• Tidak ada hasil yang ditemukan

PKB III PROGRAM STUDI SPESIALIS Ilmu Penyakit Paru 2019 Management of COPD: Focus on high dose N-acetylcysteine I Gede Ketut Sajinadiyasa Program Stud

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PKB III PROGRAM STUDI SPESIALIS Ilmu Penyakit Paru 2019 Management of COPD: Focus on high dose N-acetylcysteine I Gede Ketut Sajinadiyasa Program Stud"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Management of COPD: Focus on high dose N-acetylcysteine I Gede Ketut Sajinadiyasa

Program Studi Spesialis Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Karakteristik perubahan patologis pada paru-paru pasien penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) disebabkan oleh peradangan dimana stress oksidan yang berlebihan dan ketidakseimbangan protease memainkan peranan yang sangat penting. Stress oksidatif berimplikasi pada patogenesis dan progresivitas PPOK. Reactive oxygen species (ROS) dari asap rokok dan produksi endogen oleh sel inflamasi meningkatkan beban oksigen intrapulmonal. Respon inflamasi pada PPOK didominasi oleh makrofag, limfosit T CD8, neutrofil, serta sebagian kecil sel mast di saluran napas. Penghentian pembentukan stress oksidatif dapat mengurangi kerusakan paru dan menurunkan infeksi lokal, diharapkan dapat memberikan kontribusi terhentinya progresi PPOK. Dengan berkembangnya pengetahuan mengenai patofisiologi dan patogenesis PPOK maka pilihan terapi yang lebih baik banyak diteliti untuk mengambat progresivitas penyakit ini. Terapi yang diharapkan adalah terapi yang dapat meningkatkan fungsi paru, klirens mukus, mengatasi sesak, eksaserbasi, serta meningkatkan kualitas hidup. N-acetylcysteine (NAC) memiliki potensi untuk mengintervensi proses yang mendasari patogenesis PPOKdan tingkat oksidan pernapasan menurun setelah pemberian NAC. Sifat antioksidan dan mukolitik NAC memiliki potensi untuk menjadi terapi tambahan yang berguna dalam tatalaksana PPOK. Untuk mencapai manfaat dalam hal pencegahan dari eksaserbasi PPOK atau mungkin peningkatan fungsi pernapasan dan perbaikan gejala, NAC dosis tinggi (rata-rata 1200 mg/hari) harus diberikan untuk jangka waktu yang lama.

(7)

Pendahuluan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) saat ini merupakan penyebab kematian nomor empat di dunia, dan diproyeksikan akan menjadi penyebab kematian nomor 3 pada tahun 2020. Lebih dari 3 juta orang meninggal akibat PPOK pada tahun 2012, yang merupakan 6% dari semua kematian secara global. PPOK adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas kronis di seluruh dunia; banyak orang menderita penyakit ini selama bertahun-tahun, dan meninggal lebih cepat karena penyakit ini maupun komplikasinya. Secara global, beban PPOK diproyeksikan akan meningkat beberapa dekade mendatang karena paparan terus-menerus terhadap faktor risiko PPOK dan penuaan populasi.1

Definisi kerja PPOK yang diterima secara universal berasal dari Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum,dapat dicegah dan diobati, yang ditandai dengan gejala respirasi yang menetap dan hambatan aliran udara yang disebabkan oleh kelainan saluran napas dan atau alveoli yang biasanya disebabkan oleh pajanan signifikan terhadap partikel noksa atau gas yang berbahaya. Periode perburukan dari gejala PPOK yang dikenal dengan istilah eksaserbasi sangat mempengaruhi kualitas hidup dan kesehatan pasien. Eksaserbasi membutuhkan konsultasi pada unit pelayanan primer hingga tersier, meningkatkan rawat inap, serta dapat menyebabkan kematian.1,2

Karakteristik perubahan patologis pada paru-paru pasien PPOK disebabkan oleh peradangan dimana stress oksidan yang berlebihan dan ketidakseimbangan protease memainkan peranan yang sangat penting. Stress oksidatif berimplikasi pada patogenesis dan progresivitas PPOK. Reactive oxygen species (ROS) dari asap rokok dan produksi endogen oleh sel inflamasi meningkatkan beban oksigen intrapulmonal. Stress oksidatif dapat mengakibatkan kerusakan struktur ireversibel serta merubah respon imun lokal. Hal ini dapat meningkatkan risiko infeksi dan eksaserbasi, serta

