• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya."

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN TINGKAT KEPUASAN PERKAWINAN PADA WANITA DEWASA AWAL DAN WANITA DEWASA MADYA

Caecilia Adelina Lestari Ndaumanu ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif yang melibatkan 100 subjek. Subjek dalam penelitian ini merupakan perempuan berusia 20-60 tahun, telah menikah dan tinggal di Yogyakarta. Untuk pengambilan data, peneliti menggunakan Skala Kepuasan Perkawinan yang memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,963. Data kemudian dianalisis dengan uji parametrik independent sample t-test. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya (Sig. = 0,461, p > 0.05).

(2)

DIFFERENT LEVELS OF MARITAL SATISFACTION ON EARLY ADULT WOMEN AND MIDDLE ADULT WOMEN

Caecilia Adelina Lestari Ndaumanu ABSTRACT

This research aimed to know different levels of marital satisfaction on early adult women and middle adult women. This research was a quantitative comparative research that involved 100 subjects. The subjects were married women whose ages are 20-60 years old and live in Yogyakarta. The researcher used Marital Satisfaction Scale with reliability coefficient is 0.963. Data were analyzed using parametric independent sample t-test. According to the result of statistic analysis, there were no different levels of of marital satisfaction on early adult women and middle adult women (Sig. = 0,461, p > 0.05).

(3)

i

PERBEDAAN TINGKAT KEPUASAN PERKAWINAN PADA

WANITA DEWASA AWAL DAN WANITA DEWASA MADYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Caecilia Adelina Lestari Ndaumanu

109114100

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

PERBEDAAN TINGKAT KEPUASAN PERKAWINAN PADA WANITA DEWASA AWAL DAN WANITA DEWASA MADYA

Dipersiapkan dan ditulis oleh :

Caecilia Adelina Lestari Ndaumanu

NIM : 109114100

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji

Pada tanggal

dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji:

Nama Lengkap Tanda Tangan

Penguji 1 ...

Penguji 2 ...

Penguji 3 ...

Yogyakarta, ………

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

(5)
(6)

iv

HALAMAN MOTTO

Bagaikan kuncup mawar waktunya mekar

Percayalah…

Tuhan jadikan semua indah pada waktuNya

Anak muda yang hebat

Memberanikan diri saat takut

Merajinkan diri saat malas

-Mario Teguh-

As long as there is life

There is hope

(7)

Pierce-v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada Tuhan

Yesus Kristus dan Bunda Maria

Mami, Papi, Nona, dan Oeni yang senantiasa

mendukung

Kekasih yang setia menemani

Dosen Pembimbing yang selalu memberi

masukan

(8)
(9)

vii

PERBEDAAN TINGKAT KEPUASAN PERKAWINAN PADA WANITA DEWASA AWAL DAN WANITA DEWASA MADYA

Caecilia Adelina Lestari Ndaumanu ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif yang melibatkan 100 subjek. Subjek dalam penelitian ini merupakan perempuan berusia 20-60 tahun, telah menikah dan tinggal di Yogyakarta. Untuk pengambilan data, peneliti menggunakan Skala Kepuasan Perkawinan yang memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,963. Data kemudian dianalisis dengan uji parametrik independent sample t-test. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya (Sig. = 0,461, p > 0.05).

(10)

viii

DIFFERENT LEVELS OF MARITAL SATISFACTION ON EARLY ADULT WOMEN AND MIDDLE ADULT WOMEN

Caecilia Adelina Lestari Ndaumanu ABSTRACT

This research aimed to know different levels of marital satisfaction on early adult women and middle adult women. This research was a quantitative comparative research that involved 100 subjects. The subjects were married women whose ages are 20-60 years old and live in Yogyakarta. The researcher used Marital Satisfaction Scale with reliability coefficient is 0.963. Data were analyzed using parametric independent sample t-test. According to the result of statistic analysis, there were no different levels of of marital satisfaction on early adult women and middle adult women (Sig. = 0,461, p > 0.05).

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus

atas segala berkat dan anugerah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Perbedaan

Tingkat Kepuasan Perkawinan pada Wanita Dewasa Awal dan Wanita Dewasa

Madya” ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Pemilihan kepuasan perkawinan sebagai topik skripsi berawal dari keprihatinan

penulis akan maraknya kasus perceraian pada wanita berlatarkan kurangnya

keharmonisan dan kepuasan yang semakin meningkat belakangan ini. Penulis

berharap skripsi ini dapat memberi manfaat bagi orang banyak, terutama bagi para

wanita. Selain itu, penulis juga berharap skripsi ini dapat memunculkan lebih

banyak penelitian mengenai kepuasan perkawinan sehingga hal-hal yang tidak

diinginkan akibat tidak adanya kepuasan tersebut bisa diantisipasi.

Penulisan skripsi ini tentunya dapat selesai berkat dukungan dan bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih

kepada :

1. Bpk. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma dan juga dosen pembimbing akademik.

2. Ibu Ratri Sunar Asusti, M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas

(13)

xi

3. Ibu Dra. Lusia Paratidarmanastiti, M.S., selaku Dosen Pembimbing Skripsi.

Terima kasih atas kesabaran, perhatian, bantuan dan bimbingan yang telah

diberikan selama proses penulisan skripsi ini.

4. Segenap Bapak / Ibu staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma.

5. Ibu Sylvia Carolina MYM, M.Si., atas kesediaannya membimbing penulis.

6. Mami, Papi, Oeni, Nona, K Melky, Al. Terima kasih atas kasih sayang, doa,

semangat, dan dukungan yang tak pernah berhenti diberikan selama ini.

7. Mama Tien, Om No, Ka Nona, Ka El, Ewin dan semua kakak-kakak di

Jakarta yang telah memberikan doa, perhatian, dan semangat selama ini.

8. Calvin Alberto Fanggidae, pacar yang terkasih. Terima kasih untuk segenap

cinta, kesabaran, semangat, perhatiannya. Terima kasih juga untuk bantuan

dan waktunya selama ini.

9. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Sanata Dharma : Bu Nanik, Mas

Gandung, Pak Gie, Mas Muji, dan Mas Donny, dan semua student staff

(Arum, Nety, Yoan, Cilla, Clara, Hervy) yang telah membantu kelancaran

proses penyelesaian skripsi ini.

10. Karyawan perpustakaan Universitas Sanata Dharma, di Kampus Paingan dan

Kampus Mrican.

11. Untuk Om Moris, Tante Tutik, Mima, Alo, Tyas, dan Bu Susi yang telah

membantu proses pengambilan data.

(14)

xii

13. Untuk semua responden yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,

terimakasih atas waktunya mengisi kuesioner penelitian.

14. Untuk para sahabatku, Marcella, Lorensia, Yohanna, Celly. Terimakasih

untuk waktu luar biasa yang telah kita habiskan bersama 

15. Seluruh teman-teman angkatan 2010 Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma, terutama (Engger, Mb Anna, Hilda, Maya, Monic, Mega, Shella)

terima kasih untuk sharing, masukan, dan bantuannya.

16. Seluruh pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini, yang tidak bisa

disebutkan satu per satu. Terima kasih.

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak

kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat

membuat skripsi ini menjadi lebih baik lagi. Semoga skripsi ini dapat menambah

pengetahuan dalam bidang psikologi yang terkait dengan kepuasan perkawinan.

