PUTUSAN
Nomor 1707/B/PK/PJK/2016
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
PT. FGH, beralamat di FG Lantai 5, Jin. Jend. SD Kav. 47, Jakarta XXXX0, alamat Korespondensi The Plaza Office Tower Lt. 36, Jalan M.H. TH Kav. 28-30, Jakarta X0XX0, diwakili Oleh Y. DF, Direktur Utama PT. FGH dalam hal ini memberikan kuasa kepada:
Dr. GH, S.H., Msc. beralamat di Jalan Kikir No. 84, Kayu Pitih, Pulogadung, Jakarta Timur, XXXX0, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 012/TAX-BNS/XI/2012, tanggal 31 Oktober 2012;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
melawan:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal AF No. 4042, Jakarta XXXX0, dalam hal ini memberikan kuasa kepada:
1. AA, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
2. BB, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
3. CC, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
4. DD, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-471/PJ./2013, tanggal 13 Maret 2013;
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.39485/PP/M.I/16/2012, Tanggal 30 Juli 2012 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, dengan posita perkara sebagai berikut:
Bahwa Pemohon Banding mengajukan Banding atas Keputusan Terbanding Nomor KEP-2672/WPJ.04/2010 tanggal 25 November 2010 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Nomor
00020/207/06/213/09 tanggal 4 November 2009 Masa Pajak Desember 2006 (Keputusan Terbanding Nomor KEP- 2672/WPJ.04/2010);
Bahwa adapun alasan Pemohon Banding mengajukan Banding ini dapat dijelaskan sebagai berikut;
LATAR BELAKANG Ketentuan Formal
Bahwa sebagai hasil dari pemeriksaan pajak periode Januari s/d Desember 2006, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Rengat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Nomor 00020/207/06/213/09 tanggal 4 November 2009 untuk Masa Pajak Desember 2006 ("SKPKB PPN Desember 2006") yang menetapkan jumlah Pajak yang kurang dibayar sebesar Rp.2.001.340.649,00, dengan perincian sebagai berikut:
Keterangan Fiskus Pemohon
Banding
Selisih PPN Keluaran Nett
PPN Masukan
2.988.161.407,00 2.227.274.724,00
1.789.660.545,00 2.227.274.724,00
1.198.500.862,00 0,00 PPN yg kurang (lebih)
dibayar PPN yg telah disetor
760.886.683,00 0,00
(437.614.179,00) 0,00
1.198.500.862,00 0,00
PPN yg kurang (lebih) disetor
Dikompensasi ke masa berikutnya
760.886.683,00 437.614.179,00
(437.614.179,00) 437.614.179,00
1.198.500.862,00 0,00
PPN yg masih kurang (lebih) bayar
Bunga Psl 13(2) KUP KenaikanPsl 13(2) KUP
1.198.500.862,00 365.225.608,00 437.614.179,00
0,00 0,00 0,00
1.198.500.862,00 365.225.608,00 437.614.179,00
Pajak Ymh dibayar 2.001.340.649,00 0,00 2.001.340.649,00
Bahwa jumlah PPN yang kurang dibayar dalam SKPKB PPN Desember 2006 sebesar Rp.2.001.340.649,00 tersebut telah dilunasi melalui Surat Setoran Pajak tanggal 2 Desember 2009 yang telah Pemohon Banding laporkan melalui pos tercatat kepada KPP Pratama Rengat pada tanggal 30 Desember 2009;
Bahwa Pemohon Banding kemudian mengajukan Keberatan atas SKPKB PPN Desember 2006 dengan surat nomor 038/TAX- BNS/XI/2009 tanggal 19 November 2009 yang dikirim melalui pos tercatat kepada KPP Pratama Rengat pada tanggal 10 Desember 2009;
Bahwa Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Jakarta Selatan menerbitkan Keputusan Terbanding Nomor KEP-
2672/WPJ.04/2010 tanggal 25 November 2010 tentang Keberatan atas SKPKB PPN Desember 2006 dan memutuskan jumlah yang masih harus dibayar tetap sebesar Rp.2.001.340.649,00 dengan perincian sebagai berikut:
Uraian
Pajak Kurang Dibayar
(Rp)
Sanksi Administrasi Jumlah Yang Masih Harus
Dibayar (Rp) Bunga (Rp) Kenaikan (Rp)
Semula 1.198.500.862,00 365.225.608,00 437.614.179,00 2.001.340.649,00
Dikurangkan 0,00 0,00 0,00 0,00
Menjadi 1.198.500.862,00 365.225.608,00 437.614.179,00 2.001.340.649,00
Bahwa dasar keputusan penolakan keberatan adalah tidak terdapat cukup alasan yang dapat menjadi dasar untuk menerima seluruh permohonan keberatan Pemohon Banding;
PROSES BANDING Ketentuan Formal
Bahwa Pemohon Banding telah memenuhi persyaratan formal atas permohonan banding sesuai dengan Pasal 27 UU KUP dan Pasal 35 dan Pasal 36 UU Pengadilan Pajak, yaitu :
a. Mengajukan banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak,
b. Surat Banding ini diajukan atas Surat Keputusan Terbanding Nomor: KEP-2672/WPJ.04/2010 tanggal 25 November 2010;
c. Surat Banding ini disampaikan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan (selambat-lambatnya 3 bulan sejak tanggal diterimanya Keputusan Keberatan),
d. Pemohon Banding telah membayar seluruh pajak yang terutang, Ketentuan Materiil Sengketa Pajak
Bahwa Pemohon Banding mengajukan banding atas Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-2672/WPJ.04/2010 tanggal 25 November 2010 yang telah menetapkan kembali koreksi dalam SKPKB PPN Desember 2006 dengan perincian sebagai berikut:
1. Koreksi PPN Keluaran sebesar Rp. 1.198.500.862,00 adalah mengikuti koreksi peredaran usaha dari hasil pemeriksaan PPh Badan Tahun 2006 yang dilakukan oleh KPP Pratama Setiabudi Tiga dan hasil penelitian keberatan yang dilakukan oleh Terbanding. Koreksi dari hasil penelitian keberatan objek PPh Badan oleh Terbanding^-gd^lah sebesar
Rp.143.820.103.459,00. Koreksi Objek PPN yanf/^ireksi adalah (Rp.143.820.103.459,00 / 12 ) = Rp.11.985.008.622,00;
PENDAPAT DAN ALASAN BANDING
Bahwa pendapat dan alasan yang rinci dari sengketa pajak yang disebutkan diatas dijeiaskan sebagai berikut:
Banding atas koreksi PPN Keluaran sebesar Rp.l.198.500.862,00 Dasar dan Alasan koreksi;
Bahwa mengikuti koreksi peredaran usaha dari hasil pemeriksaan PPh Badan Tahun 2006 yang dilakukan oleh KPP Pratama Setiabudi Tiga dan hasil penelitian keberatan yang dilakukan oleh Terbanding. Koreksi dari hasil penelitian keberatan objek PPh Badan oleh Terbanding adalah sebesar Rp.143.820.103.459,00. Koreksi Objek PPN yang dikoreksi adalah
(Rp.143.820.103.459,00/ 12) = Rp.l 1.985.008.622,00;
Pendapat dan Alasan Pemohon Banding
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi PPN Keluaran sebesar Rp.l.198.500.862,00 berdasarkan alasan tersebut di atas, karena:
1. Koreksi peredaran usaha sebesar Rp.143.820.103.459,- dalam PPh Badan dibagi 12 bulan untuk menetapkan koreksi objek PPN ke masing masing bulan, hal ini sangat tidak menggambarkan total penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) pada masing-masing bulan yang sebenarnya.
