• Tidak ada hasil yang ditemukan

KLASIFIKASI PENYAKIT APPENDICITIS BERDASARKAN CITRA CT SCAN BAGIAN USUS MANUSIA MENGGUNAKAN METODE EXTREME LEARNING MACHINE SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KLASIFIKASI PENYAKIT APPENDICITIS BERDASARKAN CITRA CT SCAN BAGIAN USUS MANUSIA MENGGUNAKAN METODE EXTREME LEARNING MACHINE SKRIPSI"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

EXTREME LEARNING MACHINE

SKRIPSI

MUHAMMAD NOUFAL AZIZ 121402083

PROGRAM STUDI S1 TEKNOLOGI INFORMASI

FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2019

(2)

KLASIFIKASI PENYAKIT APPENDICITIS BERDASARKAN CITRA CT SCAN BAGIAN USUS MANUSIA MENGGUNAKAN METODE

EXTREME LEARNING MACHINE

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat memperoleh ijazah Sarjana Teknologi Informasi

MUHAMMAD NOUFAL AZIZ 121402083

PROGRAM STUDI S1 TEKNOLOGI INFORMASI

FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

PERNYATAAN

KLASIFIKASI PENYAKIT APPENDICITIS BERDASARKAN CITRA CT SCAN BAGIAN USUS MANUSIA MENGGUNAKAN METODE

EXTREME LEARNING MACHINE

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing telah disebutkan sumbernya.

Medan, Desember 2019

Muhammad Noufal Aziz

121402083

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji serta syukur kepada ALLAH SWT, atas rahmat dan hidayah-NYA, penyusunan skripsi ini dapat dituntaskan penulis sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Komputer, pada Program Studi S1 Teknologi Informasi Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi Universitas Sumatera Utara. Selama proses penyelesaian tugas akhir ini tidak terlepas pula pihak-pihak yang memberikan dukungan dan doa. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Allah SWT, karean rahmat dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini.

2. Kedua orang tua tercinta Ayah Abdullah Aziz, dan Ibu Ainul Mardhiah yang tiada hentinya memanjatkan doa, memberikan dukungan serta kasih sayang hingga skripsi ini berhasil diselesaikan.

3. Saudara penulis yang memberikan dukungan serta motivasi dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Seniman, S.Kom., M.Kom. sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan juga selalu memberikan semangat saat proses penyelesaian skripsi.

5. Bapak Ainul Hizriadi, S.Kom., M.Sc. sebagai dosen pembimbing yang selalu mengarahkan, memberi petunjuk serta dukungan ketika proses penyelesaian skripsi ini berlangsung.

6. Bapak Dani Gunawan, S.T., M.T. yang merupakan dosen penguji. Tanpa kritik dan saran yang membangun skripsi ini akan sangat jauh dari kata sempurna.

7. Ibu Sarah Purnamawati, ST., M.Sc yang merupakan dosen penguji. Tanpa kritik dan saran yang membangun skripsi ini akan sangat jauh dari kata sempurna.

8. Ketua dan Sekretaris Program Studi S1 Teknologi Informasi, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi, dan seluruh dosen serta staff kepegawaian di lingkungan Program Studi S1 Teknologi Informasi yang telah membantu dan membimbing penulis selama waktu perkuliahan.

(6)

9. Teman-teman Teknologi Informasi USU untuk angkatan 2012, terkhususnya grup “LAYLATULQADHAR” dan grup “YG MAU TAMAT” yang telah membantu dalam aktivitas perkuliahan, dan semangat serta dorongan dalam pengerjaan penulisan tugas akhir kepada penulis.

10. Kepada Keluarga Besar “Tandem”, Keluarga Besar “GamerSquadLOL”, Keluarga Besar “IPTR”, Keluarga Besar “A2”, Keluarga Besar “SVP”, yang telah memberikan support, menjadi tempat penulis berkeluh kesah, membantu dalam segala kesusahan serta selalu sabar. Ucapan terima kasih tidak cukup untuk membalas segala kebaikan yang diterima oleh penulis.

11. Untuk semua orang pernah ada dalam hidup penulis, ungkapan terima kasih tiada hentinya penulis ucapkan.

Hendaknya Allah SWT membalas segala bentuk amal baik, pengayoman, keringanan tangan, afeksi serta atensi yang disuguhkan kepada penulis.

Medan, Desember 2019

Penulis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(7)

ABSTRAK

Appendicitis adalah peradangan usus buntu, organ tubuh manusia yang berbentuk silinder (tabung) yang panjangnya 1,5 cm dari usus besar. Appendicitis dapat terjadi ketika ada penyumbatan pada usus, dapat berupa feses (tinja), maupun kanker. Dalam proses diagnosa appendicitis, anamnesis (komunikasi bersama dokter) dan pemeriksaan fisik menjadi peran utama yang menghasilkan akurasi diagnosis 76% hingga 80%, tapi juga dengan cara melalui proses Ultrasonography (USG) dan Computed Tomography (CT) scan scan. CT-Scan sendiri bukan untuk mencari adanya appendicitis namun membantu mencari differential diagnosis atau untuk membantu pasien yang hasil diagnosisnya masih diragukan. Namun Hasil foto CT-Scan dari usus manusia tidak dapat langsung dibaca, dibutuhkan perhitungan oleh orang yang ahli dibidangnya untuk menentukan kondisi usus buntu tersebut terdiagnosa appendicitis atau tidak. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk dapat membantu proses diagnosa appendicitis dengan pengolahan citra digital CT-Scan menggunakan Extreme Learning Machine (ELM). Proses klasifikasi penyakit Appendicitis tersebut terbagi atas tiga jenis yaitu Acute, Chronic, dan Normal. Pada penelitian ini menggunakan 75 citra data latih dan 30 citra data uji. Setelah pengujian dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa proses klasifikasi penyakit appendicitis memiliki tingkat akurasi 96% .

Kata Kunci: Klasifikasi Appendicitis, Usus Buntu, CT-Scan, ELM

(8)

CLASSIFICATION OF APPENDICITIS BASED ON CT SCAN IMAGES OF HUMAN COLON USING EXTREME LEARNING MACHINE

METHODS

ABSTRACT

Appendicitis is an inflammation of the Appendectomy, an organ that is a 1.5 cm long tube stretched from the colon. Appendicitis occurs when the Appendectomy is blocked, often containing feces, foreign objects, or cancer. In diagnosing Anamnesis and examination holds the main role with 76-80% accuracy but Ultrasonography (USG) and Computed Tomography (CT) scans are also possible. CT-Scan alone is not to seek the presence of appendicitis but helps to find differential diagnosis or to help patients whose diagnoses are still questionable. But the result of the CT-Scan photos of the human colon can’t be directly read, it takes calculations by people who are experts in their field to determine the condition of the appendectomy diagnosed appendicitis or not. Therefore, the research aims to be able to help diagnose appendicitis with an image of CT-Scan that has been processing using the Extreme Learning Machine (ELM). The process of classification of disease is divided into three types, namely Acute, Chronic, and Normal. In this study, 75 trained data imagery and 30 test data imagery. After the test is done, it can be concluded that the process classification of the Appendicitis has an accuracy rate of 96%.

Keywords: Classification of Appendicitis, appendectomy, CT-Scan, ELM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ... i

Pernyataan ... ii

Ucapan Terima Kasih ... iii

Abstrak ... v

Abstract ... vi

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.4 Batasan Masalah... 2

1.5 Manfaat Penelitian... 3

1.6 Metodologi Penelitian ... 3

1.7 Sistematika Penulisan ... 4

BAB 2 LANDASAN TEORI…. ... 6

2.1 Appendix ... 6

2.2 Appendicitis ... 7

2.3 Appendicitis Acute (Akut) ... 7

2.4 Appendicitis Chronic (Kronis) ... 8

2.5 Citra Digital ... 9

2.6 Grayscale ... 10

2.7 Scaling ... 10

2.8 Citra Biner ... 12

2.9 Histogram Equalization ... 13

2.10 Otsu Thresholding ... 13

(10)

2.11 Extreme Learning Machine ... 14

2.12 Artificial Neural Network ... 17

2.13 Penelitian Terdahulu ... 18

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM ... 21

3.1 Arsitektur Umum ... 21

3.2 Data Set ... 23

3.3 Preprocessing ... 23

3.3.1 Grayscale ... 24

3.3.2 Scaling ... 25

3.4 Thresholding ... 25

3.5 Binerisasi ... 33

3.6 Klasifikasi ... 34

3.7 Perancangan Sistem ... 36

3.7.1 Tampilan Sistem Klasifikasi Penyakit Appendicitis ... 36

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN PERANCANGAN SISTEM ... 38

4.1 Kebutuhan Sistem ... 38

4.1.1 Spesifikasi Perangkat Keras dan Perangkat Lunak ... 38

4.1.2 Implementasi Perancangan Antarmuka ... 38

4.1.3 Implementasi Data ... 40

4.2 Prosedur Operasional ... 43

4.3 Pengujian Sistem ... 46

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

5.1 Kesimpulan... 54

5.2 Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(11)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ... 19

