• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN TOD PADA SIMPUL TRANSPORTASI MODA KERETA API (Studi Kasus: Provinsi Banten, Indonesia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN TOD PADA SIMPUL TRANSPORTASI MODA KERETA API (Studi Kasus: Provinsi Banten, Indonesia)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

63

KONSEP IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN TOD PADA SIMPUL TRANSPORTASI MODA KERETA API

(Studi Kasus: Provinsi Banten, Indonesia)

Hera Zetha Rahman1, Azaria Andreas1,

Akhmad Dofir1, Perdana Miraj Sejatiguna1,

Nina Kade Nirmala2

1Program Studi Teknik Sipil, Universitas Pancasila

2Program Studi Teknik Sipil, Universitas Indonesia Korespondensi: azaria.andrea@univpancasila.ac.id

Abstract :

A train is a mass transportation means that can carry passengers or goods on a large scale, so that the Indonesian people use it as a means of transportation both within cities and intercity/ Along with this, the train station is the main requirement needed in the movement of the rail transportation mode. Apart from the main function of the station as a place for passengers to get on or off, stations can be developed into centers of urban activities by maximizing the use of space at the station and the utilization of the surrounding space which is integrated with the development of properties high density and other supporting facilities. To realize this, an effort is needed to maximize the potential for station development through the Transit Oriented Development (TOD) approach. The development of TOD at a railway station can create an ideal distance or radius from a transportation node to occupancy, creating lower cost, time and energy efficiency so as to improve the quality of life in urban areas, and it is hoped that it can reduce the maintenance costs of the station itself through additional functions that can generate revenue. In order to optimize the function of railway stations, especially in urban areas, this study was conducted to create a concept for regional development with the concept of TOD based on railway stations. This study used a qualitative approach with the study area located in Banten Province (outside the BPTJ working area), and data collection was carried out using purposive sampling method. The result is a station that has the potential to be developed into a transit-based area in Banten Province is the Serang Station

. Keywords: Integrated; Rail; Station; Transportation; TOD

Pendahuluan

Kereta api merupakan alat transportasi massal yang dapat memuat penumpang atau barang dalam skala yang besar, sehingga masyarakat Indonesia memanfaatkannya sebagai alat transportasi baik di dalam kota, maupun antarkota. Moda transportasi kereta api semakin mendapat tempat di hati masyarakat seiring dengan peningkatan pelayanan di setiap sektor. Hal ini terbukti dengan meningkatnya volume penumpang kereta api dari tahun ke tahun. Pada 2016, KAI mengangkut 352,3 juta penumpang. Di tahun 2017, jumlahnya naik 12% menjadi 394,1 juta penumpang. Lonjakan penumpang berlanjut di tahun 2018 dengan jumlah total 425 juta

penumpang atau naik 8%. Sampai dengan Semester I 2019 terjadi peningkatan sebesar 2% dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. Pada Semester I 2019 PT Kereta Api Indonesia (Persero) melayani 210,7 juta penumpang. Sedangkan di Semester I 2018, KAI melayani 207 juta penumpang. Minat masyarakat untuk menggunakan transportasi KA, baik untuk KA Jarak Jauh maupun KA Lokal terus menunjukkan tren positif. Bahkan di beberapa rute tertentu, meskipun jumlah KA-nya ditambah, namun permintaan dari masyarakat tetap tinggi.

Perkeretaapian di Indonesia diatur

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun

(2)

64 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian. Menurut fungsinya, perkeretaapian Indonesia terdiri atas perkeretaapian umum dan perkeretaapian khusus. Penyelenggaraan perkeretaapian umum meliputi perkeretaapian perkotaan dan perkeretaapian antarkota yang melayani kepentingan umum baik barang maupun penumpang. Pembangunan infrastruktur kereta api tersebut tidak terlepas dari pengembangan wilayah, tata ruang kota dan keterhubungan antarmoda transportasi.

Seiring hal tersebut, maka stasiun kereta api sebagai pusat pergerakan khususnya di daerah perkotaan dapat dikembangkan menjadi pusat kegiatan perkotaan dengan memaksimalkan pemanfaatan ruang di stasiun dan pemanfaatan ruang di sekitarnya yang terintegrasi dengan pengembangan properti kepadatan tinggi dan fasilitas penunjang lainnya. Saat ini stasiun kereta api di Indonesia mayoritas hanya berfungsi sebagai naik turun penumpang tanpa adanya fungsi tambahan. Untuk itu perlu dilakukan suatu usaha untuk memaksimalkan potensi stasiun melalui pendekatan Transit Oriented Development (TOD). Kawasan TOD merupakan kawasan yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang sebagai kawasan terpusat pada integrasi inter dan antar moda yang berada pada radius 400 m sampai dengan 800 m dari simpul angkutan umum masal yang memiliki fungsi pemanfaatan ruang campuran, padat dengan intensitas pemanfaatan ruang sedang hingga tinggi (Permen ATR No. 16 Tahun 2017).