Yogyakarta, 23 Oktober 2015

Penulis

(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ...viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ...xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR SKEMA ...xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C.Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1.Manfaat Teoritis ... 8

(16)

xiv

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. Kepuasan Perkawinan ... 10

1.Perkawinan ... 10

2.Kepuasan Perkawinan ... 11

3.Aspek-Aspek Kepuasan Perkawinan ... 13

4.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan perkawinan . 18 B. Wanita Dewasa Awal dan Wanita Dewasa Madya ... 21

1.Wanita Dewasa Awal ... 21

2.Wanita Dewasa Madya...26

C.Dinamika Perbedaan Tingkat Kepuasan Perkawinan pada Wanita Dewasa Awal dan Wanita Dewasa Madya ... 29

D. Skema Penelitian ... 36

E. Hipotesis Penelitian ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 38

A. Jenis Penelitian ... 38

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 38

1.Variabel Tergantung ... 38

2.Variabel Bebas ... 38

C.Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 38

1.Tingkat Kepuasan Perkawinan ... 38

2.Tahapan Usia Subjek ... 40

(17)

xv

E. Metode dan Instrumen Penelitian ... 41

F. Kredibilitas Instrumen Penelitian ... 42

1.Uji Validitas ... 42

2.Analisis Aitem ... 44

3.Uji Reliabilitas ... 46

G. Metode Analisis Data ... 47

1.Uji Asumsi ... 47

a. Uji Normalitas ... 47

b. Uji Homogenitas ... 48

2.Uji Hipotesis ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Pelaksanaan Penelitian ... 49

B. Deskripsi Subjek Penelitian... 49

C.Hasil Penelitian... 51

1.Deskripsi Data Penelitian ... 52

2.Uji Hipotesis ... 53

D.Analisis Tambahan ... 56

E. Pembahasan ... 57

BAB V PENUTUP ... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 60

1.Bagi Wanita Dewasa Awal dan Wanita Dewasa Madya ... 60

(18)

xvi

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skor Penilaian Skala Kepusan Perkawinan ... .42

Tabel 2.Blue-print Skala Kepuasan Perkawinan Sebelum Try-out ... 43

Tabel 3. Blue-print Skala Kepuasan Perkawinan Sesudah Try-out ... 45

Tabel 4. Blue-print Skala Kepuasan Perkawinan Final ... 46

Tabel 5. Data Statistik Reliabilitas Sebelum dan Sesudah Seleksi Aitem ... 47

Tabel 5a. Data Statistik Reliabilitas Sebelum Seleksi Aitem ... 47

Tabel 5b. Data Statistik Reliabilitas Sesudah Seleksi Aitem ... 47

Tabel 6. Deskripsi Subjek Penelitian ... 50

Tabel 7. Deskripsi Data Penelitian ... 51

Tabel 8. Ringkasan Uji Normalitas ... 53

Tabel 8a. Ringkasan Uji Normalitas Subjek Dewasa Awal ... 53

Tabel 8b. Ringkasan Uji Normalitas Subjek Dewasa Madya ... 53

Tabel 9. Ringkasan Uji Homogenitas ... 54

Tabel 10. Ringkasan Hasil Uji Independent Sample T-test ... 54

(20)

xviii

DAFTAR SKEMA

Skema 1 Dinamika Perbedaan Tingkat Kepuasan Perkawinan pada Wanita

(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Kepuasan Perkawinan Sebelum Try-out ... 67 Lampiran 2 Skala Kepuasan Perkawinan Sesudah Try-out ... 78 Lampiran 3 Hasil Uji Reliabilitas dan Kualitas Aitem Skala Kepuasan

Perkawinan ... 90

Lampiran 3 Hasil Uji Reliabilitas dan Kualitas Aitem Skala Kepuasan

Perkawinan ... 90

Lampiran 4 Hasil SPSS Uji Analisis dan Uji Hipotesis... 95

(22)
(23)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Setiap individu yang menikah pasti ingin mendapatkan kepuasan dalam perkawinanya. Kepuasan perkawinan merupakan kondisi dimana seseorang mendapatkan manfaat dari pasangannya dalam kehidupan perkawinan (Stone & Shackelford, 2007). Hawkins (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) mengemukakan bahwa, kepuasan perkawinan merupakan perasaan subyektif yang dirasakan seseorang berkaitan dengan aspek dalam perkawinan, seperti rasa bahagia dan puas, serta pengalaman yang menyenangkan bersama pasangan. Kepuasan perkawinan menjadi salah satu penentu kesejahteraan dalam kehidupan perkawinan (Hurlock, 1990). Menurut Larson dan Holman (1994), kepuasan perkawinan yang tinggi akan meningkatkan kualitas dan menjaga stabilitas perkawinan itu sendiri. Semakin tinggi tingkat kepuasan dan komitmen pasangan dalam perkawinannya semakin pasangan tersebut ingin mempertahankan perkawinanya (Clements dkk dalam Hirschberger, 2009).

(24)

(Wismanto, 2004), komunikasi (Fincham, 2004), dan proses kognitif (Hojati dkk, 2014) juga disebutkan berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan.

Salah satu faktor yang sering dikaitkan dengan kepuasan perkawinan yaitu gender. Beberapa penelitian menyebutkan terdapat perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dan laki-laki. Perbedaan ini terletak pada aspek emosional atau afeksi (Helgeson, 2012). Keterlibatan secara emosional dalam sebuah hubungan dapa mempenharuhi kualitas dan stabilitas dari hubungan itu (Waller dalam Helgeson, 2012). Penelitian Sprecher dkk (dalam Helgeson, 2012) menunjukkan bahwa dalam suatu hubungan, wanita lebih terlibat secara emosional dibandingkan laki-laki. Helgeson (2012) menambahkan, keterlibatan emosional ini harus seimbang antara laki-laki dan perempuan. Jika hanya salah satu pasangan yang lebih terlibat secara emosional maka hal ini berpengaruh pada ketidakstabilan hubungan, hal ini terutama lebih berpengaruh pada perempuan.

(25)

perkawinannya (Cordova dkk dalam Helgeson, 2012). Emosi dari suami juga berpengaruh terhadap emosi istri sedangkan emosi istri tidak mempengaruhi emosi suami (Larson dan Pleck dalam Helgeson, 2012). Wanita akan merasakan kepuasan dalam perkawinannya apabila suaminya menunjukkan perhatian dan ekspresi emosi yang positif (Wilcox dan Nock dalam Papalia dkk, 2014).

Perbedaan kepuasan perkawinan pada wanita dan laki-laki juga dipengaruhi oleh dimensi keadilan (Helgeson, 2012). Helgeson menjelaskan, keadilan dalam perkawinan terjadi apabila pasangan merasa apa yang diberikan dan apa yang didapatkannya dari perkawinan seimbang dengan apa yang diberikan dan didapatkan oleh pasangannya. Penelitian DeMaris (dalam Helgeson, 2012) menunjukkan dimensi keadilan lebih tampak berpengaruh pada wanita dibandingkan laki-laki. Wanita yang merasa mendapatkan manfaat yang lebih dibandingkan pasangannya cenderung memiliki kepuasan perkawinan yang rendah, sedangkan wanita yang merasa mendapatkan manfaat yang kurang dibandingkan pasangannya cenderung ingin bercerai.

(26)

(13,84% : 1,14%, BPS 2009-2013). Hal tersebut menjelaskan mengapa wanita cenderung merasa tidak puas terhadap perkawinanya dibandingkan laki-laki. Berdasarkan data dan uraian tersebut peneliti tertarik untuk meneliti tingkat kepuasan perkawinan pada wanita.

(27)

Beberapa penelitian menunjukkan kepuasan perkawinan mencapai puncaknya pada awal kehidupan perkawinan dimana individu berada pada tahapan usia dewasa awal (Gilford & Bengston, 1979; Gottman & Notarius, 2000; Karney & Bradbury, 1995; DeGenova, 2008). Serupa dengan hasil penelitian diatas, penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Orbuch dkk (dalam Hirschberger (2009) menemukan bahwa, kepuasan perkawinan dari masa dewasa awal hingga masa dewasa akhir membentuk kurva U, yang berarti kepuasan perkawinan mencapai puncak pada tahapan usia dewasa awal, menurun secara perlahan pada masa dewasa madya dan kemudian meningkat lagi pada masa dewasa akhir (White & Booth, 1991). Hal ini dikarenakan pasangan yang berada pada tahap awal perkawinan menjaga keromantisannya dengan cara sering bercinta, berbicara secara terbuka, dan menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama (Benokraitis, 1996).

(28)

Beberapa hal yang menjelaskan mengapa tingkat kepuasan perkawinan pada tahapan usia dewasa madya lebih tinggi dibandingkan tahapan usia dewasa awal, diantaranya pasangan pada tahapan usia dewasa awal dianggap masih perlu melakukan penyesuaian dalam kehidupan perkawinan (Hurlock, 1990). Wanita pada tahapan usia dewasa awal juga mengalami perubahan status dari belum menikah menjadi menikah, hal ini mengubah pola peran serta kehidupan mereka (Fisher dalam Trokan, 1998). Perubahan dalam perkawinan ini lebih signifikan tampak pada wanita dimana terjadi pergeseran peran dari wanita single menjadi seorang ibu. Masalah-masalah yang berkaitan dengan pembagian peran yang tidak merata serta tidak adanya dukungan dari suami pada masa ini bisa memicu konflik dan menyebabkan wanita merasakan kepuasan perkawinan yang rendah (Dew & Wilkox, 2011).