Tabel 3.1 Pembagian Data Training dan Data Testing ... 23

Tabel 3.2 Pembagian Citra berdasarkan Penyakit ... 23

Tabel 3.3 Nilai RGB pada setiap piksel hasil Grayscale... 24

Tabel 3.4 Nilai Ambang Batas tiap Level Grayscale ... 26

Tabel 3.5 Nilai RGB pada setiap piksel Thresholding ... 33

Tabel 3.6 Keterangan Arsitektur ELM ... 34

Tabel 4.1 Data Hasil Pengujian ... 47

(12)

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 2.1 Usus Manusia ... 6

Gambar 2.2 Appendicitis ... 7

Gambar 2.3 Appendicitis Acute ... 8

Gambar 2.4 Appendicitis Chronic ... 8

Gambar 2.5 Citra Digital ... 9

Gambar 2.6 Nilai-nilai Piksel Gambar Awal ... 10

Gambar 2.7 Nilai Piksel Setelah Gambar Diperbesar ... 11

Gambar 2.8 Arsitektur Extreme Learning Machine ... 15

Gambar 2.9 Fungsi Aktivasi ... 17

Gambar 3.1 Arsitektur Umum Klasifikasi Penyakit Appendicitis ... 22

Gambar 3.2 Citra Grayscale ... 24

Gambar 3.3 Citra Scaling ... 25

Gambar 3.4 Citra Thresholding ... 25

Gambar 3.5 Citra Biner 30x30 Piksel ... 33

Gambar 3.6 Arsitektur Extreme Learning Machine untuk Klasifikasi Penyakit Appendicitis... 34

Gambar 3.7 Perancangan Sistem ... 36

Gambar 4.1 Tampilan Awal Sistem ... 39

Gambar 4.2 Tampilan Utama Sistem ... 42

Gambar 4.3 Appendicitis Acute ... 40

Gambar 4.4 Appendicitis Chronic ... 41

Gambar 4.5 Appendix Normal ... 42

Gambar 4.6 Tampilan Upload Citra ... 43

Gambar 4.7 Tampilan Parameter dan Waktu Proses ... 44

Gambar 4.8 Tampilan Uji Citra ... 44

Gambar 4.9 Tampilan Pengolahan Citra ... 45

Gambar 4.10 Tampilan Output Sistem ... 45

Gambar 4.11 Grafik Hasil Pengujian ... 46

Gambar 4.12 Grafik Citra Benar dan Salah ... 53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(13)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Appendicitis merupakan peradangan usus buntu, organ tubuh manusia yang berbentuk silinder (tabung) yang panjangnya 1,5 cm dari usus besar. Appendicitis dapat terjadi ketika ada penyumbatan pada usus, dapat berupa feses (tinja), maupun kanker.

Terjadinya penyumbatan juga dikarenakan oleh infeksi yang mengakibatkan pembengkakan. Jika tidak ada penanganan, Appendix yang membengkak akan menjadi perforasi (peradangan yang meledak), yang mengakibatkan keluarnya benda yang ada didalam appendix ke rongga perut. Hal ini dapat menyebabkan peritonitis, peradangan serius dari rongga lapisan perut (peritoneum) yang bisa berakibat fatal kecuali jika ditangani dengan cepat dengan antibiotik yang kuat.

Bidang bedah Abdomen memiliki kasus yang paling sering terjadi, rata-rata 7%

populasi di dunia menderita appendicitis dalam hidupnya (Agrawal, 2008). Departemen Kesehatan di Indonesia pada tahun 2006 mengatakan, appendicitis (peradangan usus buntu) mampu menjadi nomor urut keempat sebagai penyakit terbanyak dengan total 28.040 pasien rawat inap. Pada tahun 2008 terjadinya kasus appendicitis di Indonesia menjadi kasus yang paling tinggi di antara kasus abdomen (bagian tubuh berupa rongga perut yang berisi alat pencernaan) lainnya. Appendicitis pada menyerang semua umur, namun biasanya didapati pada remaja muda hingga dewasa, tepatnya pada kisaran usia 10-30 tahun (Agrawal, 2008) dan paling sering didapati dijenjang usia 20 sampai 30 tahun (Sjamsuhidajat, 2010).

Dalam proses diagnosa appendicitis, anamnesis (komunikasi bersama dokter) dan pemeriksaan fisik menjadi peran utama yang menghasilkan akurasi diagnosis 76%

hingga 80%, namun proses pencegahan pasien agar tidak mengalami perforasi tak hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik tapi juga dengan cara melalui proses Ultrasonography (USG) dan Computed Tomography (CT) scan. Selain itu CT-Scan sendiri bukan untuk mencari adanya appendicitis namun membantu mencari differential

(14)

diagnosis atau untuk membantu pasien yang hasil diagnosisnya masih diragukan (Rull, 2011).

Penelitian Andry Sianto pada tahun 2012 menggunakan pencarian region mampu mendeteksi adanya papilla pada citra yang diuji yaitu lidah untuk bisa mendeteksi penyakit Appendicitis. Sistem yang dibangun cukup mampu menghasilkan analisa dari penyakit tersebut.

Dari latar belakang diatas, maka penulis ingin membangun sebuah sistem yang lebih baik agar membantu bidang kesehatan khususnya dokter agar dapat mendiagnosa penyakit Appendicitis dengan akurat.

1.2. Rumusan Masalah

Hasil foto CT-Scan dari usus manusia tidak dapat langsung dibaca, dibutuhkan perhitungan oleh orang yang ahli dibidangnya untuk menentukan kondisi usus buntu tersebut terdiagnosa appendicitis atau tidak. Terkadang pendapat para ahli pun berbeda dalam mengambil keputusan. Untuk membantu dan mepermudah hal tersebut, diperlukan suatu sistem yang dapat mengklasifikasi appendicitis berdasarkan pengolahan citra digital CT-Scan

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengklasifikasi jenis penyakit appendicitis (radang usus buntu) menggunakan metode Extreme Learning Machine (ELM).

1.4. Batasan Masalah

Dalam penelitian ini, terdapat batasan masalah dari permasalahan yang ada yaitu:

1. Data citra yang dipakai merupakan hasil digitasi foto CT-Scan usus dengan format .jpeg atau .jpg.

2. Sistem yang akan dibangun hanya akan mengklasifikasi jenis penyakit appendicitis (radang usus buntu)dari hasil foto CT-Scan usus manusia.

3. Penelitian ini akan menghasilkan 3 klasifikasi yaitu:

a. Normal.

b. Acute (akut).

c. Chronic (kronis).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(15)

4. Jumlah data yang akan menjadi data testing dan data training adalah 105 dari seluruh klasifikasi, meliputi 75 data training dan 30 data testing.

6. Citra digital dari foto CT-Scan usus manusia yang digunakan memiliki ukuran 300 x 300pixel.

7. Penilaian klasifikasi usus buntu berdasarkan ukuran/pembesaran pada bagian appendix.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapula manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Implementasi sistem untuk mengklasifikasi appendicitis (radang usus buntu) dalam mendiagnosa jenis peradangan usus.

2. Dapat digunakan sebagai alat bantu perbandingan untuk memberikan diagnosa penyakit appendicitis yang diderita pasien.

3. Bagi masyarakat: Deteksi dan penanganan penyakit appendicitis menjadi lebih efisien dan meningkat.

1.6. Metodologi Penelitian

Fase yang akan dilaksanakan dalam proses penelitian ini ialah sebagai berikut : 1. Studi Literatur

Fase pertama dilakukan proses pengumpulan dan pembelajaran tentang informasi yang didapatkan dari jurnal, buku, skripsi, dan sumber-sumber informasi lainnya. Computed Tomography (CT), scaling, segmentation (thresholding), dan Extreme Learning Machine (ELM) adalah contoh dari informasi yang berkaitan erat dengan penilitian ini.

2. Analisis Permasalahan

Fase kedua akan melalui proses analisis mengenai fase terlebih dahulu dikerjakan yaitu studi literatur dengan proses mengumpulkan informasi/referensi untuk menghasilkan cara yang baik dimana akan digunakan dalam memecahkan permasalahan yaitu mengklasifikasi peradangan usus buntu (appendicitis) melalui citra CT-Scan usus manusia.

(16)

3. Perancangan

Fase ketiga merupakan proses merancang sistem berupa perancangan arsitektur serta user interface system yang dapat memproses hasil analisis yang di dapatkan dari fase-fase sebelumnya.