Pengembangan TOD di stasiun kereta api dapat mendekatkan jarak pengguna kereta api, menciptakan efisiensi biaya, waktu dan tenaga sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup di perkotaan. Disamping itu melalui peningkatan fungsi stasiun menjadi TOD, maka diharapkan mampu mereduksi biaya pemeliharaan stasiun itu sendiri melalui penambahan fungsi yang dapat menghasilkan revenue. Dalam rangka mengoptimalkan fungsi stasiun kereta api khususnya di wilayah perkotaan, maka kajian ini dilakukan untuk membuat konsepsi pengembangan kawasan dengan konsep TOD berbasis stasiun kereta api.

Lokasi kajian bertempat di Provinsi Banten. Lokasi kajian di luar wilayah

Jabodetabek yang dapat diidentifikasi berdasarkan wilayah kerja BPTJ sesuai dengan Perpres 103 No 2015 tentang BPTJ Pasal 3 ayat 2 yaitu,

1. Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

2. Wilayah Provinsi Jawa Barat, yaitu Kota Depok, Kota Bogor, Kota Bekasi, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bekasi; dan

3. Wilayah Provinsi Banten, yaitu Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang.

Metode Penelitian

Penelitian ini dimulai dengan melakukan Inventarisasi peraturan dan ketentuan terkait pengembangan TOD pada simpul transportasi moda kereta api. Peraturan yang mendasari penelitian ini adalah Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/

Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit.

Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai acuan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota, dalam penentuan dan penetapan lokasi TOD serta pengembangan kawasan TOD. Berikut Komparasi Peraturan Menteri ATR, Perka BPTJ dan Pergub DKI Tentang TOD.

Selanjutnya, penulis melakukan

Benchmarking pada beberapa negara. Dari

hasil benchmarking, suatu organisasi dapat

memperoleh gambaran dalam mengenai

kondisi kinerja organisasi sehingga dapat

mengadopsi best practice untuk meraih

sasaran yang diinginkan. Berikut hasil

benchmarking di California, Amerika Serikat,

Korea Selatan, dan Norwegia.

(3)

65 Gambar 1

Komparasi Peraturan TOD

Sumber: Kementerian Perhubungan, 2018

1. California, Amerika Serikat

Pengembangan New Railroad Square adalah untuk menghindari urban sprawl, yaitu pertumbuhan wilayah yang tak terkendali yang berdampak pada diskonektifitas dan penggunaan lahan yang tidak efektif, kemacetan dan kepadatan lalu – lintas. Serta isu- isu sustainability (Keberlanjutan lingkungan).

Pengembangan dilakukan pada lokasi stasiun kereta historis. Pengembangan dilakukan dengan memanfaatkan fitur dan infrastruktur yang sudah ada dan menambahkan fungsi – fungsi seperti tempat tinggal, komersil, perkantoran dan lapangan parkir.

a. Luas pengembagan: 8 acres (3.24 hektar)

Penggunaan:

 211 unit residensial dengan harga pasar

 68 residensial terjangkau

 570 slot parkir

b. Luas bangunan 500,000 sqf (4.65 hektar)

Jumlah residen: 558 – 698 orang (2 – 2.5 orang per residensial)

Jumlah lapangan kerja: 116 (2/ 1000 sqf [± 93 m

2

])

Total pendanaan: USD. 182,687,770 (Rp.

2.74 Triliun)

2. Korea Selatan

Kwon (2015) mengamati gagasan penerapan prinsip TOD untuk kota baru Sejong. Ada wacana untuk memindahkan ibu kota Korea Selatan. Seoul, ibu kota

Korea Selatan saat ini sudah dirasa jenuh dan padat. Untuk menghindari masalah urban sprawl yang terjadi di Seoul, digagaslah pendekatan TOD. Tujuan dari penerapan TOD ini adalah untuk menghindari terjadinya pola tersentralisasi dan pertumbuhan yang terpusat. Maka digagaslah pembangunan transit dengan rute looping atau berbentuk ring (melingkar) di lingkar wilayah kota Sejong. Sepanjang rute transit inilah kemudian tersebar wilayah wilayah yang dikembangkan berpusat pada masing – masing stasiun. Tiap wilayah memiliki fungsi dan fitur kusus, dan memiliki fasilitas – fasilitas pendukung kehidupan sehari – hari seperti perumaha dan tempat belanja. Dengan pengembangan ring ini maka pusat geografis wilayah Sejong bisa digunakan untuk ruang hijau. Gagasan TOD ini pada akhirnya merupakan upaya agar pengembangan calon ibu kota baru Korea Selatan ini tidak membentuk kepadatan di satu titik namun merata dan berkembang secara regional. Wilayah perkembangan regional ini kemudian dipastikan konektifitasnya dengan terhubung oleh sistim transit kereta dan sistim jalan tol sebagai jalur pendukung.

