• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI PERALIHAN KEWENANGAN IZIN PEMANFAATAN TANAH BERORIENTASI KEPASTIAN HUKUM. Chandra Saputra, Ma rifah, Masdari.T

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLIKASI PERALIHAN KEWENANGAN IZIN PEMANFAATAN TANAH BERORIENTASI KEPASTIAN HUKUM. Chandra Saputra, Ma rifah, Masdari.T"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN TANAH BERORIENTASI KEPASTIAN HUKUM

Chandra Saputra, Ma’rifah, Masdari.T

(2)

IMPLICATIONS OF TRANSFER OF AUTHORITY OF LEGAL ASSURANCE ORIENTED

LAND UTILIZATION LICENSE

by

Chandra Saputra*, Ma’rifah, Masdari.T

bobychan966@gmail.com

marifah@stihsa.ac.id

Magister Ilmu Hukum Sultan Adam

This research study aims to analyze theoretically the validity of the issuance of land use permits by the Online Single Submission Institution, which is oriented towards legal certainty. The problems that arise regarding the implications of the transfer of authority to issue land use permits from the Regional Government to the Online Single Submission Institution.

This study uses a normative legal research method, which examines the problem of legal certainty based on the level of legal norms. Prescriptive nature of research. By using the statutory approach (Statute Approach), the Conceptual Approach. The theory that the author uses is the Stufenbau Des Recht Theory by Hans Kelsen and the Gustav Radbruch Legal Assurance Theory that law is normative because of the value of justice (Legal Certainty).

The conflicting legal principle of lex superior derogat legi priori, theoretically raises the invalidity of legal norms and legal uncertainty, where the validity of the authority to issue permits can be judged to be forced and beyond the authority regulated in the law.

Keywords: Implication, Transition, Land Utilization Permit, Legal Certainty

(3)

Abstrak

Kajian penelitian ini bertujuan menganalisis secara teoritis mengenai keabsahan penerbitan izin pemanfaatan tanah oleh Lembaga Online Single Submission berorientasi pada kepastian hukum. Permasahan yang timbul mengenai implikasi peralihan kewenangan penerbitan izin pemanfaatan tanah dari Pemerintah Daerah kepada Lembaga Online Single Submission.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yakni mengkaji permasalahan kepastian hukum berdasarkan jenjang norma hukum.

Sifat penelitian preskriptif. Dengan menggunakan pendekatan perundang- undangan (Statute Approach), pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Teori yang penulis gunakan, yakni Teori Stufenbau Des Recht Theory oleh Hans Kelsen dan Teori Kepastian Hukum Gustav Radbruch bahwa Hukum itu normatif karena nilai keadilan (Kepastian Hukum).

Temuan hasil dari penelitian hukum ini adalah pertentangan asas hukum lex superior derogat legi priori secara teoritis menimbulkan invaliditas norma hukum dan ketidakpastian hukum, dimana secara keabsahan kewenangan penerbitan izin dapat dinilai dipaksakan dan bersifat melampaui dari kewenangan yang sudah diatur dalam Undang-Undang.

Kata-Kata Kunci : Implikasi, Peralihan, Izin Pemanfaatan Tanah,

Kepastian Hukum

(4)

PENDAHULUAN

Pemerintah Indonesia melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional telah menetapkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2019 tentang Izin Lokasi (Selanjutnya disebut: Permen ATR/KBPN 17-2019).

Dalam pengaturan Permen ATR/KBPN 17-2019, secara tegas (implisit) Pasal 9 Ayat (1) bahwa Izin Lokasi diterbitkan oleh Lembaga OSS dalam bentuk keputusan pemberian Izin Lokasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Permen ATR/KBPN 17-2019 telah terjadi suatu keadaan dimana kewenangan yang telah didelegasikan oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah maka melalui permen tersebut telah terjadi peralihan kewenangan penerbitan izin lokasi pemanfaatan tanah kepada sebuah lembaga yang disebut Lembaga OSS (Online Submission System).