(8)

mempercepat penurunan fungsi paru. Respon antiinflamasi dimediasi oleh hambatan pada NF-kβ yang mengatur berbagai macam gen inflamasi. Berbagai macam oksidan, radikal bebas, dan agen lainnya terlibat dalam patogenesis PPOK, oleh sebab itu pemberian antioksidan tampaknya dapat menjadi terapi ajuvan yang rasional untuk pengobatan penyakit ini dan dalam hal ini pemberian N-acetylcysteine (NAC) oral terbukti efektif dalam menurunkan kadar biomarker oksidatif di darah tepi dan mengurangi tingkat eksaserbasi PPOK. Namun untuk memberikan efek pada paru diperlukan dosis yang cukup untuk meningkatkan kadarnya dalam epithelial lining fluid.2,3

Peranan stress oksidatif pada pathogenesis PPOK

PPOK merupakan suatu penyakit kronis, dengan berbagai perbedaan fenotip dan episode eksaserbasi, berdasar pada peradangan paru dan ekstrapulmoner, dan juga dengan peningkatan ROS. Oksidan telah lama diakui memiliki peran penting dalam patogenesis PPOK, karena selainmenimbulkan cedera langsung pada paru-paru, oksidan juga dapat mengaktivasi faktor-faktor transkripsi seperti NF-kβ dengan konsekuensi produksi protein-protein inflamasi dan kerusakan antiprotease.2

Senyawa oksidan merupakan radikal oksigen yang sangat reaktif, berasal dari reduksi oksigen molekuler dalam proses fisiologis maupun patologis, yang dapat menginduksi reaksi kimia siklus redoks dimana oksidan mengambil elektron dari senyawa lainnya dan mentransfernya ke molekul lain sehingga merangsang perubahan-perubahan struktural dan fungsionalnya. Pada proses biologis, senyawa radikal sejati yang terlibat terutama superoxide, hydroxyl, hydroperoxyl, nitrogen dioxide, dimana senyawa non radikal seperti ozon, oksigen singlet, dan hydrogen peroxide juga berperan penting dengan mengahsilkan radikal lainnya.2

(9)

Radikal bebas oksigen, memiliki penetrasi dan aktivitas seluler yang bervariasi, secara substansial dapat dibedakan menjadi eksogen dan endogen sesuai sumbernya. Polutan udara, baik gas dan partikulat, adalah sumber oksidan eksogen utama yang melalui pembentukan ROS, yang dapat mengatasi pertahanan antioksidan, bereaksi dengan DNA, lipid dan protein, sehingga menginduksiefek jangka pendek dan jangka panjang dengan mengaktifkan jalur pensinyalan,meningkatkan proses inflamasi dan degeneratif, dan merusak mekanisme perlindungan. Oksidan mungkin juga berasal dari siklus redoks obat atau racun, dan dalam kasus pajanan hiperoksia. Agen seperti bleomycin, alloxan, doxorubicin, dan parasetamol jugamampu menghasilkan anion superoksida dan radikal hidroksil.2,3

Di antara sumber oksidan eksogen, asap rokok menempati urutan teratas karena mengandung kadar radikal yang sangat tinggi per hembusan asapnya dan juga mampu mengaktivasi sel-sel radang untuk mengantarkan ROS. Faktanya, beban oksidan dalam saluran pernapasan bertambah karena peningkatan jumlah sel-sel inflamasi di situs ini, dan korelasi yang erat telah ditunjukkan antara merokok dengan produksi neutrofil, peningkatan sirkulasi, dan penyerapan dalam kapiler paru-paru. Setelah sekuestrasi, neutrofil tertarik secara kemotaktik ke saluran udara dan parenkim paru-paru di mana neutrofil dapat menghasilkan oksidan dan protease yang kuat. Makrofag juga diaktivasi oleh asap rokok untuk melepaskan mediator inflamasi dan ROS. Dengan demikian, merokok, kebiasaan yang sangat sering pada pasien PPOK, harus dianggap sebagai faktor penyebab utama stres oksidatif pada pasien. Selain menimbulkan cedera langsung ke paru-paru, radikal oksidan juga dapat merangsang atau memperburuk mekanisme penting lainnya seperti peradangan, ketidakseimbangan protease-antiprotease dan apoptosis. Peningkatan jumlah sel goblet pada pasien PPOK dapat mengakibatkan hipersekresi mukus, meningkatkan produksi sputum, hyperplasia sel goblet, dan hipertrofi kelenjar submukosa. Proses ini berkontribusi besar terhadap morbiditas dan mortalitas, khususnya kecenderungan

(10)

terjadi infeksi di saluran napas bawah. Hipersekresi mukus pada saluran napas besar maupun napas kecil berkorelasi dengan eksaserbasi, percepatan penurunan VEP1, infiltrasi sel inflamasi, dan menurunkan akses obat inhalasi menuju saluran napas perifer.2,8,10