3. Norwegia

Proyek TOD yang sedang berjalan di norwegia adalah pengembangan wilayah kota Ørestad di kota Copenhagen.

Pengembangan kota Ørestad didasari dari keinginan untuk meningkatkan daya saing Denmark di Eropa dan dunia.

Pengembangan kota Copenhagen sendiri sudah dikembangakn sejak perang dunia II (1940an) dengan pendekatan yang seharusnya memenuhi prinsip TOD, yang disebut dengan engsplan (perencanaan jari). Copenhagen dibangun sepanjang koridor – koridor yang dikenal dengan istilah “jari”. Seiring dengan dibangunnya koridor transit baru, maka wilayah sepanjang jalur itupun dikembangkan dengan pendekatan TOD dan dikenal dengan Ørestad.

Dalam penelitiannya dengan judul “Transit Oriented Development in Copenhagen, Denmark- from the Finger Plan to Ørestad”

Knowles (2015) mendapati pengembangan

Ørestad mampu meningkatkan catchment

(4)

66 area transit, meningkatkan penggunaan transit yang berdampak pada tingginya konektifitas wilayah dan kegiatan Copenhagen dibandingkan efek fragmentasi wilayah yang dipengaruhi oleh penggunaan kendaraan pribadi. Tidak hanya regional, catchment area pun bisa diperluasa sampai Swedia.

Dalam memilih stasiun yang berpotensi untuk dikembangkan TOD, dilakukan dengan pendekatan melalui empat tahapan yang akan dijelaskan pada gambar 2 sebagai berikut.

Selain tahapan diatas, juga dibutuhkan Focus Group Discussion. FGD dapat digunakan untuk menggali lebih dalam hasil – hasil temuan dari suatu survei yang tidak dapat dijelaskan secara statistik, serta untuk mengumpulkan berbagai pendapat tertentu terhadap topik yang didiskusikan. Hasil FGD diharapkan dapat menghasilkan kerangka regulasi, kelembagaan, pendanaan dalam pengembangan TOD termasuk potensi pendapatan negara dalam penggunaan asset milik negara.

Gambar 2

Alur Pelaksanaan Analisis Evaluasi Potensi TOD pada Stasiun Sumber: Analisa Peneliti, 2020

Hasil dan Pembahasan

Analisa Tahap 1

Pada analisa tahap 1 ini, hasilnya adalah Daftar Stasiun hasil screening awal untuk daerah sebagai berikut: Banten, dari total 24 stasiun yang ada, hanya 12 stasiun yang akan dievaluasi menggunakan kriteria pengembangan TOD. Sesuai dengan metode analisa yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Hasil dari stasiun yang terpilih dari screening awal selanjutnya akan dilanjutkan pada Analisa Tahap 2 untuk melihat apakah stasiun dapat direkomendasikan untuk dikembangkan menjadi kawasan berbasis transit atau tidak.

Analisa Bangkitan dan Tarikan pada Stasiun Hasil Analisa Tahap 1

Bangkitan dan tarikan pada setiap stasiun diperoleh dengan menggunakan pendekatan jumlah kereta api yang tiba (Tarikan/ Destination) dan jumlah kereta api yang berangkat (Bangkitan/ Origin). Hasilnya dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3

Bangkitan – Tarikan (O/D) pada Stasiun Hasil Analisa Tahap 1

Sumber: diolah dari GAPEKA, 2017

Dari gambar tersebut, dapat dilhat bahwa stasiun yang berada di Ibu Kota Provinsi memiliki kecenderunan nilai OD yang lebih besar ketimbang stasiun yang berada di lokasi yang bukan merupakan ibu kota provinsi.

Analisa Tahap 2

Dari hasil analisa tahap 1 pada seluruh

stasiun yang dievaluasi, kemudian dilanjutkan

dengan Analisa Tahap 2 yang akan

menggunakan penilaian 3 Kriteria dan 12 Sub

(5)

67 Kriteria. Adapun contoh pengolahannya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1

Evaluasi Stasiun Tahap 2(a)

Sumber: Analisa Peneliti, 2020

Pada tahap 2(a), pada setiap stasiun dilakukan pengisian data sesuai dengan sub kriterianya. Adapun pengisian data dilakukan dengan melihat kondisi eksisting di stasiun dan di kawasan sekitarnya. Pada tahap 2(b), data kondisi eksisting yang telah diinput kemudian diterjemahkan sesuai dengan kolom Indikator Penilaian (skor 1, 2, dan 3).

