• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN PENELITIAN TERAPAN KAJIAN STRATEGIS NASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR PENELITIAN PENELITIAN TERAPAN KAJIAN STRATEGIS NASIONAL"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

1 LAPORAN AKHIR PENELITIAN

PENELITIAN TERAPAN KAJIAN STRATEGIS NASIONAL

HARMONISASI HUKUM ADAT (LIVING LAW) DAN HUKUM ISLAM DALAM UPAYA PENGUATAN INTEGRASI NASIONAL

(STUDI KASUS DI DAERAH LASEM KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH)

Diajukan untuk Laporan Akhir Penelitian Terapan Kajian Strategis Nasional yang dibiayai oleh DIPA IAIN Surakarta Tahun Anggaran 2020

Oleh:

Peneliti:

1. Dr. M. Usman, S.Ag., M.Ag. NIDN: 2027126801 (Ketua) 2. Ahmadi Fathurrohman Dardiri, M.Hum. NIDN: 2023068801 (Anggota 1) 3. Junaidi, S.H., M.H. NIDN: 0721048504 (Anggota 2)

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

TAHUN 2021

(2)

2 SURAT PERNYATAAN PENELITI

Saya, yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Dr. M. Usman, S.Ag., M.Ag.

Tempat, tanggal lahir : Sumenep, 27 Desember 1968

NIP : 19681227 199803 1 003

Pangkat/Gol : Pembina Tk.I (IV/b) Jabatan Fungsional : Lektor Kepala

Bidang Keahlian Fungsional : Filsafat Hukum Islam

Program Studi :

Judul : Harmonisasi Hukum Adat (Living Law) dan Hukum Islam Dalam Upaya Penguatan Integrasi Nasional (Studi Kasus Di Daerah Lasem

Kabupaten Rembang Jawa Tengah) Menyatakan bahwa:

1. Penelitian yang saya usulkan ini tidak sedang diusulkan untuk mendapatkan bantuan pada pihak manapun

2. Usulan penelitian ini belum pernah dilaksanakan penelitian sebelumnya.

3. Penelitian ini original hasil karya saya sendiri dan bukan plagiasi. Saya bertanggung jawab jika di kemudian hari timbul gugatan atas hasil penelitian ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sungguh-sungguh, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Surakarta, 8 Oktober 2021 Yang membuat pernyataan, Peneliti/Ketua Peneliti

Dr. M. Usman, S.Ag., M.Ag.

NIP. 19681227 199803 1 003

(3)

3 ABSTRAK

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragam (plural) dalam berbagai aspek seperti agama, suku, budaya, adat istiadat, bahasa dan lain sebagainya.

Menyatukan masyarakat yang beragam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidaklah mudah karena membutuhkan kesadaran, toleransi yang tinggi agar dapat menciptakan suatu kesatuan masyarakat yang dapat hidup rukun dan damai. Kehidupan masyarakat yang beragam (plural) juga sangat rentan terhadap terjadinya konflik antar agama, suku, ras maupun golongan.

Penelitian ini bermaksud menganalisa bagaimana interaksi Hukum Adat dan Hukum Islam dalam masyarakat Lasem Kabupaten Rembang dan model harmonisasi antara Hukum Adat (hukum lokal) dan Hukum Islam dalam kehidupan masyarakat yang beragam dalam rangka memperkuat integrasi nasional.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan lokasi penelitian di Desa Lasem Kabupaten Rembang. Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara dan teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif.

Hasil penelitian ini adalah masyarakat Lasem adalah masyarakat yang heterogen (beragam), terdiri dari berbagai etnis, suku, agama, dan budaya. Akan tetapi ada hal unik yang dimiliki masyarakat Lasem adalah masyarakatnya memiliki hubungan, kerukunan yang sangat baik. Interaksi antara Islam dan Adat terjadi dengan sangat baik hingga terjadi proses akulturasi. Nilai-nilai yang ada dalam model masyarakat Lasem perlu dikembangkan diberbagai daerah di Indonesia.

Nilai kerukunan, toleransi, menghormati, menghargai merupakan nilai luhur bangsa Indonesia yang perlu dijaga dan dikembangkan. Masyarakat Lasem mampu menanamkan nilai-nilai luhur tersebut dan mengelola berbagai perbedaan dengan baik. Islam dan Adat mampu berjalan secara harmonis yang terwujud secara nyata dalam aktivitas kehidupan masyarakat.

Kata kunci: Lasem; Hukum Islam; Adat; Integrasi Nasional

(4)

4 LEMBAR VALIDASI PENELITIAN

Hasil Penelitian Saudara : Dr. M. Usman, S.Ag., M.Ag.

Judul : Harmonisasi Hukum Adat (Living Law) dan Hukum Islam Dalam Upaya Penguatan Integrasi Nasional (Studi Kasus Di Daerah Lasem

Kabupaten Rembang Jawa Tengah)

Telah diseminarkan oleh : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada

Masyarakat IAIN Surakarta

Pada hari, tanggal:

Dengan hasil : a. Disetujui tanpa revisi b. Disetujui dengan revisi

Revisi dengan arahan seminar telah dijalankan dan dapat diterima oleh para peserta seminar, yang terdiri :

1. ______________________________ 1. _________

2. ______________________________ 2._________

3. ______________________________ 3. _________

4. ______________________________ 4._________

5. ______________________________ 5. _________

Surakarta, 8 Oktober 2021 Ketua LP2M IAIN Surakarta,

Dr. Zainul Abas, S.Ag., M.Ag.

NIP. 19720505 200112 1 001

(5)

5 LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Harmonisasi Hukum Adat (Living Law) dan Hukum Islam Dalam Upaya Penguatan Integrasi Nasional (Studi Kasus Di Daerah Lasem Kabupaten Rembang Jawa Tengah)

Peneliti : Dr. M. Usman, S.Ag., M.Ag.

Fakultas/Lembaga : Syariah IAIN Surakarta Lama Penelitian : 3 (tiga) bulan

Telah divalidasi di : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Surakarta, pada tanggal

Sumber Dana : DIPA IAIN Surakarta Tahun 2020

Total Biaya Penelitian : Rp. 51.000.000 (Lima Puluh Satu Juta Rupiah)

Surakarta, 8 Oktober 2021 Ketua LP2M IAIN Surakarta,

Dr. Zainul Abas, S.Ag., M.Ag.

NIP. 19720505 200112 1 001

(6)

6 KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia nikmat yang telah diberikan-Nya. Pada kesempatan ini alhamdulillah kami dapat menyelesaikan laporan penelitian Harmonisasi Hukum Adat (Living Law) dan Hukum Islam Dalam Upaya Penguatan Integrasi Nasional (Studi Kasus Di Daerah Lasem Kabupaten Rembang Jawa Tengah) sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

Penelitian ini bermaksud menganalisa bagaimana interaksi Hukum Adat dan Hukum Islam dalam masyarakat Lasem Kabupaten Rembang dan model harmonisasi antara hukum Islam dan hukum Adat (hukum lokal) dalam kehidupan masyarakat yang beragam dalam rangka memperkuat integrasi nasional.

Penelitian ini dilaksanakan di Lasem Kabupaten Rembang Jawa Tengah dan dibiayai DIPA IAIN Surakarta Tahun 2021.

Dengan terlaksananya kegiatan penelitian ini, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya terutama kepada:

1. Prof. Dr. Mudofir, M.Pd., selaku Rektor IAIN Surakarta;

2. Dr. Zainul Abas, S.Ag., M.Ag., selaku Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Surakarta;

3. KH. Zaim Ahmad Ma’soem, selaku narasumber, tokoh agama dan tokoh masyarakat Lasem Kabupaten Rembang;

4. Pengelola Rumah Merah Karang Turi Lasem Kabupaten Rembang;

5. Kepada semua pihak yang telah membantu, menyiapkan dan mendukung dalam pelaksanaan penelitian ini.

Hormat kami,

Tim Peneliti

(7)

7 DAFTAR ISI

Halaman Sampul ………..

