• Tidak ada hasil yang ditemukan

(The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25 of 2007 regarding the Investment)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "(The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25 of 2007 regarding the Investment)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

KANUN No. 51 Edisi Agustus 2010 395

DESENTRALISASI PENYELENGGARA PENANAMAN MODAL (SUATU TINJAUAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN

2007 TENTANG PENANAMAN MODAL)

(The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25 of 2007 regarding the Investment)

Oleh : Muhammad Insa Ansari*)

ABSTRACT

Kata Kunci : Desentralisasi, Penananaman Modal

Penananaman modal mempunyai arti penting dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa. Penanaman modal yang mudah dan murah merupakan idaman dan kebutuhan yang diidamkan oleh penanam modal.

Dalam perjalanannya, penyelenggara penanaman modal di Indonesia dapat dilihat dan dibedakan pada sentralisasi penyelenggara penanaman modal dan desentralisasi penanaman modal. Sesuai dengan semangat reformasi, yaitu kehadiran otonomi daerah, dimana pemerintah daerah diberikan kewajiban dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan masyarakat dan pembangunan di wilayahnya. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang lahir pada era reformasi, seyogyanya memuat materi yang sesuai dengan semangat reformasi. Untuk itu dalam tulisan ini akan menelaah konsepsi desentralisasi penyelenggara penanaman modal dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

A. PENDAHULUAN

Pembangunan ekonomi yang diselenggarakan oleh suatu negara bangsa dewasa ini harus dilihat sebagai upaya terencana, terprogram,

*) Muhammad Insa Ansari, S.H., M.H., adalah Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

(2)

sistematik, dan berkelanjutan dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup seluruh warga masyarakat.1 Penanaman modal2 mempunyai arti yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi nasional sebagaimana tujuan yang hendak dicapai melalui Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penananaman Modal.3 Pelaksanaan pembangunan seperti diketahui memerlukan modal dalam jumlah yang cukup besar dan tersedia pada waktu yang tepat.4

Di dalam konsideran Menimbang huruf c Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penananaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724), selanjutnya disingkat UUPM disebutkan:

“Untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.”

1 Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi, dan Strateginya, Ed.

2, Cet. 4, Jakarta, Penerbit Bumi Aksara, 2005, hlm. 77

2 Pasal 1 angka 1 UUPM merumuskan: “Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.”

3 Adang Abdullah, Tinjauan Hukum atas UU Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007:

Sebuah Catatan, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 26 – Nomor 4, Jakarta, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis Indonesia, hlm.5

4 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2004, hal 1.

(3)

KANUN No. 51 Edisi Agustus 2010 397

Arti penting penanaman modal5 juga terdapat pada bagian umum penjelasan atas UUPM, dimana secara tegas disebutkan bahwa penanaman modal merupakan salah satu bagian dari penyelenggaraan ekonomi nasional.

Dimana pada bagian umum penjelasan atas UUPM disebutkan:

“…..penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.”

Konsideran menimbang huruf c dan bagian umum penjelasan atas UUPM menunjukan dan mengambarkan arti penting penanaman modal dalam perekonomian nasional.

Penanaman modal sebagai salah satu pilar dalam pembangunan ekonomi harus dilaksanakan sesuai dengan semangat reformasi. Otonomi daerah merupakan sebagai salah satu agenda penting yang perlu dilansir oleh

5 Berdasarkan pengertian Penanaman Modal sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPM, maka penanaman modal dapat dibedakan atas Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing. Pasal 1 angka 2 UUPM merumuskan: “Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri”. Sementara Penanaman Modal Asing menurut Pasal 1 angka 3 UUPM dirumuskan: “Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.”

