• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802007071 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802007071 Full text"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Tidak ada kehilangan yang lebih besar selain kematian dari seseorang yang kita cintai dan kita sayangi seperti, orang tua, saudara kandung, dan pasangan hidup (Santrock, J.W., 2002). Kematian merupakan simbol dari sebuah perpisahan yang permanen dengan orang yang kita cintai. Kematian ini sendiri membuat individu merasakan sakit baik secara sosial, emosional, maupun psikologis dikarenakan kedekatan dengan orang yang telah meninggal (Chan, C.L.W., & Chow, A.Y.M., 2006), sehingga ketika kehilangan orang yang kita cintai kita mengalami dukacita (Tatelbaum, J., 1980).

(2)

dengan keyakinan dalam mengarahkan takdirnya sendiri (Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D., 2005).

(3)

cangkir) tidak lagi dipakai. Sebagai gantinya ialah daun pisang sebagai ganti piring dan bambu sebagai ganti cangkir tadi. Di saat dikatakan masih dalam keadaan tomakula’, setiap harinya seluruh keluarga dan handai taulan serta keluarga terdekat saling bergantian membawakan makanan dan minuman untuk keperluan penjaga-penjaga tomakula’.

Keadaan seperti ini persis keadaan apabila berkunjung menengok orang sakit. Tomakula’ juga masih disimpan di atas rumah, biasanya bertahun-tahun lamanya disimpan menunggu saat Rambu Solo’ dilaksanakan. Di sini jelas bahwa hubungan orang mati dan yang masih hidup sama dengan keadaan manusia yang masih dalam keadaan hidup. Pada saat tomakula’ akan diupacarakan, maka pada kesempatan ini akan dibunyikan gong atau gendang serta diikuti oleh persembahan-persembahan korban pertama sebagai tanda bahwa di sana ada orang mati, dan sejak saat itu hubungan si mati (tomate) dan manusia yang masih hidup mulai terbatas (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, 1984).

(4)

meratap. Di sini nampak bahwa jalan hidup ditentukan oleh aluk, kematian ditentukan oleh ritus, dan perjalanan hidup selanjutnya tetap akan ditentukan oleh aluk (Sarira, 1996).

Dalam Rambu Solo’ hubungan dengan keluarga, masyarakat, alam semesta, leluhur dipulihkan kembali. Selain itu adat Rambu Solo’ adalah jalan atau jaminan kembali ke negeri asal, sehingga jika ada seseorang yang meninggal tanpa upacara korban persembahan, maka orang yang meningggal tersebut bekalnya kurang untuk sampai ke puya/puyo (alam roh) dan keluarga yang ditinggalkan di dunia tidak akan memperoleh berkat. Inilah salah satu alasan mengapa masyarakat Toraja masih menjalankan ritual Rambu Solo’ hingga sekarang (Sarira, J.A., 1996).

Maka, berdasarkan fenomena yang ada, penelitian ini hendak melihat gambaran mengenai dukacita pada orang Toraja yang melaksanakan ritual pemakaman Rambu Solo’ dan dari hasil deskripsi tersebut kita dapat melihat perasaan, pikiran, dan perilaku yang muncul saat melayani jenazah sebagai tomakula’ sampai Rambu Solo’ selesai dilaksanakan, proses dukacita orang Toraja dan dampak yang ditimbulkan oleh Rambu Solo’ terhadap dukacita orang Toraja.

(5)

dirasakan dikaitkan dengan pelaksanaan Rambu Solo’. Bagian terakhir adalah memberikan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini dan saran untuk penelitian selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA

DUKACITA (GRIEF)

(6)
(7)

Ada beberapa faktor yang menyebabkan dukacita pada diri individu. Menurut Aiken (dalam Cahyasari, I., 2008) ada tiga faktor yang menyebabkan individu berduka. Pertama, hubungan individu dengan almarhum, yaitu hubungan yang sangat baik dengan orang yang telah meninggal diasosiasikan dengan proses dukacita yang sangat sulit. Kedua, yaitu kepribadian, usia, jenis kelamin orang yang ditinggalkan. Perbedaan yang mencolok ialah jenis kelamin dan usia orang yang ditinggalkan. Secara umum dukacita lebih menimbulkan stres pada orang yang usianya lebih muda. Ketiga, proses kematian, yaitu cara dari seseorang yang meninggal juga dapat menimbulkan perbedaan reaksi pada orang yang ditinggalkan. Pada kematian yang mendadak kemampuan orang yang ditinggalkan akan lebih sulit untuk menghadapi kenyataan. Kurangnya dukungan dari orang-orang terdekat dan lingkungan sekitar akan menimbulkan perasaan tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuatan, hal tersebut dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengatasi dukacita.