Surat Pernyataan Peneliti ……….

Abstrak ……….

Lembar Validasi ………...

Lembar Pengesahan ……….

Kata Pengantar ……….

Daftar Isi ………..

BAB I. PENDAHULUAN ………...

A. Latar Belakang Masalah ………...

B. Rumusan Masalah ……….

C. Tujuan Penelitian ………..

D. Kegunaan Penelitian ……….

E. Penelitian Terdahulu ……….

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ………..

A. Harmonisasi Hukum ………..

B. Hukum Islam ………..

C. Adat dan Hukum Adat ………...

D. Keberagaman Masyarakat ………..

E. Integrasi Nasional ………...

BAB III. METODE PENELITIAN ……….

A. Pendekatan Penelitian ………

B. Latar Seting Penelitian ………...

C. Subjek dan Informan Penelitian ……….

D. Teknik Pengumpulan Data ……….

E. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ………

F. Teknik Analisis Data ………...

BAB IV HASIL PENELITIAN ………...

A. Interaksi Hukum Adat (Tradisi Lokal) dan Hukum Islam di Masyarakat Lasem, Kabupaten Rembang dalam Keberagaman ...

1 2 3 4 5 5 7 9 9 11 11 12 12 13 14 17 24 30 33 38 38 38 38 38 39 40 42

42

(8)

8 B. Harmonisasi Hukum Adat dan Hukum Islam dalam Integrasi

Nasional ………...

BAB V PENUTUP ………...

A. Kesimpulan ………..

B. Saran ………...

Daftar Pustaka Lampiran-lampiran

50

56

56

56

(9)

9 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Di dunia ini sekurang-kurangnya ada lima sistem hukum besar yang hidup dan berkembang. Sistem hukum tersebut adalah:

1

a. Sistem Common Law yang dianut di Inggris dan bekas jajahannya yang kini pada umumnya bergabung dalam negara-negara persemakmuran.

b. Sistem Civil Law yang berasal dari hukum Romawi yang dianut di Eropa Barat Kontinental dan dibawa ke negeri-negeri jajahan atau bekas jajahannya oleh Pemerintah Kolonial Barat dahulu.

c. Sistem Hukum Adat di negara-negara Asia dan Afrika.

d. Sistem Hukum Islam dimanapun mereka berada, baik di negara-negara Islam maupun di negara-negara lain yang penduduknya beragama Islam di Afrika Utara, Timur, Timur Tengah (Asia Barat) dan Asia.

e. Sistem Hukum Komunis/Sosialis yang dilaksanakan di negara-negara komunis/sosialis seperti Uni Soviet dan satelit-satelitnya dahulu.

Pada waktu ini, tiga dari kelima sistem hukum tersebut terdapat di Indonesia yakni sistem hukum Adat, hukum Islam dan hukum Barat. Ruang lingkup ketiga sistem tersebut yaitu antara hukum Adat dan hukum Barat pada dasarnya terdapat kesamaan ruang lingkup karena kedua-duanya hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia serta penguasa dalam masyarakat.

Ruang lingkup yang diatur dalam hukum Islam tidak hanya masalah hubungan antara manusia dengan manusia lain serta penguasa dalam masyarakat, tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan Allah Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, hukum Adat dan hukum Barat mengarahkan pandangannya terbatas pada konsekuensi-konsekuensi kehidupan duniawi saja, sedang hukum Islam tidak terbatas pandangannya pada konsekuensi-konsekuensi duniawi saja tetapi

1

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia, ctk. Ketujuh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 187-188

(10)

10 juga memandang konsekuensi-konsekuensi akhirat yakni konsekuensi hidup setelah kehidupan di dunia ini berakhir kelak.

2

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragam (plural) dalam berbagai aspek seperti agama, suku, budaya, adat istiadat, bahasa dan lain sebagainya.

Menyatukan pluralitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidaklah mudah karena membutuhkan kesadaran toleransi yang tinggi sehingga dapat menciptakan suatu kesatuan masyarakat yang dapat hidup rukun, damai dan penuh toleransi. Disamping itu, kehidupan masyarakat yang beragam (plural) sangat rentan terhadap terjadinya konflik antar agama, suku, ras maupun golongan.

Salah satu daerah yang memiliki keragaman etnik dan tumbuh dalam suasana saling mengakomodasi kebudayaan lain adalah Lasem. Lasem merupakan refleksi perpaduan kebudayaan Arab, Cina dan pribumi yang bisa selaras. Di Lasem tumbuh sebuah pusat permukiman orang Cina yakni di daerah Dasun, Babagan dan Karangturi

3

. Pecinan dengan segala atributnya (arsitektur tempat tinggal, kelenteng) mewarnai wajah pusat Kecamatan Lasem. Banyaknya arsitektur dan tradisi Cina yang tampak di Lasem menjadikan daerah tersebut mendapat julukan “Tiongkok kecil”. Di samping itu Lasem juga menjadi salah satu simpul jaringan penyebaran agama Islam yang tampak dari kehadiran pesantren-pesantren. Pesantren-pesantren tersebut membawa adat tradisi yang memiliki unsur budaya Arab, seperti acara haul dan manakib.

4

Masyarakat Lasem, Kabupaten Rembang adalah masyarakat yang heterogen, terdiri dari berbagai agama, suku, ras dan budaya. Namun masyarakat Lasem hingga saat ini dikenal sebagai masyarakat yang memiliki tingkat kerukunan, toleransi yang tinggi. Banyak masyarakat yang datang mengunjungi

2

Ibid; hlm. 188

3

Aziz dalam Dwi Ratna Nurhajarini, dkk. Akulturasi Lintas Zaman Di Lasem : Perspektif Sejarah dan Budaya (Kurun Niaga-Sekarang). Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta. Hlm. 115-118

4

Dwi Ratna Nurhajarini, dkk. Akulturasi Lintas Zaman Di Lasem : Perspektif Sejarah dan Budaya (Kurun Niaga-Sekarang). Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal

Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta. Hlm. 2

(11)

11 daerah Lasem dan merasa heran dengan kondisi masyarakat yang dapat hidup rukun ditengah keberagaman.

Harmonisasi antar subsistem yang ada di dalam masyarakat seperti agama, budaya sangatlah penting, mengingat Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, kompleks dan sangat beragam sehingga negara kita rawan akan terjadi konflik sosial. Kolaborasi yang harmonis dapat menjadi model percontohan bagi masyarakat di wilayah lain di Indonesia guna mewujudkan harmonisasi sosial masyarakat dan integrasi nasional sehingga dapat tercipta pembangunan yang berkelanjutan, adil dan merata di segala bidang kehidupan.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Interaksi Hukum Islam dan Adat (Tradisi Lokal) di masyarakat Lasem, Kabupaten Rembang.

2. Model Harmonisasi Hukum Islam dan Adat (Tradisi Lokal) dalam keragaman masyarakat.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Memahami nilai-nilai budaya hukum masyarakat Indonesia dalam rangka penguatan integrasi nasional.

2. Mendapatkan model harmonisasi antara Hukum Adat dan Hukum Islam dalam pembaruan hukum nasional.

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan dibidang hukum pada umumnya dan diharapkan dapat

memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan terkait

perkembangan ilmu hukum pada umumnya, hukum Adat dan hukum Islam

pada khususnya.

(12)

12 2. Kegunaan secara praktis

Penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan yang timbul dalam integrasi nasional Indonesia dan diharapakan dapat menjadi bahan pertimbangan dan tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dalam mengambil kebijakan.

E. Penelitian Terdahulu

Cukup banyak penelitian yang membahas masyarakat Lasem Kabupaten Rembang, diantaranya yaitu:

1. Akulturasi lintas zaman di lasem: perspektif sejarah dan budaya (kurun niaga- sekarang) oleh Dwi Ratna N dkk.penelitian ini mengkaji tentang akulturasi yang terjadi di Lasem dalam perspektif sejarah dan budaya.