(4)

Pemerintah pasca Orde Baru.6 Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.7

Salah satu konsepsi dari otonomi daerah adalah adanya desentralisasi.8 Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi didefinisikan adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Prof. H.A.W. Wijaya tujuan yang hendak dicapai dalam penyerahan urusan ini adalah antara lain;

menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah, dan

6 H.A.W. Wijaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT RajaGrafindo Persada, 2004, Jakarta, hlm. 74

7 Ibid, hlm. 76

8 Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, dimana dirumuskan desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya, dan bandingkan rumusan desentralisasi dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dirumuskan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(5)

KANUN No. 51 Edisi Agustus 2010 399

meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan.9 Menurut pandangan Mudrajad Kuncoro salah satu tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya, sehingga pemerintah dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif.10 Sistem desentralisasi tetap diterapkan untuk memudahkan koordinasi kekuasaan dan Pemerintah, disamping untuk lebih mengakomodasi keberagaman wilayah Indonesia.11

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, merumuskan pengertian tentang otonomi daerah. Dimana dalam Pasal 1 angka 11 disebutkan: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan pengertian yang terdapat dalam Pasal 1 angka 8 UUPM, bahwa pengertian Otonomi Daerah setidak-tidaknya mencakup 3 (tiga) hal penting. Pertama, Hak, Wewenang dan Kewajiban Daerah Otonom. Kedua, mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

9 H.A.W. Wijaya, Loc. Cit, hlm. 76

10 Mudrajad Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2004, hlm. 25

11 Tjip Ismail, Implementasi Otonomi Daerah Terhadap Paradigma Pajak Daerah di Indonesia, Ringkasan Desertasi, Program Doktor Pascasarjana FHUI, Jakarta, 2005, hlm.3

(6)

masyakat setempat. Ketiga, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Otonomi pada prinsipnya memang berusaha mendorong potensi daerah agar berkembang menurut preferensi daerah itu sendiri sesuai aspirasi masyarakatnya yang terus berkembang, karena hanya orang daerahlah yang mengetahui persoalan, potensi, dan preferensi masyarakatnya dalam membawa ke arah mana pembangunan dilaksanakan. Selain itu, keberagaman yang ada di bumi pertiwi membuat konsep pembangunan yang sentralistik tidak lagi memiliki pijakan. Keberagaman berbagai daerah dengan sendirinya akan mengarah pada spesialisasi masing-masing daerah sesuai dengan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan letak geografis dalam meningkatkan kemakmuran.12

Tulisan ini bermaksud menelaah konsepsi desentralisasi penanaman modal baik secara umum sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah maupun secara khusus konsepsi desentralisasi penanaman modal dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

12 Faisal H. Basri, Prospek Investasi di Era Otonomi Daerah, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, Nomor 5 Tahun 2003, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, hlm.

6

(7)

KANUN No. 51 Edisi Agustus 2010 401

B. DESENTRALISASI PENANAMAN MODAL DALAM UNDANG-UNDANG PEMERINTAH DAERAH

Desentralisasi penanaman modal dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah disini dibatasi pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini perlu disebutkan, karena ketika penyebutan Undang-Undang Pemerintah Daerah, maka secara sekilas asumsi yang muncul adalah semua peraturan perundang-undangan pemerintah daerah yang pernah berlaku di Indonesia.

Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang, sistem desentralisasi tetap diterapkan untuk memudahkan koordinasi kekuasaan dan Pemerintah, disamping untuk lebih mengakomodasi keberagaman wilayah Indonesia.

Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi tahun 1999 adalah, disatu pihak, membebaskan Pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan untuk mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya. Pada saat yang sama, Pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Dilain pihak, dengan desentralisasi kewenangan Pemerintah

(8)

ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan.13

Dengan diberlakukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, maka ada sejumlah kewenangan yang telah diserahkan kepada daerah. Dimana berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang Pemerintah, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.14

Meskipun Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, namun masalah penanaman modal tetap berada dalam kewenangan Pemerintah Daerah. Undang-undang Nomor 32

13 M. Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depan (dalam buku:

Desentralisasi & Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintah Daerah), LIPI Press, Jakarta, 2005, hlm. 8

14 Muhammad Insa Ansari, Persetujuan dan Perizinan Penyelenggara Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri (Kajian Atas Keppres Nomor 29 Tahun 2004), Tesis, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 6

(9)