Proses fisiologis dalam tubuh adalah sumber radikal bebas endogen dengan reduksi lengkap molekul oksigen menjadi air. Proses ini sangat penting untuk respirasi sel, karena rantai transpor elektron mitokondria berasal dari hidrogen peroksida. Senyawa toksik yang dihasilkan biasanya sepenuhnya seimbang dengan pertahanan antioksidan. Terlepas dari proses fisiologis ini, sumber ROS endogen yang kuat di paru-paru direpresentasikan oleh sel-sel inflamasi, seperti neutrofil dan eosinofil, dan oleh makrofag, sel epitel dan endotel, yang semuanya juga dapat diaktivasioleh inhalasi polutan eksogen, seperti partikel, sulfur dioksida dan nitro dioksida, untuk menghasilkan ROS, terutama anion superoksida dan hidrogen peroksida. Beberapa faktor transkripsi terlibat dalam proses inflamasi, seperti NF-kB dan aktivator protein-1(AP-1) diaktivasi oleh rangsangan oksidatif dan memediasi ekspresi sitokin dan agen biologis lainnya.2

Istilah "stres oksidatif", jelas dapat ditunjukkan pada perokok dan pasien PPOK, secara khusus berarti ketidakseimbangan antara beban oksidan di paru-paru dan jumlah antioksidan yang dibentuk, terutama disebabkan oleh merokok dan berpotensi membahayakan struktur dan fungsi paru-paru. Setelah terpajan racun dan asap rokok, epitel alveolar melepaskan agen kemotaksis untuk perekrutan sel-sel inflamasi yang kemudian menimbulkan kerusakan paru-paru. Matriks paru-paru (elastin, kolagen) dan permukaan epitel alveolar yang terpajan secara langsung terhadap polutan yang dihirup dapat rusak terutama ketika aktivitas protektif glutathione intra dan ekstraseluler dikalahkan oleh beban oksidan.2,3

(11)

Serangan oksidan terhadap asam lemak pada membran sel memicu proses peroksidasi lipid dengan pembentukan hidroperoksida dan senyawa tidak stabil lainnya yang dapat memperkuat reaksi. Senyawa tersebut meningkat pada perokok dan pada pasien PPOK dan memperjelas hubungan erat antara marker peradangan dan mekanisme oksidatif dalam patogenesis COPD.2

Selain itu, korelasi positif telah ditunjukkan antara nilai volume ekspirasi paksa dalam satu detik (VEP1) dan tingkat antioksidan dalam plasma, sedangkan penurunan antioksidan lebih sering terjadi pada pasien PPOK berat dengan eksaserbasi yang sering.2

Pertahanan antioksidan endogen dan eksogen

Perlindungan antioksidan dalam jaringan dan juga dalam saluran pernapasan terutama disediakan oleh glutathione (GSH), suatu thiol siklus redoks yang ada dalam cairan lapisan epitel, yang, dengan berubah dari bentuk tereduksi menjadi teroksidasi, memberikan efek antioksidan yang kuat dan kemudian dikonversi lagi ke bentuk tereduksi oleh enzim glutathione reductase. Aksi antioksidan dari glutathione juga berhubungan dengan beberapa aktivitas enzimatik, seperti aldehyde dehydrogenase dan superoxide dismutase, mampu menangkal reaksi oksidan dan inflamasi dari asap rokok. Di antara pertahanan endogen, juga terdapat faktor transkripsi terkait nuklireritroid 2 (Nrf2) yang, dengan adanya beban oksidan yang berlebihan, bertranslokasi dari sitoplasma ke nukleus untuk meningkatkan produksi gen antioksidan.2,3

Semua mekanisme antioksidan endogen ini dapat ditekan pada pasien PPOK, terutama pada perokok berat atau mantan perokok, dengan peningkatan stres oksidatif. Faktanya, kandungan GSH dalam sel alveolar terbukti berkurang setelah pajanan akut terhadap asap rokok pada percobaan hewan dan levelnya juga berkurang pada pasien

(12)

PPOK karena downregulasi enzim bio-sintetik glutathione yang isinya secara tidak langsung berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit pernapasan. Stres oksidatif juga dapat mengurangi aktivitas enzim histone deacetylase-2, sehingga meningkatkan transkripsi gen proinflamasi dan menginduksi resistensi kortikosteroid. Eksaserbasi PPOK lebih lanjut memperburuk situasi ini seperti yang ditunjukkan oleh penurunan tingkat GSH dalam cairan lavase bronkoalveolar selama episode akut dibandingkan dengan keadaan stabil.2