5

2. Lasem Negeri Dampoawang: Sejarah yang Terlupakan oleh Muhammad Akrom Unjiya. Penelitian ini membahas tentang Kota Lasem yang memiliki peran penting dalam menciptakan atmosfir keterbukaan dan menjadi tempat persilangan antar bangsa serta kebudayaan.

6

5

Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Akulturasi Lintas Zaman di Lasem: Perspektif Sejarah dan Budaya (Kurun Niaga-Sekarang). Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta

6

Muhammad Akrom Unjiya. 2014. Lasem Negeri Dampoawang: Sejarah yang Terlupakan oleh

Muhammad Akrom Unjiya, Desa Pustaka Indonesia

(13)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Harmonisasi Hukum

Dialektika antara hukum adat, hukum agama, dan hukum positif dapat dilacak jejaknya hingga ke masa kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia abad 16 hingga 19 masehi. Sebagaimana dijelaskan Ayang Utriza Yakin, proses dialektika hukum ketika itu “..menandai babak baru suatu budaya hukum di Nusantara.” Hubungan dialektis tersebut adakalanya mengesampingkan hukum Islam dan mendahulukan hukum adat, adakalanya berlaku sebaliknya, dan adakalanya pula kedua hukum itu berdampingan menjadi alternatif satu sama lain.

7

Di beberapa lokasi di Indonesia masa pra-kemerdekaan, posisi hukum Islam disetarakan secara ekstrim dengan hukum adat. Posisi hukum Islam diuntungkan, mengingat ketika itu posisi hukum adat lebih tinggi dibanding hukum Islam karena aspek keberterimaannya yang lebih luas dan usianya lebih tua di kalangan masyarakat adat. Posisi sama tinggi ini memuncak eskalasinya saat dikeluarkan Staatsblad No. 152 tahun 1882 oleh pemerintah kolonial Belanda di mana intinya mengakui adanya lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura. Penerimaan hukum Islam secara keseluruhan sebagai satu kesatuan digambarkan sebagai receptio in complexu, sebuah teori yang diperkenalkan begawan hukum Lodewijk Willem Chritian van den Berg (1845-1927). Namun demikian, karena alasan politik, posisi hukum Islam yang mulai populer dan dianggap mengancam kepentingan kolonial, disodorkan teori receptie di mana suatu hukum Islam hanya akan diberlakukan jika telah diterima oleh adat. Gagasan teori receptie yang diperkenalkan Van Vollen Hoven (1874- 1933 dan Snouck Hurgronje (1857-

7

Ayang Utriza Yakin, Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX M (Jakarta:

Kencana, 2016), hlm. vii-viii.

(14)

14 1936) tersebut dimaksudkan untuk melemahkan posisi hukum Islam di tengah masyarakat.

8

Perjalanan hukum di Indonesia pada masa selanjutnya berlangsung cukup kompleks. Fakta keberagaman budaya dan sosial keagamaan nyatanya menjelma problematika yang tak pernah usai bagi perkembangan hukum.

Sejarah mencatat bahwa rumusan ideologi kebangsaan (Pancasila) saat awal kemerdekaan Indonesia tahun 1945 sempat dihiasi tarik ulur antara bervisi Islam atau netral. Gejolak sosial keagamaan pada 1960-1970 turut menggambarkan tarik ulur yang lebih rumit sehingga, misalnya, kelompok komunis yang tak memiliki afiliasi keagamaan terpaksa menyelamatkan diri ke masjid dan gereja, atau misalnya terjadi kasus miris terbunuhnya tokoh- tokoh Muslim oleh simpatisan komunis. Bangsa Indonesia pada tahun 1990- an juga pernah disibukkan dengan agenda misionari di masing-masing agama dan sempat menimbulkan kegaduhan sosial.

9

Dinamika sosial keagamaan pada akhirnya turut mempengaruhi rumusan-rumusan hukum positif di Indonesia dan pada akhirnya mengandung unsur-unsur diskriminatif sebagaimana diidentifikasi oleh Human Rights Watch dalam laporan berjudul Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia yang terbit pada tahun 2013. Tercatat, beberapa aturan dan kasus-kasus diskriminatif terjadi secara masif dan melibatkan negara serta perangkat hukumnya.

10

8

Sumarni, “Kedudukan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia” dalam Jurnal al-

Adalah, Xol. 10, No. 4, Juli 2012, hlm. 450-452.

(http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah/article/view/298)

9

Howard Federspiel, “Islamic Values, Law, and Expectation in Indonesia Contemporary”

dalam Islamic Law and Society, Vol. 5, No. 1, 1998, hlm. 104-109.

10

Laporan tersebut memuat tentang beberapa aturan dan lembaga negara yang dianggap memfasilitasi diskriminasi dan pelanggaran (Bab 2), tentang fakta lapangan kesulitan mendirikan rumah ibadah, termasuk diskriminasi, kekerasan, dan serangan terhadap rumah ibadah (bab 3), serta tentang kegagalan negara melindungi minoritas agama dari kekerasan (bab 4). Human Rights Watch, Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia (New York:

Human Rights Watch, 2013), hlm. 25-93.

Naskah laporan tim Human Rights Watch selengkapnya dapat diunduh melalui tautan

berikut ini: https://www.hrw.org/sites/default/files/reports/indonesia0213ba_ForUpload.pdf

(Diakses pada 01 Agustus 2021.)

(15)

15 Persoalan mayoritas dan minoritas turut mempengaruhi kebijakan publik di Indonesia. Sebagai contoh adalah alasan pendirian lembaga setingkat Majelis Ulama Indonesia (MUI) di 5 agama resmi yang diakui di Indonesia, tidak ada satupun di antara mereka yang insiatif pendiriannya dilakukan oleh pemerintah kecuali MUI.

11

Bukti-bukti lain keberpihakan terhadap mayoritas dapat dilihat pada perundang-undangan khusus tentang hukum keluarga Islam,

12

tentang peraturan Zakat,

13

serta legislasi hukum Islam secara ekslusif di Aceh, yang semuanya mengakomodir komunitas Muslim.

14

Diuntungkannya kelompok mayoritas (Muslim) di ranah hukum menjadi tantangan bagaimana mereka mengerahkan energi dan sumber dayanya agar dapat merangkul kelompok masyarakat minoritas yang terpinggirkan. Pada pundak mereka tersemat ‘beban’ semangat toleransi ala founding fathers bangsa Indonesia yang mengedepankan kebhinnekaan di

11

Sumber: https://mui.or.id/sejarah-mui/ (Diakses pada 01 Agustus 2021.)

Kelima lembaga setingkat MUI didirikan oleh komunitas keagamaan masing-masing atas kesadaran dan kebutuhan komunitas tersebut. Kelima lembaga tersebut antara lain: Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia/PGI, Konferensi Wali Gereja Indonesia/KWI, Parisada Hindu Dharma Indonesia/PHDI, Perwakilan Umat Buddha Indonesia/Walubi, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia/Matakin.

Sumber: https://pgi.or.id/sejarah-singkat/ (Diakses pada 01 Agustus 2021.) Sumber: http://www.kawali.org/profil-kwi/ (Diakses pada 01 Agustus 2021.) Sumber: https://phdi.or.id/page/anggaran (Diakses pada 01 Agustus 2021.)

Sumber: https://www.walubi.or.id/tentang-walubi/ (Diakses pada 01 Agustus 2021.) Sumber: https://matakin.or.id/category/organisasi/read/sekilas-riwayat-matakin (Diakses pada 01 Agustus 2021.)

12

Beberapa aturan perundang-undangan hukum keluarga Islam di antaranya: (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (2) Kompilasi Hukum Islam yang disahkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 sebagai acuran pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974, dan (3) Rancangan Uundang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama (RUU HTPA) yang pertama kali diajukan Departemen Agama RI seja tahun 1993 dan belum disahkan hingga kini meski telah berganti nama menjadi RUU Hukum Materiil Peradilan Agama (HMPA) bidang perkawinan.