4. Penerapan

Fase keempat ialah pengimplementasian hasil analisis kedalam program yang telah dibangun sesuai dengan perancangan pada fase sebelumnya.

5. Pengujian

Fase kelima merupakan proses pengujian program atau sistem yang telah dibangun yang akan menjadi tolak ukur penilaian layak atau tidaknya metode Extreme Learning Machine (ELM) dalam hal mengklasifikasi peradangan usus buntu (appendicitis) melalui citra CT-Scan usus manusia.

6. Penyusunan Laporan

Penilitian yang telah dilakukan akan disusun menjadi sebuah laporan pada fase yang terakhir ini.

1.7. Sistematika Penulisan

Lima bagian utama dari Sistematika penulisan pada skripsi adalah sebagai berikut:

Bab 1: Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab 2: Landasan Teori

Teori-teori yang digunakan dan berhubungan dalam permasalahan yang dibahas pada penelitian ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(17)

Bab 3: Analisis dan Perancangan Sistem

Analisis dari arsitektur umum serta analisis dari metode yang digunakan yakni metode Extreme Learning Machine dan implementasi dalam pengklasifikasian jenis penyakit appendicitis dan perancangan sistem yang dibangun.

Bab 4: Implementasi dan Pengujian Sistem

Pembahasan dan pengujian sistem yang telah dibangun sesuai dengan hasil analisis dan perancangan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya serta menilai kelayakan sistem dibangun apakah sesuai dengan yang telah diharapkan atau tidak.

Bab 5: Kesimpulan Dan Saran

Bab ini menjelaskan kesimpulan yang didapat dari hasil bab sebelumnya serta saran yang menjadi patokan pada penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

(18)

LANDASAN TEORI

Bab ini akan membahas mengenai teori yang akan menunjang penilitian ini, dan juga penelitian-penilitian sebelumnya yang berkaitan mengenai implementasi metode extreme learning machine untuk mengklasifikasi penyakit appendicitis.

2.1. Appendix (Usus Buntu)

Appendix merupakan organ yang mempunyai bentuk seperti silinder (tabung) dengan panjang yang berkisar 10 cm, dan berpangkal di caecum (pangkal usus besar). Lumen (saluran di dalam pembuluh tubuh) yang sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Peranan appendix tidak signifikan untuk proses penguraian ataupun penyerapan zat pada makanan yang kita makan, tetapi peneliti medis seperti Loren G.

Mortin, sudah mendapati bahwa Vermix mempunyai kontribusi yang cukup penting baik itu janin ataupun dewasa, tetapai appendix juga mampu meningkatkan kerja sistem kekebalan tubuh yang melakukan perlawanan terhadap mikroba juga berbagai penyebab terjadinya penyakit-penyakit lainnya dengan cara membunuh atau melenyapkan mereka. Pembangunan kandung kemih fungsional dan pembangunan kembali otot sfingter ke saluran kemih juga dapat di bantu oleh Appendix yang bertindak sebagai organ transplantasi.

Gambar 2.1. Usus Manusia

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(19)

source : www.thegastrosurgeon.com 2.2. Appendicitis

Penyebab terjadinya abdomen akut yang kerap kali didapati ialah Appendicitis atau peradangan pada Appendix (usus buntu). Penyakit ini dapat menyerang segala umur yaitu laki-laki ataupun perempuan, namun paling sering terjadi pada laki-laki yang memiliki usia 10 hingga 30 tahun (Mansjoer, 2010). Peradangan akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen paling umum terjadi yang diakibatkan oleh Appendicitis. (Smeltzer, 2005).

Gambar 2.2. Appendix (Usus Buntu) Normal source : www.radiopaedia.org

2.3. Appendicitis Acute (Akut)

Appendicitis Acute kerap muncul dengan gejala istimewa yang ditandai oleh peradangan secara mendadak pada Appendix yang ditandai dengan disertai maupun tidak disertainya rangsangan pada Peritoneum lokal. Indikasi terjadinya Appendicitis Acute adalah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri Viseral (nyeri pada bagian organ dalam) didaerah Epigastrium yaitu ulu hati dan disekitar perut bagian atas. Mual, dan muntah disertai nafsu makan yang menurun kerap kali menjadi keluhan terhadap penyakit ini. Nyeri dirasakan lebih sakit dan sangat terasa letaknya dimana merupakan diidentifikasi sebagi nyeri somatik setempat yang dalam beberapa jam berpindah ke titik McBurney.

(20)

Gambar 2.3. Appendicitis Acute (Akut) source : www.radiopaedia.org

2.4. Appendicitis Chronic (Kronis)

Diagnosis Appendicitis Chronic baru dapat dipastikan jika merasakan rasa nyeri dibagian perut bagian kanan bawah sekurangnya selama 2 minggu yang ditunjang dengan adanya pembengkakan secara makroskopik ataupun mikroskopik. Fibrosis menyeluruh dinding Appendix menjadi kriteria mikroskopik dalam appendicitis chronic, juga adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa serta adanya sel inflamasi kronis dan total lumen Appendix atau sumbatan parsial. Kasus Appendicitis kronik terkadang mampu berubah kembali ke appendicitis acute yang disebut appendicitis chronic dengan ekserbasi acute yang diindikasikan karena adanya pembentukan jaringan ikat (Rukmono, 2011).

Gambar 2.4. Appendicitis Chronic (Kronis) source : www.radiopaedia.org

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(21)

2.5. Citra Digital

Menurut Sutoyo ditahun 2009, Perepresentasian, kemiripan ataupun imitasi dari sebuah objek disebut citra atau image yang mana dapat dikategorikan menjadi citra analog atau citra digital tergantung dari sifatnya. Sifat citra yang kontinu atau berkelanjutan seperti gambar yang ada pada televisi, hasil ct-scan, dan sinar X dapat digolongkan menjadi citra analog, yang mana berbeda dengan citra digital yang dapat diolah oleh komputer.

Diskrit nilai digital disebut pixel (picture elements) yang mana dapat ditampilkan pada layar monitor komputer menjadi penanda bahwa citra digital adalah citra dua dimensi. Pixel sendiri merupakan unsur citra yang mana mempunyai nilai yang menjelaskan intensitas dari warna. Citra digital dapat dikategorikan menjadi dua jenis tergantung dari cara penyimpanan atau cara pembentukannya. Kumpulan pixel dalam array dua dimensi yang membentuk citra digital menjadi jenis pertama dalam kategori ini yang disebut dengan citra raster atau bitmap. Sedangkan jenis kedua disebut vektor yang mana citra ini dibentuk oleh fungsi-fungsi geometri dan matematika. Digitalisasi pada citra analog menghasilkan Citra digital (diskrit).

Sampling dan quantitazion merupkan proses Digitalisasi citra analog. Pembagian citra ke dalam elemen-elemen diskrit (pixel) disebut Sampling. Sedangkan quantitazion merupakan pixel yang diberikan nilai bilangan bulat dimana akan menunjukkan intensitas warna (Awcock, 1996). Fungsi dua variabel, f(x,y), dimana x dan y adalah koordinat spasial, serta nilai f(x,y) adalah brightness level dari citra pada koordinat dimana dapat mendefinisikan sebuah Citra digital.

Gambar 2.5. Citra Digital (Nixon dan Aguado, 2002)

(22)

2.6. Grayscale

Suatu citra yang hanya memiliki warna keabuan disebut dengan citra Grayscale. Citra Grayscale hanya memiliki informasi yang lebih sedikit yaitu warna keabuan dibanding citra yang memiliki warna, dikarenakan dari tiap pixel citra grayscale mempunyai nilai intensitas warna yang sama atau tunggal, sedangkan pada citra berwana membutuhkan 3 nilai intensitas pada R (Red), G (Green), B (Blue) di seluruh pixelnya. Nilai Intensitas warna dari sebuah citra grayscale disimpan dalam bentuk 8 bit integer dimana akan menghasilkan 256 probabilitas dimulai dari nilai 0 hingga 255, (0 adalah warna hitam dan 255 adalah warna putih) menjadikan nilai diantara keduanya menjadi abu-abu, semakin kecil nilainya semakin menuju kehitam begitu juga sebaliknya semakin besar nilai intensitas maka mendekati putih atau ini disebut juga dengan Gray Level (derajat keabuan).

