18 A. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit.26 Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum.
Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Secara literlijk, kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feitsecara utuh, ternyata straf diterjemahkan juga dengan kata hukum. Padahal sudah lazim hukum itu adalah recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya.27
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan beliau sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.28
Istilah perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan sebagai berikut:
a. Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya.
Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.
b. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancama pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat.
Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian
26 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), hlm. 67
27 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, hlm. 69
28 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 54
yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.
c. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjukkan pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan); dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.
R.Tresna sebagaimana yang dikutip oleh Adami Chazawi menyatakan bahwa, dalam peristiwa pidana itu mempunyai syarat- syarat, yaitu:
1. Harus ada suatu perbuatan manusia
2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalamketentuan hukum
3. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan
4. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum
5. Terdapat perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang undang.29
B. Unsur-unsur Tindak Pidana
Tindak pidana selalu dirumuskan dalam bentuk kalimat. Dalam kalimat itu mengandung unsur-unsur yang mengandung kompleksitas (kerumitan) unsur-unsur. Unsur-unsur itulah yang membentuk suatu pengertian hukum dari suatu jenis tindak pidana tertentu. Kalau tindak pidana tidak memenuhi salah satu dari kompleksitas unsur tersebut, maka perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana.30
29 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, hlm. 73
30 Adami Chazawi dan Ardi Ferdinan, Tindak Pidana Pemalsuan: Tindak Pidana yang Menyerang Kepentingan Hukum Terhadap Kepercayaan Masyarakat Mengenai Kebenaran Isi Tulisan dan Berita yang Disampaikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2015), hlm. 1
Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang, yakni: (1) dari sudut teoretis; dan (2) dari sudut undang-undang.
Teoretis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin dari bunyi rumusannya. Sementara itu, sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.31
Menurut Adami Chazawi dalam bukunya yang berjudul Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 mengemukakan bahwa, semua tindak pidana yang ada baik dalam KUHP maupun dalam peraturan perundang- undangan di luar KUHP, ada sebelas unsur-unsur tindak pidana. Sebelas unsur-unsur tersebut adalah:
a. Unsur tingkah laku b. Unsur melawan hukum c. Unsur kesalahan
d. Unsur akibat konstitutif
e. Unsur keadaan yang menyertai
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana g. Unsur syarat tambahan untuk diperberatnya pidana h. Unsur objek hukum tindak pidana
i. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana
j. Unsur syarat tambahan untuk diperingannya pidana.
Pada pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP), sifat melawan hukumnya perbuatan memalsu atau membuat secara palsu surat terdapat secara terselubung di dalam unsur “dapat menimbulkan kerugian” orang lain.32
C. Jenis-jenis Tindak Pidana
Menurut Moeljatno, perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP (WvS) menggolongkan tindak pidana menjadi kejahatan
31 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, hlm. 79
32 Adami Chazawi dan Ardi Ferdinan, Tindak Pidana Pemalsuan: Tindak Pidana yang Menyerang Kepentingan Hukum Terhadap Kepercayaan Masyarakat Mengenai Kebenaran Isi Tulisan dan Berita yang Disampaikan, hlm. 4
(misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Kejahatan diatur dalam Buku II KUHP dan pelanggaran diatur di Buku III KUHP.
Kejahatan (misdrijven) adalah “rechtsdeliten” yaitu perbuatan- perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht (perbuatan melawan hukum), sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.
Sebaliknya, pelanggaran (overtredingen) adalah “wetsdelikten” adalah perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet (aturan) yang menentukan demikian.33
Ancaman pidana bagi kejahatan adalah lebih berat daripada pelanggaran, maka dapat dikatakan bahwa:
1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja.
2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan disitu harus dibuktikan oleh Jaksa.
Sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah.
3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (pasal 54). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (pasal 60).