Selain itu Fiskus juga tidak menyampaikan dasar hukum yang digunakan untuk menetapkan koreksi secara pro rata atas perhitungannya tersebut;
2. Koreksi peredaran usaha sebesar Rp.143.820.103.459,00 tersebut terjadi karena Pemeriksa pajak mengacu pada koreksi Pemeriksa pajak KPP Pratama Jakarta Setiabudi Tiga dan hasil Terbanding dari Terbanding, dimana atas koreksi peredaran usaha yang dilakukan oleh KPP Pratama Jakarta Setiabudi Tiga dan koreksi dari Terbanding tersebut saat ini masih Pemohon Banding ajukan Banding di Pengadilan Pajak dengan Nomor sengketa XX-0XXXXX-X00X, oleh karna itu apapun yang menjadi putusan dari Pengadilan Pajak atas nomor sengketa XX- 0XXXXX-X00X nantinya secara otomatis akan mengkoreksi juga koreksi peredaran usaha yang menjadi objek PPN Keluaran hasil pemeriksaan dari KPP Pratama Rengat;
Bahwa namun demikian akan Pemohon Banding sampaikan kembali alasan Pemohon Banding tidak setuju atas koreksi peredaran usaha tersebut yaitu :
1. Adanya perbedaan dasar koreksi yang digunakan oleh Pemeriksa pajak KPP Pratama Jakarta Setiabudi Tiga dengan dasar koreksi yang digunakan oleh Terbanding dalam menentukan peredaran usaha, sedangkan sengketa pajaknya sendiri berawal dari terbitnya SKPKB PPh Badan Tahun 2006 Nomor 00008/206/06/063/08 tanggal 26 Maret 2008 dari hasil pemeriksaan pajak KPP Pratama Jakarta Setiabudi Tiga;
2. Koreksi Terbanding tidak didasarkan pada bukti-bukti yang kuat dan tidak berlandaskan pada ketentuan peraturan perpajakan. Hal ini tidak dapat diterima dan telah melanggar peraturan perpajakan sebagai berikut:
a. Berdasarkan UU KUP Nomor 16/2000 pasal 29 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
b. Berdasarkan UU KUP Nomor 16/2000 penjelasan pasal 29 ayat (2) yang antara lain menyatakan: "Pendapat dan kesimpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti-bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
c. Berdasarkan UU KUP Nomor 16/2000 pasal 31, prosedur pemeriksaan diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan (KMK);
d. Pendapat dan kesimpulan Pemeriksa Pajak harus didasarkan pada temuan yang kuat dan berlandaskan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan (Pasal 10 KMK Nomor 545/KMK.04/2000 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 123/PMK.03/2006);
e. Laporan Pemeriksaan Pajak disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup sesuai dengan tujuan pemeriksaan, memuat kesimpulan Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait (Pasal 11 KMK Nomor 545/KMK.04/2000 yang kemudian dirubah dengan PMK Nomor 123/PMK.03/2006);
f. Pemeriksa tidak menyebutkan dasar hukum dilakukannya koreksi tersebut sesuai dengan Surat Edaran DJP Nomor SE-10/WP.7/2006 tanggal 20 Desember 2006 mengenai konfirmasi atas pembahasan hasil pemeriksaan yang menyatakan bahwa Tim Pemeriksa Pajak harus menyebutkan dasar hukum berupa hukum pajak dan peraturan yang lainnya untuk setiap temuan dalam daftar temuan pemeriksaan;
Bahwa koreksi peredaran usaha ini ditetapkan Pemeriksa dengan cara membandingkan jumlah Produksi TBS antara : a. Produksi TBS dan produksi dari seluruh kebun-kebun yang ada selama setahun;
b. Produksi berdasarkan indeks produksi dan kelas lahan dalam buku panduan penggalian potensi pajak sektor usaha kelapa sawit yang menjadi lampiran surat Dirjen Pajak Nomor S-l 19/PJ.08/2007 tanggal 26 September 2007;
Bahwa menurut pendapat Pemohon Banding, cara penetapan koreksi Terbanding tersebut diatas adalah tidak tepat;
bahwa dalam peraturan perpajakan tidak terdapat ketentuan yang mengatur bahwa Terbanding dapat menentukan peredaran usaha wajib pajak berdasarkan "benchmark"(misalnya buku statistik kelapa sawit;
Bahwa Undang-undang Perpajakan memberikan kewenangan kepada Terbanding untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak hanya dalam transaksi-transaksi yang melibatkan hubungan istimewa, yaitu UU PPh Nomor 17 Tahun 2000 Pasal
18 ayat 3;
Bahwa dengan demikian Terbanding tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan kembali besarnya Peredaran Usaha Pemohon Banding karena tidak terdapat peraturan atau ketentuan perpajakan yang mengharuskan Pemohon Banding untuk memenuhi kuota produksi seperti yang tertera pada buku Baku statistik tersebut;
Bahwa jumlah penjualan yang Pemohon Banding laporkan pada SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2006 merupakan jumlah penjualan selama tahun 2006 berdasarkan laporan keuangan perusahaan untuk periode yang berakhir tanggal 31 Desember 2006 yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik JJ, KK & LL (KAP). Pemohon Banding berpendapat bahwa pada waktu proses audit dilaksanakan, pihak KAP tersebut telah melakukan verifikasi atas data penjualan Tahun 2006;
Bahwa dalam proses keberatan Pemohon Banding telah memberikan penjelasan serta data/dokumen asli terkait dengan pembuktian produksi TBS yaitu tiket timbang produksi TBS semua kebun dari bulan Januari s/d Desember 2006 untuk membuktikan produksi TBS Pemohon Banding yang sebenarnya;
Bahwa dalam surat DJP Nomor : S-2303/PJ.071/2009 tanggal 18 Maret 2009 tentang hasil penelitian keberatan disampaikan oleh Terbanding bahwa hasil penelitian keberatan terhadap peredaran usaha menyatakan bahwa tetap mempertahankan koreksi sebesar Rp.202.438.186.024,00 yang dilakukan oleh pemeriksa pajak;
Bahwa dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Penelitian Keberatan Nomor : BA-219/PJ.071/2009 tanggal 31 Maret 2009 yang telah ditandatangani Pemohon Banding dengan Terbanding disimpulkan bahwa hasil penelitian keberatan oleh Terbanding terhadap peredaran usaha menyatakan tetap mempertahankan koreksi sebesar Rp.202.438.186.024 yang dilakukan oleh pemeriksa pajak;
Bahwa namun dalam Keputusan Keberatan Terbanding Nomor : KEP-243/PJ.07/2009 Tanggal 20 April 2009 tentang keberatan atas SKPKB PPh Badan Tahun 2006 memutuskan menerima sebagian keberatan Pemohon Banding, dengan dasar koreksi peredaran usaha yang berbeda dengan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak seperti yang telah Pemohon Banding ungkapkan dalam point A.5 dan A.6 dalam surat ini;
Bahwa Pemohon Banding keberatan dengan dasar koreksi peredaran usaha yang dilakukan oleh Terbanding dengan menggunakan pendekatan biaya pengangkutan TBS, karena perhitungan koreksi peredaran usaha yang pernah disampaikan kepada Pemohon Banding hanya perhitungan secara global, maka untuk melakukan pembuktian Pemohon Banding masih membutuhkab dasar perhitungan yang detail dan sumber data yang digunakan dari Terbanding;
Bahwa berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas Pemohon Banding menilai Terbanding tidak konsisten terhadap dasar yang digunakan untuk melakukan koreksi peredaran usaha, sementara latar belakang yang mendasari proses sengketa pajak ini adalah adanya koreksi peredaran usaha yang dilakukan oleh pemeriksa pajak dengan menggunakan indeks produksi dan kelas lahan dalam buku panduan penggalian potensi pajak sektor usaha kelapa sawit yang menjadi Iampiran surat Dirjen Pajak Nomor S-l 19/PJ.08/2007 tanggal 26 September 2007, Pemohon Banding tegaskan bahwa koreksi Pemeriksa atas Peredaran Usaha sebesar Rp.202.438.186.024,00 maupun koreksi peredaran usaha yang dilakukan oleh Terbanding sebesar Rp. 144.662.024.995,00 tidak didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sebagaimana di sebutkan dalam UU Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 16 tahun 2000 Pasal 29 ayat (2) (Penjelasan) dan meskipun demikian, Jumlah penjualan yang Pemohon Banding laporkan pada SPT Tahunan PPh Badan Tahun pajak 2006 merupakan jumlah penjualan selama tahun 2006 berdasarkan laporan keuangan perusahaan untuk periode yang berakhir tanggal 31 Desember 2006 yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik JJ, KK & LL (KAP). Pemohon Banding berpendapat bahwa pada waktu proses audit dilaksanakan, pihak KAP tersebut telah melakukan verifikasi atas data penjualan Tahun 2006;
Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas Pemohon Banding mohon Pengadilan Pajak membatalkan Keputusan Terbanding Nomor KEP-2672/WPJ.04/2010, sehingga perhitungan PPN masa Desember 2006 adalah sebagai berikut:
PPN Keluaran Nett PPN Masukan
PPN yg kurang (lebih) dibayar PPN yg telah disetor
PPN yg kurang (lebih) disetor Dikompensasi ke masa berikutnya PPN yg masih kurang (lebih) bayar Bunga Psl 13(2) KUP
Kenaikan Psl 13(2) KUP Pajak ymh dibayar
Rp.