S = 𝑟+𝑔+𝑏

3 ……….. (2.1)

2.7. Scaling

Scaling image menggunakan Nearest neighbour adalah satu dari berbagai teknik interpolasi yang cukup cepat dan juga sederhana yang akan memindahkan ruang- ruang kosong dengan piksel yang berdekatan pada saat proses pengecilan ataupun pembesaran skala pada gambar (Safinaz, 2014). Ilustrasi gambar awal dengan ukuran 4 x 4 beserta nilai pikselnya dapat dilihat pada Gambar 2.7. Hasil gambar setelah diperbesar menjadi ukuran 8 x 6 beserta nilai pikselnya menggunakan neareast neighbor dapat dilihat pada pada Gambar 2.7.

i/j 1 2 3 4

1 E F G H

2 I J K L

3 M N O P

4 Q R S T

Gambar 2.6. Nilai-Nilai Piksel Gambar Awal (Malepati, 2010)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(23)

i/j 1 2 3 4 5 6 7 8

1 E E F F G G H H

2 I I J J K K L L

3 I I J J N N R R

4 M M N N O O P P

5 Q Q R R S S T T

6 Q Q R R S S T T

Gambar 2.7. Nilai Piksel Setelah Gambar Diperbesar (Malepati, 2010) Adapun contoh proses perhitungan untuk mendapatkan setiap nilai piksel pada gambar dengan ukuran 8 x 6 yaitu:

Perbandingan lebar (ratio weight) = 4 : 6 = 2 : 3.

Perbandingan panjang (ratio height) = 4 : 8 = 1 : 2.

1. Untuk posisi piksel dengan nilai m = 1, n = 1 Piksel m = ceil(i * ratio weight) = ceil(1 * 2/3) = 1.

Piksel n = ceil(j * ratio height) = ceil(1 * ½) = 1.

Nilai piksel pada gambar ukuran 6 x 8 dengan m = 1 yang menghasilkan Piksel m = 1 dan n = 1 yang menghasilkan Piksel n = 1 disesuaikan dengan nilai piksel pada gambar awal dengan m = 1 dan n = 1 yaitu E.

2. Untuk posisi piksel dengan nilai m = 1, n = 2 Piksel m = ceil(m * ratio weight) = ceil(1 * 2/3) = 1 Piksel n = ceil(n * ratio height) = ceil(2 * ½) = 1

Nilai piksel pada gambar ukuran 6 x 8 dengan m = 1 dan n = 2 juga memiliki nilai E.

3. Untuk posisi piksel dengan nilai m = 6, n = 8 Piksel m = ceil(m * ratio weight) = ceil(6 * 2/3) = 4 Piksel n = ceil(n * ratio height) = ceil(8 * ½) = 4

(24)

Nilai piksel pada gambar ukuran 6 x 8 dengan m = 6 yang menghasilkan Piksel m = 4 dan m = 8 yang menghasilkan Piksel n = 4 disesuaikan dengan nilai piksel pada gambar awal dengan n = 4 dan j = 4 yaitu T.

Ceil (ceiling) merupakan proses pembulatan sebuah bilangan ke atas.

2.8. Citra Biner

Citra yang mempunyai dua nilai gray level antara hitam dan putih disebut citra biner.

Untuk mendapatkan citra biner dari proses umum binerisasi dari sebuah citra grayscale dirumuskan sebagai berikut:

𝑏(𝑚, 𝑛) = {1 𝑖𝑓 𝑔(𝑚, 𝑛) ≥ 𝑡𝑟𝑠ℎ

0 𝑖𝑓 𝑔(𝑚, 𝑛) < 𝑡𝑟𝑠ℎ}……….. (2.2)

dimana 𝑏(m,n) ialah citra biner yang didapatkan dari citra gray scale 𝑔(m,n) dan 𝑡𝑟𝑠ℎ menunjukkan nilai ambang. Nilai 𝑡𝑟𝑠ℎ dapat ditentukan menggunakan cara-cara berikut:

1. Nilai Ambang Global (Global Threshold) 𝑡𝑟𝑠ℎ = 𝑡𝑟𝑠ℎ { 𝑔(m,n)}

Dimana nilai 𝑡𝑟𝑠ℎ ditentukan bergantung pada nilai gray level dari pixel pada posisi m,n.

2. Nilai Ambang Lokal (Local Threshold) 𝑡𝑟𝑠ℎ = 𝑡𝑟𝑠ℎ {𝑍(m,n), 𝑔(m,n)}

dengan 𝑡𝑟𝑠ℎ ditentukan bergantung pada properti pixel tetangga. 𝑍(x,y) menyatakan nilai pixel tetangga.

3. Nilai Ambang Dinamis (Dynamic Threshold) 𝑡𝑟𝑠ℎ = 𝑡𝑟𝑠ℎ { m,n, 𝑍(m,n), 𝑔(m,n)}

dengan 𝑡𝑟𝑠ℎ tergantung pada tiap titik koordinat-koordinat pixel.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(25)

2.9. Histogram Equalization

Metode Histogram Equalitation (HE) adalah salah satu teknik yang sangat populer yang dapat meningkatkan kualitas citra digital. Rancangan awal sebuah Histogram Equalization ialah proses men-strecth histogram yang menghasilkan bentuk pixel yang lebih besar. Oleh karena itu, informasi menjadi lebih kuat maka, secara kasat mata dapat mengambil informasi yang ditunjukkan.

Secara matematis dapat dihitung dengan rumus : 𝑛𝑖

𝑖 = 𝑛 i = 0,1,...,L-1……….. (2.3)

Bahwa, L merupakan gray level, dimana n ialah jumlah dari seluruh pixel yang berada pada suatu citra; ni merupakan total pixel yang memiliki gray level i.

Dengan begitu maka kesimpulan sementara bahwa pemerataan histogram membuat nilai input rk diubah menjadi sk lalu mengubah pula s. Dimana bentuk persamaan tersebut dapat jabarkan sebagai berikut:

k menjadi vk

𝑣𝑘 𝑀𝑁𝑘𝑗=0 𝑛𝑗 ……….. (2.4)

Dengan k adalah warna citra awal; vk adalah nilai grey level yang baru; T adalah fungsi mapping; sk adalah nilai grey level dari citra awal; L adalah jumlah tingkat keabuan; nj adalah jumlah pixel yang bernilai sk; M x N adalah total jumlah piksel.

2.10. Otsu Thresholding

Proses memisahkan antara objek dengan background dalam suatu citra berdasarkan pada perbedaan tingkat kecerahannya atau gelap terang adalah proses segmentasi yang bernama thresholding. Otsu Thresholding sendiri adalah salah satu dari berbagai metode thresholding yang berkerja secara otomatis. Cara kerja yang diterapkan oleh otsu thresholding sendiri ialah dengan melakukan analisis diskriminan dimana menetapkan suatu variable yang mampu membedakan atau memisahkan antara dua atau lebih kelompok yang datang secara alami. Sehingga hasil analisis diskriminan mampu memaksimalkan variabel tadi sehingga dapat membagi foreground serta background. Perumusan proses metode otsu thresholding dijelaskan sebagai berikut.

(26)

x menyatakan nilai Graylevel pada citra grayscale yang akan dicari. Nilai x berada diantara 1 sampai dengan y, dengan nilai g = 255.

Kemungkinan setiap pixel pada level ke j dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝑝𝑗 = 𝑘𝑗/ 𝐾……….. (2.5) Dimana :

𝑘𝑗 menunjukkan jumlah pixel pada level ke j K menunjukkan total pixel pada sebuah citra.

Nilai Zeroth cumulative moment, First cumulative moment, dan total nilai mean berturut-turut dapat ditentukan menggunakan rumus sebagai berikut.

𝜔(𝑥) ∑𝑥𝑗=1𝑝𝑗……….. (2.6) µ(𝑥) ∑𝑥𝑗=1𝑗 ∙ 𝑝𝑗……….. (2.7) µ𝑇𝑦𝑗=1𝑗 ∙ 𝑝𝑗……….. (2.8)

Nilai ambang x dapat ditetapkan dengan cara memaksimalkan persamaan berikut : 𝜎𝐵2(𝑥) = max

1≤𝑥≤𝑦𝜎𝐵2(𝑥) ……….. (2.9) 𝜎𝐵2(𝑥) = [ µ𝑇𝜔(𝑥)−µ(𝑥)]2

𝜔(𝑥)[1− 𝜔(𝑥)] ……….. (2.10)

2.11. Extreme Learning Machine

ELM (Extreme Learning Machine) adalah salah satu metode yang digunakan untuk pengklasifikasian pola pada sebuah data, baik itu citra maupun lainnya. metode ini pada dasarnya ialah jaringan saraf tiruan yang mana informasinya hanya berjalan 1 arah dari input menuju hidden layer hingga akhirnya sampai pada output yang diinginkan atau lebih di kenal dengan Single Hidden-Layer Feedforward Neural Network. Pada metode ini nilai bobot antara input dan hidden layer dipilih secara acak dan konstan selama tahap pelatihan dan prediksi. Disisi lain bobot yang menghubungkan hidden layer menuju output dilatih dengan sangat efesien dan cepat.

