• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Teknik Pengelolaan Hutan Rakyat

Sistem pengelolaan hutan rakyat di Desa Sumberejo ini mulanya sangat sederhana, terhitung sejak usaha para penggiat desa untuk mengajak warga lain menanam pohon. Namun, seiring datangnya proyek-proyek pemerintah terutama pada saat proses sertifikasi hutan rakyat, banyak penyuluhan dan pelatihan yang telah diberikan untuk para petani terkait pengelolaan hutan rakyat mulai dari penanaman, pemeliharaan, hingga pemanenan. Meski demikian, hingga saat ini pengelolaan hutan rakyat belum juga dilakukan secara intensif. Hal ini dikarenakan anggapan petani yang menyatakan bahwa tanpa harus dipelihara secara intensif pun pohon-pohon tersebut pasti akan menghasilkan di kemudian hari, lain halnya dengan tanaman pangan dan tanaman semusim yang harus dipelihara secara intensif agar hasilnya maksimal.

Indriyanto (2008) menjelaskan bahwa terdapat beberapa tahapan dalam pengelolaan hutan, diantaranya yaitu pemilihan jenis pohon yang akan ditanam, pengadaan bibit, penanaman pohon, pemeliharaan pohon, dan dilanjutkan dengan pemanenan.

1. Pemilihan jenis pohon yang akan ditanam

Awalnya, petani menanam pohon berdasarkan pohon yang memang sudah ada sebelumnya, yaitu: jenis jati dan mahoni. Hingga saat ini pun jenis tersebut masih tetap ditanam oleh petani. Petani beranggapan bahwa jenis jati dan mahoni memang cocok dengan tanah yang ada di desanya. Namun selain hal tersebut, ada hal-hal lain yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan jenis ini seperti yang dipaparkan oleh Awang et al. (2001), diacu dalam Ma’rufi (2007) bahwa terdapat beberapa faktor yang dipertimbangkan, antara lain: kesesuaian lahan, riap, ketersediaan tenaga kerja, harga jual kayu yang dihasilkan, dan kemudahan dalam pemeliharaan.

Dimungkinkan hal yang menjadi bahan pertimbangan petani terdahulu selain kesesuaian lahan adalah riap dan harga jual kayu yang dihasilkan.

Meski riap jati tidak sebesar mahoni yang pertumbuhannya cepat, namun

(2)

karena harga jualnya tinggi maka jenis ini dipilih untuk ditanam. Walaupun harga jual mahoni tidak setinggi jati, riap yang besar dan daur yang lebih singkat membuat petani memilih untuk menanamnya.

Terkait hal tersebut, Awang et al. (2001), diacu dalam Ma’rufi (2007) melanjutkan bahwa dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) tahun 2001, pada wilayah pegunungan kapur selatan terdapat tiga jenis kayu yang banyak ditanam oleh masyarakat, yaitu: jati, akasia, dan mahoni. Sedangkan Desa Sumberejo yang juga termasuk dalam wilayah Pegunungan Kapur Selatan, mayoritas menanam jati dan mahoni. Sekalipun terdapat jenis akasia di desa tersebut, itu merupakan sisa pohon peninggalan proyek WFP (World Food Program) yang masih dibiarkan hidup.

Hal-hal yang mungkin tidak menjadi bahan pertimbangan petani terdahulu yaitu ketersediaan tenaga kerja dan pertimbangan kemudahan dalam pemeliharaan. Bila dikaitkan dengan kondisi petani saat ini, petani tidak mempertimbangkan ketersediaan tenaga kerja karena petani mampu menanam pohon sendiri. Sekalipun memerlukan bantuan, petani dapat meminta tolong kepada sanak saudara agar membantunya tanpa harus membayar orang lain atau semacam buruh. Sedangkan alasan petani tidak mempertimbangkan faktor kemudahan dalam pemeliharaan adalah karena petani lebih mengandalkan alam sehingga tidak perlu dilakukan pemeliharaan secara intensif.

2. Pengadaan bibit

Pengadaan bibit yang dilakukan oleh para petani hutan rakyat di Desa Sumberejo saat ini hanyalah mengandalkan permudaan alami, anakan tumbuh secara alami baik dari penyebaran biji oleh angin maupun dari trubusan.

Petani melakukan hal tersebut karena tanpa harus repot-repot menyediakan bibit atau bahkan membuat persemaian, bibit tersebut sudah tersedia dalam bentuk anakan dari pohon-pohon induk yang juga akan tumbuh dengan sendirinya. Meski menurut Hartmann et al. (1981), diacu dalam Indriyanto (2008), pembibitan dapat dilakukan dengan menyemai atau menanam benih, cangkok, stek, okulasi, atau sambungan. Berikut adalah dokumentasi anakan

(3)

yang tumbuh di lahan hutan rakyat Desa Sumberejo akibat persebaran biji oleh angin.

Gambar 1 Anakan hasil persebaran biji oleh angin secara alami.

Menurut Indriyanto (2008), penyebaran biji oleh angin merupakan permudaan hutan secara alamiah yang terjadi secara generatif. Sedangkan trubusan atau tunas merupakan permudaan hutan secara alamiah yang terjadi secara vegetatif. Permudaan hutan secara alamiah itu sendiri merupakan proses regenerasi tegakan hutan yang mengandalkan proses alam tanpa ada penanganan manusia dalam setiap tahap proses perkembangan tegakan hutan.

Permudaan hutan secara alamiah yang terjadi secara generatif dapat berlangsung dengan baik jika dalam suatu kawasan hutan terdapat pohon yang memproduksi biji. Sedangkan permudaan yang terjadi secara vegetatif dapat berlangsung jika dalam kawasan hutan terdapat pepohonan yang mampu bertunas kembali setelah penebangan (Indriyanto 2008). Melihat kondisi tegakan di lokasi penelitian, maka pohon jenis jati dan mahoni memiliki kategori keduanya. Namun, hanya jenis jati yang dapat tumbuh secara vegetatif yaitu dengan trubusan atau tunas. Trubusan dilakukan dengan membiarkan tunas-tunas baru untuk tumbuh pada tunggak sisa tebangan.

Biasanya dalam satu tunggak dapat ditumbuhi tiga sampai tujuh tunas baru.

Meski demikian, sejumlah tunas tersebut tidak dibiarkan hidup hingga besar, saat tunas berumur dua hingga tiga tahun petani biasanya memilih satu atau dua diantaranya yang terbaik untuk tetap dibiarkan hidup hingga besar dan yang lainnya ditebas. Namun, kualitas yang dihasilkan dari trubusan ini lebih rendah dibanding yang dihasilkan dari biji, beberapa diantaranya terdapat

(4)

gerowong pada bagian pangkal. Berikut adalah dokumentasi terkait trubusan pada jenis jati yang dilakukan oleh petani.

(a) (b)

Gambar 2 Trubusan hutan rakyat (a) lima tunas dan (b) pangkal gerowong.

3. Penanaman pohon

Persebaran biji oleh angin dan tingkat keberhasilan hidup yang cukup tinggi sekitar 70% - 90% terutama bagi mahoni, membuat petani lebih mengandalkan kegiatan penanaman yang juga dari alam. Kondisi ini menyebabkan tidak ada keteraturan jarak tanam, sehingga membentuk suatu tegakan yang rapat. Hal ini dikarenakan kondisi lahan hutan rakyat yang didominasi oleh batu bertanah, sehingga anakan tumbuh di sela-sela bebatuan.

Namun, penanaman dengan sistem cabutan pun petani lakukan bila terdapat suatu area dipenuhi dengan anakan dan di area lain tidak dipenuhi anakan.

Kegiatan ini dilakukan terutama setelah petani melakukan penebangan dan pada musim penghujan. Kriteria yang dipertimbangkan oleh petani dalam melaksanakan penanaman jenis ini, antara lain: (1) Anakan yang dipindahkan berumur ± 1 tahun, tinggi ± 50 cm, (2) Jumlah anakan disesuaikan dengan ketersediaan anakan di area rapat, (3) Luas lahan yang tidak dipenuhi anakan, dan (4) Kemauan dari masing-masing petani. Selain itu, pemindahan anakan ini juga dilakukan setelah penebangan. Berdasarkan aturan yang telah disepakati bersama bahwa setiap menebang satu pohon harus menggantinya dengan penanaman sebanyak sepuluh bibit. Namun aturan ini nampaknya

(5)

tidak berlaku untuk semua lahan, sebab ada beberapa lahan yang saat ini memang benar-benar sudah rapat dengan pepohonan mulai dari tingkat semai hingga pohon. Untuk kondisi lahan seperti itu, maka petani tidak perlu lagi menanam pohon.

Berdasarkan prinsip-prinsip silvikultur, penanaman biasanya dilakukan dengan menggunakan bahan tanaman yang akarnya terbuka atau dalam wadah. Ini merupakan teknik yang paling umum digunakan untuk penanaman konifer dan banyak jenis daun lebar. Sedangkan Indriyanto (2008) menyebutkan ada beberapa jenis penanaman berdasarkan bentuk bibit yang ditanam dan cara penanaman bibit di area, yaitu: penanaman langsung, penanaman stump, penanaman bibit puteran, penanaman bibit cabutan, dan penanaman bibit pot. Jenis penanaman tersebut merupakan penanaman dengan bibit yang berasal dari persemaian.