Sehingga pada setiap stasiun akan terisi skor 1, 2, ataupun 3 sesuai dengan nilai pada Indikator Penilaian.

Tabel 2

Evaluasi Stasiun Tahap 2(b)

Sumber: Analisa Peneliti, 2020

Pada tahap 2(c), nilai pada Sub Kriteria yang diperoleh pada indikator penilaian kemudian dikalikan dengan nilai Bobot Sub Skor untuk mendapatkan nilai Bobot Sub Kriteria. Kemudian dari ke empat Sub Kriteria pada masing-masing Kriteria, dijumlahkan, lalu hasil penjumlahan tersebut dan dikalikan dengan Bobot Skor untuk mendapatkan nilai Bobot Kriteria. Bagian terakhir, jumlahkan ke tiga nilai Bobot Skor untuk mendapatkan nilai Total Skor.

Tabel 3

Evaluasi Stasiun Tahap 2(c)

Sumber: Analisa Peneliti, 2020

Kemudian pada bagian akhir dari analisa tahap 2 adalah, terpilih 5 stasiun dengan hasil total Skor analisa tahap 3 yang menghasilkan jenis tipologi TOD yang akan dijelaskan pada bagian berikut.

Gambar 4

Hasil Evaluasi 5 Stasiun dengan Nilai Total Skor Terbesar

Sumber: Analisa Peneliti, 2020

Kawasan yang berpotensi untuk dikembangkan menggunakan konsep Transit Oriented haruslah kawasan yang didominasi peruntukan lahan eksisting berupa area residensial. Jika disesuaikan dengan kondisi wilayah di pulau Jawa, maka tidak memungkinkan untuk dibangun TOD dengan arah pengembangan yang seragam. Hal ini dikarenakan, seluruh stasiun tersebut tidak berdiri di lokasi yang memiliki karakteristik yang sama. Sebagai gambaran, stasiun yang berada di pusat perkotaan metropolitan/

megapolitan akan memiliki kondisi lingkungan sekitar stasiun yang berbeda dengan yang berada di pusat kota kabupaten.

Selain itu ada juga stasiun yang dekat dengan

kawasan pariwisata, sehingga akan berbeda

arah pengembangan kawasan TOD dengan

(6)

68 stasiun yang berada dekat dengan kawasan perkantoran ataupun kawasan residensial.

Kesesuaian kawasan ini yang kemudian menjadi pemisah antara satu jenis stasiun yang akan dikembangkan menjadi kawasan TOD dengan stasiun lainnya. Yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar stasiun eksisting maupun rencana pengembangan ke depannya. Di sisi lain, selain harus melihat kesesuaian kawasan dari sisi pandang peruntukan lahan dan karakteristik perjalanan pengguna angkutan kereta, juga harus mempertimbangkan fungsi transportasi yang merupakan titik utama dari pengembangan kawasan TOD. Integrasi antar moda khususnya dari kereta api (stasiun) menuju halte bus ataupun angkutan umum juga harus diperhatikan penyediaan prasarananya.

Kenyamanan pengguna angkutan umum kereta untuk berpindah ketika keluar dari kereta menuju angkutan lainnya harus diperhitungkan. Prasarana penunjang untuk pengguna angkutan bisa berupa disediakannya fasilitas jalur pedestrian yang nyaman, terlindung dari panas terik, hujan, angin yang berlebihan, aman dari tindak kekerasan maupun kejahatan.

Kondisi eksisting kawasan untuk pengembangan baik untuk TOD Kota maupun TOD Sub Kota di stasiun-stasiun prioritas seperti yang telah dijelaskan pada Sub Bab sebelumnya jika dianalisa lebih lanjut tidaklah seragam, melainkan dapat dibagi atas 3 jenis fungsi pelayanan berdasarkan karakteristik perjalanan pengguna angkutan kereta api yang menggunakan stasiun yaitu,

1.

TOD jenis Residensial

TOD jenis ini paling sesuai dikembangkan untuk stasiun yang daerah sekitarnya merupakan area tempat tinggal dengan karakteristik pengguna angkutan massal kereta api yang aktivitas kesehariannya sebagai pekerja. TOD jenis ini cocok dikembangkan dengan menambahkan area-area komersial di sekitar kawasan TOD, baik berupa pusat perbelanjaan, ataupun area restaurant dan cafe Kawasan TOD ini akan ramai pada saat pagi dan sore hari. Lokasi yang cocok untuk TOD jenis ini adalah stasiun-stasiun yang berada di area pinggiran kota.

2.

TOD jenis Komersial

TOD jenis ini paling sesuai dikembangkan untuk stasiun yang daerah sekitarnya merupakan area komersial berupa kawasan perkantoran ataupun kawasan pemerintahan. Sehingga area di sekitar stasiun kereta api lebih banyak melakukan aktivitas perdagangan dan jasa. Pengguna angkutan massal kereta api adalah para pekerja yang datang baik sebagai pekerja tetap di perusahaan ataupun pegawai negeri sipil, maupun untuk kepentingan bisnis. TOD jenis ini cocok dikembangkan dengan menambahkan area-area komersial lainnya di sekitar kawasan TOD, baik berupa hotel-hotel, restaurant, dan cafe yang juga dapat digunakan untuk pertemuan ataupun rapat-rapat yang umumnya dilaksanakan oleh perusahaan ataupun kantor pemerintahan. Kawasan TOD ini biasanya ramai pada siang hari saat makan siang dan sore – malam hari.

Lokasi yang cocok untuk TOD jenis ini adalah stasiun-stasiun yang berada di area bisnis di dalam kota.

3.

TOD Kota jenis Pariwisata

TOD jenis ini paling sesuai dikembangkan untuk stasiun yang berada tidak jauh dari area pariwisata. Pengguna angkutan massal kereta api biasanya didominasi oleh wisatawan yang datang menuju area wisata ataupun mereka yang akan melakukan perjalanan menggunakan pesawat terbang (Bandara) ataupun Kapal Laut (Pelabuhan). TOD dapat dikembangkan menjadi area transit oleh pengguna angkutan kereta api yang akan berganti moda angkutan. Oleh karena itu TOD jenis ini cocok dikembangkan dengan menambahkan area-area komersial di sekitar kawasan TOD, baik berupa pusat perbelanjaan, perhotelan, ataupun area restaurant dan cafe. Kawasan TOD ini biasanya ramai pada saat-saat tertentu yang mencapai puncaknya ketika weekend, ataupun liburan panjang misalnya.

Jika melihat tipologi TOD yang tertera

pada Permen ATR No. 16 Tahun 2017, maka

untuk fungsi pelayanan TOD Residensial

paling sesuai dengan TOD Sub Kota dan

(7)

69 Lingkungan. Sementara untuk fungsi pelayanan TOD Komersial paling sesuai dengan TOD Kota. Sedangkan untuk fungsi pelayanan TOD Pariwisata, paling sesuai untuk TOD Kota, Sub Kota, dan Lingkungan.

Tabel 4

Tipologi TOD dan Relevansinya dengan Fungsi Pelayanan

Tipologi TOD Permen ATR No.

16 Tahun 2017

Fungsi Pelayanan TOD TOD Residensial TOD

Komersial

TOD Pariwisata

TOD Kota

TOD Sub Kota

TOD Lingkungan

Sumber: Analisa Peneliti, 2020

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya baik stasiun yang akan dikembangkan menjadi TOD Kota maupun Sub Kota (sesuai dengan tipologi TOD berdasarkan Permen ATR No. 16 Tahun 2017) tetap harus memperhatikan kelancaran pengguna angkutan kereta api untuk berpindah moda menggunakan angkutan umum ataupun angkutan massal lainnya untuk menuju ke tujuannya, baik menuju tempat tinggal, kantor, pusat perbelanjaan, dan juga destinasi wisata.

Pada provinsi Banten, menghasilkan 5 stasiun yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai titik transit pada TOD. Namun demikian, setelah melalui proses audiensi dengan stakeholder daerah, stasiun di Kota Tangerang Selatan dinyatakan termasuk dalam lingkup kerja Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ). Sehingga 4 stasiun yaitu Serpong, Sudimara, Jurangmangu, Rawa Buntu dan Pondok Ranji tidak dimasukkan dalam analisa.

Selanjutnya dengan menggunakan karakteristik jenis tipologi yang tercantum dalam Permen ATR No. 16 Tahun 2017, maka jika disesuaikan dengan kondisi eksisting kawasan di sekitar stasiun, hasilnya adalah sebagai berikut.

Tabel 5

Tipologi TOD Stasiun KA di Provinsi Banten

No Nama

Stasiun Lokasi Rekomendasi Tipologi 1 Serang Kota

Serang TOD Kota 2 Merak Kota

Cilegon TOD Kota 3 Cilegon Kota

Cilegon TOD Kota 4 Citeras Kabupaten

Lebak TOD Sub-Kota 5 Maja Kabupaten

Lebak TOD Sub-Kota

Sumber: Analisa Peneliti, 2020

Penjaringan aspirasi stakeholder daerah (khususnya Dinas Perhubungan Provinsi, Dinas Perhubungan Kota, Bappeda Kota, Bappeda Provinsi, termasuk juga instansi Pemerintah Kota lainnya, dan Operator Kereta Api di Pulau Jawa) terkait hasil analisa yang telah dilakukan melalui survey baik in-depth interview maupun Focus Group Discussion (FGD). potensi pengembangan TOD dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan masukan dan aspirasi stakeholder di daerah.