4. Tenggang daluarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun.
5. Dalam hal perbarengan (concursus) para pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang enteng lebih mudah daripada pidana berat (pasal 65, 66-70).34
Dalam masalah pemalsuan akta otentik ini, pelaku akan dikenakan sanksi pidana penjara karena pemalsuan akta otentik ini termasuk ke dalam kejahatan sebab dapat menyebabkan kerugian dan mengganggu keseimbangan hidup dalam masyarakat. Menurut Andi Hamzah, bahwa kejahatan itu ialah delik-delik yang melanggar kepentingan umum dan
33 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, hlm. 71
34 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, hlm. 73-74
juga membahayakan secara konkret hal ini, sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto saja.35
Adapun dalam teori dan praktek kejahatan dibedakan antara lain dalam:
1) Delik dolus dan delik culpa
Bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan, misalnya Pasal 338 KUHP “dengan sengaja menuyebabkan matinya orang lain”, sedangkan dalam delik culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut Pasal 359 KUHP dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaannya. Contoh dari pada delik-delik dolus yang lain, yaitu:
a. Pasal 354 tentang dengan sengaja melukai berat orang lain.
b. Pasal 187 tentang dengan sengaja menimbulkan kebakaran.
c. Pasal 231 tentang dengan sengaja mengeluarkan barang-barang yang disita.
d. Pasal 232 (2) tentang dengan sengaja merusak segel dalam persitaan.
Adapun contoh dari delik culpa, yaitu:
a. Pasal 360 tentang karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat.
b. Pasal 189 tentang karena kealpaannya menyebabkan kebakaran.
c. Pasal 231 (4) tentang karena kealpaannya menyebabkan dikeluarkannya barang-barang dari sitaan.
d. Pasal 232 tentang karena kealpaannya menimbulkan rusaknya segel dalam penyitaan.
35 Andi hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 99-100
2) Delik commissionis dan delikta commissionis
Delik commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (Pasal 362), menggelapkan (pasal 372), menipu (pasal 378).
Delikta commissionis adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat, misalnya dalam pasal 164 mengetahui pemufakatan jahat (samenspanning) untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam pasal itu, pada saat masih ada waktu untuk mencegah kejahatan, tidak segera melapor kepada instansi yang berwajib.
3) Delik biasa dan delik yang dikualifisir (dikhususkan)
Delik yang dikualifisir adalah delik biasa ditambah dengan unsur- unsur lain yang memberatkan ancaman pidananya. Ada kalanya unsur- unsur lain itu mengenai cara yang khas dalam melakukan delik biasa, ada kalanya obyek yang khas, ada kalanya pula mengenai akibat yang khas dari perbuatan yang merupakan delik biasa tadi.36 Misalnya, Pasal 263 KUHP adalah pemalsuan surat biasa, dan Pasal 264 adalah pasal yang dikualifisir, yaitu karena dilakukan terhadap akta otentik.
4) Delik menerus dan tidak menerus
Dalam delik menerus, perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus. Misalnya, Pasal 333 KUHP yaitu orang yang merampas kemerdekaan orang lain secara tidak sah. Keadaan yang dilarang itu berjalan terus sampai si korban lepas atau mati. Jadi perbuatan yang dilarang tidak habis ketika kelakuannya selesai seperti dalam pencurian misalnya, setelah kelakuan selesai dan dibawanya si korban ke tempat penahanan, akibat dari kelakuan itu berjalan terus selama waktu tahanan. Begitu pula Pasal 221 KUHP di sini perbuatannya menyembunyikan orang yang dicari karena melakukan
36 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, hlm. 75-76
kejahatan. Selama waktu dalam penyembunyian, keadaan yang dilarang berjalan terus.37.
D. Pengertian Tindak Pidana Pemalsuan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pemalsuan adalah proses, cara, perbuatan memalsu;38 memalsukan suatu objek dengan meniru bentuk asli objek tersebut.
Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh bagi diri sendiri atau orang lain. Suatu pergaulan hidup yang teratur dalam masyarakat yang maju dan teratur tidak dapat berlangsung lama tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa bukti surat dan dokumen-dokumen lainnya.
Karenanya perbuatan pemalsuan merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut.
Adami Chazawi dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana Pemalsuan Surat, mengemukakan bahwa pemalsuan adalah berupa kejahatan yang didalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atau suatu (objek) yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah- olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.
E. Dasar Hukum Tindak Pidana Pemalsuan
Sumber utama hukum pidana adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang terdiri dari tiga buku yaitu Buku I Mengatur peraturan-peraturan umum (algemeene bepalingen), Buku II Mengatur tentang kejahatan (misdrijiven), dan Buku III Mengatur tentang pelanggaran (overtedingen).
Secara umum kejahatan pemalsuan dapat kita temukan dalam buku II KUHP yang dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu:
37 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, hlm. 77
38 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online
1. Kejahatan sumpah palsu
Pembahasan mengenai sumpah palsu terdapat dalam Bab IX KUHP Pasal 242 yaitu dalam ayat (1) menyatakan bahwa:
“Barang siapa dalam keadaan dimana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara tujuh tahun”.
Kemudian kejahatan sumpah palsu yang diperberat ada pada ayat (2) yang berbunyi:
“Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan penjara paling lama sembilan tahun”.
Kemudian pada ayat (3) menjelaskan bahwa:
“Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah”.
2. Kejahatan pemalsuan uang
Penjelasan mengenai pemalsuan mata uang dan uang kertas ada dalam Bab X KUHP Pasal 244 yang berbunyi:
“Barang siapa meniru atau memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang atau uang kertas itu sebagai asli dan tidak palsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Kemudian diperjelas dalam Pasal 245 yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak palsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barang siapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang
demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak palsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
3. Kejahatan pemalsuan materai dan merk
Pemalsuan materai dan merk dijelaskan dengan rinci dalam Bab XI KUHP Pasal 253 yang berbunyi:
“Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. Barang siapa meniru atau memalsu materai atau yang dikeluarkan pleh pemerintah Indonesia, atau jika diperlukan tanda tangan untuk sahnya materai itu, barang siapa meniru atau memalsu tanda tangan, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai materai itu sebagai materai yang asli dan tidak dipalsu atau yang sah;
2. Barang siapa dengan maksud yang sama, membikin materai tersebut dengan menggunakan cap yang asli secara melawan hukum”.
Selanjutnya jenis-jenis cap diperjelas dalam Pasal 254 hingga 262.
4. Kejahatan pemalsuan surat
Penjelasan mengenai pemalsuan surat ada dalam Bab XII KUHP yakni Pasal 263 yang berbunyi:
Ayat (1)
“Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.
Ayat (2)
“Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian”.
Kemudian sanksi pemalsuan surat akan diperberat berdasarkan Pasal 264 Ayat (1) yang berbunyi:
“Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
1. Akta-akta otentik;
2. Surat utang atau sertifikat utang dari sesuatu Negara atau bagiannya atau pun dari suatu lembaga umum;
3. Surat sero atau utang atau sertifikat sero atau utang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;
4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.
Kemudian Ayat (2):
“Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan segaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak palsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian”.
F. Jenis-jenis Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Sebagaimana yang telah diatur dalam Buku II Bab XII Kitab Undang- undang Hukum Pidana, kejahatan pemalsuan surat terbagi menjadi enam yaitu:
1. Pemalsuan surat pada umumnya Dalam rumusan Pasal 263 ayat (1):
“Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.
Ayat (2)
“Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian”
Terdapat dua perbuatan ialah membuat palsu dan memalsu.
Membuat surat palsu yaitu membuat surat yang isinya tidak benar.39 Sedangkan memalsukan surat yaitu surat palsu yang dibuat oleh seseorang yang mengatasnamakan (seolah-olah) surat itu dibuat oleh seseorang tertentu.40 Surat tersebut dapat menimbulkan suatu hak, surat yang menumbulkan suatu perikatan, surat yang membebaskan hutang, diperuntukkan bukti mengenai suatu hal, dan pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.