Pemberian kewenangan oleh Peraturan Menteri menimbulkan satu persoalan hukum bahwa ketentuan Permen ATR/KBPN 17-2019 baik secara parsial per Pasal dan/atau keseluruhan isi/subtansi aturannya telah menimbulkan potensi konflik dengan ketentuan yang diatur dalam UUPemda yang telah membagi kewenangan itu. Sehingga menimbulkan interpretasi adanya duplikasi kewenangan. Kewenangan dalam pemberian izin oleh Bupati/Walikota sebagai kepala daerah kabupaten/kota yang bersumber dari pembagian urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUPemda berhadapan dengan kewenangan Lembaga OSS yang bersumber dari pengaturan oleh Menteri (berlandaskan peraturan Menteri), oleh sebab itu penulis tertarik mengangkat satu permasalahan hukum mengenai implikasi peralihan kewenangan penerbitan izin pemanfaatan tanah dari Pemerintah Daerah kepada Lembaga Online Single Submission (OSS).

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang di gunakan, yakni penelitian hukum normatif, mengkaji permasalahan kepastian hukum.Sifat penelitian yang digunakan preskriptif dengan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan Konseptual (Conceptual Approach).

LITERATURE REVIEW

A. Teori jenjang norma hukum Hans Kelsen

Pendapat Hans Kelsen bahwa karakter dinamis dari sistem norma dan

fungsi norma dasar serta adanya kekhasan dari hukum tidak lain adalah

hukum mengatur pembentukannya sendiri termasuk menentukan isi dari

norma yang lain itu. Hans Kelsen menegaskan berlaku landasan validitas

atas satu norma hukum. Validitas itu merujuk pada pembentukannya dimana

(5)

satu norma hukum dinyatakan memenuhi validitas apabila pembentukannya mengacu pada apa yang ditentukan oleh norma hukum yang lain yang merupakan landasan validitasnya dalam hal ini norma yang berkedudukan lebih tinggi. Adapun norma yang terbentuk berdasarkan norma yang lebih tinggi tersebut berkedudukan lebih rendah. Oleh Kelsen disebutnya dengan hubungan antara “superordinasi” dan “subordinasi” dengan makna sebuah kiasan ruang tingkatan, oleh Kelsen disebutnya dengan Tatanan Hukum.

1

Dengan menggunakan konsep stufenbau (lapisan-lapisan aturan menurut eselon), ia mengkonstruksi pemikiran tentang tertib yuridis. Dalam konstruksi ini, ditentukan jenjang-jenjang perundang-undangan. Seluruh sistem perundang-undangan mempunyai suatu struktur pidamida (mulai dari yang abstrak yakni grundnorm sampai yang konkret seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain sebagainya. Jadi menurut Kelsen, cara mengenal suatu aturan yang legal dan tidak legal adalah mengeceknya melalui logika stufenbau itu. Dan grundnorm menjadi batu uji utama.

2

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, menurut penulis berlaku Teori Lex Superior derogate legi Inferior yang artinya asas hukum yang menyatakan bahwa hukum yang tinggi (lex superior) mengesampingkan hukum yang rendah (lex inferior). Asas ini biasanya sebagai asas hierarki. Dan Teori yang kedua yaitu Lex Posterior derogat legi Priori adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex prior).

B. Teori Kepastian Hukum Gustav Radbruch

Hukum itu normatif karena nilai keadilan (Kepastian Hukum).

Radbruch berusaha mengatasi dualisme antara Sein dan Sollen, antara materi dan bentuk, Jika Stamler dan Kelsen terperangkat dalam dualisme itu (sehingga yang dipentingkan dalam hukum hanyalah dimensi formal atau bentuknya), maka Radbruch tidak mau terjatuh dalam “kesesatan” yang sama.

Radbruch memandang Sein dan Sollen, materi dan bentuk sebagai dua sisi dari satu mata uang. Materi mengisi bentuk dan bentuk melindung materi.

Menurut Radbruch: “Nilai keadilan adalah materi yang harus menjadi isi aturan hukum. Sedangkan aturan hukum adalah bentuk yang harus melindungi nilai keadilan. Hukum sebagai pengembang nilai keadilan

1Lihat H. Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, 2006. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Hlm. 61. Pemahaman tentang Stufentheorie atau di Indonesia diajarkan di Fakultas Hukum dengan sebutan Stufenbautheory dimaknai dengan penyebutan hierarki peraturan perundang-undangan dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan yang lebih tinggi adalah Grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotesis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkret dari pada ketentuan yang lebih tinggi. Dikalangan ahli hukum hipotesis itu sebuah pengandaian pemikiran yuridis.