4. Pemeliharaan pohon

Untuk meningkatkan peran positif dan menekan peran negatif dari semua faktor lingkungan biotik dan abiotik, maka pemeliharaan tanaman sangat diperlukan agar keberhasilan hidup dan pertumbuhan tanaman menjadi baik (Indriyanto 2008). Faktor-faktor lingkungan tersebut mempengaruhi keberhasilan hidup tanaman dan pertumbuhannya. Faktor biotik yang mempengaruhi, yaitu: organisme mikro patogen, organisme parasit, serangga dan binatang besar lainnya bahkan tetumbuhan liar yang umumnya disebut gulma. Sedangkan yang termasuk dalam faktor abiotik yaitu kondisi iklim dan kesuburan tanah (Baker et al. 1979, diacu dalam Indriyanto 2008).

Beberapa kegiatan pemeliharaan tanaman, antara lain: penyulaman, penyiangan, pendangiran, pemupukan, pemangkasan cabang, penjarangan tanaman, dan pengendalian hama penyakit (Dardjadi & Hardjono 1976, diacu dalam Indriyanto 2008).

a. Penyulaman tanaman

Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa penyulaman yang dilakukan petani adalah saat mengganti atau menanam kembali bibit pada beberapa tanaman proyek rehabilitasi yang tidak tumbuh. Kini kegiatan tersebut tidak lagi dilakukan oleh petani sebab

(6)

tanaman yang tumbuh sebagian besar mengandalkan persebaran alami.

Namun, disebutkan oleh Indriyanto (2008) bahwa memang pada tahun- tahun berikutnya setelah penyulaman pertama dan kedua tidak perlu lagi dilakukan penyulaman karena pertumbuhan tanaman susulan akan tertinggal. Penyulaman pertama dilakukan saat satu bulan setelah penanaman, sedangkan penyulaman kedua dilakukan saat satu tahun setelah penanaman. Penyulaman itu sendiri merupakan tindakan pemeliharaan untuk meningkatkan persentase tanaman hidup dengan cara menanami kembali pada lubang tanam yang tanamannya telah mati.

Penyulaman dilakukan apabila persentase hidup tanaman kurang dari 80%.

b. Penyiangan tanaman

Kegiatan penyiangan yang berupa pembersihan gulma (alang-alang, rumput, semak, dan liana) di sekitar tanaman masih dilakukan secara manual hingga saat ini yaitu dengan menggunakan cangkul, parang, atau sejenisnya. Indriyanto (2008) menyebutkan bahwa pembersihan gulma juga dapat dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan herbisida.

Contoh bahan kimia yang dapat digunakan untuk penyiangan, antara lain:

Sodium Chlorate (5-10 g/cm2) serta campuran 2,4-D dengan 2,4,5-T (1 g/cm2). Untuk mendapatkan bahan kimia tersebut tentunya petani harus mengeluarkan uang lebih. Dan jika demikian, maka petani lebih memilih untuk melakukan penyiangan tanaman secara alami karena tidak memiliki cukup uang untuk membelinya. Sekalipun petani memiliki uang, petani lebih memprioritaskan untuk membeli pupuk bagi tanaman semusimnya.

c. Pendangiran tanaman

Pendangiran yang merupakan kegiatan penggemburan tanah di sekitar tanaman dalam upaya memperbaiki sifat fisik tanah tidak dilakukan oleh para petani hutan rakyat di Desa Sumberejo. Hal ini dikarenakan kondisi lahannya yang didominasi oleh bebatuan dan tanamannya pun tumbuh di sela-sela batu tersebut. Lagi pula disebutkan oleh Indriyanto (2008) bahwa pendangiran tanaman diutamakan untuk tanah-tanah yang bertekstur berat dan dilakukan pada tanaman yang sudah berumur 1-3 tahun pada akhir musim kemarau.

(7)

d. Pemupukan tanaman

Sama seperti kegiatan penyulaman yang dilakukan saat proyek rehabilitasi, kegiatan pemupukan tanaman ini pun hanya dilakukan pada saat itu saja. Kini para petani sudah tidak lagi melakukan pemupukan sebab telah tersedia banyak serasah dari dedaunan yang berguguran untuk mengganti fungsi pupuk tersebut. Selain itu, tidak tersedianya dana untuk membeli pupuk pun menjadi kendala dalam hal ini. Dan sekalipun petani memiliki cukup dana, petani lebih mengutamakan untuk memupuki tanaman semusimnya. Bila pupuk tersebut berlebih maka dapat petani gunakan untuk memupuki tanaman kayu di lahan hutan rakyatnya. Berikut adalah dokumentasi serasah yang digunakan sebagai pengganti pupuk.

Gambar 3 Serasah sebagai pengganti pupuk.

e. Pemangkasan cabang

Kegiatan pemangkasan cabang tidak dilakukan oleh para petani karena selain waktunya yang tidak sempat perihal mengurus tanaman semusim, faktor usia pun menjadi kendala. Sebagian besar pemilik lahan hutan rakyat berumur sekitar 45 s/d 70 tahun. Oleh sebab itu, petani agak kesulitan bila harus memanjat pohon untuk memangkas cabang. Di sisi lain, kegiatan pemangkasan cabang ini menurut (Indriyanto 2008) hanya dilakukan pada hutan tanaman yang diperuntukkan sebagai penghasil kayu pertukangan, sebab pemangkasan cabang dilakukan dengan membuang cabang bagian bawah untuk memperoleh batang bebas cabang yang panjang dan bebas dari mata kayu, sehingga dapat memperbaiki kualitas bentuk kayu. Sedangkan kayu hasil tebangan hutan rakyat ini sendiri tidak

(8)

dikhususkan untuk penghasil kayu pertukangan dan juga tidak sengaja ditanam seperti layaknya hutan tanaman yang disertai dengan jarak tanam.

Oleh sebab itu, kegiatan pemangkasan cabang ini juga tidak terlalu penting diterapkan pada tegakan hutan rakyat di Desa Sumberejo.

f. Penjarangan tanaman

Kegiatan penjarangan yang dilakukan oleh petani hanya apabila terdapat pohon yang rusak atau mati, lalu hasil penjarangan tersebut dijadikan kayu bakar untuk keperluan memasak. Selain itu, kegiatan penebangan untuk keperluan dijual pun dianggap sekaligus sebagai kegiatan penjarangan. Padahal menurut Indriyanto (2008), pada umumnya untuk jenis pohon yang cepat tumbuh dilakukan penjarangan pertama kali pada umur 3-4 tahun, dan untuk jenis pohon yang lambat tumbuh dilakukan penjarangan pertama kali pada umur 5-10 tahun. Hal ini dilakukan agar tercipta fase-fase pertumbuhan secara baik, mengatur kembali ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi persaingan antar pohon, dan meningkatkan kesehatan pohon dalam tegakan.

Di sisi lain, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemeliharaan (pembebasan dan penjarangan) memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tegakan (riap diameter). Riap diameter tegakan berbeda pada tegakan yang dipelihara dan yang tidak dipelihara. Melalui penjarangan, riap diameter pohon rata-rata tegakan dapat dipertahankan pada tingkat yang tinggi (Indriyanto 2008). Namun, petani tidak mengikuti penjarangan tersebut karena petani justru lebih suka kalau tegakan di hutan rakyatnya banyak dan rapat. Semakin rapat menurut petani maka akan semakin baik dan akan semakin lestari.

g. Pemberantasan hama dan penyakit

Petani hingga saat ini tidak melakukan kegiatan pemberantasan hama dikarenakan memang tidak pernah ada hama yang menyerang tegakan di hutan rakyatnya. Begitu pula dengan penyakit, petani tidak pernah melakukan pemberantasan terhadap penyakit sebab tegakannya tidak pernah terserang penyakit. Pemberantasan hama dan penyakit itu sendiri didefinisikan oleh (Suratmo 1979, Suratmo 1982, diacu dalam

(9)

Indriyanto 2008) sebagai tindakan mengatur populasi hama atau penyakit agar tidak menimbulkan kerusakan yang dinilai secara ekonomi merugikan.

5. Penebangan

Kegiatan penebangan dilakukan oleh petani hanya apabila terdapat kebutuhan mendesak dan memerlukan biaya besar, seperti keperluan untuk menyekolahkan anak, menikahkan anak, mengkhitankan anak, membangun rumah, dan lain sebagainya. Sistem tebang ini juga biasa disebut dengan sistem tebang butuh. Umur pohon saat tebang biasanya berkisar antara 10-15 tahun untuk jenis jati dan berkisar antara umur 10-14 tahun untuk jenis mahoni dengan diameter rata-rata minimal 20 cm. Untuk keperluan dijual, proses penebangan dilakukan sepenuhnya oleh pembeli menggunakan peralatan tebang, antara lain: chainsaw, kapak, dan tali tambang. Sedangkan untuk keperluan pribadi seperti membangun rumah, maka kegiatan penebangan dilakukan sendiri oleh masing-masing petani. Penebangan tersebut juga menggunakan alat seperti chainsaw yang dipinjam dari tetangga apabila ia memiliki atau meminjamnya ke bakul. Bila penebangan dalam jumlah banyak, terkadang petani menyewa peralatan dari bakul. Bakul adalah orang yang biasa membeli kayu hasil tebangan dari petani.

5.2 Potensi Hutan Rakyat

Hutan rakyat yang dikembangkan di Desa Sumberejo berada di tegalan dan pekarangan. Tegalan lebih mengacu pada definisi hutan rakyat dalam UU No.

5 Tahun 1967 yang disempurnakan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan adalah hutan yang tumbuh pada tanah milik rakyat dengan luas minimum 0,25 ha. Sedangkan pekarangan mengacu pada definisi hutan rakyat menurut Djajapertjunda (1959), diacu dalam Ernawati (1995) adalah tanaman pohon-pohonan (kayu tahunan) dari berbagai jenis baik tumbuh secara alami maupun sengaja ditanam dalam bentuk suatu kebun atau terpencar di tanah penduduk yang memiliki fungsi sebagai sumber kayu dan hasil hutan lainnya.

Oleh karena itu, yang menjadi objek penelitian adalah tegakan jati dan mahoni yang tumbuh di tegalan dan pekarangan. Luas total dari masing-masing lahan hutan rakyat tersebut, yaitu: 426,71 ha dan 96,38 ha. Potensi menurut Departemen

(10)

Pertanian (1976) merupakan massa tegakan hutan yang dinyatakan dengan rata- rata volume dan jumlah batang per hektar areal berhutan seperti yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Potensi hutan rakyat Desa Sumberejo

Jenis

Potensi Riap diameter (cm/th) Satuan Volume

(m3)

Kerapatan pohon

(batang) I II III IV V Rata- rata

Jati

Per

hektar 206,56 1.029

2,31 1,41 0,81 0,66 0,41 1,12 Per

petani 140,61 811 Mahoni

Per

hektar 1.206,68 2.058

1,52 2,05 2,44 2,28 - 2,07 Per

petani 708,61 2.943

Jumlah

Per

hektar 1.413,24 3.087 - Per

petani 849,22 3.754 - Keterangan : Data pengukuran (diolah)

I = 1-10 cm, II = 11-20 cm, III = 21-30 cm, IV = 31-40 cm, V = 41-50 cm.

Pada Tabel 6 diinformasikan bahwa potensi berdasarkan jenis baik volume maupun kerapatan pohon per hektar dan per petani didominasi oleh jenis mahoni.

Jenis ini banyak terdapat di lokasi sebab jenis lainnya yaitu jati telah banyak ditebang pada tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, pertumbuhan mahoni yang relatif lebih cepat dibanding jati membuat jumlahnya lebih mendominasi. Hal ini juga dapat dilihat pada riap yang mengalami peningkatan hingga kelas diameter 21-30 cm dan mengalami penurunan setelah kelas diameter tersebut. Sedangkan jati terus mengalami penurunan seiring bertambahnya kelas diameter. Informasi lain terkait data potensi berdasarkan lokasi untuk potensi volume didapatkan hasil perhitungan sebesar 482,72 m3/ha dan 1.780,36 m3/petani. Untuk potensi kerapatan pohon yaitu sebanyak 5.443 pohon/ha dan 1.388 pohon/petani.

Kelengkapan dari informasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.

Hasil yang ditampilkan Tabel 6, angka 1,12 cm/th dan 2,07 cm/th pada riap jenis jati dan mahoni merupakan rata-rata riap diameter pada tegakan hutan rakyat Desa Sumberejo. Dalam Harbagung (2008) disebutkan bahwa hasil-hasil penelitian terkait riap diameter di beberapa lokasi untuk jenis jati dan mahoni, diantaranya adalah riap untuk jenis jati yang dilakukan di wilayah Madiun dengan

(11)

nilai sebesar 0,7 cm/th, di wilayah Kediri sebesar 1 cm/th, di wilayah Wonogiri sebesar 0,5 cm/th, dan di wilayah Papua sebesar 1,9 cm/th. Sedangkan untuk jenis mahoni, telah dilakukan penelitian di wilayah Ciamis dengan nilai sebesar 1,7 cm/th, di wilayah Tasik sebesar 3,4 cm/th, di wilayah Kediri sebesar 1,2 cm/th, dan di wilayah Papua sebesar 1,7 cm/th.

Dari beberapa hasil penelitian tersebut termasuk hasil yang diperoleh peneliti dapat diketahui bahwa nilai riap berbeda untuk masing-masing wilayah.

Hal ini menandakan bahwa riap dipengaruhi oleh lokasi pohon itu tumbuh. Lokasi berkaitan pula dengan kondisi fisik lingkungannya, mulai dari tanah hingga iklim seperti yang disebutkan oleh Tomey dan Korstian (1974), diacu dalam Rosa (2003), pertumbuhan pohon pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat genetik dan kondisi lingkungan. Pada suatu jenis pohon dijumpai adanya keragaman baik secara geografis keragaman lokal, keragaman antar pohon, maupun keragaman di dalam pohon itu sendiri. Sedangkan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan secara langsung menurut Soekotjo (1984), diacu dalam Rosa (2003), antara lain:

radiasi matahari (cahaya dan temperatur), air (atmosfer dan tanah), karbon dioksida (CO2), dan unsur hara. Hal-hal tersebutlah yang dapat menjelaskan mengapa riap yang dihasilkan bervariasi di beberapa wilayah.

Dapat dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian yang telah disebutkan oleh Harbagung (2008) bahwa riap hasil perhitungan peneliti untuk jenis jati yang sebesar 1,12 cm/th berbeda hingga dua kali lipat dari hasil perhitungan penelitian yang juga dilakukan di Wonogiri. Hal ini selain dikarenakan perbedaan waktu yang dilakukan keduanya adalah dua tahun, juga ada faktor umur tanaman dan lokasi pengambilan sampel yang mempengaruhi. Umur tanaman yang diteliti pada hasil referensi tergolong masih muda, sedangkan umur tanaman pada lahan hutan rakyat yang diperoleh peneliti adalah bervariasi mulai dari umur muda sampai tua.

Pengambilan lokasi sampel yang dilakukan oleh peneliti hanya di satu desa yang termasuk dalam Kabupaten Wonogiri. Sedangkan data hasil penelitian referensi yang dilakukan adalah dengan mengambil beberapa desa sebagai sampel lokasi.

Hal ini mempengaruhi perhitungan rata-rata riap yang dihasilkan. Singkatnya, hasil perhitungan riap sebesar 1,12 cm/th merupakan rata-rata riap untuk satu

(12)

desa, seda untuk satu 5.3 Riap D

Da pertumbuh seringkali yang bers menyataka Riap juga kadang ri pohon seti

Ria tahunan ya hasil men centimeter dapat pula kelas diam riap diam jumlah po rata-rata ta lapang dap

Gambar

angkan hasil u wilayah ka Diameter H alam buku-b han dengan keduanya d ifat umum, an pertamb

sering dipa ap juga dip iap tahun (D ap yang di ang akan di nurut jumla

r per tahun a diketahui meter tertent meter rata-ra ohon yang b

ahunan untu pat dilihat p

4 Riap dia

l perhitunga abupaten.

Hutan Raky buku teks k n riap (inc

dianggap sa sedangkan ahan volum akai untuk pakai untuk Departemen

ihitung dala igunakan se ah batang.

pertumbuh jangka ben tu untuk pin ata tahunan boleh diteb uk jenis jati pada Gamba

ameter rata-r

an riap sebe

yat

kehutanan, crement). T ama. Pertum n riap lebih me pohon at menyatakan k menyatak n Kehutanan am peneliti ebagai dasar Melalui r an pohon d nah yaitu wa

ndah ke kel itu sendiri bang pada k

i dan mahon ar 4.

rata tahunan

esar 0,5 cm/

biasanya d Tetapi dala mbuhan dite

spesifik. B tau tegakan n pertamba kan pertamb n 1992).

ian ini ada r untuk mem riap tersebu dalam suatu

aktu yang d las diameter i berpengar kelas diame ni yang dipe

n (cm/th) pe

/th merupak

dibedakan a am percaka etapkan seb Biasanya, ria

n per satuan ahan nilai te bahan diam

alah riap di mbuat altern

ut dapat d kelas diam dibutuhkan b

r berikutnya ruh pada ba eter tertentu eroleh dari h

er jenis per

kan rata-rata

antara penge apan sehari bagai termin ap dipakai u n waktu tert egakan. Kad meter atau t

iameter rata natif penga diketahui b meter tertentu

bagi pohon a. Besar kec anyak sedik u. Riap diam

hasil olahan

kelas diame a riap

ertian i-hari, nologi untuk tentu.

dang- tinggi

a-rata aturan berapa u dan n pada cilnya kitnya meter n data

eter.

(13)

Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa riap diameter rata-rata tahunan jenis jati mengalami penurunan seiring meningkatnya kelas diameter. Sedangkan pada mahoni fluktuatif yang ditandai dengan adanya peningkatan dan penurunan. Hal ini dijelaskan oleh Poerwokoesoemo (1956) yang menyatakan bahwa menurut penyelidikan Balai Penyelidikan Kehutanan di Bogor, jati adalah jenis tanaman yang pada umumnya memiliki pertumbuhan lambat, bahkan lebih lambat dari jenis pohon Eik di Eropa yang terkenal amat sedikit penambahan tumbuhnya.

Pada permulaan dalam tanaman muda, jati tumbuh memang amat cepat baik tumbuh meninggi maupun riap tebal. Akan tetapi tumbuh cepat ini tidak terus menerus, hanya terbatas hingga umur kurang lebih 10 tahun saja. Setelah itu, jati tumbuh tidak begitu cepat lagi dan riap semakin lama makin berkurang jika dibandingkan dengan riap sebelum umur 10 tahun. Berdasarkan penjelasan tersebut, dimungkinkan bahwa riap diameter jati meningkat ketika umur 6-9 tahun. Seperti yang tertera pada Tabel 7, umur 6-9 tahun merupakan peralihan antara kelas diameter 11-20 cm dengan 21-30 cm.