2. Pemalsuan surat yang diperberat Dijelaskan dalam Pasal 264 ayat (1):
“Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
1. Akta-akta otentik;
2. Surat utang atau sertifikat utang dari sesuatu Negara atau bagiannya atau pun dari suatu lembaga umum;
3. Surat sero atau utang atau sertifikat sero atau utang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;
4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.
Pemalsuan surat dalam Pasal 264 merupakan lex specialis dari pemalsuan yang terdapat dalam Pasal 263 ayat (1). Oleh karena itu, istilah pemalsuan dalam Pasal 264 ayat (1) tersebut mengandung unsur
39 Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, hlm. 180
40 Adami Chazawi dan Ardi Ferdinan, Tindak Pidana Pemalsuan: Tindak Pidana yang Menyerang Kepentingan Hukum Terhadap Kepercayaan Masyarakat Mengenai Kebenaran Isi Tulisan dan Berita yang Disampaikan, hlm. 139
yang sama dengan Pasal 263 ayat (1). Dasar pemberatan pidananya diletakkan pada jenir-jenis suratnya, karena menurut sifatnya mengandung alasan pemberatan. Surat-surat tersebut memiliki derajat kebenaran yang lebih tinggi dibanding surat lainnya. Oleh sebab itu, harus diberikan perlindungan yang lebih besar dan ancaman yang berat bagi pelaku yang dijerat Pasal 264 ini.
3. Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik Dirumuskan dalam Pasal 266 ayat (1):
“Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain untuk memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”
Yang membedakan Pasal 266 dengan Pasal 263 dan 264 adalah pasal ini menggunakan frasa “yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu.
4. Pemalsuan surat keterangan dokter
Dokter memberikan surat keterangan sehat atau penyakit palsu yang dirumuskan dalam Pasal 267 ayat (1) sebagai berikut:
“Seorang dokter dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada dan tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam pidana paling lama empat tahun”.
Yang dimaksud dalam pasal ini adalah dokter, tidak bisa dilakukan oleh orang yang bukan dokter.
5. Pemalsuan surat-surat tertentu
a. Pemalsuan surat keterangan kelakuan baik dan lain-lain, diatur dalam Pasal 269 sebagai berukut:
“Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsu surat keterangan tanda kelakuan baik, kecakapan, kemiskinan, kecacatan atau keadaan lain, dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang lain memakai surat itu supaya diterima dalam pekerjaan atau supaya menimbulkan kemurahan hati dan pertolongan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”.
b. Pemalsuan surat jalan dan lain-lain diatur dalam Pasal 270 ayat (1) sebagai berikut:
“Barangsiapa membuat secara palsu atau memalsukan surat jalan atau surat penggantinya, kartu keamanan, surat perintah jalan atau surat yang diberikan menurut ketentuan undang-undang tentang pemberian izin kepada orang asing untuk masuk dan menetap di Indonesia, ataupun barangsiapa menyuruh beri surat serupa itu atas nama palsu atau nama kecil yang palsu atau dengan menunjuk pada keadaan palsu, dengan maksud untuk memakai surat itu seolah-olah sejati dan tidak dipalsukan atau seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan”.
c. Pemalsuan surat pengantar bagi kerbau atau sapi yang diatur dalam Pasal 271 ayat (1) sebagai berikut:
“Barangsiapa membuat palsu atau memalsukan surat pengantar bagi kerbau atau sapi atau menyuruh beri surat serupa itu atas nama palsu atau dengan menunjuk pada keadaan palsu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan”
6. Pemalsuan surat keterangan pejabat tentang hak milik Diatur dalam Pasal 274 ayat (1) sebagai berikut:
“Barangsiapa membuat palsu atau memalsukan surat keterangan seorang pejabat selaku penguasa yang sah, tentang hak milik atau hal lainnya atas suatu barang, dengan maksud untuk memudahkan penjualan atau penggadaiannya atau untuk menyesatkan pejabat kehakiman atau kepolisian tentang asalnya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun”.