Rp.
(Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
1.789.660.545,00 2.227274.724,00 437.614.179,00) 0,00 437.614.179,00) 437.614.179,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.39485/PP/M.I/16/2012, Tanggal 30 Juli 2012 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Menolak banding Pemohon Banding terhadap keputusan Terbanding Nomor: KEP-2672/WPJ.04/2010 tanggal 25 Nopember 2010 mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Nomor : 00020/207/06/213/09 tanggal 4 Nopember 2009 Masa Pajak Desember 2006, atas nama: PT. FGH, NPWP: 0X.XXX.XXX.X- 0XX.000 (d/h 0X.XXX.XXX.X-XXX.00X), Alamat Keputusan : FG Lantai 5, Jl. Jend. SD Kav. 47, Jakarta XXXX0, Alamat
Korespondensi : The Plaza Office Tower Lt.36, Jl. M.H. TH Kav.28-30, Jakarta, X0XX0;
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.39485/PP/M.I/16/2012, Tanggal 30 Juli 2012, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada Tanggal 27 Agustus 2012 kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 012/TAX-BNS/XI/2012 Tanggal 31 Oktober 2012, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada Tanggal 08 November 2012 dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 08 November 2012;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada Tanggal 11 Januari 2013 kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 20 Maret 2013 ;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
A. Mengenai Putusan.
I. Bahwa diktum Putusan Pengadilan Pajak tersebut berbunyi:
M E N G A D I L I
Menolak banding Pemohon Banding terhadap keputusan Terbanding Nomor KEP-2672/WPJ.04/2010 tanggal 25 November 2010 mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Desember 2006 Nomor 00020/207/06/213/09 tanggal 4 November 2009, atas nama: PT. FGH, NPWP:
0X.XXX.XXX.X-0XX.000 dahulu 0X.XXX.XXX.X-XXX.001, Alamat: FG Lantai 5, Jl. Jend. SD Kav. 47, Jakarta XXXX0;
II. bahwa amar menimbang Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 39485/PP/M.I/16/2012 diucapkan pada tanggal 30 Juli 2012:
bahwa untuk memahami dan mendalami kejelasan substansi dari diktum Putusan, sesuai dengan sistem yang dianut, dapat dilihat dan dipelajari dari amar menimbang, yang dihimpun dan disarikan dari pembahasan dalam persidangan, dan oleh karena itu amar menimbang berfungsi menjiwai dan menentukan diktum Putusan atau dengan kata lain selalu terdapat benang merah antara amar menimbang dengan diktum Putusan;
1. Dalam amar menimbang Termohon PK (semula Tergugat) mengemukakan:
”Bahwa melalui pemeriksaan lokasi, dari hasil pengujian dengan membandingkan antara biaya pengangkutan dalam GL dan dokumen pendukung, ditemukan bahwa terdapat penyerahan BKP yang belum dipungut PPN-nya oleh Pemohon Banding selama Masa Januari 2006 dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) masing-masing sebesar Rp 11.985.008.622,00;
Bahwa pokok sengketa adalah jumlah peredaran usaha sejumlah Rp. 143.820.103.459,00;
Bahwa selanjutnya dilakukan equalisasi antara peredaran usaha dengan penyerahan PPN dan berpendapat bahwa koreksi tersebut terjadi merata sepanjang tahun 2006, sehingga pada ahir masa pajak dilakukan koreksi Rp.143,820,103,459,00 :12 = Rp 11.985.008 622,00”;
2. Dalam amar menimbang Pemohon PK (semula Penggugat) mengemukakan:
”Bahwa koreksi peredaran usaha sebesar Rp.143.820.103.459,00 dalam PPh Badan dibagi 12 bulan untuk menetapkan koreksi objek PPN ke masing-masing bulan, hal ini tidak menggambarkan total penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) pada masing-masing bulan yang sebenarnya. Selain itu Fiskus juga tidak menyampaikan dasar hukum yang digunakan untuk menetapkan koreksi secara pro rata atas
perhitungannya tersebut; Bahwa koreksi peredaran usaha sebesar Rp 143.820.103.459,00 terjadi karena pemeriksa pajak mengacu pada koreksi KPP Pratama Jakarta Setiabudi Tiga dan hasil Terbanding dari Terbanding, dimana atas koreksi peredaran usaha yang dilakukan KPP Pratama Setiabudi Tiga dan koreksi Terbanding tersebut saat ini masih Pemohon Banding ajukan Banding di Pengadilan Pajak dengan nomor sengketa 15-042696-2006 nantinya secara otomatis akan menoreksi juga koreksi peredaran usaha yang menjadi obyek PPN Keluaran hasil pemeriksaan dari KPP Rengat”;
3. Dalam amar menimbang Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat:
”Bahwa koreksi Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp.11.985 008.622,00 dilakukan Terbanding karena mengikuti koreksi peredaran usaha di Pajak Penghasilan Badan sebesar Rp.143,820.103.459,00 sehingga Terbanding membagi koreksi tersebut merata sepanjang tahun 2006 maka pada setiap masa pajak dilakukan koreksi sebesar Rp. 143.820.103.459,00:12=
Rp.11.985.008.622,00
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi PPN Keluaran sebesar Rp.1.198.500.862,00 karena koreksi pererdaran usaha sebesar Rp 143.820.103. 459,00 dalam PPh Badan dibagi 12 bulan untuk menetapkan obyek PPN ke masing-masing bulan, hal ini sangat tidak menggambarkan total penyerahan yang sebenarnya. Selain itu fiskus juga tidak menyampaikan dasar hukum yang digunakan untuk ementapkan koreksi secara pro rataatas perhitungannya tersebut;
Bahwa Terbanding dan Pemohon Banding mengemukakan koreksi PPN tergantung dari koreksi PPh Badan;
Bahwa atas pengajuan banding PPh Badan dengan Nomor XX-0XXXX-X00X atas nama Pemohon Banding yang sama telah diputus dengan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-34835/PP/M.I/15/2011 dengan kesimpulan Majelis atas koreksi Terbanding mengenai Peredaran Usaha tetap dipertahankan;
Bahwa Majelis berpendapat oleh karena koreksi Pererdaran Usaha Pada PPh Badan tetap dipertahankan, maka Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding atas DPP PPN menjadi benar dan tetap dipertahankan”;
B. Pokok Perkara Dalam Sengketa Pajak Yang Diajukan Peninjauan Kembali;
Bahwa dari amar menimbang Putusan tersebut diatas, ternyata yang menjadi pokok masalah dalam Sengketa Pajak ini, yang atasnya diajukan PK, hanya ada satu yaitu ”equalisasi”, yang digunakan untuk melakukan koreksi atas peredaran usaha (DPP) PPN Masa Pajak Tahun 2006 dengan menggunakan hasil koreksi fiskal terhadap peredaran usaha untuk mengitung PPh Badan Tahun 2006;