Tabel 7 Umur dan riap diameter rata-rata tahunan jenis jati per kelas diameter

Jati Kelas Diameter (cm)

Sebaran diameter (cm) 1-10 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60

Umur (tahun) 1 5 10 15 20 25 35 45

Riap diameter rata-rata

tahunan (cm/th) 2,31 1,41 0,81 0,66 0,41 - Prinsip pertumbuhan yang sama juga dijelaskan oleh Simon (2007) bahwa untuk semua jenis pada waktu muda umumnya tumbuh agak lambat, lalu kecepatan tumbuh diameter meningkat, kemudian semakin tua semakin menurun sampai akhirnya berhenti. Dalam hal ini riap mahoni mencapai puncak pada kelas diameter 21-30 cm antara umur 12-14 tahun, lalu menurun pada umur di atas 14 tahun. Kondisi ini memungkinkan riap akan mencapai puncak pada kelas diameter 30 cm up dengan umur di atas 14 tahun. Namun berdasarkan pengetahuannya, Mulyono selaku ketua FKPS (Forum Komunitas Petani Sertifikasi) mengutarakan bahwa mahoni mencapai pertumbuhan puncak pada umur 20 tahun dan selebihnya menurun. Meski demikian, hal tersebut tidak dapat berlaku sepenuhnya di setiap kondisi lahan hutan rakyat sebab karakteristik tanah yang berbeda dapat mempengaruhi pertumbuhan itu sendiri, termasuk kondisi lahan hutan rakyat di

(14)

Desa Sumberejo ini. Berikut adalah beberapa umur pohon mahoni yang termasuk dalam kelas diameter tertentu.

Tabel 8 Umur dan riap diameter rata-rata tahunan jenis mahoni per kelas diameter

Mahoni Kelas Diameter (cm)

Sebaran diameter (cm) 1-10 11-20 21-30 31-40 41-50

Umur (tahun) 2 4 6 8 10 12 14 16 20

Riap diameter rata-rata

tahunan (cm/th) 1,52 2,05 2,44 2,28 -

Umur 20 tahun yang disebutkan oleh Mulyono tidak dapat ditunjukkan oleh tabel di atas karena berdasarkan data di lapang, umur mahoni yang paling tua adalah umur 20 tahun. Sedangkan dalam perhitungan riap, umur tersebut digunakan untuk memperoleh riap pada kelas diameter di bawahnya. Bila ingin diperoleh riap pada kelas diameter 41-50 cm, maka diperlukan data umur di atasnya seperti umur 22 tahun atau 24 tahun dan seterusnya. Oleh karena itu, pada tabel tidak tertera riap untuk kelas diameter 41-50 cm. Begitu pula pada riap di kelas diameter akhir pada jenis jati sebelumnya di Tabel 7. Pengolahan perhitungan riap berdasarkan hasil survei di lapangan dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 3.

5.4 Pengaturan Kelestarian Hasil Saat Kini

Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, secara umum masyarakat akan mencukupinya mulai dari hasil tanaman semusim (palawija), batu galian (gamping), ternak, dan menebang kayu. Penebangan pohon dilakukan berdasarkan kesepakatan pengaturan limit keliling tebang minimal 60 cm atau setara dengan diameter 20 cm yang telah disepakati sejak dibentuknya kelompok tani atas dasar kesadaran warga terhadap kelestarian hutan. Pada saat itu, juga terdapat salah satu penyuluhan yang disampaikan oleh Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL) bahwa paling tidak penebangan dilakukan minimal keliling 60 cm. Kesepakatan ini bersifat lisan dan difasilitasi oleh kelompok tani serta dibuat atas pertimbangan bahwa pohon yang memiliki keliling 60 cm sudah dapat dijadikan bahan untuk membuat bangunan. Limit ini diterapkan setiap kali petani ingin menebang pohon.

Selain itu, keputusan menebang diserahkan kepada masing-masing pemilik lahan hutan rakyat yang hingga kini masih tetap dipatuhi dan dipertahankan hingga ke tingkat desa.

(15)

Pohon berdiameter 20 cm up dapat ditebang habis untuk setiap kali tebang butuh sesuai kebutuhan dan keputusan masing-masing pemilik lahan. Sedangkan pohon berdiameter di bawahnya, tidak dapat dan tidak pernah ditebang kecuali bila pohon tersebut rusak, buruk, atau mati yang akan digunakan untuk keperluan kayu bakar. Pengecualian lainnya adalah bila petani ingin mengganti tegakannya dengan jenis pohon yang lebih menguntungkan dari segi ekonomi. Misalnya, mengganti tegakan mahoni dengan jenis jati yang memiliki harga jual tinggi atau dengan jenis sengon yang memiliki daur singkat. Penebangannya dilakukan secara bertahap, misal petani A memiliki lahan seluas dua hektar. Dari lahan seluas dua hektar tersebut, ditebang habis seperempat bagiannya di tahun ini, seperempat bagian lagi di tahun depan, dan begitu untuk seterusnya. Namun hal tersebut perlu dikondisikan pula dengan keuangan petani, karena penggantian jenis tanaman ini membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membeli bibit ke persemaian di Wonogiri. Harga per polybag sekitar Rp 1.000,- untuk jenis jati dengan tinggi bibit setengah meter. Sedangkan untuk jenis sengon seharga Rp 2.000,- per polybag dengan tinggi bibit satu meter. Selain itu, juga harus dikondisikan dengan SDM yang dimiliki untuk membuat lubang-lubang tanaman. Penanaman ini tergantung pada keinginan dari masing-masing pemilik lahan dan ditujukan agar tersedia pohon siap tebang di bagian lahan lainnya yang dapat dijadikan simpanan untuk pemenuhan kebutuhan di kemudian hari. Simpanan lainnya dapat berupa ternak yang dibeli dari hasil tebang habis tersebut.

Tingkat kepatuhan yang tinggi ditunjukkan dari konsistensi petani terhadap limit diameter. Oleh sebab itu, petani telah dapat menikmati hasilnya berupa sumber mata air yang selalu terjaga bahkan semakin bertambah, tidak ada kejadian bencana alam (tanah longsor, banjir, dan erosi), serta tercipta hutan yang dapat memberikan tambahan pendapatan keluarga. Keadaan ini pun terus berlangsung hingga tercapainya sertifikasi dan berlanjut sampai dengan saat ini.

Pada tahun 2007 dikeluarkan aturan mengenai limit diameter tebang dari bupati, yaitu minimal 30 cm untuk penebangan kayu di hutan rakyat. Namun, petani di Desa Sumberejo tidak menerapkan aturan tersebut karena dirasa memberatkan. Petani beranggapan bahwa kayu yang ada adalah milik petani, oleh sebab itu petani kurang berkenan bila ada campur tangan pihak luar yang

(16)

membatas pohon pad dengan b persediaan Di sisi lain saja bulan membuat memenuhi Berikut ad Sumberejo

Gambar 5

Pa banyak ya pada sub dibanding pohon ya memenuhi Gambar 5 jenis jati.

memenuhi dalam ju

si haknya. H da kelas di bertambahny n pohon ke

n, kebutuha n ini meneba petani keb i kebutuhan dalah grafik o sejak awa

5 Realisasi tahun 200 ada Gambar

ang meneba bab sebelu g mahoni. D

ang dipanen i kekurang

yang menu Pada tahun i keperluan umlah bany

Hal ini juga iameter bes ya kelas las diamete an mendesa

ang dan bul eratan kare nnya dalam k yang men al sertifikasi

produksi k 04 sampai t r 5 dapat dik

ang jenis ja umnya, hal Di sisi lain, n sangat te gan kebutuh unjukkan pe

-tahun terse n rumah tan yak. Namu

dirasakan m sar terbatas,

diameter er besar (sia ak petani da

lan depan k ena memang

jumlah cuk nampilkan d

hingga tahu

kayu hutan ahun 2011.

ketahui bah ati dibandin ini dikaren

dalam mem ergantung p han dana t eningkatan d

ebut, petani ngganya, se un, peneb

memberatka , riapnya p sehingga t ap tebang) apat tiba kap kembali men g tidak ters kup banyak

data produk un 2011.

rakyat (bat

hwa rata-rat ng mahoni.

nakan harga menuhi keb pada jumla tersebut. H

di tahun 200 i membutuh ehingga pet angan ini

an karena di pun makin m

tidak dapa dalam wak pan pun tan nebang. Kon

sedia dana selain dari ksi kayu hu

tang) sejak

a petani di Seperti yan a jual jati y

utuhan dan ah yang di Hal ini dapa

04 dan 2007 hkan dana y

ani melaku dilakukan

i satu sisi ju menurun se at menyed ktu yang sin npa terduga.

ndisi inilah lain yang menebang utan rakyat

k awal serti

Desa Sumb ng telah dib yang lebih t na petani, ju ibutuhkan u

at diamati 7 terutama u yang tinggi u ukan peneba

n dengan umlah

eiring diakan ngkat.

. Bisa yang dapat kayu.