Pejabat yang dimaksud sebagai penguasa yang sah adalah pejabat yang menurut kebiasaan dan bukan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk membuat surat keterangan tentang hak milik atas suatu benda, misalnya hak atas ternak, tanah, perhiasan dan sebagainya.41
G. Pengertian Akta Otentik 1. Pengertian Akta
Akta adalah suatu surat yang ditandatangani, memuat keterangan kejadian-kejadian atau hal-hal yang merupakan dasar dari suatu perjanjian. Pasal 1867 KUH Perdata menyatakan “Pembuktian dengan tulisan dengan tulisan-tulisan otentik maupun tulisan-tulisan di bawah tangan”.42
Berdasarkan keterangan di atas, akta terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
a. Akta otentik
Akta otentik adalah perjanjian/kontrak/akta yang dibuat oleh dan ditandatangani di hadapan pejabat yang berwenang. Pejabat yang berwenang di sini antara lain notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Kepala Kantor Urusan Agama (KUA), Kepala Kantor Catatan Sipil, dan lain sebagainya.
Notaris sebagai pejabat umum mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik terhadap segala macam atau jenis perjanjian dan surat-surat lainnya, kecuali oleh undang-undang ditunjuk secara khusus pejabat lain untuk membuat akta tertentu. Misalnya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) selaku pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik yang berkaitan dengan tanah, misalnya akta jual beli, akta hibah, tukar-menukar, akta pemberian hak tanggungan terhadap sebidang tanah, bentuk akta tersebut
41 Adami Chazawi dan Ardi Ferdinan, Tindak Pidana Pemalsuan: Tindak Pidana yang Menyerang Kepentingan Hukum Terhadap Kepercayaan Masyarakat Mengenai Kebenaran Isi Tulisan dan Berita yang Disampaikan, hlm. 203
42 Https://www.suduthukum.com/2017/04/jenis-jenis-akta.html?m=1 diakses pada 21 Juli 2018
hanya boleh dibuat oleh PPAT dengan bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) antara lain berwenang untuk membuat akta wakaf atas tanah, akta nikah dan sebagainya. Kepala Kantor Catatan Sipil berwenang untuk membuat akta-akta mengenai surat kelahiran, perkawinan, kematian, dan lain-lain.43
Akta otentik diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang dikutip dari Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata yang berbunyi: “Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat”.
Dari penjelasan pasal ini, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum.
Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata: Pertama, akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik. Kedua, namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di bawah tangan dengan syarat akta itu ditandatangani para pihak.44
b. Akta bawah tangan
Akta bawah tangan adalah akta yang dibuat serta ditandatangani oleh para pihak yang bersepakat dengan perikatan atau antara para pihak yang berkepentingan saja.
Pada Pasal 1874 KUH Perdata menyebutkan bahwa, “yang dianggap sebagai tulisan dibawah tangan atalah akta yang
43http://books.google.co.id/books?id=4X6CCX_naxgC&pg=PA18&dq=akta+otentik&hl=
id&sa=X&ved=0ahUKEwjN2M2k_oHcAhVE7WEKHe3ZCMgQ6AEILTAC#v=onepage&q=akt a%20otentik&f=false diakses pada 3 Juli 2018
44Yahya Harahap, HUKUM ACARA PERDATA Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta:Sinar Grafika,2011), hlm. 566
ditandatangani dibawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga, dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum”. Di dalam Pasal 1902 KUH Perdata dikemukakan mengenai syarat-syarat bilamana terdapat bukti tertulis, yaitu:
1) Harus ada akta.
2) Akta itu harus dibuat oleh orang terhadap siapa dilakukan tuntutan atau dari orang yang diwakilinya.
3) Akta itu harus memungkinkan kebenaran peristiwa yang bersangkutan.45
H. Jenis-Jenis Sanksi Pidana
Hukum pidana Indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Pidana, sebagai berikut:
1. Pidana pokok a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana kurungan; dan d. Pidana denda
2. Pidana tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang tertentu; dan c. Pengumuman putusan pengadilan.
Adapun mengenai kualifikasi urutan-urutan deri jenis-jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan terlebih dahulu.
Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai tambahan terhadap pidana-pidana pokok, dan biasanya fakultatif (dapat dijatuhkan atau tidak). Hal ini terkecuali bagi kejahatan-kejahatan sebagaimana
45 https://www.hukum.me/2017/04/jenis-jenis-akta.html?m=1 diakses pada 22 Juli 2018
tercantum dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjadi sifat imperatif atau keharusan.
Perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagai berikut:
a. Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barang-barang tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah. (pidana tambahan ini ditambahkan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).
b. Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halnya pada pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif atau bisa dijatuhkan bisa tidak.
c. Mulai berlakunya pencabutan hak-hak tertentu tidak dengan sesuatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan sejak hari putusan hakim dapat dijalankan.46
Berikut ini merupakan penjelasan tentang jenis-jenis dari pidana tersebut di atas adalah sebagai berikut:
1. Pidana pokok a. Pidana mati
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 11 KUHP yaitu:
“Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”
Apabila terpidana dijatuhi hukuman mati, maka eksekusi putusan akan dilaksanakan setelah mendapatkan fiat eksekusi dari Presiden berupa penolakan grasi walaupun seandainya
46 Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangkang Education dan PuKAP-Indonesia, 2012), hlm. 107
terpidana tidak mengajukan permohonan grasi. Kemudian untuk pelaksanaan pidana mati tersebut orang harus juga memperhatikan beberapa ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang permohonan grasi yang menyatakan:
1) Jika pidana mati dijatuhkan oleh pengadilan maka pelaksanaan dari pidana mati tersebut tidak boleh dijalankan selama 30 hari terhitung mulai hari-hari berikutnya dari hari keputusan itu menjadi tidak dapat diubah kembali dengan pengertian bahwa dalam hal keputusan dalam pemeriksaan ulangan yang dijatuhkan oleh pengadilan ulangan, tenggang waktu 30 hari itu dihitung mulai dari hari berikutnya dari hari keputusan itu telah diberitahukan kepada terpidana.
2) Jika terpidana dalam tenggang waktu yang tersebut di atas tidak mengajukan permohonan grasi, maka Panitera tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) yakni Panitera dari pengadilan yang telah memutuskan perkaranya pada tingkat pertama harus memberitahukan hal tersebut kepada Hakim dan Ketua Pengadilan dan Jaksa atau Kepala Kejaksaan tersebut dalam Pasal 8 ayat (1), (2), dan (4) yakni Hakim, Ketua pengadilan, Kepala Kejaksaan pada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama serta Jaksa yang melakukan penuntutan pada peradilan tingkat pertama dengan catatan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 berlaku dalam hal ini.
3) Pidana mati itu tidak dapat dilaksanakan sebelum Putusan Presiden itu sampai kepada Kepala Kejaksaan yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau pada pegawai yang diwajibkan putusan hakim.
Pidana mati ditunda jika terpidana mengalami sakit jiwa atau wanita yang sedang hamil. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan
pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan memperhatikan kemanusiaan.47
b. Pidana penjara
Menurut Andi Hamzah, menegaskan bahwa “pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan”.48 Pidana penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.
Ada beberapa hak-hak kewarganegaraan yang hilang jika seseorang berada dalam penjara, yaitu:
1) Hak untuk memilih dan dipilih (dalam pemilu). Di negara liberal sekalipun juga demikian. Dengan alasan agar kemurnian peilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan perbuatan-perbuatan yang tidak jujur;
2) Hak untuk memangku jabatan publik. Alasannya ialah agar publik bebas dari perlakuan manusia yang tidak baik;
3) Hak untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan. Dalam hal ini telah dipraktikkan pengendoran dalam batas-batas tertentu;
4) Hak untuk mendapatkan perizinan-perizinan tertentu, misalnya saja izin usaha, izin praktik (dokter, pengacara, notaris dan lain- lain);
5) Hak untuk mengadakan asuransi hidup;
6) Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk minta perceraian menurut hukum perdata;
7) Hak untuk kawin, meskipun adakalanya seseorang kawin sementara menjalani pidana penjara, namun itu merupakan keadaan yang luar biasa dan hanya bersifat formalitas belaka;
dan
47 Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana sebagai Syarat Pemidanaan, hlm.110
48 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1997), hlm. 36
8) Beberapa hak sipil lainnya.
c. Pidana kurungan
Pada dasarnya pidana kurungan inin sama dengan pidana penjara, keduanya merupakan jenis pidana perampasan kemerdekaan.