Bahwa sekalipun demikian dari pokok sengketa tersebut diatas dikaitkan dengan dengan amar menimbang Putusan, terdapat beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. ”Equalisasi” antara hasil koreksi peredaran usaha di PPh Badan dengan peredaran usaha di PPN, yang sebenarnya berfungsi sebagai indikator atau petunjuk;
2. Dalam peredaran usaha PPN Tidak terdapat penyerahan aktual BKP sebagaimana dimaksud Pasal 4 UU PPN;
3. Tidak ditemukan fakta berupa bukti yang kuat sebagaimana dimaksud;
4. Pasal 12 ayat (3) UU KUP dan peraturan pelaksanaan lainnya;
5. Temuan peredaran usaha PPN hanya berdasarkan asumsi telah dijadikan acuan untuk melakukan koreksi fiskal;
Bahwa selanjutnya perkenankan Pemohon PK (semula Pemohon Banding) menjelaskan kelima permasalahan tersebut diatas dalam uraian dibawah ini.
C. Keterkaitan Antara Koreksi Peredaran Usaha PPh dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN.
I. Latar Belakang Keterkaitan.
Bahwa disamping permasalahan diatas, ternyata terdapat keterkaitan erat antara peredaran usaha untuk menghitung Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN untuk Masa Pajak dalam Tahun 2006, yang menganut asas penyerahan (BKP/JKP), dengan koreksi fiskal atas peredaran usaha untuk menghitung PPh Badan Tahun 2006, oleh karena itu secara kronologis terlebih dahulu akan dikemukakan letak keterkaitannya tersebut;
Bahwa Termomohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat manakala terjadi koreksi fiskal pada peredaran usaha untuk menghitung PPh Badan maka koreksi fiskal tersebut akan langsung berpengaruh pada peredaran usaha (DPP) PPN, tanpa memperhatikan apakah unsur-unsur koreksi pada peredaran usaha untuk menghitung PPh Badan dilakukan atas dasar data fakta yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan ataukah hanya berdasarkan asumsi belaka;
Bahwa pada saat pengajuan peninjauan kembali ini, dasar untuk melakukan koreksi fiskal atas SPT-SPT PPN dalam Tahun 2006 adalah karena menurut Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put- 34835/PP/M.I/15/2011 (Vide Bukti PK-7) terdapat koreksi fiskal atas peredaran usaha PPh Badan di tahun yang sama (Tahun 2006), dan
karenanya Termohon PK (semulaTerbanding) dan juga Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat telah terjadi peredaran usaha yang tidak dilaporkan dalam SPT-SPT PPN dalam tahun 2006 tersebut;
bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) melakukan penelitian ternyata Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-.34835/PP/M.I/15/2011 itu sendiri didasarkan atas asumsi dan ultra petita, yaitu dengan menyatakan Keputusan Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) Nomor KEP-243/P.07/2009 Tanggal 20 April 2009 cacat hukum (karena melanggar norma hukum prosedural) dan tanpa suatu bukti apapun (asumsi) Majelis Hakim Pengadilan Pajak, kemudian kembali kepada tata cara melakukan perhitungan dalam penerbitan SKPKB PPh Nomor 00008/206/06/063 /08 (Ultra Petita), dengan penjelasan:
Sebagaimana diketahui dari batasan Pasal 1 angka 5 jo Pasal 2 UU Pengadilan Pajak, kewenangan absolut Pengadilan Pajak terbatas pada memutus Sengketa Pajak yang diajukan kepada Pengadilan Pajak;
Dari dokumen persidangan diketahui pokok sengketa yang diajukan kepada Pengadilan Pajak adalah mengenai KEP-2672/WPJ.04/2010 tanggal 25 November 2010;
Bahwa KEP-2672/WPJ.04/2010 tanggal 25 November 2010 tersebut dilakukan karena mengikuti atau sebagai akibat peredaran usaha PPh Badan untuk Tahun Pajak 2006 telah dikurangkan sesuai dengan Nomor KEP-243/P.07/2009 Tanggal 20 April 2009;
Bahwa permohonan Banding yang diajukan Pemohon PK (semula Pemohon Banding) terhadap KEP- 2672/WPJ.04/2010 tanggal 25 November 2010 tersebut telah diputus oleh Pengadilan Pajak dengan Putusannya Nomor Put. 39485/PP/M.I/16/2012 diucapkan pada tanggal 30 Juli 2012 dengan kembali pada tata cara penghitungan [eredaran ussaha PPh Badan Tahun 2006 sesuai dengan SKPKB PPh Badan Tahun Pajak 2006 Nomor SKPKB 00008/206/06/063/08;
Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam Putusan Nomor Put-34835/PP/M.I/15/2011 telah menyatakan Keputusan Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) Nomor KEP- 243/P.07/2009 tanggal 20 April 2009 (keputusan atas keberatan yang dimohonkan Banding) cacat hukum sehingga baik KEP- 243/P.07/2009 tanggal 20 April 2009 maupun SKPKB PPh Badan tahun 2006 yang telah diabsorpsi (asas absorpsi akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian D.II.2. halaman 20 di bawah) didalamnya, keseluruhan keputusan tersebut menjadi cacat hukum dengan akibat nietig;
Sekalipun demikian Majelis Hakim Pengadilan Pajak, tanpa wenang, telah menghitung kembali (seolah- olah bertindak sebagai Pejabat eksekutif) peredaran usaha PPh Badan Tahun 2006 dengan mengambil angka SKPKB PPh Nomor 00008/206/06/063/08 (yang telah dinyatakan nietig) dan menggunakan asumsi (benchmark/rendemen) telah melakukan tindakan Ultra Peita;
Tata cara Majelis Hakim Pengadilan Pajak, dalam mengambil Putusan Nomor Put-
34835/PP/M.I/15/2011 sangat tidak lazim dan seandainyapun dilakukan oleh Pejabat eksekutif (yang sebenarnya tidak boleh dilakukan karena nietig) akan dilakukan dengan penerbitan SKPKB
(beschikking), sehingga memungkinkan Wajib Pajak melakukan perlawanan, namun oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah dilakukan dalam bentuk Putusan yang bersifat final dan mengikat. Dengan cara yang demikian itu, seolah Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah mencabut hak Wajib Pajak untuk mendapat perlindungan hukum, padahal hal itu wajib diberikan;
Bahwa dalam kaitannya dengan peredaran usaha (DPP) PPN, Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put- 34835/PP/M.I/15/2011 sampai pada tingkat yang sekarang ini, secara kronologis dapat dijelaskan sebagai berikut:
II. Penerbitan Ketetapan Pajak PPh Badan Tahun 2006.
1. Penerbitan SKPKB PPh Badan.
Atas dasar benchmark (asumsi) yaitu berdasarkan indeks produksi dan kelas lahan dalam buku panduan penggalian potensi pajak (lampiran Surat Nomor S-119/PJ.08/2007 tanggal 26 September 2007) dan dilakukan untuk seluruh kebun-kebun, maka SPT PPh Badan Tahun 2006 yang telah di audit KAP Prio, Sarwoko&Sandjaja dari E&Y dengan pernyataan Wajar Tanpa Perkecualian, telah dikoreksi dan pada tanggal 26 Maret 2008 telah diterbitkan SKPKB PPh Badan Tahun 2006 Nomor 00008/206/06/063/08.