PROSES DUKACITA

(8)

kedua, kerinduan dan mencari (yearning and searching), yaitu individu yang berduka mencoba memulihkan keadaan seseorang yang menjadi objek kehilangan. Ini merupakan “attachment behavior”. Orang yang berkabung mengalami hasutan dan distres seperti, memanggil nama dari orang (almarhum) yang dicintai, menggunakan pakaian yang merupakan milik almarhum, dan merenungkan tentang apa yang telah hilang dari kehidupan pribadinya. Fase ketiga, kekalutan, kesedihan yang mendalam dan putus asa (disorganization and despair), yaitu fase di mana harapan untuk bisa bertemu kembali dengan almarhum memudar dan individu yang berkabung mengakui bahwa orang yang dicintai tidak akan pernah kembali. Rasa putus asa, kelelahan (fatigue), kehilangan motivasi, dan apatis sudah menjadi kebiasaan umum individu yang berduka. Fase keempat, pulih kembali (reorganization), yaitu individu membuat suatu definisni baru mengenai dirinya, membuat pola-pola baru dalam hal pikiran, perasaan, dan perbuatannya.

RITUAL RAMBU SOLO’ PADA ORANG TORAJA

Kebudayaan asli suku Toraja yang sampai saat ini masih dipegang kuat adalah kebudayaan mengenai ritual pemakaman yang disebut dengan ritual Rambu Solo’. Ritual Rambu Solo’ berasal dari kepercayaan aluk to dolo yang dulunya merupakan kepercayaan masyarakat Toraja.

(9)

apabila seseorang yang baru mati dan belum sempat dimakamkan, maka orang yang mati tersebut hanya dianggap sebagai orang yang sedang terbaring, sedang dalam keadaan sakit, yang sering disebut dengan istilah tomakula’. Selama dalam keadaan ini, hubungan dengan manusia yang masih hidup dalam keadaan biasa saja. Sementara itu, keadaan tidurnya demikian pula adanya, terlentang di tempat tidur seperti keadaan orang yang masih hidup dalam keadaan berbaring di tempat tidur. Tomakula’ ini dibaringkan di atas rumah dengan posisi tidur bagaikan manusia yang belum meninggal dan letak arah kepalanya ke sebelah barat dan arah kakinya membujur ke sebelah timur. Tomakula’ ini diperlakukan sebagai orang yang masih hidup yang dalam keadaan sehari-hari masih disajikan makanan dan minuman yang mana makanan dan minuman tersebut diletakkan di dalam piring dan cangkir yang telah dikhususkan bagi tomakula’. Nanti ketika ritual Rambu Solo’ dilaksanakan, maka peralatan yang digunakan tadi (misalnya, piring dan cangkir) tidak lagi dipakai. Sebagai gantinya ialah daun pisang sebagai ganti piring dan bambu sebagai ganti cangkir tadi. Di saat dikatakan masih dalam keadaan tomakula’, setiap harinya seluruh keluarga dan handai taulan serta keluarga terdekat saling bergantian membawakan makanan dan minuman untuk keperluan penjaga-penjaga tomakula’.

(10)

rumah, biasanya bertahun-tahun lamanya disimpan menunggu untuk diupacarakan. Di sini jelas bahwa hubungan orang yang telah meninggal dan yang masih hidup sama dengan keadaan manusia yang masih dalam keadaan hidup. Pada saat tomakula’ akan diupacarakan, maka pada kesempatan ini akan dibunyikan gong atau gendang serta diikuti oleh persembahan-persembahan kurban pertama sebagai tanda bahwa di sana ada orang mati, dan sejak saat itu hubungan si mati (tomate) dan manusia yang masih hidup mulai terbatas (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, 1984).

Keluarga yang berduka belum boleh meratap. Aluk (ritus)-lah yang akan mengesahkan bahwa orang tersebut telah meninggal. Bila ritual Rambu Solo’ akan dimulai, maka acara pertama ialah korban persembahan menyambung nyawa (sumbung penaa). Pada acara tersebut jenazah dibalik arah tidurnya, yaitu kepala di selatan dan kaki di utara (dipopengulu sau’). Sesudah acara menyambung nyawa selesai dilaksanakan barulah jenazah tersebut resmi meninggal secara aluk dan keluarga sudah boleh meratap. Di sini nampak bahwa jalan hidup ditentukan oleh aluk, kematian ditentukan oleh ritus, dan perjalanan hidup selanjutnya tetap akan ditentukan oleh aluk (Sarira, J.A., 1996).

(11)

persembahan, maka orang yang meningggal tersebut bekalnya kurang untuk sampai ke puya/puyo (alam roh) dan keluarga yang ditinggalkan di dunia tidak akan memperoleh berkat. Inilah salah satu alasan mengapa masyarakat Toraja masih menjalankan ritual Rambu Solo’ hingga sekarang (Sarira, J.A., 1996).