Selengkapnya, rujuk Mochamad Sodik, “Pembacaan Progresif terhadap Fikih Keluarga (Kritik terhadap KHI dan RUU HTPA)” dalam Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol.

46, No. 1, Januari-Juni 2012, hlm. 109-138.

Rujuk juga Muhammad Isna Wahyudi, “Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah) dalam RUU HMPA bidang Perkawinan” dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 5, No. 1, Maret 2016, hlm. 19-34.

13

Arskal Salim, Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern

Indonesia (Honolulu: University of Hawai’i Press, 2008), hlm. 120-139.

14

Ibid., hlm. 143-167.

(16)

16 balik rumusan ideologi Pancasila. Alih-alih memaksakan nilai-nilai keislaman sebagai ideologi, mereka lebih memilih toleransi hakiki.

B. Hukum Islam

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi Hukum Islam yaitu dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan- hubungan lainnya karena manusia yang hidup di dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan.

15

Sebagai sistem hukum, ia memiliki beberapa istilah kunci yang perlu untuk dipahami terlebih dahulu yaitu:

a. Hukum

Peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.

b. Hukum dan ahkam

Hukum artinya norma atau kaidah yakni ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Dalam sistem hukum Islam ada lima hukm atau kaidah yang dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik dibidang ibadah maupun dilapangan muamalah yaitu jaiz atau mubah, sunnat, makruh, wajib dan haram.

c. Syariah atau syariat

Secara harfiah syariat yaitu jalan ke sumber (mata) air yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Syariat merupakan jalan

15

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia, ctk. Ketujuh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 38

(17)

17 hidup muslim. Syariat memuat ketetapan Allah dan ketentuan rasulnya baik berupa larangan maupun berupa suruhan meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.

d. Fikih atau figh

Ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat dalam Al-Qur’an dan ketentuan- ketentuan umum yang terdapat dalam sunah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadits.

Ciri-ciri utama hukum Islam adalah:

16

a. Merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam.

b. Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam.

c. Mempunyai dua istilah kunci yaitu syariat terdiri dari wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad, fikih adalah pemahaman dari hasil pemahaman manusia tentang syariah.

d. Terdiri dari dua bidang utama yakni ibadah bersifat tertutup karena telah sempurna dan muamalah dalam arti khusus dan luas bersifat terbuka untuk dikembangkan oleh manusia yang memenuhi syarat dari masa kemasa.

e. Strukturnya berlapis terdiri dari 1) Nas atau teks Al Quran.

2) Sunnah Nabi Muhammad (untuk syariat).

3) Hasil ijtihad manusia yang memenuhi syarat tentang wahyu dan sunnah.

4) Pelaksanaannya dalam praktik baik berupa keputusan hakim maupun berupa amalan-amalan ummat Islam dalam masyarakat (untuk fikih).

f. Mendahulukan kewajiban dari hak, amal dari pahala.

g. Dapat dibagi menjadi :

16Ibid, hlm. 52

(18)

18 1) Hukum taklifi atau hukum taklif yakni al-ahkam al-khomsa yaitu lima kaidah, lima jenis hukum, lima kategori hukum, lima penggolongan hukum yakni jaiz, sunat, makruh, wajib dan haram.

2) Hukum wadh’i yang mengandung sebab, syarat halangan terjadi atau terwujudnya hubungan hukum.

Tujuan dari hukum Islam yaitu untuk menegakkan keadilan yang merata bagi seluruh umat manusia (tahqiq al-‘adalah), memelihara dan mewujudkan kemaslahatan seluruh umat manusia (ri’ayat mashalih al-ummah), tidak memperbanyak beban dan menghilangkan kesulitan (qillat al-taklif, nahyu al- haraj wa raf’u al-masyakah), pembenahan yang bertahap (tadarrujj fi al- tasyri) dan masing-masing orang hanya memikul dosanya sendiri, bukan dosa orang lain.

17

Apabila hukum Islam disistematikan seperti hukum Eropa yaitu hukum perdata dan hukum publik, maka hukum Islam dapat disistematika berupa hukum perdata Islam dan hukum publik Islam. Hukum Perdata Islam terdiri dari:

18

a. Munakahat, yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya.

b. Wirasah, mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan.

c. Muamalat, dalam arti yang khusus mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan dan sebagainya.

Sedangkan hukum publik Islam terdiri dari:

a. Jinayat, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud maupun

17

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, ctk. Pertama., PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 111

18

Mohammad Daud Ali, op. cit., hlm. 51

(19)

19 dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad (hudud jamak dari hadd=batas). Jarimah ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya.

b. Al-ahkam as-sulthaniyah, membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya.

c. Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain.

d. Mukhasamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.

Sumber hukum Islam yaitu:

19

a. Al-Quran

Al-Quran adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut.

b. As-Sunnah (Al-Hadits)

As-Sunnah (Al-Hadits) adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an, berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah), dan sikap diam (sunnah taqririyah atau sunnah sukutiyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang) dalam kitab-kitab hadits. Ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang Al-Qur’an.

c. Akal Pikiran (Ra’yu)

Sumber hukum Islam yang ketiga adalah akal pikiran (ra’yu) manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya, memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Al-Quran, kaidah-kaidah hukum yang

19Ibid; hlm. 108-111

(20)

20 bersifat umum yang terdapat dalam sunnah Nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu atau berusaha merumuskan garis-garis atau kaidah hukum yang pengaturannya tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jalan atau cara yang digunakan diantaranya yaitu:

1) Ijmak yaitu persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat disuatu masa.

2) Qiyas yaitu menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau Al-Hadits dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadits) karena persamaan illat (penyebab atau alasannya).

3) Istidal yaitu menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan.

4) Mashalih al mursalah yaitu cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik dalam Al-Qur’an maupun kitab-kitab hadits berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.

5) Istihsan yaitu cara menemukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial.

6) Istishab yaitu menetapkan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya.

7) Adat istiadat atau Urf yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.

Kedudukan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional yaitu

hukum Islam disamping hukum-hukum yang lain menjadi sumber bahan

baku penyusunan hukum nasional. Ini berarti bahwa sesuai dengan

kedudukannya sebagai salah satu sumber bahan baku dalam pembentukan

hukum nasional, hukum Islam sesuai dengan kemauan dan kemampuan

yang ada padanya dapat berperan aktif dalam proses pembinaan hukum

nasional. Kemauan dan kemampuan hukum Islam itu harus ditunjukkan

(21)

21 oleh orang Islam, baik pribadi maupun kelompok yang mempunyai komitmen terhadap Islam dan ingin hukum Islam berlaku bagi ummat Islam dalam Negara Republik Indonesia ini.

20

Jamal Abdul Aziz melihat peranan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional yaitu pertama, hukum Islam berperan dalam mengisi kekosongan hukum dalam hukum positif. Dalam hal ini hukum Islam diberlakukan oleh negara sebagai hukum positif bagi umat Islam. Kedua, hukum Islam berperan sebagai sumber nilai yang memberikan kontribusi terhadap aturan hukum yang dibuat. Oleh karena aturan hukum tersebut bersifat umum, tidak memandang perbedaan agama, maka nilai-nilai hukum Islam dapat berlaku pula bagi seluruh warga negara.

21

Berdasarkan sejarah, Islam diterima oleh bangsa Indonesia jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia. Sehubungan dengan berlakunya hukum adat bagi bangsa Indonesia dan hukum agama bagi masing-masing pemeluknya, muncullah beberapa teori yang mana dua teori pertama muncul pada masa sebelum Indonesia merdeka dan tiga teori terakhir muncul setelah Indonesia merdeka yaitu:

22

a. Teori Receptio In Complexu

Menurut Teori Receptio In Complexu bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Bagi orang Islam berlaku hukum Islam demikian juga bagi pemeluk agama lain.

b. Teori Receptie (Resepsi)

20

Ibid; hlm. 245-246

21

Jamal Abdul Aziz,” Peranan Hukum Islam Dalam Pembangunan Hukum Nasional”, Jurnal Studi Islam Dan Budaya, Ibda` | Vol. 3 | No. 1 | Jan-Jun 2005 | 93-103, http://ibda. files.wordpress.

com/2008/04/7-peranan-hukum-islam-dalam-pembangunan-hukum-nasional.pdf, hlm. 3

22

Suparman Usman, Asas-Asas Dan Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,

Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001, hal 111-119

(22)

22 Menurut Teori Receptie, hukum Islam tidak otomatis berlaku bagi orang Islam. Hukum Islam berlaku bagi orang Islam kalau ia sudah diterima (diresepsi) oleh dan telah menjadi hukum adat mereka.

Jadi yang berlaku bagi mereka bukan hukum Islam tapi hukum adat.

c. Teori Receptie Exit

Pemahaman Teori Receptie Exit menurut Hazairin yaitu ia mengemukakan bahwa Teori Receptie sebagaimana dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje, adalah teori iblis (syetan) dan telah modar, artinya telah hapus atau harus dinyatakan hapus (keluar) dengan berlakunya UUD 1945.

d. Teori Receptio A Cotrario

Menurut Sayuti Thalib Teori Receptio A Cotrario adalah kebalikan dari Teori Receptie yaitu hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.

e. Teori Eksistensi

Teori Eksistensi adalah teori yang menerangkan tentang adanya

hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia. Menurut teori ini

bentuk eksistensi (keberadaan) hukum Islam dalam hukum

nasional itu ialah: (1) ada, dalam arti hukum Islam berada dalam

hukum nasional sebagai bagian yang integral darinya; (2) ada,

dalam arti adanya kemandiriannya yang diakui berkekuatan hukum

nasional dan sebagai hukum nasional; (3) ada dalam hukum

nasional, dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai

penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia; (4) ada dalam

hukum nasional dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama

hukum nasional Indonesia.

(23)

23 C. Adat dan Hukum Adat

Istilah adat berasal dari Bahasa Arab, yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia bermakna “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan adalah tingkah laku seseorang yang terus menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama. Unsur-unsurnya adalah:

1. Adanya tingkah laku seseorang 2. Di lakukan terus menerus 3. Adanya dimensi waktu 4. Di ikuti oleh orang lain.

Adat istiadat menunjukkan bentuk, sikap, tindakan (perubahan) manusia pada masyarakat hukum adat untuk mempertahankan adat istiadat yang berlaku di lingkungan wilayahnya. Adat istiadat terkadang dipertahankan karena kesadaran masyarakatnya, tetapi tidak jarang pula adat istiadat dipertahankan dengan sanksi atau akibat hukum sehingga menjadi hukum adat.

23

Hukum adat dalam berbagai macam pendapat para sarjana hukum, yaitu:

24

1. Soekanto mengatakan bahwa hukum adat itu merupakan kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dibukukan /tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai sanksi atau akibat hukum.

2. Van Vollenhoven, menyatakan bahwa hukum adat ialah semua hukum asli, yaitu hukum yang tidak bersumber pada peraturan perundangan yang dibuat oleh pemerintahan (india Belanda dahulu atau alat kekuasaan lainya yang menjadi sendinya dan yang diadakan sendiri oleh kekuasaan Pemerintah Hindia.

23

Yulia, 2016, Buku Ajar Hukum Adat, Unimal Press, hlm.1

24

Ibid, Hlm. 2-3

(24)

24 3. Supomo mengatakan (ukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

4. Ter Haar mengatakan bahwa hukum adat timbul setelah ada penetapan para pejabat hukum sehingga kriteria yang di pakai adalah (penetapan).

5. M.M. Djojodigoeno menyebutkan hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturanperaturan.

6. Hazairin menyebutkan hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu kaidah-kaidah kesusialaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.

7. Soeroyo Wignyodipuro menyebutkan hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum (sanksi).

Hukum adat kita mempunyai corak-corak tertentu adapun corak-corak yang terpenting adalah :

25

1. Bercorak Relegiues- Magis : Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya.

Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah darp pada

25

Bewa Ragawino. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial Dan

Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Hal. 10-13

(25)

25 nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat. Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan upacara-upacara relegieus yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah serta tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan baik.

2. Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup sendiri, manusia adalah makluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakatan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan perseorangan.

3. Bercorak Demokrasi. Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai system pemerintahan. Adanya musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan hasil musyawarah dan lain sebagainya.

4. Bercorak Kontan : Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat.

5. Bercorak Konkrit Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Koesnoe dalam perkembangan hukum adat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

26

26

Sri Warjiyati, Ilmu Hukum Adat, hal.15-17

(26)

26 1. Hukum adat umumnya hukum yang tidak tertulis, umumnya mengandung pengertian tersebut adalah bahwa hukum adat itu sebagai hukum secara langsung merupakan pernyataan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup di sanubari rakyat ssendiri, oleh sebab itu hukum adat tidak pernah tertulis seperti undang-undang. Hal ini akan berdampak pada pusat perkembangan hukum adat terletak pada masyarakat sendiri dan tidak pada teknik perundang-undangan.

2. Terdapat pengertian bahwa hukum adat sebagai hukum yang memberi pedoman tentang perbuatan manusia dalam pergaulan masyarakat.

Pedoman mana adalah bersifat garis besarnya saja yang disebut dengan asas-asas. Hal ini disebabkan karena para pelaksana hukumlah yang memberikan, melaksanakan perinciannya dalam kenyataan hidup sehari- hari.

3. Mengandung pengertian bahwa hukum adat itu sebagai hukum yang bersumber dari kehidupan masyarakat itu sendiri maka perumusan asas- asas (hukum adat). Hal itu dirumuskan dalam bentuk yang mudah diketahui, diingat, dan dipahami oleh masyarakat dengan tujuan agar dalam mengimplementasikan asas-asas itu mudah diresapi dan diamalkan dalam tingkah laku kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, asas-asas hukum adat itu dirumuskan dalam bentuk seperti cerita-cerita, perumpamaan-perumpamaan, pepatah-pepatah, seloka-seloka, dan sebagainya.

4. Terdapat pengertian bahwa hukum adat itu sebagai hukum yang hanya

memuat asas-asasnya saja, diperlukan adanya seorang ahli yang bisa

memberikan penjelasan dari isi yang terkandung dalam asas-asas hukum

tersebut. Jika setiap orang memberikan penafsiran sendiri-sendiri dapat

menimbulkan suatu penafsiran atau perincian yang tidak sesuai. Olah

karena itu, peranan dan ikut campurnya kepala adat selalu dimungkinkan

untuk memberikan penafsiran yang benar manakala isi dari asas-asas

hukum adat itu kurang dipahami.

(27)

27 5. Terdapat pengertian bahwa di dalam lembaga-lembaga hukum adat seperti dalam pelaksanaan perkawinan terdapat unsur-unsur yang berasal dari alam kepercayaan dan demikian pula dalam hal pemindahan barang karena jual beli terdapat hal-hal yang mengandung unsur kepercayaan. Unsur- unsur seperti tersebut di atas sering kali diidentitaskan dengan hukum adat.

6. Terdapat penafsiran bahwa hukum adat itu sebagai hukum yang bersumber dan berakar dalam kehidupan rakyat di dalam pelaksanaannya sering kali dipengaruhi oleh faktor pamrih dan tidak pamrih. Hal ini disebabkan karena kehidupan masyarakat pada umumnya tidak mengenal perbedaan secara tegas antara hubungan pamrih dan hubungan tidak pamrih tersebut.

7. Terdapat penafsiran bahwa hukum adat sebagai hukum didalam pelaksanaan pada umumnya ditaati oleh masyarakat tanpa adanya paksanaan. Hal itu disebabkan karena di dalam masyarakat adat yang tradisional adanya keharusan untuk mengindahkan dan mentaati hukum adat itu sudah dimulai sejak kecil sebagai bagian dalam pendidikan bagi setiap warga masyarakat menuju cita-cita hukum masyarakat itu sendiri.

Pada umumnya paksaan dari masyarakat baru timbul jika terjadi hal-hal atau kejadian-kejadian yang mengancam seluruh kelembagaan adat, tatanan kemasyarakatan dan kelangsungan kehidupan masyarakat.

Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum adat, disamping kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi alam, juga faktorfaktor yang bersifat tradisional adalah sebagai berikut:

27

1. Magis dan Animisme : Alam pikiran magis dan animisme pada dasarnya dialami oleh setiap bangsa di dunia. Di Indonesia faktor magis dan animisme cukup besar pengaruhnya. Hal ini dapat dilihat dalam upacara- upacara adat yang bersumber pada kekuasaan-kekuasaan serta kekuatan- kekuatan gaib.

27

Bewa Ragawino. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial Dan

Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Hal. 27-30

(28)

28 a. Kepercayaan kepada mahkluk-mahkluk halus, roh-roh, dan hantuhantu yang menempati seluruh alam semesta dan juga gejala-gejala alam, semua benda yang ada di alam bernyawa.

b. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti dan adanya roh-roh yang baik dan yang jahat.

c. Adanya orang-orang tertentu yang dapat berhubungan dengan dunia gaib dab atau sakti.

d. Takut adanya hukuman/ pembalasan oleh kekuatan-kekuatan gaib. Hal ini dapat dilihat adanya kebiasaan mengadakan siaran-siaran, sesajen di tempat-tempat yang dianggap keramat.

2. Faktor Agama. Masuknya agama-agama di Indonesia cukup banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan hukum adat misalnya : a. Agama Hindu : Pada abad ke 8 masuknya orang India ke Indonesia

dengan membawa agamanya, pengaruhnya dapat dilihat di Bali.

Hukum-hukum Hindu berpengaruh pada bidang pemerintahan Raja dan pembagian kasta-kasta.

b. Agama Islam : Pada abad ke 14 dan awal abad 15 oleh pedagang- pedagang dari Malaka, Iran. Pengarush Agama Islam terlihat dalam hukum perkawinan yaitu dalam cara melangsungkan dan memutuskan perkawinan dan juga dalam bidang wakaf. Pengaruh hukum perkawinan Islam didalam hukum adat di beberapa daerah di Indonesia tidak sama kuatnya misalnya daerah Jawa dan Madura, Aceh pengaruh Agama Islam sangat kuat, namun beberapa daerah tertentu walaupun sudah diadakan menurut hukum perkawinan Islam, tetapi tetap dilakukan upacara-upacara perkawinan menurut hukum adat, missal di Lampung, Tapanuli.

c. Agama Kristen : Agama Kristen dibawa oleh pedagang-pedagang

Barat. Aturan-aturan hukum Kristen di Indonesia cukup memberikan

pengaruh pada hukum keluarga, hukum perkawinan. Agama Kristen

juga telah memberikan pengaruh besar dalam bidang social khususnya

(29)

29 dalam bidang pendidikan dan kesehatan, dengan didirikannya beberapa lembaga Pendidikan dan rumah-rumah sakit.

3. Faktor Kekuasaan yang lebih tinggi. Kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi yang dimaksud adalah kekuasaankekuasaan Raja-raja, kepala Kuria, Nagari dan lain-lain. Tidak semua Raja-raja yang pernah bertahta di negeri ini baik, ada juga Raja yang bertindak sewenang-wenang bahkan tidak jarang terjadi keluarga dan lingkungan kerajaan ikut serta dalam menentukan kebijaksanaan kerajaan misalnya penggantian kepala-kepala adat banyak diganti oleh orang-orang yang dengan kerajaan tanpa menghiraukan adat istiadat bahkan menginjak-injak hukum adat yang ada dan berlaku didalam masyarakat tersebut.

4. Adanya Kekuasaan Asing. Yaitu kekuasaan penjajahan Belanda, dimana orang-orang Belanda dengan alam pikiran baratnya yang individualisme.

Hal ini jelas bertentangan dengan alam pikiran adat yang bersifat kebersamaan.

D. Keberagaman Masyarakat

Keberagaman, juga kesatuan, merupakan isu penting dalam struktur kebangsaan Indonesia yang mempedomani Bhinneka Tunggal Ika.

Keberagaman perlu disikapi secara dewasa sehingga tidak salah kaprah menjadi keseragaman

28

yang mengancam kesatuan bangsa dan harmoni sosial di tengah masyarakat Indonesia. Merawat keberagaman tak bisa dipisahkan dari pengakuan identitas di antara sesama warga bangsa.

29

Rasisme terhadap warga papua, misalnya, adalah contoh kegagalan bangsa merawat keberagamannya.

30

Konflik berlatar belakang identitas (agama, ras, warna

28

Trisno S. Sutanto dan M. Iqbal Ahnaf, Pengantar “Pertarungan Identitas dan Tantangan

Pengelolaan Keragaman” dalam Eni Puji Utami, dkk., Praktek Pengelolaan Keragaman di Indonesia: Konstruksi Identitas dan Ekslusi Sosial (Yogyakarta: CRCS Universitas Gadjah Mada,

2018), hlm. xii.

29

Ibid., hlm. xvi.

30

Fathoni Nur Muhammad dan Sahriyal Okta Panca Sakti, Kajian Diskriminasi dan

Rasisme terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya (Surabaya: Badan Eksekutif Mahasiswa Institut

Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 2020).

(30)

30 kulit, bahkan pilihan politik) merupakan penyakit yang sulit disembuhkan

31

, bahkan di tengah arus kemajuan manusia di bidang informasi dan interaksi sosial via media sosial yang semakin inklusif sekalipun.

Menengok ke belakang, sejatinya bangsa Indonesia (Nusantara) secara organik adalah bangsa yang lahir dari keberagaman. Jauh sebelum era kolonialisme, bangsa Indonesia sangat terbuka dengan kehadiran para pelancong yang singgah. Sebagian mereka berjualan dan menetap di bumi Nusantara, sebagian lainnya menjajah.

32

Oleh sebab warna warni kehidupan di Indonesia tersebut, semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan rumusan ideologi Pancasila merupakan dua produk terbaik sekaligus paling cocok bagi bangsa dengan latar belakang etnis, agama, dan budaya yang beragam.

Bukti-bukti keberagaman dalam kehidupan keagamaan di Indonesia turut menjadi warna tersendiri di bumi Nusantara. Agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan hidup berdampingan dan terawat hingga kini. Di antara ragam sistem kepercayaan yang bukan termasuk institusi agama

‘resmi’ dapat berupa (a) laku spiritual internal agama, misalnya ragam kelompok tarekat sufi dalam Islam; (b) laku spiritual lintas agama, misalnya Paguyuban Ngesti Tunggal atau Pangestu, di mana pengikutnya bisa saja dari kalangan Muslim, Katolik, atau pemeluk agama lainnya dan (c) laku spiritual yang terlepas dari hubungan dengan institusi agama manapun yang dikenal

Berita terbaru, kasus injak kepala warga Papua oleh anggota TNI Angkatan Udara pada akhir Juli 2021. Selengkapnya: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-57967280 (Diakses pada 01 Agustus 2021.)

31

Misalnya rasisme terhadap warga Indonesia keturunan Tionghoa dan masih berlangsung hingga kini. Ulasan selengkapnya, rujuk Irawan Santoso Suryo Basuki, Mengapa Sentimen Negatif

terhadap Etnis Cina Mengakar Kuat di Indonesia, dimuat di The Conversation Indonesia, 21

Agustus 2020. Sumber: https://theconversation.com/mengapa-sentimen-negatif-terhadap-etnis- cina-mengakar-kuat-di-indonesia-144673 (Diakses pada 01 Agustus 2021.)

32

Wawancara harian Media Indonesia bersama Guru Besar dan pakar sejarah Universitas Gadjah Mada Prof. Djoko Suryo tentang keberagaman Indonesia dan kepelikan merawatnya di tengah himpitan zaman. Selengkapnya, rujuk tautan berikut ini:

https://mediaindonesia.com/wawancara/201511/indonesia-lahir-dari-kultur-keberagaman-jangan- diubah (Diakses pada 01 Agustus 2021.)

(31)

31 luas di Indonesia dan kelak akan diakui sebagai agama, misalnya aliran kepercayaan atau agama Samin.

33

Selain perlu dirawat, keberagaman di Nusantara juga perlu dipahami dengan seksama. Karenanya, pemahaman tentang bagaimana merawat keberagaman, utamanya di kalangan Muslim selaku kelompok mayoritas, menjadi agenda penting untuk mencapai tujuan utama dimaksud. Pakar studi al-Qur’an M. Qurasih Shihab merasa perlu menjelaskan kepada khalayak luas tentang arti penting bersikap moderat dalam beragama, sebagaimana tertuang dalam bukunya Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama.

34

Pemahaman moderasi tidak saja menjauhkan umat dari ekstrimisme dalam beragama namun juga meminimalisir konflik yang dapat merusak keberagaman bangsa. Tak lupa, peran penyuluh agama juga diperlukan sebagai agen-agen moderasi di tengah masyarakat.

35

Namun, sejurus dengan apa yang Slavoj Žižek katakan, pemicu persoalan kebangsaan yang merusak keberagaman seringkali bukan terletak pada isu-isu intoleransi atau tidak dipahaminya konsep-konsep moderasi beragama, melainkan faktor ketidakmerataan ekonomi, eksploitasi alam dan manusia, serta ketidakadilan

36

yang dialami mayoritas lapisan masyarakat sehingga menimbulkan kekecewaan, perlawanan, hingga permusuhan terhadap kelompok masyarakat lainnya.

33

Laporan jurnalisme Majalah Tempo tahun awal 1970-an hingga akhir 1980-an merekam beberapa penggal kisah aliran kepercayaan berdinamika di tengah masyarakat Indonesia.

Selengkapnya rujuk Pusat Data dan Analisa Tempo, Menyaksikan Kisah Keragaman Aliran

Kepercayaan Indonesia Bersanding dengan Ajaran Lain (Jakarta: Tempo Publishing, 2019).

Beberapa literatur terbaik yang dapat diakses secara bebas adalah publikasi sivitas akademika CRCS (Center for Religious and Cross-Cultural Studies) Universitas Gadjah Mada, yang dapat diunduh di tautan berikut ini: https://crcs.ugm.ac.id/books/

34

Penjelasan tentang moderasi di buku ini mengacu langsung pada redaksi ayat-ayat al- Qur’an. Elaborasi yang disampaikan pakar bidang Tafsir al-Qur’an M. Quraish Shihab sangat mendalam dan lebih dari cukup untuk memuaskan dahaga relijiusitas masyarakat Indonesia yang selalu mengajukan tanya ‘apa dalilnya?’ untuk hampir semua hal-hal duniawi. Selengkapnya, rujuk M. Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama (Tangerang:

PT. Lentera Hati, cetakan kedua Februari 2020), hlm. 4-17.

35

Agus Akhmadi, Moderasi Beragama dalam Keragaman Indonesia, Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. 13, No. 2, Pebruari 2019, hlm. 45-55.

36

Trisno S. Sutanto dan M. Iqbal Ahnaf, Pengantar “Pertarungan Identitas dan Tantangan

Pengelolaan Keragaman” dalam Eni Puji Utami, dkk.….., hlm. xvi.

(32)

32 E. Integrasi Nasional

Istilah Integrasi nasional dalam bahasa Inggrisnya adalah “national integration”. "Integration" berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Kata ini berasal dari bahasa latin integer, yang berarti utuh atau menyeluruh.

Berdasarkan arti etimologisnya itu, integrasi dapat diartikan sebagai pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. “Nation” artinya bangsa sebagai bentuk persekutuan dari orang-orang yang berbeda latar belakangnya, berada dalam suatu wilayah dan di bawah satu kekuasaan politik. Ada pengertian dari para ahli atau pakar asing mengenai istilah tersebut. Misalnya, Kurana (2010) menyatakan integrase nasional adalah kesadaran identitas bersama di antara warga negara. Ini berarti bahwa meskipun kita memiliki kasta yang berbeda, agama dan daerah, dan berbicara bahasa yang berbeda, kita mengakui kenyataan bahwa kita semua adalah satu.

Jenis integrasi ini sangat penting dalam membangun suatu bangsa yang kuat dan makmur.

37

Menurut Suroyo,

38

integrasi nasional mencerminkan proses persatuan orang-orang dari berbagai wilayah yang berbeda, atau memiliki berbagai perbedaan baik etnisitas, sosial budaya, atau latar belakang ekonomi, menjadi satu bangsa (nation) terutama karena pengalaman sejarah dan politik yang relatif sama. Dalam realitas nasional integrasi nasional dapat dilihat dari tiga aspek yakni aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya. Dari aspek politik, lazim disebut integrasi politik, aspek ekonomi (integrasi ekonomi), yakni saling ketergantungan ekonomi antar daerah yang bekerjasama secara sinergi, dan aspek sosial budaya (integrasi sosial budaya) yakni hubungan antara suku, lapisan dan golongan. Berdasar pendapat ini, integrasi nasional meliputi:

37

Paristiyanti Nurwardani dkk. 2016. Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan Kewarganegaraan. Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Hlm.55-56

38

Ibid 60-63

(33)

33 a. Integrasi Politik

Dalam tataran integrasi politik terdapat dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi yang bersifat vertikal menyangkut hubungan elit dan massa, baik antara elit politik dengan massa pengikut, atau antara penguasa dan rakyat guna menjembatani celah perbedaan dalam rangka pengembangan proses politik yang partisipatif. Dimensi horizontal menyangkut hubungan yang berkaitan dengan masalah teritorial, antar daerah, antar suku, umat beragama dan golongan masyarakat Indonesia.

b. Integrasi Ekonomi

Integrasi ekonomi berarti terjadinya saling ketergantungan antar daerah dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Adanya saling ketergantungan menjadikan wilayah dan orang-orang dari berbagai latar akan mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dan sinergis. Di sisi lain, integrasi ekonomi adalah penghapusan (pencabutan) hambatanhambatan antar daerah yang memungkinkan ketidaklancaran hubungan antar keduanya, misal peraturan, norma dan prosedur dan pembuatan aturan bersama yang mampu menciptakan keterpaduan di bidang ekonomi.

c. Integrasi sosial budaya

Integrasi ini merupakan proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur- unsur yang berbeda tersebur dapat meliputi ras, etnis, agama bahasa, kebiasaan, sistem nilai, dan lain sebagainya. Integrasi sosial budaya juga berarti kesediaan bersatu bagi kelompok-kelompok sosial budaya di masyarakat, misal suku, agama, dan ras.

Integrasi nasional dimulai saat keberagaman disadari sebagai

keniscayaan dan visi nasionalisme dihayati sebagai visi bersama. Persoalan

integrasi, nasionalisme, dan persatuan identik dengan segala hal yang dikelola

untuk kepentingan bersama. Rasa senasib-sepenanggungan turut

membungkus semangat kebersamaan tersebut. Namun, apa yang terjadi jika

(34)

34 sesama kelompok bangsa tidak diperlakukan setara serta tidak mendapatkan hak yang sama? Masihkah integrasi, nasionalisme, dan persatuan diperlukan?

Tantangan integrasi nasional terdekat berasal dari kemajuan teknologi.

Melalui tekonologi, siapapun dapat menggerakkan aksi berskala internasional. Sebagai contoh, komunitas Global Citizen yang diresmikan pada 2008 di Melbourne. Mereka hadir untuk mengkonsolidasi dan mengajak pemuda-pemudi di seluruh penjuru dunia untuk menyelamatkan masa depan Bumi. Selain kemiskinan, aksi riil mereka adalah menyuarakan kesetaraan dan menyelamatkan Bumi dari perubahan iklim.

39

Jumlah komunitas berskala global sangat melimpah dan beragam. Atas alasan kesamaan visi dan cita- cita, boleh jadi mereka merasa tak memerlukan lagi institusi negara. Negara dan kesamaan latar belakang budaya tidak penting lagi bagi mereka.

Rekam jejak pengelolaan negara yang buruk, utamanya di negara

‘berkembang’ seperti Indonesia, menjadikan sebagian masyarakartnya apatis terhadap kemanfaatan keterlibatan negara. Demikian pula di negara maju, hal yang sama dapat berlaku. Saat terjadi krisis finansial global pada 2008, Mereka mencari alternatif terbaik bagi solusi ekonomi dan hadirlah dunia cryptocurrency (mata uang digital). Sampai pertengahan tahun 2021, popularitas cryptocurrency masih tinggi dan yang diyakini dan isu mayoritas- minoritas menjadi tantangan sepanjang zaman.

Bagaimana mengembangkan integrasi nasional sebuah bangsa?

40

Howard Wriggins dalam Muhaimin & Collin MaxAndrews (1995) menyebut ada lima pendekatan atau cara bagaimana para pemimpin politik mengembangkan integrasi bangsa. Kelima pendekatan yang selanjutnya kita sebut sebagai faktor yang menentukan tingkat integrasi suatu negara adalah :1) Adanya ancaman dari luar, 2) Gaya politik kepemimpinan, 3) Kekuatan

39

Sumber: https://www.globalcitizen.org/en/take-action/ (Diakses pada 01 Agustus 2021.)

40

Paristiyanti Nurwardani dkk. 2016. Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan

Kewarganegaraan. Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset,

Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Hlm.70-72

(35)

35 lembaga–lembaga politik, 4) Ideologi Nasional, dan 5) Kesempatan pembangunan ekonomi.

a. Adanya ancaman dari luar

Adanya ancaman dari luar dapat menciptakan integrasi masyarakat.

Masyarakat akan bersatu, meskipun berbeda suku, agama dan ras ketika menghadapi musuh bersama. Contoh, ketika penjajah Belanda ingin kembali ke Indonesia, masyarakat Indonesia bersatu padu melawannya. Suatu bangsa yang sebelumnya berseteru dengan saudara sendiri, suatu saat dapat berintegrasi ketika ada musuh negara yang datang atau ancaman bersama yang berasal dari luar negeri. Adanya anggapan musuh dari luar mengancam bangsa juga mampu mengintegrasikan masyarakat bangsa itu.

b. Gaya politik kepemimpinan

Gaya politik para pemimpin bangsa dapat menyatukan atau mengintegrasikan masyarakat bangsa tersebut. Pemimpin yang karismatik, dicintai rakyatnya dan memiliki jasa-jasa besar umumnya mampu menyatukan bangsanya yang sebelumya tercerai berai. Misal Nelson Mandela dari Afrika Selatan. Gaya politik sebuah kepemimpinan bisa dipakai untuk mengembangkan integrasi bangsanya.

c. Kekuatan lembaga- lembaga politik

Lembaga politik, misalnya birokrasi, juga dapat menjadi sarana pemersatu masyarakat bangsa. Birokrasi yang satu dan padu dapat menciptakan sistem pelayanan yang sama, baik, dan diterima oleh masyarakat yang beragam. Pada akhirnya masyarakat bersatu dalam satu sistem pelayanan.

d. Ideologi Nasional

Ideologi merupakan seperangkat nilai-nilai yang diterima dan

disepakati. Ideologi juga memberikan visi dan beberapa panduan

bagaimana cara menuju visi atau tujuan itu. Jika suatu masyarakat

meskipun berbeda-beda tetapi menerima satu ideologi yang sama maka

(36)

36 memungkinkan masyarakat tersebut bersatu. Bagi bangsa Indonesia, nilai bersama yang bisa mempersatukan masyarakat Indonesia adalah Pancasila. Pancasila merupakan nilai sosial bersama yang bisa diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia. Nilai-nilai bersama tidak harus berlaku secara nasional. Di beberapa daerah di Indonesia terdapat nilai-nilai bersama. Dengan nilai itu kelompok kelompok masyarakat di daerah itu bersedia bersatu. Misal “Pela Gadong” sebagai nilai bersama yang dijunjung oleh masyarakat Maluku.

e. Kesempatan pembangunan ekonomi

Jika pembangunan ekonomi berhasil dan menciptakan keadilan, maka masyarakat bangsa tersebut bisa menerima sebagai satu kesatuan. Namun jika ekonomi menghasilkan ketidakadilan maka muncul kesenjangan atau ketimpangan. Orang–orang yang dirugikan dan miskin sulit untuk mau bersatu atau merasa satu bangsa dengan mereka yang diuntungkan serta yang mendapatkan kekayaan secara tidak adil. Banyak kasus karena ketidakadilan, maka sebuah masyarakat ingin memisahkan diri dari bangsa yang bersangkutan.

Dengan pembangunan ekonomi yang merata maka hubungan dan

integrasi antar masyarakat akan semakin mudah dicapai.

(37)

37 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis (sociology of law).

Penelitian sociology of law menempatkan hukum sebagai perilaku sosial yang terlegitimasi.

41

Pendekatan penelitian dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk untuk mengungkap apa yang ada dibalik perilaku masyarakat yang tampak untuk memahami hukum yang hidup di dalamnya.

42

B. Latar Seting Penelitian

Seting penelitian merupakan tempat atau wilayah yang dijadikan objek penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di daerah Lasem Kabupaten Rembang Jawa Tengah.

C. Subjek dan Informan Penelitian

Subjek dan informan pada penelitian ini adalah adalah tokoh dan masyarakat Kabupaten Rembang. Tokoh masyarakat yaitu KH. Muhammad Zaim Ahmad Ma'shoem, beliau salah satu tokoh masyarakat yang paham sejarah dan kondisi masyarakat Lasem. Sedangkan dari masyarakat adalah Sudadik, Rastono, dan Adi Sampurno yang mana mereka merupakan masyarakat asli Lasem yang mengalami kondisi kehidupan di Lasem.

D. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh terutama dari hasil penelitian hukum empiris yaitu penelitian yang dilakukan langsung di dalam masyarakat. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau literature yang

41

Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, 2010, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, hal. 49

42

Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, hal. 58

Gambar

Foto 2: Berada di pos kamling dengan gaya bangunan Tionghoa
Foto 5: Salah satu bagian bangunan di rumah merah
Foto 6: Bersama tim lapangan

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat beberapa faktor penyebab kejadian anemia yang dialami remaja yaitu kurangnya pengetahuan anemia dan asupan gizi sehingga mempengaruhi pemilihan dalam konsumsi makanan yang

peneliti sendiri belum mengetahui pasti besar kecilnya pengaruh dari Pesantren Pagelaran, tapi menurut peneliti itu sangat berpengaruh besar terhadap masa NU

Pendekatan studi kasus ini dilakukan untuk mendeskripsikan program rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan hutan rakyat di Desa Kalisidi Kecamatan Ungaran Barat

Tindakan untuk menurunkan pengeluaran yang kami lakukan telah membuahkan hasil seperti yang terlihat dalam penurunan 13% beban crewing menjadi US$ 11,1 juta

Mengacu pada hasil analisis data yang telah dilakukan, maka pada bagian pembahasan akan dijabarkan tentang deskripsi pengaruh variabel kreativitas iklan, daya tarik iklan

DIKBANGSPES PERWIRA PERTAMA

Disampimg itu untuk melengkapi data yang diperlukan, sum ber data juga diperoleh dari walimurid anak TK Aisyiyah I (3 orang) dan walimurid TK Universitas M uhammadiyah Purwokerto

Berdasarkan diagram segi tiga Cl, Li, B (gambar 5) posisi semua mata air panas terletak pada zona tengah yang cenderung ke arah Cl-Li-B yang mengindikasikan bahwa air