2Bernard L. Tanya (dkk). 2007. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi. Surabaya: CV. Kita, Hlm. 148.

(6)

menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum.”

3

Jika merujuk pada maksud Radbruch bahwa antara keadilan, finalitas, dan kepastian itu akan selalu terjadi pertentangan maka pada konteks penelitian hukum ini dimana finalitas yaitu perkembangan individu menuntut terhadap aturan hukum menguji peraturan perundang-undangan memberikan manfaat, tetapi aspek legalitas ketentuan undang-undang telah mengatur sedemikian rupa dengan dalil sebagai kepastian hukum tentunya hanya menyandarkan pada mengikatnya norma-norma, yaitu asas expressie unius est exclusio alterius.

Kewenangan untuk menyelenggarakan biasanya bersifat jabatan dari pejabat ke pejabat lainnya yang dimuat dalam sebuah keputusan oleh pejabat lebih tinggi memberikan kewenangan kepada pejabat dibawahnya. Ranahnya berada dalam lingkup keputusan tata usaha negara yang ditujukan kepada individu tertentu dalam lingkup jabatan pemerintahan. Philipus M. Hadjon menggambarkan sumber kewenangan sebagai berikut:

Tabel 1.

Sumber Kewenangan Penyelenggaraan Pemerintahan

Mandat Delegasi

Prosedur Pemberian wewenang

Tanggung jawab

Wewenang pemberi

Atasan kepada ba-wahan; hal biasa kecuali dilarang oleh perundang- undangan

Tetap pada pem- beri mandat

Setiap saat dapat

menggunakan sendiri

wewenang tersebut

Dari organ

Pemerintahan kepada organ lain dengan Peraturan Perundang- undangan.

Delegasi tidak diberikan kepada bawahan.

Tanggung jawab

dialihkan

Pemberi delegasi tidak dapat menggunakan sen- diri wewenang tersebut, kecuali ada pencabutan Sumber: Philpus M. Hadjon

4

3Ibid. Hlm. 150-151

4Lihat: Philipus M. Hadjon. 1993. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.

Yogjakarta: Gadjahmada University Press. Hlm. 137.

(7)

Apabila ditinjau dari implementasi atas kewenangan maka hal ini merupakan perbuatan atau tindakan pemerintahan yang dikeluarkan dalam bentuk ketetapan (keputusan tata usaha negara).

Mengacu pada pendapat Van der Pot, ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan dapat berlaku sebagai ketetapan yang sah berlandaskan pada kewenangan yang nyata yaitu :

1. Ketetapan harus dibuat oleh alat (organ) yang berwenang (bevoed) membuatnya.

2. Karena pernyataan itu sudah kehendak, maka pembuatan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis.

3. Ketetapan harus diberi bentuk yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya, juga harus memperhatikan cara membuat ketetapan itu.

4. Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.

5

Adapun E.Utrecht menyatakan bahwa di dalam pembuatan ketetapan, administrasi negara harus memperhatikan ketentuan-ketentuan tertentu.

Ketentuan ketentuan itu terdapat dalam Hukum Tata Negara (mengenai kompetensi dan tujuan) maupun dalam hukum administrasi negara (mengenai prosedur). Bila ketentuan itu tidak diperhatikan, maka ada kemungkinan dibuat suatu ketetapan yang mengandung kekurangan (gebreken).

Kekurangan dalam suatu ketetapan dapat menjadi sebab maka ketetapan itu tidak sah. (niet rechtsgelding).

6

Tatiek Sri Djatmiati mengemukakan bahwa: ”Izin merupakan instrumen yang biasa digunakan di dalam bidang Hukum Administrasi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi para warganya agar bersedia mengikuti cara yang dianjurkan guna mencapai tujuan yang konkrit”.