Berdasarkan benchmark tersebut, Peredaran usaha Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah dikoreksi sebesar Rp. 202.438.186.024,00;
2. Keputusan Keberatan.
Atas keberatan yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), kemudian Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menerbitkan Keputusan Keberatan Nomor KEP- 243/P.07/2009 tanggal 20 April 2009 yang memutuskan untuk menerima sebagian keberatan, sehingga Peredaran Usaha Pajak Penghasilan Badan menjadi Rp.144.662.024.995,00.
Pengurangan tersebut didasarkan pada penghitungan kembali pereredaran usaha PPh Badan, yang juga didasarkan pada asumsi, namun dengan pendekatan yang berbeda yaitu dari pendekatan bechmark beralih
kepada pendekatan transportasi TBS;
3. Putusan Banding.
Oleh karena Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) masih merasa keberatan karena digunakannya asumsi tanpa dasar hukum yang kuat, kemudian mengajukan banding. Atas Banding yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kemudian dengan Putusan
Pengadilan Pajak nomor Put. 34835/PP/M.I/15/2011 diucapkan pada tanggal 7 November 2011, Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah menghitung ulang dan kembali kepada perhitungan semula yaitu
perhitungan pada saat penerbitan SKPKB PPh Badan Tahun 2006 nomor 00008/206/06/063/08, dengan akibat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) harus menambah pajak yang harus dibayar, karena peredaran usaha dihitung kembali menjadi Rp. 202.438.186.024,00 sama dengan jumlah yang tercantum dalam SKPKB PPh Badan Tahun 2006 nomor 00008/206/06/063/08 sebelum di ubah dengan Keputusan Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbaning) Nomor KEP-243/P.07/2009 tanggal 20 April 2009.
III. Keterkaitan Antara Proses Penerbitan Ketetapan PPN Dengan Proses Peberbitan Ketetapan PPh Badan.
1. Penerbitan SKPKB PPN.
Dengan logika berfikir Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) yakni jika peredaran usaha PPh meningkat (akibat adanya koreksi fiskal) maka otomatis peredaran usaha (DPP) PPN juga akan meningkat, sehingga PPN yang harus dipungut dan disetor juga meningkat;
Dengan mengikuti koreksi peredaran usaha PPh Badan tahun 2006 yang diterbitkan oleh KPP Pratama Setiabudi Tiga, maka pada tanggal 4 November 2009 oleh KPP Pratama Rengat telah menerbitkan SKPKB PPN Nomor 00020/207/06/213/09 dengan jumlah sebesar Rp 2.001.340.649,00 (termasuk sanksi administrasi);
2. Keputusan Keberatan.
Atas SKPKB PPN nomor 00020/207/06/213/09 kemudian Pemohon PK (semula Pemohon Banding) mengajukan keberatan, karena perhitungan PPN tersebut dilakukan berdasar asumsi yaitu dengan mengikuti asumsi pada koreksi peredaran usaha PPh Badan Tahun Pajak 2006;
Dalam proses keberatan, oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), PPN terutang telah dihitung kembali dan sesuai dengan hasil penelitian keberatan, penghitungan kembali tersebut dengan mengacu pada Keputusan Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) Nomor KEP-243/P.07/2009).
Sebagaimana diketahui penghitungan kembali tersebut melalui pendekatan transportasi TBS sebagai ganti dari pendekatan benchmark;
Menurut keputusan keberatan, obyek PPN terutang dalam Tahun Pajak 2006 adalah sebesar Rp 143.
820.103.459,00 dan untuk setiap Masa Pajak, obyek PPN tersebut dibagi 12 secara pukul rata, sesuai dengan jumlah bulan dalam setahun, sehingga obyek PPN untuk Masa Pajak Januari Tahun 2006 adalah sebesar Rp.11.985.008.622,00;
Sesuai dengan perhitungan objek PPN terutang tersebut keberatan yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula pemohon Banding) dengan Keputusan Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) nomor KEP 2672/WPJ.04/2010 tanggal 25 November 2010, ditolak;
3. Putusan Banding.
Dalam permohonan Banding, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tetap berpendapat bahwa perhitungan PPN terutang menurut SPT yang disampaikannya sudah benar dan perhitungan kembali (dalam proses keberatan) yang dibuat Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) juga dilakukan atas dasar asumsi, sekalipun dengan pendekatan yang berbeda;
Atas banding yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) terhadap Keputusan Termohon Peninjauan Kembali (semulaTerbanding) Nomor KEP 2672/WPJ.04/2010 tanggal 25 November 2010 tersebut, oleh Pengadilan Pajak telah ditolak dengan Putusan nomor Put.39485/PP/M.I/16/2012 yang diucapkan tanggal 20 Juli 2012;
Penolakan tersebut dilakukan dengan alasan mengikuti koreksi peredaran usaha pada PPh Badan Tahun Pajak 2006 yaitu dengan mengikuti Putusan Pengadilan Pajak nomor: Put.34835/PP/M.I/15/2011;
Dalam Putusan Nomor Put.34835/PP/M.I/15/2011 koreksi peredaran usaha PPh Badan dilakukan dengan pendekatan, yang kembali pada koreksi atas dasar dasar asumsi benchmark atau kembali lagi ke perhitungan SKPKB PPh Badan Tahun 2006 nomor 00008/206/06/063/08;
Oleh karena peredaran usaha PPh Tahun Pajak 2006 dikembalikan pada koreksi sebesar sebesar Rp.
202.438.186.024,00 (menurut Majelis tetap dipertahankan), sehingga dengan demikian menurut Majelis Hakim Pengadilan Pajak koreksi Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dalam proses Keberatan atas DPP PPN sebesar Rp 143. 820.103.459,00 .(menjadi benar dan tetap dipertahankan (halaman 32 dari Put.
39485/PP/M.I/16/2012);
bahwa berdasarkan perhitungan koreksi peredaran usaha (DPP) PPN tersebut diatas, maka dengan Putusan
Pengadilan Pajak Nomor Put. 39485/PP/M.I/16/2012, banding Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) ditolak;
bahwa dari uraian tersebut di atas terlihat bahwa Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put.
39485/PP/M.I/16/2012 yang diucapkan tanggal 30 Juli 2012, yang atasnya diajukan Peninjauan Kembali ini, amat tergantung pada sah atau tidaknya KEP- 243/P.07/2009 tanggal 20 April 2009. Jika KEP-243/P.07/2009 tanggal 20 April 2009 dinyatakan cacat hukum, maka Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put.
