• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAMPIRAN LAMPIRAN 1 : PROGRAM RUANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAMPIRAN LAMPIRAN 1 : PROGRAM RUANG"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

61

LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 : PROGRAM RUANG

(2)

62

(3)

63

(4)

64

Jumlah total luasan keseluruhan = ± 5.634,51 m2 Jumlah ditambah 30% untuk sirkulasi = ± 7.324,86 m2

Area penghijauan sesuai RTH dengan perbandingan 60% penghijauan dan 40%

infrastruktur, maka luas area yang dibutuhkan :

 Penghijauan 60 %

= ± 11.719,78 m2

 Infrastruktur 40 %

= ± 7.324,86 m2

 Jadi minimal luas lahan

yang dibutuhkan = ± 19.044,64 m2 atau ± 2 ha Keterangan:

A : Asumsi

NAD : Neufert Architec’s Data

SR : Survei

BPDS : Building Planning and Design Standard TSS : Time Saver Standard

MEE : Mechanical, Electrical & Equipment

SB : Studi Banding

(5)

65

LAMPIRAN 2 : SITE PLAN

(6)

66

LAMPIRAN 3 : LAYOUT PLAN

(7)

67

LAMPIRAN 4 : DENAH LANTAI 2A

(8)

68

LAMPIRAN 5 : DENAH LANTAI 2B

(9)

69

LAMPIRAN 6 : DENAH LANTAI 3A

(10)

70

LAMPIRAN 7 : DENAH LANTAI 3B

(11)

71

LAMPIRAN 8 : DENAH LANTAI 1 FASILITAS PENGELOLA

(12)

72

LAMPIRAN 9 : TAMPAK DEPAN BANGUNAN

(13)

73

LAMPIRAN 10 : TAMPAK SAMPING BANGUNAN

(14)

74

LAMPIRAN 11 : POTONGAN A-A

(15)

75

LAMPIRAN 12 : POTONGAN B-B

(16)

76

LAMPIRAN 13 : PERSPEKTIF BANGUNAN

(17)

77

LAMPIRAN 14 : INFORMASI TATA GUNA LAHAN

(18)

78

SEMPADAN PANTAI DI KABUPATEN BULELENG

 PERDA PROPINSI DAERAH TK I BALI No. 4 TAHUN 1996 Tentang RTRW Propinsi ( Pasal 19 huruf c ) 100 M

 PERDA KABUPATEN BULELENG No. 01 TAHUN 1993

1. Tentang RUTR Kabupaten Buleleng ( Pasal 17 huruf a ) 100 M

 KEPUTUSAN BUPATI BULELENG No. 285 TAHUN 2004

2. Tentang REVISI RDTR KAWASAN PARIWISATA LOVINA

 Secara Umum : 25 – 50 M, Pada Kawasan dengan Kondisi fisik stabil < 50 M

 Pantai Celuk Labuhan Aji : 25 – 50 M, ( Temukus dan Sekitarnya ).

 Enjung Sangiang, Celuk Buluh sampai Enjung Buntekan 25 – 50 M.

 Celuk Agung : 10 – 25 M

 Desa Pemaron : 10 – 15 M

 Desa Tukad Mungga : 5 – 10 M

 Desa Anturan : 5 – 10 M

 Desa Kalibukbuk : 25 – 50 M

Desa Temukus : 25 – 50 M

 KEPUTUSAN BUPATI BULELENG No. 483 Tahun 2001 Tentang RDTR KAWASAN PARIWISATA BATU AMPAR

 Pantai fungsi Konservasi : 100 M

 Fungsi Ritual : 100 M

 Fungsi Pariwisata : 50 M

 Fungsi Ekonomi ( Perkampungan Nelayan, Budidaya Perikanan ) 25 M

 KEPUTUSAN BUPATI BULELENG No. 286 TAHUN 2004 Tentang RDTR KAWASAN BULELENG TIMUR

 Secara Umum 25 – 50 M

 Untuk Pantai bukan daerah Rawan Abrasi dan Sudah ada Study Kelayakan adalah kurang dari 50 M.

 KEPUTUSAN BUPATI KEPALA DAERAH Tk. II BULELENG No. 94 Tahun 1995 tanggal 27 Pebruari tahun 1995 tentang penetapan lebar jalan sebagai dasar penetapan sempadan.

Tentang RDTR KAWASAN BULELENG TIMUR

SEMPADAN PURA

(19)

79

 Kawasan tempat suci disekitar Pura Sad Kahyangan dengan radius paling rendah 5.000 M dari sisi tembok penyengker Pura.

 Kawasan tempat suci disekitar Pura Dang Kahayangan dengan radius paling rendah 2.000 M dari sisi luar tembok penyengker Pura.

 Kawasan Tempat Suci disekitar Pura Kahyangan Tiga sesuai dengan Bhisama dan / atau awig – awig desa pekraman setempat.

SURAT KEPUTUSAN BUPATI BULELENG

(20)

80

LAMPIRAN 15 : GENETIKA PENYU

Teknik Molekuler Dalam Populasi Penyu

Genetika Populasi Penyu Laut

Teknik genetika yang dilakukan pada penyu laut diketahui dapat memperjelas beberapa aspek dari siklus hidup penyu tersebut. Sebagai contoh, munculnya pertanyaan “apakah betina penyu akan kembali bertelur pada pantai dimana mereka ditetaskan?”, “Apakah suatu habitat pakan didatangi oleh individu dari berbagai populasi yang berbeda?”, “Dapatkah DNA fingerprints digunakan untuk menentukan jalur migrasi penyu laut?”, semua pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan studi genetika molekuler pada tahun-tahun mendatang (Bowen and Karl, 1997). Perkembangan teknik biologi molekuler telah menyediakan alat untuk melakukan bebagai studi mengenai genetika populasi penyu laut secara umum, sehingga tersedia berbagai data yang sangat penting untuk melakukan berbagai kegiatan konservasi (FitzSimmon et al., 1999).

Teknik molekuler dalam populasi penyu laut

Untuk survei di pantai peneluran, mitochondrial DNA (mtDNA) terbukti efektif

untuk mendeteksi struktur populasi pada penyu laut. Teknik yang digunakan

dalam metode mtDNA diantaranya adalah Restriction Fragment Length

Polymorphism (RLFP) dan penentuan segmen mtDNA melalui teknik Polymerase

Chain Reaction (PCR). Teknik mtDNA RLFP adalah suatu teknik yang

didasarkan atas pemecahan fragmen DNA dengan menggunakan enzim restriction

endonuklease sehingga dihasilkan fragmen dengan panjang tertentu tergantung

dari lokasi pemotongan. Panjang fragmen diketahui dengan menggunakan teknik

elektroforesis. Teknik ini sangat sensitif dan terbatas pada fragmen yang kurang

dari 300 bp (base pair) (Norman et al., 1990). Kesimpulan umum yang diperoleh

dari survei selama ini adalah bahwa penyu laut betina umumnya akan kembali ke

tempat dimana mereka ditetaskan (natal homing), yang mencakup beberapa

habitat peneluran yang berada di sekitarnya yang bisa berjarak 100-400 km

(Norman et al., 1990; Bowen and Avise, 1996 dalam FitzSimmon et al., 1999).

(21)

81

Molekul mtDNA diwariskan secara maternal, yang berarti jantan yang ditetaskan akan membawa mtDNA induk betinanya akan tetapi tidak mewariskan kepada generasi berikutnya dari jantan tersebut. Penanda genetik yang diwariskan dari induk betina menyediakan suatu gambaran mengenai perilaku reproduksi betina akan menentukan keberlangsungan jenis (Bowen and Avise, 1996 dalam FitzSimmon et al., 1999). Studi tentang variasi nuclear DNA (nDNA) sangat diharapkan untuk dapat melengkapi studi mtDNA dan untuk menyediakan pemahaman yang lengkap mengenai struktur genetik dari populasi (FitzSimmon et al., 1999).

Nuclear DNA (nDNA) diwariskan dari kedua orang tua. Studi dengan nDNA menyediakan informasi tentang gene flow (aliran gen) diantara populasi yang dipengaruhi oleh jantan dan betina. Studi populasi dengan nDNA umumnya menggunakan segmen dari genom yang tidak mengkode protein tertentu, bagian ini bermutasi lebih cepat dan menghasilkan sensitivitas yang lebih tinggi. Bagian dari nDNA dalam studi genetika populasi adalah anonymous single copy nuclear DNA (ascnDNA), minisatellite, dan microsatellite. Teknik minisatellite dan microsatellite dikenal sebagai DNA fingerprinting dan umumnya digunakan untuk menentukan garis keturunan dan kemungkinan kontribusi lebih dari satu jantan (multiple paternity) pada satu sarang penyu (FitzSimmon et al., 1999).

Struktur populasi Penyu Hijau

Penyu laut merupakan flagship spesies dimana hampir seluruh hidupnya dihabiskan di laut dan mempunyai kemampuan bermigrasi hingga ribuan kilometer dari habitat penelurannya hingga habitat pakannya. Studi tagging menyatakan bahwa penyu laut betina memperlihatkan perilaku kembali bertelur ke tempat dimana dia ditetaskan (natal homing) atau lebih dikenal dengan philopatry. Menurut Bowen and Karl (1997) perilaku phylopatry ini juga dimiliki oleh penyu jantan, dimana dari studi mtDNA diketahui bahwa penyu laut jantan juga mempunyai perilaku cenderung kembali di daerah perkawinannya (mating area).

Analisis mtDNA sangat berguna untuk menelusuri pertukaran genetik yang

dimediasi oleh betina. Pewarisan sifat secara maternal ini juga dapat memberikan

(22)

82

gambaran mengenai perbedaan genetik diantara populasi. Pengetahuan mengenai migrasi betina yang diperoleh dari analisis mtDNA sangat cocok diterapkan dalam kegiatan konservasi mengingat betina bertanggungjawab terhadap terjadinya kolonisasi dari suatu habitat peneluran. Untuk penyu laut, variasi yang tinggi pada keberhasilan reproduksi diantara betina, akan meningkatkan keragaman diantara populasi dan meningkatkan kegunaan mtDNA sebagai penanda genetik (Moritz et al., 2002).

Studi mengenai karakteristik habitat peneluran dan habitat pakan Penyu Hijau di Asia Tenggara dan wilayah Pasifik Barat, telah dilakukan oleh Moritz et al., (2002) dan berhasil mengidentifikasi 25 haplotipe Penyu Hijau sepanjang 384 bp dan mengelompokkan ke dalam 17 populasi Penyu Hijau yang berbeda secara genetik dari 27 lokasi peneluran, dan masing-masing dikelompokkan ke dalam

“Management Units” (Unit Managemen) atau “Stock” tersendiri (Lampiran 1).

Penggunaan istilah unit manajemen menunjuk pada suatu wilayah geografis yang memiliki habitat peneluran yang saling terkait. Individu dari masing-masing populasi ini akan mendiami daerah geografis yang lebih luas selama masa perkembangan dan migrasinya diantara peneluran dan daerah pakan. Data yang diperoleh untuk menentukan suatu area pengelolaan dalam unit pengelolaan didapat dari kombinasi antara data temuan tag, satellite tracking dan analisis genetik dari populasi di habitat bertelur atau pakan (Moritz et al., 2002).

So ada yang tertarik dengan genetik penyu ini, lets join with us!!

diposkan oleh baby turtle di 19:19 0 komentar

u, 01 november 2009

Reproductive Behaviour

Musim peneluran penyu hijau di suatu tempat berbeda dengan di

tempat lain. Di Indonesia musim peneluran penyu Hijau berlangung sepanjang

tahun dengan puncak musim yang berbeda di setiap daerah. Interval bertelur

penyu Hijau berkisar antara 12 – 15 hari dan sebagian besar penyu Hijau bertelur

antara 3 – 7 kali dalam setiap musim peneluran (Helmstetter, 2005). Hasil

(23)

83

penelitian Nuitja (1983) menunjukkan bahwa penyu Hijau yang bertelur di pantai Pangumbahan mempunyai interval antara 3 – 16 hari.

Induk penyu tidak selalu kembali untuk bertelur pada tahun berikutnya.

Setelah beberapa bulan musim peneluran induk penyu akan kembali ke daerah pakan dan mulai mempersiapkan musim kawin selanjutnya. Durasi waktu antara musim reproduksi dengan musim reproduksi selanjutnya didefinisikan sebagai interval remigrasi. Menurut Limpus (1985) rata-rata interval remigrasi induk penyu bervariasi dari tiap spesies. Induk penyu Hijau akan kembali untuk bertelur setelah 1 hingga 9 tahun dan bahkan lebih lama lagi (Limpus et al., 1984b, Limpus 1995a). Di Florida induk penyu Hijau akan kembali bertelur antara 2, 3, atau 4 tahun berikutnya (National Marine Fisheries Service, 1998). Begitu juga di Hawaii, induk penyu Hijau kembali lagi ke pantai untuk meletakkan telurnya setelah 2 hingga 4 tahun (Hirth, 1962). Sampai saat ini belum ada penjelasan apakah pejantan dan betina penyu Hijau menggunakan skala waktu yang sama untuk bereproduksi.

Penyu pada umumnya bertelur di pantai pada petang hari atau dalam keadaan gelap. Proses peneluran penyu berlangsung pada pukul 18:00-06:00 hari berikutnya (Nuitja, 1983). Lama proses peneluran berkisar antara 1- 3 jam. Ada kalanya penyu menuju ke pantai tidak untuk bertelur akan tetapi hanya mensurvei tempat sebelum induk penyu meletakkan telurnya, kondisi ini disebut non-nesting emergence (memeti).

Menurut Miller (1997) aktivitas ketika penyu bertelur meliputi;

1. Saat Muncul Dari Laut (Emergence)

Suatu keadaan ketika penyu baru saja muncul dari laut dan melihat kondisi pantai apakah tempat tersebut aman sebagai tempat bertelur.

2. Merangkak Menuju Pantai (Crawling)

Setelah kondisi lingkungan dirasa aman untuk bertelur, penyu bergerak menuju pantai untuk mencari tempat yang sesuai untuk bertelur.

3. Menggali Lubang Badan (Digging Body Pit)

Ketika penyu telah menemukan tempat yang sesuai untuk

(24)

84

bertelur maka penyu akan membersihkan tempat tersebut dan membuat lubang badan.

4. Menggali Lubang Telur (Digging eggs chamber)

Setelah selesai membuat lubang badan, induk penyu akan menggali lubang telur untuk meletakkan telurnya.

5. Bertelur (Laying egg).

Induk penyu akan meletakkan telurnya pada lubang telur tersebut. Dalam satu kali oviposisi induk telur akan mengeluarkan dua hingga tiga butir telur.

6. Menutup Lubang Telur (Covering eggs chamber)

Selesai meletakkan telurnya, induk penyu akan langsung menutup lubang telur tersebut.

7. Menutup Lubang Badan (Covering body pit)

Setelah selesai menutup lubang telur induk penyu akan melanjutkannya dengan menutup lubang badan agar nampak seperti semula.

8. Penyamaran Sarang (Camuflase)

Untuk menghindari sarang penyu dari gangguan predator, induk penyu akan menyamarkan sarangnya.

9. Kembali Ke Pantai (Back to the sea)

Setelah selesai bertelur, induk penyu akan meninggalkan sarangnya dan kembali ke laut.

Pada kondisi emergence, crawling, digging body pit dan digging eggs chamber, induk penyu sangat sensitif terhadap kondisi sekeliling sehingga pada kondisi ini harus dihindari aktifitas yang dapat menyebabkan induk penyu mengurungkan niatnya untuk bertelur. Setelah induk penyu meletakkan telurnya yang pertama (laying eggs), induk penyu tidak akan menghiraukan gangguan yang ada, pada kondisi ini pengukuran panjang dan lebar karapas dapat dilakukan.

Untuk lebih meningkatkan keberhasilan penetasan semi alami, ada

beberapa faktor yang erat kaitannya dengan keberhasilan tersebut perlu mendapat

perhatian, yaitu: difusi gas, kelembaban, temperatur sarang dan faktor biotik

(Miller, 1999).

(25)

85

LAMPIRAN 16 : DAUR HIDUP PENYU

Referensi

Dokumen terkait

• TALAS MENGANDUNG ASAM OKSALAT(RASA GATAL) DAN AKAN MEMPENGARUHI PENYERAPAN KALSIUM DALAM SALURAN PENCERNAAN, YAITU MEMBENTUK IKATAN KALSIUM YANG TIDAK DAPAT LARUT DALAM

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan variabel kepemimpinan dan kompensasi berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja pegawai Lembaga Penjaminan Mutu

Simpulan penelitian yang diperoleh adalah menunjukkan, Rata-rata pengetahuan santri terhadap pencegahan penyakit scabies sebelum penyuluhan adalah 11,26 sedangkan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Astuti et.al, (2008) tentang hubungan perilaku vulva hygiene dengan kejadian keputihan pada remaja putri kelas X di SMU Negeri

Tema untuk Persidangan Perwakilan Nasional ke-47 Parti Gerakan Rakyat Malaysia menandakan keazaman Gerakan untuk fikir semula, berbangkit dan bermula semula dalam sebuah

2011 Nama Desa Villag es Luas Panen Harvested Area (Ha) Produksi Production (Ton) Rata-rata Produksi Average of Production (Kw/Ha) (1) (2) (3) (4) 1..

Apabila imej terhadap pajak adalah negatif maka upaya menghidupkan kesadaran membayar pajak menjadi semakin sulit dan akan terperangkap dalam dunia hukum yang semakin

Dalam penelitian tindakan yang dilakukan, paling tidak ada beberapa hal yang menjadi kelemahan yang memungkinkan perlu adanya penelitian berikutnya, diantaranya