KANUN No. 51 Edisi Agustus 2010 403

Tahun 2004 secara tegas menyatakan bahwa kewenangan Pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional dan agama.15 Kewenangan pemerintahan provinsi adalah memberikan pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota16 dan kewenangan Pemerintah kabupaten/kota adalah memberikan pelayanan administrasi penanaman modal.17

C. DESENTRALISASI PENANAMAN MODAL DALAM UUPM UUPM yang dimaksudkan pada bagian ini adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Hal ini perlu disebutkan, karena ketika penyebutan UUPM maka sangat sulit dipisahkan dengan Undang-Undang Penanaman Modal yang pernah berlaku, yaitu Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 dan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970.

15 Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

16 Pasal 13 ayat (1) huruf n Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

17 Pasal 14 ayat (1) huruf n Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

(10)

Setelah dilakukan penelaahan secara yuridis normatif, bahwa di dalam UUPM tidak ditemukan nomenklatur desentralisasi, tetapi dalam UUPM hanya ditemukan nomenklatur otonomi daerah. Penelusuran terhadap nomenklatur otonomi daerah dalam UUPM, ditemukan pengertian otonomi daerah, koordinasi dengan semangat otonomi daerah, dan otonomi seluas- luasnya untuk mengatur dan mengurus urusan penyelenggara penanaman modal. Konsepsi otonomi daerah tersebut dalam UUPM dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Pengertian Otonomi Daerah

Dalam UUPM dirumuskan pengertian otonomi daerah, dimana dalam Pasal 1 angka 11 UUPM disebutkan sebagai berikut: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan pengertian sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 11 UUPM, maka otonomi daerah setidak-tidaknya mempunyai 3 (tiga) unsur utama di dalamnya. Pertama, hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom. Kedua, mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

(11)

KANUN No. 51 Edisi Agustus 2010 405

kepentingan masyarakat setempat. Ketiga, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

2. Koordinasi dengan Semangat Otonomi Daerah

Dalam penjelasan atas UUPM pada bagian umum ada kutipan tentang koordinasi dengan semangat otonomi daerah, dimana lengkapnya disebutkan:

“… Undang-Undang ini memerintahkan agar Pemerintah meningkatkan koordinasi antar instansi Pemerintah, antar instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, dan antar instansi Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Koordinasi dengan pemerintah daerah harus sejalan dengan semangat otonomi daerah. Pemerintah daerah bersama-sama dengan instansi atau lembaga, baik swasta maupun Pemerintah, harus lebih diberdayakan lagi, baik dalam pengembangan peluang potensi daerah maupun dalam koordinasi promosi dan pelayanan penanaman modal.”

Sebelumnya di dalam Pasal 27 ayat (1) UUPM disebutkan bahwa Pemerintah mengkoordinasikan kebijakan penanaman modal, hal ini dapat dilihat: “Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antar instansi Pemerintah, antar instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antar instansi Pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antar pemerintah daerah.”

Untuk melakukan koordinasi diberikan kewenangan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Hal ini secara tegas disebutkan

(12)

Pasal 27 ayat (2) UUPM. Dimana dinyatakan: “Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal.”

Selain melakukan koordinasi, BKPM memiliki sejumlah tugas dan fungsi berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UUPM. Dimana tugas dan fungsinya adalah:

Dalam rangka koordinasi pelaksanaan kebijakan dan pelayanan penanaman modal, Badan Koordinasi Penanaman Modal mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut : a. melaksanakan tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang penanaman

modal;

b. mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal;

c. menetapkan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan pelayanan penanaman modal;

d. mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha;

e. membuat peta penanaman modal Indonesia;

f. mempromosikan penanaman modal;

g. mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal;

h. membantu penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal;

i. mengoordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya di luar wilayah Indonesia; dan

j. mengoordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu.

3. Otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus urusan penyelenggaraan Penanaman Modal

(13)

KANUN No. 51 Edisi Agustus 2010 407

Dalam penjelasan atas UUPM pada bagian umum lainnya ditemukan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus urusan penyelenggaraan Penanaman Modal, dimana disebutkan:

“Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan penyelenggaraan penanaman modal berdasarkan asas otonomi daerah dan tugas pembantuan atau dekonsentrasi. Oleh karena itu, peningkatan koordinasi kelembagaan tersebut harus dapat diukur dari kecepatan pemberian perizinan dan fasilitas penanaman modal dengan biaya yang berdaya saing.”

Meskipun nomenklatur desentralisasi tidak terdapat dalam UUPM, namun pada Bab XIII tentang Penyelenggaraan Urusan Penanaman Modal, UUPM mengatur kewajiban dan kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penanaman modal.

Berdasarkan penelaahan yang telah dilakukan, dimana ditemukan sejumlah kewajiban dan kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penanaman modal. Dimana kewajiban dan kewenangan yang ada masing-masing adalah sebagai berikut:

1. Kewajiban dan Kewenangan Pemerintah

Kewajiban pemerintah dalam penanaman modal berdasarkan UUPM adalah menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksana penanaman modal. Hal ini sebagaimana tertuang pada Pasal 30 ayat (1) UUPM, dimana disebutkan: “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal.”

(14)

Semua kewenangan berkaitan dengan penanaman modal berada di tangan pemerintah. Hal ini tercermin pada Pasal 30 ayat (2) UUPM yang menyebutkan: “Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi urusan pemerintah.”

Penegasan kewenangan pemerintah lebih lanjut adalah sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat (7) UUPM, dimana disebutkan:

“Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal, yang menjadi kewenangan pemerintah adalah :

a. penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi;

b. penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;

c. penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antarwilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;

d. penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional;

e. penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah Negara lain; dan

f. bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut undang-undang.”

Kewenangan pemerintah berkaitan dengan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi. Hal ini tertuang dalam Pasal 30 ayat (4) UUPM, dimana disebutkan: “Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi menjadi urusan Pemerintah.”

2. Kewajiban dan Kewenangan Pemerintah Provinsi

Kewajiban pemerintah provinsi dalam penanaman modal berdasarkan UUPM adalah menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksana penanaman modal. Hal ini sebagaimana tertuang pada Pasal 30

(15)

KANUN No. 51 Edisi Agustus 2010 409

ayat (1) UUPM, dimana disebutkan: “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal.”

Disamping itu kewajiban pemerintah daerah secara umum terdapat pada Pasal 30 ayat (3) UUPM, dimana disebutkan: “Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal.”

Adapun kewenangan pemerintah provinsi berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (5) UUPM adalah: “Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi.”

3. Kewajiban dan Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota

Kewajiban Pemerintah dalam Penanaman Modal berdasarkan UUPM adalah menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksana penanaman modal. Hal ini sebagaimana tertuang pada Pasal 30 ayat (1) UUPM, dimana disebutkan: “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal.”

Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penananam modal adalah pada penyelenggaraan penanaman modal yang lingkupnya berada dalam kabupaten/kota. Hal ini secara tegas tertuang pada Pasal 30 ayat (6) UUPM, dimana dinyatakan: “Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota.”

(16)

D. ANALISIS YURIDIS TERHADAP DESENTRALISASI PENANAMAN MODAL DALAM UUPM

Setelah dilakukan kajian secara yuridis normatif atas UUPM berkaitan dengan desentralisasi18 penanaman modal, maka ada beberapa analisis menarik berkaitan dengan desentralisasi penanaman modal dalam UUPM, diantaranya adalah: Pertama, meskipun nomenklatur desentralisasi tidak terdapat dalam UUPM, namun dalam UUPM terdapat 1 (satu) bab yang mengatur penyelenggaraan penanaman modal, dimana diatur secara tegas kewajiban dan kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota.

Kedua, kewajiban bagi pemerintah daerah untuk menjamin dan keamanan berusaha bagi pelaksana penanaman modal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 ayat (1) UUPM merupakan sesuatu yang sangat memberatkan, karena Pemerintah daerah tidak memiliki aparat pengamanan.