(29)

demi kepuasan bersama, Bersheid (dalam Santrock, 2002). Selain itu salah satu faktor yang menyebabkan tingginya tingkat kepuasan perkawinan pada tahapan usia dewasa madya berkaitan dengan sindrom sarang kosong. Pada tahapan usia ini wanita memiliki lebih sedikit tanggung jawab di rumah karena anak-anak sudah beranjak dewasa (Desmita, 2006). Keadaan ini bisa memberi kesempatan hidup yang baru bagi pasangan pada masa dewasa madya yang tidak memiliki waktu bersama pasangan pada saat usia dewasa awal karena harus mengurusi anak. Pada perkawinan yang baik, masa ini dapat digunakan oleh pasangan untuk lebih banyak menghabiskan waktu yang berkualitas bersama pasangannya (Papalia, Olds & Feldman, 2014).

(30)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah ada perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi ilmu Psikologi khususnya Psikologi Perkawinan dan Keluarga mengenai gambaran tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan dewasa madya serta perbedaan keduanya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Wanita Dewasa Awal

(31)

menghindari ketegangan emosi yang berujung pada rendahnya tingkat kepuasan perkawinan.

b. Bagi Wanita Dewasa Madya

(32)

10 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kepuasan Perkawinan

1. Perkawinan

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

menyatakan bahwa, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang

pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Landis & Landis (1963) menyebutkan

pengertian perkawinan sebagai suatu komitmen antara sepasang manusia

yang dimaksud adalah laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama.

Yuwana dan Maramis (1991) menjelaskan perkawinan sebagai suatu

kesatuan yang menjanjikan keakraban dan pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan interpersonal. Tujuan dari perkawinan adalah penyatuan dan

dalam proses penyatuan itu suami dan istri diharapkan dapat mencapai

kebahagiaan perkawinan. Perkawinan adalah relasi personal antara

seorang pria dan wanita yang mempu membangun persahabatan personal

yang intensif dan ada hubungan timbal balik (Raharso, 2008).

Secara garis besar perkawinan dapat didefinisikan sebagai suatu

(33)

untuk memenuhi kebutuhan masing-masing serta memiliki tujuan untuk

mencapai kebahagiaan dan kepuasan perkawinan.

2. Kepuasan Perkawinan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepuasan berarti merasa

senang, merasa lega dan gembira karena sudah terpenuhinya hasrat hati.

Kotler (2000) mendefinisikan kepuasan sebagai sikap positif individu

terhadap sesuatu, yang timbul berdasarkan penilaiannya terhadap hal

tersebut. Secara umum kepuasan berarti perasaan senang karena

terpenuhinya keinginan atau kebutuhan seseorang terhadap suatu objek.

Kepuasan merupakan hasil dari penyesuaian antara harapan dan kenyataan

(Klemer dalam Andhianita & Andayani, 2005). Apabila sesuatu terjadi

sesuai dengan apa yang diharapkan maka akan menimbulkan kepuasan.

Secara garis besar kepuasan dapat didefinisikan sebagai reaksi positif dari

seseorang karena harapannya terhadap sesuatu terpenuhi.

Beberapa ahli menyebutkan kepuasan perkawinan sebagai

kebahagiaan perkawinan (Hurlock, 1990; Santrock, 2002; Papalia, 2014).

Hawkins (dalam Olson dan Hamilton, 1983) menjelaskan bahwa kepuasan

perkawinan yaitu perasaan bahagia, puas, dan senang yang bersifat

subyektif yang dirasakan oleh pasangan suami istri sehubungan dengan

aspek-aspek yang terdapat dalam perkawinan. Wood dan Rhodes (1989)

berpendapat, kepuasan perkawinan merupakan evaluasi subjektif dari

(34)

Menurut Snyder (1979), kepuasan perkawinan adalah sejauh mana suami

dan istri menilai aspek-aspek dalam hubungan perkawinannya. Sadarjoen

(2005) menambahkan, kepuasan perkawinan dapat tercapai apabila kedua

pasangan mampu memenuhi kebutuhan pasangan masing-masing.

Atchley (Kulik, 2002) mengatakan bahwa kepuasan perkawinan

adalah persepsi individu terhadap kualitas perkawinannya. Kepuasan

perkawinan merupakan kondisi dimana seseorang mendapatkan manfaat

dari pasangannya dalam kehidupan perkawinan (Stone & Shackelford,

2007). Semakin besar manfaat yang diperoleh dari suatu perkawinan maka

kepuasan perkawinan akan semakin tinggi.

Menurut Lasswell dan Lasswell (1987), kepuasan perkawinan

merupakan salah satu cara mengukur baik buruknya suatu perkawinan.

Pendapat Lasswell tersebut didukung oleh Chappel dan Leigh dalam

Pujiastuti dan Retnowati (2004), yang menyatakan bahwa kepuasan

perkawinan merupakan evaluasi subjektif terhadap kualitas perkawinan.

Apabila pasangan puas terhadap perkawinan maka berarti keinginan dan

tujuan dalam perkawinan sudah terpenuhi dan kehidupan terasa lebih

lengkap.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa

kepuasan perkawinan merupakan reaksi atau perasaan senang yang

diperoleh oleh suami maupun istri karena terpenuhinya kebutuhan dan

(35)

3. Aspek-aspek Kepuasan Perkawinan

Rosen-Grandon dkk (2004) menjabarkan tiga aspek yang

menentukan kepuasan perkawinan yaitu cinta, kesetiaan, dan nilai

kebersamaan. Ketiga aspek ini masing-masing memiliki indikator

diantaranya sebagai berikut.

a. Cinta

Komponen cinta terdiri atas komunikasi dan afeksi, yaitu rasa nyaman

yang dirasakan pasangan saat saling membagi dan menerima

informasi. Komunikasi meliputi keterbukaan, kejujuran, saling percaya

dan menjadi pendengar yang baik. Afeksi meliputi saling

menghormati, kemampuan memaafkan, menunjukkan perasaan,

memberikan perhatian dan peka terhadap kebutuhan pasangan.

b. Kesetiaan

Komponen kesetiaan terdiri atas sikap berkomitmen terhadap

perkawinan, dan mampu membangun keintiman bersama pasangan.

c. Nilai-nilai bersama

Nilai-nilai bersama meliputi aturan yang telah disepakati oleh suami

maupun istri dalam hal kepercayaan kepada Tuhan, kesepakatan dalam

menyelesaikan konflik, pengambilan keputusan bersama dalam

manajemen konflik dan dalam hal berbagi peran mendidik anak.

Sementara itu, Wismanto (2004), menjabarkan karakteristik

kepuasan perkawinan sebagai berikut:

(36)

b. Penyesuaian diadik, yaitu suami dan istri saling melakukan

penyesuaian dalam perkawinannya.

c. Kesetaraan pertukaran, yaitu keuntungan dari hasil hubungan

suami-istri sesuai kontribusi yang telah diberikan masing-masing pasangan.

Artinya pasangan merasakan kepuasan dari hubungan perkawinan

tersebut.

d. Persepsi terhadap perilaku pasangan, yaitu bagaimana cara pasangan

memandang perilaku pasangan dengan lebih positif.

Menurut Collins & Coltrane (1991), beberapa karakteristik

perkawinan yang memuaskan diantaranya yaitu, saling percaya, saling

memahami, kehidupan seks yang menyenangkan, adanya anak, kesamaan

minat, berbagi pekerjaan rumah tangga, kehidupan ekonomi yang cukup.

Lewis & Spanier dalam Rosen-Grandon dkk (2004) menambahkan,

terdapat tiga proses interaksi yang terjadi dalam perkawinan yang

memuaskan diantaranya pengambilan keputusan bersama, perasaan saling

memiliki antar pasangan dan saling mengekspresikan afeksi terhadap

pasangannya.