Desa

fikasi

berejo bahas tinggi umlah untuk pada untuk untuk angan tetap

(17)

berkomitmen terhadap limit diameter minimal 20 cm yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Kekurangan dana pada tahun 2008 hingga tahun 2011 dipenuhi dari jumlah tebangan yang lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan terdapat tiga kemungkinan kondisi yang ada, yaitu 1) Sumber pendapatan di luar hutan rakyat semakin besar sehingga pemenuhan tebangan kayu hutan rakyat bisa lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya, 2) Kebutuhan rumah tangga memang lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya, 3) Potensi pohon yang dapat dipanen berdiameter 20 cm up memang sedikit, sehingga mungkin tidak cukup untuk memenuhi kekurangan kebutuhan dana tersebut.

Kondisi pertama memiliki kemungkinan yang besar untuk terjadi. Bila demikian, maka hutan rakyat dapat terjaga kelestariannya. Kondisi kedua memiliki kemungkinan yang kecil untuk terjadi, sebab kebutuhan rumah tangga cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan kondisi ketiga memiliki kemungkinan yang juga cukup besar. Namun apabila kondisi ini yang terjadi, maka penebangan akan melebihi riap, meski petani mematuhi limit diameter tebang minimal 20 cm.

Selain itu, melalui realisasi produksi kayu yang telah ditebang sejak awal sertifikasi dapat diketahui bahwa tidak banyak peranan yang dilakukan FKPS dalam pengelolaan hutan rakyat. Tidak ada aturan yang dikerahkan mengenai pembatasan tebangan demi kelestarian. Hal ini memang FKPS sendiri membebaskannya kepada petani untuk melakukan tebangan kapan pun dan dalam jumlah berapa pun untuk memenuhi kebutuhan asal tidak melebihi batas limit diameter yang telah disepakati. Di sisi lain, FKPS tidak dapat menjamin ketersediaan dana pengganti tebangan pohon saat kebutuhan mendesak tiba.

Kondisi seperti inilah yang menjadi kelemahan dalam sistem pengelolaan hutan rakyat di Desa Sumberejo, sebab apabila dibiarkan terus menerus dengan kebutuhan petani yang juga akan terus ada, maka dikhawatirkan suatu kelestarian tidak dapat tercapai sebagaimana mestinya. Untuk itu, perlu adanya suatu perbaikan manajemen dalam pengelolaannya terkait hal kelembagaan agar dapat lebih terarah pada kelestarian.

(18)

5.5 Analisis Alternatif Pengaturan Hasil Menurut Jumlah Batang

Pengaturan hasil yang dibuat menggunakan metode jumlah batang berdasarkan riap. Riap yang digunakan adalah riap diameter rata-rata tahunan.

Melalui riap tersebut, dapat diketahui waktu yang dibutuhkan bagi sejumlah pohon pada kelas diameter tertentu untuk pindah ke kelas diameter berikutnya, sehingga dapat ditentukan jumlah pohon per hektar yang boleh ditebang per tahun pada kelas diameter tertentu. Terkait hal tersebut, pengaturan hasil yang dibuat mulai dari kelas diameter 20 cm up, sebab sesuai kesepakatan selama ini baik jati maupun mahoni yang ditebang oleh petani adalah pohon berdiameter minimal 20 cm. Sehubungan dengan pemenuhan bahan baku industri, penetapan limit diameter ini kurang cocok bila industri tersebut adalah industri kayu pertukangan.

Namun pada penerapannya, yang dapat memenuhi kebutuhan industri tersebut adalah pedagang pengumpul yang mensortir kayu berdasarkan sortimen dengan beberapa kriteria dimensi kayu berupa diameter dan panjang kayu. Melalui sortimen tersebut, pedagang pengumpul dapat menjual kayu pada industri-industri tertentu termasuk industri kayu pertukangan (meubel) untuk jenis sortimen yang memang memenuhi kriteria. Namun, tidak jarang pula pengumpul menjual sortimen kayu kepada pengrajin-pengrajin kayu yang tidak membutuhkan ukuran sortimen besar seperti kayu pertukangan. Berikut adalah dokumentasi terkait kayu-kayu yang ada di pedagang pengumpul dari berbagai kelas diameter.

Gambar 6 Kayu-kayu hasil tebangan di pedagang pengumpul Kecamatan Baturetno.

Berbagai macam ukuran sortimen tersebut didapat dari hasil tebang butuh yang dilakukan petani melalui pedagang perantara (bakul). Oleh karena itu, berapa pun diameter pohon yang ditebang tetap saja laku bila dijual. Namun, hal

(19)

ini justru membuat ketidakpastian jadwal dan volume produksi, sehingga berdampak pada ketidakpastian bahan baku industri. Melalui pengaturan hasil, diharapkan dapat menjadi suatu perbaikan manajemen, sehingga hutan rakyat dapat mengikuti budaya bisnis yang memerlukan pengaturan dan kepastian dalam pengelolaan. Berikut adalah alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang yang dibuat untuk jenis jati dan mahoni di lahan hutan rakyat Desa Sumberejo.

Tabel 9 Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang untuk jenis jati (batang/ha/th)

Parameter I II III IV Kelas Diameter (cm) V VI Jumlah 1.Riap diameter rata- rata

tahunan (cm/th) 2,31 1,41 0,81 0,66 0,41 - - 2.Kerapatan tegakan

(pohon/ha) 2.468 803 197 17 8 1 3.494 3.Tegakan yang pindah

ke kelas diameter berikutnya (pohon/ha/th)

318 26 9 4 2 1 360

4.Tegakan yang boleh

ditebang (batang/ha/th) - - 17 5 2 1 25 5.Tebang tahun ke-/

(frek.) - - 1/(3x1) 6/(2x1) 11/(6x1) - -

4/(1x1) 19/(1x1) 30/(2x1) - -

47/(1x1) - -

6.Tahun tebang - - 2012 2017 2022 - -

2015 2030 2041 - -

2058 - -

Keterangan: I = 1-10 cm; II = 11-20 cm; III = 21-30 cm; IV = 31-40 cm; V = 41-50 cm;

VI = 51-60 cm

(frek.) = frekuensi tebang dalam sekali tebang (tahun)

Dasar penentuan jumlah pohon yang boleh ditebang adalah riap, sebab penebangan harus sama dengan riap apabila ingin lestari. Selain itu pun harus mempertimbangkan jaminan pohon pengganti dari kelas diameter di bawahnya.

Oleh karena itu, dilihat pada Tabel 9 hanya terdapat dua batang pohon yang boleh ditebang pada kelas diameter 41-50 cm. Hal ini karena memang stok yang tersedia pada kelas diameter tersebut hanya terdapat dua pohon dan penebangan dapat tergantikan oleh pohon yang pindah dari kelas diameter 31-40 cm. Sedangkan pada kolom jumlah terdapat sebanyak 25 batang/ha yang boleh ditebang, namun karena tidak tersedianya data tentang riap pada kelas diameter 51-60 cm, maka yang bisa ditebang saat keadaan normal yaitu saat penebangan dapat dilakukan tiap tahun ialah sebanyak 24 batang/ha.

(20)

Pada kelas diameter 41-50 cm dengan stok awal terdapat delapan pohon, di tahun berikutnya menjadi enam pohon sebab dua pohon sudah pindah ke kelas diameter 51-60 cm. Tetapi, jumlah tersebut mendapat tambahan pohon yang pindah dari kelas diameter 31-40 cm yakni sebanyak empat pohon, sehingga menjadi sepuluh pohon. Sedangkan untuk penentuan jumlah pohon yang boleh ditebang pada kelas diameter 41-50 cm adalah sebanyak dua batang yang diperoleh dari pengurangan stok dengan jumlah stok awal agar lestari, yakni sepuluh pohon dikurangi delapan pohon. Sama halnya dengan kelas diameter 31- 40 cm dan 21-30 cm. Angka lima dan tujuh belas diperoleh dari pengurangan stok dengan stok awal. Namun, sejumlah pohon tersebut tidak memiliki waktu yang sama untuk dapat ditebang tiap satu tahun sekali. Seperti yang dapat dilihat pada parameter ke-5 di Tabel 9 bahwa terdapat angka 1/(3x1) dan 4/(1x1) pada kelas diameter 21-30 cm, angka 6/(2x1) dan 19/(1x1) pada kelas diameter 31-40 cm, serta angka 11/(6x1), 30/(2x1), dan 47/(1x1) pada kelas diameter 41-50 cm.

Angka-angka tersebut merupakan waktu yang dibutuhkan bagi pohon untuk tumbuh sesuai riap ke kelas diameter berikutnya (jangka benah).

Angka 1/(3x1) pada kelas diameter 21-30 cm mengandung arti bahwa tebangan pertama yang petani lakukan di kelas diameter 21-30 cm sebanyak tujuh belas batang pohon per hektar adalah pada tahun ke-1 atau tahun 2012, sebab pengambilan data dilakukan pada tahun 2011 dan diposisikan tahun tersebut sebagai tahun ke-0. Untuk penebangan selanjutnya dengan jumlah yang sama, petani menebang pada tahun ke-4 tahun 2015. Mulai tahun tersebut (4/(1x1)) dan seterusnya, petani baru boleh menebang tiap satu tahun sekali dengan jumlah yang sama pula. Singkatnya, angka (3x1) berarti petani boleh menebang tiap tiga tahun sekali, dan angka (1x1) berarti petani boleh menebang tiap satu tahun sekali.