(12)
(13)

pengaturan fungsi seseorang bersifat tertutup (berdasarkan keturunan). Kesebelas, harta kekayaan berfungsi sosial, yaitu orang Toraja meyakini bahwa manusia pada dasarnya satu keluarga, semuanya adalah keturunan Datu Lauku. Pemilikan harta benda berdasarkan pemilikian keluarga, pemilikan tongkonan. Dengan bergotongroyong bukan berarti bekerja sia-sia untuk orang lain. Hasilnya akan dinikmati bersama. Orang kaya adalah tumpuan harapan orang miskin. Orang kaya harus menjamu tamu secara besar-besaran melalui upacara Rambu Solo’ yang didalammya seluruh keluarga bersama-sama dapat menjamu dan dijamu. Pada kesempatan tersebut orang kaya dapat memberi makan kepada orang banyak (umpakande tau buda). TARIAN DUKACITA MA’BADONG

(14)

Jenis badong yang unik adalah badong pada waktu pemakaman (badong to meaa). Badong to meaa lebih mengungkapkan kegembiraan karena almarhum sedang menuju ke perkampungan leluhurnya bersama-sama dengan para kekasih pendahulunya dan yang pada akhirnya arwahnya akan menjelma menjadi ilah di langit (Sarira, J.A., 1996). Selain itu melalui tarian ini para keluarga dimaksudkan untuk menari sambil berdoa agar arwah yang meninggal diterima di puya (sorga), atau alam baka. (The Guide Magazine Toraja, 1).

METODE PENELITIAN

Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah dipaparkan, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif sendiri merupakan penelitian yang datanya dikumpulkan dalam bentuk kata-kata, atau gambar dan tidak menekankan pada angka statistika, sebagaimana yang diungkapkan oleh Bogdan & Taylor (dalam Moleong, L.J., 2010) bahwa metode kualitatif menunjuk kepada prosedur-prosedur penelitian yang menghasilkan data kualitatif, yaitu ungkapan atau catatan mengenai orang-orang atau tingkah laku mereka yang terobservasi.

(15)

data dilakukan dengan cara membandingkan data yang diperoleh dari partisipan dengan hasil wawancara dari orang-orang terdekat partisipan. Selanjutnya terhadap data wawancara yang telah terkumpul dilakukan analisis data yang meliputi: reduksi data, kategorisasi, pemeriksaan keabsahan data, penafsiran data, dan kesimpulan.

HASIL PENELITIAN

Berikut ini akan dipaparkan mengenai latar belakang dan dukacita pada kedua partisipan yang melaksanakan ritual pemakaman Rambu Solo’. Kedua partisipan penelitian merupakan turunan orang Toraja asli yang hidup di Toraja, sejak lahir, tumbuh besar hingga menikah dan memiliki keluarga, kecuali partisipan kedua yang setela dewasa meninggalkan Toraja kemudian bekerja, menikah dan berkeluarga , dan menetap di kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.

(16)

ada yang hilang dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan karena sang nenek selalu menolong RM menjaga kedua anaknya yang masih kecil, sehingga RM dapat dengan leluasa memetik sayur untuk diberikan kepada ternak babinya. Kepergian neneknya membuat RM merasa kehilangan secara fungsional, karena menurutnya tidak ada lagi yang akan menjaga anak-anaknya saat ia hendak bekerja memetik sayur bagi ternak babinya. Setelah lebih dari setahun merawat jenazah neneknya layaknya orang yang masih sakit, maka tiba saatnya bagi RM melaksanakan Rambu Solo’ bagi almarhum nenek. Selama Rambu Solo’ berlangsung RM menyambut kedatangan para tamunya dan para tamu membawakan sejumlah hewan bagi keluarga RM. Jumlah keseluruhan hewan yang diperoleh RM bersama sang suami adalah 30 ekor hewan, yaitu 3 ekor kerbau dan sisanya 27 ekor babi.

(17)

sebatas komunikasi lewat surat atau menanyakan kabar ibunya lewat orang-orang terdekatnya. Hal ini terpaksa ia lakukan oleh karena KV kesibukkan pekerjaannya di Pinrang.

Selanjutnya akan dibahas mengenai hasil penelitian dukacita pada orang Toraja yang melaksanakan ritual pemakaman Rambu Solo’.

(18)

menyembunyikan perasaannya dibandingkan dengan wanita yang lebih sering mengungkapkan perasaannya.

Tidak hanya mengalami kesedihan karena peristiwa kehilangan, partisipan pertama (RM) ternyata mengalami perasaan emosional dukacita yang tidak dialami oleh partisipan kedua. Partisipan pertama menunjukkan kemarahannya secara langsung kepada jenazah neneknya. Seperti yang diungkapkan oleh Jeffreys, J.S., (2005) marah adalah reaksi yang terjadi secara alami ketika individu kehilangan orang yang dicintainya. Rasa marah ini dapat ditujukan secara langsung kepada orang yang meninggal, situasi, atau kepada Tuhan. Partisipan pertama menunjukkan rasa marahnya (anger) langsung kepada almarhum neneknya melalui ungkapkan “mengapa nenek tinggalkan saya?”. Kemarahan yang terjadi menggambarkan suasana hati partisipan pertama yang tidak rela kehilangan neneknya.

(19)

Oleh karena kedekatan yang terjalin sangat baik di antara partisipan pertama dengan almarhum neneknya, membuatnya sulit atau tidak rela kehilangan neneknya. Proses yang terjadi pada partisipan pertama menunjukkan bahwa ada kesesuaian teori yang diungkapkan oleh Aiken (dalam Cahyasari, I., 2008), bahwa jika kedekatan suatu hubungan yang terjalin dengan baik akan memungkinkan bagi seseorang yang ditinggalkan sulit untuk melupakan dan melepaskan ikatan tersebut. Berbeda dengan partisipan pertama, partisipan kedua tidak menunjukkan kemarahannya baik terhadap almarhum ibunya, orang-orang terdekatnya maupun Tuhan. Sejak awal peristiwa kehilangan partisipan kedua mengatakan bahwa ia sudah dapat menerima kenyataan ibunya telah tiada. Perbedaan reaksi emosianal di antara keduanya berkaitan dengan perbedaan umur kedua partisipan yang selisih 38 tahun dan menurut Aiken (dalam Cahyasari, I., 2008) bahwa secara umum dukacita lebih menimbulkan stres pada orang yang usianya lebih muda.

Rindu Sengsara sebagai Perasaan Emosional Dukacita karena Ritual Rambu Solo’

(20)

Rasa rindu keduanya, ditujukan kepada jenazah orang yang mereka kasihi dan perasaan sengsara sebagai penderitaan akibat memikirkan pelaksanaan Rambu Solo’ dan bagaimana melunaskan hutang hewan yang diperoleh.

Proses Penantian Ritual Rambu Solo’

Upacara peristiwa kematian yang dialami oleh kedua partisipan tidak dilakukan seperti ritual pemakaman masyarakat pada umumnya. Kedua partisipan membuat ritual pemakaman bagi orang yang dikasihinya dengan menggunakan ritual berkabung adat orang Toraja, yang dikenal dengan nama Rambu Solo’. Sebelum Rambu Solo’ dilaksanakan keluarga kedua partisipan wajib mengikuti aturan yang telah ditentukan oleh adat, yaitu bahwa sekalipun orang yang dikasihi telah dinyatakan meninggal secara medis, namun sebelum Rambu Solo’ resmi dilaksanakan, maka jenazah belum dapat dikatakan meninggal secara adat. Jenazah masih dianggap sebagai orang sakit, masih hidup, ditaruh di dalam rumah bersama dengan anggota keluarga yang masih hidup dan para keluarga inti wajib melayani jenazah seperti saat jenazah masih hidup, yaitu dengan membawa makanan, minuman ataupun sirih dan rokok serta mengajak jenazah berkomunikasi (Sarira, J.A., 1996).

(21)
(22)

masih hidup membuatnya semakin beranggapan bahwa neneknya masih hidup.

Partisipan kedua yang juga menjalankan proses ritual selama satu tahun justru membuatnya berpikir bahwa memang ibunya telah tiada. Baginya ini hanya persoalan menurut apa yang dikatakan oleh adat, sehhingga ia sendiri lebih mempercayai tentang realita yang terjadi. Partisipan kedua juga mengakui bahwa ia jarang melayani jenazah seperti yang dilakukan oleh partisipan pertama, karena setiap kali ia melihat jenazah ibunya akan membuatnya semakin rindu dan juga merasakan sakit serta kasihan terhadap jenazah ibunya.

(23)

tanpa ragu-ragu partisipan pertama akan memanggil jenazah dari dapur untuk makan siang bersama-sama. Bentuk komunikasi lainnya adalah partisipan pertama tetap senantiasa membawa almarhum dalam doanya. Selain itu partisipan pertama sering mengenang masa-masa ketika neneknya selama hidup begitu menyayangi dan bersedia merawat anak-anaknya.

(24)

menjaga anak-anaknya dan ini terkait akan rasa kehilangan pribadi nenek secara fungsional.

Partisipan kedua tidak berharap agar ibunya masih hidup, tetapi ia berharap agar kelak dapat bertemu dengan ibunya di sorga. Perbedaan intensitas pertemuaan kedua partisipan terhadap orang yang dikasihi mempengaruhi attachment behavior di antara mereka, sehingga memberi pengaruh terhadap perbedaan harapan kepada sosok pribadi yang telah tiada.

Kerinduan dan kesepian yang terus dirasakan kedua partisipan selama lebih dari satu tahun, diakui oleh keduanya dikarenakan proses ritual yang masih mengizinkan mereka melayani jenazah. Tinggal bersama jenazah dan merawat jenazah dengan status tomakula’ membuat kerinduan mereka semakin besar.

(25)

individu tersebut merasa lebih kuat dan tegar untuk menghadapi kondisi yang sedang dialami, tanpa adanya dukungan akan membuat individu yang ditinggalkan oleh orang yang dicintainya merasa sepi dan hampa di dunia ini.

Peran Tarian Dukacita Ma’badong

(26)

karena tarian dukacita ini ia anggap sebagai hal yang dapat menghibur dirinya setelah kehilangan orang yang ia kasihi, membebaskannya dari rasa susah akibat hutang serta keyakinannya bahwa tarian tersebut dapat menghibur jenazah ibunya.