Gambar 5

Lokasi 5 Stasiun yang Berpotensi Dikembangkan TOD di Provinsi Banten

Sumber: Analisa Peneliti, 2020

Selain itu dalam survei pengambilan

data ini memungkinkan juga dari pihak

stakeholder daerah untuk mengusulkan lokasi

stasiun yang tidak termasuk ke dalam daftar

hasil analisa, sesuai dengan arahan kebijakan

pihak pemerintah daerah terkait. Pada

Provinsi Banten, responden survey adalah

pihak Dinas Perhubungan Kota Serang, Dinas

Perhubungan Provinsi Banten, serta Bappeda

(8)

70 Provinsi Banten. Dari hasil survey menunjukkan bahwa terdapat stasiun lainnya yang diusulkan untuk menjadi titik potensi dikembangkannya TOD yaitu stasiun Karangantu. Hal ini disebabkan perencanaan wilayah akan diarahkan ke daerah tersebut dan rencananya akan dikembangkan daerah tujuan destinasi pariwisata. Lebih lanjut, konsep TOD sendiri belum terakomodasi dalam RTRW. Pada Tahun 2018 sendiri sedang dalam Tahap Revisi RTRW, dan hasil kajian ini diharapkan akan menjadi input dalam mengakomodir perubahan RTRW dan inklusi TOD di dalamnya.

Rekomendasi pengelolaan stasiun untuk setiap stasiun yang terpilih tidak sama, hal ini dikarenakan perbedaan kondisi eksisting kawasan di sekitar stasiun. Sehingga diusulkan pengelolaannya Stasiun Serang.

Stasiun Serang direncanakan akan menjadi stasiun TOD jenis Sub Kota dan fungsi pelayanan Residensial. Dengan mempertimbangkan kondisi eksisting wilayah di sekitar stasiun, maka direkomendasikan pengelolaan stasiun dilakukan menggunakan skema BMN ataupun BLU. Hal ini dikarenakan area di sekitar stasiun yang masih belum berkembang, termasuk juga kondisi perekonomian diaerah di sekitar stasiun (yang mana bisa saja belum bisa menarik investor).

Oleh karena itu pengembangan kawasan TOD di area stasiun masih harus menggunakan dana yang disediakan oleh Pemerintah.

Dengan harapan bahwa pengembangan area stasiun ini bisa menjadi trigger pertumbuhan perekonomian daerah di sekitarnya.

Pengelolaan stasiun didasarkan atas buku Standarisasi Stasiun (2012) yang dipublikasikan oleh PT. Kereta Api Indonesia selaku Badan Usaha Penyelenggara Prasarana dan Sarana, dimana pembagian zona terbagi atas tiga zona yaitu Zona 1 sebagai area penumpang bertiket dan akan naik kereta api, Zona 2 sebagai area penumpang bertiket dan Zona 3 sebagai area umum. Peluang pengembangan bisnis pada Zona 3 bersifat sangat fleksibel dan luas, hal ini dikarenakan ketersediaan lahan yang masih banyak dan tangkapan potensi konsumennya tidak saja mengandalkan penumpang kereta api namun juga dapat menjangkau konsumen non- penumpang/ masyarakat sekitar stasiun kereta. Zona 3 memanfaatkan kecenderungan kegiatan penumpang untuk pergantian antar

moda atau menunggu jemputan, kegiatan non- penumpang mengantar atau menjemput.

Beberapa potensi yang dapat dikembangkan antara lain iklan, pertokoan, jasa, parkir, konter penjualan, perbankan serta kegiatan pendukung lainnya yang dapat menghasilkan pendapatan.

Adapun pendapatan dari tiket (core bisnis) tidak dimasukkan, karena bagian ini akan membahas pendapatan yang berasal dari non-core bisnis Badan Usaha Penyelenggara Prasarana dan Sarana. Menurut Undang- Undang No. 23 Tahun 2007, Stasiun Kereta Api merupakan aset milik Pemerintah, yang dalam hal ini adalah Kementerian Perhubungan. Oleh karena itu, pengelolaan stasiun dengan skema KPBU akan dilakukan antara Badan Usaha dengan Kementerian Perhubungan. Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha (KPBU) menurut Perpres Nomor 38 Tahun 2015 didefinisikan sebagai kerjasama antara pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/ Kepala lembaga/ Kepala Daerah/ Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak.