Sama halnya dengan angka 6/(2x1) dan 19/(1x1) pada kelas diameter 31- 40 cm. Pada tahun ke-6, petani baru boleh menebang sebanyak lima batang pohon per hektar dengan frekuensi dua tahun sekali hingga tahun ke-18. Mulai tahun ke- 19 dan seterusnya petani baru boleh menebang tiap satu tahun sekali. Angka 11/(6x1), 30/(2x1), dan 47/(1x1) pada kelas diameter 41-50 cm juga mengandung arti yang sama yakni petani baru boleh menebang pada tahun ke-11 dengan frekuensi enam tahun sekali hingga tahun ke-29. Tahun ke-30 hingga tahun ke-46

(21)

petani boleh menebang dengan frekuensi dua tahun sekali. Tahun ke-47 dan seterusnya barulah petani boleh menebang tiap satu tahun sekali. Lama jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tebangan tiap satu tahun sekali merupakan aplikasi dari kecilnya riap. Semakin kecil riap maka akan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk tumbuh. Visualisasi data ini selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Begitu pula pemahaman konsep alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang untuk jenis mahoni. Dengan riap yang lebih besar dibanding jati, waktu yang diperlukan bagi mahoni cenderung lebih singkat. Bila kondisi normal yang dapat dicapai jati adalah selama 47 tahun, maka mahoni hanya membutuhkan waktu 3 tahun untuk mencapainya. Alternatif pengaturan hasil untuk jenis mahoni dapat dilihat pada Tabel 10 yang selengkapnya dapat pula dilihat pada Lampiran 6.

Tabel 10 Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang untuk jenis mahoni (batang/ha/th)

Parameter Kelas Diameter (cm)

Jumlah I II III IV V a. Riap diameter rata-rata tahunan

(cm/th) 1,52 2,05 2,44 2,28 - - b. Kerapatan tegakan (pohon/ha) 1.398 565 90 3 2 2.058 c. Tegakan yang pindah ke kelas

diameter berikutnya (pohon /ha/th)

251 62 2 1 0 316

d. Tegakan yang boleh ditebang

(batang/ha/th) - - 60 1 1 62

e. Tebang tahun ke-/(frek.) - - 1/(1x1) 2/(2x1) - -

3/(1x1) - -

f. Tahun tebang - - 2012 2013 - -

2014 - -

Keterangan : I = 1-10 cm; II = 11-20 cm; III = 21-30 cm; IV = 31-40 cm; V = 41-50 cm (frek.) = frekuensi tebang dalam sekali tebang (tahun)

Pada alternatif pengaturan hasil untuk jenis mahoni di atas hanya terdapat tiga kelas diameter yang boleh dilakukan penebangan, yaitu kelas diameter 21-30 cm, kelas diameter 31-40 cm, dan kelas diameter 41-50 cm. Dapat dilihat di Tabel 10 bahwa pada kelas diameter 31-40 cm, meskipun stok yang tersedia terdapat sebanyak tiga pohon, namun jumlah tersebut tidak dapat ditebang seluruhnya sebab pohon pengganti yang pindah dari kelas diameter 21-30 cm hanya sebanyak dua pohon, sehingga yang boleh ditebang hanyalah satu batang. Pada kelas diameter 41-50 cm tidak tersedia data riap, maka akumulasi jumlah tebangan pada

(22)

kondisi normal hanyalah 61 batang/ha. Sedangkan untuk perhitungan selanjutnya yakni kelas diameter 21-30 cm, menggunakan konsep perhitungan yang sama dengan alternatif pengaturan hasil jenis jati sebelumnya sehingga diperoleh sebanyak 60 batang/ha yang boleh ditebang pada kelas diameter 21-30 cm.

Tabel 9 dan Tabel 10 telah menginformasikan bahwa jumlah pohon yang boleh ditebang dengan satuan batang per hektar adalah sebanyak 24 batang untuk jenis jati dan sebanyak 61 batang untuk jenis mahoni. Sedangkan untuk satuan per petani telah tersaji pada Lampiran 7, yakni sebanyak 21 batang untuk jenis jati dan sebanyak 81 batang untuk jenis mahoni. Melalui jumlah tersebut pun dapat diketahui pendapatan yang akan diperoleh petani bila alternatif tersebut diterapkan seperti yang tersaji pada Tabel 11. Perbedaan banyaknya jumlah batang yang boleh ditebang antara satuan per hektar dan per petani dipengaruhi oleh faktor luas lahan baik tegalan maupun pekarangan yang dimiliki petani, sebab dalam mengkonversi satuan dari per hektar menjadi per petani memerlukan data luas lahan hutan rakyat milik responden seperti yang tertera pada Lampiran 8.

Tabel 11 Perbandingan produksi dan pendapatan pengaturan hasil saat kini terhadap alternatifnya

A Jumlah tebangan per tahun (batang/th) Jenis

pohon

Pengaturan hasil menurut

jumlah batang Realisasi pengaturan hasil saat kini**

Per Hektar Per Petani* Rata-rata Min Max

Jati 24 21 19 15 25

Mahoni 61 81 15 8 30

B Harga tegakan rata-rata per batang (Rp/batang)***

Jati 640.000

219.000 Mahoni

C Pendapatan per petani (Rp/KK/th) Jenis

pohon

Pengaturan hasil menurut

jumlah batang Realisasi pengaturan hasil saat kini**

Per Hektar Per Petani Rata-rata Min Max Jati 15.360.000 13.440.000 12.160.000 9.600.000 16.000.000

Mahoni 13.359.000 17.739.000 3.285.000 1.752.000 6.570.000

D

Rata-rata kebutuhan petani per tahun (Rp /KK/th)

****

13.037.788

Keterangan: * = Rekapitulasi dari perhitungan Lampiran 7 ** = Rekapitulasi dari perhitungan Lampiran 4 *** = Rekapitulasi dari perhitungan Lampiran 9 **** = Hasil olahan data Mulyani (2012)

Pada Tabel 11, diketahui bahwa rata-rata kebutuhan petani per tahun dapat terpenuhi bila alternatif pengaturan hasil ini diterapkan. Berdasarkan hasil olahan

(23)

data Mulyani (2012), kebutuhan tersebut merupakan hasil rata-rata kebutuhan dalam setahun yang mencakup kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, insidental, tabungan, pajak lahan per tahun, dan lain-lain. Kebutuhan tersebut dapat terpenuhi melalui penebangan jenis mahoni yang sudah dapat diterapkan mulai tahun 2014. Meski kebutuhan ini dapat terpenuhi hanya dengan melakukan penebangan jenis jati, namun petani membutuhkan waktu selama 47 tahun untuk bisa menerapkannya. Bila diasumsikan tidak terjadi suatu hal yang dapat merubah kondisi tegakan saat ini, maka sangat dimungkinkan yang akan menikmati hasil tersebut adalah anak cucunya.

Pada realisasinya, rata-rata produksi kayu per petani selama tujuh tahun terakhir menunjukkan bahwa tebangan sebesar Rp 15.455.000,- (hasil penjumlahan dari rata-rata pendapatan per petani jenis jati dan mahoni pada realisasi produksi kayu per petani) telah melebihi rata-rata kebutuhan petani per tahun. Hal ini dimungkinkan terdapat suatu keperluan atau biaya tak terduga yang harus dipenuhi, sehingga harus melebihkan tebangan senilai dua juta rupiah.

Sedangkan realisasi tebangan minimum dan maksimum yang dilakukan selama tujuh tahun terakhir, sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa hal tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor kebutuhan mendesak dari masing-masing petani.

5.6 Kendala dan Alternatif Solusi Sosial Penerapan Pengaturan Hasil Menurut Jumlah Batang

5.6.1 Kendala sosial pengaturan hasil menurut jumlah batang

Unit kelestarian hutan rakyat sangat terkait dengan pengaturan hasil, karena pengaturan hasil merupakan bagian dari unit kelestarian hutan rakyat dan merupakan salah satu yang harus diatur agar dapat mencapai kelestarian.

Pembentukan suatu unit kelestarian hutan rakyat tergantung pada kesediaan ataupun kesadaran anggotanya dalam membentuk unit tersebut dan sekaligus menerapkan aturan-aturan atau kesepakatan bersama yang salah satunya adalah penerapan pengaturan hasil.

Alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang masih belum bisa disepakati oleh para petani hutan rakyat Desa Sumberejo. Namun, hal ini memiliki peluang untuk diimplementasikan apabila kendala-kendala dalam penerapannya dapat teratasi. Pada pengaturan hasil tersebut, dapat dipastikan petani akan berkeberatan bila harus menerapkan pengaturan hasil terutama untuk jenis jati

(24)

sebab membutuhkan waktu yang sangat lama. Namun, petani dapat menutupi kekurangan kebutuhan dana hanya dengan menebang jenis mahoni. Seperti yang diketahui bahwa harga tegakan mahoni lebih rendah dibanding jati dan bila dikonversikan ke dalam rupiah, maka satu batang jati berdiameter tertentu akan setara dengan tiga batang mahoni yang berdiameter sama. Oleh sebab itu dalam kebutuhan yang sama, tegakan mahoni akan lebih banyak ditebang dibanding jati.

Terkait hal tersebut, petani yang menjadi responden dalam penelitian ini diwawancarai mengenai kesediaannya terhadap alternatif pengaturan hasil menurut jumlah bantang seperti yang disajikan pada Tabel 12. Petani sebanyak dua puluh lima responden merupakan petani yang pada lahannya sudah dilakukan pengukuran potensi tegakan hutan rakyat.