Pidana kurungan membatasi kemerdekaan bergerak dari seorang terpidana dengan mengurung orang tersebut di dalam sebuah lembaga permasyarakatan.
Pidana kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara, hal ini ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHP, bahwa berat ringannya pidana ditentukan oleh urutan- urutan dalam Pasal 10 KUHP dimana pidana kurungan menempati urutan ketiga. Lamanya hukuman kurungan adalah sekurang- kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 KUHP, bahwa:
“Paling sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena gabungan atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan ”
Menurut Vos sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah49, bahwa pidana kurungan pada dasarnya memiliki dua tujuan, yaitu:
1) Sebagai custodia honesta untuk tindak pidana yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delicculpa dan beberapa delic dolus, seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana (Pasal 396). Pasal-pasal tersebut diancam pidana kurungan.
2) Sebagai custodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.
49 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, hlm. 48
Dengan demikian, bagi delik-delik pelanggaran, maka pidana pokoknya adalah pidana kurungan.
d. Pidana denda
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua dari pidana penjara. Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh hakim untuk membayar sejumlah uang tertentu karena telah melakukan suatu tindak pidana.
Menurut P.A.F Lamintang50 bahwa “Pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku I dan Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran.
Pidana ini juga diancamkan baik-baik satu-satunya pidana pokok maupun secara alternatif dengan pidana penjara saja, atau alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut secara bersama-sama”.
Oleh karena itu, pidana denda dapat dipikul oleh orang lain, walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana, tidak ada larangan jika denda ini secara suka rela dibayar oleh orang lain atas nama terpidana.
2. Pidana tambahan
Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan, pidana ini tidak dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.51 Pidana tambahan ini juga bersifat preventif. Ia juga bersifat sangat khusus sehingga sifat pidananya sering hilang dan sifat preventif inilah yang menonjol. Pidana tambahan pun sering termasuk dalam kemungkinan mendapat grasi.
Adapun macam-macam pidana tambahan sebagai berikut:
50 P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya, 1997), hlm. 712
51 Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana sebagai Syarat Pemidanaan, hlm. 114
a. Pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 35 ayat (1) KUHP;
b. Perampasan barang-barang tertentu. Perampasan atas barang- barang yang tidak disita sebelumnya diganti dengan pidana kurungan apabila barang-barang itu tidak diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim tidak dibayar.
Kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
c. Pengumuman putusan hakim. Sebagaimana diatur dalam Pasal 43 KUHP bahwa:
“Apabila hakim memerintahkan agar putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan umum yang lainnya, harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan pengumuman putusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang”.
Pidana tambahan pengumuman putusan hakim ini dimaksudkan terutama untuk pencegahan agar masyarakat terhindar dari kelihaian busuk atau kesembronoan seorang pelaku. Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila secara tegas ditentukan berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana tertentu.
Di dalam KUHP pidana ini diancamkan hanya pada kejahatan- kejahatan:52
1. Menjalankan tipu muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan angkatan perang dalam waktu perang;
2. Penjualan, penawaran, penyerahan, membagikan barang- barang yang membahayakan jiwa atau kesehatan dengan sengaja atau karena alpha;
3. Kesembronoan seseorang sehingga mengakibatkan orang lain luka atau mati;
52 Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana sebagai Syarat Pemidanaan, hlm. 118
4. Penggelapan;
5. Penipuan; dan
6. Tindakan merugikan pemiutang.