Kewajiban memberikan keamanan merupakan suatu yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, karena Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004secara tegas menyatakan bahwa kewenangan pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.

Ketiga, Pemerintah pusat memiliki kewenangan yang sangat luas dalam penanaman modal. Kewenangan pemerintah pusat berdasarkan UUPM

18 Pengertian desentralisasi yang dimaksud di sini perlu disinkronisasi dengan pengertian desentralisasi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam UU tersebut dirumuskan: “desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”

(17)

KANUN No. 51 Edisi Agustus 2010 411

adalah: a). penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi, bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional, penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi, penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional, penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah negara lain; dan bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut undang-undang.

Keempat, Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota mempunyai kewenangan yang sangat terbatas dalam UUPM. Dimana kewenangan pemerintah provinsi adalah penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota saja dan kewenangan pemerintah kabupaten/kota adalah penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota..

E. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bagian-bagian sebelumnya, maka ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik berkaitan dengan desentralisasi penanaman modal dalam UUPM, diantaranya adalah: Pertama, bahwa dalam UUPM tidak terdapat nomenklatur tentang desentralisasi. Kedua, berkaitan dengan kewajiban dan kewenangan pemerintah mendapat pengaturan secara jelas dan tegas dalam UUPM. Ketiga, berkaitan dengan kewajiban pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota mendapat pengaturan secara jelas

(18)

dan tegas dalam UUPM, sementara kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam UUPM pengaturannya tidak sesuai dengan semangan reformasi, dimana sebagian besar kewenangan berada di tangan pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aminuddin Ilmar (2004), Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Kencana, Jakarta.

H.A.W. Wijaya (2004), Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Mudrajad Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Penerbit Erlangga, Jakarta

Sondang P. Siagian (2005), Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi, dan Strateginya, Ed.2, Cet.4, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta

Syamsuddin Haris (ed) (2005), Desentralisasi dan Otonomi Daerah : Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintah Daerah, LIPI Press, Jakarta

Jurnal / Penelitian

Adang Abdullah (2007), Tinjauan Hukum Atas UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007: Sebuah Catatan, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 26 – Nomor 4, Jakarta

Faisal H. Basri (2002), Prospek Investasi di Era Otonomi Daerah, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 22 – Nomor 5, Jakarta

(19)

KANUN No. 51 Edisi Agustus 2010 413

Muhammad Insa Ansari (2005), Persetujuan dan Perizinan Penyelenggara Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri (Kajian Atas Keppres Nomor 29 Tahun 2004), Tesis, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta

Tjip Ismail (2005), Implementasi Otonomi Daerah Terhadap Paradigma Pajak Daerah di Indonesia, Ringkasan Desertasi, Program Doktor Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penananaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724)

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam bab ini terdapat uraian tentang latar belakang penelitian yakni sesuatu yang melatar belakangi penulis untuk melakukan penelitian me ngenai “Pengaruh Citra

The purpose of the research based on the formulation of the problems that occur is to determine the feasibility analysis of investment in the distribution network

Impact of foreign direct investment on economic growth: A case study of Pakistan. The foreign direct investment–economic growth

Bilamana dikatakan keturunan Fatima binti Muhammad, maka maksudnya bukanlah dia (perempuan) keturunan Muhammad Rasulullah (sholawat dan salam kepadanya), tetapi keturunan

Untuk mengkaji permasalahan mengenai Dampak Napoleonic Wars Terhadap Pembentukan Konfederasi Jerman Tahun 1815, peneliti menggunakan beberapa metodologi

1) calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi yang memperoleh predikat Tidak Lulus yang dilarang menjadi PSP atau memiliki saham pada industri perbankan

Bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah Batu Karang Zaman (cf. Dia adalah Allah yang menjadi tempat perlin- dungan sejati bagi jiwa manusia. Dalam bait kedua lagu itu ia

Dalam mengabulkan Putusan poligami tersebut, Hakim tclah sesuai dengan prosedur Undang-Undang yang berlaku, Akan tetapi dalam isi putusan tersebut, Hakim tidak