7

Apa tujuan dari perizinan? Menurut Spelt dan Ten Berge, tujuan izin adalah untuk mengikat tindakan-tindakan. Pada suatu sistem perizinan, pembuat undang-undang mempunyai motif untuk menggunakan sistem perizinan dapat berupa:

a. Keinginan mengarahkan, mengendalikan(sturen) aktivitas- aktivitas tertentu (misalnya izin bangunan);

b. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan);

c. Keinginan melindungi obyek-obyek tertentu (izin tebang, izin membongkar pada monumen-monumen);

5E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang. 1985. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Ichtiar. Hlm.79.

6E.Utrecht, 1986. Pengantar Hukum Adminsitrasi Indonesia. Surabaya: Pustaka Tinta Mas. Hlm. 107

7Tatiek Sri Djatmiati. 2002. Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana, Universitas Airlangga. Hlm. 1.

(8)

d. Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat penduduk);

e. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin syarat tertentu).

8

Dari pandangan Spelt dan Ten Berge, kita dapat memperoleh pemahaman bahwa: Izin “licence” atau “vergunning”, terhadap kegiatan usaha yang melalui izin seperti izin lokasi merupakan instrumen hukum yang berupa pengaturan secara langsung dalam hukum. Stelsel perizinan memberi kemungkinan untuk menetapkan peraturan yang tepat terhadap kegiatan perorangan, dengan cara persyaratan-persyaratan yang dapat dikaitkan pada izin itu.

9

Berdasarkan pada tujuannya, maka izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintahan menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku warga. Tujuan izin mengatur tindakan-tindakan pembuat undang-undang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun dimana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekedarnya.

10

PEMBAHASAN

Pemerintah Indonesia membuat suatu kebijakan bertujuan menarik perhatian investor dalam jumlah besar, kemudahan berusaha menjadi wajib untuk diwujudkan serta mengatasi persoalan perizinan dan kepastian hukum yang menjadi kendala investasi selama ini. Semangat untuk menyederhanakan perizinan sebagai bentuk mewujudkan kemudahan berusaha di Indonesia pada awalnya tercantum di dalam Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik dan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha merupakan bentuk landasan secara operasional dari Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 dan terakhir melalui Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 terkait kemudahan perizinan untuk percepatan investasi. Dalam hal ini salah satu cara untuk mewujudkan kemudahan berusaha adalah dengan menggunakan model pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menerbitkan Peraturan Kepala BKPM No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelayanan

8N.M. Spelt dan J.B.M. Ten Berge. 1993. Pengantar Hukum Perizinan. (Disunting oleh Philipus M.Hadjon). Surabaya: Yuridika. Hlm.5

9Lihat: Drupsteen, 1992, Pengantar Hukum Perizinan Lingkungan, (Disunting oleh Siti Sundari Rangkuti), Penataran Hukum Administrasi dan Hukum Lingkungan, Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, Hlm. 19.

10Ibid. Hlm 2.

(9)

Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (selanjutnya disebut Perka BKPM 1/2020).

Perka BKPM 1/2020 menetapkan pedoman untuk menerbitkan perizinan pada sistem Online Single Submission (OSS) sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (PP 24/2018).

Sistem OSS adalah sebuah sistem yang terintegrasi secara online yang dibuat berdasarkan PP 24/2018 yang berfungsi sebagai platform untuk menerbitkan perizinan berusaha di Indonesia. Namun, terdapat beberapa ketentuan yang membutuhkan penjelasan dan implementasi lebih lanjut terhadap pelaksanaan sistem ini, sehingga pada pelaksanaannya diperlukan peraturan pelaksana untuk mengatur hal-hal yang belum tercakup pada PP 24/2018 tersebut dan juga terdapat perkembangan pada praktek pelaksanaanya.

Pemerintah sedang menerapkan program penghapusan berbagai jenis perizinan dan mempermudah proses perolehan izin yang tidak mungkin untuk dihapuskan keberadaannya. Diantara izin yang masuk kriteria tidak dapat dihapus adalah izin lokasi. Dalam eskalasi mempermudah perolehan izin, Pemerintah memberlakukan prosedur pengajuan izin melalui sistem online berikut penerbitan izin melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PP 24/2018).

Izin lokasi sebenarnya berada diranah persoalan pemanfaatan tanah yang mana berkaitan dengan penataan ruang. Dalam ranahnya, pengaturan tentang pertanahan menempati kedudukan sebagai hukum materiil sedangkan pengaturan tentang penataan ruang menempati kedudukan sebagai hukum formil bagi bidang pertanahan. Dapat disimpulkan bahwa izin lokasi tidak lain adalah pengaturan penataan ruang pada bidang-bidang tanah.

Menurut Daud Silalahi, dalam pengendalian tata ruang: “Setiap kegiatan yang ditujukan untuk menjaga agar kegiatan pemanfaatan ruang, dengan atau tanpa bangunan, dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang.

Aktivitas pengendalian ini dapat meliputi tahap perizinan yang menyangkut masalah izin lokasi, advis planning, izin mendirikan bangunan, dan izin penggunaan bangunan. Setelah itu baru diadakan pengawasan terhadap kegiatan pemanfaatan ruang dilapangan. Terhadap gejala penyimpangan dari rencana dikenakan teguran-teguran dan tindakan-tindakan pembetulan yang diperlukan”.

11

Dengan izin lokasi diharapkan sebagai pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilakukan dengan baik, karena dengan izin lokasi dapat mengendalikan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang yang dibuat oleh Pemerintah sebagaimana diketahui bahwa ciri pokok dari hukum yang mengatur tata ruang adalah rencana, sebagai cara mencapai ketepatan yang dapat membatasi penggunaan sebidang lahan tertentu untuk tujuan-

11Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan Indonesia. Alumni Bandung, 1992. Hlm 90

(10)

tujuan tertentu pula. Perizinan lokasi pengaturannya ada dalam tingkatan undang-undang yakni dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang hingga Undang-Undang penggantinya yakni Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menginspirasi ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengenai urusan pemerintahan yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk memberikan izin lokasi. Hal itu sangat erat dengan asas efektivitas dan efisiensi dimana daerah Kabupaten/Kota telah memiliki pengaturan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah yang disetujui oleh Pemerintah Pusat. Artinya berlandaskan pada Rencana Tata Ruang Wilayah itu diterbitkan izin-izin lokasi di daerah.

Pengaturan izin lokasi di daerah tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) UUPemda bahwa Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Provinsi serta Daerah Kabupaten/Kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang- Undang ini”.

12

Tabel 2.

Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pertanahan No. Sub Urusan Pemerintah

Pusat Pemerintah

Provinsi Daerah

Kabupaten/Kota 1. Izin Lokasi Pemberian izin

lokasi lintas Daerah provin- si.

Pemberian izin lokasi lintas Dae- rah kabupaten/

kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.

Pemberian izin lokasi dalam 1 (satu) Daerah kabupaten/kota.

2. Pengadaan Ta- nah Untuk Ke- pentingan Umum

Pelaksanaan peng-adaan tanah untuk kepentingan umum.

Penetapan lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum provinsi.

-

3. Sengketa Tanah

Garapan Penyelesaian sengketa tanah ga-rapan lintas Dae-rah provinsi.

Penyelesaian seng-keta tanah ga-rapan lintas Dae-rah

kabupaten/ kota dalam 1 (satu) Daerah pro-vinsi.

Penyelesaian sengketa tanah garapan dalam Daerah kabupa- ten/kota.

4. Ganti Kerugian danSantunan Tanah Untuk

Pembangu-nan

Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pem- bangunan oleh Pemerintah Pusat.

Penyelesaian ma- salah ganti keru- gian dan santunan tanah untuk pem- bangunan oleh Pe- merintah Daerah provinsi.

Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembang- unan oleh Pe- merintah Dae- rah kabupaten

12Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor …

(11)

No. Sub Urusan Pemerintah

Pusat Pemerintah

Provinsi Daerah

Kabupaten/Kota /kota.

5. Subyek dan

Obyek Redistribusi Tanah,

serta Ganti Keru-gian Tanah Kele- bihan

Maksimum dan Tanah Absentee

Penetapan sub- yek dan obyek redistribusi ta- nah, serta ganti kerugian tanah

kelebihan mak-simum dan ta-nah absentee lintas Daerah

provinsi.

Penetapan subyek dan obyek redistri- busi tanah, serta ganti kerugian ta- nah kelebihan maksimum dan tanah absentee lin-

tas Daerah

kabupa-ten/kota dalam 1 (satu) Daerah pro-vinsi.

Penetapan sub- yek dan obyek redistribusi ta- nah, serta ganti kerugian tanah kelebihan mak- simum dan ta- nah absentee dalam Daerah kabupaten/kota.

6. Tanah Ulayat - Penetapan tanah

ulayat yang lo- kasinya lintas Da- erah kabupaten/

kota dalam 1 (satu) Daerah pro- vinsi.

Penetapan tanah ulayat yang lokasinya dalam Daerah kabu-

paten/kota.

7. Tanah Kosong a. Penyelesaian

masalah tanah kosong lintas Daerah

Kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provins b. Inventarisasi

dan pemanfa- atan tanah ko- song lintas Da- erahkabupaten/

kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.

a. Penyelesaian masalah ta- nah kosong dalam Dae- rah kabu- paten/kota.

b. Inventarisasi dan peman- faatan tanah kosong da- lam Daerah kabupaten/

kota.

Sumber: Lampiran UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Konflik Izin Pemanfaatan tanah selama ini tidak teratasi dengan baik

pada segi pelaksanaan yang menjadi kewajiban bagi pemegang izin yakni

perolehan tanah dalam jangka waktu Izin Lokasi, dimana pelaku usaha tidak

melakukan perolehan tanah hingga waktu yang ditentukan, namun hal itu

tidak diterapkan sanksi apapun, disatu sisi karena lemahnya sistem

monitoring dan evaluasi dan penindakan yang dilakukan. Kerugian bagi

Pemerintah Daerah tentu sangat besar karena investasi yang semestinya telah

mendatangkan hasil bagi Daerah menjadi tidak ada kejelasan. Alasan

Pemerintah terlihat mengalihkan pada konsekuensi bagi daerah sendiri

berupa kerugian. Peralihan kewenangan pemberian izin oleh pemerintah

untuk mempermudah ruang masukkanya investasi asing secara besar-besaran

tanpa ada kendala dimana Pemerintah Pusat beranggapan daerah selalu

(12)

menimbulkan kendala dalam persoalan investasi. Pemerintah Pusat mensyaratkan Izin pemanfaatan tanah hanya diberikan pada pelaku usaha yang benar-benar mampu dan memiliki komitmen jelas untuk pelaksanaan investasinya di daerah. Para pelaku usaha yang tidak benar-benar serius akan bermain-main untuk melakukan perolehan tanah dan itu sangat merugikan, semestinya ada investor lain yang mampu menjadi tidak memiliki kesempatan.

Seyogyanya dperhatikan oleh Pemerintah Pusat adalah langkah perbaikan melalui penguatan aturan di daerah dan ketegasan dari Pemerintah Daerah agar investasi berjalan dengan baik dan memberikan pendapatan bagi daerah karena pelaku usaha yang tidak konsisten dan banyak melakukan upaya menahan diri untuk pembebasan tanah atau dengan kata lain secara kasarnya mengalihkan peruntukan modal yang sudah semestinya dikeluarkan bagi peruntukkan lain. Selain itu mereka sebenarnya tidak dapat serta merta membebaskan wilayah yang ditunjuk dalam izin lokasi karena memang kegiatan usahanya sudah dapat berjalan dengan luasan yang cukup, hanya saja permohonan melebihi dari kapasitas untuk usahanya.

Dari segi materi muatan pengaturan izin pemanfaatan tanah yang berlokasi di daerah banyak mengandung kekurangan seperti tidak ada sanksi administrasi pencabutan izin hal itu terjadi atas pengaturan yang lebih tinggi tidak memberikan ruang kepada Daerah untuk mengatur hal demikian.

Walaupun pengaturan di Daerah memuat sanksi pidana tetapi tidak jelas pelanggarannya, hal mengenai apa, sama saja merupakan pasal yang tidak memiliki daya mengikat, terlebih tidak adanya monitoring dan pengawasan sehingga sebuah izin yang dikeluarkan tidak ada upaya evaluasi dan pengawasannya. Penerapan penegakan hukum di daerah masih belum optimal dan strukturnya kelembagaan belum sesuai dengan prinsip Good Gavernance sehingga menyebabkan ketidakkonsistenan dalam tataran implementasi aturan hukumnya.