(Huang, 2005).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(27)

Gambar 2.8. Arsitektur Extreme Learning Machine

Extreme Learning Machine dalam proses learning atau pembelajarannya, menggunakan teori invers yaitu moore penrose pseudoinverse yang mana akan menghasilkan nilai bobot atau weight antara hidden layer dan output. ELM sendiri mempunyai model matematis yang tidak sama dengan metode feed-forward neural networks lainnya, model matematis pada ELM memiliki kerangka yang lebih efektif serta sederhana. Perumusan ELM dengan jumlah hidden layer sebanyak K dijelaskan dengan persamaan berikut:

𝑋𝑖 = [𝑋𝑖1+ 𝑋𝑖2, … … 𝑋𝑖𝑘]𝑇∈ 𝑅𝑘 ……….. (2.11) 𝑋𝑖 = [𝑋𝑡1+ 𝑋𝑡2, … … 𝑋𝑡𝑘]𝑇 ∈ 𝑅𝑙……….. (2.12)

Pada Umumnya Single Hidden-Layer Feedforward Neural Network yang memiliki jumlah hidden nodes sebanyak k dan fungsi aktivasi g(x) dapat dirumuskan sebagai berikut :

𝐾𝑖=1𝛽𝑖𝑔𝑖(𝑥𝑗) = ∑𝐾𝑖=1𝛽𝑖𝑔(𝑊𝑖. 𝑋𝑗 + 𝑏𝑖)= 𝑜𝑗………..(2.13)

(28)

Dengan :

𝐽 = 1,2,...., N

𝑊𝑖 = (𝑊𝑖1,2,…,𝑊𝑖K)𝑇, merupakan vektor dari weight yang menghubungkan i dengan hidden nodes dan input nodes.

𝛽𝑖 = (𝛽𝑖1,2,…,𝛽𝑖L)𝑇, merupakan weight vector yang menghubungkan i dengan hidden nodes dan input nodes.

𝑏𝑖 = treshold dari i dengan hidden nodes.

𝑊𝑖𝑋𝑗 = Inner product dari Wi dan Xj

Single Hidden-Layer Feedforward Neural memiliki jumlah hidden nodes sebanyak k dan fungsi aktivasi g(x) diharapkan mampur memprediksi hasil output dengan nilai error 0 atau bisa dirumuskan sebagai berikut :

𝐾𝑗=1||𝑜𝑗− 𝑡𝑗|| = 0………..(2.14) Sehingga 𝑜𝑗 = 𝑡𝑗

𝐾𝑖=1𝛽𝑖𝑔(𝑊𝑖. 𝑋𝑗 + 𝑏𝑖)= 𝑡𝑗………..(2.15)

Penyempurnaan persamaan diatas ialah sebagai berikut:

𝐻 𝛽 = 𝑇………..(2.16)

Dengan :

𝐻 = Hidden node yang didapati dari hasil output matriks.

𝛽 = nilai bobot output.

𝑇 = Matriks dari output atau target yang diharapkan.

Pada Extreme Learning Machine dimana nilai bobot dari input dan hidden layer ditetapkan secara acak, maka nilai bobot output yang akan terhubung dengan hidden layer dapat dirumuskan dibawah ini.

𝛽= 𝐻+𝑇……….. (2.17)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(29)

2.12. Artificial Neural Network

Dalam bukunya, Negnevitsky (2005) mendefinisikan Artificial Neural Network atau jaringan saraf tiruan menjadi contoh cara berfikir (logika) yang berproses layaknya otak manusia. Sejumlah neuron yang saling terhubung dengan nilai weight dan meneruskan informasi atau signal tersebut dari 1 neuron ke neuron lainnya adalah logika cara kerja otak manusia dan dapat ditiru oleh artificial neural network.

Sebuah fungsi aktivasi dipergunakan agar dapat memperoleh nilai output yang baik dari sebuah neuron. Secara umum fungsi aktivasi dibagi menjadi 4, yang pertama yaitu step function, dilanjutkan dengan sign function dimana kedua fungsi adalah fungsi yang kerjanya mebatasi atau memisahkan secara tepat yang akan digunakan pada umumnya mengenai permasalahan klasifikasi dan pengenalan pola. Selanjut sigmoid function, dimana fungsi ini memiliki input yang jangkauan nilai inputnya [-∞,

∞] diproses menghasilkan output yang memiliki jangkauan nilai [0,0, 1,0]. Terakhir, tak lupa pula linear function yang biasanya dipergunakan dalam proses pendekatan linear juga mampu memperoleh nilai output yang sama layaknya nilai input yang diterima neuron pada proses learning.

. Penggambaran fungsi dari setiap jenis fungsi aktivasi dapat di nilai seperti pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9. Fungsi-fungsi aktivasi

(30)

2.13. Penelitian Terdahulu

Pada Penelitian ini pencarian region yang digunakan mampu menangkap ciri pola papilla pada citra lidah manusia, dimana menjadi sebuah output sistem yang mampu mendeteksi penyakit usus buntu. Hasil uji coba sistem telah sesuai dengan perhitungan manual hingga dapat simpulkan bahwa sistem ini telah memenuhi harapan dalam menghasilkan output pendeteksian penyakit terkait. (Andry Sianto, 2012).

Metode Certainty Factor dalam membangun sistem pakar dipercaya mampu mendiagnosa penyakit usus pada manusia dengan parameter yang telah ditentukan oleh pakar yaitu dokter. Parameter tersebut berupa gejala-gejala yang dianggap dapat berpengaruh dalam terjadinya kasus penyakit usus pada manusia. (Quwais Alqorni Sahara, 2014).

Metode Extreme Learning Machine pernah diaplikasikan dalam penelitian untuk mendiagnosis penyakit diabetes melitus. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Extreme Learning Machine menghasilkan tingkat akurasi sangat baik serta kecepatan dalam memproses data cukup efektif dan efisien dalam hal mendiagnosa penyakit diabetes melitus. Setelah mendapatkan hasil kemampuan metode Backpropagation dan ELM, dapat disimpulkan bahwa Extreme Learning Machine lebih baik karena memiliki akurasi yang tinggi serta tingkat Error MSE yang lebih kecil pada data testing yaitu 0.4036 dibandingkan dengan MSE pada backpropagation yang memiliki nilai 0.9425, yang kita ketahui bersama bawah angka yang mendekati 0 adalah yang hasil terbaik. (Jefri Junifer Pangaribuan, 2016).

Sistem Pendeteksian dini Infeksi Menular Seks atau dikenal dengan singkatan IMS menjadi output yang dituju dalam penilitian kali ini, dimana peniliti menggunakan metode extreme learning machine dalam proses mendektesian penyakit terkait. Proses yang dilakukan berupa 2 tahap yaitu proses pembelajaran sistem agar memampu menilai penyakit serta proses pengujian yang akan menjadi tolak ukur yang diharapkan sistem mampu mendeteksi penyakit tersebut menggunakan metode ini.

Ada pula beberapa parameter yang digunakan dalam penilitian kali ini ialah data pasien seperti jenis kelamin,umur juga parameter yang mempengaruhi output sistem yaitu output weight, matrix random weight, dan beberapa lainnya. Ditinjau dari hasil pengujian sistem dengan perbandingan data uji dan data latih yaitu 90%:10% dapat disimpulkan bahwa nilai akurasi bergantung pada banyaknya data latih. (Fikhi Nugroho, Imam Cholissodin, Suprapto, 2015).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(31)

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Keterangan Tahun

1. Andry Sianto

Sistem pendeteksi penyakit usus buntu dengan analisa foto lidah

pencarian region yang digunakan mampu menangkap ciri pola papilla pada citra lidah manusia. Output sistem telah mampu mendeteksi penyakit usus buntu.

Hasil uji coba sistem telah

sesuai dengan

perhitungan manual hingga dapat simpulkan bahwa sistem ini telah memenuhi harapan dalam menghasilkan output pendeteksian penyakit

2012

2. Quwais Alqorni Sahara

Aplikasi android sistem pakar guna mendiagnosa penyakit usus pada manusia menggunakan metode certainty factor

Metode Certainty Factor dalam membangun sistem pakar dipercaya mampu mendiagnosa penyakit usus pada manusia dengan parameter yang telah ditentukan oleh pakar yaitu dokter.

2014

3. Jefri Junifer Pangaribuan

Mendiagnosis penyakit diabetes melitus Dengan menggunakan metode

Extreme learning machine

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Extreme Learning Machine menghasilkan tingkat akurasi sangat baik serta kecepatan dalam memproses data

2016

(32)

cukup efektif dan efisien dalam hal mendiagnosa penyakit diabetes melitus.