39485/PP/M.I/16/2012 juga ikut menjadi cacat hukum;
D. Pembahasan Atas Permasalahan Tersebut Dalam Pokok Perkara Sengketa Pajak Ini.
Bahwa dalam masalah persamaan matematis (equalisasi) dapat didekati melalui:
a. Koreksi yang terjadi pada peredaran usaha (DPP) PPN ((Menurut Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.
39485/PP/M.I/16/2012);
b. Validitas unsur-unsur koreksi yang dilakukan pada peredaran usaha untuk menghitung PPh Badan (melalui Put- 34835/PP/M.I/15/2011 yang sudah in kracht);
Bahwa kedua pendekatan tersebut akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.
Bagian pertama akan menjelaskan dari sudut koreksi pererdaran usaha (DPP) PPN dan pada bagian kedua akan dijelaskan melalui pendekatan unsur-unsur koreksi peredaran usaha PPh Badan;
bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yakin dari analisis tersebut akan dapat dibuktikan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 39484/PP/M.I/16/2012 diucapkan pada sidang terbuka 30 Juli 2012 nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku:
I. Koreksi Yang Terjadi Pada Peredaran Usaha (DPP) PPN (Menurut Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.
39485/PP/M.I/16/2012).
1. Ketentuan Perpajakan Yang Berlaku.
Bahwa sebagaimana diketahui, sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang sekarang berlaku, khususnya Pasal 12 ayat (1) UU KUP, dalam menentukan pajak terutang Indonesia menganut
”asas self asssesment” yang memberikan kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan dan melapor pajak yang terutang dalam bentuk suatu Surat Pemberitahuan (SPT).
Namun demikian manakala Pejabat Pajak menemukan bukti bahwa dalam SPT dimaksud tidak dilaporkan keadaan yang sebenarnya, Pejabat Pajak tersebut, melalui mekanisme pemeriksaan, sesuai dengan Pasal 12 ayat (3) jo Pasal 31 UU KUP, dapat menagih kekurangan pajak yang kurang dibayar melalui ketetapan pajak, yang dalam Hukum Administrasi Negara disebut Keputusan Tata Usaha Nebara (KTUN) atau dikenal juga dengan nama beschikking;
Bahwa dalam hal Wajib Pajak, telah menyelenggarakan pembukuan, apalagi telah di audit Kantor Akuntan Publik yang bertaraf Internasional, seperti KAP JJ, KK & LL dari E&Y yang termasuk dalam KAP lima besar, dengan pernyataan Wajar Tanpa Perkecualian, maka bukti yang dikehendaki adalah bukti yang benar-benar kuat, dan bukan sekedar analisis apalagi asumsi;
Bahwa sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Arye Lapidoth (1977, The Use Of Estimation For The
Assessment Of Taxable Business Income, IBFD), perkiraan penghasilan (asumsi) hanya dapat diterapkan pada pengusaha kecil dan wajib pajak yang sulit dikenakan pajak karena belum mampu
menyelenggarakan pembukuan secara baik dan benar. Metode demikian bersifat punitif, agar wajib pajak menyelenggarakan pembukuan yang baik dan benar;
Bahwa Prof. Dr MM MSc, pada seminar terbatas yang diselenggarakan oleh MNP Law Firm, hari Senin Tanggal 6 Februari 2012 (Vide Bukti PK-8) juga berpendapat, bahwa rendemen, daftar perkiraan yang menjadi acuan Termohon Peninjauan Kembali dalam menghitung hutang pajak (PPh Badan) Pemohon Peninjauan Kembali, hanya bertujuan sebagai indikator.
Terdapat banyak perbedaan perhitungan asumsi dalam daftar perkiraan tersebut dengan fakta yang terjadi di lapangan untuk setiap Wajib Pajak. Sehingga untuk setiap Wajib Pajak, harus dihitung masing-masing sesuai fakta yang ada, dan bukan pada perkiraan, yang sebenarnya hanya dimaksudkan sebagai indikator;
Bahwa oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kesemua ketentuan di atas, dari sisi hirarki mulai dari yang paling tinggi, UU sampai dengan peraturan yang paling bawah, yaitu Keputusan/Peraturan Menteri Keuangan, telah diabaikan atau tidak dipatuhi oleh Termohn Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dalam menghitung pajak yang harus dibayar Pemohon Peninjauan Kembali, dengan menghitung berdasarkan pendekatan (metode) benchmark, ataupun metode penggunaan transpotasi TBS dan/atau metode lainnya;
Bahwa ketentuan perpajakan yang mewajibkan Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dalam hal ini Pemeriksa Pajak harus menggunakan pembukuan, terdapat dalam:
Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi:
”Pajak dan pungutan lain yang memaksa untuk keperluan negara diatur undang-undang”;
Bahwa untuk melaksanakan bunyi Pasal 23A UUD 45 tersebut, dalam bidang pemungutan pajak telah diterbitkan UU KUP;
Penjelasan Pasal 29 ayat (2) UU KUP tentang pemeriksaan pajak menyatakan bahwa:
”Pendapat dan kesimpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti-bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”;
Selanjutnya, Pasal 31 UU KUP menyatakan bahwa prosedur pemeriksaan diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan. Sebagai pelaksanaan dari Pasal 31 UU KUP tersebut telah diterbitkan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000 yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 123/PMK.03/2006;
Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan No. 123/PMK.03/2006 menyatakan bahwa pendapat dan kesimpulan Pemeriksa Pajak harus didasarkan pada temuan yang kuat dan berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
Kemudian Pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan No. 123/PMK.03/2006 menyatakan bahwa Laporan Pemeriksaan Pajak disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup sesuai dengan tujuan pemeriksaan, memuat kesimpulan Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait;
Bahwa lebih lanjut, memang benar, terdapat suatu situasi dan kondisi tertentu, asumsi atau perkiraan dapat digunakan, hanya dalam hal yang bersifat pengecualian. Adapun mengnai hal-hal yang
dikecualikan tersebut harus dinyatakan secara rinci dalam peraturan perundang-undangan. Dalam UU KUP disebutkan sebagai berikut:
a. Didalam Penjelasan umum UU KUP, Pasal 12 ayat (1) jo ayat (2) dan Pasal 28 ayat (7) UU KUP, dinyatakan bahwa sistem pajak Indonesia menganut sisitem self assesment atas actual income (penghasilan sebenarnya berdasar pembukuan untuk semua Wajib Pajak Badan);
b. Pengecualian diberikan kepada sebagian Wajib Pajak tertentu, untuk dapat memilih bahwa pajaknya dihitung berdasarkan metode perkiraan;
Bahwa batasan mengenai penghitungan pajak berdasarkan perkiraan atau asumsi disebutkan dalam penjelasan Pasal 13 ayat (1) jo Pasal 29 ayat (3)b UU KUP, yaitu dalam hal Wajib Pajak tidak
menyampaikan SPT walaupun sudah ditegur atau Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban pembukuan menurut Pasal 28 UU KUP, atau tidak memenuhi permintaan pemeriksa menurut Pasal 29 UU KUP;
Bahwa selanjutnya Pasal 18 ayat (3) UU PPh juga memberikan pengecualian tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak, yaitu menghitung dengan tidak berdasar fakta hukum (dengan metode tertentu), namun terbatas pada transaksi-transaksi yang melibatkan hubungan Istimewa;
Bahwa dari ketentuan UU Pajak tersebut, pengecualian-pengecualian dijabarkan dengan jelas dalam undang-undang perpajakan. Di luar pengecualian-pengecualian tersebut, perhitungan pajak tunduk pada norma umum, yaitu berdasarkan fakta;
Bahwa dari kesemua persyaratan tentang perkscualian tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);
Bahwa dengan demikian, Pemohon Peninjauan Kembali, dalam hal ini, tidak memenuhi unsur-unsur dalam Pasal-Pasal pengecualian tersebut, sehingga perlakuan pajak terhadap penghasilan Pemohon Peninjauan Kembali, harus tunduk pada norma hukum umum, yaitu berdasarkan fakta. Sebagaimana telah diungkapkan dalam persidangan, fakta berupa pembukuan Pemohon Peninjauan Kembali dan bahkan telah diaudit oleh suatu Kantor Akuntan Publik yang bertaraf internasional, dengan pernyataan Wajar Tanpa Perkecualian;
2. Koreksi fiskal atas peredaran Usaha (DPP) PPN Berdasar Prinsip Equalisasi (Sesuai Dengan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 39485/PP/M.I/16/2012).