Mengenai suplai antioksidan eksogen, hasil dari banyak penelitian tidak selalu sesuai. Studi epidemiologis yang dilakukan bertahun-tahun yang lalu pada populasi umum menunjukkan peningkatan kecil tapi signifikan dalam fungsi pernapasan berkorelasi dengan asupan vitamin C dan kemungkinan kecil vitamin E. Hasil ini dikonfirmasi beberapa tahun kemudian dalam penelitian di Belanda, dimana asupan vitamin C dan beta-karoten dikaitkan dengan nilai fungsi pernapasan yang lebih baik. Namun, suplemen vitamin antioksidan tidak menghasilkan perbaikan gejala atau fungsi pernapasan pada hampir tiga puluh ribu pasien PPOK, sedangkan dalam penelitian lain peran protektif untuk vitamin C terhadap risiko penyakit saluran napas obstruktif telah ditunjukkan, mungkin karena aksi penangkal vitamin ini pada efek merokok. Bahkan asupan katekin yang tinggi, subkelas antioksidan flavonoid, dan buah-buahan padat terbukti memberikan efek menguntungkan terhadap COPD. Resveratrol adalah polifenol yang disintesis oleh beberapa spesies vegan yang menampilkan berbagai aktivitas biologis di antaranya sifat anti-inflamasi dan antioksidan.2

Sistem glutathione tereduksi merupakan pertahanan utama terhadap stres oksidatif dan dalam kasus konsumsi GSH yang berlebihan, restorasi tidak dapat dicapai hanya dengan pasokan makanan, dan suplementasi eksogen dengan donor kelompok tiol atau senyawa yang meningkatkan sintesis GSH mungkin diperlukan.

(13)

Dalam hal ini N-asetilsistein (NAC), suatu zat yang keampuhannya di masa lalu hampir secara eksklusif dikaitkan dengan sifat mukolitiknya, akhirnya telah terbukti mampu menangkal beban oksidan baik secara langsung oleh kelompok bebas tiolnya bertindak dalam lingkungan ekstraseluler, dan secara tidak langsung dengan menyediakan sistein intra-seluler untuk sintesis GSH.2

Gambar 1. Respon inflamasi dimediasi oleh oksidan inhalasi dan/atau seluler. Oksidan ini mengaktifkan sel makrofag alveolar, neutrofil, eosinofil, dan sel epitel, yang mengarah ke produksi ROS/RNS, ketidakseimbangan redoks, dan aktivasi faktor transkripsi peka-redoks. Mereka dapat bertindak sebagai mediator pensinyalan dan selanjutnya terlibat dalam respon inflamasi pada pasien dengan PPOK. Antioksidan menghambat stres oksidatif dengan menginduksi biosintesis GSH dan mengubah

(14)

status redoks. Ada kemungkinan bahwa pemberian terapi antioksidan akan efektif dalam pengobatan PPOK. ROS: spesies oksigen reaktif; RNS: spesies nitrogen reaktif.13

Efek mukolitik, antioksidan, dan antiinflamasi N-Acetylcysteine

Efek mukolitik pada NAC didapatkan dari kemampuannnya dalam merubah ikatan disulfida menjadi ikatan sulfihidril, proses yang dapat memecah mukus dan menurunkan viskositasnya. Efikasi NAC sebagai prekursor GSH dilakukan pada studi paru tikus. Asap rokok yang diinhalasi oleh tikus memiliki efek menurunkan kadar GSH pada saluran napas. Pemberian NAC bersamaan dengan asap rokok mencegah hilangnya GSH pulmonal dan menurunkan efek dari asap rokok. NAC dapat menghambat H2O2 dan aktivas NF-kβ dengan mengontrol ekspresi gen. Efek pemberian NAC 600 mg per hari peroral dapat meningkatkan konsentrasi limfosit pada paru tikus yang terpajan asap rokok. Di samping itu perbaikan dapat dilihat pada aktivitas alveolar makrofag dan peningkatan sekresi leukotriene B4. NAC menurunkan produksi oksidan radikal serta berbagai aktivitas marker inflamasi seperti eosinofilic cationic protein, lactoferin, dan anti-chimotripsin. NAC dapat menurunkan aktivitas elastase, memiliki efek modulasi terhadap gen dengan menghambat NF-kβ dan protein-1 aktivasi, juga menghambat vascular cell adhesion molecule1 pada sel endotel manusia. Ketika terinfeksi virus, produksi oksidan meningkat diikuti oleh mediator inflamasi yang bervariasi. Virus influenza meningkatkan produksi ROS pada sel epitel, NF-kβ, dan IL-8 dimana proses ini dihambat oleh NAC.9

Perlindungan yang diberikan oleh NAC terhadap oksidan telah diakui sejak beberapa dekade yang lalu, bahkan jika bioavailabilitasnya ketika diberikan secara oral