Setelah mendapatkan hasil kemampuan metode Backpropagation dan ELM, dapat disimpulkan bahwa Extreme Learning Machine lebih baik karena memiliki akurasi yang tinggi serta tingkat Error MSE yang lebih kecil

4. Fikhi Nugroho, Imam Cholissodin, Suprapto

Implementasi Extreme Learning Machine Untuk Deteksi Dini Infeksi Menular Seks (IMS) Pada Puskesmas Dinoyo Kota Malang

Sistem Pendeteksian dini Infeksi Menular Seks atau dikenal dengan singkatan IMS menjadi output yang dituju dalam penilitian kali ini, dimana peniliti menggunakan metode extreme learning machine dalam proses

mendektesian penyakit terkait. Ditinjau dari hasil pengujian sistem dengan perbandingan data uji dan data latih yaitu 90%:10%

dapat disimpulkan bahwa nilai akurasi bergantung pada banyaknya data latih.

2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(33)

ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM

Rancangan aplikasi untuk mengklasifikasi penyakit appendicitis memiliki fase awal yakni menggunakan kajian data, kajian pengerjaan gambar menggunakan beberapa fase, kemudian implememtasi metode extreme learning machine dalam mendiagnosa jenis penyakit appendicitis. Pada fase berikutnya, dilaksanakannya penyusunan bentuk interface sistem.

3.1. Arsitektur Umum

Dalam rangka membangun suatu sistem yang dapat mengklasifikasi penyakit appendicitis, penelitian ini melakukan tahapan yang terdiri atas 4 (empat) proses.

Proses-proses tersebut meliputi pre-procesing, segmentasi dan classification seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Adapun tahapan-tahapannya ialah sebagai berikut: Tahapan-tahapan tersebut dimulai dari data yang dikumpulkan lalu dibuat menjadi data training dan data testing, yaitu: citra normal, acute, dan chronic. Selanjutnya dilakukan tahapan preprocessing yang terdiri atas scaling, agar ukuran citra sesuai dengan yang dibutuhkan. Kemudian dilakukan penyelarasan citra keabuan dengan menggunakan teknik grayscale. Fase berikutnya yakni pemisahan menggunakan otsu thresholding untuk membuat citra biner. Dilanjutkan pada fase lainnya berupa klasifikasi dengan memakai extreme learning machine.. Setelah tahapan-tahapan tersebut dilakukan lalu akan menghasilkan klasifikasi penyakit appendicitis. Kerangka arsitektur umum pada fase-fase di atas terlihat pada Gambar 3.1

(34)

Gambar 3.1. Arsitektur Umum Klasifikasi Penyakit Appendicitis.

Pre-processing

Classification Segmentation

Input citra foto CT-Scan usus

Acute Chronic Normal

Training Dataset Testing Dataset

Grayscale

Scaling

Hasil klasifikasi penyakit appendicitis

Extreme Learning Machine Thresholding

Simpan Hasil Klasifikasi

Acute Chronic Normal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(35)

3.2. Dataset

Penelitian ini menggunakan foto ct-scan usus manusia sebagai data image (sumber gambar dari radiopedia.org) . Data foto ct-scan usus manusia yang digunakan sebanyak 105 citra. Citra terbagi dua dataset antara lain: data latih (training) dan data uji (testing).

Data latih merupakan data yang sudah diketahui label-labelnya kemudian data tersebut digunakan sebagai pembanding terhadap data testing pada proses pengklasifikasian penyakit appendicitis. Sementara itu, data uji adalah data untuk melihat pengelompokan jenis penyakit appendicitis.Pembagian data training dan data testing dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Pembagian data training dan data testing

No Dataset Jumlah Data

1 2

Data training Data testing

75 30

Jenis penyakit appendicits yang dipakai dalam penelitian ini yakni acute, chronic serta normal. Tabel 3.2 menunjukkan menunjukkan pembagian citra.

Tabel 3.2. Pembagian citra berdasarkan penyakit

No Dataset Jumlah Data

1 Acute 35

2 Chronic 35

3 Normal 35

3.3. Preprocessing

Fase ini adalah fase pemrosesan citra dengan tujuan agar membuat citra yang lebih baik kemudian dilanjutkan pada fase beriktunya. Fase preprocessing mencakup scaling dan grayscale.

(36)

3.3.1. Grayscale

Fase ini bermaksud untuk penyeragaman warna ke abuan pada citra yang akan diproses..Pada citra asli terlihat warna keabuan tidak merata. Rumus perhitungan komposisi nilai warna yang digunakan dengan memberitakan nilai ambang batas seperi persamaan 3.1:

Grayscale = (0,3*R + 0,5*G + 0,2B)...(3.1) Ket:

R = unsur warna merah G = Unsur warna hijau B = unsur warna biru

Citra grayscale terdapat pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Citra Grayscale

Tabel 3.3 Nilai RGB disetiap piksel hasil Grayscale

- 1 2 3 4 5 … 100 101 102 ... 297 298 299 300

1 0 0 0 0 0 … 107 108 104 ... 0 0 0 0

2 0 0 0 0 0 … 121 119 121 ... 0 0 0 0

3 0 0 0 0 0 … 120 122 125 ... 0 0 0 0

... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

175 0 0 0 0 0 … 174 144 140 ... 0 0 0 0

176 0 0 0 0 0 … 184 180 179 ... 0 0 0 0

177 0 0 0 0 0 … 219 222 212 … 0 0 0 0

... … … … …

299 0 0 0 0 0 … 0 0 0 … 0 0 0 0

300 0 0 0 0 0 … 0 0 0 … 0 0 0 0

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(37)

3.3.2. Scaling

Tahapan berikutnya menggunakan scaling. Tahapan ini dibutuhkan untuk mengatur ukuran pixel pada citra. Dengan bertambahnya jumlah pixel maka akan bertambah pula waktu untuk proses pengolahan citra. Citra scaling ditunjukkan pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3. Citra Scaling

Citra yang semula berukuran 300x300 diubah menjadi 4x4. Dalam penelitian ini, citra yang berukuran 300x300 diubah menjadi 30x30. Penulis telah melakukan pengujian beberapa ukuran dan memilih ukuran 30x30 sesuai dengan kebutuhan system.

3.4. Thresholding

Thresholding yang bermkasud supaya membuat citra menjadi warna hitam dan putih.

Metode Thresholding yang digunakan merupakan Otsu Thresholding. Thresholding menghasilkan citra seperti pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Citra Thresholding

(38)

berdasarkan pembahasan otsu thresholing pada Bab 2, piksel hitam/putih ditentukan dari nilai ambang batas. Untuk mendapatkan nilai ambang batas menggunakan persamaan dapat dilihat sebagai berikut:

𝜔(𝑘) ∑𝑘𝑖=1𝑝𝑖 = 928

µ𝑇𝐿𝑖=1𝑖 ∙ 𝑝𝑖 = 255 ∙ 928 = 236640 𝜎𝐵2(𝑘) = [ µ𝑇𝜔(𝑘)−µ(𝑘)]2

𝜔(𝑘)[1− 𝜔(𝑘)] = [ −1.253124𝐸+10]2

5.815962𝐸+07 = 2.700018E+12

Adapun nilai ambang batas dari setiap level grayscale dapat dilihat dari Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Nilai Ambang Batas tiap Level Grayscale Level Grayscale Nilai Ambang Batas

1 -9.01E+10

2 -9.01E+10

3 -9.09E+10

4 -9.09E+10

5 -9.12E+10

6 -9.14E+10

7 -9.20E+10

8 -9.20E+10

9 -9.24E+10

10 -9.34E+10

11 -9.34E+10

12 -9.47E+10

13 -9.47E+10

14 -9.56E+10

15 -9.73E+10

16 -9.73E+10

17 -9.83E+10

18 -9.92E+10

19 -1.00E+11

20 -1.01E+11

21 -1.03E+11

22 -1.03E+11

23 -1.03E+11

24 -1.04E+11

25 -1.05E+11

26 -1.05E+11

27 -1.05E+11

28 -1.06E+11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(39)

Tabel 3.4. Nilai Ambang Batas tiap Level Grayscale (lanjutan)

29 -1.06E+11

30 -1.06E+11

31 -1.07E+11

32 -1.07E+11

33 -1.07E+11

34 -1.07E+11

35 -1.07E+11

36 -1.07E+11

37 -1.07E+11

38 -1.07E+11

39 -1.07E+11

40 -1.07E+11

41 -1.07E+11

42 -1.07E+11

43 -1.07E+11

44 -1.07E+11

45 -1.07E+11

46 -1.07E+11

47 -1.07E+11

48 -1.07E+11

49 -1.07E+11

50 -1.07E+11

51 -1.07E+11

52 -1.07E+11

53 -1.07E+11

54 -1.07E+11

55 -1.07E+11

56 -1.07E+11

57 -1.07E+11

58 -1.07E+11

59 -1.07E+11

60 -1.07E+11

61 -1.07E+11

62 -1.06E+11

63 -1.06E+11

64 -1.06E+11

65 -1.06E+11

66 -1.06E+11

67 -1.06E+11

68 -1.06E+11

(40)