a. Prinsip equalisasi.
bahwa menurut Majelis Hakim pengadilan Pajak karena peredaran usaha PPh Badan Tahun Pajak 2006 dipertahankan maka sesuai dengan prinsip equalisasi, koreksi terhadap peredaran usaha PPN dinyatakan telah benar;
bahwa prinsip equalisasi atau persamann matematis tidak termasuk dalam prinsip dalam hukum pajak. Prinsip ini biasa digunakan untuk membantu dalam pemeriksaan pajak. Namun demikian prinsip ini hanya berfungsi sebagai indikator atau petunjuk, yang masih harus dibuktikan, sesuai dengan prinsip pembuktian dalam hukum pajak sebagaimana diuraikan pada huruf D angka I.1
diatas. Manakala peredaran usaha untuk menghitung PPh Badan (Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put- 34835/PP/M.I/15/2011, (yang dalam bagian ke 2 (dua) akan dibuktikan juga didasarkan asumsi) oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak dianggap benar, sudah barang tentu sebagai indikator, sesuai dengan ketentuan dalam UU PPN, masih harus dibuktikan terlebih dahulu, sehingga sah dipakai untuk melakukan koreksi fiskal atas peredaran usaha menurut SPT PPN;
Bahwa Pasal 4 UU PPN merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi, yaitu tidak ada PPN terutang jika tidak ada penyerahan BKP/JKP. Demikian pula dengan kesatuan sistem yang terdapat dalam Pasal 9 ayat (2) UU PPN yaitu ada penyerahan BKP/JKP, ada nilai DPP, ada Faktur Pajak , Masa Pajak, dan ada dokumen pendukung lainnya;
Bahwa Pasal 4 UU PPN menganut asas penyerahan BKP/JKP, oleh PKP dan kepada siapa BKP tersebut diserahkan atau dijual, serta dilakukan didalam Daerah Pabean. Jika tidak dapat ditunjukkan adanya penyerahan yang dibuktikan baik dari sudut arus barang, arus uang dan dokumen pendukungnya, maka penyerahan tersebut akan masuk dalam kategori asumsi;
Bahwa pembuktian semacam itu sama sekali tidak pernah dilakukan baik olehTermohon PK (semula Terbanding) maupun Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Oleh karena itu sulit dipahami, bagaimana mungkin Majelis Hakim Pengadilan Pajak, tanpa melakukan pengujian terhadap Pasal 4 UU PPN, apalagi terhadap Pasal 9 ayat (2) UU PPN, dapat secara langsung menyatakan bahwa kerena peredaran usaha PPh dipertahankan maka koreksi untuk peredaran usaha PPN dinyatakan benar;
Bahwa dalam kaitan inilah makna peredaran usaha untuk menghitung PPh, menurut Pemohon PK (semula Pemohon Banding) akan berpengaruh pada peredaran usaha PPN dalam artian harus dicari kaitannya dengan Pasal 4 jo Pasal 9 ayat (2) UU PPN;
Bahwa jika hal itu tidak dicari dan langsung menyatakan tanpa suatu sebab apapun koreksi peredaran usaha (DPP) PPN sudah benar maka dengan demikian jelas dan nyata pendapat Majelis hakim Pengadilan Pajak tersebut didasarkan atas asumsi, sehingga nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangna yang berlaku;
b. Majelis berpendapat bahwa prinsip pro rata dari total koreksi sebesar Rp. 143.820.103.459,00 adalah benar;
Bahwa didalam amar menimbang Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa sistem prorata atas total koreksi dalam Tahun Pajak 2006 sebesar Rp. 143.820.103.459,00 sudah benar.
Pendapat tersebut tidak didasari oleh suatu argumentasi hukum;
Bahwa menurut Pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak tersebut bertentangan dengan:.
PPN dikenakan dalam Masa Pajak, yaitu selisih antara Pajak Keluaran dan Pajak Masukan sebagaimana terlihat dari bunyi Pasal 9 ayat ( 2) UU PPN jo Pasal 1 angka 7 UU KUP.
Sistem PK dan PM dalam satu Masa Pajak (menggambarkan pengenaan pajak atas Added Value) dengan jelas memperkuat posisi Penyerahan sebagaimana dimaksud Pasal 4 UU PPN. Apakah yang menyerahkan telah menjadi PKP, kepada siapa BKP tersebut
diserahkan, berapa DPP nya, apakah telah dibuatkan Faktur Pajak, kesemua unsur tersebut menunjukkan bahwa PPN sebagai satu sistem yang berlaku secara utuh;
Tidak terdapat ketentuan lain, diluar Pasal 9 ayat (2) UU PPN yang memperkenankan, PPN yang yang harus dibayar diluar selisih antara Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan;
Bahwa secara teknis administratif, dengan metode 1/12 dari koreksi total peredaran setahun, tidak akan dapat diketahui akurasi SPT PPN yang mana yang dilakukan koreksi oleh Termohon PK (semula Terbanding), sedangkan persyaratan Pasal 12 ayat (3) UU KUP mewajibkan bahwa bukti yang dimiliki menentukan dapat atau tidaknya suatu SPT PPN dilakukan koreksi fiskal . Dalam kaitan ini bukti yang dimilki Termohon PK (semula Terbanding) sama sekali hanya berdasarkan asumsi, sehingga tidak dapat digunakan sebagai bahan untuk diuji menurut Pasal 4 jo Pasal 9 ayat (2) UU PPN;
Bahwa dalam kaitan dengan prinsip pro rata, menurut Pemohon Peninjauan Kembali, tidak ada suatu dasar hukum yang sah, yang memberikan kesempatan kepada Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) untuk melakukan pembagian peredaran usaha dalam satu tahun dibagi dengan 12 bulan untuk dialokasikan kedalam Masa Pajak yang bersangkutan;
Bahwa menerima prisip pro rata tersebut jelas dan nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku;
II. Validitas Unsur-Unsur Koreksi Yang Dilakukan Pada Peredaran Usaha Untuk Menghitung PPh Badan (Melalui Put-34835/PP/M.I/15/2011 Yang Sudah In kracht).