(15)

tidak sepenuhnya dijelaskan dan efek bermanfaat utama dari obat tersebut sebagai prekursor GSH baru diakui belakangan ini. N-asetilsistein ketika diberikan secara oral dideasetilasi menjadi sistein, dengan konsekuensi peningkatan konsentrasi glutathione yang berkurang dalam plasma dan saluran udara, sebagaimana ditunjukkan oleh peningkatan GSH dalam cairan lavase bonkoalveolar setelah pemberian NAC, dan dengan aktif mengambil glutathione dari plasma oleh paru-paru, yang merupakan tempat utama sintesis GSH bersama dengan hati. Sebuah penelitian yang dilakukan beberapa tahun kemudian mampu mengkonfirmasi peningkatan GSH dalam plasma pasien PPOK, namun tidak meningkat dalam cairan lavase bronkalveolar, setelah dosis NAC harian yang tinggi ketika diberikan dalam waktu singkat, dalam kasus ini hanya selama lima hari.2,4,5

Perlindungan epitel alveolar dari toksisitas oksigen oleh NAC telah ditunjukkan sejak lama baik secara in vitro dan in vivo dalam percobaan pada hewan. Kelompok tiol bebas NAC dapat berinteraksi dengan residu elektrofilik spesies oksigen reaktif dengan pembentukan senyawa-senyawa antara berikutnya seperti NAC disulfide. Pemberian L-sistein secara langsung terganggu oleh absosrpsi usus yang rendah dan metabolisme yang cepat di hati, sementara NAC, yang diserap dengan cepat setelah pemberian oral, memungkinkan untuk mengatasi gangguan ini dan untuk mengembalikan GSH intraseluler yang konsentrasinya diturunkan oleh stres oksidatif dan proses inflamasi. NAC eksogen mampu mengembalikan konten tiol intraseluler, sedangkan pemberian GSH tidak. Hanya peningkatan plasma terbatas pada GSH yang dicatat pada subyek sehat yang diberikan 600 mg NAC, menunjukkan penggunaan NAC per os yang jelas.2,4,5

Beberapa penelitian telah menunjukkan efek NAC tergantung dosis pada pasien PPOK, karena dosis biasa 600 mg sekali sehari tidak dapat meningkatkan GSH, namun peningkatan terjadi ketika NAC diberikan tiga kali sehari. Karena sifat

(16)

antioksidannya, NAC mampu mempertahankan pensinyalan dan transkripsi sel yang bergantung pada redoks, khususnya Nuclear Factor-kB (NF-kB), p38 MAPK dan lainnya, yang penting untuk regulasi gen proinflamasi. Efek NAC yang menguntungkan ini dapat diinduksi oleh dosis NAC rendah jika periode pemberian cukup lama, tetapi dapat lebih cepat dicapai dengan dosis harian NAC yang lebih tinggi yang diberikan secara jamgka panjang, yang kemungkinan memberikan kontrol yang lebih nyata pada aktivasi faktor inflamasi, seperti NF-kb, menunjukkan penggunaan NAC dosis tinggi per os yang bermanfaat.2

Belakangan ini, mekanisme kerja NAC yang baru telah ditunjukkan pada hewan coba yang terpajan asap rokok, mengenai efek positif NAC pada faktor transkripsi erythroid 2-related factor-2 (Nrf2) yang memiliki peran penting sebagai pengatur status redoks seluler, yang juga didapatkan menurun pada pasien PPOK.2

Suplementasi NAC dosis tinggi pada pasien PPOK

Berdasarkan fakta, dosis NAC yang lebih rendah tidak selalu menghasilkan hasil yang konsisten dan homogen, dan di samping itu NAC dependen-dosis telah ditunjukkan, beberapa penelitian dalam beberapa tahun terakhir berfokus pada efektivitas NAC dosis tinggi (1200 mg/hari) sebagai terapi tambahan pada regimen yang biasa pada PPOK, terutama dengan tujuan untuk mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi, dan mungkin memperbaiki pengobatan pasien.2

Untuk tujuan ini Zuin et al. meneliti keefektifan dan tolerabilitas NAC dosis tinggi selama eksaserbasi akut PPOK, dalam studi double-blind, double-dummy, terkontrol plasebo yang melibatkan 123 pasien. Pasien secara acak dikelompokkan menjadi: kelompok yang diberi NAC 1200 mg/hari selama 10 hari di samping terapi biasa (inhalasi kortikosteroid, teofilin, antikolinergik dan agonis adrenoreseptor beta-2); kelompok yang diberi NAC 600 mg/hari selama 10 hari selain terapi biasa; dan

(17)

kelompok yang diberi plasebo ditambah terapi biasa selama 10 hari. Efek anti-inflamasi dinilai dengan tingkat protein C-reaktif (CRP) dan interleukin-8 (IL-8)serum , sementara skor FEV1 dan gejala pernapasan juga dicatat. Pasien diperiksa pada kunjungan penapisan dan pada 5 dan 10 hari perawatan. Pada pasien dengan nilai CRP yang abnormal, normalisasi indeks ini terjadi pada 90% pasien yang diberi NAC 1200 mg/hari, pada 52% pasien yang diberikan 600 mg/hari, dan pada 19% pasien dengan plasebo. Perbedaan antara kedua terapi NAC vs placebo signifikan secara statistik, tetapi NAC 1200 juga berbeda secara signifikan dari NAC 600 (p = 0,002). Selanjutnya, serum IL-8 menurun pada 10 hari hanya setelah pemberian NAC 1200 mg/hari, sedangkan nilai FEV1 menunjukkan peningkatan yang kecil tetapi signifikan setelah pemberian kedua dosis NAC, begitu pula terjadi perbaikan gejala. NAC ditoleransi dengan baik juga pada dosis yang lebih tinggi. Penulis menyimpulkan bahwa dosis harian NAC 1200 mg meningkatkan hasil klinis pada pasien dengan eksaserbasi PPOK.2

Studi HIACE meneliti tentang pemberian NAC efervescen 1200 mg per hari dibandingkan dengan placebo pada pasien PPOK mendapatkan bahwa pemberian selama 12 bulan pada 120 pasien terjadi reduksi signifikan dari frekuensi eksaserbasi dan rawat inap dengan NAC dosis tinggi (p 0.019). Dalam 1 tahun terdapat perbaikan signifikan pada fungsi saluran napas kecil (FEF 25%-75% dan parameter FOT) p<0.05.11

Studi PANTHEON meneliti efikasi dan keamanan terapi NAC 1200 mg per hari dalam 1 tahun pada pasien PPOK sedang dan berat. Parameter penting yang dinilai pada studi PANTHEON adalah waktu pertama eksaserbasi dan frekuensi eksaserbasi, penggunaan SABA sebagai pengobatan rescue, kualitas hidup, penurunan FEV1 setelah bronkodilator, dan profil keamanan obat. Pada studi ini didapatkan penurunan rate eksaserbasi pada GOLD moderate, penurunan AECOPD signifikan dalam 6 bulan

(18)

pertama, perubahan SGRO lebih besar dibandingkan dengan placebo serta penurunan jumlah pasien yang menggunakan rescue SABA. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada hasil tes fungsi paru dan tes bronkodilator antara pasien yang menggunakan NAC dan placebo. NAC didapatkan memiliki profil keamanan yang baik seperti placebo.12

Sebuah penelitianyang menarik baru-baru ini menggunakan alat pencitraan baru untuk memverifikasi efek NAC dosis tinggi pada pasien PPOK, menemukan korelasi antara peningkatan fungsi pernapasan berbasis-pencitraan, terutama fungsi yang lebih baik pada saluran udara kecil dengan konsekuensi penurunan hiperinflasi paru, dengan efek suplementasi NAC yang ditunjukkan dengan peningkatan glutathione.2,5

Efek menguntungkan dari NAC dosis tinggi (1200 mg/hari) untuk mencegah eksaserbasi PPOK diteliti pada 2013 dalam suatu tinjauan sistematis dan meta-analisis, berdasarkan 11 studi, yang dilakukan oleh Shen et al. NAC dosis tinggi terbukti efektif untuk mencegah eksaserbasi, sedangkan dosis yang lebih rendah menunjukkan beberapa kemanjuran hanya dalam studi dengan kualitas metodologi yang tinggi. Selain itu, kedua dosis tidak menunjukkan pengaruh pada fungsi pernapasan.2

GOLD 2019 menyebutkan pada pasien yang tidak mendapat terapi kortikosteroid inhalasi, pemberian terapi regular dengan mukolitik seperti karbosistein dan NAC dapat mencegah eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan.1

Tabel 1. Bukti klinis terapi NAC dosis tinggi pada PPOK

N o.

Judul Penelitian Peneliti Tahun Jumlah Sampel

(19)

1. Theeffectoforal N-acetylcysteine in chronic bronchitis: a quantitative systematic review.

Stey et al 2000 2000 - NAC dosis tinggi menurunkan angka eksaserbasi dan keparahan gejala PPOK - NAC dosis tinggi

memperpendek durasi hari sakit 2. Effects of N-acetylcysteine on outcomes in chronic obstructive pulmonary disease (Bronchitis Randomized on NAC Cost- Utility Study, BRONCUS): A randomised placebo-controlled trial. Decramer et al

2005 5000 - NAC dosis tinggi menurunkan frekuensi eksasebasi PPOK

3. High-dose N-acetylcysteineinp atientswithexacer bationsofchronico bstructive pulmonarydisease . ZuinR et al

2005 123 - NAC dosis tinggi memperbaiki nilai FEV1 pada pasien PPOK - Level penanda inflamasi CRP

dan IL-8 serum turun setelah pemberian NAC dosis tinggi selama 10 hari

- NAC dosis tinggi memperbaiki luaran klinis pada pasien eksaserbasi PPOK

(20)

4. High-dose N-acetylcysteine in stable COPD. The 1-year, double-blind, randomized placebo-controlled HIACE study. Tse HN et al

2013 120 - NAC dosis tinggi menurunkan frekuensi eksaserbasi PPOK - NAC dosis tinggi

meningkatkan nilai rerata

forced expiratory flow (FEF)

- NAC dosis tinggi memperbaiki fungsi respiratori saluran napas kecil sehingga mengurangi hiperinflasi paru 5. TwicedailyN- acetylcysteine600mgf orexacerbationsofchro nicobstructivepulmon ary disease (PANTHEON): a randomised, double-blind placebo-controlled trial Zheng JP et al

2014 1006 - NAC dosis tinggi menurunkan frekuensi eksaserbasi berat dan juga durasi eksaserbasi

Toleransi dan efek samping

NAC memiliki profil keamanan yang baik. Dosis oral 600 mg per hari atau kurang dapat ditoleransi dengan baik tanpa menimbulkan efek samping dan ketidakpuasan pasien. Pada beberapa penelitian dapat terjadi adverse reaction pada gastrointestinal, seperti dyspepsia, diare, nyeri ulu hati, mual, muntah, berkeringat, serta sakit kepala. Pemberian oral kontraindikasi untuk pasien dengan ulkus peptikum aktif. Biaoavailabilitas di saluran napas rendah dengan pemberian sistemik. Rute pemberian inhalasi lebih dalam meningkatkan bioavailabilitas di saluran napas. Dari segi analisis

(21)

biaya pemberian NAC sangat cost effective pada PPOK karena efektif mencegah eksaserbasi serta menurunkan keperluan rawat inap pada penyakit kronik.9

Ringkasan

Sifat antioksidan dan antiinflamasi dari NAC didasarkan pada jumlah bukti yang konsisten yang diperoleh secara in vitro dan in vivo dan informasi baru secara terus-menerus dihasilkan tentang keterlibatan obat ini dalam mekanisme yang paling pentingyang berperan dalam memicu dan mempertahankan inflamasi pernapasan. Sifat inflamasi dari PPOK telah ditunjukkan dengan baik, begitu pula stres oksidatif memiliki hubungan yang erat dengan proses inflamasi. Selain itu, level ROS di paru-paru terus meningkat pada pasien PPOK. NAC memiliki potensi untuk mengintervensi proses yang mendasari patogenesis PPOK dan, pada kenyataannya, tingkat oksidan pernapasan menurun setelah pemberian NAC. Dengan demikian, sifat antioksidan dan mukolitik NAC memiliki potensi untuk menjadi terapi tambahan yang berguna dalam tatalaksana PPOK. Bahkan penelitian baru-baru ini telah menunjukkan bahwa NAC juga mampu meningkatkan efektivitas bronkodilator antimuskarinik yang umumnya digunakan pada pasien PPOK.

N-Acetylcysteine (NAC) adalah mukolitik dan antioksidan yang juga dapat berperan sebagai antiinflamasi. NAC dapat menscavenging ROS melalui reaksi redoks. Sebagai agen mukolitik, NAC dapat menurunkan kekentalan sputum, membersihkan bronkus dari sekret sehingga dapat menurunkan menurunkan sesak dan meningkatkan fungsi paru. Kesuksesan penggunaan terapi ini in vivo dan in vitro masih menjadi perdebatan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. NAC dapat mempengaruhi status eksaserbasi dan menurunkan jumlah hari rawat inap namun sedikit atau tidak ada pengaruhnya dalam menghambat progresivitas penyakit. Dilihat

(22)

dari sifat dan fungsinya, NAC masih menjadi pengobatan harapan di masa depan untuk penderita PPOK.

Untuk mencapai manfaat dalam hal pencegahan dari eksaserbasi PPOK atau mungkin peningkatan fungsi pernapasan dan perbaikan gejala, NAC dosis tinggi (rata-rata 1200 mg/hari) harus diberikan untuk jangka waktu yang lama. Semua penelitian terbaru menggunakan dosis ini selama satu tahun untuk mengevaluasi efek NAC sebagai tambahan terhadap terapi biasa dibandingkan dengan plasebo.

(23)

Daftar pustaka

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for diagnosis, management and prevention of Chronic Obstructive Lung Disease. 2019

2. Sanguinetti CM. N-acetylcysteine in COPD: why, how, and when?. Multidisciplinary Respiratory Medicine. 2016; 11(8): 1-11

3. Vezina FA, Cantin AM. Antioxidants and chronic obstructive pulmonary disease. Journal of The COPD Foudation. 2018;8: 277-84

4. Rogliani P, Matera MG, Page C, Puxeddu E, Cazzola M, Calzetta L. Efficacy and safety profile of mucolytic/antioxidant agents in chronic obstructivepulmonary disease: a comparative analysis across erdosteine, carbocysteine, and N-acetylcysteine. Respiratory Research. 2019;20:104

5. Rogliani P, Matera MG, Page C, Puxeddu E, Cazzola M, Calzetta L.Influence of N-acetylcysteine on chronic bronchitis or COPD exacerbations: a meta-analysis. Eur Respir Rev. 2015; 24: 451–461

6. Rahman I. Oxidative stress in pathogenesis of chronic obstructive pulmonary disease and molecular mechanisms. Cell Biochem Biophys. 2005;43: 167-88 7. Bramann SS. Chronic cough due to chronic bronchitis: ACCP

Evidense-Based Clinical Practice Guidelines. CHEST. 2006;129: 104s-15s

8. Dekhujizen PNR. Antioxidant properties of N-Acetylcysteine: Their relevance in relation to chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J. 2004;2 : 629-36

9. Sadowska AM. N acetylcysteine mucolisys in the management of chronic obstructive pulmonary disease. The Adv Respir Dis. 2012;6(3): 127-35 10. Calvacente AGDM, Bruin PFC. The role of oxidative stress in COPD: current

(24)

11. Tse HN, raiteri L, Wong KY, et al. High dose N acetylcysteine instable COPD: the 1-year, double blind, randomized, placebo controlled HIACE study. CHEST. 2013;144(1): 106-118

12. Zheng JP, Wen FQ, Bai CX, et al. Twice daily N-acetylcysteine 600 mg for exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease (PANTHEON): A randomized double blind placebo controlled trial. Lancet Respir Med. 2014.;2(3): 187-94

13. Rahman I. Antioxidants therapeutic advances in COPD. Ther Adv Respir Dis. 2008; 2(6): 351–374

(25)

Gambar

Gambar 1. Respon inflamasi dimediasi oleh oksidan inhalasi dan/atau seluler. Oksidan  ini  mengaktifkan  sel  makrofag  alveolar,  neutrofil,  eosinofil,  dan  sel  epitel,  yang  mengarah  ke  produksi  ROS/RNS,  ketidakseimbangan  redoks,  dan  aktivasi
Tabel 1. Bukti klinis terapi NAC dosis tinggi pada PPOK

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai kepuasan relasi ini mengarah kepada loyalitas yang dimilki oleh bawahan, disaat terdapat kepuasan relasi maka akan ada loyalitas dari bawahan kepada

Kurikulum 2013 tidak dilaksanakan dengan sempurna atau bangsa Indonesia pada tahun 2045 menjadi bangsa besar.. Kurikulum 2013 tidak dilaksanakan dengan sempurna dan bangsa

Dari asumsi bahwa gelombang laut yang ditimbulkan oleh angin adalah pembentuk utama morfologi pantai Makassar sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, dan

Kendala yang sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran fisika SMA Negeri se-Aceh Jaya adalah belum terdapat laboratorium khusus untuk mata pelajaran fisika dengan

Melakukan pengujian terhadap 30 orang dewasa sehat yang mempunyai Body Mass Index (BMI) yang sama dengan melakukan aktivitas berjalan, berbaring, naik tangga, dan berdiri

Analisis Internal dan Eksternal Koperasi Sejahtera Bangsaku.. Ade Rachmawan, Abdul Kohar, dan tb. Nur Ahmad Maulana 12 Berdasarkan analisa kondisi lingkungan internal dan

Hasil yang dibahas adalah hasil laporan pendataan jemaat yang ditampilkan dalam bentuk grafik dan diagram batang mengenai informasi tentang jemaat yang ada di

(a) kompensasi yang cukup dan memadai, gaji yang diterima individu dari kerjanya dapat memenuhi standar gaji yang diterima umum, cukup untuk membiayai suatu tingkat hidup yang