Tabel 3.4. Nilai Ambang Batas tiap Level Grayscale (lanjutan)

69 -1.06E+11

70 -1.06E+11

71 -1.06E+11

72 -1.05E+11

73 -1.05E+11

74 -1.05E+11

75 -1.05E+11

76 -1.05E+11

77 -1.05E+11

78 -1.05E+11

79 -1.05E+11

80 -1.04E+11

81 -1.04E+11

82 -1.04E+11

83 -1.04E+11

84 -1.04E+11

85 -1.04E+11

86 -1.03E+11

87 -1.03E+11

88 -1.03E+11

89 -1.03E+11

90 -1.02E+11

91 -1.02E+11

92 -1.02E+11

93 -1.02E+11

94 -1.02E+11

95 -1.02E+11

96 -1.01E+11

97 -1.01E+11

98 -1.01E+11

99 -1.01E+11

100 -1.00E+11

101 -9.97E+10

102 -9.97E+10

103 -9.90E+10

104 -9.90E+10

105 -9.87E+10

106 -9.83E+10

107 -9.75E+10

108 -9.75E+10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(41)

Tabel 3.4. Nilai Ambang Batas tiap Level Grayscale (lanjutan)

109 -9.71E+10

110 -9.65E+10

111 -9.59E+10

112 -9.54E+10

113 -9.44E+10

114 -9.38E+10

115 -9.38E+10

116 -9.31E+10

117 -9.18E+10

118 -9.18E+10

119 -9.10E+10

120 -9.01E+10

121 -8.84E+10

122 -8.84E+10

123 -8.75E+10

124 -8.64E+10

125 -8.54E+10

126 -8.32E+10

127 -8.19E+10

128 -8.19E+10

129 -8.03E+10

130 -7.86E+10

131 -7.69E+10

132 -7.52E+10

133 -7.33E+10

134 -7.14E+10

135 -6.95E+10

136 -6.77E+10

137 -6.58E+10

138 -6.40E+10

139 -6.24E+10

140 -6.08E+10

141 -5.95E+10

142 -5.71E+10

143 -5.71E+10

144 -5.59E+10

145 -5.49E+10

146 -5.40E+10

147 -5.33E+10

148 -5.22E+10

(42)

Tabel 3.4. Nilai Ambang Batas tiap Level Grayscale (lanjutan)

149 -5.22E+10

150 -5.18E+10

151 -5.15E+10

152 -5.12E+10

153 -5.09E+10

154 -5.06E+10

155 -5.02E+10

156 -5.00E+10

157 -5.00E+10

158 -4.98E+10

159 -4.97E+10

160 -4.96E+10

161 -4.93E+10

162 -4.93E+10

163 -4.92E+10

164 -4.90E+10

165 -4.90E+10

166 -4.88E+10

167 -4.87E+10

168 -4.84E+10

169 -4.84E+10

170 -4.83E+10

171 -4.81E+10

172 -4.80E+10

173 -4.78E+10

174 -4.76E+10

175 -4.74E+10

176 -4.74E+10

177 -4.72E+10

178 -4.71E+10

179 -4.70E+10

180 -4.68E+10

181 -4.65E+10

182 -4.63E+10

183 -4.63E+10

184 -4.62E+10

185 -4.61E+10

186 -4.59E+10

187 -4.58E+10

188 -4.56E+10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(43)

Tabel 3.4. Nilai Ambang Batas tiap Level Grayscale (lanjutan)

189 -4.52E+10

190 -4.52E+10

191 -4.51E+10

192 -4.49E+10

193 -4.47E+10

194 -4.44E+10

195 -4.44E+10

196 -4.42E+10

197 -4.40E+10

198 -4.39E+10

199 -4.37E+10

200 -4.35E+10

201 -4.31E+10

202 -4.28E+10

203 -4.27E+10

204 -4.27E+10

205 -4.24E+10

206 -4.23E+10

207 -4.19E+10

208 -4.17E+10

209 -4.17E+10

210 -4.16E+10

211 -4.13E+10

212 -4.11E+10

213 -4.09E+10

214 -4.07E+10

215 -4.04E+10

216 -4.04E+10

217 -4.02E+10

218 -4.00E+10

219 -3.97E+10

220 -3.95E+10

221 -3.92E+10

222 -3.88E+10

223 -3.88E+10

224 -3.83E+10

225 -3.83E+10

226 -3.81E+10

227 -3.78E+10

228 -3.78E+10

(44)

Tabel 3.4. Nilai Ambang Batas tiap Level Grayscale (lanjutan)

229 -3.73E+10

230 -3.73E+10

231 -3.70E+10

232 -3.67E+10

233 -3.65E+10

234 -3.59E+10

235 -3.56E+10

236 -3.56E+10

237 -3.54E+10

238 -3.47E+10

239 -3.47E+10

240 -3.41E+10

241 -3.41E+10

242 -3.37E+10

243 -3.26E+10

244 -3.26E+10

245 -3.22E+10

246 -3.15E+10

247 -3.07E+10

248 -2.81E+10

249 -2.81E+10

250 -2.39E+10

251 -2.39E+10

252 -2.08E+10

253 -1.25E+10

254 -1.25E+10

255 -1.25E+10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(45)

Tabel 3.5. Nilai RGB pada setiap piksel Thresholding

- 1 2 3 ... 110 111 112 … 150 151 152 … 298 299 300

1 0 0 0 ... 0 0 0 ... 0 0 0 … 0 0 0

2 0 0 0 ... 0 0 0 ... 0 0 0 … 0 0 0

3 0 0 0 ... 0 0 0 ... 0 0 0 … 0 0 0

... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... … ... ... ...

176 0 0 0 ... 255 255 255 ... 255 255 0 … 0 0 0 177 0 0 0 ... 255 255 255 ... 255 255 0 … 0 0 0 178 0 0 0 ... 255 255 255 ... 255 255 255 … 0 0 0 ... ... ... ... ... … … … ... … … … … ... ... ...

298 0 0 0 ... 0 0 0 ... 0 0 0 … 0 0 0

299 0 0 0 ... 0 0 0 ... 0 0 0 … 0 0 0

300 0 0 0 ... 0 0 0 ... 0 0 0 … 0 0 0

3.5. Binerisasi

Setelah thresholding, citraakan diubah menjadi citra biner. Output yang dihasilkan pada tahapan ini adalah 0 dan 1. Citra binerni dipakai untuk masukan dalam metode pengelompokan dengan menggunakan extreme learning machine. Citra biner dicantumkan pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5. Citra Biner 30x30

(46)

3.6. Klasifikasi

Dalam penelitian ini, proses yang dipakai untuk metode klasifikasi yaitu extreme learning machine. Adapun Arsitektur extreme learning machine untuk klasifikasi penyakit appendicitis dicantumkan pada Gambar 3.6.

Gambar 3.6. Arsitektur Extreme Learning Machine untuk Klasifikasi Penyakit Appendicitis

Keterangan dari gambar arsitektur extreme learning machine untuk klasifikasi penyakit appendicitis dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.6 keterangan Arsitektur ELM

Keterangan Jumlah(node)

Input 900

Hidden 30

Output 3

Arsitektur yang nantinya dipakai pada jaringan ini terbagi menjadi dari 3 layer diantaranya input layer, hidden layer, dan output layer. Data input sejumlah 900 node, hidden sejumlah 30 node serta output terdiri dari 3 node (Acute, Chronic, dan Normal) dan hidden node ditentukan secara random (Huang, 2006). Dapat ditentukan melalui

Input Layer Hidden Layer Output Layer

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(47)

beberapa uji coba terhadap kebutuhan sistem. Pemilihan hidden node yang berjumlah 30 node merupakan suatu bobot yang baik dalam menghasilkan akurasi yang tinggi dalam sistem klasifikasi penyakit appendicitis dan tidak memakan banyak waktu dalam proses pengolahan citra. Data yang nantinya dipakai pada input layer mula-mula diubah. Dilakukannya training untuk mengetahui berat dan bias optimal/sesuai guna proses testing.

Penentuan jumlah node pada artificial neural network, khususnya pada hidden layer, merupakan hal yang penting sebelum menjalankan training, karena hidden layer berperan penting dalam penghitungan hasil akhir dari artificial neural network.

Jumlah node yang tidak sesuai pada hidden layer akan mengakibatkan permasalahan pada proses training. Jika node tidak sesuai di hidden layer maka terjadi kondisi underfitting, dimana node yang tersedia tidak dapat bekerja secara baik dalam menerima sinyat dari input layer. Sebaliknya jika jumlah node terlalu banyak maka dapat menyebabkan waktu untuk proses data lebih lama. Selain itu jika node yang banyak dapat menyebabkan overfitting, dimana jumlah informasi yang diterima tidak cukup untuk diproses dalam data training karena banyaknya kapasitas pemrosesan informasi yang dimiliki jaringan.