Bahwa dalam melakukan koreksi fiskal terhadap peredaran usaha PPN, Majelis Hakim Pengadilan Pajak
menggunakan unsur-unsur koreksi peredaran usaha PPh Badan menurut Putusan Nomor Put- 34835/PP/M.I/15/2011 yang sudah in kracht;
Bahwa dari amar menimbang Putusan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 39485/PP/M.I/16/2012 dan Putusan Nomor Put-34835 /PP/M.I/15/2011 terdapat beberapa permasalahan mengenai validitas unsur-unsur koreksi tersebut, sebagaimana tersebut dibawah ini;
1. Beberapa Pengertian Yang Menentukan.
a. Keputusan Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) Nomor KEP 2672/WPJ.04/2010 Sekalipun Mengandung Unsur Cacat Hukum Tetap Dipertahankan;
bahwa dari uraian pada diktum memutus, terlihat bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak tetap mempertahankan KEP 2672/WPJ.04/2010, yang perhitungannya didasarkan pada perhitungan sebagaimana tercantum dalam KEP-243/P.07/2009 tanggal 20 April 2009;
Bahwa dengan lugas dan tegas sebagaimana tercantum dalam Put.34835/PP.M.I/15/2011 halaman 39 dan halaman 40, yang sudah in kracht, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan KEP- 243/P.07/2009 tanggal 20 April 2009, telah melanggar norma hukum prosedural dalam penerbitannya dan karenanya dinyatakan cacat hukum;
Bahwa kesalahan prosedur dimaksud adalah karena Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak menerbitkan Surat Pemberitahuan Hasil Penelitian Keberatan, yang didalamnya mencantumkan dasar perhitungan peredaran usaha menggunakan pendekatan biaya pengangkutan dan Termohon Peninjauan Kembali (semulaTerbanding) juga tidak memberikan kesempatan kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) untuk memberikan tanggapan secara tertulis atas dasar penerbitan keputusanTerbanding yang kemudian menggunakan
pendekatan biaya pengangkutan dalam penghitungan pos peredaran usaha;
Bahwa cara yang dilakukan Terbanding diatas, tidak sesuai dengan Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 01/PJ.07/2007 tanggal 8 Oktober 2007;
bahwa pernyataan Majelis Hakim Pengadilan Pajak, dalam penerbitan KEP-243/P.07/2009 tanggal 20 April 2009 telah melanggar norma hukum prosedural dan mengakibatkan Keputusan tersebut menjadi cacat hukum dengan akibat nietig.
b. Keputusan Nomor KEP-243/PJ.07/2009 tanggal 20 April 2009 Selain Cacat Hukum Juga Menggunakan Asumsi;
Bahwa keputusan Nomor KEP-243/PJ.07/2009 tanggal 20 April 2009 baik dalam penghitungan peredaran usaha dan harga pokok penjualan, dilakukan dengan asumsi yaitu melalui pendekatan transpotasi TBS sebagai ganti dari pendekatan semula melalui penggunaan pendekatan
benchmark, padahal pembukuan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah diaudit Akuntan Publik Prio, Sarwoko & Sandjaja dengan Pernyataan Wajar Tanpa Pengecualian;
Bahwa menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, perhitungan PPh harus berdasarkan transaksi dan/atau fakta yang benar-benar terjadi, dan tidak diperkenankan didasarkan pada asumsi;
c. Konsekuensi dari Cacat Hukum;
Bahwa dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa KEP- 243/PJ.07/2009 tanggal 20 April 2009 yang menjadi dasar dari Put.34835/PP/M.I/15/2011 adalah cacat hukum baik dari segi formil maupun materiilnya;
Bahwa oleh karena Keputusan Nomor KEP-243/PJ.07/2009 tanggal 20 April 2009 cacat hukum maka termasuk didalamnya SKPKB PPh Badan Tahun 2006 Nomor 00008/206/06/063/08 yang melalui asas absorpsi (akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian D.II.2. halaman 20 di bawah) telah termasuk didalam Keputusan Nomor KEP-243/PJ.07/2009 tanggal 20 April 2009;
Bahwa dalam perundang-undangan perpajakan, sebagaimana dikemukakan diatas, harus diperhatikan pemenuhan ketentuan prosedural, yang berarti harus mengikuti ketentuan tentang pembuktian dan tidak diperkenankan melakukan asumsi manakala syarat pengecualian tidak dipenuhi. Dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 39485/PP/M.I/16/2012 diucapkan pada tanggal 30 Juli 2012, pembuktian tersebut sama sekali tidak dilakukan dan dari amar menimbang jelas dan nyata Putusan dimaksud didasarkan atas asumsi;
Bahwa demikian juga persyaratan pemenuhan ketentuan material tidak dilakukan. Dalam amar menimbang sama sekali tidak terlihat adanya usaha mengkaitkan indikator equalisasi antara peredaran usaha untuk menghitung PPh sebagaimana Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put- 34835/PP/M.I/15/2011 dengan Pasal 4 jo Pasal 9 ayat (2) UU PPN;
Bahwa tidak dipenuhinya salah satu persyaratan prosedural atau persyaratan material diancam dengan cacat hukum dan dengan akibat hukuman batal demi hukum atau nietig;
Bahwa didalam literatur (khususnya mengenai Hukum Administrasi Negara), pengertian cacat hukum terjadi manakala atas suatu produk hukum dinyatakan melanggar norma hukum yang berlaku, dan karenanya tidak memenuhi syarat formal ataupun syarat material, sehingga sejak
awal keputusan hukum tersebut dinyatakan tidak pernah ada (van rechtswege nietig);
Bahwa sesuai dengan pendapat Utrecht, dalam bukunya Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, penerbit Pustaka Tinta Mas, tahun 1994, halaman 106 s.d 111, cacat hukum
mengandung arti bahwa keputusan dimaksud sejak tanggal diterbitkannya dianggap tidak pernah terjadi, sehingga tidak menimbulkan akibat hukum apapun bagi para pihak (ex tunct);
Bahwa Menurut Prof. H.D. van Wijk, dalam bukunya "Hoofdstukken van Administratief Recht", uitgeverij Lemma BVUtrecht-1994 hal. 777. yang telah diperbaharui oleh Prof. Willem
Konijnenbelt dan Prof. Ron. M. van Male, dalam hal suatu gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dimenangkan seluruhnya atau sebagian, maka KTUN itu dinyatakan batal (vernietigd). KTUN yang dibatalkan secara hukum dianggap tidak pernah ada, namun apabila berdasar KTUN yang dibatalkan tersebut telah diterbitkan ketetepan maka akibat hukum bagi pihak ketiga yang timbul dari penetapan tersebut tetap berlaku;
bahwa Prof Dr AF.,S.H pada seminar terbatas yang diadakan oleh Mulaiwan&Partners pada hari Jumat tanggal 10 Februari 2012 (vide Bukti PK-9), juga berpendapat bahwa keputusan yang dinyatakan cacat hukum oleh Majelis Hakim, untuk sebagian maupun seluruhnya, secara hukum dianggap tidak pernah ada;
Bahwa akibat dari dinyatakannya sebagai cacat hukum, maka Putusan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum apapun, sehingga Keputusan Termohon Peninjauan Kembali (semula terbanding) Nomor KEP-243/PJ.07/2009 tanggal 20 April 2009 tidak dapat digunakan sebagai dasar
penerbitan SKPKB PPN nomor 00020/207/06/213/09, dan oleh karena itu dicantumkannya SKPKB PPN Nomor 00020/207/06/213/09 oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam
Putusannya nomor Put.39485/ PP.M.I/15/2012 nyata-nyata tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
2. Validitas Koreksi Melalui Unsur-Unsar Peredaran Usaha PPh (Putusan Nomor Put.34835/PP/M.I/15/2011 Yang Sudah In Kracht).
Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah melakukan kesalahan dengan menjadikan dasar Putusan Nomor Put.34835/PP/.I/15/2011 sebagai titik tolak dalam penerbitan Putusan Nomor Put.
39485/PP/M.I/16/2012 pada: