PEMANFAATAN TANAH BERORIENTASI KEPASTIAN HUKUM
Chandra Saputra, Ma’rifah, Masdari.T
IMPLICATIONS OF TRANSFER OF AUTHORITY OF LEGAL ASSURANCE ORIENTED
LAND UTILIZATION LICENSE
by
Chandra Saputra*, Ma’rifah, Masdari.T
bobychan966@gmail.commarifah@stihsa.ac.id
Magister Ilmu Hukum Sultan Adam
This research study aims to analyze theoretically the validity of the issuance of land use permits by the Online Single Submission Institution, which is oriented towards legal certainty. The problems that arise regarding the implications of the transfer of authority to issue land use permits from the Regional Government to the Online Single Submission Institution.
This study uses a normative legal research method, which examines the problem of legal certainty based on the level of legal norms. Prescriptive nature of research. By using the statutory approach (Statute Approach), the Conceptual Approach. The theory that the author uses is the Stufenbau Des Recht Theory by Hans Kelsen and the Gustav Radbruch Legal Assurance Theory that law is normative because of the value of justice (Legal Certainty).
The conflicting legal principle of lex superior derogat legi priori, theoretically raises the invalidity of legal norms and legal uncertainty, where the validity of the authority to issue permits can be judged to be forced and beyond the authority regulated in the law.
Keywords: Implication, Transition, Land Utilization Permit, Legal Certainty
Abstrak
Kajian penelitian ini bertujuan menganalisis secara teoritis mengenai keabsahan penerbitan izin pemanfaatan tanah oleh Lembaga Online Single Submission berorientasi pada kepastian hukum. Permasahan yang timbul mengenai implikasi peralihan kewenangan penerbitan izin pemanfaatan tanah dari Pemerintah Daerah kepada Lembaga Online Single Submission.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yakni mengkaji permasalahan kepastian hukum berdasarkan jenjang norma hukum.
Sifat penelitian preskriptif. Dengan menggunakan pendekatan perundang- undangan (Statute Approach), pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Teori yang penulis gunakan, yakni Teori Stufenbau Des Recht Theory oleh Hans Kelsen dan Teori Kepastian Hukum Gustav Radbruch bahwa Hukum itu normatif karena nilai keadilan (Kepastian Hukum).
Temuan hasil dari penelitian hukum ini adalah pertentangan asas hukum lex superior derogat legi priori secara teoritis menimbulkan invaliditas norma hukum dan ketidakpastian hukum, dimana secara keabsahan kewenangan penerbitan izin dapat dinilai dipaksakan dan bersifat melampaui dari kewenangan yang sudah diatur dalam Undang-Undang.
Kata-Kata Kunci : Implikasi, Peralihan, Izin Pemanfaatan Tanah,
Kepastian Hukum
PENDAHULUAN
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional telah menetapkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2019 tentang Izin Lokasi (Selanjutnya disebut: Permen ATR/KBPN 17-2019).
Dalam pengaturan Permen ATR/KBPN 17-2019, secara tegas (implisit) Pasal 9 Ayat (1) bahwa Izin Lokasi diterbitkan oleh Lembaga OSS dalam bentuk keputusan pemberian Izin Lokasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Permen ATR/KBPN 17-2019 telah terjadi suatu keadaan dimana kewenangan yang telah didelegasikan oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah maka melalui permen tersebut telah terjadi peralihan kewenangan penerbitan izin lokasi pemanfaatan tanah kepada sebuah lembaga yang disebut Lembaga OSS (Online Submission System).
Pemberian kewenangan oleh Peraturan Menteri menimbulkan satu persoalan hukum bahwa ketentuan Permen ATR/KBPN 17-2019 baik secara parsial per Pasal dan/atau keseluruhan isi/subtansi aturannya telah menimbulkan potensi konflik dengan ketentuan yang diatur dalam UUPemda yang telah membagi kewenangan itu. Sehingga menimbulkan interpretasi adanya duplikasi kewenangan. Kewenangan dalam pemberian izin oleh Bupati/Walikota sebagai kepala daerah kabupaten/kota yang bersumber dari pembagian urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUPemda berhadapan dengan kewenangan Lembaga OSS yang bersumber dari pengaturan oleh Menteri (berlandaskan peraturan Menteri), oleh sebab itu penulis tertarik mengangkat satu permasalahan hukum mengenai implikasi peralihan kewenangan penerbitan izin pemanfaatan tanah dari Pemerintah Daerah kepada Lembaga Online Single Submission (OSS).
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang di gunakan, yakni penelitian hukum normatif, mengkaji permasalahan kepastian hukum.Sifat penelitian yang digunakan preskriptif dengan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan Konseptual (Conceptual Approach).
LITERATURE REVIEW
A. Teori jenjang norma hukum Hans Kelsen
Pendapat Hans Kelsen bahwa karakter dinamis dari sistem norma dan
fungsi norma dasar serta adanya kekhasan dari hukum tidak lain adalah
hukum mengatur pembentukannya sendiri termasuk menentukan isi dari
norma yang lain itu. Hans Kelsen menegaskan berlaku landasan validitas
atas satu norma hukum. Validitas itu merujuk pada pembentukannya dimana
satu norma hukum dinyatakan memenuhi validitas apabila pembentukannya mengacu pada apa yang ditentukan oleh norma hukum yang lain yang merupakan landasan validitasnya dalam hal ini norma yang berkedudukan lebih tinggi. Adapun norma yang terbentuk berdasarkan norma yang lebih tinggi tersebut berkedudukan lebih rendah. Oleh Kelsen disebutnya dengan hubungan antara “superordinasi” dan “subordinasi” dengan makna sebuah kiasan ruang tingkatan, oleh Kelsen disebutnya dengan Tatanan Hukum.
1Dengan menggunakan konsep stufenbau (lapisan-lapisan aturan menurut eselon), ia mengkonstruksi pemikiran tentang tertib yuridis. Dalam konstruksi ini, ditentukan jenjang-jenjang perundang-undangan. Seluruh sistem perundang-undangan mempunyai suatu struktur pidamida (mulai dari yang abstrak yakni grundnorm sampai yang konkret seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain sebagainya. Jadi menurut Kelsen, cara mengenal suatu aturan yang legal dan tidak legal adalah mengeceknya melalui logika stufenbau itu. Dan grundnorm menjadi batu uji utama.
2Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, menurut penulis berlaku Teori Lex Superior derogate legi Inferior yang artinya asas hukum yang menyatakan bahwa hukum yang tinggi (lex superior) mengesampingkan hukum yang rendah (lex inferior). Asas ini biasanya sebagai asas hierarki. Dan Teori yang kedua yaitu Lex Posterior derogat legi Priori adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex prior).
B. Teori Kepastian Hukum Gustav Radbruch
Hukum itu normatif karena nilai keadilan (Kepastian Hukum).
Radbruch berusaha mengatasi dualisme antara Sein dan Sollen, antara materi dan bentuk, Jika Stamler dan Kelsen terperangkat dalam dualisme itu (sehingga yang dipentingkan dalam hukum hanyalah dimensi formal atau bentuknya), maka Radbruch tidak mau terjatuh dalam “kesesatan” yang sama.
Radbruch memandang Sein dan Sollen, materi dan bentuk sebagai dua sisi dari satu mata uang. Materi mengisi bentuk dan bentuk melindung materi.
Menurut Radbruch: “Nilai keadilan adalah materi yang harus menjadi isi aturan hukum. Sedangkan aturan hukum adalah bentuk yang harus melindungi nilai keadilan. Hukum sebagai pengembang nilai keadilan
1Lihat H. Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, 2006. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Hlm. 61. Pemahaman tentang Stufentheorie atau di Indonesia diajarkan di Fakultas Hukum dengan sebutan Stufenbautheory dimaknai dengan penyebutan hierarki peraturan perundang-undangan dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan yang lebih tinggi adalah Grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotesis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkret dari pada ketentuan yang lebih tinggi. Dikalangan ahli hukum hipotesis itu sebuah pengandaian pemikiran yuridis.
2Bernard L. Tanya (dkk). 2007. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi. Surabaya: CV. Kita, Hlm. 148.
menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum.”
3Jika merujuk pada maksud Radbruch bahwa antara keadilan, finalitas, dan kepastian itu akan selalu terjadi pertentangan maka pada konteks penelitian hukum ini dimana finalitas yaitu perkembangan individu menuntut terhadap aturan hukum menguji peraturan perundang-undangan memberikan manfaat, tetapi aspek legalitas ketentuan undang-undang telah mengatur sedemikian rupa dengan dalil sebagai kepastian hukum tentunya hanya menyandarkan pada mengikatnya norma-norma, yaitu asas expressie unius est exclusio alterius.
Kewenangan untuk menyelenggarakan biasanya bersifat jabatan dari pejabat ke pejabat lainnya yang dimuat dalam sebuah keputusan oleh pejabat lebih tinggi memberikan kewenangan kepada pejabat dibawahnya. Ranahnya berada dalam lingkup keputusan tata usaha negara yang ditujukan kepada individu tertentu dalam lingkup jabatan pemerintahan. Philipus M. Hadjon menggambarkan sumber kewenangan sebagai berikut:
Tabel 1.
Sumber Kewenangan Penyelenggaraan Pemerintahan
Mandat Delegasi
Prosedur Pemberian wewenang
Tanggung jawab
Wewenang pemberi
Atasan kepada ba-wahan; hal biasa kecuali dilarang oleh perundang- undangan
Tetap pada pem- beri mandat
Setiap saat dapat
menggunakan sendiri
wewenang tersebut
Dari organ
Pemerintahan kepada organ lain dengan Peraturan Perundang- undangan.
Delegasi tidak diberikan kepada bawahan.
Tanggung jawab
dialihkan
Pemberi delegasi tidak dapat menggunakan sen- diri wewenang tersebut, kecuali ada pencabutan Sumber: Philpus M. Hadjon
43Ibid. Hlm. 150-151
4Lihat: Philipus M. Hadjon. 1993. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.
Yogjakarta: Gadjahmada University Press. Hlm. 137.
Apabila ditinjau dari implementasi atas kewenangan maka hal ini merupakan perbuatan atau tindakan pemerintahan yang dikeluarkan dalam bentuk ketetapan (keputusan tata usaha negara).
Mengacu pada pendapat Van der Pot, ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan dapat berlaku sebagai ketetapan yang sah berlandaskan pada kewenangan yang nyata yaitu :
1. Ketetapan harus dibuat oleh alat (organ) yang berwenang (bevoed) membuatnya.
2. Karena pernyataan itu sudah kehendak, maka pembuatan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis.
3. Ketetapan harus diberi bentuk yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya, juga harus memperhatikan cara membuat ketetapan itu.
4. Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.
5Adapun E.Utrecht menyatakan bahwa di dalam pembuatan ketetapan, administrasi negara harus memperhatikan ketentuan-ketentuan tertentu.
Ketentuan ketentuan itu terdapat dalam Hukum Tata Negara (mengenai kompetensi dan tujuan) maupun dalam hukum administrasi negara (mengenai prosedur). Bila ketentuan itu tidak diperhatikan, maka ada kemungkinan dibuat suatu ketetapan yang mengandung kekurangan (gebreken).
Kekurangan dalam suatu ketetapan dapat menjadi sebab maka ketetapan itu tidak sah. (niet rechtsgelding).
6Tatiek Sri Djatmiati mengemukakan bahwa: ”Izin merupakan instrumen yang biasa digunakan di dalam bidang Hukum Administrasi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi para warganya agar bersedia mengikuti cara yang dianjurkan guna mencapai tujuan yang konkrit”.
7Apa tujuan dari perizinan? Menurut Spelt dan Ten Berge, tujuan izin adalah untuk mengikat tindakan-tindakan. Pada suatu sistem perizinan, pembuat undang-undang mempunyai motif untuk menggunakan sistem perizinan dapat berupa:
a. Keinginan mengarahkan, mengendalikan(sturen) aktivitas- aktivitas tertentu (misalnya izin bangunan);
b. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan);
c. Keinginan melindungi obyek-obyek tertentu (izin tebang, izin membongkar pada monumen-monumen);
5E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang. 1985. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Ichtiar. Hlm.79.
6E.Utrecht, 1986. Pengantar Hukum Adminsitrasi Indonesia. Surabaya: Pustaka Tinta Mas. Hlm. 107
7Tatiek Sri Djatmiati. 2002. Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana, Universitas Airlangga. Hlm. 1.
d. Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat penduduk);
e. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin syarat tertentu).
8Dari pandangan Spelt dan Ten Berge, kita dapat memperoleh pemahaman bahwa: Izin “licence” atau “vergunning”, terhadap kegiatan usaha yang melalui izin seperti izin lokasi merupakan instrumen hukum yang berupa pengaturan secara langsung dalam hukum. Stelsel perizinan memberi kemungkinan untuk menetapkan peraturan yang tepat terhadap kegiatan perorangan, dengan cara persyaratan-persyaratan yang dapat dikaitkan pada izin itu.
9Berdasarkan pada tujuannya, maka izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintahan menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku warga. Tujuan izin mengatur tindakan-tindakan pembuat undang-undang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun dimana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekedarnya.
10PEMBAHASAN
Pemerintah Indonesia membuat suatu kebijakan bertujuan menarik perhatian investor dalam jumlah besar, kemudahan berusaha menjadi wajib untuk diwujudkan serta mengatasi persoalan perizinan dan kepastian hukum yang menjadi kendala investasi selama ini. Semangat untuk menyederhanakan perizinan sebagai bentuk mewujudkan kemudahan berusaha di Indonesia pada awalnya tercantum di dalam Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik dan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha merupakan bentuk landasan secara operasional dari Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 dan terakhir melalui Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 terkait kemudahan perizinan untuk percepatan investasi. Dalam hal ini salah satu cara untuk mewujudkan kemudahan berusaha adalah dengan menggunakan model pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menerbitkan Peraturan Kepala BKPM No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelayanan
8N.M. Spelt dan J.B.M. Ten Berge. 1993. Pengantar Hukum Perizinan. (Disunting oleh Philipus M.Hadjon). Surabaya: Yuridika. Hlm.5
9Lihat: Drupsteen, 1992, Pengantar Hukum Perizinan Lingkungan, (Disunting oleh Siti Sundari Rangkuti), Penataran Hukum Administrasi dan Hukum Lingkungan, Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, Hlm. 19.
10Ibid. Hlm 2.
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (selanjutnya disebut Perka BKPM 1/2020).
Perka BKPM 1/2020 menetapkan pedoman untuk menerbitkan perizinan pada sistem Online Single Submission (OSS) sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (PP 24/2018).
Sistem OSS adalah sebuah sistem yang terintegrasi secara online yang dibuat berdasarkan PP 24/2018 yang berfungsi sebagai platform untuk menerbitkan perizinan berusaha di Indonesia. Namun, terdapat beberapa ketentuan yang membutuhkan penjelasan dan implementasi lebih lanjut terhadap pelaksanaan sistem ini, sehingga pada pelaksanaannya diperlukan peraturan pelaksana untuk mengatur hal-hal yang belum tercakup pada PP 24/2018 tersebut dan juga terdapat perkembangan pada praktek pelaksanaanya.
Pemerintah sedang menerapkan program penghapusan berbagai jenis perizinan dan mempermudah proses perolehan izin yang tidak mungkin untuk dihapuskan keberadaannya. Diantara izin yang masuk kriteria tidak dapat dihapus adalah izin lokasi. Dalam eskalasi mempermudah perolehan izin, Pemerintah memberlakukan prosedur pengajuan izin melalui sistem online berikut penerbitan izin melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PP 24/2018).
Izin lokasi sebenarnya berada diranah persoalan pemanfaatan tanah yang mana berkaitan dengan penataan ruang. Dalam ranahnya, pengaturan tentang pertanahan menempati kedudukan sebagai hukum materiil sedangkan pengaturan tentang penataan ruang menempati kedudukan sebagai hukum formil bagi bidang pertanahan. Dapat disimpulkan bahwa izin lokasi tidak lain adalah pengaturan penataan ruang pada bidang-bidang tanah.
Menurut Daud Silalahi, dalam pengendalian tata ruang: “Setiap kegiatan yang ditujukan untuk menjaga agar kegiatan pemanfaatan ruang, dengan atau tanpa bangunan, dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang.
Aktivitas pengendalian ini dapat meliputi tahap perizinan yang menyangkut masalah izin lokasi, advis planning, izin mendirikan bangunan, dan izin penggunaan bangunan. Setelah itu baru diadakan pengawasan terhadap kegiatan pemanfaatan ruang dilapangan. Terhadap gejala penyimpangan dari rencana dikenakan teguran-teguran dan tindakan-tindakan pembetulan yang diperlukan”.