Pada penelitian ini, proses training akan dilakukan dengan jumlah neuron pada hidden layer bernilai 𝑜, di mana 𝑜 = 10, 30, 50, 70, 90. Hal tersebut dibuat agar ditemukan banyaknya neuron di hidden layer yang sesuai untuk proses identifikasi.

Kemudian masuk kedalam tahap testing untuk menguji tingkat keakuratan system dalam klasifikasi penyakit appendicitis.

(48)

3.7. Perancangan Sistem

Fase perancangan system menjelaskan bagaimana penyusunan menu system dan perancangan interface aplikasi klasifikasi appendicitis. Perancangan ini supaya pemakai lebih mudah mengoperasikan aplikasi.

3.7.1 Tampilan Sistem Klasifikasi Penyakit Appendicitis

Tampilan ini merupakan tampilan utama sistem untuk training dan juga untuk testing aplikasi. Terdapat beberapa pemrosesan pada halaman ini. Perancangan tampilan tersebut dicantumkan pada Gambar 3.8.

Gambar 3.7. Perancangan Sistem Keterangan:

A. Pada bagian ini digunakan untuk mengupload citra sebagai data training, yaitu:

acute, chronic dan normal.

B. Pada bagian ini digunakan untuk mengatur jumlah EPOCH, Learning rate, Hidden note sebelum data akan dilatih.

C. Pada bagian ini digunakan untuk memproses data training dengan tujuan untuk menyamakan tinggi dan lebar (scaling), serta pre-processing lainnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(49)

D. Pada bagian ini terdapat button ‘Pilih Citra Testing’ digunakan untuk memilih citra sebagai data testing. Selanjutnya terdapat button ‘Image Adjusment’

digunakan untuk menampilkan citra testing yang telah diproses (grayscale).

Dilanjutkan dengan button ‘Otsu Thresholding’ yang akan menampilkan citra data testing yang telah di proses. Kemudian yang terakhir button ‘Test’

digunakan untuk mengindentifikasi penyakit serta menampilkan hasil ekstraksi ciri citra.

E. Pada bagian ini terdapat hasil dari proses citra testing, dari citra asli, citra hasil image adjustment, serta hasil otsu tresholding.

F. Pada bagian ini melampirkan hasil dari klasifikasi penyakit.

(50)

BAB 4

IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN

Bab ini akan mengkaji hasil dari penerapan metode extreme learning machine pada pengklasifikasian penyakit appendicitis berdasarkan foto ct-scan paru-paru manusia juga percobaan sistem berdasarkan kajian data dan penyusunan seperti uraian pada Bab 3.

4.1. Kebutuhan Sistem

Dalam perancangan klasifikasi penyakit appendicitis berdasarkan foto ct-scan usus manusia menggunakan metode extreme learning machine membutuhkan hardware serta software penunjang berikut ini:

4.1.1 Perangkat Keras dan Perangkat Lunak

Detail hardware dan software yang dipakai yang digunakan dalam membangun sistem ini adalah :

1. Processor Intel® Core™ i5-6200U CPU @ 2.30GHz.

2. Kapasitas hard disk 1,00TB.

3. RAM yang digunakan 4,00 GB.

4. Sistem operasi yang digunakan Windows 10 pro 64-bit.

5. Microsoft Visual Studio 2017.

4.1.2. Implementasi Perancangan Antarmuka

Kajian penyusunan interface berlandaskan rancangan sistem yang telah diuraikan dalam Bab 3 berikut ini:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(51)

1. Tampilan Awal Aplikasi

Tampilan awal aplikasi adalah halaman depan yang awal mula tampak saat sistem berjalan. Tampilan awal seperti pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Tampilan Awal Sistem

2. Tampilan Utama Sistem

Halaman utama sistem adalah halaman untuk mengklasifikasi penyakit appendicitis dengan proses pelatihan dan pengujian ct-scan bagian usus menggunakan extreme learning machine. Tampilan tersebut terdapat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Tampilan Utama Sistem.

(52)

4.1.3. Implementasi Data

Data yang di-input kedalam sistem merupakan foto ct-scan (sumber:

radiopaedia.org). Data tersebut dikategorikan menjadi 3 antara lain acute, chronic, normal. Berikut ini adalah ringkasan data yang digunakan sebagai data training dapat dilihat pada gambar 4.3, 4.4, 4.5.

Gambar 4.3. Appendicitis Acute

Pada gambar 4.3 merupakan seluruh data set pada klasifikasi Appendicitis Acute yang akan menjadi data training pada penelitian kali ini yang mampu menjadi faktor pembanding untuk akurasi yang lebih baik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(53)

Gambar 4.4. Appendicitis Chronic

Pada gambar 4.4 merupakan seluruh data set pada klasifikasi Appendicitis Chronic yang akan menjadi data training pada penelitian kali ini yang mampu menjadi faktor pembanding untuk akurasi yang lebih baik.

(54)

Gambar 4.5. Appendixs Normal

Pada gambar 4.5 merupakan seluruh data set pada klasifikasi Appendix Normal yang akan menjadi data training pada penelitian kali ini yang mampu menjadi faktor pembanding untuk akurasi yang lebih baik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(55)

4.2. Prosedur Operasional

Tampilan utama sistem terdiri dari data sampel, testing, parameter dan result seperti gambar 4.2. Untuk melakukan proses data yang ingin ditraining dapat diinput melalui menu ‘Data Latih’. terdapat 3 button yaitu data akut, data kronis dan data normal.

Tampilan upload citra dapat dilihat pada gambar 4.6.

Gambar 4.6. Tampilan Upload Citra

Pada data sampel terdapat beberapa button yang dinamai sesuai nama penyakit appendicitis. Sebelum citra di training, ada beberapa pengaturan yang dapat disesuaikan. Pixel gambar dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Pada bagian parameter neural network juga dapat disesuaikan sehingga menghasilkan akurasi yang baik. Lama waktu training dapat dilihat pada bagian waktu proses. Tampilan gambar dapat dilihat pada gambar 4.7.

(56)

Gambar 4.7.Tampilan parameter dan waktu proses

Setelah Data di training, Masukkan data yang ingin diuji. Dengan cara, pilih button ‘Pilih Citra Testing’ yang terdapat pada bagian ‘Testing’. Kemudian pilih salah satu image yang nantinya di uji coba. Citra yang dipilih akan muncul di aplikasi.

Tampilan gambar dibawah ini (Gambar 4.8).

Gambar 4.8. Tampilan Uji Citra

Kemudian citra akan diolah menjadi citra grayscale. Dengan cara pilih button

‘Image Adjustment’. Kemudian proses thresholding menggunakan otsu-thresholding, Tampilan gambar akan ditunjukkan pada gambar 4.9.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar

Gambar 2.2. Appendix (Usus Buntu) Normal  source : www.radiopaedia.org
Gambar 2.7. Nilai Piksel Setelah Gambar Diperbesar (Malepati, 2010)  Adapun contoh proses perhitungan untuk mendapatkan setiap nilai piksel pada  gambar dengan ukuran 8 x 6 yaitu:
Gambar 2.8. Arsitektur Extreme Learning Machine
Gambar 3.1. Arsitektur Umum Klasifikasi Penyakit Appendicitis.
+7

Referensi

Dokumen terkait

pengetahuan baru yang dapat dijadikan sebagai bahan diskusi kelompok kemudian, dengan menggunakan metode ilmiah yang terdapat pada buku pegangan peserta didik atau pada lembar

Dari 47 orang responden, tidak ada responden yang memilih jawaban sangat tidak setuju, 7 orang atau 14,9% menjawab tidak setuju, 16 orang atau 34,0% menjawab ragu- ragu, 22 orang

Berdasarkan dari hasil analisa data deskriptif yang telah diperoleh secara keseluruhan dari 84 atlet bulutangkis di kabupaten Jember terdapat 48 atlet dengan prosentase

Nama dan logo perusahaan akan dicetak pada barang tersebut, dan banner kecil yang ditempatkan di area simposium. 4 Lanyard (s) 5,000 USD Company name and logo will be

Capaian kinerja organisasi memaparkan pencapaian atas indikator kinerja utama dan hal-hal berkaitan dengan capaian tersebut yaitu dilakukan dengan cara membandingkan antara

Dari media facebook penyimpangan yang terjadi yakni tidak ada tindakan yang dilakukan untuk menangani keluhan yang masuk, sehingga berpotensi untuk menempatkan

Alkhamdulillah, dengan ridho Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Studi Perbandingan antara Strategi Index Card Macth dengan Concept Map dalam

Bali Mandalaika Tours (Puma Tour) Jl. Hang Tuah Raya, No. Barata Tours &amp; Travel... Jl. Hang Tuah The Grand bali Beacsh