Pelimpahan kewenangan izin pemanfaatan tanah kepada Lembaga OSS oleh Pemerintah pada dasarnya dilandasi tujuan pula, yakni: easy doing bussines. Maksudnya Pemerintah membuka seluas-luasnya atas penanaman modal di Indonesia dengan memudahkan perolehan izin hanya melalui Lembaga OSS.

Pemberlakuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja

untuk menerapkan prinsip best practice dalam penyelenggaraan pemerintahan. Di

samping menghilangkan berbagai regulasi yang selama ini mengikat, regulasi yang

menyebabkan KKN, regulasi yang menyebabkan korupsi, regulasi yang

menyebabkan lama sekali proses perizinan. Pasal 6 menjelaskan peningkatan

investasi ini meliputi kemudahan izin usaha; penyederhanaan persyaratan dasar

perizinan usaha, pengadaan lahan, dan pemanfaatan lahan, penyederhanaan

persyaratan investasi. UU Cipta Kerja mempermudah perizinan usaha dari yang

awalnya berbasis izin menjadi berbasis risiko dan skala usaha. Problem perizinan

yang selama ini dikeluhkan pengusaha bisa dibenahi dengan adanya UU ini. Hal ini

yang sering dikeluhkan pelaku usaha dalam kemudahan berbisnis (easy of doing

businesss) di Indonesia, aturan turunan dari UU Cipta Kerja seperti Peraturan

(13)

Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Menteri lainnya segera diselesaikan. Dengan begitu, manfaat dari UU ini bisa segera terasa, mampu menarik, dan memperbanyak usaha baru. Selama ini masalah rumitnya izin usaha di Indonesia kerap menjadi penghambat bagi investor untuk menanamkan modal atau melakukan ekspansi bisnisnya di Indonesia. Omnibus law Cipta Kerja menghilangkan izin lokasi menjadi pemberian hak atas tanah didasarkan pada penetapan lokasi atau persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. Selama ini, izin lokasi ini memiliki jangka waktu terbatas dan harus diperpanjang lagi ketika masanya telah berakhir.

KESIMPULAN

Kedudukan Permen ATR-BPN 17/2019 dalam sistem hukum nasional di ukur dari hirarki perundang-undangan. Setiap produk hukum yang dibuat oleh Menteri tidak boleh bertentangan dan bahkan harus senantiasa merujuk pada materi yang menjadi muatan produk hukum di atasnya. Kalau ada pertentangan maka Undang-Undang harus dijadikan sebagai patokan sesuai dengan asas hukum yaitu lex superior derogat legi priori yang lebih tinggi derajatnya mengenyampingkan yang lebih rendah derajatnya apabila bertentangan. Namun apabila dalam penerapan sebaliknya maka tidaklah dapat dibenarkan suatu produk hukum di bawah Undang-Undang (Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri) menjadi lebih kuat ketimbang Undang-Undang. Secara teoritis hal demikian menimbulkan invaliditas norma hukum dan ketidakpastian hukum, dimana secara keabsahan kewenangan penerbitan izin dapat dinilai dipaksakan dan bersifat melampaui dari kewenangan yang sudah diatur dalam Undang-Undang.

Seyogyanya Pemerintah Pusat memprioritaskan langkah perbaikan melalui penguatan aturan di daerah dan ketegasan dari Pemerintah Daerah karena persoalan izin lokasi pemanfaatan tanah berkaitan erat dengan pencapaian pembangunan di daerah secara berkesinambungan, selain itu pengaturan izin pemanfaatan tanah di daerah semestinya hanya membatasi kewenangan pemerintah daerah agar tidak memberikan seluas-luasnya melainkan berdasarkan pada kapabilitas (kemampuan) pelaku usaha untuk segera melakukan kegiatan di lokasi.

DAFTAR PUSTAKA

Alfi Rachmawati, 2015. Izin Lokasi Sebagai Syarat Perolehan Hak Atas

Tanah dalam Rangka Penanaman Modal Untuk

Pembangunan Perumahan. Skripsi: Fakultas Hukum

Universitas Airlangga.

(14)

Bernard L. Tanya (dkk). 2007. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi. Surabaya: CV. Kita.

Bernard Arief Sidharta. 1999. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandung: Mandar Maju.