11Dengan izin lokasi diharapkan sebagai pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilakukan dengan baik, karena dengan izin lokasi dapat mengendalikan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang yang dibuat oleh Pemerintah sebagaimana diketahui bahwa ciri pokok dari hukum yang mengatur tata ruang adalah rencana, sebagai cara mencapai ketepatan yang dapat membatasi penggunaan sebidang lahan tertentu untuk tujuan-
11Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan Indonesia. Alumni Bandung, 1992. Hlm 90
tujuan tertentu pula. Perizinan lokasi pengaturannya ada dalam tingkatan undang-undang yakni dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang hingga Undang-Undang penggantinya yakni Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menginspirasi ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengenai urusan pemerintahan yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk memberikan izin lokasi. Hal itu sangat erat dengan asas efektivitas dan efisiensi dimana daerah Kabupaten/Kota telah memiliki pengaturan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah yang disetujui oleh Pemerintah Pusat. Artinya berlandaskan pada Rencana Tata Ruang Wilayah itu diterbitkan izin-izin lokasi di daerah.
Pengaturan izin lokasi di daerah tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) UUPemda bahwa Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Provinsi serta Daerah Kabupaten/Kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang- Undang ini”.
12Tabel 2.
Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pertanahan No. Sub Urusan Pemerintah
Pusat Pemerintah
Provinsi Daerah
Kabupaten/Kota 1. Izin Lokasi Pemberian izin
lokasi lintas Daerah provin- si.
Pemberian izin lokasi lintas Dae- rah kabupaten/
kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
Pemberian izin lokasi dalam 1 (satu) Daerah kabupaten/kota.
2. Pengadaan Ta- nah Untuk Ke- pentingan Umum
Pelaksanaan peng-adaan tanah untuk kepentingan umum.
Penetapan lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum provinsi.
-
3. Sengketa Tanah
Garapan Penyelesaian sengketa tanah ga-rapan lintas Dae-rah provinsi.
Penyelesaian seng-keta tanah ga-rapan lintas Dae-rah
kabupaten/ kota dalam 1 (satu) Daerah pro-vinsi.
Penyelesaian sengketa tanah garapan dalam Daerah kabupa- ten/kota.
4. Ganti Kerugian danSantunan Tanah Untuk
Pembangu-nan
Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pem- bangunan oleh Pemerintah Pusat.
Penyelesaian ma- salah ganti keru- gian dan santunan tanah untuk pem- bangunan oleh Pe- merintah Daerah provinsi.
Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembang- unan oleh Pe- merintah Dae- rah kabupaten
12Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor …
No. Sub Urusan Pemerintah
Pusat Pemerintah
Provinsi Daerah
Kabupaten/Kota /kota.
5. Subyek dan
Obyek Redistribusi Tanah,
serta Ganti Keru-gian Tanah Kele- bihan
Maksimum dan Tanah Absentee
Penetapan sub- yek dan obyek redistribusi ta- nah, serta ganti kerugian tanah
kelebihan mak-simum dan ta-nah absentee lintas Daerah
provinsi.
Penetapan subyek dan obyek redistri- busi tanah, serta ganti kerugian ta- nah kelebihan maksimum dan tanah absentee lin-
tas Daerah
kabupa-ten/kota dalam 1 (satu) Daerah pro-vinsi.
Penetapan sub- yek dan obyek redistribusi ta- nah, serta ganti kerugian tanah kelebihan mak- simum dan ta- nah absentee dalam Daerah kabupaten/kota.
6. Tanah Ulayat - Penetapan tanah
ulayat yang lo- kasinya lintas Da- erah kabupaten/
kota dalam 1 (satu) Daerah pro- vinsi.
Penetapan tanah ulayat yang lokasinya dalam Daerah kabu-
paten/kota.
7. Tanah Kosong a. Penyelesaian
masalah tanah kosong lintas Daerah
Kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provins b. Inventarisasi
dan pemanfa- atan tanah ko- song lintas Da- erahkabupaten/
kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
a. Penyelesaian masalah ta- nah kosong dalam Dae- rah kabu- paten/kota.
b. Inventarisasi dan peman- faatan tanah kosong da- lam Daerah kabupaten/
kota.
Sumber: Lampiran UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.