Tabel 12 Distribusi jawaban petani terhadap kesediaan untuk menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang

Kesediaan petani menerapkan alternatif

pengaturan hasil menurut jumlah batang Frekuensi (orang) Persentase (%)

Bersedia 14 56

Keberatan 11 44

Jumlah 25 100

Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)

Pada tabel di atas dapat diketahui bahwa petani hutan rakyat yang bersedia menerapkan pengaturan hasil menurut jumlah batang adalah sebanyak 56%, sedangkan yang keberatan sebanyak 44%. Jumlah ini hampir berimbang, sehingga alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang dapat saja diterapkan asal ada suatu solusi bagi para petani yang keberatan. Namun, solusi tersebut pun tergantung pada alasan kesediaan petani dalam menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang seperti yang tertera pada Tabel 13.

Tabel 13 Alasan petani bersedia untuk menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang

Alasan petani bersedia menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang

Frekuensi (orang)

Persentase (%) 1. Memberi kesempatan pohon untuk tumbuh 4 16

2. Pertimbangan biaya pendidikan 1 4

3. Dapat mengamankan kayu 9 36

Jumlah 14 56

Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)

Dilihat dari alasan para petani yang bersedia menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang, dapat diketahui bahwa petani sadar akan

(25)

pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup petani. Selain pertimbangan untuk menghidupi anak cucu, petani pun merasa bahwa petani harus menjaga hutan yang ada saat ini mengingat kondisi gersang dan lahan kritis yang pernah petani alami beberapa tahun silam.

1) Memberi kesempatan pohon untuk tumbuh

Cukup banyak petani yang bersedia menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang, yakni sebanyak empat orang (16%) dengan alasan atau pertimbangan bahwa dengan menerapkan pengaturan hasil, maka akan memberi kesempatan pohon untuk tumbuh besar. Petani menyadari bahwa pohon memerlukan waktu untuk tumbuh besar. Namun, alasan ini disertai dengan pertimbangan lain pula, yaitu agar petani dapat menebang pohon pada waktuya dengan ukuran besar sehingga petani dapat memperoleh penghasilan yang besar pula.

2) Pertimbangan biaya pendidikan

Petani yang bersedia dengan alasan pertimbangan biaya pendidikan hanya terdapat satu orang (4%). Hal ini karena memang kebetulan dari empat belas orang responden yang bersedia, hanya satu responden yang masih punya tanggungan untuk membiayai sekolah anak yang baru duduk di tingkat sekolah dasar. Untuk responden lain, mayoritas anaknya sudah bekerja sehingga keperluan biaya anak yang masih sekolah dibantu oleh kakaknya.

Pertimbangan ini tentunya karena responden memikirkan kehidupan masa depan anak cucu. Dengan menerapkan pengaturan hasil yang terdapat aturan- aturan di dalamnya, maka responden beranggapan bahwa dapat menekan kebiasaan tebang butuh yang kerap kali dilakukan, sehingga akan terus tersedia kayu yang dapat menjadi tabungan bagi anaknya di kemudian hari.

3) Dapat mengamankan kayu

Responden terbanyak sejumlah sembilan orang (36%) memiliki alasan bahwa dengan menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang dapat mengamankan kayu. Responden berpikir apabila tidak ada pengaturan hasil, maka tebang butuh akan terus berjalan dan kayu pun lambat laun akan semakin sedikit, terlebih lagi bila penebangannya menjadi tidak terkendali.

Keadaan ini mungkin saja akan berdampak sama dengan apa yang telah

(26)

dialami beberapa tahun silam, dan tentunya petani tidak menginginkan hal tersebut terjadi kembali. Melalui alasan ini, dapat diketahui bahwa petani telah mempertimbangkan aspek kelestarian pada hutan rakyatnya yang dapat menjadi modal sosial demi keberlangsungan penerapan alternatif pengaturan hasil itu sendiri.

Dengan adanya kebutuhan mendesak, terdapat pula petani yang keberatan untuk menerapkan pengaturan hasil menurut jumlah batang dengan alasan apabila pengaturan hasil tersebut diterapkan, maka akan membatasi pemenuhan kebutuhan dana petani. Alasan tersebut dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Alasan petani keberatan untuk menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang

Alasan petani keberatan menerapkan alternatif

pengaturan hasil menurut jumlah batang Frekuensi

(orang) Persentase (%)

1. Kebutuhan petani akan terbatasi 5 20

2. Dana untuk memenuhi kebutuhan selain dari kayu

tidak ada 6 24

Jumlah 11 44

Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang) 1) Kebutuhan petani akan terbatasi

Sebanyak lima responden (20%) yang keberatan memiliki alasan bahwa dengan diterapkannya pengaturan hasil, maka akan membatasi kebutuhan petani. Dengan kata lain, petani tidak bisa lagi menebang pohon melalui sistem tebang butuh. Bagi petani, tebang butuh sudah menjadi kebiasaan yang hingga saat ini merupakan solusi terbaik bila ada kebutuhan mendesak.

2) Dana untuk memenuhi kebutuhan selain dari kayu tidak ada

Responden terbanyak sebesar 24% yang keberatan memiliki alasan tidak mempunyai dana untuk memenuhi kebutuhan selain dari kayu terutama pada saat kebutuhan mendesak tiba. Selama ini, kebutuhan tersebut dipenuhi dengan menebang pohon kapan pun dan dalam jumlah berapa pun. Dengan pengaturan hasil yang membatasi kebiasaan sebelumnya, maka menjadi kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan mendesak bila tidak tersedia dana lain selain dari kayu untuk memenuhinya.

5.6.2 Alternatif solusi sosial pengaturan hasil menurut jumlah batang

Pengaturan hasil sangat diperlukan untuk menjamin kelestarian. Namun, dari beberapa respon kesediaan responden sebelumnya, terdapat 44% responden

(27)

yang keberatan untuk menerapkan alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang. Di balik alasan keberatan tersebut, terdapat pertimbangan mendasar yang menjadi kendala, yakni tidak tersedia dana untuk memenuhi kekurangan kebutuhan dana selain dari kayu, padahal kelompok tani memiliki peran utama dalam penerapannya. Untuk itu, ditawarkan beberapa usulan yang mungkin dapat diterapkan di Desa Sumberejo agar alternatif pengaturan hasil menurut jumlah batang dapat diimplementasikan oleh para petani hutan rakyat, diantaranya yaitu:

1) Mengembangkan pemenuhan kebutuhan dana melalui pinjam meminjam;

2) Mengembangkan keuangan kelompok tani dengan menaikkan iuran wajib anggota per pertemuan; dan

3) Mengembangkan industri kerajinan kayu untuk meningkatkan pendapatan petani dengan menyisihkan dan mengumpulkan sebagian dana dari bantuan- bantuan yang selanjutnya akan diterima. Bantuan ini dapat saja diperoleh dari pemerintah, LSM, maupun pihak lain yang berkepentingan mengingat status hutan rakyatnya yang telah disertifikasi PHBML LEI.

3.a) Mengembangkan keahlian petani dengan menjadi tenaga kerja di industri kerajinan kayu; dan

3.b) Mengembangkan ekonomi petani dengan menabungkan sebagian gaji yang diperoleh dari hasil bekerja di industri kerajinan kayu.

Berikut adalah tabel yang menampilkan alternatif pemenuhan kebutuhan dana selain dari kayu melalui kegiatan pinjam meminjam.

Tabel 15 Alternatif untuk pemenuhan kebutuhan dana melalui pinjam meminjam Alternatif untuk pemenuhan kebutuhan dana

melalui pinjam meminjam Frekuensi Persentase (%) Pinjam meminjam sesama petani

Pinjam ke petani dalam satu kelompok tani 25 81 Pinjam ke petani di dusun lain 4 13 Pinjam ke petani di desa lain 2 6 Pinjam ke petani di kecamatan lain 0 0

Jumlah 31 100

Pinjam meminjam ke lembaga keuangan (formal, non formal)

Pinjam ke kelompok tani 25 100 Pinjam ke Koperasi RT 0 0

Pinjam ke KUD 0 0

Pinjam ke bank 0 0

Jumlah 25 100

Keterangan: Frekuensi = Jumlah pilihan responden

(28)

Pada alternatif yang tersedia pada Tabel 15, dapat diketahui bahwa untuk keperluan pinjam meminjam sesama petani, sebagian besar responden lebih memilih untuk melakukan transaksi peminjaman hanya dalam lingkup satu dusun meskipun terdapat 13% responden yang bersedia meminjam ke petani di dusun lain, dan 6% responden yang bersedia meminjam ke petani di desa lain.

Sedangkan untuk meminjam ke petani di kecamatan lain, tidak ada satu pun responden yang bersedia. Hal ini dikarenakan terdapat kendala sosial berupa jarak tempuh yang jauh bila harus lintas dusun, desa, ataupun kecamatan. Selain itu, terdapat pula kendala sosial berupa ketidakakraban dengan petani lain.

Kebanyakan dari petani tidak akrab bahkan ada yang tidak kenal dengan petani di dusun, desa, ataupun kecamatan lain.

Untuk keperluan pinjam meminjam ke lembaga keuangan formal maupun non formal, lembaga yang lebih diminati hanyalah kelompok tani. Hal ini disebabkan oleh beberapa pertimbangan yang merupakan kendala sosial, diantaranya yaitu seperti yang tertera pada Tabel 16.