CFG Sunaryati Hartono. 1972. Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia.

Bandung: Binatjipta.

Drupsteen, 1992, Pengantar Hukum Perizinan Lingkungan, (Disunting oleh Siti Sundari Rangkuti), Penataran Hukum Administrasi dan Hukum Lingkungan, Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, Fakultas Hukum Unair, Surabaya.

Daud Silalahi, 1992. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan Indonesia. Alumni Bandung.

Djenal Hosen Koesoemahatmadja. 1983. Pemerintahan Lokal. Bandung:

Alumni.

E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang. 1985. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Ichtiar.

E.Utrecht, 1986. Pengantar Hukum Adminsitrasi Indonesia. Surabaya:

Pustaka Tinta Mas.

Erman Rajagukguk. 1985. Indonesianisasi Saham. Jakarta: Bina Aksara.

GJ. Viarda. 1980 Drie Typen van Rechtsvinding. Tjeenk Willink-Zwole.

H.Rozali Abdullah. 2000. Pelaksanaan Otonomi Daerah Luas dan Isu Federalisme sebagai Suatu Alternatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

H. Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, 2006. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Ima Mayasari, Evaluasi Kebijakan Izin Lokasi dan Pertimbangan Teknis Pertanahan Pasca Penerapan Online Single Submission.

Jurnal: Rechtsvinding, Vol. 8 Nomor 3. 2019.

N.M. Spelt dan J.B.M. Ten Berge. 1993. Pengantar Hukum Perizinan.

(Disunting oleh Philipus M.Hadjon). Surabaya: Yuridika.

(15)

Nindyo Pramono. 1995. Analisis Yuridis tentang Kebijaksanaan Penanaman Modal Asing di Indonesia. Diskusi Ilmiah Investment Law.

Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM dan ELIPS Project.

Surya Dini Hastuti. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Melalui Izin Lokasi Dalam Rangka Perolehan Tanah Yang Diperlukan Usaha.

Jurnal: Juris-Diction, Vol. 3 (3), 2020.

Saleh Sjarief. 1953.Otonomi dan Daerah Otonom. Jakarta: Pustaka.

Sugeng Istanto.1971. Beberapa Segi Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Negara Kesatuan Indonesia. Yogyakarta:

Karyaputra.

Solly Lubis. 1975. Pergeseran Garis Politik dan Perundang Undangan Mengenai Pemerintahan Daerah. Bandung: Alumni.

Tatiek Sri Djatmiati. 2002. Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana, Universitas Airlangga.

Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005. Argumentasi Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

___________________. 1993. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.

Yogjakarta: Gadjahmada University Press.

___________________. 1993. Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-En

Rechtmatig Bestuur), Surabaya: Yuridika, Jurnal Fakultas

Hukum Unair.

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi berjudul: PRODUKSI BIOFUNGISIDA Trichoderma harzianum PADA BERBAGAI MEDIA CAIR UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT LANAS TEMBAKAU (Phytophthora nicotianae), telah diuji

Perusahaan perlu melakukan analisis secara mendalam terhadap lingkungan internal dan eksternal yang mempengaruhi performa usaha yang dijalankan sehingga dapat

c) Duduk dengan kaki kanan lurus dan kaki kiri dilipat dibawah lutut kaki kanan kemudian cium lutut hitung sampai hitungan ke- 10, posisi kaki kanan dan kiri bergantian..

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dapat disimpulkan bahwa salah satu kendala yang dialami oleh PKS dalam membentuk sikap disiplin dan tanggung jawab anggota

Kebijakan yang dibuat berhasil mengurangi kegiatan impor borongan yang dilakukan oleh importir-importir swasta, tetapi kebijakan tersebut juga membuat sebagian besar

Pemohon kemudian mengajukan Banding ke Mahkamah Agung dengan alasan bahwa Pengadilan Negeri Sumedang telah salah menerapkan hukum karena alasan pembatalan putusan arbitrase

Di Kabupaten Kudus, saat ini berkembang UMKM dalam usaha pembuatan eternit. Bahan baku pembuatan eternit terdiri ini terdiri dari semen dan serat kain. Disatu sisi, di

Penerimaan daerah ini akan digunakan untuk mendanai pengeluaran daerah yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang ditetapkan melalui