Konsep KPBU memberikan skenario triple win yang mengakomodir pemerintah, konsorsium badan swasta dan kepentingan publik. Keuntungan skema KPBU yang utama adalah efisiensi dalam proses transaksi proyek yang antara lain ditandai oleh menurunnya biaya konstruksi secara signifikan dan dapat membatasi potensi cost-overrun yang terjadi (Dikun, 2010). Keuntungan disisi swasta adalah mendapatkan akses di sektor baru dan dapat meraih lebih banyak aktivitas bisnis, mendapatkan keuntungan yang lebih baik, dan mendapatkan kepastian pasar yang lebih lama.

Selain skema KPBU, pengelolaan

stasiun dapat menggunakan skema

pemanfaatan BMN. Barang Milik Negara,

atau yang biasa disingkat BMN, merupakan

bagian tak terpisahkan dari Keuangan Negara

sebagaimana tertuang dalam pasal 1 Undang

Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara disebutkan bahwa: “Keuangan Negara

adalah semua hak dan kewajiban negara yang

dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu

(9)

71 baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. Penerimaan negara dari Pemanfaatan BMN merupakan penerimaan negara yang wajib disetorkan seluruhnya ke rekening Kas Umum Negara. BMN yang menjadi objek Pemanfaatan dilarang dijaminkan atau digadaikan.

Adapun bentuk pemanfaatan BMN adalah sebagai berikut:

1.

Sewa;

2.

Pinjam Pakai;

3.

Kerjasama Pemanfaatan;

4.

Bangun Serah Guna/ Bangun Guna Serah; atau

5.

Kerjasama Pemanfaatan Infrastruktur.

Skema lainnya yang dapat diterapkan dalam pengelolaan Kawasan TOD stasiun kereta api ialah dengan menggunakan skema BLU. Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pengelolaan Keuangan BLU mengikuti Pola Pengelolaan Keuangan BLU (PPK−BLU) yaitu pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. Pengelolaan BLU dapat diterapkan untuk TOD dengan modalitas APBN dan/atau APBD murni. Berikut adalah bentuk-bentuk pengelolaan menggunakan BLU:

1.

KSO – Kerjasama Operasi

Dapat dilakukan untuk aset Tanah dan Bangunan. Adapun pilihan skema pengelolaan KSO BLU antara lain:

 Sewa

Maksimal pengelolaan dapat dilakukan selama 15 tahun yang kemudian dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi.

Penerimaan dalam bentuk kompensasi tetap (wajib) dan imbal hasil (yang diperoleh).

 Bangun Serah Guna (BSG)

Maksimal pengelolaan dapat dilakukan selama 30 tahun, namun hanya berlaku untuk 1 kali perjanjian dan tidak dapat dilakukan perpanjangan.

2.

KSM – Kerjasama Manajerial

Maksimal pengelolaan dapat dilakukan selama 5 tahun, dan dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi, dan penyesuaian klausul dalam perjanjian.

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Identifikasi kriteria pengembangan TOD dilakukan dengan melakukan benchmarking terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku (Permen ATR No. 16 Tahun 2017), dimana disebutkan bahwa kriteria utama pengembangan TOD di suatu daerah adalah terletak di simpul transportasi yang menghubungkan beberapa jenis moda angkutan transportasi. Dalam studi ini simpul transportasi yang dimaksud adalah Stasiun Kereta Api yang aktif.

2. Identifikasi kriteria evaluasi pengembangan TOD dilakukan dengan melakukan benchmarking terhadap beberapa literatur dari luar negeri yang menghasilkan 3 buah kriteria utama, yaitu 1) Transportasi dan Kewilayahan, 2) Kepadatan, dan 3) Sosial & Ekonomi.

Serta 12 buah Sub Kriteria.

3. Rekomendasi pengembangan Tipologi TOD berbasis Stasiun Kereta Api di wilayah pulau Jawa dapat dilakukan sebagai berikut: 1) Tipologi TOD dengan fungsi pelayanan residensial, 2) Tipologi TOD dengan fungsi pelayanan komersial, dan 3) Tipologi TOD dengan fungsi pelayanan pariwisata. Pengembangan Tipologi ini memperkaya Tipologi TOD yang ada di Permen ATR No. 16 Tahun 2017.

4. Prioritas pengembangan kawasan TOD di

Provinsi Banten ialah Stasiun Serang.

(10)

72 5. Pengelolaan Kawasan TOD stasiun kereta

api berbasis bisnis investasi dapat dilakukan dengan 2 bagian, yaitu 1) Pengelolaan Stasiun, dan 2) Pengelolaan kawasan di sekitar Stasiun. Adapun model kerjasama dapat dilakukan dengan 3 buah pilihan skema yaitu, 1) Model Kerjasama BMN, 2) Model Kerjasama BLU, dan 3) Model Kerjasama KPBU.