Dari hal ini dapat diketahui bahwa seni tari memberi dampak yang positif terhadap dukacita yang dialami oleh kedua partisipan. Menurut Sarira, J.A., (1996) kesenian yang ditampilkan pada Rambu Solo’ adalah ungkapan ratapan dan penghormatan kepada almarhum. Kesenian ini tidak hanya pengungkapan penderitaan di dunia sekarang, melainkan juga mengungkapkan masa awal yang indah. Isi tarian ma’badong terdiri dari pembukaan, yaitu pernyataan dukacita, menguraikan sejarah ringkas keturunan almarhum, riwayat hidup sejak lahir sampai wafatnya, kemudian bagaimana upacara Rambu Solo’nya dilaksanakan dan perjalanannya ke sorga (puya). Selain itu dalam tarian ini para penari juga menari sambil berdoa bagi arwah orang yang mati agar diterima di negeri arwah/sorga (puya), atau di alam baka (The Guide Magazine Toraja, 1).

Perubahan Status Jenazah menjadi Tomate

(27)

bertemu kembali seperti masih hidup semakin memudar dalam diri kedua partisipan. Menurut Bowlby (dalam Jeffreys, J.S., 2005) ini merupakan proses dukacita yang disebut dengan fase kekalutan, kesedihan yang mendalam dan putus asa. Pada fase ini, individu yang mengalaminya dicirikan dengan harapan yang semakin memudar, mengakui orang yang dicintai tidak akan pernah kembali serta menjadi terbiasa dengan rasa putus asa, kelelahan, kehilangan motivasi, serta apatis. Pada partisipan pertama selama lebih dari satu tahun ia masih berharap agar neneknya masih hidup, saat Rambu Solo’ harapan agar neneknya masih hidup memudar. Berbeda dengan partisipan pertama, partisipan kedua sejak awal kematian tidak lagi mengharapkan agar dapat bertemu dengan ibunya seperti masih hidup. Dengan berlangsungnya Rambu Solo’ partisipan kedua semakin disadarkan bahwa memang ibu yang dicintainya tidak ada lagi di dunia ini dan mulai menerima peristiwa kehilangan ini adalah nyata adanya. Namun, kedua partisipan tetap memiliki harapan dan keyakinan bahwa kelak mereka akan bertemu dengan orang yang dikasihi di sorga.

(28)

kedua memasrahkan hal ini kepada kuasa yang lebih besar dari mereka, yaitu kepada kuasa Tuhan. Menurut Jeffreys, J.S., (2005) respons dukacita individu secara khas berhubungan dengan peran spiritual (keagamaan). Banyak orang-orang yang menderita karena peristiwa kehilangan akan berbelok kepada sistem kepercayaan atau sistem iman mereka untuk menolong mereka dalam menghadapi peristiwa kematian, seperti melaksanakan ritual-ritual maupun dukungan dari para pendoa (prayer support). Hal ini terlihat selama Rambu Solo’, yaitu keluarga kedua partisipan tetap melibatkan peran serta iman percaya mereka dengan melaksanakan ibadah malam dalam bentuk liturgi agama Katholik dan di hari pemakaman pun dipimpin oleh seorang Frater.

(29)

Turner & Helms (dalam Cahyasari, I., 2008) bahwa tidak mudah bagi seseorang yang telah ditinggalkan untuk menyadari seutuhnya dan menerima kematian orang yang dicintainya.

Kedua partisipan mengalami konflik perasaan lainnya, yaitu berbaurnya rasa sepi, sedih dan bahagia selama Rambu Solo’ berlangsung. Kesepian dan kesedihan yang dirasakan oleh keduanya merupakan manifestasi dari dukacita karena kehilangan orang yang dicintai. Rasa sepi dan sedih tersebut semakin kuat dirasakan keduanya oleh karena hari pemakaman yang semakin dekat. Rasa bahagia yang dirasakan kedua partisipan oleh karena melalui Rambu Solo’ mereka dapat berjumpa dengan keluarga besarnya yang datang dari Toraja, khususnya di luar daerah Toraja. Bagi kedua partisipan Rambu Solo’ merupakan salah satu media yang berhasil mengumpulkan keluarga besar mereka, sehingga menciptakan rasa kekeluargaan yang lebih erat di antara mereka. Kekeluargaan itu sendiri juga merupakan salah satu aspek penting di dalam Rambu Solo. Menurut Sarira, J.A., (1996) dalam upacara Rambu Solo’ hubungan kekeluargaan diperbaharui dan dipulihkan. Dalam ritual Rambu Solo’ nyata bahwa hubungan kekeluargaan tidak putus, ada reuni keluarga supaya ikatan kekeluargaan tetap utuh. Kekeluargaan yang dimaksudkan di sini adalah kekeluargaan yang berdasarkan keturunan (geneologis). Peran dan Manfaat Melaksanakan Ritual Rambu Solo’

(30)
(31)

memberikan keuntungan baik secara sosial, psikologis dan spiritual (Rando, dalam Doka, J.K., 2003).

Selanjutnya Saroengallo, T., (2010) kembali menambahkan bahwa menurut beberapa pengamat sosial-budaya Toraja; bahwa salah satu ciri khas masyarakat Toraja adalah ikatan kekerabatan yang kental atau rasa persaudaraan dan persahabatan yang kuat dan erat. Kentalnya hubungan kekerabatan dan persahabatan, atau hubungan persaudaraan yang dirasakan dekat dan akrab ini ditopang oleh tiga sistem sosial-budaya yaitu: kesatuan asal-usul (seketurunan), sistem bawaan kerbau/babi pada ritual Rambu Solo’ dan sistem passarak. Dari ketiga sistem di atas, sistem bawaan mempunyai jangkauan dan jaringan yang luas, karena di samping menyangkut keluarga seketurunan, juga mencakup pertemanan atau persahabatan seperti kenalan dekat, teman sekerja, teman seorganisasi dan sebagainya.

Rambu Solo’, Hewan Kerbau dan Babi Sebagai Simbol Strata

Sosial

(32)

Solo’, yaitu hutang. Menurut Saroengallo, T., (2010) tidak ada sanksi adat yang akan diberikan jika keluarga yang berduka tidak melaksanakan Rambu Solo’ bagi orang yang dikasihi. Akan tetapi, jika keluarga berduka tidak melaksanakan Rambu Solo’ apalagi jika menyandang status sebagai topuang atau tomakaka dan dihormati oleh kalangan masyarakat, maka dapat menimbulkan rasa bersalah dalam diri individu tersebut.

Rasa Kelelahan Selama Rambu Solo’

Bowlby (dalam Jeffreys, J.S., 2005) mengatakan bahwa saat individu telah sampai pada proses berduka, yaitu kekalutan, kesedihan yang mendalam dan putus asa, maka individu akan terbiasa dengan rasa kelelahan (fatigue).

(33)

lantang miliknya. Partisipan pertama meskipun tugas di dapur telah dikerjakan oleh kaum kaunan, namun hal tersebut tidak membuatnya meninggalkan tugas yang selama ini melekat pada diri perempuan, seperti membawa sirih, makanan dan minuman bagi para tamu. Partisipan pertama tidak hanya bertugas di lantangnya pribadi, namun ia dengan rela mau mengantarkan makanan berupa nasi, lauk, minuman, bahkan rokok dan sirih untuk seluruh tamu yang datang. Kesibukkan lainnya setiap pagi ia tetap mengambil sayur bagi ternak babinya dan tetap menjaga kedua anaknya yang masih balita, sedangkan partisipan kedua hampir semua anaknya telah bekerja dan hanya tiga anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan selama Rambu Solo’ ketiga anaknya dijaga oleh isterinya, sehingga ia tidak direpotkan oleh pekerjaan mengasuh anak di tengah berlangsungnya ritual Rambu Solo’.

Dampak Hutang Hewan terhadap Keluarga yang ditinggalkan

(34)

sedangkan partisipan kedua hanya memperoleh tujuh ekor. Hewan-hewan tersebut semuanya dikorbankan oleh kedua partisipan selama Rambu Solo’ berlangsung. Jumlah hutang yang berbeda di antara keduanya tergantung seberapa banyak kerabat yang datang membawakan hewan bagi kedua partisipan. Hutang yang di satu sisi menjadi beban pikiran bagi kedua partisipan, namun di sisi lain keduanya mengakui bahwa dengan adanya hutang memotivasi mereka untuk bekerja dengan lebih giat dan mencari pekerjaan tambahan agar semua hutang hewannya dapat dilunaskan.

(35)

Toraja merupakan hewan peliharaan yang sangat penting. Selain dagingnya yang enak dimakan, babi juga menjadi hewan penting karena dapat digunakan sebagai persembahan dalam ritual keagamaan. Selain itu babi dianggap sebagai aset dalam setiap keluarga yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk kepentingan tertentu, misalnya untuk biaya pendidikan anak-anak dan sebagai pelunasan hutang yang diperoleh saat melaksanakan Rambu Solo’ (The Guide Magazine Toraja, 1). Partisipan pertama juga menganggap hutang hewan tersebut sangat mengganggu pikirannya dan membuatnya merasakan kekhawatiran yang besar mengenai biaya pendidikan anak-anaknya yang masih kecil di tengah kesusahan memikirkan pelunasan hutang.

Bagi partisipan kedua, setelah mengetahui jumlah hutang yang diperoleh ia kemudian berpendapat bahwa hutang hewan tidak lagi dirasa sangat mengganggu pikirannya seperti saat sebelum Rambu Solo’, namun cukup mengganggu. Hal ini partisipan kedua katakan dengan alasan bahwa baginya ada anak-anaknya yang telah bekerja yang dapat membantunya untuk melunasi hutang-hutangnya. Di sini terlihat bahwa ketika semua anggota keluarga inti (suami, isteri dan anak) telah memiliki pekerjaan, maka dapat menolong individu mengatasi kecemasan dalam menghadapi proses pelunasan hutang hewan.