Sementara itu, Myers dalam Desmita (2006) mengatakan, suatu

hubungan akan langgeng apabila didasarkan pada persamaan minat dan

nilai, saling berbagi perasaan dan dukungan materi, serta secara intim

membuka diri terhadap pasangan. Kebahagiaan perkawinan juga dapat

tercapai apabila terjadi peningkatan sumber daya ekonomi, pengambilan

(37)

rumah tangga yang merata (Papalia dan Feldman, 2014). Robinson &

Blanton (1993) juga mengungkapkan karakteristik dari kehidupan

perkawinan yang bahagia yaitu adanya keintiman, komitmen, komunikasi,

kesetaraan gender, dan kesamaan orientasi agama.

Fowers & Olson (1993) menjabarkan 10 aspek perkawinan yang

memuaskan diantaranya:

a. Komunikasi

Laswell (1991) membagi komunikasi perkawinan menjadi lima

elemen dasar, yaitu: keterbukaan diantara pasangan, kejujuran

terhadap pasangan, kemampuan untuk mempercayai satu sama lain,

sikap empati terhadap pasangan, dan kemampuan menjadi pendengar

yang baik (listening skill).

b. Waktu luang

Aspek ini meliputi harapan-harapan dalam mengisi waktu luang

bersama pasangan dan apakah suatu kegiatan dilakukan sebagai

pilihan individu atau pilihan bersama.

c. Orientasi keagamaan

Meliputi sikap dan perilaku yang menunjukkan keyakinan pada suatu

agama termasuk cara mendidik anak sesuai aturan keagamaan.

d. Strategi menangani konflik

Meliputi sikap saling mendukung dan percaya pada pasangan serta

berdiskusi dalam mencapai penyelesaian masalah.

(38)

Berkaitan dengan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk

pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan.

f. Orientasi seksual

Meliputi kemampuan mengungkapkan hasrat dan cinta, dan mengenali

tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan

seksual, memahami kebutuhan seksual pasangan.

g. Keluarga dan Teman

Hal ini meliputi harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu

bersama keluarga besar dan teman- teman, kesepakatan dalam

membagi waktu antara pasangan dan keluarga atau teman, serta

kebebasan dalam menjalin hubungan dengan teman dan keluarga.

h. Pengasuhan anak

Dalam hal ini pasangan membuat kesepakatan dalam hal jumlah anak,

peran suami istri dalam mengasuh dan mendidik anak, serta bagaimana

pola pengasuhan yang diterapkan.

i. Personality Issue

Bagaimana cara pasangan menanggapi perilaku dan kebiasaan

pasangannya, menerima dan memahami perilaku pasangan yang

berubah saat menikah.

j. Egalitarian Role

Aspek ini meliputi sikap pengertian dari suami maupun istri dalam

menanggapi perannya masing-masing. Dalam hal ini suami maupun

(39)

yang tidak melarang istri bekerja dan tidak keberatan dengan

pendapatan istri yang lebih besar darinya.

Berdasarkan uraian diatas, aspek-aspek dalam kepuasan

perkawinan antara lain:

a. Komunikasi, yang memiliki beberapa indikator diantaranya:

1) Keterbukaan dalam komunikasi

2) Kejujuran dalam menyampaikan informasi

3) Menjadi pendengar yang baik

b. Afeksi, yang memiliki indikator:

1) Memberikan perhatian pada pasangan

c. Kesetiaan, beberapa indikatornya antara lain:

1) Berkomitmen untuk hidup bersama pasangan selamanya

d. Kepuasan ekonomi

1) Puas dengan pendapatan pasangan

2) Sepakat dalam mengelola keuangan

e. Kepuasan seksual, memiliki beberapa indikator seperti:

1) Mampu mengungkapkan hasrat seksual

2) Mengenali kebutuhan seksual pasangan

f. Pembagian peran

1) Kesepakatan dalam berbagi pekerjaan rumahtangga

2) Kesepakatan dalam mendidik anak

g. Manajemen konflik

(40)

2) Pengambilan keputusan bersama

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan

Miller (dalam Hurlock, 1990) mengatakan bahwa kepuasan

perkawinan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:

a. Status sosial, pasangan suami istri yang memiliki status sosial

menengah keatas cenderung lebih positif dalam menilai

perkawinannya.

b. Usia perkawinan, usia 15 tahun awal perkawinan cenderung

menghadapi banyak perubahan dalam kehidupan perkawinan sehingga

menimbulkan banyak masalah yang menyebabkan ketidakpuasan pada

perkawinan. Kepuasan perkawinan juga menurun saat pasangan

memasuki awal kehidupan dewasa madya (Papalia & Feldman, 2014).

Helen Fischer dalam Trokan (1998) menemukan bahwa usia

perkawinan 2-5 tahun cenderung mengalami tingkat kepuasan

perkawinan yang rendah, sedangkan durasi 0 hingga 2 tahun

perkawinan dianggap kurang memprediksi kepuasan perkawinan

karena masa tersebut masuk dalam fase bulan madu.

c. Jumlah anak, kehadiran anak serta jumlah anak yang terlalu banyak

dapat menimbulkan ketidakpusan dalam perkawinan karena istri lebih

banyak menghabiskan waktu mengurus anak dan waktu bersama suami

menjadi berkurang.

d. Jarak kelahiran anak, jarak kelahiran anak yang berdekatan bisa

(41)

beranjak sekolah dan memerlukan biaya pendidikan yang tidak sedikit

sementara kehidupan ekonomi keluarga tidak cukup.

e. Komunikasi. Saling terbuka dan percaya dalam berkomunikasi antar

pasangan dapat meningkatkan kepuasan perkawinan.

f. Agama

Pasangan yang memiliki kesamaan agama serta keyakinan spiritual

akan lebih mudah dalam menyesuaikan diri dalam perkawinannya

(Benson, 1955). Agama juga dapat membuat pasangan lebih setia

dalam perkawinannya serta meningkatkan kualitas perkawinan

(Dollahite dan Lambert, 2007).

Stone dan Shackelford (2007) mengemukakan beberapa faktor

yang berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan diantaranya :

a. Gender

Cohen dkk (2009) menemukan bahwa kepuasan perkawinan pada

suami dipengaruhi oleh karakteristik perkawinan itu sendiri dan tidak

mempengaruhi emosi mereka namun pada istri baik karakteristik

maupun emosi memiliki pengaruh dalam menentukan kepuasan

perkawinannya.

b. Tahapan Usia

Tingkat kepuasan perkawinan berbeda pada tiap tahapan usia. Gilford

dan Bengston (1979) menyebutkan kepuasan perkawinan mencapai

(42)

(2008) menemukan kepuasan perkawinan meningkat pada tahapan

usia dewasa madya.

c. Pola interaksi

Pola interaksi antar pasangan suami istri dapat mempengaruhi

seberapa puasnya mereka dalam perkawinan. Pola Interaksi yang

dapat memberikan kepuasan pada pasangan adalah saling melakukan

penyesuaian diri dengan baik.

d. Dukungan sosial

Individu yang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungannya akan

memiliki penilaian yang baik terhadap pasangan dan perkawinannya.

e. Karakteristik kepribadian suami-istri

kepribadian salah satu pasangan mempengaruhi kepuasan perkawinan

pasangan lainnya. Seseorang cenderung mencari pasangan hidup yang

memiliki karakteristik kepribadian yang mirip dengan dirinya (Burpee

& Langer, 2005). Menurut Caspi dan Herbener (dalam Burpee &

Langer, 2005), hal ini dikarenakan pasangan yang memiliki kesamaan

karakteristik kepribadian tidak terlalu sering berargumen dan jarang

memiliki kesalahpahaman.

f. Anak

Ada atau tidak adanya anak berpengaruh terhadap perasaan puas

terhadap perkawinan. Anak dapat menjadi penentu kebahagiaan dalam

sebuah perkawinan karena dengan mengandung, melahirkan serta

(43)

terkait perannya sebagai seorang ibu (Dew dan Wilcox, 2011).

Dibandingkan keluarga yang tidak memiliki anak, pasangan dengan

anak lebih menunjukkan kepuasan dalam perkawinannya.

g. Latar belakang keluarga

Kepuasan perkawinan dari orangtua pasangan dapat mempengaruhi

kepuasan perkawinan pasangan itu. Latar belakang keluarga meliputi

perceraian orangtua dan dukungan dari orangtua serta mertua (Larson

& Holman, 1994).

Sementara itu Larson dalam Holman dkk (1994) juga menjabarkan

beberapa faktor pra-perkawinan yang juga mempengaruhi kepuasan

perkawinan, antara lain: alasan menikah, kepercayaan atau harapan,

perilaku sebelum menikah, asal-usul keluarga, karakteristik kepribadian

individu, relasi sosial, proses interaksi pasangan, hubungan orangtua dan

anak, kepuasan perkawinan orangtua.

Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi kepuasan perkawinan diantaranya, gender, agama, tahapan

usia, penyesuaian diri, latar belakang keluarga, kepribadian pasangan, ada

atau tidak adanya anak, lama perkawinan, dan pola interaksi yang terjadi

antar pasangan.

B. Wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya

1. Wanita Dewasa Awal

Masa dewasa awal dimulai pada usia 22 tahun hingga 39 tahun

(44)

dewasa awal memiliki tugas perkembangan yaitu memilih pasangan dan

hidup berkeluarga. Penelitian Whitehead & Poponoe menemukan bahwa

90% dewasa awal akan memilih untuk menikah (Papalia dan Feldman,

2014). Menurut Erikson, wanita dewasa awal berada dalam tahap

perkembangan intimasi vs isolasi. Intimasi berarti individu dewasa awal

memiliki tugas perkembangan untuk membangun keintiman (Erikson

dalam Monks dkk, 2006). Keintiman berarti komitmen individu terhadap

orang lain yang membuahkan hubungan yang hangat dan bermakna

melalui interaksi yang intim (Salkind, 2009). Salah satu cara membangun

keintiman yaitu dengan membina hubungan dengan lawan jenis melalui

pacaran pada masa remaja. Keintiman yang terjalin pada masa remaja ini

akan mencapai puncaknya pada masa dewasa awal yaitu mulai

berkomitmen melalui perkawinan. Bagi perempuan, perkawinan

merupakan hal yang penting karena ia dapat hidup bersama dengan

laki-laki yang dicintainya (Kartono, dalam Eriany, 1997). Jika individu mampu

membangun keintiman maka ia akan mulai membangun keluarga baru,

namun apabila individu tidak berhasil pada tahap ini maka ia akan terjebak

dalam tahap isolasi dimana individu akan cenderung menutup diri dari

dunia luar.

Santrock (2002) juga menambahkan, wanita pada usia dewasa awal

memiliki beberapa tugas perkembangan diantaranya memilih jodoh,

belajar hidup dengan suami, membentuk keluarga, dan menemukan

(45)

menikah dengan tujuan membangun intimasi, berkomitmen, mendapatkan

dan memberikan afeksi, menjalin persahabatan, memenuhi kebutuhan

seksual, mendapatkan pendampingan, sumber identitas baru, dan harga diri

(Myers dalam Papalia dan Feldman (2014).

Davidoff dalam Desmita (2006) menjabarkan problem perkawinan

dewasa awal diantaranya:

a. Pasangan gagal mempertemukan dan menyesuaiakan kebutuhan dan

harapan satu sama lain

b. Salah satu pasangan kesulitan menerima perbedaan dalam kebiasan

kebutuhan, pendapat, kerugian dan nilai, masalah keuangan dan

anak-anak

c. Perasaan cemburu dan perasaan memiliki yang berlebihan, pasangan

kurang mendapat kebebasan

d. Pembagian tugas dan wewenang yang tidak adil

e. Kegagalan dalam berkomunikasi, dikarenakan pasangan muda masih

memiliki ego yang kuat sehingga cenderung tidak mau mengalah.

Selain itu pasangan awal tidak terbuka dalam mengungkapkan

perasaan.

f. Masing-masinng pasangan tumbuh dan berkembang ke arah yang

berbeda, tidak sejalan mencari minat dan tujuan.

g. Pasangan muda atau dewasa awal kesulitan menyesuaikan diri dengan

(46)

Wanita dewasa awal yang menikah tentu harus melakukan

penyesuaian terhadap perkawinannya. Hurlock (1990) menyebutkan

beberapa penyesuaian yang perlu dilakukan pasangan yang baru menikah

diantaranya, penyesuaian terhadap pasangan, penyesuaian seksual,

penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan keluarga pasangan.

Wanita dewasa awal juga mengalami beberapa penyesuaian terkait

perbedaan pandangan dan harapan yang ia miliki dengan pandangan dan

harapan yang dimiliki pasangannya (Kail & Cavanaugh, 2010).

Perkawinan bagi wanita dewasa awal merupakan hal yang penting

karena ia dapat hidup bersama dengan laki-laki yang dicintainya melalui

sebuah perkawinan (Kartono, dalam Eriany, 1997). Namun perkawinan

pada masa dewasa awal juga dapat menjadi suatu hal yang tidak

menyenangkan apabila suami atau istri sulit menyesuaikan diri dengan

peran dan peraturan baru dalam rumah tangga mereka. Selain itu, wanita

dewasa awal cenderung memiliki konsep pasangan yang ideal. Apabila

konsep pasangan ini tidak sesuai dengan kenyataan saat menikah maka

wanita dewasa awal cenderung tidak puas dan memiliki penilaian yang

rendah terhadap perkawinannya.

Hurlock (1990) menjabarkan beberapa penyesuaian yang perlu

dilakukan pasangan pada usia dewasa awal dalam menghadapi perkawinan

diantaranya:

(47)

Dalam menyesuaiakan diri dengan pasangan, wanita dewasa awal

diharapkan mampu menerima perbedaan yang ada pada dirinya dan

pasangannya, menjalin komunikasi secara terbuka dan menjaga

hubungan yang hangat dan mesra.

b. Penyesuaian seksual

Wanita dewasa awal diharapkan mampu membuat kesepakatan

bersama suaminya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan

harapan dalam melakukan hubungan seksual.

c. Penyesuaian Ekonomi

Pasangan suami istri tentu harus mulai memikirkan cara mengolah

keuangan keluarga, dan membuat kesepakatan mengenai siapa yang

akan bekerja serta bagaimana mengelola kehidupan ekonomi mereka.

d. Penyesuaian Peran

Hal ini paling sering dirasakan oleh wanita yang mengalami

perubahan peran dari wanita single menjadi seorang istri maupun ibu.

Dalam hal ini wanita dewasa awal yang menikah perlu mendapatkan

dukungan dari suaminya agar dia bisa menyesuaikan diri dengan

peran barunya.

e. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan

Seringkali dijumpai wanita dewasa awal yang menikah memiliki

hubungan yang kurang menyenangkan dengan mertua. Pasangan baru

(48)

menganggap keluarga pasangan sebagai bagian dari keluarganya yang

baru.

2. Wanita Dewasa Madya

Pada umumnya usia dewasa madya atau usia setengah baya berada

pada rentang usia 40 hingga 60 tahun (Hurlock, 1990). Masa tersebut pada

akhirnya akan ditandai oleh perubahan fisik (menopaus). Masa dewasa

madya bagi wanita merupakan masa transisi menjadi seorang ibu dengan

anak remaja, masa mempertahankan prestasi yang didapatkan, serta masa

dimana harus melakukan penyesuaian baru dalam kehidupannya.

Santrock (2002) menjabarkan tugas-tugas perkembangan yang harus

dituntaskan pada usia dewasa madya diantaranya:

a. Memantapkan pengamalan ajaran agama

b. Mencapai tanggung jawab sosial sebagai warga Negara

c. Membantu anak yang sudah remaja untuk belajar menjadi orang

dewasa yang bertanggung jawab sesuai tahap generativity dari Erikson

yaitu untuk membimbing generasinya menjadi lebih dewasa dengan

member contoh, mengajar dan mengontrol

d. Menerima dan menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan fisik

e. Mencapai dan mempertahankan standar hidup ekonomis serta

mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam

karier serta aktif dalam organisasi sosial (desmita, 2006)

f. Memantapkan peran-perannya sebagai orang dewasa dan mencapai

(49)

Levinson (Monks, 2006) menyebutkan masa dewasa madya sebagai

fase menjadi diri sendiri, mencapai kestabilan, serta menguasasi dan

mengatasi kelemahan. Pada usia ini wanita memiliki lebih sedikit

tanggung jawab dirumah karena anak-anak sudah beranjak dewasa

(Desmita, 2006). Wanita dewasa madya akan puas jika mampu mengajar

anak-anak, menolong anak menjadi dewasa, menyediakan bantuan bagi

orang lain, melihat bahwa sumbangan yang diberikan memberikan

manfaat.

Meskipun demikian, menurut Hurlock (1990) wanita dewasa madya

juga mengalami beberapa stress dalam kehidupannya yaitu:

a. Stress somatik, yang disebabkan oleh keadaan fisik yang melemah dan

berubah pada usia tua.

b. Stress ekonomi, meliputi beban keuangan untuk pendidikan anak dan

kesejahteraan keluarga.

c. Stress psiklogis, yang bisa berasal dari kematian pasangan, kepergian

anak dari rumah, atau kebosanan terhadap perkawinan.

Selain itu, wanita dewasa madya juga mengalami beberapa kendala

dalam perkawinannya diantaranya:

a. Perubahan peran

Wanita dewasa madya yang sudah menjalani kehidupan sebagai

seorang ibu selama bertahun-tahun harus menyesuaikan diri dengan

(50)

meninggalkan rumah. Banyak wanita dewasa madya yang merasa

kesepian karena ditinggal anak-anaknya.

b. Kebosanan

Wanita dewasa madya yang menjalani kehidupan berumah tangga

selama bertahun-tahun terkadang dilanda kebosanan. Apalagi bagi

wanita dewasa madya yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk

keluarga sementara merasa tidak puas karena tidak ada kesempatan

untuk mengembangkan diri.

c. Tidak puas dengan penyesuaian seksual

Hal ini disebabkan karena keinginan untuk melakukan hubungan

seksual bagi pria dan wanita berbeda pada usia dewasa madya

sehingga menimbulkan beberapa perselisihan.

d. Perasaan curiga

Perasaan curiga bahwa suami berselingkuh dengan wanita lain sering

dialami wanita dewasa madya yang suaminya lebih sibuk dengan

pekerjaannya dan dia hanya melakukan pekerjaan rumah tangga.

Wanita dewasa madya juga sering merasa pekerjaannya dirumah tidak

dihargai suami atau suami lebih mementingkan karir daripada istrinya.

Namun demikian, kebanyakan wanita dewasa madya juga mampu

menyesuaiakan diri terhadap perkawinannya dengan lebih baik. Hal ini

dikarenakan wanita dewasa madya sudah memiliki pengalaman dalam

berumahtangga yang cukup lama sehingga lebih positif dalam menilai

(51)

dewasa madya memandang pasangannya sebagai pribadi yang seutuhnya

(Salkind, 2009), menerima kelebihan maupun kekurangan pernikahannya,

mengenali pola konflik dengan baik, serta memiliki harapan yang lebih

realistis terhadap satu sama lain karena telah melewati kehidupan rumah

tangga yang cukup lama (Santrock, 2002). Pernikahan yang telah

berlangsung lama ini memiliki kecenderungan lebih kecil untuk bercerai

karena kemapanan finansial dan emosional yang telah dibangun (Papalia,

Old & Feldman, 2011). Pernikahan yang bertahan hingga masa dewasa

madya dianggap telah mencapai stabilitas (Campbell, dalam Santrock,

2002).

Pada masa ini pula, wanita mengalami suatu fase dalam

kehidupannya yang disebut sindrom sarang kosong. Sebutan ini digunakan

untuk menyebutkan keadaan dimana seorang ibu merasakan kesepian

karena anak-anak mulai beranjak dewasa dan meninggalkan rumah untuk

menjalani kehidupannya sendiri. Dalam perkawinan yang baik, keadaan

ini mungkin digunakan sebagai masa bulan madu kedua karena pasangan

lebih banyak menghabiskan waktu bersama (Papalia & Feldman, 2014).

C. Dinamika Perbedaan Kepuasan Perkawinan pada Wanita Berdasarkan Tahapan Usia Dewasa Awal dan Dewasa Madya

Kepuasan perkawinan menjadi salah satu penentu kesejahteraan dalam

kehidupan perkawinan (Hurlock, 1990). Salah satu faktor yang berpengaruh

(52)

menyebutkan, karena wanita secara sosial berfokus pada lingkungan

sekitarnya maka emosi dan perilaku pasangan lebih mempengaruhi

penilaiannya terhadap perkawinannya. Wanita juga dikatakan lebih terlibat

secara emosional dalam sebuah hubungan dibandingkan laki-laki sehingga

apapun yang mempengaruhi keadaan emosionalnya akan mempengaruhi

penilaiannya terhadap kepuasan perkawinan. Selain itu karakter kepribadian

dari wanita juga lebih berpengaruh pada kestabilan perkawinan, hal ini yang

kemuadian dinilai sebagai pemicu tingginya angka perceraian yang diajukan

oleh wanita (Helgeson, 2012).

Selain gender, tahapan usia juga mempengaruhi kepuasan perkawinan

(Gorchoff, John &Helson, 2008). Dalam penelitiannya, Gorchoff dkk

menemukan bahwa dewasa madya lebih puas dalam perkawinannya

dibandingkan dewasa awal. Perbedaan ini terkait dengan tugas perkembangan

serta karakteristik wanita pada tahapan usia dewasa awal dan dewasa madya.

Seperti yang diketahui, wanita pada tahapan usia dewasa awal mengalami

banyak perubahan dalam kehidupannya baik itu perubahan fisik, kognitif

maupun emosi (Papalia, Old, Feldman 2010).

Dari segi fisik, wanita pada tahapan usia dewasa awal berada pada

puncak kesehatan, kekuatan, daya tahan dan fungsi motorik mereka (Papalia,

Old, Feldman, 2010). Pada masa ini individu berada pada kondisi yang paling

sehat, jarang mengalami penyakit kronis serta mengetahui bagaimana cara

meningkatkan kesehatan (Santrock, 2002). Masa dewasa awal juga

(53)

akan mengalami perubahan peran ketika menikah dan memiliki anak atau

bereproduksi (Hurlock, 1990). Pada masa ini wanita mengalami perubahan

menjadi ibu atau orangtua dan melakukan banyak penyesuaian terkait peran

baru terutama dalam perkawinan.

Secara kognitif wanita pada usia dewasa awal memiliki pemikiran

yang lebih logis dan sistematis dibandingkan saat remaja (Santrock, 2002).

Horn (dalam Santrock, 2002) mengatakan, pada masa dewasa awla individu

memiliki kemampuan untuk berpikir secara abstrak atau yang disebut Fluid

Intelligence. Sementara itu menurut Schaie (dalam Santrock, 2002) secara

umum individu pada masa dewasa awal melewati dua fase kognitif yaitu fase

mencapai prestasi dan fase tanggung jawab. Fase mencapai prestasi ini terjadi

pada saat individu mulai menerapkan pengetahuannya pada suatu situasi

tertentu yang memerlukan tujuan jangka panjang seperti pernikahan dan karir.

Sementara fase tanggungjawab merupakan perluasan kemampuan kognitif

dimana indivdu mulai memberikan perhatian dan meningkatkan tanggung

jawab pada suatu hal baru misalnya bertanggungjawab pada keluarga baru

(Schaie dalam Santrock, 2002).

Dari segi emosional, masa dewasa awal dipandang sebagai masa

ketegangan emosional (Hurlock, 1990). Ketegangan emosional lebih sering

tampak pada wanita, hal ini dikarenakan dalam sebuah hubungan, wanita

lebih menunjukkan ketergantungan emosional dibandingkan laki-laki

(Helgeson, 2012). Hal ini terjadi apabila wanita tidak mampu mengatasi

(54)

seorang istri atau ibu (Hurlock, 1990). Selain itu, wanita pada tahapan usia

dewasa awal juga memiliki tugas perkembangan untuk membangun

keintiman dengan orang lain yang biasanya terwujud dalam sebuah

perkawinan (Salkind, 2009).

Perkawinan pada masa dewasa awal tidak luput dari masalah

(Gunarsa, 1990). Pasangan suami istri pada masa dewasa awal masih harus

mencoba dan melakukan penyesuaian dalam kehidupan perkawinan (Hurlock,

1990). Perubahan dalam perkawinan ini lebih signifikan pada perempuan

dimana terjadi pergeseran peran dari wanita single menjadi seorang ibu (Dew

& Wilkox, 2011). Hal ini mengubah pola peran serta kehidupan mereka

(Trokan, 1998). Penyesuaian dan perubahan yang dilakukan dalam kehidupan

seorang wanita dewasa awal yang menikah terkadang tidak berjalan mulus.

Wanita dewasa awal seringkali menjumpai kesulitan dalam perkawinannya

diantaranya kesulitan menyesuaikan diri dengan suami yang tidak sesuai

harapannya, kehidupan ekonomi yang masih harus ditingkatkan, perubahan

peran menjadi istri yang terikat dengan suami serta menjadi ibu, serta

penyesuaian dengan mertua dan teman-teman (Hurlock, 1990).

Dalam menghadapi perkawinan, wanita dewasa awal lebih banyak

mengandalkan kemampuan berpikir secara abstrak (fluid intelligence) dari

pengetahuan yang didapatkan selama masa remaja (Murray dalam Huston

dkk, 2001. Wanita pada tahapan usia dewasa awal banyak melakukan

penyesuaian baru dan lebih sering mencoba karena belum memiliki informasi

(55)

awal masih bergantung pada pasangannya sehingga bisa dikatakan wanita

dewasa awal memiliki emosi yang belum stabil dibandingkan wanita pada

masa dewasa madya (Santrock, 2002). Hal ini mengakibatkan wanita dewasa

awal memiliki penilaian yang cenderung rendah terhadap perkawinan. Hal ini

pula yang mengakibatkan banyak wanita mengajukan gugatan cerai pada usia

dewasa awal.

Sementara itu wanita pada tahapan dewasa madya juga melalui

beberapa perubahan dalam kehidupannya. Dari segi fisik, wanita pada

tahapan usia dewasa madya mengalami perubahan terkait penurunan fungsi

seksual dan reproduksinya (Papalia, Old, Feldman, 2010) atau yang lebih

dikenal dengan istilah menopause. Pada masa menopause ini, wanita

mengalami beberapa sindrom seperti berhentinya menstruasi, berhentinya

sistem reproduksi, tegang dan panas pada bagian tubuh tertentu (Hurlock,

1990).

Dari segi kognitif, individu yang berada pada tahapan usia dewasa

madya mengalami penurunan dalam daya ingat (Santrock, 2002). Namun

menurut Horn kecerdasan kognitif yang membutuhkan kemampuan verbal

(Crystallized Intelligence) meningkat seiring bertambahnya usia. Selain itu

dari segi kognitif individu pada masa dewasa madya memasuki fase eksekutif

dimana seseorang mulai bertanggungjawab pada sistem kemasyarakatan dan

organisasi sosial (Schaie dalam Santrock, 2002).

Secara emosional, wanita dewasa madya lebih bisa mengontrol

(56)

pasangannya (Santrock, 2002). Wanita pada masa ini juga mengalami

penurunan emosi negatif dan mulai belajar menerima apa yang terjadi dalam

dirinya (Papalia, Old, feldman, 2010). Dukungan sosial dari teman dan

pasangan serta faktor agama berperan penting dalam memberikan

kebahagiaan bagi wanita dewasa madya (Myers dalam Papalia dkk, 2010).

Hal ini yang menyebabkan wanita pada tahapan dewasa madya mudah

beradaptasi dengan perubahan dalam perkawinannya.

Meskipun mengalami banyak perubahan dalam kehidupannya, wanita

pada tahapan usia dewasa madya sudah bisa mengenali pola-pola konflik,

cara mengatasinya dan lebih realistik terhadap perkawinannya dibandingkan

pada masa dewasa awal (Santrock, 2002). Selain itu pada masa dewasa

madya wanita memiliki banyak waktu luang yang bisa dihabiskan bersama

pasangan setelah melepas anak-anak yang beranjak dewasa (Santrock, 2002). Fase ini disebut juga fase sarang kosong atau “empty nest’ dimana wanita

lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan kegiatan yang sesuai

keinginan mereka sendiri secara bebas seperti hobi, olahraga ataupun

membaca (Santrock, 2002). Selain itu, pada masa ini wanita juga kembali

mendekatkan diri dengan pasangan sehingga dapat kembali merasakan

kebahagiaan serta kepuasan dalam perkawinannya, bahkan cenderung lebih

puas dibandingkan selama 4 tahun pertama (Papalia dkk, 2010). Vaillant

(dalam Santrock, 2002) menyebutkan, individu pada masa dewasa madya

(57)

membuat wanita lebih dapat mengontrol emosinya dan memandang pasangan

serta perkawinannya secara lebih positif.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa wanita dewasa

madya juga mengalami perubahan-perubahan dalam kehidupannya namun

karena kondisi emosi yang cenderung stabil serta adanya waktu luang yang

dapat dihabiskan bersama pasangan, wanita pada tahapan usia dewasa madya

memandang perkawinannya dengan lebih positif dibandingkan wanita pada

tahapan usia dewasa awal. Selain itu karena kemampuan kognitif wanita

dewasa awal yang terbatas pada penalaran abstraksi membuat wanita dewasa

awal kurang memiliki pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman sendiri

mengenai perkawinan sehingga kurang mudah menyesuaikan diri dengan

(58)

D. Skema Penelitian

Berdasarkan kajian teori di atas, dapat dirumuskan kerangka berpikir

penelitian ini sebagai berikut.

bersama suami karena kepergian anak-anak dari rumah

c. Kemandirian emosional dan

kemampuan mengontrol emosi Wanita Dewasa Awal

a. Kemampuan berpikir abstrak

b. Mengurusi anak, memiliki

sedikit waktu luang bersama suami

c. Ketergantungan emosi pada

(59)

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Ada perbedaan yang signifikan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita

dewasa awal dan wanita dewasa madya.

2. Wanita dewasa madya memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi

(60)

38

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif komparatif. Penelitian

komparatif adalah penelitian yang bertujuan untuk membandingkan

keberadaan satu variable pada dua sampel yang berbeda, atau pada waktu yang

berbeda (Sugiyono, 2012). Pada penelitian ini, peneliti ingin membandingkan

variabel tingkat kepuasan perkawinan pada perempuan dewasa awal dan

perempuan dewasa madya.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,

obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,

2012). Variabel-variabel dalam penelitian ini antara lain:

1. Variabel Tergantung : Tingkat kepuasan perkawinan.

2. Variabel Bebas : Tahapan Usia subjek.

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Tingkat KepuasanPerkawinan

Tingkat kepuasan perkawinan adalah tingkat reaksi atau perasaan

(61)

harapannya dalam kehidupan perkawinan. Tingkat kepuasan perkawinan

diukur dengan menggunakan skala kepuasan perkawinan yang dibuat oleh

peneliti. Semakin tinggi subjek mendapat skor dalam penelitian ini, maka

semakin tinggi tingkat kepuasan perkawinan subjek. Begitu pula sebaliknya,

semakin rendah subjek mendapat skor dalam penelitian, maka semakin

rendah tingkat kepuasan perkawinan subjek. Adapun skala kepuasan

perkawinan memiliki aspek dan indikator sebagai berikut:

a. Komunikasi, yang memiliki beberapa indikator diantaranya:

1) Keterbukaan dalam komunikasi

2) Kejujuran dalam menyampaikan informasi

3) Menjadi pendengar yang baik

b. Afeksi, yang memiliki indikator:

1) Memberikan perhatian pada pasangan

c. Kesetiaan, beberapa indikatornya antara lain:

1) Berkomitmen untuk hidup bersama pasangan selamanya

d. Kepuasan ekonomi

1) Puas dengan pendapatan pasangan

2) Sepakat dalam mengelola keuangan

e. Kepuasan seksual, memiliki beberapa indikator seperti:

1) Mampu mengungkapkan hasrat seksual

2) Mengenali kebutuhan seksual pasangan

f. Pembagian peran

(62)

2) Kesepakatan dalam mendidik anak

g. Manajemen konflik

1) Kemampuan menyelesaikan masalah

2) Pengambilan keputusan bersama

2. Tahapan Usia Subjek

Terdapat dua kelompok tahapan usia subyek dalam penelitian ini

yaitu, tahapan usia subyek dewasa awal dan tahapan usia subyek dewasa

madya. Rentang usia subjek dewasa awal yaitu 20 tahun hingga 39 tahun,

sementara rentang usia subjek dewasa madya yaitu 40 tahun hingga 60

tahun. Untuk membedakan subyek dewasa awal dan dewasa madya,

peneliti mengelompokkan skala berdasarkan data usia yang diisi oleh

subjek.

D. Subjek Penelitian

Peneliti menggunakan teknik nonprobability sampling dalam

mengambil sampel penelitian, yaitu teknik pengambilan sampel di mana setiap

anggota populasi tidak memiliki kesempatan atau peluang yang sama sebagai

sampel (Noor, 2012). Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik purposive

sampling. Teknik ini digunakan karena pengambilan sampel didasarkan pada

pertimbangan tertentu berdasarkan ciri atau sifat populasi yang sudah

(63)

Subjek dalam penelitian ini adalah wanita yang berdomisili di Provinsi

D.I Yogyakarta yang memiliki beberapa ciri, diantaranya:

1. Wanita dengan rentang usia 20-60 tahun yang sudah menikah

2. Minimal usia perkawinan adalah 2 tahun, karena durasi perkawinan

dibawah dua tahun dianggap sebagai masa bulan madu dan kurang dapat

memprediksi kepuasan perkawinan (Fischer dalam Trokan, 1998).

3. Tinggal serumah dengan suami, hal ini dikarenakan terdapat beberapa

aspek dalam kepuasan perkawinan yang membutuhkan kerjasama suami

istri secara langsung seperti komunikasi, afeksi, kepuasan seksual dan

pembagian peran.

4. Memiliki anak, karena pasangan yang memiliki anak cenderung lebih puas

dan merasa perannya sebagai orangtua terpenuhi dibandingkan pasangan

tanpa anak (Dew dan Wilcox, 2011; Santrock, 2002).

E. Metode dan Instrumen Penelitian

Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah dengan

menggunakan skala kepuasan perkawinan. Skala kepuasan perkawinan tersebut

disusun berdasarkan indikator yang telah disebutkan diatas. Skala ini

merupakan skala Likert, di mana subjek diminta menyatakan

kesetujuan-ketidaksetujuannya terhadap pernyataan-pernyataan mengenai kepuasan

perkawinan yang peneliti susun. Respon jawaban terhadap

pernyataan-pernyataan dalam skala terdiri atas empat respon yaitu, Sangat Setuju (SS),

(64)

Setiap aitem yang mewakili indikator dibagi dalam dua jenis

pernyataan, yaitu pernyataan yang bersifat favorable dan pernyataan yang

bersifat unfavorable. Pernyataan yang bersifat favorable adalah pernyataan

yang jika disetujui akan mendukung atribut yang diukur. Sebaliknya

pernyataan unfavorable adalah pernyataan yang jika disetujui akan

menunjukkan sikap negatif atau tidak mendukung atribut yang diukur

(Supratiknya, 2014).

Pemberian skor dalam pilihan jawaban untuk aitem favorable adalah 4

untuk pilihan respon “Sangat Setuju” (SS), skor 3 untuk respon “Setuju” (S),

skor 2 untuk respon “Tidak Setuju” (TS), dan skor 1 untuk respon “Sangat

Tidak Setuju” (STS). Sedangkan untuk aitem unfavorable, skornya adalah 1

untuk pilihan respon “Sangat Setuju” (SS), skor 2 untuk respon “Setuju” (S),

skor 3 untuk respon “Tidak Setuju” (TS), dan skor 4 untuk respon “Sangat

Tidak Setuju” (STS).

Tabel 1. Skor Penilaian Skala Kepuasan Perkawinan.

Respon Jawaban Favorable Unfavorable

Sangat Setuju (SS) 4 1

Setuju (S) 3 2

Tidak Setuju (TS) 2 3

(65)

Tabel 2. Blue-print Skala Kepuasan Perkawinan sebelum try-out.

Validitas adalah kualitas yang menunjukkan sejauh mana suatu tes

sungguh-sungguh mengukur atribut psikologis yang hendak diukurnya

(66)

validitas isi yaitu tingkat di mana suatu tes mengukur lingkup isi yang

dimaksud (Sumanto, 2014). Salah satu cara yang dapat mendukung validitas

isi adalah dengan menyajikan blue print (Azwar, 2013). Dalam

mengembangkan isi dari sebuah skala, pada uji validitas dilakukan juga

analisis rasional melalui professional judgement (Azwar, 2003). Dalam hal

ini peneliti melakukan pengujian validitas isi dengan bantuan professional

judgement yaitu Dosen Pembimbing Skripsi.

2. Analisis Aitem

Analisis aitem dilakukan untuk menguji kualitas sebuah skala

psikologi yang dilihat dari setiap aitem dan untuk mendukung validitas

sebuah skala (Azwar,2013). Tujuan dari analisis aitem adalah memilih

aitem-aitem yang akan membentuk sebuah skala yang bersifat homogen

atau memiliki daya diskriminasi yang baik (Supratiknya, 2014)

Batasan koefisien korelasi rix ≥ 0,30 digunakan sebagai kriteria

pemilihan aitem. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal

0,30 daya pembedanya dianggap memuaskan dan dapat digunakan,

sedangkan aitem yang memiliki koefisien korelasi kurang dari 0,30

dianggap sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah atau

dianggap kurang baik dan tidak digunakan (Azwar, 2013).

Pengambilan data uji coba dilakukan pada bulan mei 2015 dengan

jumlah subjek sebanyak 50 orang. Analisis aitem dalam penelitian ini

menggunakan SPSS For Windows 16.0 dengan melihat Corrected

(67)

66 aitem yang disajikan, terdapat 4 aitem yang tidak memenuhi syarat.

Keempat aitem ini dinyatakan gugur karena memiliki nilai koefisien

korelasi kurang dari 0.30. Dari 66 aitem, terdapat 62 aitem yang dinyatakan

memenuhi syarat.

Tabel 3.Blue-print Skala Kepuasan Perkawinan sesudah try-out.

No. Aspek Nomor Aitem Jumlah Bobot

(68)

Tabel 4.Blue-print Skala Kepuasan Perkawinan final.

Realibitas mengacu pada sejauh mana suatu hasil pengukuran dapat

(69)

reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti pengukuran semakin reliabel,

semakin mendekati angka 0 berarti pengukuran tidak reliabel. Uji reliabilitas

dalam penelitian ini menggunakan Alfa Cronbach dengan program SPSS

For Windows 16.0.

Berdasarkan data Reliability Statistics, koefisien skala sebelum

seleksi aitem sebesar 0,961 dan koefisien skala setelah seleksi aitem sebesar

0,963. Skala penelitian ini dinyatakan reliabel karena memiliki koefisien

skala mendekati 1,00.

Tabel 5.

Tabel 5a. Data Statistik Reliabilitas Sebelum Seleksi Aitem

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

.961 66

Tabel 5b. Data Statistik Reliabilitas Setelah Seleksi Aitem

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

.963 62

G. Metode Analisis Data

1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas adalah uji yang dilakukan untuk mengecek apakah

data penelitian berasal dari populasi yang sebarannya normal (Santoso,

Gambar

Tabel 1. Skor Penilaian Skala Kepuasan Perkawinan.
Tabel 2. Blue-print Skala Kepuasan Perkawinan sebelum try-out.
Tabel 3. Blue-print Skala Kepuasan Perkawinan sesudah try-out.
Tabel 4. Blue-print Skala Kepuasan Perkawinan final.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah independent sampel t-test untuk melihat perbedaan penyesuaian perkawinan pada wanita dewasa dini yang bekerja dan

Pangesti, L.N.2002.Hubungan Konsep Diri Dengan Kecemasan Dalam Memilih Pasangan Hidup Pada Wanita Usia Dewasa Awal.. Pengantar

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara daya tarik fisik terhadap kepuasan hubungan pada pasangan usia dewasa awal yang berpacaran.. Penelitian ini

Berdasarkan hasil analisis data penelitian mengenai perbedaan kepuasan hidup pada laki-laki dan perempuan usia dewasa madya diperoleh nilai sig 0,275 (p > 0,05), yang

Hipotesis yang diajukan peneliti dalam penelitian ini adalah ada perbedaan kematangan cinta antara pria dan wanita usia dewasa awal.. Uji statistik yang digunakan untuk

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku merokok ditinjau dari tingkat stres pada wanita dewasa awal di Yogyakarta.. Metode dalam penelitian ini

Berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan dalam penelitian ini, kebahagiaan dan kepuasan hidup yang dirasakan oleh wanita lajang usia dewasa madya juga diperoleh dari

Hasil analisis data menunjukkan tidak ada perbedaan penyesuaian perkawinan pada wanita dewasa dini yang bekerja dan tidak bekerja dengan nilai ρ = 0.975, dimana subyek wanita