Tabel 16 Pertimbangan petani melakukan pinjaman ke lembaga keuangan formal maupun non formal

Pertimbangan petani melakukan pinjaman ke lembaga keuangan formal maupun non formal

Bersedia

Frekuensi Persentase (%) 1. Pinjam ke kelompok tani

Bila memang dana pinjaman tersedia

25 100 Mudah, dekat, kenal dengan warganya, dan pasti

2. Pinjam ke Koperasi RT

Tidak bisa pinjam banyak 0 0

Berbunga

3. Pinjam ke KUD Bunga besar, proses rumit

Banyak persyaratan yang harus dipenuhi 0 0 4. Pinjam ke bank

Bunga besar, proses rumit, dan takut dikejar-kejar debt

collector karena tidak bisa melunasi 0 0

Banyak persyaratan yang harus dipenuhi Keterangan: Frekuensi = jumlah pilihan responden

1) Pinjam ke kelompok tani

Dalam kesediaan petani untuk meminjam ke lembaga keuangan formal maupun non formal, terdapat dua puluh lima pilihan dari seluruh responden yang bersedia untuk meminjam ke kelompok tani. Kini, kondisi kelompok tani tidak memiliki ketersediaan dana untuk keperluan peminjaman. Meskipun selama ini masing-masing kelompok tani di tiap dusun memang telah

(29)

menjalankan sistem simpan pinjam, namun yang disimpanpinjamkan hanya sebatas keperluan pertanian seperti bibit dan pupuk. Sedangkan pengembaliannya dilakukan dalam bentuk uang saat musim panen tiba.

Terkait hal tersebut, petani bersedia meminjam kalau memang pada kelompok tani telah tersedia dana yang bisa dipinjam kapan pun saat petani butuh dan dalam jumlah berapa pun sesuai dengan yang dibutuhkan.

Selain itu, pertimbangan kemudahan dalam bertransaksi, hubungan sosial, dan kepastian peminjaman juga membuat petani lebih nyaman untuk pinjam ke kelompok tani. Sehingga petani juga bersedia dikenakan bunga pinjaman yang besarnya tidak lebih dari 2%, sebab bunga tersebut merupakan bunga yang berlaku di Desa Sumberejo untuk keperluan pinjam meminjam yang salah satunya juga berlaku di Koperasi RT.

2) Pinjam ke Koperasi RT

Koperasi RT merupakan koperasi berbadan hukum di masing-masing RT (Rukun Tetangga) Desa Sumberejo yang disahkan pada bulan Januari 2003.

Terdapat sebanyak enam belas Koperasi RT yang kini beroperasi karena dalam satu dusun masing-masing memiliki dua RT. Ketersediaan dana di Koperasi RT ini tidak jauh berbeda dengan kelompok tani. Meski di Koperasi RT telah tersedia dana, namun masih dalam jumlah sedikit yakni masing- masing petani hanya mendapat jatah pinjam sekitar Rp 100.000,- per sekali pinjam. Sedangkan kebutuhan petani bisa mencapai Rp 500.000,- sampai jutaan rupiah per sekali kebutuhan mendesak. Oleh sebab itu, petani beralasan bahwa bila pinjam ke Koperasi RT, petani tidak dapat meminjam dalam jumlah banyak sesuai kebutuhan. Selain itu, bunga yang rendah sebesar 2%

juga masih dirasakan sebagai beban.

3) Pinjam ke KUD (Koperasi Unit Desa)

Petani tidak tertarik untuk meminjam ke KUD, sebab petani tidak ingin berurusan dengan bunga. Dalam konsep pemikiran petani, bunga pinjaman di luar bunga Koperasi RT adalah lebih besar, sehingga akan memberatkan petani terlebih lagi bila petani tidak mampu mengembalikannya. Selain itu, proses yang cukup rumit karena beberapa persyaratan pun dirasakan membebani petani.

(30)

4) Pinjam ke Bank

Untuk melakukan pinjaman ke bank, petani sangat tidak tertarik.

Berkaitan dengan poin 3 di atas mengenai konsep pemikiran petani tentang bunga pinjaman, petani takut dikejar-kejar oleh penagih hutang (debt collector) bila petani pinjam ke bank dan tidak mampu membayar karena bunga yang sangat besar. Sama seperti beban yang dirasakan pada poin 3, untuk pinjam ke bank pun petani mengeluhkan banyak persyaratan, sehingga proses menjadi rumit. Pertimbangan inilah yang membuat petani lebih memilih untuk menebang pohonnya dibanding harus repot-repot meminjam uang saat petani butuh.

Berikut adalah tabel yang menampilkan alternatif lainnya untuk pemenuhan kebutuhan dana selain dari kayu yang merupakan pengembangan keuangan kelompok tani dengan menaikkan iuran wajib anggota per pertemuan.

Tabel 17 Alternatif pemenuhan kebutuhan dana melalui kenaikan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani

Kesediaan petani menaikkan iuran wajib per

pertemuan dalam kelompok tani Frekuensi (orang) Persentase (%)

Bersedia 5 20

Keberatan 20 80

Jumlah 25 100

Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)

Pada tabel di atas, diketahui bahwa hanya sebanyak 20% responden yang bersedia untuk menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani.

Sisanya sebanyak 80% responden keberatan untuk menaikkannya. Alasan kesediaan petani dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Alasan petani bersedia untuk menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani

Alasan petani bersedia menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani

Frekuensi

(orang) Persentase (%) 1. Bila kenaikan sudah menjadi kesepakatan

bersama 4 16

2. Kenaikan tidak terlalu besar 1 4

Jumlah 5 20

Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)

1) Bila kenaikan sudah menjadi kesepakatan bersama

Sebanyak empat orang responden (16%) bersedia untuk menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani kalau memang itu sudah menjadi

(31)

kesepakatan bersama. Petani berpikir bahwa hal tersebut adalah baik karena untuk kepentingan bersama juga. Iuran yang diwajibkan merupakan dana dari, oleh, dan untuk anggota. Apabila iuran tersebut dinaikkan, maka dana akan semakin banyak, sehingga bila ada anggota yang memerlukan akan dapat terlayani.

2) Kenaikan tidak terlalu besar

Hanya terdapat satu responden (4%) yang bersedia dengan alasan atau tepatnya yakni dengan syarat tidak naik terlalu banyak. Responden memberi saran naiknya iuran tidak melebihi Rp 1.000,- per bulan.

Meski untuk kebaikan bersama, ada pula responden yang keberatan untuk menaikkannya dengan pertimbangan seperti yang tertera pada Tabel 19.

Tabel 19 Alasan petani keberatan untuk menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani

Alasan petani keberatan menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani

Frekuensi

(orang) Persentase (%) 1. Terdapat banyak kebutuhan lain 8 32 2. Pendapatan petani kecil dan tak menentu 12 48

Jumlah 20 80

Keterangan: Frekuensi = Jumlah responden (orang)

1) Terdapat banyak kebutuhan lain

Sebanyak 32% responden yang keberatan memiliki alasan bahwa responden mempunyai banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi, sehingga responden tidak mampu untuk mengeluarkan dana lebih hanya untuk menambah iuran wajib per pertemuan. Petani mengartikan kenaikan di sini sebagai sesuatu yang akan menambah beban karena petani berasumsi kenaikan tersebut bisa mencapai berkali-kali lipat dari sebelumnya. Padahal iuran sebelumnya hanya sekitar Rp 1.000,- per bulan.

2) Pendapatan petani kecil dan tak menentu

Pendapatan petani yang kecil dan kadang tak menentu membuat dua belas responden keberatan untuk menaikkan iuran wajib per pertemuan dalam kelompok tani. Dengan pendapatan tersebut, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun kadang terkendala, apalagi bila harus menaikkan iuran wajib.

Dalam hal ini, kelompok tani memiliki cukup dana untuk menjadikannya sebagai modal kegiatan simpan pinjam. Namun seperti pada penjelasan

Gambar

Gambar 1  Anakan hasil persebaran biji oleh angin secara alami.
Gambar 2  Trubusan hutan rakyat (a) lima tunas dan (b) pangkal gerowong.
Gambar 3  Serasah sebagai pengganti pupuk.
Tabel 6  Potensi hutan rakyat Desa Sumberejo
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada dasarnya siswa telah memiliki kemampuan metakognisinya masing-masing hanya perlu cara yang tepat untuk lebih mengembangkan kemampuan metakognisi siswa tersebut,

Alat- dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk temulawak instan, gula halus, soda kue, asam sitrat, kandang ayam, sekam, sekat, feeder, drinker, brooder,

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi stres yang dialami oleh lansia. Subjek penelitian ini berjumlah 98 orang lansia di Paguyuban Lansia RS. Teknik sampling

BKKBN KPU MPR MENEG PPN DEPKEU BKKBN KPU MPR MENEG PPN DEPKEU BKN BAPETEN DPR MENKO EKUIN DEPDIKNAS PPATK BATAN DPD MENEG PAN DEPKES BNP2TKI BPLS MK MENEG POLKAM DEPKUMHAM KPK BMG

The FAO Framework for Land Evaluation tidak dimaksudkan untuk mengevaluasi lahan secara parametrik (Purnell, 1977). Hal ini disebabkan oleh kesulitan untuk mendapatkan

Jika digabungkan dengan hasil uji statistika paired-t untuk utilitas maka diperoleh kesimpulan bahwa sistem alternatif kedua yang terbaik dikarenakan sistem alternatif pertama

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) Prestasi belajar aspek kognitif pada siswa yang diajar menggunaan metode TAI didukung kegiatan

Dari ke empat sanggar seni yang diketahui informasinya, kemudian ditetapkan salah satu sanggar yang memungkinkan untuk dijadikan objek penelitian dengan ujicoba