(36)

hewan melaksanakan Rambu Solo’. Namun, tidak demikian halnya dengan partisipan kedua, yang tidak merasa terbeban seperti yang dialami partisipan pertama. Bagi partisipan kedua, hutang yang tidak langsung terbayar dengan lunas bukanlah hal yang menjadi masalah besar karena ia sendiri berhutang bukan kepada orang lain, namun kepada orang yang dianggapnya keluarga. Pendapat partisipan kedua sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Saroengallo, T., (2010) bahwa pengembalian hutang hewan hanya dapat dilakukan bila ada lalan (jalan) artinya bila keluarga bersangkutan melaksanakan ritual pemakaman. Hal ini dilakukan karena di lingkungan masyarakat Toraja adalah sangat tidak sopan atau tidak tahu adat bila menagih bawaan hewan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penagihan merupakan pertanda ketidaktulusan ketika memberikan bawaan yaitu hewan. Selain dengan bekerja agar mendapatkan penghasilan untuk membayar hutang, kedua partisipan menyerahkan segala kekhawatiran tersebut kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kesedihan Di Hari Pemakaman

(37)

mengantarkan jenazah neneknya di tempat peristirahatannya yang terakhir. Hal ini dikarenakan saat pemakaman berlangsung masyarakat sekitar tengah menanti musim panen padi. Jadi, jika ada orang yang meninggal dan pihak keluarga ikut turun mengantarkan jenazah ke kubur maka akan berdampak buruk terhadap hasil panen masyarakat. Larangan ini memunculkan rasa bersalah dalam diri partisipan pertama terhadap jenazah neneknya dan rasa marah di dalam hati terhadap larangan tersebut. Rasa bersalah dan marahnya ia atasi dengan bersikap diam dan tetap mengikuti larangan tersebut sambil menahan kerinduannya dan ia menunggu waktu panen tiba untuk dapat mengunjungi jenazah neneknya. Berbeda dengan partisipan kedua yang tetap turun mengantarkan jenazah ibunya sampai di kuburan, sehingga tidak membuatnya merasa bersalah terhadap jenazah ibunya.

Penyesuaian Diri Pasca Rambu Solo’

(38)

cara ikut bergabung menyaksikan sabung ayam (adu ayam) di rumah tetangganya sebelum ia meninggalkan Toraja dan kembali ke Pinrang. Hal ini menurut Bowlby (dalam Jeffreys, J.S., 2005) adalah proses/fase yang terakhir dalam dukacita. Tahapan ini disebut dengan fase reorganisasi, yaitu individu yang berduka memulai membangun kembali rasa indentitasnya, arah dan tujuan hidup, rasa mandiri dan percaya diri. Individu kembali menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan terhadap status baru pasca kehilangan.

Meskipun Rambu Solo’ telah selesai dan kedua partisipan telah mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, keduanya masih tetap merasakan rindu sengsara oleh karena belum dapat membayar hutang hewan yang diperoleh selama Rambu Solo’.

Akhirnya, kedua partisipan mengakui bahwa meskipun Rambu Solo’ telah selesai dilaksanakan mereka tetap merasakan dukacita. Dukacita kedua partisipan bukan lagi karena kehilangan orang yang dikasihi, namun disebabkan oleh karena adanya hutang hewan yang mereka tanggung yang dapat menurun kepada anak-anaknya kelak.

KESIMPULAN DAN SARAN

(39)

tidak hanya mengalami rasa sedih akibat kehilangan orang yang dikasihi, partisipan pertama juga menunjukkan rasa marahnya kepada almarhum di awal peristiwa kehilangan.

Kedua, sebelum Rambu Solo’ dilaksanakan kedua partisipan merasakan kerinduan kepada almarhum. Perasaan rindu tersebut dirasakan keduanya oleh karena aturan adat yang masih mengharuskan mereka untuk tinggal bersama dengan jenazah dan merawat jenazah layaknya orang yang masih sakit menunggu Rambu Solo’ dilaksanakan.

Ketiga, kedua partisipan juga masih merasakan perasaan kehilangan saat Rambu Solo’ berlangsung, yaitu saat jenazah almarhum resmi dikatakan sebagai tomate. Perubahan status dari tomakula’ menjadi tomate memunculkan konflik batin bagi partisipan pertama dikarenakan ia masih ingin merawat jenazah layaknya tomakula’. Konflik perasaan lainnya adalah kedua partisipan merasakan berbaurnya rasa sepi, sedih, dan bahagia saat Rambu Solo’ berlangsung. Rasa sedih dan kesepian dikarenakan kehilangan orang yang dikasihi dan rasa bahagia karena dapat berjumpa dengan keluarga besar yang datang dari Toraja, khususnya dari luar Toraja.