Daftar Pustaka

Berawi, M. A., Zagloel, T. Y., Berawi, A. R.,

& Abdurachman, Y. (2015). Moh Ali berawi _feseability analysis.

International Journal of Technology, 3, 388-399.

Davis, K. (2017). An empirical investigation into different stakeholder groups perception of project success.

International Journal of Project Management, 35, 604-617.

Ewing, R., Tian, G., Lyons, T., & Terzano, K. (2016). Trip and parking generation at transit-oriented

developments: Five US case studies.

Landscape and Urban Planning(160), 69-78.

Glasson, J., & Marshall, T. (2017). Regional Planning. Oxfordshire: Routledge.

Guthrie, A., & Fan, Y. (2016). Developer's perspective on Transit-oriented development. Transport Policy, 51, 103-114.

Kim, T.-H., Lee, H. W., & Hong, S.-W.

(2016). Value Engineering for Roadway Expansion Project ove Deep Thick Soft Soild. Journal of Engineering And Management, 142(2).

Knowles, R. D. (2012). Transit Oriented Development in Copenhagen, Denmark- from the Finger Plan to Ørestad. Jounal of Transport Geography, 22, 252-261.

Kwon, Y. (2015). Sejong Si (City)- are TOD and TND models effective in

planning Korea’s new capital? Cities, 242-257.

Mu, R., & de Jong, M. (2012). Establishing the condition for effective transit- oriented development in China: the case of Dalian. Journal of Transport Geography, 24, 234-249.

Nasri, A., & Zhang, L. (2014). The analysis of transit-oriented development (TOD) in Washington, D.C. and Baltimore metropolitan areas.

Transport Policy(32), 172-179.

Papa, E., & Bertolini, L. (2015).

Accessibility and Transit-Oriendted Development in European

Metropolis Areas. Journal of Transport Geography, 47, 70-83.

Ratner, K. A., & Goetz, A. R. (2013). The reshaping of land use and urban form in Denver through transit-oriented development. Cities(30), 31-46.

Susantono, B., & Berawi, M. A. (2012, Agustus). Infrastruktur Transportasi berbasis Kerjasama Pemerintah Swasta Di Indonesia. Jurnal Transportasi, 12(2), 93-102.

Wey, W.-M., Zheng, H., & Chang, Y.-J.

(2016). Alternative Transit-Oriented Development Evaluation in

Sustainable Build Environment Planning. Habitat International, 55, 109-123.

Yang, J., Chen, J., Le, X., & Zhang, Q.

(2016). Density-oriented versus development-oriented transit investment: Decoding metro station location selection in Shenzhen.

Transport Policy, 51, 93-102.

Zhang, M., & Xu, T. (2017). Uncovering the

Potential for Value Capture from

Rail Transit Services. Journal of

Urban Planning Development,

3(143).

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pernikahan pasti dan selalu melibatkan keluarga baik keluarga mempelai wanita maupun mempelai pria, terkadang yang kita harapkan tak sesuai dengan realita

.BOBKFSJBM ,FQBMB 4FLPMBI NFSVQBLBO IBM ZBOH IBSVT EJMBLVLBO TFDBSB UFSFODBOB EBO LPOUJOZV TFIJOHHB EBQBU NFOJOHLBULBO LPNQFUFOTJ EBO LFUFSBNQJMBOOZB EBMBN NFMBLTBOBLBOUVHBT

Jaring kemudian diangkat (hauling) dengan menggunakan alat pemutar dari bambu (roller). Pada saat awal pengangkatan jaring dilakukan secara perlahan-lahan, dan semakin cepat

Cara kerja perubah arah putaran sistem hidrolik (Sumber Yanmar Diesel, 1980 ).. Perlengkapan pada sistim hidrolik reduksi/perubahan arah. Dalam operasinya handle maju/mundur, alat

Pasal 1 angka 23 Perpres Nomor 16 Tahun 2018 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan swakelola adalah cara memperoleh barang/jasa yang dikerjakan sendiri oleh

Wawancara dengan Desbenneri Sinaga, Hakim PN Sidoarjo tanggal 17 Mei 2013.. 10 hakim berhak memberikan pertimbangan sebagai alasan pemberat bagi terdakwa. Tindak pidana

Data tentang perbaikan leterbacaan Instrumen Pemantauan kualitas lingkungan belajar 10 Mulai Pengembangan Rencana strategis penguatan daerah Penyusunan indikator

d) Melakukan survei awal GCG kepada L1-L3 MedcoEnergi Group. GCG Task Force, sebagai tim yang bertanggung jawab dalam proses internalisasi di Perseroan dan juga memiliki tugas