sebagaimana Hasil Visum Et Repertum dari Rumah Sakit Umum Dr WAHIDIN SUDIRO HUSODO Nomor : W1911308306 tanggal 18 November 2019.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan, maka sistematika penulisan adalah sebagai berikut :

I. Pendahuluan

Memuat latar belakang penulisan, dari uraian-uraian latar belakang tersebut dapat ditentukan menjadi pokok-pokok permasalahan dngan dibatasi ruang lingkup, tujuan, dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual penulisan skripsi ini serta ditutup dengan sistematika penulisan/penelitian.

(16)

16 II. Tinjauan Pustaka

Bab ini berisi tentang pengertian tindak pidana pemerkosaan pada anak, pengertian penyidikan oleh pihak Kepolisian, Prosedur penyidikan pada tindak pidana pemerkosaan pada anak. Pengertian perlindungan korban dalam tindak pidana pemerkosaan.

III. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab ini berisi mengenai hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan yang diangkat mengenai prosedur penyidikan oleh pihak penyidik Polres Mojokerto Kota dalam tindak pidana pemerkosaan, dan bagaiamana perlindungan saksi korban anak dalam tindak pidana tersebut.

IV. Penutup

Merupakan bab penutup dari penulisan skripsi, berupa kesimpulan menyeluruh dari hasil penelitian dan saran yang dapat diberikan oleh Penulis sehubungan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media blokjes berpengaruh terhadap pemahaman operasi hitung matematika pada anak tunanetra

Sebagai solusi dari permasalahan yang banyak terdapat pada kondisi tempat pelelangan ikan di Indonesia salah satunya adalah di tempat pelelangan ikan desa kranji,

(tugas saya sebagai kreatif sudah pasti membuat konten acara sesuai dengan konsep yang telah disepakati kemudian mencari refrensi yang mendekati dengan konsep, membuatkan

Stadium klinis sepsis dan penyakit yang mendasari sepsis berdasarkan jenis infeksinya memiliki hubungan yang bermakna dengan hasil tes prokalsitonin pada sepsis

informasi publik yang diajukan oleh pemohon baik itu permohonan yang merupakan penerusan dari PPID Kementerian Keuangan maupun permohonan di lingkup PPID Tingkat I

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh kewenangan formal, karakteristik SIKD, peranan manajerial pengelola keuangan daerah dan kewenangan informal

Informasi dalam dokumen ini didasarkan pada pengetahuan terkini kami dan berlaku untuk produk yang berkaitan dengan tindakan pencegahan dan keselamatan. Itu tidak mewakili

Bila mencermati upaya pengembangan sarana dan prasarana yang dilakukan di desa lokasi penelitian diperoleh gambaran bahwa upaya tersebut belum menunjukan hasil