(40)

Kelima, sejak awal peristiwa kehilangan sampai Rambu Solo’ berakhir, satu-satunya pikiran yang mengganggu kedua partisipan adalah hutang hewan yang diperoleh saat Rambu Solo’. Hutang ini ternyata menambah beban dukacita pada kedua partisipan karena memunculkan penderitaan dalam diri kedua partisipan. Namun, kedua partisipan merasakan adanya support sosial mulai di awal kematian sampai Rambu Solo’ dilaksanakan yang meringankan beban dukacita mereka dan membuat relasi kedua partisipan terjalin menjadi lebih akrab dengan sanak keluarga maupun para tetangga. Kedua partisipan juga merasakan hal positif ketika mengikuti tarian ma’badong karena menolong mereka untuk sejenak tidak memikirkan mengenai hutang. Hal-hal inilah yang menjadi dampak negatif maupun positif yang ditimbulkan oleh Rambu Solo’ terhadap dukacita orang Toraja.

Keenam, kedua partisipan mengalami proses dukacita yaitu mati rasa (numbing), kerinduan dan mencari (yearning and searching), kekalutan, kesedihan yang mendalam dan putus asa (disorganization and despair) serta pulih kembali (reorganization). Proses kerinduan dan mencari (yearning and searching) merupakan proses dukacita yang paling dominan dirasakan kedua partisipan. Hal ini dikarenakan proses sebelum Rambu Solo dilaksanakan, yaitu pada saat jenazah masih dianggap sebagai tomakula’.

(41)

melakukan attachment behavior, seperti membawakan minuman atau sirih setiap harinya, berdoa bagi jenazah dan tetap menegur/menjaga komunikasi dengan jenazah orang yang mereka kasihi. Hal ini juga yang kemudian membuat partisipan pertama selama lebih dari satu tahun tetap menganggap bahwa almarhum neneknya masih hidup. Namun, bagi partisipan kedua proses sebelum Rambu Solo’ membuatnya lebih menyadari bahwa ibunya memang telah tiada.

Saran yang dapat diberikan bagi peneliti selanjutnya adalah memfokuskan penelitian terhadap seberapa besar pengaruh hutang hewan dalam diri individu pasca Rambu Solo’. Selain itu juga dapat melihat perbedaan dukacita yang muncul di antara kaum Bulaan, Tomakaka, dan Kaunan. Selanjutnya adalah menambah jumlah partisipan, sehingga menghasilkan informasi yang lebih banyak mengenai dukacita pada orang Toraja yang melaksanakan ritual pemakaman Rambu Solo’, serta meluangkan waktu yang lebih lama untuk pengambilan data, khususnya di saat jenazah masih berstatus tomakula’.

DAFTAR PUSTAKA

Cahyasari, I. (2008). Grief in adolescent son because both parents died. Diakses Maret 26, 2011 dari

http://papers.gunadarma.ac.id/index.php/psychology/article/v iew/318/292

(42)

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1984). Upacara tradisional (upacara kematian) daerah sulawesi selatan. Jakarta.

Doka, J.K. (2003). Living with grief. New York: Brunner-Routledge.

Jeffreys, J. S. (2005). Helping grieving people: When tears aren’t enough. New York: Brunner-Routlegde.

Moleong, L. J. (2010). Metodologi penelitian kualitatif (Edisi revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2005). Human development. New York: McGrawHill.

Santrock, J. W. (2002). Life span development: Perkembangan masa hidup. Jakarta: PT. Erlangga.

Sarira, J. A. (1996). Aluk rambu solo’ dan persepsi orang kristen terhadap rambu solo’. Toraja: PUSBANG Gereja Toraja. Saroengallo, T. (2010). Ayah anak beda warna: Anak toraja kota

menggugat. Yogyakarta: Tembi.

Tatelbaum, J. (1980). The courage to grieve. New York: Lippincott & Crowell.

Referensi

Dokumen terkait

Kepercayaan diri partisipan dalam penelitian ini berbeda dalam menanggapi histerektomi yang dilakukan tergantung dari kualitas individu yang berbeda dalam

Partisipan dalam penelitian ini adalah pendeta GMIT yang melayani di Kuanfatu.. Semua partisipan adalah lulusan S1 dari Fakultas Theologia ataupun dari

juga sudah tidak perawan dari sebelum ia melakukan pekerjaan ini, tetapi pada. akhirnya partisipan ketagihan dan menjadikan partisipan bekerja seperti ini

Satu partisipan cenderung takut akan kata pernikahan dan juga perceraian dalam hubungan yang sedang

bagi diri partisipan untuk bisa menjadi seorang yang tidak pemalu.. Hal

yang dimiliki oleh partisipan sebagai orang yang merawat pasien di rumah. ataupun di

Selain melakukan observasi, peneliti juga meminta partisipan untuk mengisi self-monitoring guna memberikan gambaran yang lebih spesifik mengenai bagaimana

sejajar antara laki-laki dan perempuan dengan belajar dari tarian lego-lego yang